Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

Filsafat Sejarah : Hakikat Sejarah , Sumber Prima Kuasa , Gerak dan Tujuan
Sejarah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Dosen Pengampu : Huddy Husin, M.Pd

Disusun Oleh :

Najwa Aleyda Yusuf 202015500341


Eliance Priskilla 202015500349
Hafizhah Nur Ulasari 202015500351
Husnul Khotimah AS 202015500355

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2022
Filsafat Sejarah : Hakekat Sejarah , Sumber Prima Kuasa , Gerak dan
Tujuan Sejarah

Mahasiswa Semester 5 , Program Studi Pendidikan Sejarah. Fakultas Ilmu Pendidikan Dan Pengetahuan Sosial,
Universitas Indraprasta PGRI, Jl. Raya Tengah No.80, RT.6/RW.1, Gedong, Kec. Ps. Rebo,
Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13760
email : husnulkhotimahas@gmail.com

ABSTRACT

Philosophy of History is a rapidly growing field of science , which examines past


knowledge , ontology of past events , language relations , on the past , and the nature of
representations from the past . This article aims to describe the history of reconstructing the
past through historical stories . So the visual graphic media was chosen to strengthen the
national awareness of the generation. The research method in this article is descriptive
qualitative. The results of the writing describe the process and results of using graphic visual
media that take pictures. It is hoped that with this article, history observers will be able to
implement history learning easily and be able to adapt to technological developments, but
without losing their identity as a cultured nation.

Key Word: Filsafat Sejarah : Hakikat Sejarah , Sumber Prima Kuasa , Gerak dan Tujuan
Sejarah.

ABSTRAK
Filsafat Sejarah itu bidang ilmu yang berkembang pesat , yang mengaji pengetahuan
masa lalu , ontologi peristiwa masa lalu , hubungan bahasa , pada masa lalu , dan sifat
representasi dari masa lalu . Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan sejarah membuat
rekontruksi masa lalu lewat cerita sejarah . Maka media visual grafis dipilih untuk
menguatkan kesadaran nasional generasi. Metode penelitian dalam artikel ini ialah deskriptif
kualitatif. Hasil penulisan mendeskripsikan proses dan hasil pengggunaan media visual grafis
yang memotret. Harapannya dengan artikel ini para pemerhati sejarah mampu
mengimplementasikan pembelajaran sejarah dengan mudah dan dapat menyesuaikan
perkembangan teknologi, namun tanpa kehilangan identitas sebagai bangsa yang
berbudaya.

Kata Kunci : Filsafat Sejarah : Hakikat Sejarah , Sumber Prima kuasa , Gerak dan
Tujuan Sejarah.

PENDAHULUAN

Salah satu kajian utama dalam filsafat sejarah adalah pembahasan tentang Filsafat
Sejarah : Hakikat Sejarah, Sumber Prima Kuasa, Gerak dan Tujuan Sejarah.
Historisitas (historycity) merupakan kata Inggris history yang berarti sejarah,
kata ini berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ilmu. Menurut
definisi yang umum kata history berarti masa lampau umat manusia (Gott
Schalk, 1957:27). Sejarah sangat berkaitan erat dengan pandangan manusia
tentang gerak sejarah itu sendiri dan peranan manusia dalamnya, pengertian ini
disebut juga dengan nama historisitas (kesejarahan). Hakikat sejarah terbagi pada
beberapa fungsi, yaitu menafsirkan, memahami, mengerti. Filsafat sejarah spekulatif
merupakan perenungan filsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat proses sejarah.
Filsafat sejarah spekulatif berusaha untuk memberikan penjelasan tentang
seluruh proses sejarah sebagai peristiwa. Tujuan utama dari filsafat ini adalah
mengungkap faktor-faktor menggerakkan proses sejarah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HAKIKAT SEJARAH
Sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya mempunyai filsafat ilmu,
permasalahan, dan penjelasan sendiri. Itulah hakikat dan intisari sebuah ilmu,
termasuk sejarah dan filsafat sejarah. Hakikat sejarah terbagi pada beberapa fungsi,
yaitu menafsirkan, memahami, mengerti. Dimulai dari kekhasan sejarah sebagai ilmu,
Wilhelm Dilthey (1833-1911) membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia
"luar" atau naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan ilmu tentang dunia "dalam"
atau geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan. humanities, human studies,
cultural sciences). Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan terdapat sejarah, ilmu ekonomi,
sosiologi, antropologi sosial, psikologi, perbandingan agama, ilmu hukum, ilmu
politik, filologi, dan kritik sastra."
Menurut Dilthey, pendekatan pada geisteswissenschaften adalah hermeneutics
(hermeneutikos [Yunani], tafsir, interpretasi). Hermeneutika adalah memahami "inner
context" dari perbuatan yang tidak dinyatakan dalam kata-kata pelaku itu sendiri.
Dilthey memberi contoh cara menafsirkan dialog Plato, sebuah dokumen tertulis.
Pertama-tama adalah (1) meletakkan dialog dalam sebuah "inner context" untuk
mengetahui latar belakang yang tersembunyi; kemudian (2) mengadakan interpretasi
atas perkataan-perkataannya untuk mengetahui afiliasi politik, kekuatan, serta
kelemahannya.
Dilthey berpandangan bahwa (1) manusia hanya bisa dipahami melalui konsep
tentang hidup (life), tidak dari konsep-konsep abstrak naturwissenschaften, dan (2)
manusia adalah makhluk yang menyejarah, karenanya hanya dapat diterangkan
melalui sejarahnya. Menurutnya, "Seperti apa saja bentuk hidup itu, sejarah akan
memberi tahu kita." Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejarah dan
geisteswissenschafen sebenarnya bertumpu pada metode yang sama, yaitu verstehen."
Verstehen adalah pengalaman "dalam" yang menembus jiwa dan seluruh
pengalaman kemanusiaan. Olah karena itu, pengertian kita tentang suatu institusi,
hukum, teori, karya seni, nilai adalah "membuka" struktur yang ada di belakang
kertas, tinta, batu, dan semua barang kultural buatan manusia. Hal-hal tersembunyi itu
dapat "dimengerti" meskipun tidak dapat diterangkan. Sejarah tidak pernah menjadi
dimensi "luar", tetapi selalu dijalani sebagai kesadaran.
Verstehen atau understanding adalah usaha untuk "meletakkan diri" dalam diri
yang "lain" Tidak ada verstehen tanpa memahami kompleks makna-emosi-nilai yang
ada. Verstehen adalah mengerti "makna yang ada di dalam mengerti subjective mind
dari pelaku sejarah.
Kekhasan ilmu sejarah itu jelas, yaitu harus ada pendekatan khusus untuk
menerangkan gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan).
Pendekatan yang digunakan untuk naturwissenschaften tidak sesuai dengan hakikat
geistes-wissenschaften. Abrasi pantai, tanah longsor, banjir bandang, dan peristiwa
alam yang lain memang dapat di "analisis tentang sebab-akibat yang pasti berdasar
teori ilmu yang diperoleh secara kumulatif. Demikian pula halnya dengan gejala
teknik, kedokteran, astronomis, peternakan, geologi, dan sebagainya, tidak sesuai
dengan sejarah Istilah "penjelasan memadai untuk menerangkan gejala sejarah.

Hakikat sejarah lain adalah bahwa sejarah memanjang dalam waktu, dan terbatas
dalam ruang waktu. Ada satu aspek sejarah yang dilupakan Dilthey sejarah adalah
proses, sejarah adalah perkembangan. Kekurangan itu dalam perjalanan disiplin ilmu
sejarah digenapi John Galtung dalam Theory and Method of Social Research.
Menurut Galtung, sejarah adalah ilmu diakronis (diachronic, dia [Latin,
melalui) dan chronicus [Latin, waktu]), sedangkan ilmu sosial yang lain adalah ilmu
sinkronis (synchronic, syn [Yunani, bersamaan) dan chronicus [Latin, waktu]).
Sejarah disebut ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala gejala yang memanjang
dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Sebaliknya, ilmu sosial lain
(sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, antropologi) adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu
yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu yang
terbatas.
Hakikat sejarah lainnya adalah bahwa sejarah: menuturkan gejala tunggal.
Sejarah, sebagaimana social science yang lain, mempunyai penceritaan (description)
dan penjelasan (explanation). Akan tetapi, sejarah berbeda dengan ilmu sosial lain.
Dalam penceritaan, sejarah bersifat menuturkan gejala tunggal (ideographic,
singulahzing), sedangkan ilmu sosial lain menarik hukum umum (nomothetic,
generalizing). Perinciannya adalah sejarah menuturkan suatu objek atau ide
(ideographic; idea [Yunani, ide] dan graphein [Yunani, menulis]) dan mengangkatnya
sebagai gejala tunggal (singularizing, singulars [Latin, tunggal]). Sementara itu, ilmu
sosial lain bermaksud menarik hukum (nomo-thetic; nomos [Yunani, hukum), dan
tithenei [Yunani, menegakkan]), karenanya mengangkat gejala-gejala yang umum
(generalizing, generalis [Latin, umum]). (Wilhelm Windelband menyebutnya
ideographic [menuturkan gejala unik, individual, tersendiri] dan nomothetic [menarik
hukum])."
Contoh topik (fiktif) memperjelas perbedaan itu. Topik untuk sejarah,
misalnya "Revolusi Indonesia, 1945-1949", "Revolusi Prancis, 1789", "PRRI", dan
"Tragedi Tanjung Priok". Hal apa pun yang dituturkan oleh sejarawan hanya berlaku
secara khusus bagi Revolusi Indonesia, Revolusi Perancis, PRRI, dan Tragedi
Tanjung Priok, tetapi tidak bagi peristiwa lainnya, apalagi bagi semua revolusi dan
peristiwa berdarah. Topik untuk ilmu sosial lain, misalnya "Industrialisasi dan
Mobilitas Sosial", "Ketimpangan Ekonomi dan Radikalisme Politik": "Masyarakat
Petani", "Binatang Ekonomi", "Masyarakat Industrial" dan "Manusia Politik" Dalam
semua topik itu, orang ingin meng generalize atau dengan kata lain, ingin membuat
teori tentang mobilitas sosial, radikalisme, petani, perilaku pelaku ekonomi,
masyarakat industri, dan pribadi para politisi. Lebih lanjut, Kuntowijoyo menguraikan
bahwa dalam sejarah historiografi, ada approchment antara ilmu sejarah dan ilmu
sosial, sehingga penjelasan tentang hakikat ilmu sejarah di atas tidak sepenuhnya
berlaku Sekalipun demikian, hakikat ilmu sejarah sangat perlu diketahui justru agar
kita mengetahui bahwa ilmu sejarah mempunyai raison d'etre sendiri Aliansi-aliansi
bisa dilakukan, tetapi sejarawan harus sadar bahwa dia sedang menulis sejarah."
Hakikat sejarah dapat dilihat dari kaidah penjelasan sejarah, seperti (1)
regularity (Gardiner); (2) generalisasi (McCullagh); (3) memakai inferensi
(kesimpulan) statistik dan metode statistik (McCullagh); (4) pembagian waktu dalam
sejarah, yaitu longue duree (jangka panjang, waktu geografis), conjonture, (siklus
jangka pendek, waktu sosial) dan histoire evene mentielle (peristiwa) seperti
dikemukakan oleh Fernand Braudel; (5) penjelasan sejarah juga terdapat dalam
sejarah naratif, sejarah deskriptif, atau sejarah yang bercerita (verhalende
verklahngsmodel); dan (6) penjelasan bersifat multi-interpretable, bergantung pada
perspektif sejarawan (perspectivism) (Lorenz). Penjelasan keenam pokok tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama regularity (keajegan, keteraturan, konsistensi) Regularity adalah cara
menjelaskan hubungan kausal antarperistiwa Menurut Gardiner, "Kalau peristiwa C
terjadi, peristiwa E yang berhubungan dengan peristiwa C itu akan terjadi." Akan
tetapi, menurut Gardiner selanjutnya, dalam kausalitas sejarah terhadap ceteris
paribus (dalam hal keadaan yang lain sama, sama pula kejadiannya, dan sebaliknya
dalam hal keadaan yang lain berubah, berubah pula kejadiannya) dan keterbukaan.
Kalau ada kekosongan otoritas, terjadilah anarki. Itulah yang terjadi pada Mei 1998 di
Indonesia, yaitu pembakaran, dan konon pemerkosaan, dan yang terjadi d Baghdad
pada April 2003, seperti penjarahan gedung-gedung pemerintah, toko-toko, bahkan
rumah sakit."
Secara kontekstual, dalam pengertian penafsiran bebas, kata regularity yang
aslinya merupakan penjelasan antar-peristiwa yang mengandung prediksi sejarah
bermakna penjelasan dalam-peristiwa (inner coherence) Artinya, secara ajeg, gejala-
gejala akan muncul di mana saja terjadi suatu peristiwa. Contoh di Indonesia adalah
penjelasan sejarah tentang sebab musabab Revolusi Indonesia. Sekali diterangkan
bahwa revolusi itu adalah revolusi pemuda, di semua tempat, peristiwa harus
disebabkan oleh pemuda, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di tingkat pusat ada
gerakan pemuda Menteng (Peristiwa Rengas Dengklok), sedangkan di daerah-daerah
ada Pesindo, BPRI, Hizbullah, Angkatan Muda Kereta Api, dan sebagainya. Adanya
perkecualian, misalnya Sabilillah (gerakan kiai kiai tua) di samping Hizbullah, tidak
menggugurkan tesis bahwa revolusi Indonesia adalah revolusi pemuda. Contoh lain
adalah Revolusi Prancis (1789) yang merupakan revolusi borjuis, Civil War di
Amerika (1861-1865) adalah perang budak antara industrialis di Utara dan tuan tanah
di Selatan, Revolusi Rusia (1917) adalah revolusi proletar, dan revolusi Cina (1949)
adalah revolusi petani Demikianlah, kita akan memakai regularity-versi kita- terutama
ketika menerangkan penjelasan kausal dan sebenarnya semua penjelasan sejarah
memerlukan regularity di dalamnya ".
Kedua, generalisasi Generalisasi adalah persamaan karakteristik tertentu.
Menurut McCullagh, "Suatu bagian yang menjadi ciri sebuah kelompok, juga menjadi
ciri dan kelompok lain pula Generalisasi akan muncul dalam beberapa penjelasan
sejarah Generalisasi konseptual, sebagaimana terdapat di dalam setiap intellectual
construct, baik dalam ilmu sejarah maupun ilmu sosial lain. Konsep-konsep sejarah,
seperti "feodalisme", "puritanisme", dan "pergerakan nasional", atau konsep konsep
ilmu sosial, seperti "kelas", "mobilitas sosial", atau "masyarakat petani", semuanya
mengandung generalisasi konseptual semacam itu.
Ada yang disebut generalisasi kausal atau hukum sejarah-yang tidak
dibicarakan di dalam buku ini. Hukum sejarah terdapat dalam buku-buku Arnold J.
Toynbee. Toynbee secara "empiris" mempelajari 19 (atau 21) peradaban, dan
mengaku telah menemukan "hukum" sejarah. "Hukum" sejarah itu adalah challenge-
response yang ada dalam karya monumentalnya, A Study of History (12 jilid ditulis
pada 1933-1961 dengan ringkasan oleh D. C. Somervell dalam 2 jilid); dan "hukum"
sejarah yang ada dalam buku kecil The World and the West (Hukum Radiasi
Peradaban). Ada pula, generalisasi kausal atau, hukum sejarah yang disebut covering
law model (hukum yang serba-mencakup) sebagaimana dikehendaki oleh Carl G.
Hempel. Hempel terlalu filosofis, abstrak, dan memakai ilmu-ilmu alam (deduktif-
nomologis) sebagai model penjelasan, sehingga tidak sesuai. dengan hakikat ilmu
sejarah yang termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan”.
Ketiga, inferensi statistik, metode statistik. Inferensi statistik dan metode
statistik menjadi andalan dalam generalisasi. Keduanya akan muncul dalam
penjelasan sejarah kuantitatif. Berikut ini contoh-contoh yang diberikan oleh
McCullagh sebagaimana dikutip Kuntowijoyo."
G. Kitson Clark dalam buku The Making of Victorian England (1962)
melakukan koreksi atas salah-pandang masyarakat Inggris. Orang Inggris selalu
melihat bahwa pada Zaman Victoria, Inggris merupakan masyarakat religius. Akan
tetapi, kesimpulan dan metode statistik ternyata berkata lain. Berdasarkan sensus pada
Maret 1851, kurang dari separuh penduduk Inggris mengunjungi gereja pada hari
Minggu.
Keempat, pembagian waktu dalam sejarah. Pembabakan waktu dalam sejarah
akan muncul dalam penjelasan sejarah dengan periodesasi Standar untuk periodesasi
adalah (a) waktu sejarah yang hampir tak berubah, yaitu waktu geografis (sejarah
jangka panjang, longue duree). Di situ, manusia berhubungan dengan lingkungan
alam, dan sejarah bergerak berulang-ulang, terus-menerus memperbarui diri. Sejarah
menulis benda-benda mati, seperti laut, kekayaan alam, flora, dan fauna. Benda benda
mati membeku pada musim dingin, burung-burung bermigrasi pada musim semi,
kapal-kapal berlayar menurut musimnya, produk-produk pertanian diperjualbelikan,
(b) di atas permukaan sejarah yang hampir hampir tak berubah itu, ada waktu sosial
(siklus jangka pendek, conjoncture, conjuncture). Sejarah bergerak dalam ritme yang
lembut, munculnya kelompok-kelompok, dibangunnya dinasti-dinasti, dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan; (c) sejarah bergerak cepat dan silih-berganti; ada
perang dan damai, ada menang dan kalah. Itulah yang disebut sebagai sejarah
peristiwa (ihistoire evenementielle),"
Kelima, narrative history. W.H. Walsh mengatakan bahwa sejarah adalah
sebuah colligation (pengikat bersama) dari sebuah urutan (sequence). Pendapat ini
sesuai dengan apa yang disebut Lorenz, dalam studinya De Constructie von net
Verleden, sebagai verhalende verklaringsmodel (model penjelasan sejarah bercerita).
Dalam model ini, masalah kausalitas dan penjelasan sejarah dengan bantuan teori
sosial dikesampingkan. Lorenz, J. G. Droysen-seorang filsuf ilmu sejarah Belanda-
berpendapat bahwa menulis sejarah adalah persoalan kontinuitas, doorlopend proces.
Pendapat Droysen itulah yang dipakai juga oleh Johan Huizinga, sejarawan
kebudayaan Belanda yang mendunia. Bagi Huizinga, sejarah adalah cerita mengenai
masa lalu Tugas sejarawan adalah menyusun bersama secara teratur (samen hangen).
Susunan yang teratur itu tidak terdapat dalam gejala sejarah, tetapi justru menjadi
tugas sejarawanlah untuk membuatnya teratur sejarawan merekonstruksi kembali
masa lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan lainnya, sehingga terbentuklah
sebuah cerita. Sejarawan adalah arsitek bangunan sejarah, dan menjadikan pembaca
cerita sejarah "tergugah, merasa, dan mengalami" Sejarawan itu mirip sutradara
drama sebab sejarah mempunyai "elemen epis-dramatis" Oleh karena itu, sejarah
deskriptif. naratif sebenarnya juga sebuah explanation."
Keenam, multi-interpretable bahwa ilmu sejarah yang dipahami sebagai
menafsirkan, memahami, dan mengerti, cukup menjelaskan adanya subjektivisme dan
relativisme dalam penjelasan sejarah. Jadi, tidak ada objektivitas dalam sejarah.
Masalah objektivitas dan subjektivitas dalam sejarah akan tetap jadi perdebatan para
ahli filsafat ilmu. Akan tetapi, sejarah adalah ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu alam.
Selalu ada unsur manusianya sehingga tidak bisa objektif, seperti ilmu alam.
Permintaan Leopold von Ranke (1795-1886) supaya sejarawan menulis sejarah
"sebagaimana telah terjadi sebenarnya" ("wie es eigentlich gewesen", "as it actually
was") merupakan impian yang tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan, sejarawan
dalam kerja sehari-hari tidak pernah berpikir apakah tulisannya objektif atau subjektif.
Bagi sejarawan, tidak ada sejarawan yang objektif dan subjektif, tetapi yang ada
adalah sejarawan yang baik dan sejarawan yang jelek.
"Multi-interpretable" itu misalnya, terlihat dalam mencari sebab musabab
Civil War di Amerika. Sampai tahun 1942, Social Science Research Council mencatat
perbedaan-perbedaan tersebut. Sebelum Perang Dunia Pertama, ada tiga pendapat,
yaitu conspiracy theory dari adanya devils in history, hak-hak konstitusional, dan
perbudakan. Sesudah itu, ada penjelasan politik, ekonomi, dan sosial."
Demikian juga, dalam sejarah diplomasi, yaitu mengenai asal-usul Perang
Dingin (Cold War). Thomas G. Paterson mengumpulkan kontroversi itu dalam The
Origins of the Cold War. Selanjutnya, ada perbedaan yang sangat jelas antara
konservatisme dan radikalisme dalam diplomasi. Kaum konservatif adalah para
pengambil keputusan, dan para radikalis adalah kaum intelektual. Bagi kaum
konservatif, esensi diplomasi adalah kekuasaan dan peran Amerika-dengan perubahan
dalam strategi dan metode. Berbeda halnya dengan pandangan para radikatis yang
melihat diplomasi sebagai tragedi dan martabat Amerika. Diplomasi konservatif dapat
dibaca dalam Frank J. Merli dan Theodore A. Wilson (Eds.), Makers of American
Diplomacy From Theodore Roosevelt to Henry Kissinger, sedangkan pandangan
radikal dapat dibaca pada buku William Appleman William, The Tragedy of
American Diplomacy, dan buku Howard Zinn, The Postwar America 1945-1971
Apa yang dapat dipahami dari hakikat sejarah adalah sejarawan itu harus jujur,
tidak menyembunyikan data, dan bertanggung jawab terhadap keabsahan data-
datanya. Di sinilah, hakikat sejarah akan muncul dan terbuka.

B. SUMBER PRIMA CAUSA GERAK DAN TUAN SEJARAH


Filsafat sejarah spekulatif yaitu suatu perenungan filsafati mengenai tabiat
atau sifat-sifat gerak sejarah.
Menurut Ankersmit (1987:17), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi
kajian filsafat spekulatif yaitu pola gerak sejarah, motor yang menggerakkan proses
sejarah, dan tujuan gerak sejarah. Cara kerja seorang filsuf sejarah spekulatif berbeda
dengan cara kerja peneliti sejarah. Bagi filsuf sejarah spekulatif Hanya berupa titik
permulaan.
Bagi filsuf secara spekulatif mengetahui bagaimana proses sejarah terjadi, dan
ingin menemukan suatu arti atau kecenderungan lebih dalam di dalam proses ini.
Manusia sering merasa tidak puas dengan pemaparan dan penjelasan mengenai proses
sejarah yang terjadi, manusia juga ingin memberikan suatu arti masa lalu, sehingga
memperoleh suatu makna.
Ada yang berpendapat bahwa makna gerak itu berkembang ke arah kebebasan,
keadilan terealisasian kehendak tuhan kemajuan ke arah penegakan kehendakan
manusia, dan sebagainya. Kaum materialis mempercayai pendapat mereka merujuk
Segala perubahan historis pada kondisi-kondisi ekonomis dan bentuk serta sarana
produksi dalam masyarakat mereka menyatakan adanya determinisme historis. Para
filsuf idealis yang menolak determinisme sejarah dan menyatakan bahwa manusia lah
yang menggerakkan sejarah.

2. Sumber
Sejarah adalah sejarah manusia peran sejarah hanya manusia, penulis dan
peminat sejarah Juga Manusia, Maka manusia adalah inti dari permasalahan. Dapat
dimengerti bahwa munculnya masalah itu dipandang akibat manusia itu sendiri.
1. Manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, disebut International otonom.
2. Manusia tidak bebas menentukan nasibnya, disebut heteronom.

Manusia otonom istilah filsafat disebut indeterminisme, sedangkan heteronom


disebut determinisme. penentu nasib manusia adalah:
1. Alam sekitar beserta isinya;
2. Kekuatan X (tidak dikenal);
3. Tuhan.
Menurut para filsuf sejarah pengikut metode kontemplatif terdapat tiga pola
gerak di mana sejarah berjalan sesuai dengannya, yaitu:
1. Sejarah berjalan menelusuri garis lurus lewat jalan kemajuan yang mengarah ke
depan atau kemunduran yang bergerak ke belakang.
2. Sejarah berjalan dalam daur kultural yang dilalui kemanusiaan, baik daur saling
terputus, dan dalam berbagai kebudayaan yang tidak berkesinambungan atau daur-
daur itu saling berjalin dan berulang kembali.
3. Gerak sejarah tidak selalu mempunyai pola-pola tertentu. Para filsuf sejarah sendiri
sering mencampur-adukkan ketiga pola ini dalam menginterpretasikan gerak sejarah.

C. GERAK SEJARAH DAN TUJUANNYA


1. Gerak Sejarah Maju
Ide gerak sejarah sering dikemukakan para filsuf yang cendrung mengukuhkan
perbuatan manusia dan pencapaiannya dalam sejarah . Pada akhir abad ke-19 ,yaitu
pada waktu terjadi polemik antara para pengikut sastrawan dan kritis lama dangan
sastrawan dan kriris baru . Untuk mempertahankan sikap para pengikut sastrawan dan
kritis baru menuduh bahwa para pengikut sastrawan dan kritis lama telah terperosok
dalam khayalan pengukuran yang keliru , pada waktu memandang orang-orang yang
lebih dulu dari mereka sebagai orang-orang yang lebih kuat pikirannya . semakin
manusia dewasa , kebijakannya pun semakin matang dan rasional . Kemanusiaan
yang bersama perjalanan zaman semakin mengarah pada kemajuan . Apabila manusia
terdahulu mempunyai kelebihan dalam keterdahuluannya , manusia mempunyai
kelebihan dalam kesempurnaannya .
Sejak awalnya kemunculannya , teori kemajuan erat terkaitnya dengan ilmu
pengetahuan , atas kemujuan yang diraih kemanusiaan dalam sebagian ilmu
pengetahuan , yang membuat tersingkapnya sebagian hal yang tidak diketahui
sebelumnya , hasilnya adalah masa pencerahan dengan optimisme dan rasa percaya
terhadap masa depan yang erat berkaitan dengannya . Teori kemajuan dideskripsikan
oleh para pendukungnya sebagai suatu proses akumulatif sepanjang masa . oleh karna
itu , orang-orang zaman modern , dengan sarana dan ilmu pengetahuan yang memiliki
lebih maju dari pada orang-orang zaman dahulu dibidang ilmu pengetahuan dan
industri . Kemajuan adalah filsafat optimistis yang memandang kesempurnaan
manusia sebagai hal yang tidak terbatas dan sejarah manuasia bergerak maju bahwa
pengetahuan manusia menjadi semakin berkembang dan semakin mendekati tujuan
akhir masyarakat manusia , yaitu terealisasikannya kebebasan , kesempurnaan , dan
penguasaan sepenuhnya atas alam .
Dalam filsafat comte , kemajuan klarifikasikan menjadi tiga , yaitu kemajuan
intelektual , kemajuan mareriil , dan kemajuan moral . filsafat comte itu terpengaruh
oleh ide perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam , juag menggunakan sejarah
dalam kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang
dilaluinya . Landasan apakah yang bisa dipakai untuk memandang bahwa alam adalah
maju terus ke arah satu tujuan ? dipecahkan Hegel dengan mengadakan pemilihan
yang ketat antara sejarah yang dipandangnya maju dan alam yang kehilangan corak .
2. GERAK SEJARAH MUNDUR
Sebagian ahli ide menganut gerak maju kemanusiaan kedepan , sebagian lagi
menyatakan bahwa kemanusiaan bergerak mundur , ide gerak mundur histiris ini
tidak diperbincangkan banyak filsuf , tidak seperti halnya dalam kelangan awam
sering memunculkan keluhan terhadap zaman masa lalu dengan kebaikan , kejaan ,
dan keutamaan yang dimilikinya .
Pesimisme histori ini dari perasaan manusia yang merasakan kebrutalan
masanya dan runtuhnya nilai-nilai estetis dan atis dalam kalangan banyak orang ,
diantara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan yang terjadi peperangan
yang menghancurkan sirnannya harapan atas perdamaian dan pereliasasian
kemakmuran yang selalu berulang dan sikap para tokoh agama yang terhadapkritik
sosial atas etika masa yang sedang berlangsung . Pasimisme mendominasi pandangan
sejumlah filsuf , seperti halnya Spengler dan Albert Schweitzer , yang memandang
kebudayaan modern sebagai alam industrial dan mekanistis yang hampa dari
semangat , kehidupan , dan nilai – nilai moral . Pasimisme dalam konsepsi tentang
gerak sejarah ini tidak hanya sebatas dalam kalangan orang-orang yang memiliki
kecendrungan romantis , juga memengaruhi sebagian kaum sosialis . Pasimisme
dalam memahami sejarah seperti substansinya mengandung penghancur konsepsi
kemajuan seperti yang dikenal , tidak menyatakan secara terang-terangan gerak
sejarah yang mundur sebab ia mengungkapkan sirnanya keyakinan atas keintegralan
rasio manusia , kesempurnaannya , dan kemampuannya untuk berhasil
mengaktualisasikan diri dan berkembang , yaitu keyakinan yang begitu besar daya
tarik dan pengaruhnya selama abad-abad pertama zaman modern .
Sebagian penutupan , ide gerak sejarah yang mundur menuju kehancuran ,
bahwa seorang peneliti yang jujur tidaklah membatsi perjalanan tertentu dari
kebudayaan bahwa ia bergerak maju kedepan atau mundur kebelakang . Karna setiap
kebudayaan mengalami kemajuan atau kumunduran sebab masa lalunya tidak selalu
bisa menjadi indikator masa depannya dan penguasaan intelektualnya terhadap alam
pun tidak selalu menunjukkan kemampuannya yang menyeluruh .
3. GERAK SEJARAH DUAR KULTUR
Teori kultural merupakan salah satu teori para pengasas filsafat kontemplatif
sejarah , yaitu konsepsi tentang gerak sejarah biasanya tidak lepas dari upaya untuk
menyingkapkan pola dan watak ritmenya . Kelompok yang menganut ide gerak
sejarah yang maju atau mundur , seperti telah di uraikan , ada kelompok yang
menyatakan bahwasejarah mempunyai daur kultur yang mengulang kembali dirinya
sendiri dalam satu bentuk lainnya . Ibn Khaldun , Vico , Spengler , dan Toynbee di
pandnag sebagai para tokoh teori mereka tidak seiring pendapat mengenai perincian
teori dan dimensi-dimensi sosial , historis , dan filosofinya .
Tujuan gerak sejarah adalah terwujudnya kehendak tuhan , yaitu Civitas Dei
atau kerajaan Tuhan . Apabila Civitas Dei itu menjadi wujud belum diketahui , yitu
sebelum dan sesudah kiamat , nyatalah bahwa Tuhan akan mengadakan pemilihan .
Barang siapa menentang kehendak Tuhan akan menjadi penduduk neraka .

DAFTAR PUSTAKA

Moeflih Hasbullah dan Dedi Supriyadi, 2012. Filsafat Sejarah, Bandung:


CV Pustaka Setia.
Kuntowijoyo, 2008 , Penjelasan Sejarah , Yogyakarta : Tiara Wacana.
Munir, M. (1997). Historisitas dalam Pandangan Filosof Barat dan Pancasila: Refleksi
Kritis terhadap Makna Pembangunan Indonesia. Jurnal Filsafat, 1(1), 125-148.

Anda mungkin juga menyukai