1 Ucapan salam
1. Salam Buddhis dan Salam Umum Ditujukan kepada sesama umat Buddha, kata salam
Buddhis yang digunakan adalah: “Buddhānubhāvena sotthi hotu“, berarti dengan kekuatan
nilai-nilai luhur Buddha, semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian, atau dapat disingkat
menjadi “Sotthi hotu“, berarti semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian. Ditujukan
kepada masyarakat umum, kata salam umum yang digunakan adalah: “Sotthi hotu“, berarti
semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian. Ditujukan kepada seseorang/orang-orang
yang dituakan atau dihormat, kata salam Buddhis dan salam umum menggunakan “Namaste“,
berarti penghormatan (saya/kami) kepada Anda. Keterangan: Secara harfiah, kata “sotthi”
berarti keadaan/keberadaan baik, dari partikel kata “su” berarti baik, dan “danatthi” berarti
keberadaan.
2. Istilah “Namo Buddhāya” Istilah “Namo Buddhāya” setara dengan frase “Namo Tassa
Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”, “Namatthu Buddhasa”, “Namo Ratanattayaya”,
dan beberapa lainnya. Istilah-istilah tersebut umumnya digunakan pada waktu seseorang
sedang menyampaikan uraian berciri keagamaan, berpidato, atau menyatakan ungkapan hati
dengan penuh kesungguhan, misalnya: bertekad dan bersumpah.
3. Istilah “Samvegacitta” Untuk kepentingan mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan
kenalan sesama umat Buddha yang sedang berada dalam suasana duka, kalimat yang
diucapkan adalah: “Turut ber-samvegacitta atas kewafatan mendiang
Ibu/Bapak/Sudara/Saudari ……. , Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik
……………………….. , Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu.” Keterangan:
Kalimat “Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu”, berarti semoga mendiang terlahir
di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu. Jika yang meninggal lebih dari 1 orang, kata
‘upapajjatu’ diubah menjadi ‘upapajjantu’. Samvegacitta merupakan pikiran disertai hal-hal
batiniah yang kuat muncul sebagai tanggapan atas kejadian menggugah hati, mengarah ke
perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang
dicinta/dihormat meninggal dunia. Ada sebuah kronologis, pada waktu Guru Agung Buddha
Parinibbāna, para awam menangis berderai air mata, sedangkan para ariyasāvaka memasuki
pemikiran yang diwarnai oleh samvega (hal-hal batiniah yang kuat). Hal-hal batiniah
(cetasika) di atas mengacu ke nilai-nilai positif, seperti: paññā (kebijaksanaan), mettā (cinta
kasih), karuņā (welas asih), upekkhā (keseimbangan batin), dan lain-lain, khususnya adalah
paññā dan upekkhā.
4. Istilah “Anumodana” dan “Terima Kasih” Penggunaan kata “Anumodana” berbeda sedikit
dengan kata “Terima kasih” Kata ‘anumodana’ berarti sikap turut bersuka cita atas perbuatan
baik yang telah dilakukan seseorang. Ini berbeda sedikit dengan kata ‘terima kasih’ yang
berarti sikap menghargai/senang atas barang atau jasa yang orang lain berikan kepada
dirinya. Perbedaanya terletak pada penekatan di sisi perbuatan untuk makna kata anumodana,
dan penekanan disisi hal-hal terkait dengan perbuatan itu yaitu berupa barang atau jasa yang
diberikan untuk kata terimakasih. Perbedaan dalam bentuk praktiknya adalah, jika ada
seseorang yang melakukan kebaikan berupa memberi namun barang yang diberikan tersebut
bukan ditujukan untuk diri penerima secara pribadi, atau melakukan kebaikan dalam bentuk
lain, misalnya bertekad melaksanakan uposathasila atau berlatih meditasi, sikap yang kita
tunjukkan kepadanya adalah turut bersuka cita atas perbuatan yang dilakukan, yaitu kita
mengucapkan kata ‘anumodana’. Sedangkan, jika ada seseorang yang melakukan kebaikan,
khususnya berupa memberi, dan pemberian itu ditujukan kepada diri kita secara pribadi,
sikap yang kita tujukkan kepadanya adalah menghargai/senang atas barang atau jasa yang
diberikan itu, yaitu kita mengucapkan kata ‘terima kasih’.
1.2 Simbol
1. ARCA BUDDHA
Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang penghormatan Guru
Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati dan Beliau telah mengajarkan
Dharma kepada dewa dan manusia.
2. STUPA
Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama Buddha Stupa salah
satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di jumpai di candi Borobudur.
Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu kalangan
bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan
abu Guru Agung Buddha. Setelah wafat lalu dan dikremasi. Setelah dikremasi, abu-Nya
disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.
Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil, roda-rodanya akan
terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula dengan Roda Dhamma,
semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk pertama kalinya,
Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua makhluk terbebas dari
Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran ajaran Guru Agung Buddha terus
berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu, roda Dhamma juga dilambangkan
sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak tahuan dan kegelapan batin dalam diri
manusia. Simbol ini juga menggambarkan khotbah HGuru Agung Buddha yang pertama
kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath, India.
Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara Buddhis. Secara garis
besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan seluruh jari kaki yang sama
panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki ini memperlihatkan tanda-tanda, baik
itu Dharmachakra atau Chakra di tengah telapak kaki, maupun menunjukkan tiga puluh dua
(32), seratus delapan (108), atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-tanda istimewa Guru
Agung Buddha. Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan sebagai perlambangan atas diri
Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru Agung Buddha dalam bentuk patung
manusia (Buddha Rupang) dibuat.
Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran Buddha dalam
mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau mempraktikan ajaran
Buddha
7. BENDERA BUDDHIST
Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar tubuh Buddha saat
bermeditasi.
a. Biru berarti bakti
b. Kuning berarti bijaksana
c. Merah berarti cinta kasih
d. Putih berarti suci
e. Jingga berarti semangat
Diantara empat hari raya tersebut yang lebih dikenal pada umumnya adalah hari raya
Waisak Selain merupakan hari libur nasional, hari raya Waisak juga dirayakan oleh umat
Buddha diseluruh dunia. Hari Raya Waisak jatuh pada purnama di bulan Mei atau Juni
Hari raya Waisak juga dirayakan di Vihara, Cetiya, Arama, Mahavihara, Candi, dan tempat
lainnya Hari raya Waisak memperingati tiga peristiwa yang sangat penting.
2. Pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha pada tahun 588 SM di Hutan Gaya.
3. Sang Buddha Parinibana atau wafat pada tahun 543 SM di Kusinara.
Agama Buddha diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Buddha adalah orang yang telah
mencapai kesempurnaan. Nama Buddha adalah gelar atau orang suci yang telah mencapai
penerangan sempurna. Semua orang bisa menjadi Buddha dengan catatan telah melenyapkan
nafsu keinginan (Tanha) dan kekotoran batin (Kilesa).
Buddha mengajarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Tujuan mengajar Dhamma agar
semua makhluk terbebas dari penderitaan, Dhamma artinya ajaran kebenaran atau ajaran
Buddha yang patut kita laksanakan dan praktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hari raya Asadha adalah hari Dharma. Hari raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan Juli atau Agustus. adapun peristiwa atau kejadian penting yang perlu diperingati di
bulan Asadha diantaranya:
2. Dhamma diajarkan kepada lima (5) orang pertapa yaitu Assaji, Mahanama, Kondanna,
Bhadiya, dan Vappa.
Buddha mengajarkan Dharma dengan penuh cinta kasih. Buddha mengajarkan, bagaimana
caranya agar semua orang dapat hidup bahagia. Hidup sesuai ajaran Buddha akan membawa
kebahagiaan dan kedaimaan bagi diri kita dan semua makhluk hidup
Hari Kathina dikenal sebagai hari Sangha. Sangha adalah persaudaraaan para bhikkhu dan
bhikkhuni. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni adalah para siswa Buddha yang telah
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni tinggal di Vihara.
Sebelum hari kathina tiba para bhikkhu menjalani masa vassa. Saaat masa vasa para bhikkhu
tinggal di vihara tertentu selama tiga bulan untuk belajar dharma dan bermeditasi
Hari raya kathina jatuh pada bulan Oktober. Pada hari raya kathina umat Buddha
berkesempatan memberi dana kepada Sangha. Dana yang diberikan berupa : Jubah, obat-
obatan, makanan, tempat tinggal (Kuti). Dalam memberi kita harus tulus. Memebri pada hari
raya Kathina adalah perbuatan bajik yang besar. Dengan melatih untuk member atau berdana
sama dengan melatih kemoralan hati kita. Tujuan berdana adalah untuk melatih pelepasan
dan mengikis kemelekatan.
D. HARI RAYA MAGHA PUJA
4. Semua bhikkhu yang hadir tahbiskan oleh Buddha sendiri dengan mengucapkan Ehi-
Bhikhu.
Tiga hal penting yang harus kita ingat dari makna merayakan hari magha, diantaranya:
Arama
Arama memiliki ruang Dhammasala, Uposatha (tempat penahbisan bhikkhu), Kuti (tempat
tinggal para bhikhu/bhikhuni), Perpustakaan,dan Taman yang luas.taman ini biasanya
digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka.
Vihara
Vihara memiliki ruang Dhammasala, Kuti(tempat tinggal para
bhikhu/bhikhuni),Perpustakaan.
Cetiya
Cetiya memiliki altar dan ruang Dhammasala/bakti sala.
Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan
ruang dhammasala.jika yang lebih besar bangunannya.ada yg memisahkan ruangnya.ruang
dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat membabarkan dharma.tetapi bykan ruang ini
digabungkan dengan ruang sembayang umum sehingga juga berfungsi sebagai tempat
kebaktian&puja bakti.
1.5 Rohaniwan
Kelompok Sangha terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka
menjalani kehidupan suci untuk meningatkan nilai-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan
hidup berkeluarga. Mereka adalah seorang yang mempunyai tugas untuk membabarkan
Dhamma.
Sangha pada masa sekarang mengalami perluasan makna yakni tidak hanya sebagai penyebar
agama Buddha tetapi juga sebagai tempat belajar upasak-upasaki dalam mencapai tingkat
arahat.
Para biksu atau biksuni (kelompok sangha) hanya memiliki sedikit barang, seperti jubah,
mangkuk (patta), dan pisau untuk mencukur rambut.
Para biarawan dan biarawati ini mengikuti Patimokkha yaitu sebuah aturan yang ketat di
mana mereka bertekad melatih diri untuk melakukan hidup secara sederhana dan berpegang
pada disiplin moralitas.
Bhikkhu Theravada dipanggil bhante, Bhiksu Mahayana dipanggil Suhu dan Bhiksu
Tantrayana dipanggil Lama
Ada rohaniwan selain Bhikkhu dan bhiksu yaitu Samanera dan Samaneri.
Mereka memakai jubbah warnanya ada yang kuning ada yang abu-abu dan ada yang
berwarna cokelat.
2.1 Agama Buddha Nusantara
Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha berasal
dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama
Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi agama mayoritas di
beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha kemudian
juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada
di Indonesia saat ini.
Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara
yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat
Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan
pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah
keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan
Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan
pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi
yang sempurna.
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya,
mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada
daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena
tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-
pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak
berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada
masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa
Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias van Dients dan Bhiksu
Lin Feng Fei, kepala Kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta.
Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha
tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk
mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias
memberikan ceramah Agama Buddha di Kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan
(Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta,
mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar
Jakarta.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Yang Mulia (Y.M.) Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri
Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua
Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy Director
General International Buddhist Mission, Java Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M.
Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
Kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera memiliki arti penting dalam kebangkitan dan
perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasa beliau, Buddhis
Indonesia mengadopsi Era Buddhis (Buddhist Era) atau Tahun Buddhis berdasarkan pada
penanggalan Era Buddhis yang digunakan oleh negara asal Y.M. Bhikkhu Narada Thera yaitu
Sri Lanka. Pada zaman inilah Agama Buddha di Indonesia mulai menggeliat di ujung
tidurnya.
Juga pada tahun yang sama yaitu tahun 1934, dibentuk Central Boeddhistisch Instituut voor
Java (Institut Sentral Buddhis untuk Jawa) yaitu wadah kebersamaan seluruh organisasi Umat
Buddha di Hindia Belanda. Organisasi ini juga menerbitkan media cetak berbahasa Belanda
yang bernama De Dhamma in Nederlandsch-Indie.[5]
Hingga tahun 1935, Kwee Tek Hoay telah banyak membentuk Sam Kauw Hwee, yaitu organisasi-
organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut Agama Buddha, Khonghucu dan Tao,
dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini
pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa untuk menjadi
penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Buddhis
terhenti.
Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha
Mahayana, Khonghucu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri
Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan
tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam zaman
kemerdekaan Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay
(31 Juli 1886 – 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia
menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama dengan nama Moestika Dharma (1932 –
1941) yang isinya mengenai agama, filsafat, dan kebatinan (teosofi), termasuk di dalamnya
mengenai Agama Buddha. Edisi perdananya pada April 1932 memuat artikel Buddhis
berjudul “Pekerdjaannja Buddha Gautama di djaman sekarang“.
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa telah
berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah
kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst pada tahun 1929. Organisasi ini merupakan
anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (organisasi ini
mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan International
Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932 dengan Deputy Director
General-nya adalah Josias van Dienst.
Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari
jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran
Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha
hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu
mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari
agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah
sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya
sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili
dalam Departemen Agama.
Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian
yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis Tionghoa, dan
kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam
Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi,
semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
Pembebasan dapat dicapai bukan karena kita telah berlindung kepada Tiratana dalam
pengertian biasa. Berlindung pada Tiratana dengan mengucapkan Tisarana hanyalah
merupakan langkah awal dalam menyatakan tekad, yang selanjutnya dengan melaksanakan
dhamma yang diajarkan oleh Sangha; setelah mendengar Dhamma, seseorang berusaha
mengerti makna Dhamma itu dan kemudian berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.
1). BUDDHA-RATANA (mustika Buddha), yaitu Sang Buddha sebagai guru agung
junjungan kita, yang telah memberikan ajaran-Nya kepada umat manusia dan para dewa agar
dapat mencapai kebebasan mutlak, Nibbana.
2). DHAMMA-RATANA (mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma sebagai ajaran guru suci
junjungan kita Sang Buddha yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang
benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing merekan mencapai Nibbana.
2. Pacceka Buddha, adalah orang yang berusaha sendiri hingga mencapai Penerangan
Agung (Bodhi), namun tidak dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai penerangan
agung (Bodhi).
3. Savaka Buddha atau Ariya Puggala, adalah orang yang mencapai Penerangan Agung
(Bodhi) karena belajar dari seorang Samma Sambuddha. Biasa disebut juga arahat. Ada
Arahat yang dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain, sehingga orang lain juga
mencapai kesucian.
Kebajikan-kebajikan Buddha
Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.
1. Maha parisudhi, atinya Maha Suci karena terbebas dari semua kekotoan batin denagan
usahanya sendiri. Dengan kesucian ini maka roda samsara dapat dipatahkan dan tidak ada
lagi kelahiran kembali.
2. Maha Panna, adalah kebijaksanaan tertinggi yang dicapai denga melaksanakan
meditasi Vipassana Bhavana dengan terlebih dahulu menguasai meditasi Samatha Bhavana,
sehingga memiliki kemampuan batin untuk melihat kehidupan-kehidupan yang lampau, serta
kematian dan kelahiran dari mahluk-mahluk, dapat merealisasikan tentang hukum sebab
akibat yang saling bergantungan. Bersamaan dengan pencapaian penerangan agung
kebijaksanaan menjadi sempurna (Maha Panna), Beliau pun memiliki Chalabinna dan
Dasabala yang smpurna. Ia disebut sebagai seorang Sabbanu (Maha Tahu) karena
kesempurnaan kebijaksanaannya itu.
3. Maha Karuna, adalah cinta kasih dan maha kasih sayang, berkaitan dengan
keccendrungan Sang Buddha untuk meringankan dan akhirnya melenyapkan penderitaan
mahluk-mahluk.
Selain sifat-sifat tersebut diatas, Sang buddha memiliki sembilan macam kebajikan lainnya,
yaitu :
1. Araham, manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin, karena melenyapkan semua
Asava deengan pencapaian pengetahuan Asavakkhayanana, yakti pengetahuan yang dapat
melenyapkan kekotoran batin, karena telah meleyapkan kekotoran batin yang sangat halus
sekali.
4. Sugato, yang berbahagia, karena sudah dapat merealisasikan dhamma dengan sempurna
dan mengatasi lingkaran kelahiran dengan mencapai Nibbana.
7. Sattha devamanussanam, guru suci para dewa dan manusia, yang mengajarkan
Dhamma selain kepada manusia juga kepada dewa.
8. Buddho, yang sadar, seseorangf yang telah mencapai penerangan sempurna hingga
dapat mematahkan roda samsara.
9. Bhagava, yang patut dimuliakan, yang dipuja oleh dewa dan manusia karena
kebijaksanaannya.
Seorang Samma Sambuddha yang muncul di dunia,seperti Buddha Gotama, mempunyai
tugas-tugas yang harus diselesaikan, yaitu :
1. Pariyati, atau ajaran yang dirumuskan. Hal ini berarti semua ajaran Agam Buddha
terdapat dalam kitab Suci Tipitaka.
2. Hetu, atau kondisi, sebab yang bergantung, pengetahuan analisa tentang Dhamma yang
bermakna, dan pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan.
3. Guna, moral atau perbuatan berkualitas, yang terdapat pada perenungan tentang
kebajikan Dhamma.
Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut dalam
ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang berfenomena maupun
tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau dengan kata lain segala
sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada, adalah disebut
sebagai Dhamma.
Dhamma juga berarti kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, ajaran Sang Buddha.
Istilah Dhmma mempunyai arti yang sanga luas, mencakup tidak hanya benda atau hal yang
bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat,misalnya yang mutlak (nibbana), yakni:
2. Asankhata Dhamma, keadaan yang tidak bersyarat yakni tidak dilahirkan / tdak
muncul, tidak termusnah, ada dan tidak berubah.
Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma (dharma) tersebut, kita harus
melaksanakannya secar bertahap. Ada tiga tahap pelaksanaan Dhamma, yaitu :
Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah Parinibbana, namun Dhamma mulia ini
telah Beliau wariskan seluruhnya kepada uamt manusia, dalam bentuk yang utuh. Sekalipun
Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis; tentang ajaran-Nya, tetapi para
siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau dengan jalan menghapal dan
mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.
Dhamma akan melindungi mereka yan mempraktekkan Dhamma. Bagi seseorang yang
mempraktekkan Dhamma, ia tak akan jatuh ke alam penderitaan. Sesuai dengan Dhamma,
bila kita mencari kebahagiaan maka hendaknya kita meninggalkan kemoralan (sila), antara
lain melakanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
Kebajikan-Kebajikan Dhamma
Dhamma (pali) atau Dharma (Sansekerta) berarti ajaran, hukum, peraturan-peraturan. Secara
umum Dhamma berarti segala sesuatu yang bersyarat atau yang tidak bersyarat, yang muncul
atau tidak muncul, yang nyata atau abstrak. Dhamma tetap ada walaupun para Buddha ada
atau tidak ada. Dhamma bukan ciptaan para Buddha. Dhamma memeang ada dan selamanya
akan tetap ada selamanya. Buddha hanya penemu dhamma. Setelah menemukannya, beliau
membabarkannya kepada semua maklukagar mereka yang telah siap akan mendapatkan
manfaatnya.
Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya dapat memberikan manfaat
dalam kehidupannya. Ada enam kebajikan Dhamma, yaitu :
1. Svakkhato Bhagavato Dhammo, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha telah sempurna
dibabarkan, telah dapat menjadikan orang yang telah mempraktekkan Dhamma tersebut
menjadi sucidan dapat mengatasi lingkaran tumimbal lahir.
2. Sandhitthiko, berada sangat dekat ( kesunyataan yang dapat dilihat dan dilaksanakan
dengan kekuatan sendiri). Dhamma berada sangat dekat bagi orang yang
memprektekkannyadalam kehidupan sehingga dapat merealisasikan dhamma dalam hidupnya
dengan melenyapkan semua kekotoran batinnya.
3. Akaliko, tidak lapuk oleh waktu, akan selalu ada walaupun tidak ada Buddha dan telah
dilupakan manusia.
6. Paccatam veditabbo vinnuhi, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-
masing. Dhamma dapat diselami oleh para bijaksana yang telah menjalankan sila yang benar
dan mencapai pandangan terang dalam praktek meditasi.
Setiap orang dapat mempelajari dhamma dengan bebas, memikirkannya dengan tenang dan
bijaksana, dan boleh menerima bagian-bagian yang sesuai dengan pendapatnya masing-
masing, serta boleh menolak bagian-bagian yang tidak dipahami. Buddha Dhamma tidak
memaksa orang untuk percaya secara membabi buta. Semangat yang menjiwai Buddha
Dhamma adalah semangat pemikiran rasional.
1. Sammuti Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu biasa yang belum mencapai tingkat
kesucian.
2. Ariya Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu yang telah mencapai ariya puggala
(mahluk ariya). Ariya Puggala adalah orang yang telah mencapai salah satu tingkat kesucian
dari empat tingkat kesucian, yang didasarkan pada kualitas pencapaian penyucian batin,
yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.
Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah mencapai
kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang bhikkhu yang
brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-peraturan
kebhikkhuan sidang, dll.
Sangha adalah satu, persaudaraan tingkat dunia, yang kesebuanya berpaokan kepada
Dhamma dan Vinaya. Sangha adalah persaudaraan yang agung, bijak, suci, yang menjadi
panutan umat awam, yang mendamaikan segala permasalahan, yang menjadi kekuatan dari
segala jenis kebaikan, dan kemurahan hati.
Sangha adalah pewaris Ajaran Yang Mulia Buddha Gotama dan berkewjiban untuk
membimbing mereka yang belum mengerti hakekat hidup yang sebenarnya.
Kebajikan-kebajikan Sangha
Sangha adalah perkumpulan siswa Sang Buddha, baik siswa ariya maupun yang masih
memerlukan latihan Dhamma.
a. Jubah (Civara), yaitu jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tak bernilai
ekonomi (pamsukula).
b. Makanan yang diterima sebagai dana (pindapata), yaitu makanan yang secukupnya
untuk mengingatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan ketenangan batin.
c. Tempat tinggal (Sesana), yaitu berdiamatau bertempat tinggal dalam tempat yang
terlindung dengan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.
d. Obat-obatan (bhesajja), yaitu yang digunakan sesuai petunjuk dari dokter dan yang
selaras dengan Vinaya, yang dibuat dari bahan-bahan yang tak tercela.
Dengan menggunakan kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut, para bhikkhu tetap berusaha dan
menjaga agar mereka tidak terikat dan melekat kepada keinginan untuk memuaskan diri
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kerena jika bhikkhu tidak waspada, maka keterikatan
pada hal-hal ini akan merintangi usahanya untuk mencapai pembebasan batin.
Tugas memelihara keutuhan ajaran Sang Buddha adalah berada di tangan Sangha, demikian
juga dalam penyebaran Dhamma adalah terutama dilaksanakan oleh Sangha. Karena itu dapat
dikatakan bahwa Sangha adalah panutan kita, sebagai wakil Sang Buddha dari masa ke masa.
Dan setiap orang yang menjadi bhikkhu, dengan sendirinya menjadi anggota Sangha.
Sangha pertama di dunia mulai menyebarkan dhamma setelah sang Buddha mempunyai 60
orang Bhikkhu yaitu beberapa waktu setelah khotbah pertama di Isipatana pada bulan
Asadha, tahun 588 sebelum masehi
3.5 Kesimpulan
Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan
‘ratana/ratna’. Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga
Mustika, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha.
Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.
Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut dalam
ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang berfenomena maupun
tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau dengan kata lain segala
sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada, adalah disebut
sebagai Dhamma.
Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah mencapai
kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang bhikkhu yang
brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-peraturan
kebhikkhuan.
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin
bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang
kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk
dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat
berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya
Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk
mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti
tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai
pelita dan pelindung bagi dirimu".
Konsili II: Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak
mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di
mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok
Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin
mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi
mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi
menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Konsili III: Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-
ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-
penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Konsili III: Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi
asalnya.
Tidak sekedar membaca, umat Budha juga harus terus membaca kitab Tipitaka, dikaji, dan
dipahami sebagai landasan kehidupan sehari-hari.
"Peserta para umat dari pelosok tanah air dan Bikhu mancanegara antara lain Singapura,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Mereka tidak hanya ikut membaca
(mendaraskan) namun juga menjalankan delapan sila (pantangan) puasanya sang Budha,
seperti tidak makan setelah jam 12.00, tidak bernyanyi, tidak berhubungan suami istri, tidak
berkosmetik dan hidup sederhana," papar Bante Pannavaro di sela kegiatan.
Hari raya Asadha Agung, lanjutnya, adalah waktu ketika Sang Buddha Gautama pertama kali
mengajarkan ajaran Dhamma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana Penares
India Kuno.
"Hari ini adalah pembukaan pembacaan kitab suci Tripitaka. Tapi tentu saja tidak bisa
khatam karena jilid yang sangat tebal, mencapai 45.000 bab. Setiap tahun kami hanya bisa
menyelesaikan 10 sutera (10 khotbah Budha) dalam bahasa othentik, bahasa Phali,"
imbuhnya.
"Kita tahu bangsa kita bangsa yang besar majemuk, yang terdiri dari beragam suku ras dan
agama. Maka salah satu dalam memaknai esensi agama diharapkan umat dapat memahami
kitab suci agama itu secara baik benar dan utuh," ungkap Chaliyadi.
Dengan memahami ajaran-ajaran agama yang baik dan benar, keyakinan dalam konteks
Tripitaka, maka kerukunan dan kedamaian bangsa Indonesia bisa terjaga.
"Semua agama mengajarkan bagaimana hidup berdampingan satu dengan yang lain. Kita
diharapkan selalu menjaga intern agama itu sendiri, antar umat beragama dan umat beragama
dan pemerintah. Karena itu, kontek negara yang pluraris ini hidup berdampingan menjadi
sebuah kebutuhan agar kita selalau menjaga keutuhan bangsa Indonesia," paparnya.
Digelar selama tiga hari, Jumat - Minggu (12-14/07) puncak kegiatan Tripitaka Chanting
akan digelar prosesi agung Puja Bhakti di pelataran Candi Borobudur.
[225] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri
Vajji di Ukkacela di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian:
“Para bhikkhu.”-“Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2. Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi suku Magadha yang tolol. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videna di tempat yang tidak ada arungannya. Ketika ternak-ternak itu bergerombol bersama
di tengah arus Sungai Gangga, mereka menemui malapetaka dan bencana. Mengapa
demikian? Karena pengembala Magadha yang tolol itu, di bulan terakhir musim hujan, di
musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah
sana, menggiring ternaknya menyeberangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang
tidak ada arungannya.
3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang tidak
terampil di dunia ini dan di dunia lain, tidak terampil di dalam alam Mara dan apa yang
berada di luar alam Mara, tidak terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar
alam Kematian – hal itu akan membawa kerugian dan penderitaan untuk kurun waktu yang
lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan
brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.
4. “Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi Magadha yang bijaksana. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videha di tempat yang ada arungannya. Dia membuat sapi-sapi jantan, para pejantan dan
pemimpin ternak itu masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan melawan arus Sungai Gangga
dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Kemudian, dia membuat ternak yang kuat
dan ternak yang akan dijinakkan masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai
Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat sapi betina muda dan
sapi jantan muda masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai
dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat anak-anak ternak dan ternak-ternak yang
lemah masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan
selamat ke pantai seberang. Pada waktu itu, ada anak sapi yang baru saja lahir sehingga
masih lemah, namun dengan dorongan lenguhah induknya, ia juga membelah arus Sungai
Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Mengapa demikian? Karena
pengembala Magadha yang bijaksana itu, [226] di bulan terakhir musim hujan, di musim
gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah sana,
mengiringi ternaknya menyebrangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang ada
arungannya.
5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam Mara dan apa yang berada di
luar alam Mara, terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar alam Kematian
– hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun waktu yang lama bagi
mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan brahmana itu dan
menaruh keyakinan pada mereka.
6. “para bhikkhu, sebagaimana sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu membelah
arus Sungai Gangga dan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula bhikkhu-bhikkhu
yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan, yang telah menjalani
kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menaruhkan beban, telah
mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu dumadi, dan telah sepenuhnya
terbebas melalui pengetahuan akhir – dengan membelah arus Mara mereka telah sampai
dengan selamat ke pantai seberang.
7. “Sebagaimana ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan itu membelah arus Sungai
Gangga dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dngan
hancurnya lima belenggu yang lebih rendah akan muncul lagi secara spontan [di Alam
Kediaman Murni], dan di sana mereka mencapai Nibbana akhir tanpa pernah kembali dari
alam itu. Dengan membelah arus Mara, mereka akan selamat sampai ke pantai seberang.
8. “Sebagaimana sapi betina muda dan sapi jantan muda membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dengan hancurnya
tiga belenggu dan dengan melemahnya nafsu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin,
merupakan Yang-Kembali-Sekali-Lagi, yang kembali sekali lagi ke dunia ini untuk
mengakhiri penderitaan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan selamat sampai ke
pantai seberang.
9. “Sebagaimana anak sapi dan ternak yang lemah membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang dengan hancurnya tiga
belenggu, merupakan Pemsuk-Arus, yang tidak lagi terkena kejatuhan, pasti menuju [ke
pembebasan], mengarah ke pencerahan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan
selamat sampai ke pantai seberang.
10. “Sebagaimana anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, karena didorong oleh
lenguhan induknya, juga membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai
seberang, demikian juga para bhikkhu-yang merupakan para pengikut-Dhamma dan
pengikut-keyakinan-dengan membelah arus mara mereka juga akan selamat sampai ke pantai
seberang.368
11. “Para bhikkhu, aku [227] terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam
Mara dan apa yang berada di luar alam Mara, terampil di alam Kematian dan apa yang berada
di luar alam Kematian. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun
waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan aku bdan
menaruh keyakinan padaku.”
12. Itulah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Setelah Yang tertinggi mengatakan hal itu,
Guru pun selanjutnya mengatakan:
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18
sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya.
Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang
sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama
Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara
Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
Kita sebagai umat buddha, yang paling umum harus kita ketahui adalah kitab suci agama
buddha, Ajaran-ajaran/khotbah-khotbah Sang Buddha semuanya di rangkum dalam satu
bagan yaitu : Tipitaka, yang artinya tiga keranjang.
Kitab suci agama Buddha pada zaman dahulu di tulis dalam bahasa pali (bahasa yang di
gunakan sehari-hari di India sebelum masehi) di daun lontar, daun lontar masih tersimpan
utuh di vihara alu, Srilangka, sekarang banyak beredar buku bacaan tipitaka saduran dari
daun lontar bisa di dapat di toko-toko buku atau vihara.
Agar lebih mudah di ingat/pelajari, buatlah skema Tipitaka di atas sebuah karton dan
tempelkan di dinding rumah/kamar anda.
1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri (terdiri dari
5 kitab)
a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara
2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha (terdiri dari 5 Nikaya)
2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)
3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)
3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha (terdiri
dari 7 kitab )
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana