Anda di halaman 1dari 6

BAB VII

MASALAH EKSPLANASI SEJARAH

Tujuan Umum

1. Pada bab ke VII, pokok bahasan masih berkisar pada masalah eksplanasi, tetapi perlu
pembaca pahami bahwa penjelasan pada bab VII lebih menitikberatkan pada
pengetahuan eksplanasi sejarah.
2. Pembaca perlu memahami pentingnya hubungan kerjasama interdisipliner approach
antara ilmu sejarah dengan kelompok ilmu-ilmu sosial lainnya.

Tujuan Khusus

1. Pembaca diharapkan dapat mengetahui munculnya pertentangan antara kelompok


ilmu-ilmu nomothetis dengan ilmu-ilmu idiografik.
2. Pembaca diharapkan dapat mengambil kesimpulan yang dirasa cukup esensial dari
bentuk eksplanasi sejarah dengan ilmu-ilmu eksakta.
3. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmahnya pada kecenderungan yang dewasa
ini muncul, yaitu dua sifat ilmu eksakta dan humaniora yang saling melengkapi.

Eksplanasi sejarah berarti, penjelasan sejarah. Apa yang perlu dijelaskan dalam
sejarah? Kegunaan untuk apa eksplanasi sejarah itu? Bentuk-bentuk yang bagaimana
eksplanasi sejarah itu ?

Menjelaskan pengertian eksplanasi sejarah tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai
perkembangan sejarah sebagai seni (abad 18 di eropa) dan menjadi ilmu (science) pada abad
19. Mengapa konteks permasalahan dikembalikan ke belakang sampai sejauh itu ? karena
masalah eksplanasi sejarah ada hubung kait dengan masalah metodologi dalam sejarah,
disamping itu masalah eksplanasi sejarah sering menjadi polemik bagi para ilmuan maupun
ahli-ahli sejarah pengikut nomotetis atau idiografis. Jelas pertentangan diantara mereka
dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan dan perbedaan background knowledge para
penganut disiplin ilmu masing-masing, yang mana pada abad ke 19 kedudukan ilmu sejarah
baru dalam taraf mencari bentuk keilmuannya.
Bila pada abad ke 18 sejarah dianggap sebagai art (seni), maka pada abad ke 19
sejarah sudah masuk dalam kategori ilmu pengetahuan. Tidak berbeda dengan ilmu-ilmu
sosial lainnya, bidang studi sejarah pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh titik tolak
pandangan ilmu-ilmu alam, terutama semenjak aliran positivisme mendapat tempat
dikalangan ahli-ahli ilmu sosial. Pengaruh aliran ini menghendaki agar gejala-gejala sosial
yang diamati, dilakukan dengan menggunakan pengukuran-pengukuran seperti yang berlaku
dalam ilmu eksakta, dengan harapan dapat memperoleh kebenaran yang eksak, seperti
kebenaran yang dapat diperoleh delam ilmu alam (bersifat nomotetis). Ketika positivisme
maju dengan pesat sebagai akibat hasil karya ahli-ahli ilmu pengetahuan alam, terjadilah
usaha untuk menggarap masalah-masalah kebudayaan dengan seperangkat alat metodologis
hasil perkembangan dan pengaruh ilmu-ilmu alam.

Sejarah dalam bentuknya sebagai seni, hanyalah merupakan buah pikiran manusia
yang disampaikan malalui bentuk karya literer, secara narasi melukiskan peristiwa masa
lampau. Sejarah yang bersifat literet dan naratif ini pada umumnya hanya mempersoalkan
apa, kapan, dimana dan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Tekanan lebih banyak ditujukan
pada segi-segi narasinya dan peristiwa-peristiwa yang unik. Oleh karena itu penggarapan
studi sejarah yang konvensional ini tidak didapati “persoalan kausalitas” sebagai pusat
penggarapan, dengan demikian juga tidak didapati permasalahan “mengapa”. Melihat
keadaan yang semacam itu, sejarah dipandang kurang mempunyai arti, karena dipandang
tidak mampu memberikan eksplanasi (penjelasan) mengenai permasalah yang menjadi inti
penggarapan. Berbeda dengan penggarapan sejarah sebagai suatu sistem, menghendaki
adanya sistemisasi dalam penggarapan sasaran studinya. Studi sejarah ini memiliki kerangka
konseptual yang jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam menganalisa sasaran yang
dipelajari. Penerapan prosedur kerja semacam itu, maka sejarah mampu menjelaskan
persoalan kausalitas dari peristiwa yang disoroti, sehingga secara tajam dapat diperoleh suatu
gambaran yang jelas. Penggarapan secara kritis terhadap data sejarah dimungkinkan dengan
adanya peralatan metodologis, sejarah mampu memberikan deskripsi, observasi dan
eksplanasi terhadap obyek penelitiannya.

Berdasarkan penggarapan melalui prosedur analitis dan metodologis tersebut, studi sejarah
kritis yang dilengkapi dengan seperangkat alat-alat metodologis sejarah dan teori atau
konsep-konsep ilmu bantu (ekonomi, sosiologi, ilmu politik, psikologi sosial, anthropologi)
menempatkan peranan eksplanasi dalam mencari kausalitas sebab akibat dari
permasalahannya. Banyak sejarawan yang tidak menyadari bahwa masalah eksplanasi adalah
bagian yang amat penting. Dalam metodologi sejarah, terutama sejarawan konvensional yang
lebih banyak menekankan segi-segi naratif dalam literernya. Mereka kurang menyadari
bahwa kausalitas permasalahan antara satu dengan lainnya perlu dijelaskan, untuk menjawab
pertanyaan mengapa (why). Sejarawan konvensional juga tidak memperhatikan bahwa teknik
eksplanasi bermakna eksplanandum (pernyataan yang akan dijelaskan, dan suatu eksplanan
(serangkaian pernyataan yang akan menjelaskan), karena mereka hanya menyebut beberapa
prinsip, antara lain bahwa tujuan sintesa adalah untuk mengerti sejarah. Menurut gagasan
“sejarah seni”, sejarah adalah hasil suatu sintesa yang paling cekatan dari suatu deskripsi,
dengan demikian eksplanasi tidak berarti sama sekali.

Mengikuti gagasan yang agak ekstrim dari sejarawan konvensional maka suatu sintesa
sejarah yang sempurna adalah suatu komposisi dari beberapa gagasan naratif yang teratur
secara kronologis, benar-benar mengandung data factual tentang masa lampau manusia,
disusun secara artistik dan dapat membantu mereproduksi kenyataan masa lampau pada
pikiran manusia sekarang. Dengan demikian sejarah yang ditulis secara naratif dianggap baik
sebagai seni.

Studi perkembangan dari seni menjadi ilmu memperjelas persoalan bahwa masalah
eksplanasi menjadi topik perdebatan antara pandangan seni dan ilmu. Perbedaan ini tentu
menyangkut masalah latar belakang ilmu pengetahuan dan pandangan hidup para sejarawan.

Polemik diatas nampaknya masih berkepanjangan ketika kedudukan sejarah benar-


benar sudah meninggalkan art (seni), karena permasalahan baru yang muncul justru
menyentuh pada kondisi yang mendasar, yaitu perbedaan pandangan sejarawan nomotetis
dan sejarawan idiografis dalam mempersoalkan masalah eksplanasi.

Kaum idiografis menegaskan perbedaan dasar antara sejarah dan ilmu alam. Ilmu
alam adalah analisa alam atau dengan kata lain sebagai analisa dalam hukum sebab-musabab,
sedangkan sejarah adalah analisa alam sebagai pola kejadian-kejadian yang unik. Konsep
kritis dari ilmu alam ialah hukum-hukum atau dalil-dalil, sedang konsep-konsep kritis dari
sejarah adalah bentuk dan dari nilai. Oleh sebab itu maka sejarawan tidak dapat membuat
eksplanasi tentang hukum-hukum umum atau dalil-dalil dalam penelitian sejarah, kecuali bila
disiplin ilmu itu memasuki lapangan filsafat ilmu pengetahuan atau filsafat sejarah. Ini berarti
terdapat hubungan yang erat antara eksplanasi kebutuhannya akan filsafat sejarah dan ilmu
pengetahuan.

Sampai sejauh ini masih terdapat perbedaan pendapat yang selalu diperdebatkan. Satu
pihak (nomotetis) menyatakan bahwa semua bentuk eksplanasi yang bertujuan benar-benar
mau menjelaskan harus selalu mengikuti model ilmu pengetahuan alam. Eksplanasi selalu
merupakan proses deduksi dari hukum-hukum umum yang dipersiapkan lebih dahulu. Pihak
lain (idiografis) menolak, bahwa sejarawan tidak akan menggunakan hukum-hukum umum
dalam sintese mereka, karena eksplanasi yang menggunakan hukum umum selamanya
bersifat rasional, sedangkan sejarah harus menjelaskan tata kelakuan yang tidak selalu
rasional dan bersifat unik. Itulah sebabnya eksplanasi tentang tata kelakuan manusia
dilakukan melalui tuntutan bahwa semua jenis tata kelakuan manusia harus dilakukan
eksplanasinya mengikuti model eksplanasi yang cocok dengan bidangnya. Dengan demikian
timbulnya perbedaan antara eksplanasi sejarah dengan eksplanasi ilmu pengetahuan alam
tergantung dari dominasi eksplanasi mana yang digunakan.

Melihat kecenderungan disiplin ilmu sejarah sekarang mendekat pada bidang ilmu-
ilmu sosial maka (menurut Patrick Gardiner) nampaknya cenderung mensintesakan tradisi-
tradisi model eksplanasi sejarah dengan ilmu pengetahuan alam. Sependapat dengan gagasan
kaum nomotetis, seperti Carl G, Hempel dan Karl R. Popper, yang mendasarkan
eksplanasinya untuk menjawab permasalahan “mengapa” dari pada menjawab “apa” atau
dengan lain perkataan proses menjelaskan dengan suatu deskripsi dan analisa, kedua-duanya
dapat saling berhubungan. Oleh karena analisa jelas menghendaki suatu deskripsi dan
demikian pula suatu deskripsi yang menandai dapat pula memberikan penjelasan sebab akibat
dari suatu permasalahan. Kedua-duanya menggunakan eksplanasi dalam dua pengertian,
yaitu pertama, eksplanasi sangat terikat pada pemakaian bahasa aslinya, sedang yang kedua,
eksplanasi sangat dengan konstruksi logika pengaruh dari ilmu pengetahuan alam.

Mengenal perbedaan masalah-masalah yang unik dan umum (general) dapat dicuri
titik temunya dengan memilih antara : 1. interes pada keunikan suatu fakta, berarti
memisahkan dengan fakta-fakta lain atau mengabaikan titik persamaan antara fakta-fakta
tersebut. 2. Interes pada masalah kesamaan dalam fakta-faktanya dan mengabaikan pada
kenyataan yang berbeda. Jika perbedaan diantara fakta diabaikan, maka generalisasi yang
akan menjadi titik perhatiannya.
Nampaknya kecenderungannya sekarang, dua sifat ilmu itu (nomotetis dan idiodrafis)
saling melengkapi, karena tanpa terjalinnya hubungan maka keduanya tidak mempunyai arti
dan keduanya tidak akan memperoleh eksplanasi seperti yang diharapkan dalam dunia ilmu
pengetahuan.

Sebagai contoh, hubungan kerja sama interdisipliner ilmu sejarah dengan ilmu
sosiologi dewasa ini terjalin saling melengkapi. Sekalipun ilmu sosiologi metodologinya
lebih mementingkan masalah generalisasi, tetapi didalam penggarapan ia memerlukan pula
permasalahan-permasalahan yang unik dan bersifat historis. Demikian pula dalam sejarah,
sekalipun saran sejarah adalah hal-hal yang unik yaitu peristiwa yang hanya sekali terjadi dan
tidak berulang kembali (einmalig), tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang
umum. Untuk itulah maka dalam penggarapan sejarah diperlukan juga konsep-konsep untuk
mengkoseptualisasikan gejala sejarah. Penggarapan sejarah analitas sangat diperlukan teori-
teori dan konsep-konsep yang di pinjam dari ilmu-ilmu lain untuk mengorganisir data
historisnya. Demikian pulak penggunaan hipotesa dari suatu teori dalam penggarapan sejarah,
adalah hanya sebagai pegangan untuk mencari evidensi dan mengarahkan kemampuan
interpretasi. Penggarapan secara kritis terhadap data sejarah dimungkinkan bila menggunakan
peralatan metologis, dengan begitu studi sejarah analitis mampu memberikan deskripsi,
observasi dan eksplanasi terhadap sasarannya.

Menurut Berkhofer, bentuk eksplanasi dalam sejarah adalah eksplanandum dari


penemuan, pemahaman dan analisa dari ikat-mengikatnya sejumlah besar kenyataan
kemanusiaan. Pengertian ikatan itu adalah ikatan antara fenomena satu dengan fenomena
lainnya, untuk menjadi satu kesatun yang dapat dimengerti.

Kemudian tujuan, sintese sejarah adalah penggabungan perasaan sejarah, deskripsi


kronologi dan eksplanasi tentang tata kelakuan manusia. Gagasan Berkhofer merupakan
suatu pendekatan baru dalam sejarah, yang mencoba menenkankan pada eksplanasi untuk
melukiskan suatu pendekatan tata kelakuan manusia pada studi sejarah analitis.

Setelah diuraikan untuk eksplanasi sejarah, disimpulkan bahwa eksplanasi sangat


tergantung pada jenis permasalahan yang di pertanyakan. Apakah permasalahan itu
memerlukan eksplanasi dalam bentuk dekskriptif naratif atau deskriptif analitis, itu terserah
pada kemampuan penerapan teori metodologi penulis sejarah. Namun begitu eksplanasi
sejarah tidak bisa dipaksakan begitu saja seperti bentuk eksplanasi dalam bentuk sejarah seni,
karena bidang studi sejarah seni sangat mendasarkan pada hasil suatu sintesa yang paling
cekatan dari suatu deskripsi sejarah, sehingga eksplanasi menjadi tidak diperlukan lagi
demikian juga eksplanasi sejarah juga tidak begitu saja mudah menerima model gagasan
eksplanasi dalam ilmu pengetahuan alam sebagai proses deduksi dari hukum-hukum umum
yang telah dipersiapkan lebih dahulu, karena sifat penelitian sejarah adalah menjangkau
permasalahan yang unik. Oleh sebab itu muka bentuk eksplanasi sejarah adalah menjelaskan
dengan suatu deskripsi dan analisis yang kedua-duanya terikat pada konstruksi logis.

Rangkuman

Pada disiplin ilmu sejarah masalah eksplanasi menjadi suatu topik pembicaraan yang
dirasakan sangat serius bagi ahlinya. Persoalan yang amat urgen dibicarakan dalam bab ini
berkisar pada suatu polemik yang berkepanjangan antara visi sejarawan yang terpengaruh
oleh aliran nomothetis dengan sejarawan ideografis. Keduanya, bersama-sama bisa menerima
bahwa masalah eksplanasi dalam sejarah adalah merupakan bagian terpenting yang tidak bisa
dipisahkan dari factor metodologi sejarah, tetapi keduanya jelas-jelas dipisahkan oleh
perbedaan visi mereka masing-masing.

Buku acuan

1. Sartono Kartodirjo, Lembaran Sejarah No. 6, Jogjakarta seksi penelitian jurusan


sedjarah fak. Sastra & kebudayaan Universitas Gadjah Mada, 1970
2. Djoko Surjo, sekitar masalah sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, dalam bacaan sejarah
no. 4 Yogyakarta , jurusan sejarah Fak. Sastra& Kebudayan UGM, 1980
3. Robert F, Benkofer,Jr. Behavioral Approach to historical Analysis, the frec frens,
1971.
4. Patrick Gardiner, The Nature Historical explanation, New York : Oxford University
Frees, 1961.

Anda mungkin juga menyukai