Dalam Buddhānussati, direnungkan sembilan sifat-sifat luhur dari Buddha. Kesembilan sifat
Buddha tersebut adalah maha suci (arahaṁ), telah mencapai penerangan sempurna
(sammāsambuddho), sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya (vijjācaraṇa-sampanno),
sempurna menempuh jalan ke Nibbāna (sugato), pengenal semua alam (lokavidū), pembimbing
manusia yang tiada taranya (anuttaropurisadammasārathi), guru para dewa dan manusia
(satthādeva-manussānaṁ), yang sadar (buddho), yang patut dimuliakan (bhagavā).
Dalam Dhammānussati, direnungkan enam sifat-sifat luhur dari Dhamma. Keenam sifat Dhamma
itu telah dibabarkan dengan sempurna (svākkhāto), terlihat amat jelas (sandiṭṭhiko), tak bersela
oleh waktu (akāliko), mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko), patut diarahkan ke dalam batin
(opanayiko), dapat dihayati oleh para bijaksana (paccataṁveditabbo viññūhi).
Dalam Saṅghānussati, direnungkan sembilan sifat-sifat luhur dari Saṅgha. Kesembilan sifat adalah
saṅgha siswa telah bertindak baik (supaṭipanno), bertindak lurus (ujupaṭipanno), bertindak benar
(ñāyapaṭipanno); bertindak patut (sāmīcipaṭipanno); patut menerima pujaan (āhuneyyo), patut
menerima suguhan (pāhuneyyo), patut menerima persembahan (dakkhineyyo), patut menerima
penghormatan (añjalikaraṇīyo), ladang untuk menanam jasa yang tiada taranya bagi makhluk
dunia (anuttaraṁ-puññakkhettaṁ lokassa).
Dengan merenungkan dan memahami kualitas-kualitas luhur dari Buddha, Dhamma, dan Saṅgha,
maka keyakinan akan menjadi kokoh pada agama Buddha, dan di dalam Ratana Sutta dijelaskan
bahwa di alam ini atau di alam lain tidak ada permata yang setara dengan permata Buddha,
Dhamma, dan Saṅgha. Artinya keyakinan yang kita pilih dan miliki saat ini tidak ada bandingnya
dengan apapun yang ada di dunia ini.
2 Menjelaskan penghormatan dalam agama Buddha patut / pantas untuk dijalankan masa
sekarang
Puja adalah upacara pemujaan atau penghormatan kepada sesuatu atau benda yang dianggap suci
maupun keramat. dalam Agama Buddha, kata Puja berbeda arti, makna, cakupan, serta
penulisannya. Dalam agama Buddha ditulis Pūjā yang artinya menghormat.
- 1. Amisa Puja
artinya menghormat dengan materi atau benda, misalnya memuja dengan
mempersembahkan bunga, lilin, cendana/dupa, dll.
- 2. Patipati Puja artinya menghormat dengan melaksanakan ajaran (Dhamma),
mempraktekkan sila, samadhi, dan panna.
Sikap fisik dalam melaksanakan Puja :
Anjali
Yaitu merangkapkan kedua belah tangan di depan dada, membentuk kuncup bunga teratai, baik
dalam posisi berdiri, berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila.
Namaskara
Yaitu bersujud tiga kali dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku, telapak tangan)
menyentuh lantai, dengan disertai sikap anjali dan membaca parita Namaskara-Gatha.
Padakkhina (pradaksina)
Dengan tangan beranjali beranjali mengelilingi objek pemujaan dengan searah jarum jam (dari kiri
ke kanan) sebanyak tiga kali. dan pikiran terpusat pada TRIRATNA
Utthana
Memberi penghormatan dengan datang menyambut
Samicikamma
Memberi penghormatan sambil memberi pertolongan kepada orang lain tanpa perlu di minta
3 Menjelaskan symbol symbol dalam agama Buddha dan makna yang terkandung
didalmny
Buddha rupang adalah simbol dari ketenangan batin.
Lilin merupakan simbol dari cahaya atau penerangan batin yang akan melenyapkan kegelapan
batin dan mengusir ketidaktahuan (avijja)
Dupa Simbol dari keharuman nama baik seseorang. Bau wangi dupa yang dibawa angin akan
tercium di tempat yang jauh, namum tidak dapat tercium di tempat yang berlawanan dengan arah
angin. Begitu juga dengan perbuatan manusia yang baik akan diketahui oleh banyak orang, tetapi
perbuatan tidak baik dimanapun berada juga akan diketahui oleh orang lain.
1. Biru (Nīla) dari warna rambut Sang Buddha melambangkan bakti atau pengabdian,
2. Kuning emas (Pīta) dari warna kulit Sang Buddha melambangkan kebijaksanaan,
3. Merah tua (Lohita) dari warna darah Sang Buddha melambang cinta kasih,
4. Putih (Odāta) dari warna tulang dan gigi Sang Buddha melambang kesucian,
5. Jingga (Manjesta) dari warna telapak tangan, kaki dan bibir Sang Buddha yang
melambangkan semangat,
6. Gabungan kelima warna di atas (Prabhasvara) melambangkan gabungan kelima faktor
yang tersebut di atas (makna sebenarnya istilah Prabhasvara adalah bersinar sangat
terang atau cemerlang).
Agar bisa bermeditasi dengan baik, carilah tempat yang tenang supaya Anda bisa
berkonsentrasi, misalnya di kamar tidur atau tempat lain yang bebas gangguan.
Matikan dahulu ponsel, televisi, musik, dan sumber bunyi yang mengalihkan
perhatian.[14]
Duduklah dengan postur yang nyaman. Anda boleh duduk bersila di lantai atau menggunakan
matras yang lembut. Jika terasa kurang nyaman, Anda boleh berlutut atau duduk di kursi.
Jika sudah menemukan posisi duduk yang nyaman, tegakkan punggung, arahkan wajah
lurus ke depan, rilekskan wajah, kedua lengan, dan bahu.[15]
Letakkan telapak tangan di atas paha atau jalin jari tangan seperti sedang berdoa.
Pejamkan mata. Apabila terasa kurang nyaman, Anda boleh bermeditasi sambil membuka mata
atau setengah terpejam terutama jika Anda baru pertama kali bermeditasi. Pilihlah postur dan
suasana yang nyaman supaya Anda bisa bermeditasi dengan baik.
Jika ingin bermeditasi sambil membuka mata atau setengah terpejam, arahkan tatapan
mata ke bawah dan fokuskan pada objek tertentu yang berada 1-1,5 meter di depan
Anda.[16]
Perhatikan irama napas. Salah satu aspek yang sangat penting saat bermeditasi adalah
berfokus pada napas sambil memperhatikan aliran udara yang mengalir masuk dan keluar
melalui lubang hidung. Anda tidak perlu bernapas dengan teknik tertentu.
Berfokuslah pada napas supaya Anda bisa berkonsentrasi pada kekinian tanpa
mengarahkan pikiran pada hal tertentu.
Meditasi juga membantu Anda memusatkan pikiran dan menyadari apa yang sedang
terjadi. Berfokus pada tarikan dan embusan napas merupakan cara tepat untuk
menenangkan diri dan menyadari kekinian.[17]
Biarkan pikiran muncul dan berlalu begitu saja. Salah satu tujuan utama meditasi adalah
menjernihkan pikiran dan merasakan ketenangan. Mulailah bermeditasi dengan membiarkan
pikiran bermunculan dan menghilang dengan sendirinya tanpa memikirkan apa pun. Apabila
Anda tersadar sedang memikirkan sesuatu, arahkan lagi perhatian pada napas.
Lakukan meditasi lebih kurang 15 menit sehari selama minggu pertama. Kemudian,
tambahkan durasinya 5 menit setiap minggu sampai Anda bisa bermeditasi selama 45
menit setiap hari.[18]
Aturlah pewaktu supaya Anda tahu bahwa meditasi sudah selesai.
“Dhamma yang telah dinyatakan sendiri (dengan sempurna) oleh Sri Bhagavā, terlihat di sini dan
saat ini, tidak bergantung pada waktu, mengundang untuk dilihat, mengarah menuju kemajuan,
dipahami secara pribadi oleh para bijaksana.” (Pali: svākkhāto bhagavatā dhammo sandiṭṭhiko
akāliko ehipassiko opanayiko paccattaṃ veditabbo viññūhī’ti)[4]
Sifat “ehipassiko” menunjukkan bahwa Dhamma mengundang untuk dilihat atau diverifikasi
(diperiksa) untuk mendapatkan konfirmasi kebenarannya oleh diri sendiri. Sedangkan sifat
“paccattaṃ veditabbo viññūhī” menunjukkan bahwa Dhamma bersifat personal, bisa dipahami,
ditembus, direalisasikan hanya oleh diri sendiri, dan ini membutuhkan “kecerdasan” dan
penyelidikan yang berkelanjutan.
Sifat keterbukaan dari Dhamma juga disampaikan oleh Sri Buddha dalam Alagaddūpama Sutta[5]
yang menyatakan, “Para bhikkhu, demikianlah Dhamma yang telah dinyatakan sendiri (dengan
sempurna) oleh-Ku tersebut adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambal sulam.” (Pali:
‘‘Evaṃ svākkhāto, bhikkhave, mayā dhammo uttāno vivaṭo pakāsito chinnapilotiko.“).[6]
Prinsip ehipassiko ini menjadi salah satu ajaran yang membedakan antara ajaran Buddha dengan
ajaran lainnya. Salah satu sikap dari Sri Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan
kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara diri-Nya
dengan suku Kalama berikut ini:
“Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang,
koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan,
penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan,
atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri,
`Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-
hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah
selayaknya kalian menerimanya.”[8]
Prinsip untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah
bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika
dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu
sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran.
Prinsip ehipassiko yang mengedepankan verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan oleh diri
sendiri, memicu seseorang untuk berpikir kritis dan juga memiliki kemantapan yang lebih baik
dalam menerima kebenaran karena ia telah melihat, mengalami, menyaksikannya dengan mata
kepala sendiri, dibandingkan dengan orang yang tidak menerapkan prinsip ini dan hanya
berdasarkan pada rasa percaya.
Setelah seseorang menerima kebenaran dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan
oleh diri sendiri secara kritis, maka muncullah saddhā (Skt: śraddhā) yaitu keyakinan berdasarkan
pengetahuan dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan. Dan saddhā ini menjadi
sarana awal yang penting untuk pengembangan batin selanjutnya.
Prinsip ehipassiko sering diartikan sebagai ”datang dan buktikan sendiri” sehingga sebagian orang
secara kurang bijak beranggapan bahwa segala sesuatu harus dibuktikan oleh diri sendiri sebelum
ia menerimanya sebagai kebenaran dengan cara menjadikan dirinya sebagai objek percobaan.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa penyalahgunaan narkotika dan
obat/bahan berbahaya (narkoba) itu merugikan dan merusak, bukan berarti orang tersebut harus
terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang keliru dalam menerapkan
prinsip ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan dan merusak,
seseorang cukup melihat orang lain yang telah menjadi korban karena menggunakan narkoba.
Berkali-kali melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena
penggunaan narkoba, itu pun merupakan suatu pengalaman, suatu bentuk verifikasi untuk
mendapatkan pembuktian.
Dengan hasil berupa muculnya saddhā sebagai keyakinan berdasarkan pengetahuan dari hasil
verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan, prinsip ehipassiko menjadi langkah awal bagi umat
awam untuk memahami ajaran Agama Buddha lebih lanjut.