Anda di halaman 1dari 106

PERTEMUAN 1

Simbol Buddhis
 

1.    ARCA BUDDHA

Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang penghormatan
Guru Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati dan Beliau telah
mengajarkan Dharma kepada dewa dan manusia.

2.    STUPA

Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama Buddha Stupa
salah satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di jumpai di candi
Borobudur.

Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu
kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat Buddha, stupa menjadi tempat
menyimpan abu Guru Agung Buddha. Setelah wafat lalu dan dikremasi. Setelah dikremasi,
abu-Nya disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.

3.    CAKRA/ RODA DHAMMA

Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil, roda-rodanya akan
terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula dengan Roda Dhamma,
semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk pertama kalinya,
Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua makhluk terbebas
dari Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran ajaran Guru Agung Buddha
terus berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu, roda Dhamma juga
dilambangkan sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak tahuan dan kegelapan
batin dalam diri manusia. Simbol ini juga menggambarkan khotbah HGuru Agung Buddha 
yang pertama kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath, India.

4.    TERATAI / PADMA / LOTUS

Teratai putih melambangkan Bodhi (Sansekerta untuk pencerahan). Murni melambangkan


tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan kesempurnaan spiritual dan perdamaian sifat
seseorang. Sebuah bunga teratai umumnya dilengkapi dengan delapan kelopak, yang
sesuai dengan Delapan Jalan Hukum Baik. Teratai putih dianggap sebagai teratai dari
Buddha (tapi tidak Buddha sendiri) karena disebutkan di atas simbol-simbol yang terkait
dengannya.

5.    POHON BODHI/ DAUN BODHI

Pohon Bodhi menghasilkan udara segar. Selama berabad-abad, pepohonan telah


menyediakan naungan dan perlindungan bagi manusia maupun binatang. Pohon Bodhi
adalah pohon tempat naungan Petapa Gautama ketika Beliau mencapai penerangan
sempurna, menjadi Yang Agung Buddha. Saat ini, pohon Bodhi dihormati sebagai
pencerminan keagungan dan kebijaksanaan  Guru Agung Buddha. Pohon Bodhi ini juga
dilambangkan sebagai pohon kehidupan. Menghormat pada pohon Bodhi merupakan salah
satu cara untuk menunjukkan rasa penghormatan dan syukur kita, umat Buddha, atas
kebijaksanaan dan ajaran yang telah dibabarkan oleh Guru Agung Buddha. Oleh sebab itu
Pohon Bodhi mempunyai makna penerangan sempurna. Bodhi artinya penerangan
sempurna.

 
6.    JEJAK KAKI BUDDHA

Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara Buddhis. Secara garis
besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan seluruh jari kaki yang sama
panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki ini memperlihatkan tanda-tanda, baik
itu Dharmachakra atau Chakra di tengah telapak kaki, maupun menunjukkan tiga puluh dua
(32), seratus delapan (108), atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-tanda istimewa
Guru Agung Buddha. Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan sebagai perlambangan
atas diri Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru Agung Buddha dalam bentuk
patung manusia (Buddha Rupang) dibuat.

Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran Buddha dalam
mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau mempraktikan ajaran
Buddha.

7.    BENDERA BUDDHIST

Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar tubuh Buddha saat
bermeditasi.

a.    Biru berarti bakti

b.    Kuning berarti bijaksana

c.    Merah berarti cinta kasih

d.    Putih berarti suci

e.    Jingga berarti semangat

f.     Campuran lima warna berarti kegiatan praktik dari makna kelima warna bendera


Buddist

Hari Raya Keagamaan


A.  HARI RAYA WAISAK

Diantara  empat hari raya tersebut yang lebih dikenal pada umumnya  adalah hari raya
Waisak Selain merupakan hari libur nasional, hari raya Waisak juga dirayakan oleh umat
Buddha diseluruh dunia. Hari Raya Waisak jatuh pada purnama di bulan Mei atau Juni

 Hari raya Waisak juga dirayakan di Vihara, Cetiya, Arama, Mahavihara, Candi, dan tempat
lainnya Hari raya Waisak memperingati tiga peristiwa yang sangat penting.

Tiga peristiwa tersebut terdiri dari :

1.       Pangeran Siddharta lahir pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.

2.       Pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha pada tahun 588 SM di Hutan Gaya.

3.       Sang Buddha Parinibana atau wafat pada tahun 543 SM di Kusinara.

Agama Buddha diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Buddha adalah orang yang telah
mencapai  kesempurnaan. Nama Buddha adalah gelar atau orang suci yang telah mencapai
penerangan sempurna. Semua orang bisa  menjadi Buddha dengan catatan telah
melenyapkan  nafsu keinginan (Tanha) dan kekotoran batin (Kilesa).

Buddha mengajarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Tujuan mengajar Dhamma agar
semua makhluk terbebas dari penderitaan, Dhamma artinya ajaran kebenaran atau ajaran
Buddha yang patut kita laksanakan dan praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

B. HARI RAYA ASADHA

Hari raya Asadha adalah hari Dharma. Hari raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan Juli atau Agustus. adapun peristiwa atau kejadian penting yang perlu diperingati di
bulan Asadha diantaranya:

1.       Buddha mengajarakan Dhamma pertama kali

2.       Dhamma diajarkan kepada lima (5) orang pertapa yaitu Assaji, Mahanama, Kondanna,
Bhadiya, dan Vappa.

3.       Terbentuknya persaudaraan para Bhikkhu (Ariya Sangha)


Buddha mengajarkan Dharma dengan penuh cinta kasih. Buddha mengajarkan, bagaimana
caranya agar semua orang dapat hidup bahagia. Hidup sesuai ajaran Buddha akan
membawa kebahagiaan dan kedaimaan bagi diri kita dan semua makhluk hidup

C. HARI RAYA KATHINA

 Hari Kathina dikenal sebagai hari Sangha. Sangha adalah persaudaraaan para bhikkhu dan
bhikkhuni.  Sangha bhikkhu dan bhikkhuni adalah para siswa Buddha yang telah
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni tinggal di Vihara.
Sebelum hari kathina tiba para bhikkhu menjalani masa vassa. Saaat masa vasa para bhikkhu
tinggal di vihara tertentu selama tiga bulan untuk belajar dharma dan bermeditasi

 Hari raya kathina jatuh pada bulan Oktober. Pada hari raya kathina umat Buddha
berkesempatan memberi dana kepada Sangha. Dana yang diberikan berupa : Jubah, obat-
obatan, makanan, tempat tinggal (Kuti). Dalam memberi kita harus tulus. Memebri pada hari
raya Kathina adalah perbuatan bajik yang besar. Dengan melatih untuk member atau
berdana sama dengan melatih kemoralan hati kita. Tujuan berdana adalah untuk melatih
pelepasan dan mengikis kemelekatan.

D. HARI RAYA MAGHA PUJA

Hari Magha memperingati berkumpulnya para bhikkhu di vihara Veluana Arama

Hari Magha jatuh pada bulan Februari atau Maret

Kejadian penting pada hari Magha adalah :

1.       Berkumpulnya 1250 bhikkhu dan semuanya Arahat.

2.       Para Bhikkhu semuanya datang tanpa diundang.

3.       Para Bhikkhu semuanya memiliki kekuatanj gaib dan kesucian.

4.       Semua bhikkhu yang hadir tahbiskan oleh Buddha sendiri dengan mengucapkan Ehi-
Bhikhu.

Tiga hal penting yang harus kita ingat dari makna merayakan hari magha, diantaranya:
a.       Kita harus berhenti berbuat jahat

b.       Kita harus berusaha selalu berbuat baik

c.        Kita juga harus selalu berpikir benar

Syair penting dalam hari Magha dikenal “Ovada Patimokha”

Bunyi syair Ovada Patimokha adalah :

“Jangan melakukan perbuatan jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan
pikiran, inilah ajaran semua Buddha”.

Tempat Ibadah
Arama
Arama memiliki ruang Dhammasala, Uposatha (tempat penahbisan bhikkhu), Kuti (tempat
tinggal para bhikhu/bhikhuni), Perpustakaan,dan Taman yang luas.taman ini biasanya
digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka.

Vihara
Vihara memiliki ruang Dhammasala, Kuti(tempat tinggal para
bhikhu/bhikhuni),Perpustakaan.

Cetiya
Cetiya memiliki altar dan ruang Dhammasala/bakti sala.

Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan
ruang dhammasala.jika yang lebih besar bangunannya.ada yg memisahkan ruangnya.ruang
dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat membabarkan dharma.tetapi bykan ruang
ini digabungkan dengan ruang sembayang umum sehingga juga berfungsi sebagai tempat
kebaktian&puja bakti.
PERTEMUAN 2

Agama Buddha Nusantara


Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha
berasal dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang.
Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi agama mayoritas
di beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha
kemudian juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama
tertua yang ada di Indonesia saat ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual,


dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya,
kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di
dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha.
Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria
maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa
bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk
bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk
menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian
dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan
cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari
"Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia
melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula
penderitaan adalah keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat
keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan
Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata
pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.
Zaman Kerajaan
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad
ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali
dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang
berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke
tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama
Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China
bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat
perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi
Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi,
seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa


Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada
tahun 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang
masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi
Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang
merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit
mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah
Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa
pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan
Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka
kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Masa Kemerdekaan
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya,
mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama
pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah berkembangnya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang
karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh
pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia
juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan
pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena
bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama
Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka)
bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia
Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk
menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha
terakhir di kepulauan nusantara.[7] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat
untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat oleh
seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang
bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha
di Indonesia, di mana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap


adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai
pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri
Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma
Buddhisme di Indonesia, mengenai ketuhanan dalam agama Buddha, maka digagaslah
ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia dengan sebutan "Sang Hyang Adi Buddha".
Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks
Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa
Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal
tersebut, ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan
denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang
terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh Vihara Buddha baru
dibangun. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi
dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi),
yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta
dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan
aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat
Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme
saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari
agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah
sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya
sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili
dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari


pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis
Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara
tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia)
dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki
pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
PERTEMUAN 3

Pengertian Tiratana
Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan ‘ratana/ratna’.
Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga Mustika, yaitu
Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha. Ratana (Ratna)
adalahpermata, mustika yang tidak ternilai harganya dan yang tak ada bandingnya. Tiga
Mustika ini penting bagi umat Buddha karena dengan adanya tiga mustika ini maka
pembebasan diri dari penderitaan dapat dicapai.

Pembebasan dapat dicapai bukan karena kita telah  berlindung kepada Tiratana dalam
pengertian biasa. Berlindung pada Tiratana dengan mengucapkan hanyalah merupakan
langkah awal dalam menyatakan tekad, yang selanjutnya dengan melaksanakan dhamma
yang diajarkan oleh Sangha; setelah mendengar Dhamma, seseorang berusaha mengerti
makna Dhamma itu dan kemudian berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

 Dalam agama Buddha,Tiratana tersebut adalah :

1). BUDDHA-RATANA (mustika Buddha), yaitu Sang Buddha sebagai guru agung junjungan
kita, yang telah memberikan ajaran-Nya kepada umat manusia dan para dewa agar dapat
mencapai kebebasan mutlak, Nibbana.

2).   DHAMMA-RATANA (mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma sebagai ajaran guru suci
junjungan kita Sang Buddha yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang
benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing merekan mencapai Nibbana.

3).           SANGHA-RATANA ( mustika Sangha), yaitu Sang Sangha yang merupakan


persaudaraan Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapanna,
Sakadagami, Anagai, Arahat) dan sebagai pangawal dan pelindung Dhamma, serta
mengajarkan dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga mencapai
Nibbana.

Jenis dan Sifat Buddha


Buddha berdasarkan pencapaiannya,terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1.       Samma Sambuddha, adalah orang yang berusaha sendiri sehingga mencapai


Penerangan Agung (Bodhi), mengajarkan orang lain sehingga mereka pun mencapai
Penerangan Agung.

2.       Pacceka Buddha, adalah orang yang berusaha sendiri hingga mencapai Penerangan
Agung (Bodhi), namun tidak dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai penerangan
agung (Bodhi).

3.       Savaka Buddha atau Ariya Puggala, adalah orang yang mencapai Penerangan Agung
(Bodhi) karena belajar dari seorang Samma Sambuddha. Biasa disebut juga arahat. Ada
Arahat yang dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain, sehingga orang lain juga
mencapai kesucian.

Kebajikan-kebajikan Buddha

Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.

Seorang Bddha mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1.       Maha parisudhi, atinya Maha Suci karena terbebas dari semua kekotoan batin
denagan usahanya sendiri. Dengan kesucian ini maka roda samsara dapat dipatahkan dan
tidak ada lagi kelahiran kembali.

2.       Maha Panna, adalah kebijaksanaan tertinggi yang dicapai denga melaksanakan


meditasi Vipassana Bhavana dengan terlebih dahulu menguasai meditasi Samatha Bhavana,
sehingga memiliki kemampuan batin untuk melihat kehidupan-kehidupan yang lampau,
serta kematian dan kelahiran dari mahluk-mahluk, dapat merealisasikan tentang hukum
sebab akibat yang saling bergantungan. Bersamaan dengan pencapaian penerangan agung
kebijaksanaan menjadi sempurna (Maha Panna), Beliau pun memiliki Chalabinna dan
Dasabala yang smpurna. Ia disebut sebagai seorang Sabbanu (Maha Tahu) karena
kesempurnaan kebijaksanaannya itu.

3.       Maha Karuna, adalah cinta kasih dan maha kasih sayang, berkaitan dengan
keccendrungan Sang Buddha untuk meringankan dan akhirnya melenyapkan penderitaan
mahluk-mahluk.

 
Selain sifat-sifat tersebut diatas, Sang buddha memiliki sembilan macam kebajikan lainnya,
yaitu :

1.      Araham, manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin, karena melenyapkan 
semua Asava deengan pencapaian pengetahuan Asavakkhayanana, yakti pengetahuan yang
dapat melenyapkan kekotoran batin, karena telah meleyapkan kekotoran batin yang sangat
halus sekali.

2.      Samma Sambuddho, manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan


usahanya sendiri dan mampu mengajarkan Dhamma yang telah dikemukakannya kepada
semua makhluk.

3.      Vijjacaranasampano, mempunyai pengetahuan dan tindakan sempurna.

4.      Sugato, yang berbahagia, karena sudah dapat merealisasikan dhamma dengan


sempurna dan mengatasi lingkaran kelahiran dengan mencapai Nibbana.

5.      Lokavidu, mengetahui dengan sempurna keadaan alam yang terkena hukum


kesunyataan.

6.      Anuttaro Purisadhammasarathi, pembimbing umat manusia yang tiada taranya.

7.      Sattha devamanussanam, guru suci para dewa dan manusia, yang mengajarkan
Dhamma selain kepada manusia juga kepada dewa.

8.      Buddho, yang sadar, seseorangf yang telah mencapai penerangan sempurna hingga
dapat mematahkan roda samsara.

9.      Bhagava, yang patut dimuliakan, yang dipuja oleh dewa dan manusia karena
kebijaksanaannya.

Seorang Samma Sambuddha yang muncul di dunia,seperti Buddha Gotama, mempunyai


tugas-tugas yang harus diselesaikan, yaitu :

1.       Tugas-tugas terhadap dunia, yaitu membimbing dan mengajarkan Dhamma kepaa


semua mahluk agar mereka mencapai kebahagiaan maupun mencapai kesucian batin.

2.       Tugas-tugas terhadap sanak keluarga, yaitu mengajarkan Dhamma kpada sanak


keluargannya, hingga mencapai kesucian batin menjadi Ariya Puggala.
Tugas-tugas sebagai Buddha, yaitu menahbis bhikkhu-bhikkhu da membentuk Sangha,
menggariskan peraturan (vinaya) bagi para anggota Sangha agar mereka dapat
melaksanakan kehidupan suci memelihara keutuhan Dhamma

Jenis dan Sifat Dhamma


Dhamma dan Vinaya yang merupakan Ajaran Sang Buddha, dinamakan ”Dhamma”. Kata
Dhamma sangat luas artinya,biasanya penggunaan kata Dhamma dengan arti yang terbatas
dapat diketahui apabila kita menggunakannya atau menemukannya dalam bentuk suatu
ungkapan atau kalimat. Dalam Dhammasangani Atthakatha, Buddhaghosa meyebutkan
empat macam definisi mengenai Dhamma yaitu :

1.       Pariyati, atau ajaran yang dirumuskan. Hal ini berarti semua ajaran Agam Buddha
terdapat dalam kitab Suci Tipitaka.

2.       Hetu, atau kondisi, sebab yang bergantung, pengetahuan analisa tentang Dhamma
yang bermakna, dan pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan.

3.       Guna, moral atau perbuatan berkualitas, yang terdapat pada perenungan tentang
kebajikan Dhamma.

4.       Nissata-nijivata, atau fenomena sebagai lawan dari substansial.

Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut dalam
ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang berfenomena
maupun tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau dengan kata lain
segala sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada,
adalah disebut sebagai Dhamma.

Dhamma juga berarti kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, ajaran Sang Buddha.
Istilah Dhmma mempunyai arti yang sanga luas, mencakup tidak hanya benda atau hal yang
bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat,misalnya yang mutlak (nibbana), yakni:

1.       Sankhata Dhamma, keadaan yang bersyarat yakni tertampak pemunculannya,


tertampak lenyapnya, dan selama hal itu tertampak pula perubahan-perubahannya,
misalnya : tata surya, matahari, bumi, gunung, pohon, manusia, laut, danau, sungai, batu,
angin, dlsb.

2.       Asankhata Dhamma, keadaan yang tidak bersyarat yakni tidak dilahirkan / tdak
muncul, tidak termusnah, ada dan tidak berubah.

Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma (dharma) tersebut, kita harus
melaksanakannya secar bertahap. Ada tiga tahap pelaksanaan Dhamma, yaitu :

1.       Pariyatti Dhamma : mempelajari Dhamma dengan tekun Kitab Suci Tipitaka / Dhamma
Vinaya.

2.       Patipatti Dhamma    : melaksanakan atau mempraktekkan Dhamma vinaya dalam


kehidupan sehari-hari. Setelah mempelajari Dhamma secara seksama, alangkah mulianya
bila kita melaksanakannya juga. Namun,pelakssanaan Dhamma adalah merupakan suatu hal
yang susah untuk dimulai. Pikiran yang baik akan mendukungb terciptanya pelaksanaan
Dhamma yang murni.

3.       Pativedha Dhamma : hasil penembusan, yakni hasil menganalisa kejadian-kejadian


hidup melalui meditasi Vipssana Bhavana sehingga mencapai kebebasan mutlak.

Di antara ketiga aspek Dhamma itu, Pativedha-dhamma-lah yang merupakan duniawi


(lokuttara). Pativedha dhamma ini terdapat dalam batin mereka yang telah mencapainya
(telah mencapai tingkat-tingkat kesucian). Natin yang demikian itu tidak mungkin lagi
tercemar oleh kekotoran batin yang menjurus kepada kemerosotan. Itulah sebabnya maka
Pativedha Dhamma merupakan Dhammaratana yang dipuja dan memberi harapan pada
umat manusia.

Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah Parinibbana, namun Dhamma mulia
ini telah Beliau wariskan seluruhnya kepada uamt manusia, dalam bentuk yang utuh.
Sekalipun Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis; tentang ajaran-Nya,
tetapi para siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau dengan jalan
menghapal dan mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.

Dhamma akan melindungi mereka yan mempraktekkan Dhamma. Bagi seseorang yang
mempraktekkan Dhamma, ia tak akan jatuh ke alam penderitaan. Sesuai dengan Dhamma,
bila kita mencari kebahagiaan maka hendaknya kita meninggalkan kemoralan (sila), antara
lain melakanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat pentingnya suatu pelaksanaan sebagai tindak-lanjutnya, Sang Buddha


bersabbda dalam dhammapada berikut: ”Seseorang yang kendatipun menghafl banyak kiab
suci tetapi tidak melaksanakan sesuai dengan ajaran, niscaya tak akan memperoleh pahala
atau manfaat dari hidup keagamaan, bagaikan pengembala yang hanya menghitung-hitung
sapi milik orang lain.” (Dhammapada,Yamakavagga, 19).

Kebajikan-Kebajikan Dhamma

Dhamma (pali) atau Dharma (Sansekerta) berarti ajaran, hukum, peraturan-peraturan. Secara
umum Dhamma berarti segala sesuatu yang bersyarat atau yang tidak bersyarat, yang
muncul atau tidak muncul, yang nyata atau abstrak. Dhamma tetap ada walaupun para
Buddha ada atau tidak ada. Dhamma bukan ciptaan para Buddha. Dhamma memeang ada
dan selamanya akan tetap ada selamanya. Buddha hanya penemu dhamma. Setelah
menemukannya, beliau membabarkannya kepada semua maklukagar mereka yang telah
siap akan mendapatkan manfaatnya.

Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya dapat memberikan
manfaat dalam kehidupannya. Ada enam kebajikan Dhamma, yaitu :

1.       Svakkhato Bhagavato Dhammo, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha telah


sempurna dibabarkan, telah dapat menjadikan orang yang telah mempraktekkan Dhamma
tersebut menjadi sucidan dapat mengatasi lingkaran tumimbal lahir.

2.       Sandhitthiko, berada sangat dekat ( kesunyataan yang dapat dilihat dan dilaksanakan
dengan kekuatan sendiri). Dhamma berada sangat dekat bagi orang yang
memprektekkannyadalam kehidupan sehingga dapat merealisasikan dhamma dalam
hidupnya dengan melenyapkan semua kekotoran batinnya.

3.       Akaliko, tidak lapuk oleh waktu, akan selalu ada walaupun tidak ada Buddha dan telah
dilupakan manusia.

4.       Ehipassiko, mengundang untuk dibuktikan. Dhamma dapat membuat seorang yakin


dan membawanya untuk dapat mempraktekkan kebenarantersebut serta menuai hasilsesuai
dengan praktek Dhammanya.

5.       Opanayiko, menuntun kedalam batin (patut dilaksanakan), yang merupakan ajaran


kebenaran yang patut dilaksanakan untuk melenyapkan semua kekotoran batin dan
mencapai kesucian batin melalui praktek meditasi dan sila yang baik.

6.       Paccatam veditabbo vinnuhi, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-
masing. Dhamma dapat diselami oleh para bijaksana yang telah menjalankan sila yang
benar dan mencapai pandangan terang dalam praktek meditasi.
Setiap orang dapat mempelajari dhamma dengan bebas, memikirkannya dengan tenang
dan bijaksana, dan boleh menerima bagian-bagian yang sesuai dengan pendapatnya
masing-masing, serta boleh menolak bagian-bagian yang tidak dipahami. Buddha Dhamma
tidak memaksa orang untuk percaya secara membabi buta. Semangat yang menjiwai
Buddha Dhamma adalah semangat pemikiran rasional.

Jenis dan Sifat Sangha


Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para bhikkhu atau para bhikkhuni. Kata
Sangha pada umumnya di tunjukkan untuk sekelompok bhikkhu atau bhikkuni.

Ada dua jenis persaudaraan bhikkhu (bhikhuni(, yaitu:

1.       Sammuti Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu biasa yang belum mencapai tingkat
kesucian.

2.       Ariya Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu yang telah mencapai ariya puggala
(mahluk ariya). Ariya Puggala adalah orang yang telah mencapai salah satu tingkat kesucian
dari empat tingkat kesucian, yang didasarkan pada kualitas pencapaian penyucian batin,
yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.

Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah
mencapai kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang
bhikkhu yang brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-
peraturan kebhikkhuan sidang, dll.

Sangha adalah satu, persaudaraan tingkat dunia, yang kesebuanya berpaokan kepada
Dhamma dan Vinaya. Sangha adalah persaudaraan yang agung, bijak, suci, yang menjadi
panutan umat awam, yang mendamaikan segala permasalahan, yang menjadi kekuatan dari
segala jenis kebaikan, dan kemurahan hati.

Sangha adalah pewaris Ajaran Yang Mulia Buddha Gotama dan berkewjiban untuk
membimbing mereka yang belum mengerti hakekat hidup yang sebenarnya.

Kebajikan-kebajikan Sangha

Sangha adalah perkumpulan siswa Sang Buddha, baik siswa ariya maupun yang masih
memerlukan latihan Dhamma.
Ariya Sangha memiliki sembilan kebajikan Sangha, yaitu:

1.       Supatipanno Bhagavato Savaka Sangho, Siswa sang Bhagava yang melaksanakan


Dhama Vinaya secara sempurna, telah bertindak baik.

2.       Ujupatipanno, yang berkelakuan jujur, telah bertindak lurus.

3.       Nayapatipanno, yang berjalan di jalan benar, menuju Nibbana.

4.       Samicipatipanno, yang tlah bertindak patut, penuh tanggung jawab.

5.       Ahuneyyo, patut menerima pemberian / persembahan.

6.       Pahuneyyo, patut menerima persembahan dana.

7.       Anuttaram Punakhetam lokassa,lapangan untuk menanam jasa, yang tiada taranya di


alam semesta.

Kebutuhan pokok yang diperkenankan bagi Anggota Sangha adalah:

a.       Jubah (Civara), yaitu jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tak bernilai
ekonomi (pamsukula).

b.       Makanan yang diterima sebagai dana (pindapata), yaitu makanan yang secukupnya
untuk mengingatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan ketenangan batin.

c.        Tempat tinggal (Sesana), yaitu berdiamatau bertempat tinggal dalam tempat yang
terlindung dengan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.

d.       Obat-obatan (bhesajja), yaitu yang digunakan sesuai petunjuk dari dokter dan yang
selaras dengan Vinaya, yang dibuat dari bahan-bahan yang tak tercela.

Dengan menggunakan kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut, para bhikkhu tetap berusaha


dan menjaga agar mereka tidak terikat dan melekat kepada keinginan untuk memuaskan
diri dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kerena jika bhikkhu tidak waspada, maka
keterikatan pada hal-hal ini akan merintangi usahanya untuk mencapai pembebasan batin.

Tugas memelihara keutuhan ajaran Sang Buddha adalah berada di tangan Sangha, 
demikian juga dalam penyebaran Dhamma adalah terutama dilaksanakan oleh Sangha.
Karena itu dapat dikatakan bahwa Sangha adalah panutan kita, sebagai wakil Sang Buddha
dari masa ke masa. Dan setiap orang yang menjadi bhikkhu, dengan sendirinya menjadi
anggota Sangha.

Sangha pertama di dunia mulai menyebarkan dhamma setelah sang Buddha mempunyai 60
orang Bhikkhu yaitu beberapa waktu setelah khotbah pertama di Isipatana pada bulan
Asadha, tahun 588 sebelum masehi
4.1 Pengertian Tipitaka
Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang
digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon
mereka. Sesuai dengan makna istilah tersebut, Tripiṭaka pada mulanya mengandung tiga
"keranjang" atau tiga "kelompok" akan berbagai pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma  Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Abhidhamma Piṭaka).

Sutta Pitaka berisi kotbah-kotbah Buddha selama 45 tahun


membabarkan Dharma berjumlah 84.000 sutta. Vinaya Pitaka berisi peraturan Bhikkhu/ni,
sedangkan Abhidhamma Pitaka berisi ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita
apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita,
tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang
tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata
itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.

4.2 Konsili Buddhis


Konsili I: Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di
Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa
terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah
Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). 

Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti
tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah  Dhamma  dan  Vinaya  sebagai
pelita dan pelindung bagi dirimu".

Konsili II: Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat
hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di
mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok
Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin
mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi
mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha
terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Konsili III: Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-
ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-
penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.

Konsili III: Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.

Konsili IV: Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan


Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83
SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan
penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.

Konsili V: Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada


permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727
buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Konsili VI: Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun


Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu
penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
4.3 Kegiatan Tripitaka Chanting
BERITAMAGELANG.ID - Ribuan umat Buddha Sangha Theravada Indonesia mengikuti Puja
Bhakti Agung Ashada 2563 Budhis Era Tahun 2019 dan pembacaan kitab Tripitaka Chanting
di Taman Lumbini Komplek Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jumat (12/7).

Pimpinan tertinggi Shangha Theravada Indonesia Bante Sri Pannavaro Mahatera


menjelaskan, prosesi yang digelar beberapa pekan setelah Hari Raya Trisuci Waisak, atau
biasa disebut hari raya Ashalha (Ashada) ini diikuti sekitar 1.000 umat dari dalam dan luar
negeri.

Tidak sekedar membaca, umat Budha juga harus terus membaca kitab Tipitaka, dikaji, dan
dipahami sebagai landasan kehidupan sehari-hari.

"Peserta para umat dari pelosok tanah air dan Bikhu mancanegara antara lain Singapura,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Mereka tidak hanya ikut membaca
(mendaraskan) namun juga menjalankan delapan sila (pantangan) puasanya sang Budha,
seperti tidak makan setelah jam 12.00, tidak bernyanyi, tidak berhubungan suami istri, tidak
berkosmetik dan hidup sederhana," papar Bante Pannavaro di sela kegiatan.

Hari raya Asadha Agung, lanjutnya, adalah waktu ketika Sang Buddha Gautama pertama kali
mengajarkan ajaran Dhamma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana Penares
India Kuno.

"Hari ini adalah pembukaan pembacaan kitab suci Tripitaka. Tapi tentu saja tidak bisa
khatam karena jilid yang sangat tebal, mencapai 45.000 bab. Setiap tahun kami hanya bisa
menyelesaikan 10 sutera (10 khotbah Budha) dalam bahasa othentik, bahasa Phali,"
imbuhnya.
Dirjen Bimas Budha Kementrian Agama Chaliyadi mengungkapkan, pelaksanaan Indonesia
Tripitaka Chanting dan Asalha Mahapuja merupakan untuk lima kalinya. Dengan harapan
umat Buddha Indonesia mampu memahami kitab suci itu benar dan utuh. Kemudian
mengaplikasikan ajaran Buddha dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Kita tahu bangsa kita bangsa yang besar majemuk, yang terdiri dari beragam suku ras dan
agama. Maka salah satu dalam memaknai esensi agama diharapkan umat dapat memahami
kitab suci agama itu secara baik benar dan utuh," ungkap Chaliyadi.

Dengan memahami ajaran-ajaran agama yang baik dan benar, keyakinan dalam konteks
Tripitaka, maka kerukunan dan kedamaian bangsa Indonesia bisa terjaga.

"Semua agama mengajarkan bagaimana hidup berdampingan satu dengan yang lain. Kita
diharapkan selalu menjaga intern agama itu sendiri, antar umat beragama dan umat
beragama dan pemerintah. Karena itu, kontek negara yang pluraris ini hidup berdampingan
menjadi sebuah kebutuhan agar kita selalau menjaga keutuhan bangsa Indonesia,"
paparnya.

Digelar selama tiga hari, Jumat - Minggu (12-14/07) puncak kegiatan Tripitaka Chanting
akan digelar prosesi agung Puja Bhakti di pelataran Candi Borobudur.

4.4 Salah satu isi Sutta


CULAGOPALAKA SUTTA

Khotbah Pendek tentang Pengembala Sapi

Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,


Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005

[225] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di
negeri Vajji di Ukkacela di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau berbicara kepada para
bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi
berkata demikian:

2. Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi suku Magadha yang tolol. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videna di tempat yang tidak ada arungannya. Ketika ternak-ternak itu bergerombol
bersama di tengah arus Sungai Gangga, mereka menemui malapetaka dan bencana.
Mengapa demikian? Karena pengembala Magadha yang tolol itu, di bulan terakhir musim
hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di
sebelah sana, menggiring ternaknya menyeberangi pantai seberang di negara Videha di
tempat yang tidak ada arungannya.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang tidak
terampil di dunia ini dan di dunia lain, tidak terampil di dalam alam Mara dan apa yang
berada di luar alam Mara, tidak terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di
luar alam Kematian – hal itu akan membawa kerugian dan penderitaan untuk kurun waktu
yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan
brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi Magadha yang bijaksana. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videha di tempat yang ada arungannya. Dia membuat sapi-sapi jantan, para pejantan dan
pemimpin ternak itu masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan melawan arus Sungai Gangga
dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Kemudian, dia membuat ternak yang kuat
dan ternak yang akan dijinakkan masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai
Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat sapi betina muda
dan sapi jantan muda masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan
sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat anak-anak ternak dan ternak-
ternak yang lemah masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan
sampai dengan selamat ke pantai seberang. Pada waktu itu, ada anak sapi yang baru saja
lahir sehingga masih lemah, namun dengan dorongan lenguhah induknya, ia juga
membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Mengapa
demikian? Karena pengembala Magadha yang bijaksana itu, [226] di bulan terakhir musim
hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di
sebelah sana, mengiringi ternaknya menyebrangi pantai seberang di negara Videha di
tempat yang ada arungannya.

5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam Mara dan apa yang berada di
luar alam Mara, terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar alam
Kematian – hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun waktu yang
lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan
brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.

6. “para bhikkhu, sebagaimana sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu
membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula
bhikkhu-bhikkhu yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan, yang
telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah
menaruhkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu dumadi,
dan telah sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir – dengan membelah arus Mara
mereka telah sampai dengan selamat ke pantai seberang.

7. “Sebagaimana ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan itu membelah arus
Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang
dngan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah akan muncul lagi secara spontan [di
Alam Kediaman Murni], dan di sana mereka mencapai Nibbana akhir tanpa pernah kembali
dari alam itu. Dengan membelah arus Mara, mereka akan selamat sampai ke pantai
seberang.

8. “Sebagaimana sapi betina muda dan sapi jantan muda membelah arus Sungai Gangga
dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dengan
hancurnya tiga belenggu dan dengan melemahnya nafsu keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin, merupakan Yang-Kembali-Sekali-Lagi, yang kembali sekali lagi ke dunia
ini untuk mengakhiri penderitaan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan selamat
sampai ke pantai seberang.
9. “Sebagaimana anak sapi dan ternak yang lemah membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang dengan hancurnya
tiga belenggu, merupakan Pemsuk-Arus, yang tidak lagi terkena kejatuhan, pasti menuju [ke
pembebasan], mengarah ke pencerahan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan
selamat sampai ke pantai seberang.

10. “Sebagaimana anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, karena didorong
oleh lenguhan induknya, juga membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai
seberang, demikian juga para bhikkhu-yang merupakan para pengikut-Dhamma dan
pengikut-keyakinan-dengan membelah arus mara mereka juga akan selamat sampai ke
pantai seberang.368

11. “Para bhikkhu, aku [227] terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam
Mara dan apa yang berada di luar alam Mara, terampil di alam Kematian dan apa yang
berada di luar alam Kematian. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk
kurun waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan aku
bdan menaruh keyakinan padaku.”

12. Itulah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Setelah Yang tertinggi mengatakan hal itu,
Guru pun selanjutnya mengatakan:

“baik dunia ini maupun dunia sana


Dijelaskan dengan baik oleh orang yang tahu,
Dan apa yang masih di dalam jangkauan mara
Serta apa yang di luar jangkauan Kematian.

Karena langsung mengetahui semua alam,


Yang Tercerahkan yang memahami,
Membuka pintu menuju Tanpa-kematian
Yang melaluinya Nibbana dapat dicapai dengan selamat.

Karena arus mara sekarang telah dibelah,


Alirannya telah dihalangi, ilalangnya telah dibuang;
Maka bersuka-citalah, para bhikkhu, dengan megah
Dan teguhkan hati di mana keselamatan terletak.”
4.5 Penggolongan Tipitaka
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah
Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri
oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha
mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke
negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis
dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat
dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak


pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan
demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan
Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18
sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya.
Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang
sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian
nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-
negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-
negara lain.

Kita sebagai umat buddha, yang paling umum harus kita ketahui adalah kitab suci agama
buddha, Ajaran-ajaran/khotbah-khotbah Sang Buddha semuanya di rangkum dalam satu
bagan yaitu : Tipitaka, yang artinya tiga keranjang.

Kitab suci agama Buddha pada zaman dahulu di tulis dalam bahasa pali (bahasa yang di
gunakan sehari-hari di India sebelum masehi) di daun lontar, daun lontar masih tersimpan
utuh di vihara alu, Srilangka, sekarang banyak beredar buku bacaan tipitaka saduran dari
daun lontar bisa di dapat di toko-toko buku atau vihara.

Inilah Skema/bagan/pembagian kitab suci agama Buddha Tipitaka.

Agar lebih mudah di ingat/pelajari, buatlah skema Tipitaka di atas sebuah karton dan
tempelkan di dinding rumah/kamar anda.

Tipitaka terbagi atas 3 bagian :


1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri (terdiri dari 5
kitab)

a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara

2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha (terdiri dari 5 Nikaya)

a. Digha Nikaya : berisi khotbah ukuran panjang 34 sutta.


1. Silakkhanda vagga (13 sutta)
2. Maha vagga (10 sutta)
3. Pathika vagga (11 sutta)

b. Majjhima Nikaya : berisi khotbah ukuran sedang (5 vagga) 152 Sutta.


1. Mula Pannasa
a. Mula pariyaya vagga (10 sutta)
b. Silanda vagga (10 sutta)
c. Opamma vagga (10 sutta)
d. Culamaya vagga (10 sutta)

2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)

3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)

c. Samyutta Nikaya : berisi 5 Samyutta (7.762 sutta)


1. Sagatha ragga samyutta
2. Nidana ragga samyutta
3. Khanda ragga samyutta
4. Salayata ragga samyutta
5. Maha raga samyutta

d. Anguttara Nikaya : berisi 11 Nipata (9.557 sutta)


1. Ekaka Nipata
2. Duka Nipata
3. Tika Nipata
4. Cattuka Nipata
5. Pancaka Nipata
6. Chakka Nipata
7. Sattaka Nipata
8. Attaka Nipata
9. Navaka Nipata
10. Dasaka Nipata
11. Ekadasaka Nipata

e. Khuddaka Nikaya : berisi 15 kitab


1. Khuddaka Patta
2. Dhammapada
3. Udana
4. Ittivuttaka
5. Sutta Nipata
6. Vimana vatthu
7. Peta vatthu
8. Thera vatthu
9. Theri vatthu
10. Jataka
11. Nidessa
12. Patismbhidamaga
13. Apadana
14. Buddhavamsa
15. Carita pitaka

3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha (terdiri dari 7
kitab )
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana
PERTEMUAN 5
Topik 5: Ariya Athangika Magga
5.1 Pengertian
Jalan Utama Berunsur Delapan (bahasa Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; bahasa
Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ) merupakan ajaran utama agama Buddha yang
menjelaskan "Jalan" menuju lenyapnya Penderitaan (Dukkha) dan mencapai pencerahan.
Jalan Utama Berunsur Delapan merupakan bagian keempat dari Empat Kebenaran Mulia.
Bagian pertama dari Jalan Utama Berunsur Delapan adalah Pengertian Benar akan Empat
Kebenaran Mulia yang juga dikenal sebagai "Jalan Tengah".

Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah ditunjukkan oleh Sang Buddha melalui Jalan
Mulia Berunsur Delapan atau disebut juga sebagai Jalan Tengah (Majjhima Patipada), karena
dalam mempraktekkan Buddha Dhamma, Sang Buddha menasehatkan kepada para
siswanya untuk mengikuti Jalan Tengah dan menghindarkan diri dari Dua cara ekstrim yang
salah, yaitu :

Mencari kebahagiaan dengan menuruti atau memuaskan nafsu-nafsu indera.

Mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri.

Mencari kebahagiaan dengan cara ekstrim itu tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati,
cara itu tidak akan dapat menghentikan daur tumimbal lahir yang terus menerus, yang
berarti tidak dapat melenyapkan penderitaan bahkan menimbulkan penderitaan-
penderitaan baru.

Disebut ‘Jalan Mulia’ karena bila dilaksanakan dengan benar, maka akan menuntun
seseorang ke kehidupan yang mulia., disebut ‘ Berunsur Delapan ‘, karena terdiri dari
delapan unsur/ruas/jalur yang menuntun seseorang menuju tercapainya Nibbana.

“ Di antara semua jalan, maka "Jalan Utama Berunsur Delapan" adalah yang terbaik; di ”
antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran Mulia" adalah yang terbaik.

Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara
semua mahluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya
'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah
jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).

Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula
yang kutunjukkan setelah aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran
batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'.
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki 'Jalan' ini akan terbebas dari belenggu
Mara.
— Dhammapada 273-276

5.2 Penggolongan

Jalan Utama Berunsur Delapan sering kali dibagi menjadi tiga bagian:

·         Kebijaksanaan (Pali: Pañña; Sanskerta: prajñā)

1.   Pengertian Benar (sammä-ditthi)

2.   Pikiran Benar (sammä-sankappa)

) ·         Kemoralan (Pali: Sīla)

3.   Ucapan Benar (sammä-väcä)

4.   Perbuatan Benar (sammä-kammanta)

5.   Pencaharian Benar (sammä-ajiva

·         Konsentrasi (Pali: Samädhi)

6.   Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

7.   Perhatian Benar (sammä-sati)

8.   Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Kedelapan unsur tersebut menyandang kata Benar yang diterjemahkan dari


kata sammä (Pali) atau samyañc (bahasa Sanskerta). Kata-kata lain seperti sempurna
(perfect) atau sesuai (ideal)
“ Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau jalan
mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?

Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan,
tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan benar,
setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran benar,
konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Meditas
(Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna) ”
— Culavedalla Sutta

5.3 Klasifikasi Panna

Kebijaksanaan (Pañña)
Pengertian Benar
Pengertian Benar (samma-ditthi) yang merupakan kunci utama agama
Buddha, Tipitaka menjelaskan

“ Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar?

Pengetahuan tentang Dukkha, pengetahuan tentang asal usul Dukkha, pengetahuan


tentang berhentinya Dukkha, pengetahuan tentang cara berlatih yang membawa pada
berhentinya Dukkha.:

Inilah, para bhikkhu, yang dikatakan pandangan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Pengertian Benar mencakup pengetahuan tentang:

·         Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani)

·         Tiga Corak Umum (Tilakkhana)

·         Hukum Sebab-musabab (Paticcasamuppada)

·         Hukum Kamma
Bhikkhu Sariputta menjelaskan lebih lanjut mengenai "Pengertian Benar"
dalam Sammaditthi Sutta (Pali:Sammādiṭṭhi Sutta), di mana dijelaskan pula bahwa
pengertian benar dapat dicapai melalui pengertian yang lebih mendalam akan kebijakan
dan ketidak-bijakan, empat jenis makanan (cattaro ahara), dua belas nidana atau tiga noda
(asava). "Pengertian Salah" timbul karena ketidaktahuan (avijja), yang merupakan penyebab
dari pemikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, pencaharian salah, daya-upaya salah,
perhatian salah, dan konsentrasi salah. Praktisi (penganut agama Buddha) harus
menggunakan daya-upaya benar untuk meninggalkan pengertian salah dan
mempertahankan pengertian benar. Perhatian benar digunakan untuk senantiasa berada
pada pengertian benar.

Pemikiran Benar
Pengertian Benar mengakibatkan Pemikiran Benar (sammä-sankappa). Karena itu, faktor
kedua dari jalan utama ini, mempunyai dua tujuan:

·         melenyapkan pikiran-pikiran jahat, dan ;

·         mengembangkan pikiran-pikiran baik. Pikiran baik terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1.    Nekkhamma; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri
sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

2.    Abyapada; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.

3.    Avihimsa; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau
kebengisan.

5.4 Klasifikasi Sila


Kemoralan (Sīla)
Ucapan Benar
Ucapan Benar (sammä-väcä) adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã),
memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar / caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang
tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalãpã). Berikut syarat untuk sebuah ucapan
dikategorikan sebagai ucapan benar.

·        Ucapan itu benar

·        Ucapan itu beralasan

·        Ucapan itu berfaedah

·        Ucapan itu tepat pada waktunya

“ Pangeran, demikian juga dengan ucapan atau kata-kata semacam itu yang diketahui oleh ”
Tathagata bukan mewakili apa keadaannya tidaklah sesuai dengan kebenaran dan tidak
berhubungan dengan kebaikan, ucapan mana adalah tidak disenangi dan tidak disetujui
oleh orang-orang lain. Tathagata tidak mengatakan ucapan-ucapan semacam itu.

Ucapan semacam itu yang diketahui oleh Sang Tathagata mewakili apa keadaannya,
sesuai dengan kenyataan, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini
adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka ucapan-ucapan itu
tidak diucapkan oleh Tathagata.

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita, berhubungan
dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-
orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, tidaklah mewakili keadaan, tidak cocok
dengan realita dan tidak berhubungan dengan kebaikan tetapi ucapan itu disetujui oleh
orang-orang lain : ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, mewakili keadaannya sesuai dengan realita,
tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan ini disenangi dan disetujui oleh orang-
orang lain; ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui Tathagata, mewakili keadaannya, sesuai dengan realita dan
berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini disenangi dan disetujui oleh orang-orang
lain; Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu. Mengapa  ?
Sebab Tathagata mempunyai rasa kasih sayang terhadap makhluk-makhluk itu.
— Abhayarajakumara Sutta,  [6]
Perbuatan Benar
Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai "tindakan benar". Praktisi
(dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak benar secara moral,
tidak melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang
lain. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah , para bhikkhu, perbuatan benar?

Menahan diri dari pembunuhan, menahan diri dari pencurian, menahan diri dari hal-hal
yang berhubungan dan melakukan kegiatan seksual.:

Ini, para bhikkhu, yang disebut perbuatan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Pencaharian Benar
Pencaharian Benar (sammā-ājīva) berarti bahwa praktisi (pengikut Agama Buddha) tidak
sepatutnya berhubungan dengan usaha atau pekerjaan yang, secara langsung atau tidak
langsung, melukai mahluk hidup lainnya. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar?

Ada kasus di mana seorang murid dari Yang Mulia, meninggalkan penghidupan tidak
jujur, hidup dengan penghidupan benar:

Inilah, para bhikku, yang disebut penghidupan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Lima jenis bisnis yang seharusnya tidak dilakukan olah seorang umat awam:

1.    Bisnis Senjata

2.    Bisnis Manusia

3.    Bisnis Daging

4.    Bisnis barang yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran


5. Bisnis Racun

5.5 Klasifikasi Samadhi

Konsentrasi (Samädhi)
Daya-upaya Benar
Daya-upaya Benar (sammā-vāyāma) juga dapat diartikan dengan "usaha benar". Untuk hal
ini, praktisi (pengikut agama Buddha) harus berupaya keras untuk meninggalkan seluruh
pikiran yang salah dan dapat merugikan, perkataan, dan perbuatan. Praktisi (penganut
agama Buddha) sebaliknya harus berupaya keras untk meningkatkan apa yang baik dan
berguna untuk diri mereka sendiri dan orang lain dalam pemikiran mereka, perkataan dan
perbuatan, tanpa mengikut-sertakan pemikiran akan kesulitan atau kekhawatiran. Tipitaka
menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar?

(i) Di mana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh,


menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak memunculkan hal buruk,
kualitas tidak terampil yang belum muncul.

(ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang tidak
terampil yang telah muncul.

(iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul.

(iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti, menambah,
memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas terampil yang telah muncul:

Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Keempat daya-upaya benar dimaksud di atas adalah:

·        Usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul,


·        Usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul,

·        Usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul, dan

·        Usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.

Perhatian Benar
Perhatian Benar (sammā-sati), juga dapat diartikan sebagai "Ingatan Benar" atau "Kesadaran
Benar". Dengan demikian penganut agama Buddha harus senantiasa menjaga pikiran-
pikiran mereka terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Mereka harus
waspada dan berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau berkata-kata karena kelalaian
atau kecerobohan. Tipitaka menjelaskan hal ini demikian:

“ Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar?

(i) Di mana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar — tekun,
sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan
dunia.

(ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian —
membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

(iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian —
membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

(iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian
— membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Konsentrasi Benar
Konsentrasi Benar (sammā-samādhi), seperti yang ditunjukkan dalam bahasa Pali, adalah
melatih konsentrasi (samādhi). Dengan demikian seorang praktisi memusatkan pikiran
kepada suatu objek pikiran hingga mencapai konsentrasi penuh dan masuk kedalam kondisi
meditatif (Jhana). Biasanya, pelatihan samadhi dapat ditempuh melalui pengaturan
pernapasan (anapanasati), melalui visualisasi benda (kasina), dan melalui pengulangan
kalimat-kalimat tertentu. Samadhi dilakukan untuk menekan lima gangguan guna memasuki
jhana. Jhana merupakan sebuah media guna pengembangan kebijaksanaan dengan
menanamkan pengertian dan menggunakannya untuk menguji kesungguhan suatu
fenomena dengan pengenalan langsung. Hal ini membantu mengurani kekotoran,
merealisasikan dhamma dan, pada akhirnya, mencapai kesadaran diri. Selama berlatih
konsentrasi benar, seorang praktisi harus memeriksa dan membuktikan pandangan benar
mereka. Pada proses demikian, pengetahuan benar akan timbul, dan diikuti dengan
pembebasan sesungguhnya. Tipitaka menjelaskan:
“ Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar?

(i) Di mana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas, melepaskan


kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam jhana pertama:
kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan, disertai oleh pemikiran yang
diarahkan & penilaian.

(ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia memasuki & berdiam
di dalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan muncul dari konsentrasi, penyatuan
dari kesadaraan yang bebas dari pemikiran yang diarahkan & penilaian — kepastian dari
dalam.

(iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian & awas, dan
merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki & berdiam di dalam jhana ketiga,
yang dinyatakan oleh Yang Mulia, "Ketenangan & perhatian, dia memiliki kenikmatan
yang terus menerus."

(iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya kebahagiaan &


penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam di dalam jhana keempat:
kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh, tidak nikmat ataupun sakit.

Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta

PERTEMUAN 6

6.1 Pengertian

Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat Kebenaran


Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting dari ajaran
Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami Empat Kebenaran
Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan kematian. Pada ceramah
pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia sampaikan kepada lima orang bhikkhu
di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai Empat Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya Beruas
Delapan.

6.2 Pengelompokkan

Empat Kebenaran Ariya tersebut adalah:

 Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)

Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan,


ketidakpuasan, beban. Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia
yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati,
disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha
bersabda, "Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu: kelahiran
adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha,
sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha; berkumpul dengan
yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak
memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan
merupakan dukkha."

 Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca)

Samudaya adalah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang
menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan
adalah taṇhā, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan
seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya
terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha
juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan
haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.

 Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)

Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan


menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan
tersebut.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara
menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka kita
akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.

 Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha


Nirodha Ariya Sacca)

Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh
kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk menghentikan
dukkha, yakni melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Menuju Terhentinya Dukkha
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:


o Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan
Pikiran Benar (sammä-sankappa)
o Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar
(sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
o Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma),
Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

6.3 Tanha sebagai sebab penderitaan

Taṇhā adalah kata dalam bahasa Pali yang terkait dengan kata dalam bahasa


Weda, tṛṣṇā dan tarśa, yang berarti "nafsu keinginan".Konsep ini merupakan konsep yang
penting dalam kepercayaan Buddha.Terdapat tiga jenis taṇhā, yaitu:

 Kama-taṇhā (nafsu kesenangan sensual):bernafsu terhadap rasa senang atau


kenikmatan inderawi.Walpola Rahula menyatakan bahwa taṇhā tidak hanya terbatas
pada nafsu inderawi, kekayaan atau kekuasaan, tetapi juga nafsu terhadap gagasan
atau idealisme, cara pandang, pendapat, teori dan kepercayaan (dhamma-taṇhā)."
 Bhava-taṇhā (nafsu untuk ada): bernafsu untuk menjadi sesuatu dan bersatu dengan
suatu pengalaman.Nafsu ini terkait dengan ego, yaitu pencarian identitas tertentu
dan nafsu untuk terlahir kembali untuk selamanya.Menurut penjelasan yang lain,
nafsu ini dipicu oleh pandangan yang salah mengenai kehidupan abadi dan
keabadian.
 Vibhava-taṇhā (nafsu untuk tidak ada):nafsu untuk tidak mengalami hal yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan saat ini atau masa depan, seperti orang-orang atau
situasi yang tidak menyenangkan.Akibatnya muncul keinginan untuk bunuh diri atau
memusnahkan diri sendiri, dan dalam kepercayaan Buddha tindakan ini hanya akan
membuat mereka terlahir kembali dalam kehidupan yang lebih buruk. Menurut Phra
Thepyanmongkol, nafsu ini dipicu oleh pandangan yang salah mengenai bunuh diri
karena pelakunya mengira bahwa mereka tidak akan terlahir kembali.

Taṇhā dianggap sebagai penyebab dukkha (penderitaan) dan siklus kelahiran kembali


(Saṃsāra).Ajaran Buddha berusaha menghilangkan taṇhā dengan mengajak penganutnya
untuk mengikuti Jalan Utama Berunsur Delapan untuk melenyapkan dukkha.

6.4 Tiga Akar Kejahatan

Tiga akar kejahatan adalah lobha, dosa, dan moha. Semua akar kejahatan ini ada pada
setiap manusia, namun kadar atau kualitas dari masing-masing akar kejahatan ini berbeda-
beda. Ada manusia yang lobha-nya lebih menonjol daripada dosa dan moha-nya, begitu
juga ada manusia yang dosa-nya lebih tinggi daripada lobha dan moha-nya, serta ada juga
manusia yang moha-nya lebih dominan daripada lobha dan dosa-nya. Tetapi ketiga akar
kejahatan ini saling kait mengait, dimana semuanya saling mempengaruhi. Tiga akar
kejahatan ini sangat berbahaya sekali pada kehidupan semua makhluk, jika makhluk-
makhluk dikuasai oleh ketiga akar kejahatan ini, maka akan menderita dalam kehidupan ini
dan juga kehidupan yang akan datang, dan akan terus-menerus mengalami kelahiran dan
kematian tanpa henti.

Lobha adalah keserakahan, menginginkan barang milik orang lain, bisa juga dikatakan tidak
puas dengan apa yang telah dimiliki, ingin terus-menerus mencari kesenangan-kesenangan,
apapun caranya akan ditempuh demi keinginannya terpenuhi, keinginan pada kepuasan
indera (mata, telinga, mulut, hidung, kulit). Kemelekatan dan kerinduan atau kesenangan
terhadap kenangan yang indah, terhadap seseorang. Kemelekatan dan kerinduan atau
keinginan untuk tetap cantik atau gagah, keinginan untuk menjadi terkenal, dan lain-lain
yang tergolong keinginan untuk memiliki sesuatu dan tidak mau melepaskan segala yang
dimiliki.
Dosa adalah kebencian, tidak suka terhadap seseorang, tidak suka kepada diri sendiri,
cemburu pada seseorang, iri hati/sirik atas keberhasilan yang dicapai oleh orang lain, curiga,
takut, cemas, was-was, dendam kesumat, serta hal-hal lainnya yang tergolong keinginan
untuk menolak sesuatu.

Moha adalah kebodohan batin. Pengertian bodoh disini bukan bodoh karena tidak bisa
menulis, bukan bodoh karena tidak bisa membaca, tetapi bodoh yang dimaksud adalah
bodoh batinnya. Ia tidak bisa membedakan perbuatan baik yang harus dilakukan dan
perbuatan jahat yang semestinya ditinggalkan. Perbuatannya cenderung pada hal-hal yang
jahat. Karena bodoh batinnya, ia menganggap kejahatan wajar dilakukan, termasuk juga
dalam kebodohan batin ini adalah malas melakukan kebajikan, sifat egois, gengsi, sombong,
keangkuhan, kemunafikan.

Tiga akar kejahatan ini sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk-makhluk, tidak hanya
dalam kehidupan ini akan membuat penderitaan, tetapi juga dalam kehidupan yang akan
datang akan mengkondisikan terlahir ke alam-alam rendah/derita. Di dalam Itivuttaka
dijelaskan bahwa sebagian besar makhluk-makhluk meninggal dan lahir di alam-alam
rendah/sengsara yaitu alam peta/setan, neraka dan binatang karena kekuatan dari lobha,
dosa, dan moha.

6.5 Akhir Dukkha

Lobha/nafsu serakah dicegah dengan alobha/tidak nafsu serakah yaitu dengan cara
mengembangkan santuṭṭhῑ/merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan merenungkan
serta memahami tentang ketidakkekalan dan kelapukan dari tubuh ini.

- Dosa/kebencian  dicegah dengan adosa/tidak membenci yaitu dengan cara


mengembangkan mettā bhāvanā/cinta kasih.

- Moha/kebodohan batin dicegah dengan amoha/batin yang tidak bodoh, yaitu


mengembangkan paññā/kebijaksanaan, mengerti bahwa perbuatan baik akan
mengakibatkan kebahagiaan, dan perbuatan jahat akan mengakibatkan penderitaan. Bila
bisa meninggalkan dan melenyapkan tiga akar kejahatan ini, maka tercapai kesucian, dan
untuk mengikis atau melenyapkan tiga akar kejahatan ini, maka hendaknya kita melakukan
praktik vipassanā bhāvanā.

Dengan mengerti bahwa betapa bahayanya tiga akar kejahatan ini, maka mari kita berusaha
untuk mengikisnya. Kalaupun kita belum mampu mengikisnya, setidaknya kita berusaha
untuk menekan agar jangan sampai tiga akar kejahatan ini terus berkembang
PERTEMUAN 7
7.1 Pengertian

Tilakkhana atau Tiga Corak Umum atau kadang disebut Tiga Corak Kehidupan yaitu anicca,
dukkha dan anatta, merupakan tiga corak umum yang ada di setiap segala sesuatu atau
fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di alam semesta ini,
termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari Hukum Kebenaran
Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu,
Tilakkhana merupakan corak yang universal.

Tilakkhana ( 3 sifat universal)  :

·       Sabbe Sankhara Anicca

·       Sabbe Sankhara Dukkha

·       Sabbe Dhamma Anatta

"Sabbe sankhara anicca`ti.

Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."

Segala sesuatu yang berkondisi adalah anicca.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini;

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 277)

 
"Sabbe sankhara dukkha`ti.

Yada pannaya passati;

atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 278)

"Sabbe dhamma anatta`ti.

Yada pannaya passati;

atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."

Segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah anatta.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 279)

 
Sang Buddha pernah bersabda :

"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata

atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha,

tetaplah berlaku suatu hukum,

suatu kesunyataan yang mutlak

bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,...

tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."

(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)

7.2 Sabbe Shankara Anicca

ANICCA ( Perubahan/Ketidak kekalan )

“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah jalan yang membawa pada kesucian.”

( Dhammapada XX ; 277 )

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk,

segalanya muncul dan lenyap kembali.

Mereka muncul dan kembali terurai.


Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."

(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Satu kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari ajaran Buddha.
Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan tanpa
inti (anatta).

Anicca berasal dari kata “an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan


sebagai tidak atau bukan. Dan “nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi
kata ”an-nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah. Dalam
bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan
unsur) akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)

Anicca (Ketidak-kekalan) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi
manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai atau
segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang
tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke
waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran, bayi tumbuh
menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh menjadi dewasa, lalu
menjadi tua dan mati.

Semua fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang tak
putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses,
yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan
kemudian Bhanga (berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua
saat yang berturut-turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca bersifat netral dan
tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil dari sebab-sebab dan kondisi yang
berubah, maka segala sesuatu juga terus-menerus berubah.
7.3 Sabbe Sankhara Dukkha

DUKKHA ( Penderitaan )

Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan.
Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata ”duh-kha”
berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur,
merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau
penderitaan.

Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan?
Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika kita
tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami perubahan, tidak
kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita dan akhirnya
menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Terdapat 12 macam dukkha, yaitu:

1.     Penderitaan dari kelahiran (Jati-dukkha)

2.     Penderitaan dari ketuaan (Jara-dukkha)

3.     Penderitaan dari kesakitan (Byadhi-dukkha)

4.     Penderitaan dari kematian (Marana-dukkha)

5.     Penderitaan dari kesedihan (Soka-dukkha)

6.     Penderitaan dari ratap tangis (Parideva-dukkha)

7.     Penderitaan dari jasmani (Kayika-dukkha)

8.     Penderitaan dari batin (Domanassa-dukkha)


9.     Penderitaan dari putus asa (Upayasa-dukkha)

10.  Penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan


musuh (Appiyehisampayoga-dukkha)

11.  Penderitaan karena berpisah dengan sesuatu / seseorang yang dicintai (Piyehivippayoga-


dukkha)

12.  Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan. (Yampicchannaladhi-dukkha)

" Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu?

Itu bukan lain adalah kelima kelompok kemelekatan

(Panca-Khandha). "

(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)

Didalam Ajaran Empat Kebenaran Mulia, pengertian tentang Dukkha tidak terbatas pada
penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak
sempurnaan atau ketidak abadian.

Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup
sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah Dukkha.
Tetapi hendaknya dimengerti bahwa setiap kegembiraan bahkan dalam keadaan Jhana yang
dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka pun
masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.

Tidak seperti ciri keberadaan atau corak kehidupan yang lain seperti Anicca dan Anatta yang
mudah diterima secara obyektif, Corak Penderitaan (Dukkha Lakkhana) ini sulit diterima begitu
saja oleh manusia, karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di
alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan.

Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:

 
1.  Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami
manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya. Penderitaan
pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak
disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok
Dukkha ini.

2.  Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang


menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini
biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.

3.  Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau
berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok kemelekatan (Pancakkhandha).

7.4 Sabbe Sankhara Anatta

ANATTA ( Tiada Inti Diri )

“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;

apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,

Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”

( Dhammapada XX ; 279 )

Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering diterjemahkan
sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam bahasa
Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti  ‘‘bukan diri sejati”
atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti diri” .

Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu psikologi,
filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti “diri”, “mahkluk”,
“ego”, “jiwa”, “roh”, “aku” atau “kepribadian”. Namun sebelum membahas tentang apa
itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari sudut pandang Buddhis
maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat, apa yang ditolak Sang
Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia menolak keberadaan atta.

Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis

Definisi atta menurut non-Buddhis :

1) Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :

·       Sesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau
dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang
tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun
menciptakan individu.

2) Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :

·       Jiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam), Monad, Ego,
Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat dipahami, batin,
atau bahkan pikiran.

Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:

1) Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:

·       Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, jiwa,
atau substansi pokok yang bersifat kekal.

2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:

·       Atta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai definisi atta atau
jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi. Karena itu perlu
juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.

Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah:

1.  Individu sebagai makhluk hidup;


2.  Ego atau aku;

3.  Kepribadian atau kumpulan sifat.

Definisi 'ego' adalah: diri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiri. Definisi


'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang bersifat dinamis dan
menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang atau sesuatu yang memberikan prakiraan
apa yang akan dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu situasi. Istilah-istilah
psikologis itu bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran Buddha untuk
menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu berguna sebagai
label, namun secara mutlak, label-label tersebut, seperti yang akan kita lihat, hanya sekedar
nama yang semata-mata merupakan kebenaran ilusi.

Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan


psikologi konvensional mengenai makhluk.

Satta, menurut Nyanatiloka, berarti makhluk hidup. Puggala berarti individu, orang,


berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta). Jiva adalah
kehidupan sesuatu yang vital/ jiwa.

7.5 Panca Khanda

Sang Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal,
semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-
jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.

Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran adalah lima
khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.Bila khandha itu memiliki atta,
maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita, karena semua
keinginannya dapat dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu." Tetapi,
karena khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan oleh sebab
itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi. Misalnya, "
Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu."

( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Sang Buddha menjelaskan


bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan),  Sankhara (pikiran)
dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khandha (lima kelompok
kehidupan/kemelekatan) yang semuanya bukanlah diri sejati.  Jika Khandha itu merupakan
diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan seseorang akan
khandha-nya akan terpenuhi,”Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”. Tetapi
karena khandha tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan atau harapan
seseorang, “Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga mengalami
penderitaan, maka dikatakan bahwa khandha bukanlah diri sejati.
PERTEMUAN 9
9.1 Pengertian dan Rumusan
Paticca samuppada (bahasa Pali: paticcasamuppāda; bahasa Sanskerta: प्रतीत्यसमु त्पाद
(pratītyasamutpāda); Hanyu: 緣起) berarti Hukum Sebab-Musabab yang saling
bergantungan merupakan salah satu ajaran terpenting dalam agama Buddha.

Ajaran ini menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua
mahluk, khususnya manusia. Dengan menganalisis dan merenungkan Paticca Samuppada
inilah, Siddhartha Gautama (yang pada saat itu masih menjadi Petapa) akhirnya mencapai
Penerangan Sempurna menjadi Buddha.[1]

Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga
melihat Paticcasamuppada.
“ ”
Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so
paticcasamuppadam pasati.
— Maha-hatthipadopama Sutta:  Majjhima Nikaya  28
Pemahaman akan Paticcasamuppada yang sederhana adalah:

Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.


Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
“ ”
Imasmiṃ sati, idaṃ hoti.
Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti.
Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati.

9.2 Penggolongan Nidana


12 (dua belas) Sebab-musabab (Nidana) yang ada dalam setiap mahluk, khususnya manusia
dapat dikategorikan sebagai berikut:

Kehidupan lampau Kehidupan Kehidupan yang


sekarang akan datang
 Ketidaktahuan
/ kebodohan  Kesadaran  Kelahiran
 Bentuk-  Batin dan kembali
bentuk Jasmani
perbuatan /  Enam indra  Kelapukan,
Kamma  Kesan-kesan kematian,
 Perasaan sakit
 Keinginan /
kehausan
 Kemelekatan
 Proses
tumimbal
lahir

“..... Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”


— Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya  12.2 (S
2.1)

9.3 Dua Belas Rantai Nidana

hanya point utama yaitu dua belas mata rantai hukum paticcasamuppada.

memulai uraiannya  dari gambar yang ditengah tengah giagram paticcasamuppada berupa
gambar seekor ayam, seekor ular dan seekor babi. Ketiga hewan tersebut melambangkan
sifat dasar dari setiap manusia yaitu lobha, dosa dan moha.

Babi melambangkan sifat moha atau kebodohan batin kita. Ayam melambangkan sifat
lobha atau keserakahan kita dan ular melambangkan sifat dosa atau kebencian, kemarahan,
atau sifat penolakan kita.

Itulah sifat dasar kita yang menyebabkan kita terus menerus menderita dalam kehidupan
yang berulang ulang.

Moha atau kebodohan batin adalah ketidakmampuan kita untuk membedakan mana yang
baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Moha membuat batin kita
gelap atau bisa disebut juga Avijja (kegelapan batin).

Anda dapat melihat pada diagram hukum Paticcasamuppada disebelah kanan agak keatas
dari lingkaran ayam, ular dan babi tersebut tulisan Avijja. Kegelapan batin inilah yang
membuat sebab penderitaan kita.
Dibawah ini saya berikan gambar gambar 12 mata rantai dari hukum Paticcasamuppada
yang mungkin bisa dapat menolong anda untuk lebih memahami. Dimulai dari rantai
pertama yaitu avijja.

AVIJJA digambarkan sebagai orang buta yang memegang tongkat dengan resiko masuk
jurang.

Avijja akan mengakibatkan kita akan berbuat berbagai bentuk perbuatan baik atau buruk.
Avijja akan mengakibatkan sankhara atau diartikan sebagai bentuk bentuk perbuatan,

SANKHARA digambarkan seperti pembuat periuk yang terus membuat periuk apapun


hasilnya.

Sankhara, bentuk bentuk perbuatan (karma) yang dilakukan terus menerus akan menjadi
sebab yang baru. Karena masih membuat karma karma baru maka setelah meninggal akan
dilahirkan kembali. Fisiknya musnah namun akan ada kesadaran yang menyambung. Jadi
Sankhara mengakibatkan munculnya kesadaran atau patisandhi vinnana.

PATISANDHI  VINNANA digambakan seperti seekor kera yang meloncat ke pohon lain


yang masih banyak buahnya dari pohon yang sudah kehabisan buah.

Demikian seterusnya akan muncul sebab satu yang akan mengakibatkan hal lain. Gambar
mata rantai yang lain saya lanjutkan dibawah. Untuk penjelasannya silakan anda
mendengarkan secara langsung uraian Bhante Sri Pannavaro tentang hukum
Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan. File audio nya bisa
anda dengarkan dengan mengklik tombol play yang saya posting diatas dan dibawah
setelah gambar gambar ilustrasi di bagian bawah postingan ini. Anda juga bisa
mendownloadnya dengan menggunakan username dan password yang sudah  diberikan
kepada semua anggota ceramahdhamma.com

NAMA dan RUPA, Batin dan jasmani. Karena ada kesadaran untuk lahir kembali maka
mengakibatkan munculnya nama rupa yng digambarkan seperti sepasang manusia pria dan
wanita.

 
Karena ada batin dan jasmani maka akan mengakibatkan adanya Salayatana atau enam
landasan indria kita berupa mata, hidung, telinga, kulit, lidah dan pikiran.

SALAYANATA, enam landasan indria digambarkan seperti rumah yang mempunyai lima


jendela dan satu pintu.

Karena adanya lima panca indra serta pikiran maka memungkinkan terjadinya kontak
dengan segala sesuatu di sekeliling kita.

PHASSA (KONTAK) digambarkan seperti seorang wanita yang sedang menelepon dan


sepasang kekasih yang sedang berpacaran.

Karena adanya kontak maka menimbulkan vedana atau perasaan. Bisa perasaan senang,
tidak senang dan netral.

VEDANA atau perasaan digambarkan seperti seorang yang matanya tertusuk anak panah,
karena perasaan sungguh akan membutakan kita.

Karena adanya perasaan senang, tidak senang maka akan menimbulkan tanha atau
keinginan yang terus menerus untuk mendapatkan perasaan tersebut.

TANHA atau keinginan yang terus menerus tersebut digambarkan seperti seorang wanita
yang sedang makan.

Karena adanya keinginan yang terus menerus maka akan menimbulkan kemelekatan atau
Upadana.

UPADANA atau kemelekatan digambarkan seperti orang yang tidak pernah berhenti


mengambil buah yang ada di pohon walaupun keranjangnya sudah penuh dengan buah
bahkan sudah luber dan berserakan.

Kemelekatan akan menimbulkan terjadi nya pertumbuhan yang akan terus menerus atau
bhava.

BHAVA atau terus bertumbuh digambarkan sebagai sepasang suami istri yang melekat satu
sama lain.
Bhava yang disebabkan karena adanya kemelekatan akan menimbulkan terjadinya kelahiran
atau jati.

JATI atau kelahiran digambarkan sebagai ibu yang sedang melahirkan.

Dengan adanya kelahiran maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan sakit, tua dan
kematian kembali atau Jara Marana.

JARA MARANA atau tua, sakit dan mati digambarkan sebagai berikut.

semoga anda mendapatkan tambahan kebijaksanaan dari uraian mengenai hukum


Paticcasamuppada ini. Semoga anda semua berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu.

9.4 Rangkaian Akhir Penderitaan

Berakhirnya kebodohan secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan


kehendak.

Berakhirnya seluruh kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal


lahir.

Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.

Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan berhentinya enam landasan indria.

Berakhirnya enam landasan indria mengakibatkan berhentinya kontak.

Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya perasaan.

Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya keinginan.

Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan berhentinya nafsu kemelekatan.


Berakhirnya nafsu kemelekatan mengakibatkan berhentinya kamma.

Berakhirnya kamma mengakibatkan berhentinya kelahiran.

Berakhirnya kelahiran mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh


kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.

Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap
tangis maka berakhirlah tumimbal lahir.

9.5 Aganna Sutta

Agganna Sutta, dikatakan: "manusia pertama di bumi ini banyak, mulai dari
makhluk Abhassara Bhumi yang mati. Kemudian lahir di bumi melayang-layang
dengan tubuh bercahaya, bumi sedang berproses. Ketika bumi sedang berproses,
makhluk ini timbul sifat lobha, memakan sari tanah". Di dalam Agganna Sutta itu juga
dijelaskan, dengan meningkatnya tanha dari makhluk-makhluk yang bercahaya
tersebut, maka menimbulkan tingkat kelebihan dari konsumsi. Sebagai ilustrasi:
dengan meningkatnya lobha, pohon-pohon padi yang biasanya tidak perlu dipanen
karena padi datang bergulir sendiri, sehingga orang pada saat itu tidak menanam padi
untuk diambil, tetapi padi itu "jalan" sendiri, sudah masak sendiri. Tetapi karena
sifat lobha tadi, makhluk-makhluk itu menyimpan dan mengambil lebih banyak;
karena mengambil lebih banyak artinya pohon ini menjadi lebih sedikit sehingga
pohon padi harus ditanam. Orang tersebut harus datang ke sawah untuk memelihara
dan mengambil padi tersebut. Dengan meningkatnya keserakahan orang tersebut,
maka pohon padi terkondisikan untuk dibudidayakan dan seterusnya sampai
terbentuknya sistem-sistem di masyarakat. Masyarakat kemudian dikelompokkan
berdasarkan pekerjaan. Ada yang sebagai brahmana, satria, dan sebagainya. Pada
akhirnya pengelompokkan masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan itu dianggap oleh
orang sekarang seolah-olah seperti kasta. Awalnya itu cerita dari meningkatnya
lobha/tanha. Jika itu dihubungkan, ada satu aplikasi dari Paticcasamuppada yang
bergulir pada kehidupan sosial hingga berpengaruh terhadap lingkungan.
PERTEMUAN 10

10.1 Pengertian

Kamma (Sanskerta: karma) adalah kata dalam bahasa Pali yang berarti yang berarti


perbuatan. Hal ini dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan,
yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan
dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau
buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda:

"O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (bahasa Pali: Cetana) itulah yang kami namakan
Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran."

Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas berputus-
asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan. Memang segala
sesuatu yang lampau memengaruhi keadaan sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak
menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang telah lampau dan
keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi
pada saat sekarang memengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau
sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat
ke lain saat dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang
inilah yang nyata dan ada "di tangan kita" sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya.
Oleh sebab itu kita harus hati-hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya
senantiasa akan bersifat baik.

Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb:

"Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat
kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari
padanya".

Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar adanya.
Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah
kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita dan membuat
kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat suatu
kesalahan. Janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka itu senantiasa
benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan juga tidak memihak. Ia
adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan berlangsung terus.

10.2 Jenis-Jenis

12 macam kamma tersebut dibagi berdasarkan 3 kelompok yakni berdasarkan waktu


berbuahnya, berdasarkan kekuatan karma dan berdasarkan fungsinya.

Kamma berdasarkan jangka waktu berbuahnya:

1. Ditthadhamma Vedaniya Kamma adalah Kamma yang berbuahnya juga dalam


kehidupan sekarang.
2. Upajja Vedaniya Kamma adalah Perbuatan yang kita lakukan sekarang, hasilnya tepat
di kehidupan yang akan datang.
3. Aparapara Vedaniya Kamma adalah Perbuatannya itu hasilnya berturut-turut selama
kehidupannya berlansung.
4. Ahosi Kamma adalah Kamma yang tidak bisa berbuah lagi, karena jangka waktu
berbuah dan kondisi pendukungya sudah habis.

Kamma berdasarkan kekuatannya:

1. Garuka Kamma adalah Perbuatan yang akibatnya paling besar atau kuat. Yang
termasuk Akusala Garuka Kamma.
2. Asañña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan menjelang kematian yang
kekuatnnya paling kuat. Jadi misalnya saat kita berada pada menjelang kematian
maka setelah itu kita akan dilahirkan di alam sesuai dengan pkiran pada saat
menjelang kematian itu, misalnya saja marah maka setelah itu akan terlahir di alam
Neraka. Namun itu sesuai dengan karma baik kita juga. Jika karma baik kita
menopang maka terlahir di alam Neraka hanya sebentar. Begitu pula sebaliknya.
3. Aciñña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan terus menerus yang akhirnya akan
menjadi watak atau kebiasaan ( karena kebiasaan yang dilakukan ).
4. Katatta Kamma adalah Kekuatan yang paling ringan atau cetananya ringan.

Kamma berdasarkan Fungsinya:

1. Janaka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk mendorong kelahiran suatu
makhuk (potensi).
2. Upatahmbaka Kamma adalah Kamma yang fungsinya untuk memperkuat,
menambah Janaka Kamma jadi hasilnya bisa menjadi besar (kamma yang searah).
3. Upapilaka Kamma adalah Kamma yang mengurangi kekuatan Janaka Kamma yang
arahnya berlawanan.
4. Upaghataka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk menghancurkan kekuatan
dari Janaka Kamma.

10.3 Akusala Garuka Kamma

Kamma berdasarkan salurannya:

1. Kamma Pikiran (mano-kamma).


2. Kamma Ucapan (vaci-kamma).
3. Kamma Perbuatan (kaya-kamma).

Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah kelahiran
di alam neraka:

1. Membunuh ibu.
2. Membunuh ayah.
3. Membunuh seorang Arahat.
4. Melukai seorang Buddha.
5. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.

10.4 Dasa Kusala Kamma

1. Gemar beramal dan bermurah hati akan berakibat dengan diperolehnya kekayaan
dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
2. Hidup bersusila mengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang
keadaannya berbahagia.
3. Bermeditasi berakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
4. Berendah hati dan hormat menyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
5. Berbakti berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain berbuah dengan terlahir
kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam lingkungan
yang menggembirakan.
8. Sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
9. Menyebarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan
10. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.

10.5 Dasa Akusala Kamma

1. Pembunuhan akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan


karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa
berada dalam ketakutan,dijauhi orang
2. Pencurian akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang
senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain.
3. Perbuatan asusila akibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang
tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan
seksnya.
4. Berdusta akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
5. Bergunjing akibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa alasan yang jelas.
6. Kata-kata kasar dan kotor akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang
lain.
7. Omong kosong akibatnya bertubuh cacat, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh
khalayak ramai.
8. Keserakahan akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
9. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lain akibatnya buruk
rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
10. Pandangan salah akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang
bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.
PERTEMUAN 11

11.1 Pengertian
Teori agama Buddha mengenai kelahiran kembali atau tumimbal lahir ( punabbhava )
bersumber dari Penerangan Sempurna yang dicapai oleh Buddha dan bukan dari
kepercayaan tradisional India. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci agama Buddha
( Mahasaccaka Sutta, Majjhima Nikaya ) pada malam tercapainya Penerangan Sempurna
Buddha memperoleh kemampuan untuk mengetahui kehidupan – kehidupan – Nya yang
lampau. Kala itu ketika pikiranNya tenang, bersih, suci dan tanpa cacat, bebas dari kotoran
yang mencemari, lentur dan fleksibel, mantap dan tak goyah, Beliau memperoleh
kemampuan untuk mengingat kembali kehidupan – kehidupanNya yang terdahulu.

Dengan menggunakan kemampuan mata batin – Nya ( dibbacakkhu ), Buddha dapat


melihat antara lain, kelangsungan hidup dari makhluk hidup dalam berbagai keadaan
kehidupan, setiap keadaan sesuai dengan karma atau perbuatannya.

Menarik untuk diperhatikan bahwa penelitian terbaru dalam bidang psikologi telah
mengakui apa yang disebut supernormal. Minat terhadap masalah yang melebihi jangkauan
indra ( persepsi ekstrasensori ) dalam percobaan psikologi lambat laun mendapat kemajuan,
dan hasil – hasil yang dicapai agaknya di luar pemahaman biasa.

Kasus – kasus mengenai anak – anak yang dapat mengingat kehidupannya yang lampau
mendapat sorotan bukan hanya di negara – negara Asia seperti Myanmar, India, Sri Lanka
( Ceylon ) dan negara – negara timur lainnya, melainkan juga di negara – negara barat. Dr.
Ian Stevenson, M.D dari Universitas Virginia USA telah menerbitkan hasil – hasil dari
penyelidikan dan penelitiannya dalam beberapa buku, dua diantaranya berjudul : Twenty
Cases Suggestive of Reincarnation, dan Sri Lanka Cases of Reincarnation Type.

Perhatikan juga dua buku lainnya : Reincarnation – An East – West Anthology dan
Reincarnation in World Thought – A Living Study of Reincarnation in all Ages, tulisan –
tulisan pilihan dari kalangan berbagai agama dunia, filsafat, ilmu pengetahuan serta pemikir
besar di masa lampau dan sekarang, disusun dan disunting oleh Joseph Head dan S.L.
Cranston, Julian Press Inc, New York, 1961 dan 1967.

Para ahli filsafat Yunani kuno seperti Empedocles dan Pythagoras juga mengajarkan ajaran
mengenai kelahiran kembali dan plato membuatnya sebagai asumsi penting dalam
filsafatnya.
11.2 Hukum Perubahan/kelanjutan/pembentukan

Hukum atau prinsip tertentu harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha untuk
memahami ajaran kelahiran kembali atau kelangsungan hidup. Hukum atau prinsip dasar
pertama yang harus diuji dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum
perubahan ( anicca ). Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang
kekal atau abadi. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan sasaran dari hukum
perubahan yang universal dan tanpa henti ini. Ketika melihat air sungai, seseorang mungkin
berpikir bahwa semuanya sama, tetapi tidak ada setetes air pun yang dilihat seseorang pada
saat mana saja tetap di tempatnya sama dengan sesaat yang lalu. Bahkan seseorang yang
terlihat diam tidaklah sama pada dua saat yang berurutan. Kita hidup dalam dunia yang
selalu berubah sementara kita sendiri juga ikut mengalami perubahan. Ini merupakan
hukum abadi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Buddha : “ Segala sesuatu yang
terjadi dari paduan unsur dan berkondisi, yang hidup atau mati, adalah tidak kekal “ ( sabbe
sankhara anicca ).

Ciri yang penting dari hukum perubahan ini adalah walau segala sesuatu merupakan
sasaran perubahan, tidak ada yang pernah musnah atau lenyap. Hanya bentuknya yang
berubah. Jadi zat padat dapat berubah menjadi zat cair dan zat cair menjadi gas, tetapi tidak
satu pun yang sesungguhnya benar – benar hilang. Zat materi adalah cerminan energi dan
yang semacam itu tidak akan pernah dapat musnah atau lenyap sesuai dengan prinsip ilmu
pengetahuan, yang juga disebut dengan hukum kekekalan energi.

Ciri penting lainnya dari hukum perubahan adalah tidak adanya pembedaan dan garis
pemisah yang membatasi antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi atau keadaan
yang selanjutnya. Setiap penggabungan membentuk keadaan yang selanjutnya. Bayangkan
ombak di laut yang naik dan turun. Setiap kali ombak yang naik lalu turun memberikan
kesempatan pada ombak lain bergerak, yang juga naik lalu turun untuk memberikan
kesempatan pada ombak yang lain lagi, setiap ombak menyatu membentuk ombak yang
selanjutnya. Disini tidak ada garis pembatas antara ombak yang satu dan ombak yang
selanjutnya. Demikian pula dengan segala perubahan kondisi di dunia ini. Jadi perubahan
merupakan proses yang terus menerus, perubahan atau aliran yang tanpa henti – suatu
pemikiran yang sangat selaras dengan pemikiran ilmu pengetahuan modern.

Dua hukum atau prinsip dasar lain yang harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam
usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum pembentukan dan hukum
kontinuitas. Sementara hukum perubahan menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang
kekal, tetapi selalu mengalami perubahan, hukum pembentukan menyatakan bahwa segala
sesuatu, setiap saat, mengalami proses pembentukan menjadi benda lain. Jadi hukum
pembentukan adalah akibat wajar atau kelanjutan yang sewajarnya dari hukum perubahan.
Tidak pada saat kapan pun sesuatu tidak mengalami proses pembentukan menjadi sesuatu
yang lain. Pembentukan yang tanpa henti merupakan ciri dari semua benda. Ciri inilah yang
selalu ada mendasari segala perubahan.

Hukum kontinuitas bergantung pada hukum pembentukan. Pembentukan menimbulkan


kelanjutan, dan oleh karena itu, hukum kontinuitas merupakan akibat wajar, kelanjutan yang
sewajarnya dari hukum pembentukan. Karena terdapat kelanjutanlah maka seseorang tidak
dapat melihat garis pemisah yang jelas antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi
yang selanjutnya.

11.3 Lingkaran Kehidupan

Dalam pemikiran Buddhis tidak ada awal mula dari yang tak ada. Tidak ada yang tanpa
sebab. Segalanya, yang hidup ataupun mati, berawal mula melalui sebab, segalanya
memiliki kondisi. Namun, agama Buddha tidak membicarakan sebab yang pertama. Awal
pertama dari urut – urutan kehidupan mahkluk hidup tidak dapat dijelaskan dan
sebagaimana yang dikatakan oleh Buddha : “ Roda kehidupan ini, lingkaran yang tidak
terputus ini, tidak memiliki akhir yang jelas, dan awal pertama dari mahkluk hidup, sebab
pertama, tidak dapat diketahui. “

Ketika Buddha menekankan bahwa apa yang disebut “ mahkluk hidup “ atau “ manusia “
tidak lain adalah perpaduan dari badan jasmani dan kekuatan atau energi batin, yang
berubah tanpa henti, bukankah Beliau telah mendahului ilmu pengetahuan modern dan
ilmu psikologi modern dua puluh lima abad sebelumnya ?

Kehidupan jasmani – rohani ini mengalami perubahan tanpa henti, membentuk proses
jasmani – rohani baru setiap saat, sehingga mempertahankan kemampuan proses badan
jasmani di masa yang akan datang, dan tidak meninggalkan kekosongan di antara satu saat
dan saat berikutnya. Kita hidup dan mati setiap saat dalam kehidupan kita. Semata – mata
hanya terbentuk dan lenyap, timbul dan tenggelam bagaikan ombak di laut.

Perubahan tanpa henti, proses jasmani – rohani tersebut yang jelas bagi kita dalam
kehidupan ini, tidak terhenti pada saat kematian, tetapi terus berlanjut tanpa henti. Arus
tanpa henti dari batin yang dinamis ini dikenal sebagai kehendak, kemauan, hasrat atau
nafsu keinginan ( tanha ) yang merupakan kekuatan karma. Kekuatan besar ini, keinginan
untuk hidup, membuat hidup terus berlanjut. Menurut agama Buddha, bukan hanya
kehidupan manusia, tetapi seluruh kesadaran dunia ditarik oleh kekuatan yang luar biasa ini
– batin ini dengan faktor kejiwaannya, baik ataupun buruk.
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, menurut ajaran materialistis, manusia berhenti
hidup pada saat kematian. Namun, menurut agama Buddha, kekuatan dan energi tidak
berhenti pada saat kematian ; tidak ada kekuatan yang pernah hilang, selalu mengalami
perubahan. Energi tidak berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dapat berhenti
untuk hidup di satu tempat dan mulai hidup lagi di tempat lain. Dalam diri manusia
kekuatan terbesar adalah keinginannya untuk hidup, melanjutkan hidup, menjadi lebih dan
lebih lagi. Kekuatan ini tidak hilang pada saat kematian. Kekuatan itu hidup, memulai lagi
dan terbentuk kembali dalam keadaan baru berpadu dengan sendirinya. Memulai lagi
perubahan penting tanpa henti ini dalam keadaan baru disebut dengan kelahiran kembali,
tumimbal lahir atau pembaharuan kembali eksistensi.

Proses karma ( kammabhava ) adalah kekuatan yang datang dari kehidupan sekarang,
mempersiapkan kehidupan yang akan datang dalam rangkaian tanpa akhir. Dalam proses
ini tak ada yang meninggal dunia di sini dan lahir di tempat lain, seseorang bukan orang
yang sama, bukan juga orang yang sepenuhnya berbeda ( na ca so na ca anno ).
Kemungkinan logis dari identitas pribadi tanpa roh itu diakui oleh Profesor A.J. Ayer dari
Oxford, seorang analis logika yang mengatakan : “ Saya pikir akan terbuka bagi kita untuk
mengakui kemungkinan logis dari reinkarnasi hanya dengan menetapkan kaidah bahwa jika
seseorang yang secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu
belakangan, memiliki ingatan – ingatan nyata dan sifat dari seseorang yang secara fisik
diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu sebelumnya, mereka seharusnya
dihitung sebagai satu orang dan bukan dua. “

11. 4 Aliran Kesadaran

Kesadaran di momen terakhir ( cuti citta atau cuti vinnana ) milik kehidupan sebelumnya ;
dengan cepat berlanjut setelah padamnya kesadaran itu. Karena telah terkondisikan maka
timbul momen pertama dari kesadaran pada kelahiran yang sekarang yang disebut
hubungan kembali atau kelahiran kembali dari kesadaran ( patisandhivinnana ). Demikian
pula momen pikiran terakhir dari kehidupan ini mengondisikan momen pikiran pertama dari
kehidupan yang selanjutnya. Dengan cara ini kesadaran lahir dan mati memberikan tempat
pada kesadaran baru. Maka aliran kesadaran tanpa henti ini akan terus berlanjut sampai
kehidupan berhenti. Kehidupan dalam hal ini adalah kesadaran – keinginan untuk hidup,
keinginan untuk melanjutkan.

Menurut ilmu biologi modern, kehidupan manusia baru dimulai pada saat menakjubkan
ketika sel sperma dari ayah bersatu dengan sel telur atau ovum dalam tubuh ibu. Ini
merupakan momen kelahiran. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan dua faktor fisik yang
umum ini saja. Akan tetapi, agama Buddha membicarakan pula faktor ketiga yang bersifat
rohani.
Menurut Mahatanhasamkhaya Sutta, sebuah khotbah dari Buddha : “ Dengan bertemunya
ketiga faktor ini maka pembuahan terjadi. Jika calon ibu dan ayah bersatu, tetapi bukan
pada masa subur si calon ibu, dan makhluk hidup yang akan dilahirkan ( gandhabba ) tidak
ada, maka benih kehidupan tidak tertanam. Jika kedua calon orang tua bersatu dan pada
masa subur si calon ibu, tetapi gandhabba atau makhluk hidup yang akan dilahirkan tidak
ada, maka tidak terjadi pembuahan. Jika calon ibu dan ayah bersatu, dan pada masa subur
si calon ibu, serta makhluk hidup yang akan dilahirkan, gandhabba, juga ada, maka benih
kehidupan tertanam di sana. “

Faktor ketiga, gandhabba, hanyalah istilah untuk kesadaran yang lahir kembali ( patisandhi
vinnana ). Dapat pula disebut kekuatan energi yang dilepaskan dari orang yang meninggal
dunia. Tetapi kesadaran yang lahir kembali bukanlah diri yang kekal, roh ataupun satuan
hidup yang merasakan buah dari perbuatan baik dan jahat. Kesadaran juga disebabkan oleh
kondisi. Terpisah dari kondisi, maka tidak akan timbul kesadaran.

Kehendak untuk hidup ini, keinginan untuk hidup ini, terbayang luas dalam pikiran manusia
baik yang sadar maupun yang tidak. Kehendak, seperti layaknya bentuk pikiran lainnya,
adalah ungkapan energi, dan hal seperti ini tidak pernah dapat hilang atau hancur.
Kehendak yang kuat dan tanpa henti ini, keinginan untuk hidup ini, adalah ungkapan energi
yang kuat dan tanpa henti dan tidak dapat mati bersamaan dengan kematian seseorang.
Kehendak untuk hidup membuatnya dilahirkan kembali. Keinginan untuk hidup
membuatnya hidup kembali. Ia secara rohaniah kemudian mengalami kehidupan lain.

Karena kehendak untuk hidup ( bhavatanha ) merupakan motif utama yang mendasari
hampir semua kegiatan manusia, pada saat kematian, hal ini berkembang begitu hebat
sehingga secara rohaniah mengambil sikap serakah. Seperti yang telah dikatakan sendiri
oleh Buddha ; Di ambang kematian keinginan utama ini menjadi kemelekatan ( upadana )
yang menarik dirinya pada kehidupan lain. Proses pikiran terakhirlah yang membawa
kemelekatan ini. Ini merupakan hukum alam, tak ada yang misterius, misterius hanya bila
kita tidak memahaminya. Orang yang sekarat dengan seluruh jasmaninya melekat kuat pada
kehidupan, sehingga pada titik kematiannya, mengirim energi karma secepat kilat,
menemukan rahim calon ibu siap untuk pembuahan, dan kehidupan baru pun dimulai.

11.5 Alam Kehidupan

31 alam kehidupan pada Ajaran Buddha dibagi menjadi lima bagian yaitu:

I. 4 Apayabhumi (4 alam kemerosotan)


Kata "apayabhumi" terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak ada`,
`aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal makhluk
hidup`.

Alam ini juga sering disebut dengan `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua kosakata,
yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam tujuan bagi
suatu makhluk yang akan dilahirkan kembali`.

Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk
berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu:

Alam neraka (Niraya),

Alam Binatang (Tiraccchana),

Alam setan (Peta),

Alam Iblis(Asurakaya)

Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam
guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.

II. 1 Manussabhumi(1 alam manusia)

Kata "manussabhumi" terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`. `Manussa`
terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa` yang berarti
`tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti alam tempat
tinggal manusia.

III. 6 Devabhumi(6 alam dewa)

Disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup
dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk yang
hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidak-kekalan. Alam surga terbagi
menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, dan
Paranimmitavasavatti.

IV. 16 Rupabhumi(16 alam brahma berbentuk)

Merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang
dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu
berhasil mencapai pencerapan Jhana (pemusatan pikiran yang kuat dalam memegang
obyek) yang luhur.

Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu:

3 alam bagi peraih jhana pertama (Pathama)

3 alam bagi peraih Jhana kedua (Dutiya)

3 alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya)

2 alam bagi peraih Jhana keempat (Catuttha)

5 Alam Suddhavasa.

Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari napsu
birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga) yang
berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.

V. 4 Arupabhumi(4 alam brahma tanpa bentuk )

Merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun
disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini
sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan dalam
wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena pengembangan
perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tidak
menginginkannya.

Selain pembagian di atas, 31 alam kehidupan dapat dikelompokkan menjadi 3 :


1. Sebanyak 11Kama-Bhumi

11 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya masih senang dengan napsu indera dan
melekat pada panca indera.
2. Sebanyak 16 Rupa-Bhumi

16 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Rupa Jhana (Jhana Bermateri,


hasil dari melaksanakan Samata Bhavana).
3. Sebanyak 4 Arupa-Bhumi

4 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Arupa Jhana (Jhana Tanpa


Bermateri, hasil dari melaksanakan Samatha Bhavana)
PERTEMUAN 12

12.1 Konsep Ketuhanan

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan
mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari
sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu." 

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka,
Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha.
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang
Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak
Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang
tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan
dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi
(asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari
lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi. 

 Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini
oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini,
sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut
agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain. Sehingga banyak
umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah
sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Bila kita mempelajari ajaran
agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep
Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak
konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan
konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang : Alam Semesta,
Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan
atau Kebebasan.

12.2 Alam Semesta


Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat
banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang
Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai
berikut : Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata
surya kecil) ? ....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan
sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. 

Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu
jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda,
yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). * Ananda, seribu kali
sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu
kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya
sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi. Sesuai
dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x
1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat
1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu
milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.

12.3 Bumi dan Manusia

Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha,
khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang
atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan
oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di
bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan. Vasettha, terdapat suatu
saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. 

Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam
cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki
tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka
hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya
terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-
bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, .....
laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk
saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk
tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. 
Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin,
demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi
susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni,
demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki
sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya.
Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam
dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu
dengan jari-jari ..... mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-
gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. 

Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan lenyapnya
cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasikonstelasi
nampak ..... siang dan malam ..... terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk
kembali. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya,
hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan
atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah
berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan
sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. 

Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang
rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ..... maka sari tanah itupun
lenyap ..... ketika sari tanah lenyap ..... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko).
Cara tumbuhnya seperti cendawan ..... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup
dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian
dalam masa yang lama sekali ..... (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan
keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang
muncul dari tanah itu pun lenyap. 

Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ..... warnanya seperti dadi susu atau
mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ..... Mereka menikmati, mendapatkan
makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ..... maka tubuh mereka menjadi lebih
padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah
dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk
tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ..... Sementara
mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak,
maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap. Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar
lenyap ..... muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan
sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan
membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan
masak kembali. 
Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka
pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi
itu muncul. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam
terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini
berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka
nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk
mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi
laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat
memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan
wanita. 

Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka
timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu
indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin....

12.4 Kiamat

Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi
kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang
telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula
evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja
tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya - tata surya yang tersebar di
alam semesta ini. Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya,
Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya
dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua,
lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari
keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. 

Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap
bertebaran di alam semesta. Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti
matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari
tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.
Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut
garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam
semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan
garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi
yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi
garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita
ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu :
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau
ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. 

Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil
obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering
dan mati ..... Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang
lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan
danau kecil surut, kering dan tiada ..... 

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu
sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada ..... Para
bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari
keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat
bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara,
Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada ..... Para bhikkhu,
selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima
muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu
surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air
maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon
palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa
sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang
saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam
tinggi mata kaki. 

Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang
besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-
mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-
tapak kaki sapi. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa
yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini
dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan
menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang
mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan
bumi ini. Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal,
tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu
menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba
suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. 

Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja
gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang
berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan
debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma. Bagian-
bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala
ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala
yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun
abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian
pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.

12.5 Panca Niyama

Dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 menjelaskan bahwa


Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari 24 sebab (paccaya 24) atau salah satu
dari Panca Niyama  (Lima Hukum) yang bekerja di alam Semesta ini, masing-masing hukum
alam ini memiliki sifat-sifatnya sendiri dan tidak diatur oleh suatu kekuatan sosok makhluk
Adikuasa manapun.

Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah satu
dasar dari Lima Hukum Alam (Panca Niyama Dhamma), Hukum alam semesta inilah
yang mengatur segala gejala, proses, aktivitas, sebab-akibat batin dan jasmani (fisik) yang
ada dialam semesta itu sendiri. Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar dan dicium
keberadaannya, namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari gejala-gejala yang
muncul secara fisik maupun batin. Hukum alam ini terdiri atas :

1. UTU NIYAMA ( Hukum Musim )

Adalah hukum tertib “Physical inorganik” misalnya : gejala timbulnya angin dan hujan yang
mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan perubahan iklim yang disebabkan
oleh angin, hujan, sifat-sifat panas , sifat benda seperti gas, cair dan padat, kecepatan
cahaya , terbentuk dan hancurnya tata surya dan sebagainya. Semua  aspek  fisika  dari 
alam  diatur  oleh hukum ini.

Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur Pathavi,


Apo, Tejo, dan Vayo. (Majjhima Nikaya 22).

2. BIJA NIYAMA ( Hukum Biologis )

Adalah hukum tertib yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari benih/biji-bijian dan


pertumbuhan tanam-tanaman, misalnya padi berasal dari tumbuhnya benih padi, manisnya
gula berasal dari batang tebu atau madu, adanya keistimewaan daripada berbagai jenis
buah-buahan , hukum genetika /penurunan sifat dan sebagainya . Semua aspek Biologis
makhluk hidup diatur oleh hukum ini.

Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai
bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum
energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan
merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan dan
disebut Bija-niyama.

3. KAMMA NIYAMA ( Hukum Perbuatan )

Adalah hukum tertib yang mengatur sebab akibat dari perbuatan , misalnya : perbuatan baik
/ membahagiakan dan perbuatan buruk terhadap pihak lain, menghasilkan pula akibat baik
dan buruk yang sesuai .

Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang


yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali :

“Aku katakan, Kehendak adalah Kamma,

karena didahului oleh kehendak,

seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran “.

(Anguttara Nikaya III : 415)

4. DHAMMA NIYAMA ( Fenomena Alam)

Adalah hukum tertib yang mengatur sebab-sebab terjadinya keselarasan /persamaan dari
satu gejala yang khas, misalnya : terjadinya keajaiban alam seperti bumi bergetar pada
waktu seseorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha,
atau pada saat Ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat (gravitasi) , daya
listrik, gerakan gelombang dan sebagainya, termasuk dalam hukum ini.
Dhamma  adalah sesuatu yang menghasilkan sifat dasarnya sendiri (dhareti), yaitu
kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah
berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam
hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang dikategorikan
dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. 

5. CITTA NIYAMA ( Hukum Psikologis )

Adalah hukum tertib mengenai proses jalannya alam pikiran atau hukum alam
batiniah, misalnya : proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat kesadaran,
kekuatan pikiran / batin (Abhinna), serta fenomena ekstrasensorik seperti Telepati,
kewaskitaan (Clairvoyance), kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah lampau,
kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka pendek atau jauh,
kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua gejala batiniah yang kini masih belum
terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern termasuk dalam hukum terakhir ini.

Citta berarti "yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang


menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh
lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek
PERTEMUAN 13

13.1 Pengertian Bodhisatva

Analisa dari segi etimologis , kata Bodhisattva (Sansekerta)/Bodhisatta (Pali) terbentuk dari
dua kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan Sattva/Satta yang
berarti makhluk. Sehingga Bodhisattva/Bodhisatta berarti  :  

" makhluk yang bercita-cita untuk mencapai pencerahan sempurna."

Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran
sepakat bahwa:

1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.

2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.

3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk lainnya.

Di dalam ajaran agama Buddha, seorang Bodhisattva / Bodhisatta atau Photishat (bahasa
Thai) adalah makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta.

Bodhisattva juga merujuk kepada Buddha di kehidupan sebelum-Nya.

Dalam ajaran Mahayana, Bodhisattva mengambil janji untuk tidak memasuki nirvana
sebelum semua mahkluk mencapai ke-Buddha-an. Ini tidak sama dengan di tradisi
Theravada kebanyakan, dimana makluk yang mencapai pencerahan adalah Arahat, bukan
Buddha.

Arti Bodhisatta pada Pali Canon (kumpulan koleksi kitab pada ajaran Theravada) dan
tradisi Theravada tidak mengatakan bahwa seorang Bodhisattva membuat janji ‘tidak akan
mencapai pencerahan sebelum semua orang lain mencapai penerangan’. Ini merupakan
inovasi dari Mahayana.  

Jadi seorang Bodhisatta dan seorang Bodhisattva merupakan hal yang berbeda.

Bodhisattva pada Ajaran Mahayana

Dalam pandangan Mahayana, seorang Bodhisattva memiliki tekad penuh kasih guna
membantu seluruh mahluk untuk menuju pencerahan. Motivasi yang demikian dikenal
dengan sebutan Bodhicitta.

Bodhisatta pada Ajaran Theravada

Kata Bodhisatta bahasa Pali digunakan oleh Buddha di kitab Pali Canon untuk menunjuk
kepada dirinya di kehidupan sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang menuju
pencerahan dan pada periode ketika ia masih bergerak menuju pembebasan.

Kehidupan Siddhattha Gotama sebagai seorang Bodhisatta dicatat dalam Kitab Jataka.
Ketika Siddhattha Gotama menceritakan dirinya dahulu, ia menggunakan istilah “ketika saya
masih seorang Bodhisatta”.

Seorang Bodhisatta yang seringkali diceritakan dalam Pali Canon adalah Calon Buddha
Metteya/Maitreya, yang oleh karenanya Ajaran Theravada tidak menceritakan Bodhisattva
lain selain Bodhisatta Metteya.
Siddhattha Gotama pun menggambarkan dirinya sebagai Bodhisatta, sebagai berikut:

“ Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih seorang
Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku sendiri
mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari apa yang
mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran. ” (Ariyapariyesana
Sutta 26)

Dalam Vissudhi magga IX disebutkan :

“Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung memperhatikan kesejahteraan para makhluk,


tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk, mengharapkan waktu yang lebih lama
bagi tingkat kebahagiaan para makhluk yang lebih tinggi, tidak membeda-bedakan serta
adil bagi para makhluk”.

Pada Buddhavamsa, pandangan ideal seorang Bodhisatta dikembangkan hingga mencapai


puncak yang tertinggi.

Pada  kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar untuk
menjadi seorang Buddha yang sempurna (Sammasambuddha) dikarenakan oleh belas
kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan yang
menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang
(vyakarana).  

Sebagai tambahan, seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa berikrar untuk
menjadi Bodhisatta pada saat akan mencapai Kearahatan. Hal ini tercermin pada riwayat
Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat ia masih menempuh
Jalan Bodhisatta. Saat itu Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada saat itu
Sumedha merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak
kotor. Pada saat itu Pertapa Sumedha berpikir: "Jika mau, aku dapat membakar sampai
habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah gunanya merealisasi Dhamma di sini
[tanpa menguntungkan makhluk  lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan menjadi
Buddha di dunia ini…"
13.2 Pengertian Ariya Puggala

Agama Buddha merupakan suatu agama yang dalam mencapai suatu tujuannya
menekankan pada praktek moral. Dewasa ini banyak yang beranggapan bahwa agama
buddha merupakan suatu agama yang bersifat religius yang menyembah berhala. Namun
sebenarnya tidaklah demikian, karena setiap agama mempunyai cara-cara tersendiri untuk
mencapai tujuannya. Buddha menganjurkan kepada setiap umatnya untuk selalu tekun
menjalankan praktek sila dalam kehidupan sehari-hari. didalam agama Buddha terdapat
suatu jalan yang digunakan oleh sang Buddha dalam mencapai suatu pencerahan yang
membawa setiap manusia kepada ketenangan abadi.

Didalam agama Buddha terdapat 4 (empat) tingkatan makhluk suci berdasarkan pada
praktek jalan mulia berunsur delapan, yang terdiri dari Sotapati,Sakadagami, Anagami dan
tingkat kesucian yang sempurna yaitu Arahat. Dalam pencapaiannya tidak lepas dari melatih
diri dengan melaksanakan Sila, Samadhi, Panna. Selain pencapian kesucian tidaklah
ditentukan oleh kedudukan seseorang, pakaian, dan juga pola makan. Namun yang
menentukan seseorang mencapai kesucian adalah keinginan batin yang kuat dalam
melaksanakan jalan mulia berunsur delapan.

A. Pengertian Makhluk Suci


Dalam Buddha Dhamma makhluk suci di sebut juga dengan Ariya puggala. “ariya” artinya
agung, mulia baik atau benar. “puggala” adalah individu, seseorang yang mulia atau agung.
Makhluk suci adalah siapa saja yang telah menghancurkan atau melenyapkan dengan tuntas
belenggu–belenggu atau sepuluh samyojana, sehingga mencapai tingkat kesucian
sotapana, sakadagami, anagami dan arahat. Orang yang belum memiliki keseimbangan
batin belum bisa dikatakan sebagai makhluk suci.

B. Tingkat–tingkat kesucian
Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan:
Puthujjana Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat
kesucian.
Ariya-puggala Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah
mencapai tingkat kesucian pertama.

13.3 Jenis Tingkat Kesucian


A. Sotapanna: tingkatan Sotapanna , dimana kata ini secara harafiah berarti “Pemasuk Arus”:
Orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.

Sotapanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2)


vicikiccha, dan (3) silabbata-paramasa.

Ada tiga macam Sotapanna:

1.  Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.
2. Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali
lagi.
3. Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali tujuh
kali lagi.

B. Sakadagami: Orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana) yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2)
vicikiccha, dan (3) silabbata-paramasa dan telah melemahkan belenggu (4) kama-raga dan
(5) vyapada.

C. Anagami:  Orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung
terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam
Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan
akhirnya ia mencapai parinibbana.

Anagami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana) yaitu (1) sampai dengan (5).

Ada lima macam Anagami:

1. Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan pertama dari masa


kehidupan mereka/Antaraparinibbayi
2. Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan kedua dari masa
kehidupanmereka/Antaraparinibbayi
3. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha keras ( Sasankhara parinibbayi)
4. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha ringan ( Asankhara parinibbayi)
5. Mereka yang mencapai alam kehidupan akanittha, yaitu alam kehidupan yang
tertinggi (Uddham-soto-akanitthagami)

Pertama dan kedua digolongkan berdasarkan atas masa kehidupan mereka, sedangkan
yang ketiga dan keempat berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima
ditandai melalui alam tujuan mereka.
D. Arahat: Orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua
belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana
pun. Ia akan parinibbana.

Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 – 10).

Terdapat empat macam Arahat:

1. Sukhavipassako Arahat.
Arahat yang tidak memiliki jhana/abhinna, hanya mencapai kesucian dengan
melaksanakan vipassana bhavana.
2. Tevijjo Arahat.
Arahat yang memiliki tiga pengetahuan (vijja):
1. Pubbenivasanussati Nana; memiliki kesadaran akan kelahirannya yang lampau
2. Dibbacakkhu Nana; memiliki “mata dewa” sehingga dapat mengetahui
kelahiran makhluk di alam dewa atau peta setelah meninggal.
3. Asavakhaya Nana; memiliki pengetahuan bagaimana cara melenyapkan asava
(kekotoran batin yang paling dalam).
3. Chalabhino Arahat:
a sampai c seperti di atas ditambah dengan tiga kemampuan lain, yaitu:
1. Cetopariya Nana (paracitta vijja Nana); dapat membaca atau mengetahui
pikiran makhluk lain.\
2. Dibbasota Nana (telinga dewa); dapat mendengar percakapan suara dari alam
dewa, brahma, dan apaya.
3. Iddhividha Nana, yang terdiri dari:
1. Adhitthana Iddhi, kekuatan kehendak mengubah tubuh dari satu
menjadi banyak, dari banyak menjadi satu lagi.
2. Vikubbana Iddhi, kemampuan ‘menyalin rupa’ menjadi anak kecil,
raksasa, rupa buruk, menjadi tak tampak.
3. Manomaya Iddhi. Kemampuan ‘mencipta’ dengan kekuatan pikiran.
Misalnya: mencipta istana, taman, binatang. Lamanya ciptaan itu
tergantung dari kekuatan pikiran.
4. Nana vipphara Iddhi. Pengetahuan menembus ajaran yang sulit.
5. Samadhivipphara Iddhi. Kekuatan konsentrasi untuk:
1. menembus dinding
2. meyelam ke dalam bumi seperti di air
3. berjalan di atas air seperti di tanah datar
4. masuk ke dalam api tanpa hangus
5. terbang seperti burung
4. Patisambhidappatto Arahat.
Arahat yang memiliki empat patisambhida (pengetahuan sempurna):
1. Atthapatisambhida.
Pengertian mengenai arti/maksud ajaran dan dapat memberi penerangan
secara rinci, hampir seperti Sang Buddha.
2. Dhammapatisambhida.
Pengertian mengenai intisari dari ajaran dan mampu mengajukan pertanyaan
ajaran yang mendalam.
3. Niruttipatisambhida.
Pengertian mengenai bahasa dan mampu menggunakan kata-kata yang
mudah dimengerti oleh pendengar.
4. Patibhanapatisambhida. Pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu
menjawab spontan bila ada pertanyaan mendadak.

13.4 Belenggu Batin

Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka
patahkan. Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan para
makhluk terus berputar-putar dalam samsara.

Sakkayaditthi: Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal
Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
Silabbataparamasa: Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan
manusia dari penderitaan.
Kamaraga: Nafsu Indriya.
Vyapada: Benci, keinginan tidak baik.
Ruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).
Aruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.
Mana: Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan
orang lain.
Uddhacca: Bathin yang belum seimbang benar.
Avijja: Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang  bersangkutan
belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

Catatan: Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam
keadaan samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia
dilahirkan di Alam bentuk (rupa-raga).

Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu
rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat
dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.
Orambhagiya-samyojana dan Uddhambhagiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

13.5 Para Siswa/Siswi Utama Buddha

Siswa sang Buddha yang sudah mencapai kesucian (siswa laki-laki). Sangha Bhikkhu:

1. Yang Ariya SARIPUTTA, Terkemuka dalam Kebijaksanaan


2. Yang Ariya MOGGALLANA, Terkemuka dalam Kekuatan Gaib
3. Yang Ariya ANANDA, Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
4. Yang Ariya MAHA KASSAPA, Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras
5. Yang Ariya ANURUDDHA, Terkemuka dalam Mata Dewa
6. Yang Ariya UPALI, Terkemuka dalam Menjaga Sila
7. Yang Ariya RAHULA, Terkemuka dalam melaksanakan Kebaikan

SISWA-SISWA UTAMA SANG BUDDHA (THERI)

1. Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri


Berasal dari suku Koliya, pada waktu Mahà Pajàpati Gotami dilahirkan, ada seorang peramal
yang meramalkan bahwa jika besar nantiia akan menjadi pemimpin dari suatu perkumpulan
yang akan mempunyai banyak pengikut. Dan oleh sebab itu ia diberi nama dengan
“Pajàpati”, yang mempunyai arti pemimpin dari suatu perkumpulan besar, sedangkan
“Mahà” yang berarti luar biasa.

Mahà Pajàpati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan
Bhikkhuni. Yang diterima oleh para Bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah diajarkan
Sang Buddha.(Delapan Peraturan Utama<Aññhasila>).

2. Yang Ariya Khema Theri


Khemà berasal dari desa Sagala, Magadha salah satu keluarga yang sangat berkuasa. Selain
itu ia juga cantik, kulitnya berwarna kuning keemasan dan kecantikan Khemà tersebut
membuat Raja Bimbisara meminang dan menjadikannya sebagai permaisuri. Ratu Khema,
amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha
mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu Khema
menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti sikap Ratu
Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat mengagumi
kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan sebuah lagu yang
isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para
penyanyi terkenal.

3. Yang Ariya Kisa Gotami Theri


Seorang gadis yang berasal dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi, nama yang
sebenarnya “Gotami”. Akan tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil dengan
nama “Kisà”, sehingga setiap orang yang melihatnya berjalan dengan badannya yang tinggi
dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada dalam dirinya.Kisa Gotami sulit
mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik. Namun secara tak terduga
kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya yang menganggap bahwa
kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja. Pedagang kaya itu kemudian
menikahi Kisa Gotami.

4. Yang Ariya Patacara Theri

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya
segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang
dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. Orang tua
Patacara sangat menyayangi dan menjaganya dengan ketat. Oleh karena itu ketika Patacara
menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga, untuk melindunginya
dari gangguan para pemuda. 

5. Yang Ariya Bhadda Kapilani Theri


Setelah melihat bahaya kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin dan kami mencapai Nibbana

Bhadda Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda
tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari, ketika
Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan serangga
tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih wijen kering. Kejadian
tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih menakutkan lagi ketika beberapa
anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian serangga tersebut merupakan kesalahan
Bhadda. Walaupun kejadian tersebut terlihat biasa, tetapi tidak menurut Bhadda. Semenjak
kejadian itu, Bhadda mengambil keputusan untuk melepas hidup keduniawian.

6. Yang Ariya Sona Theri


Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang berjuang penuh dengan
semangat. Sona adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai sepuluh orang anak.
Beliau merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang. Seluruh hidupnya dicurahkan hanya untuk anak-anaknya.Suami Sona adalah
pengikut Sang Buddha, ia belajar banyak mengenai kehidupan. Setelah beberapa tahun
menjadi kepala rumah tangga, suami Sona memutuskan untuk terbebas dari belenggu
kehidupan dengan cara menjalani kehidupan suci. 
7. Yang Ariya Ambapali Theri
Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah
tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah
salah.Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan
seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama.
Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).Kemudian
Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.
14.1 Pengertian

Agar seseorang lebih mampu menyadari segala bentuk perilaku badan dan ucapannya,
maka ia hendaknya melaksanakan latihan ketiga yaitu konsentrasi atau samadhi  . Latihan
konsentrasi ini menjadi sangat penting karena seseorang dikondisikan untuk tidak hanya
terkendali perbuatan badan dan ucapannya saja, melainkan juga perbuatan melalui pikiran.
Mereka yang memiliki perilaku badan dan ucapan yang baik belum tentu mempunyai
pikiran yang baik. Namun, seseorang yang telah memiliki pikiran baik, tentu perilaku badan
dan ucapannya akan baik pula. 

Pelaksanaan latihan konsentrasi ini atau sering disebut sebagai Samatha Bhavana  menjadi
dasar latihan kesadaran yang lebih tinggi yaitu selalu sadar dan perhatian setiap gerak-gerik
pikiran yang muncul dan tenggelam yang disebut sebagai Vipassana Bhavana  . Pentingnya
upaya seseorang berlatih konsentrasi maupun kesadaran ini didukung dengan inti Ajaran
Sang Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan. Seperti telah diketahui bersama bahwa
Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah satu jalan yang terdiri dari delapan unsur yaitu
Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar,
Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Delapan unsur Jalan Mulia ini
sering dikelompokkan menjadi tiga bagian besar yang disebut sebagai kelompok
kebijaksanaan (panña)  , kemoralan (sila)  dan konsentrasi (samadhi)  . Kebijaksanaan meliputi
dua unsur pertama yaitu Pandangan Benar dan Pikiran Benar. Kemoralan terdiri dari tiga
unsur berikutnya yaitu Ucapan Benar, Perbuatan Benar, serta Mata Pencaharian Benar.
Sedangkan konsentrasi terdiri dari Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi
Benar. 

Pelaksanaan satu Jalan Mulia yang memiliki delapan unsur ini secara tekun dan penuh
semangat akan dapat membebaskan seseorang dari ketamakan (lobha), kebencian (dosa)
serta kegelapan batin (moha).

Dari pembagian kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut, jelas sudah bahwa
konsentrasi menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kedua bagian
lainnya. Latihan konsentrasi pada awalnya dilakukan dengan memusatkan pikiran pada
obyek meditasi yang telah ditentukan. Pencapaian tertinggi meditasi konsentrasi (Samatha
Bhavana)  ini disebut dengan Jhana  . Apabila tingkat konsentrasi ini dapat dicapai, maka
pelaku meditasi dapat melanjutkan dengan mengembangkan kesadaran pada segala gerak
gerik pikiran maupun badan. 

Latihan meditasi tingkat lanjutan ini disebut sebagai meditasi mengembangkan


kesadaran (Vipassana Bhavana)  yang hasil tertingginya adalah
kebijaksanaan (Panña) .  Untuk mencapai kebijaksanaan sebagai hasil latihan pengendalian
pikiran secara maksimal, diperlukan beberapa persiapan dasar. Seperti diketahui bahwa
pikiran adalah merupakan bagian dari batin, sedangkan manusia terdiri dari badan serta
batin, maka persiapan badan yang baik akan mendukung perkembangan kualitas batin yang
baik pula. Persiapan badan dimulai dengan memahami posisi badan yang ideal selama
bermeditasi. Ada empat posisi meditasi yang dapat dipergunakan yaitu duduk, berdiri,
berjalan serta berbaring.

14.2 Posisi Meditasi

Posisi duduk biasanya dilakukan dengan bersila, yaitu menyilangkan kedua kaki. Idealnya,
kedua kaki terlipat sedemikian rupa sehingga kedua telapak kaki terletak di atas paha. Jadi,
telapak kaki kiri berada di atas paha kanan dan telapak kaki kanan terletak di atas paha kiri.
Namun, kalau sulit untuk melakukan posisi ini, boleh juga kaki kiri dilipat dan diletakkan di
bawah kaki kanan. Telapak kaki kanan berada di atas paha kiri. Akan tetapi, jika posisi ini
pun sulit dilakukan, pergunakan posisi apapun juga yang penting duduk bisa terasa nyaman
tanpa diganggu rasa kesemutan untuk waktu meditasi yang telah ditentukan, misalnya 15
atau 30 menit tanpa bergerak.

Setelah mampu memposisikan kaki sehingga nyaman duduk, maka letakkan kedua telapak
tangan berada di pangkuan. Telapak tangan kiri berada di bawah telapak tangan kanan.
Biasanya, kedua ujung ibu jari dipertemukan. Duduklah dengan tegak namun santai. Kepala
tegak, mata dipejamkan, dan bernafaslah secara normal. Pusatkan pikiran pada obyek
meditasi yang telah dipilih. Apabila pikiran memikirkan hal lain, sadarilah dan segera
pusatkan kembali pada obyek meditasi tersebut. Demikian seterusnya selama waktu
meditasi yang telah ditentukan.

Adapun meditasi dengan posisi berdiri dilakukan sesuai namanya yaitu memusatkan pikiran
sambil berdiri tegak. Agar seseorang mampu berdiri secara nyaman, posisikan kedua
telapak kaki satu sama lain berjarak selebar pundak. Tangan biasanya diletakkan di bawah
pusar, telapak tangan kiri menempel di badan dan telapak tangan kanan di atas punggung
tangan kiri. Tentu saja tangan boleh diposisikan di tempat lain, misalnya di samping badan,
bersilang tangan di depan dada bahkan bersilang tangan di pinggang. Posisikan tangan
senyaman mungkin sehingga selama waktu berdiri yang telah ditentukan, konsentrasi tidak
terganggu. Kedua mata dipejamkan dan seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi.

Posisi meditasi yang lain adalah berjalan. Posisi tangan tetap di bawah perut, atau mungkin
di samping badan, bersilang di depan dada ataupun di pinggang. Secara perlahan namun
penuh konsentrasi, langkahkan kaki satu demi satu. Pada saat melangkah, seluruh perhatian
dipusatkan pada obyek meditasi yaitu, biasanya, proses berjalan atau telapak kaki yang
sedang melangkah. Perhatian pada proses berjalan dilakukan dengan merasakan saat kaki
diangkat, maju dan diletakkan. Perhatian pada telapak kaki dilakukan dengan menyadari
bagian belakang, tengah serta depan telapak kaki yang diangkat dan diletakkan. Meditasi
berjalan ini dilakukan di tempat yang lurus dan rata. Jarak yang dipergunakan sekitar 15
langkah sampai dengan 25 langkah. Pelaku meditasi berjalan perlahan sampai di ujung jalan
kemudian berbalik dan berjalan kembali sampai di ujung jalan yang lain. Demikian
seterusnya sampai selesai waktu meditasi yang ditentukan. Jika kekuatan konsentrasi
semakin tinggi, langkah yang dilakukan juga akan semakin perlahan. Ada kemungkinan,
jarak sejauh 25 langkah tersebut ditempuh dalam waktu 30 menit atau lebih. Satu langkah
mungkin menjadi dua menit atau lebih karena pikiran terpusat sangat kuat memperhatikan
kaki yang sedang bergerak.

Sedangkan posisi meditasi yang keempat adalah berbaring. Posisi ini perlu dibedakan
dengan tiduran. Tiduran dilakukan dengan tubuh telentang, tengkurap ataupun
menyamping, kepala di atas bantal. Sedangkan posisi meditasi berbaring dilakukan dengan
tubuh menyamping ke sebelah kanan, kepala ditopang oleh tangan kanan. Tangan kiri
terletak di atas sisi kiri badan. Kaki kiri terletak di atas kaki kanan. Kedua mata dipejamkan.
Seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi yang telah dipilih.

Meditasi sebaiknya dilakukan pada waktu dan tempat yang sama. Biasanya orang berlatih
meditasi pada saat ia bangun tidur dan akan tidur. Lama meditasi, paling sedikit 15 menit
sampai dengan 60 menit atau lebih. Lakukan meditasi sesuai dengan kemampuan. Sebelum
meditasi, boleh saja melakukan sedikit upacara ritual menurut keyakinan masing-masing.
Umat Buddha biasanya melakukan pembacaan paritta atau mengulang kotbah Sang
Buddha sekitar 15 sampai 20 menit. Upacara ritual ini diperlukan agar pikiran lebih terarah
pada kegiatan spiritual daripada kegiatan material.

14.3 Objek Meditasi

Selama duduk bermeditasi, pelaku meditasi dapat memilih salah satu dari 40 obyek meditasi
yang dikenal dalam Dhamma. Agar lebih jelas dan membantu pemilihan obyek meditasi,
berikut ini secara singkat akan diuraikan obyek-obyek tersebut yaitu:

Kasina tanah pada mulanya menggunakan obyek segumpal tanah. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya pelaku meditasi dapat menggunakan tanah bentukan, misalnya
kendi dsb. Kasina air mempergunakan air yang diletakkan di sebuah tempat, misalnya gelas
atau mangkuk. Kasina api biasanya mempergunakan nyala api lilin. Kasina angin dilakukan
dengan merasakan angin yang berhembus dan mengenai tubuh sendiri. Kasina warna
dilakukan dengan mempersiapkan peralatan dari kertas atau media lainnya yang dengan
diberi warna biru, kuning, merah, atau putih. Kasina cahaya mempergunakan cahaya
matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela atau
sejenisnya. Kasina ruangan terbatas mempergunakan ruangan kosong yang mempunyai
batas-batas disekelilingnya misalnya kamar kosong atau bahkan sebuah drum dsb.

Pelaku meditasi dengan mempergunakan salah satu dari obyek ini berusaha memusatkan
perhatian pada obyek yang telah ditentukan dengan cara memandangnya untuk waktu
yang cukup lama. Ia masih diperbolehkan untuk berkedip seperlunya. Ia terus memusatkan
perhatian sampai seluruh obyek itu dapat diingat dan divisualisasikan atau dibayangkan
dengan baik dalam batin. Dengan demikian, ia mampu melihat obyek itu secara jelas dan
sama pada saat ia membuka maupun menutup mata.

•  Sepuluh asubha  (ketidakindahan)

Pelaku meditasi dengan obyek ini menyaksikan sendiri atau membayangkan (visualisasi)
dalam batinnya sehingga ia dapat melihat dengan jelas mayat yang dimasukkan ke lubang
kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh
burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh
lalat dan belatung, dan akhirnya hanya sebagai tengkorak saja. Kemudian, ia hendaknya
menyimpulkan bahwa “Sebagaimana mayat itu, demikian pula tubuh ini. Bagian dalam
maupun bagian luar. Saat ini saya masih sehat dan segar, namun, suatu saat pasti saya pasti
akan hancur seperti mayat itu.”. Perenungan dan pemahaman terhadap mayat akan
mengkondisikan seseorang dapat terbebas dari kemelekatan dengan segala sesuatu,
termasuk dengan tubuhnya sendiri.

•  Sepuluh anussati  (perenungan)

Pelaku meditasi yang mempergunakan obyek perenungan Buddhanussati,  merenungkan


sembilan sifat Sang Buddha yaitu maha suci, telah mencapai penerangan sempurna,
sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana,
pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan
manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.

Demikian pula dalam Dhammanussati  , pelaku meditasi merenungkan enam sifat Dhamma


yaitu Dhamma telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu,
mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat dihayati oleh para
bijaksana dalam batin masing-masing.

Obyek Sanghanussati  dilaksanakan dengan merenungkan sembilan sifat Ariya-Sangha yaitu


mereka yang telah bertindak baik, lurus, benar dan patut. Mereka patut menerima pujaan,
patut menerima sambutan, patut menerima persembahan, patut menerima penghormatan,
ladang menanam jasa yang tiada taranya bagi mahluk dunia.
Obyek silanussati  dilaksanakan dengan merenungkan sila atau kemoralan yang telah
dilaksanakan dengan sempurna, tidak tercela dan dipuji oleh para bijaksana serta menuju
pemusatan pikiran.

Obyek caganussati  dilaksanakan dengan merenungkan kebajikan berdana yang telah


dilaksanakan yang mampu mengurangi bahkan melenyapkan kekikiran.

Obyek devatanussati  dilaksanakan dengan merenungkan para dewa dan dewi penghuni


berbagai tingkat surga yang berbahagia serta sedang menikmati hasil perbuatan baik yang
telah dilakukannya.

Obyek marananussati  dilaksanakan dengan merenungkan, “Kematian pasti akan aku alami.


Badan yang telah menjadi bangkai akan dimakan oleh ulat, kutu, belatung, serta binatang
lainnya yang hidup dengan ini. Bahwa aku tidak pernah mengetahui saat, tempat dan cara
ku mengalami kematian. Aku juga tidak mengetahui kemana aku akan terlahirkan kembali
setelah kematian.”

Obyek kayagatasati  dilakukan dengan merenungkan 32 bagian tubuh mulai dari telapak


kaki sampai kepala atau sebaliknya semuanya diselubungi kulit yang berisikan penuh
kekotoran. Dalam badan terdapat rambut di kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging,
urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran
usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak kulit,
ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.

Obyek paling disukai dan dijadikan dasar latihan meditasi di berbagai tempat
adalah anapanasati  yang dilaksanakan dengan selalu merenungkan atau mengamati saat
nafas keluar maupun masuk secara alamiah. Pelaku meditasi tidak perlu mengatur nafas. Ia
hanya selalu berusaha menyadari saat nafas masuk dan keluar.

Obyek upasamanussati  dilakukan dengan merenungkan Nibbana (Bhs. Pali) atau Nirwana


(Bhs. Sanskerta) yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya
lingkaran tumimbal lahir.

•  Empat appamañña  (keadaan tanpa batas)

Keempat keadaan tanpa batas ini sering disebut sebagai Brahma Vihara  (kediaman luhur).
Pelaksanaan metta-bhavana  dapat dilakukan dengan memancarkan pikiran cinta kasih
terhadap diri sendiri, orangtua, guru, teman-teman, bahkan kepada para musuhnya. Namun,
selain cara tersebut, ada pula yang menggunakan pengulangan dalam batin kalimat
“Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan pengulangan ini, si pelaku adalah mahluk,
semoga ia mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan yang ia miliki. Demkian pula
keluarganya adalah mahluk, semoga keluarganya mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan
harapan mereka masing-masing. Lingkungan juga mahluk, kiranya mereka semua
mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma masing-masing. Bahkan, para musuhnya
pun mahluk, semoga mereka semua berbahagia. Pengulangan kalimat cinta kasih ini akan
dapat mengendalikan bahkan melenyapkan kebencian yang mungkin saja dimiliki oleh
pelaku meditasi.

Pelaksanaan karuna-bhavana  dilakukan dengan berusaha memancarkan pikiran penuh


welas asih serta belas kasihan kepada mereka yang sedang menderita, mengalami
kemalangan, sedih, sengsara dan sebagainya.

Pelaksanaan mudita-bhavana  dilakukan dengan berusaha memancarkan pikiran penuh


simpati kepada mereka yang sedang berbahagia atau bahkan lebih bahagia daripada pelaku
meditasi. Ia hendaknya merasakan kebahagiaan ketika melihat mahluk lain berbahagia.

Pelaksanaan upekkha-bhavana  dilakukan dengan mengembangkan sikap tenang seimbang


ketika pelaku meditasi dalam kehidupan sehari-hari mengalami delapan kondisi
keduniawian akibat perubahan waktu yaitu suka – duka, dipuji – dicela, untung – rugi,
memperoleh pangkat – dipecat.

•  Satu aharapatikulasañña  (perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Penggunaan obyek aharapatikulasañña  ini dilakukan dengan merenungkan bahwa


makanan yang nikmat dilihat dan harum baunya, ketika dikunyah dan dimuntahkan kembali
akan menghilangkan nafsu makan. Begitu pula ketika makanan yang telah ditelan
dimuntahkan kembali. Apalagi ketika sisa makanan yang telah ditelan dan dicernakan keluar
dari tubuh berbentuk cairan (urine) dan kotoran (tinja). Perenungan pada makanan ini akan
membangkitkan pengertian bahwa makanan hanya untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Tidak ada gunanya seseorang melekat dengan makanan. Ia dapat membedakan dengan
jelas antara kebutuhan dan keinginan makan. Ia tidak lagi makan secara berlebihan.

•  Satu catudhatuvavatthana  (analisa terhadap empat unsur dalam badan jasmani)


Pelaksanaan meditasi dengan obyek catudhatuvavatthana  dilakukan dengan merenungkan
bahwa dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :

1.
1. Pathavi-dhatu  (unsur tanah atau unsur padat) yaitu segala sesuatu yang
bersifat keras atau padat. Misal : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan
lain-lain.
2. Apo-dhatu  (unsur air atau unsur cair) yaitu segala sesuatu yang bersifat
berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Misal : empedu,
lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
3. Tejo-dhatu  (unsur api atau unsur panas) yaitu segala sesuatu yang bersifat
panas dingin. Misal : Kondisi badan yang biasanya hangat, namun bisa
menjadi panas ketika sakit atau kedinginan di suatu tempat.
4. Vayo-dhatu  (unsur angin atau unsur gerak) yaitu segala sesuatu yang bersifat
bergerak. Misal : angin yang berada dalam perut atau usus, angin yang keluar
masuk sewaktu seseorang bernapas, dan lain-lain.

•  Empat arupa  (perenungan pada bukan materi)

Pelaksanaan kasinugaghatimakasapaññati  dilakukan setelah batin mencapai kesempurnaan


visualisasi kasina kemudian dilanjutkan dengan perenungan pada ruangan tanpa batas
dengan tetap melakukan visualisasi atau membayangkan “Ruangan. Ruangan. Ruangan ini
tidak terbatas” dan gambaran kasina yang telah dicapai digantikan dengan ruangan tanpa
batas ini.

Pelaksanaan akasanancayatana-citta  dilakukan dengan menembus mempergunakan


kesadarannya ruangan tanpa batas tersebut sambil merenungkan, “Tak terbataslah
kesadaran itu”. Pelaku meditasi secara terus menerus memikirkan penembusan ruangan itu.

Pelaksanaan natthibhavapaññati  dilakukan dengan mengarahkan perhatian pada


kekosongan atau kehampaan serta tidak ada apa-apanya kesadaran terhadap ruangan yang
tanpa batas itu. Pelaku meditasi terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa di sana.
Semua hanyalah kekosongan”.

Pelaksanaan akincaññayatana-citta  dilakukan dengan merenungkan keadaan kekosongan


sebagai ketenangan atau kesejahteraan. Apabila pelaku meditasi telah mencapai kondisi ini
maka ia hendaknya mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang lain yaitu
perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya.
Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas,
seolah-olah tidak ada pencerapan lagi.

14.4 Jenis Karakter/Watak

Setelah mengetahui satu persatu 40 obyek meditasi yang diuraikan di atas, maka pelaku
meditasi dapat memilih salah satu obyek yang sesuai. Pemilihan obyek meditasi dapat
berdasarkan kecepatan seseorang mampu mengkonsentrasikan pikiran menggunakan
obyek tersebut. Bisa juga, pemilihan obyek meditasi berdasarkan saran atau nasehat dari
orang yang dianggap lebih berpengalaman dalam meditasi. Namun, ada kalanya, pemilihan
obyek dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki pelaku meditasi. Dalam Dhamma
disebutkan ada beberapa sifat dasar manusia dan obyek meditasi yang disarankan. Sifat
dasar manusia tersebut adalah:

1. Orang yang dominan nafsu ketamakannya atau Raga-carita


2. Orang yang dominan kebenciannya atau Dosa-carita
3. Orang yang tidak pandai (dungu) atau Moha-carita
4. Orang yang kuat keyakinannya atau Saddha-carita
5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhi-carita
6. Orang yang suka melamun atau Vitakka-carita

Ciri-ciri orang yang mempunyai ragacarita  adalah melaksanakan segala sesuatu


berdasarkan nafsu ketamakan. Ia cenderung menyukai keindahan dan kecantikan, kagum
melihat suatu kebajikan walaupun hal tersebut kecil sekali, mudah melupakan kesalahan
orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka
yang mempunyai ragacarita  , maka obyek yang sesuai dalam melaksanakan meditasi adalah
ketidakindahan (asubha)  dan perenungan pada badan (kayagatasati)  .

Ciri-ciri orang yang mempunyai dosacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


kebencian. Ia cenderung suka marah, jengkel, iri hati, tidak senang melihat kesalahan
walaupun kecil, tidak mau perduli terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka
bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain.
Untuk mereka yang mempunyai dosacarita  , maka obyek yang sesuai dalam melaksanakan
meditasi adalah empat appamañña  yaitu metta, karuna, mudita  dan upekkha  serta
empat kasina  (biru, kuning, merah dan putih).

Ciri-ciri orang yang mempunyai mohacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


kebodohan batin. Ia cenderung lemah batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir,
menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak
tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang
mempunyai mohacarita  , maka obyek yang sesuai dalam melaksanakan meditasi
ialah anapanasati  yaitu berupaya mengetahui saat nafas masuk dan keluar yang mengalir
secara alamiah.

Ciri-ciri orang yang mempunyai saddhacarita  adalah melaksanakan segala sesuatu tindakan


berdasarkan keyakinan. Ia cenderung rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-
orang yang dianggap suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang
dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita  , maka obyek yang sesuai
dipergunakan dalam melaksanakan meditasi adalah enam anussati  ( Buddhanussati,
Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati,  dan devatanussati  ).

Ciri-ciri orang yang mempunyai buddhicarita  adalah melaksanakan segala sesuatu


berdasarkan sikap hati-hati. Ia cenderung merenungkan Tiga Corak
Umum (Tilakkhana)  yaitu ketidakkekalan, dukkha dan tanpa inti yang kekal. Ia sering
bermeditasi, bersedia mendengarkan saran atau nasehat orang lain, mempunyai kawan-
kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita  , maka obyek yang sesuai
dalam bermeditasi adalah perenungan pada kematian (marananussati)  , merenungkan
Nibbana (upasamanussati)  , merenungkan tentang makanan (aharapatikulasañña)  , dan
merenungkan empat unsur badan jasmani (catudhatuvavatthana)  .

Ciri-ciri orang yang mempunyai vitakkacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


tergesa-gesa. Ia cenderung gugup, suka berteori, pikiran sering berkeliaran, tidak suka
bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita  , maka
obyek yang cocok untuk melaksanakan meditasi adalah anapanasati  atau perhatian pada
saat nafas dan keluar secara alamiah.

PERTEMUAN 15

15.1 Pengertian
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini
dibelokkan ke Nibbanadhatu  , tujuan akhir umat Buddha. Istilah Pali “ nibbana  “ berasal dari
kata ni  dan vana.  Ni merupakan partikel negatif, sedang vana  berarti nafsu atau keinginan.
“ Disebut nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan “. Secara
harfiah, nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.

Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Sang Buddha bersabda : “ Seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa ? Terbakar oleh api
keserakahan, kebencian dan kebodohan ; oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan,
duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah “.

Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak
dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat
mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti
dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya
seekor penyu, yang dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.

Dalam agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan
suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata – kata secara tepat. Nibbana
adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta “.  Karenanya, Nibbana
bersifat kekal ( dhuva  ), damai ( santi  ), dan bahagia ( sukha  ).
15.2 Jenis Nibbana

Menurut kitab – kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa – upadisesa –
nibbana  dan Anupadisesa – nibbana.  Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena
hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum
atau sesudah kematian.

Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana
adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu
pencapaian ( Dhamma  ) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan
suatu keadaan di atas keduniawian ( lokuttara  ) yang dapat dicapai dalam kehidupan
sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat
dicapai dalam kehidupan di alam lain. Di sinilah terletak perbedaan pokok antara konsep
Buddhis tentang Nibbana dan konsep non – Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat
dicapai setelah kematian atau bersatu dengan Tuhan atau Zat Agung pada kehidupan
setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu masih hidup,
itu disebut Sa – upadisesa Nibbanadhatu.  Bila seorang Arahat wafat, setelah kehancuran
tubuhnya, tanpa adanya sisa kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu.  Dari
sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut
pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika,
Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.

Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak ? Sang Buddha menjawab : “
Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( khanda  ) itu sungguh dalam, tak
dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatakan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah
tidak sesuai. Menyatakan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan
kembali juga tidak benar “.

Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu
keinginan yang mensyarati tumimbal lahir telah dihancurkan ; juga orang tidak dapat
mengatakan Arahat itu musnah karena tak ada sesuatu yang dimusnahkan.

Robert Oppenheimer,  seorang ahli fisika, menyatakan :

“ Misalnya, apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus
menjawab “ tidak “. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa
waktu kemudian, kita harus menjawab “ tidak “. Bila kita bertanya apakah electron bergerak,
kita juga harus menjawab “ tidak “.
Sang Buddha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi –
kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.

15.3 Jalan Mencapai Nibbana

Bagaimana caranya untuk mencapai Nibbana ? Dengan melaksanakan Delapan Faktor


Jalan Utama  , yaitu : Pengertian benar ( samma – ditthi  ), Pikiran benar ( samma –
sankappa  ), Ucapan benar ( samma – vaca  ), Perbuatan benar ( samma – kammanta  ),
Penghidupan benar ( samma – ajiva  ), Usaha benar ( samma – vayama  ), Perhatian benar
( samma – sati  ), Konsentrasi benar ( samma – samadhi  ).

Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha, mencakup pengetahuan


tentang Empat Kebenaran Mulia . Mengerti dengan benar berarti memahami segala
sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini
menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam
Rohitassa Sutta : “ Empat Kebenaran Mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya
dua depa beserta kesadarannya “. Dalam melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama ,
Pengertian Benar berada pada permulaan serta pada akhirnya. Tingkat minimal Pengertian
Benar amat diperlukan pada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang
benar kepada tujuh faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian
benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna  ), yang
langsung membawa kepada tingkat – tingkat kesucian.

Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Karena itu, faktor kedua dari jalan
utama ini ( Samma – sankkappa  ), mempunyai dua tujuan : melenyapkan pikiran – pikiran
jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri
dari tiga bagian, yaitu :

•  Nekkhamma  ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri
yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

b. Abyapada  ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.

c. Avihimsa  ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau
kebengisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar , faktor ketiga. Ucapan benar mencakup
perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang
tidak berguna.

Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar , yang meliputi perbuatan menahan
diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup, pencurian dan perbuatan – perbuatan
kelamin yang salah.

Dengan membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual
berusaha memperbaiki penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam
perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata,
manusia, binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.

Bagi para Bhikkhu, penghidupan salah meliputi perbuatan – perbuatan munafik dan cara –
cara yang tidak dibenarkan untuk memperoleh kebutuhan – kebutuhan hidup seorang
Bhikkhu.

Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan kejahatan
yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha
membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang
telah timbul.

Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan –
perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar
menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur,
yang memuncak dalam Jhana.

Dari kedelapan faktor Jalan Utama ini, dua yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian
kebijaksanaan ( panna  ), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral ( sila  ), dan tiga yang
terakhir ke dalam bagian konsentrasi ( samadhi  ). Tetapi menurut urutan perkembangannya,
rangkaian itu adalah sebagai berikut : Sila, Samadhi dan panna  .

15.4 Tahapan Pencapaian Nibbana

Moral ( sila  ) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan
tidak membunuh atau melukai makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa
belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil
sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan
berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak
benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri
dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang
mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.

Azas – azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seseorang yang melangkahkan
kakinya menuju ke Nibbana. Melanggar hal – hal tersebut di atas berarti menciptakan
rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan hal – hal tersebut berarti kemajuan
yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.

Dengan mendisiplinkan ucapan – ucapan dan perbuatan – perbuatannya seorang musafir


spiritual akan maju lebih jauh.

Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap dengan mendisiplinkan segala ucapan dan
tingkah lakunya, serta mengendalikan indria – indrianya, kekuatan kamma dari siswa yang
sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan –
kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai bhikkhu. Kemudian dalam dirinya
muncul pengertian bahwa :

“ Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan
kebutuhan ; Tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah bebas seperti udara
terbuka “.

Namun demikian jangan salah tafsir bahwa setiap orang harus menjadi bhikkhu atau hidup
membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan
menjadi bhikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat.
Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami, seseorang menempuh hidup
membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir
spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksanaan yang lebih tinggi,
yaitu pengendalian dan pengembangan batin ( Samadhi  ), tingkat kedua pada jalan ini.

Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua
persoalan yang tidak perlu.

Terdapat berbagai macam obyek meditasi sesuai dengan watak masing – masing individu.
Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk
mencapai Samadhi.  Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan
kedamaian dan kebahagiaan batin.

Pengembangan empat keadaan batin luhur : cinta kasih ( Metta  ), belas kasihan ( Karuna  ),
kegembiraan bersimpati ( Mudita  ), dan keseimbangan batin ( Upekkha  ) amat dipuji oleh
para bijaksana.

Setelah mempertimbangkan dengan hati – hati obyek – obyek meditasi, ia harus memilih
salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek
yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai
ia benar – benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran
lainnya tidak dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin
adalah : Keinginan indria, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan, kekhawatiran
dan keragu – raguan.

Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang tak dapat
diterangkan, ia terserap dalam Jhana  , menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan
pikiran.

Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin
baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa ( abhinna  ), yaitu : mata –
dewa ( Dibbacakkhu  ), telinga – dewa ( Dibbasota  ), ingatan akan kelahiran – kelahiran
lampau ( Pubbenivasanussati – nana  ), membaca – pikiran ( Paracitta vijanana  ), dan
berbagai macam kemampuan – kemampuan batin lainnya ( Iddhividha  ). Namun harus
diingat bahwa kekuatan – kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat
kesucian.

Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecenderungan – kecenderungan
yang terpendam dalam batin. Karena dengan Samadhi  nafsu – nafsu hanya tertidur untuk
sementara. Kekotoran – kekotoran batin itu dapat muncul pada saat – saat yang tak
terduga.

15.5 Keadaan Nibbana

Baik Sila  maupun Samadhi  amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangan –


rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat
segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan
penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan
yang menuju ke Nibbana.

Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah
digosok, ia melihat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup.
Kemanapun ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain Tiga Corak
Umum kehidupan, yaitu : Anicca  ( ketidak – kekalan ), Dukkha  ( penderitaan ),
dan Anatta  ( tanpa pribadi kekal ), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia
memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersyarat itu tidak kekal
adanya. Baik di surga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati,
karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena
itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan
kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.

Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik
baginya dan dengan tekun terus mengembangkan Pandangan Terang dalam jurusan yang
telah dipilihnya, sampai saat – saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat
memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancurkan tiga
belenggu : pandangan salah tentang aku ( Sakkaya ditthi  ), keragu – raguan ( Vicikiccha  ),
serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan
( Silabbata – paramasa  ).

Pada tingkat ini ia disebut seorang Sotapanna  ( Pemenang – arus ), seorang yang telah
memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum
menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali
tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan sekilas
terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan pesat dan mengembangkan Pandangan
Terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami  ( hanya
kembali sekali ) dengan melemahkan dua belenggu lagi, yaitu : keinginan indria
( kamaraga  ) dan itikad jahat ( patigha  ). Ia disebut sakadagami  karena ia hanya akan
dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat  .

Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, Anagami ( tak pernah kembali ), ia dapat
menghancurkan dua belenggu yang telah disebutkan diatas. Setelah itu, ia tidak akan
kembali ke dunia ini atau ke alam dewa, karena ia tidak memiliki kesenangan – kesenangan
indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “ Alam Murni “
( Suddhavasa )  , suatu alam brahma yang menyenangkan.

Sekarang dengan dorongan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya,
maka ia mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa
belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam bentuk ( rupa –
raga  ) dan alam – alam tak berbentuk ( arupa – raga  ), kesombongan ( mana  ), kegelisahan
( unddhacca  ), kebodohan ( avijja  ), dan menjadi seorang suci yang sempurna – Arahat.

Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, beban berat
penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke
Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang
melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak – gejolak nafsu dan kekotoran dunia,
menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata – kata.

Anda mungkin juga menyukai