Anda di halaman 1dari 109

Simbol Buddhis

1.    ARCA BUDDHA

Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang penghormatan
Guru Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati dan Beliau telah
mengajarkan Dharma kepada dewa dan manusia.

2.    STUPA
Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama Buddha Stupa
salah satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di jumpai di candi
Borobudur.

Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu
kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat Buddha, stupa menjadi
tempat menyimpan abu Guru Agung Buddha. Setelah wafat lalu dan dikremasi. Setelah
dikremasi, abu-Nya disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.

3.    CAKRA/ RODA DHAMMA

Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil, roda-rodanya
akan terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula dengan Roda
Dhamma, semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk
pertama kalinya, Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua
makhluk terbebas dari Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran
ajaran Guru Agung Buddha terus berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu,
roda Dhamma juga dilambangkan sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak
tahuan dan kegelapan batin dalam diri manusia. Simbol ini juga menggambarkan
khotbah HGuru Agung Buddha  yang pertama kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath,
India.

 
 

4.    TERATAI / PADMA / LOTUS

Teratai putih melambangkan Bodhi (Sansekerta untuk pencerahan). Murni


melambangkan tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan kesempurnaan spiritual dan
perdamaian sifat seseorang. Sebuah bunga teratai umumnya dilengkapi dengan delapan
kelopak, yang sesuai dengan Delapan Jalan Hukum Baik. Teratai putih dianggap sebagai
teratai dari Buddha (tapi tidak Buddha sendiri) karena disebutkan di atas simbol-simbol
yang terkait dengannya.

5.    POHON BODHI/ DAUN BODHI

Pohon Bodhi menghasilkan udara segar. Selama berabad-abad, pepohonan telah


menyediakan naungan dan perlindungan bagi manusia maupun binatang. Pohon Bodhi
adalah pohon tempat naungan Petapa Gautama ketika Beliau mencapai penerangan
sempurna, menjadi Yang Agung Buddha. Saat ini, pohon Bodhi dihormati sebagai
pencerminan keagungan dan kebijaksanaan  Guru Agung Buddha. Pohon Bodhi ini juga
dilambangkan sebagai pohon kehidupan. Menghormat pada pohon Bodhi merupakan
salah satu cara untuk menunjukkan rasa penghormatan dan syukur kita, umat Buddha,
atas kebijaksanaan dan ajaran yang telah dibabarkan oleh Guru Agung Buddha. Oleh
sebab itu Pohon Bodhi mempunyai makna penerangan
sempurna. Bodhi artinya penerangan sempurna.

6.    JEJAK KAKI BUDDHA

Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara Buddhis. Secara
garis besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan seluruh jari kaki yang
sama panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki ini memperlihatkan tanda-
tanda, baik itu Dharmachakra atau Chakra di tengah telapak kaki, maupun menunjukkan
tiga puluh dua (32), seratus delapan (108), atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-
tanda istimewa Guru Agung Buddha. Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan
sebagai perlambangan atas diri Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru
Agung Buddha dalam bentuk patung manusia (Buddha Rupang) dibuat.

Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran Buddha dalam
mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau mempraktikan ajaran
Buddha.

 
 

7.    BENDERA BUDDHIST

Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar tubuh Buddha
saat bermeditasi.

a.    Biru berarti bakti

b.    Kuning berarti bijaksana

c.    Merah berarti cinta kasih

d.    Putih berarti suci

e.    Jingga berarti semangat

f.     Campuran lima warna berarti kegiatan praktik dari makna kelima warna


bendera Buddist

Hari Raya Keagamaan


A.  HARI RAYA WAISAK

Diantara  empat hari raya tersebut yang lebih dikenal pada umumnya  adalah hari raya
Waisak Selain merupakan hari libur nasional, hari raya Waisak juga dirayakan oleh umat
Buddha diseluruh dunia. Hari Raya Waisak jatuh pada purnama di bulan Mei atau Juni

 Hari raya Waisak juga dirayakan di Vihara, Cetiya, Arama, Mahavihara, Candi, dan
tempat lainnya Hari raya Waisak memperingati tiga peristiwa yang sangat penting.

Tiga peristiwa tersebut terdiri dari :


1.       Pangeran Siddharta lahir pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.

2.       Pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha pada tahun 588 SM di Hutan Gaya.

3.       Sang Buddha Parinibana atau wafat pada tahun 543 SM di Kusinara.

Agama Buddha diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Buddha adalah orang yang telah
mencapai  kesempurnaan. Nama Buddha adalah gelar atau orang suci yang telah
mencapai penerangan sempurna. Semua orang bisa  menjadi Buddha dengan catatan
telah melenyapkan  nafsu keinginan (Tanha) dan kekotoran batin (Kilesa).

Buddha mengajarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Tujuan mengajar Dhamma
agar semua makhluk terbebas dari penderitaan, Dhamma artinya ajaran kebenaran atau
ajaran Buddha yang patut kita laksanakan dan praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

B. HARI RAYA ASADHA

Hari raya Asadha adalah hari Dharma. Hari raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan Juli atau Agustus. adapun peristiwa atau kejadian penting yang perlu diperingati
di bulan Asadha diantaranya:

1.       Buddha mengajarakan Dhamma pertama kali

2.       Dhamma diajarkan kepada lima (5) orang pertapa yaitu Assaji, Mahanama,


Kondanna, Bhadiya, dan Vappa.

3.       Terbentuknya persaudaraan para Bhikkhu (Ariya Sangha)

Buddha mengajarkan Dharma dengan penuh cinta kasih. Buddha mengajarkan,


bagaimana caranya agar semua orang dapat hidup bahagia. Hidup sesuai ajaran Buddha
akan membawa kebahagiaan dan kedaimaan bagi diri kita dan semua makhluk hidup

C. HARI RAYA KATHINA

 Hari Kathina dikenal sebagai hari Sangha. Sangha adalah persaudaraaan para bhikkhu
dan bhikkhuni.  Sangha bhikkhu dan bhikkhuni adalah para siswa Buddha yang telah
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni tinggal di Vihara.
Sebelum hari kathina tiba para bhikkhu menjalani masa vassa. Saaat masa vasa para
bhikkhu tinggal di vihara tertentu selama tiga bulan untuk belajar dharma dan
bermeditasi
 Hari raya kathina jatuh pada bulan Oktober. Pada hari raya kathina umat Buddha
berkesempatan memberi dana kepada Sangha. Dana yang diberikan berupa : Jubah,
obat-obatan, makanan, tempat tinggal (Kuti). Dalam memberi kita harus tulus. Memebri
pada hari raya Kathina adalah perbuatan bajik yang besar. Dengan melatih untuk
member atau berdana sama dengan melatih kemoralan hati kita. Tujuan berdana adalah
untuk melatih pelepasan dan mengikis kemelekatan.

D. HARI RAYA MAGHA PUJA

Hari Magha memperingati berkumpulnya para bhikkhu di vihara Veluana Arama

Hari Magha jatuh pada bulan Februari atau Maret

Kejadian penting pada hari Magha adalah :

1.       Berkumpulnya 1250 bhikkhu dan semuanya Arahat.

2.       Para Bhikkhu semuanya datang tanpa diundang.

3.       Para Bhikkhu semuanya memiliki kekuatanj gaib dan kesucian.

4.       Semua bhikkhu yang hadir tahbiskan oleh Buddha sendiri dengan mengucapkan
Ehi-Bhikhu.

Tiga hal penting yang harus kita ingat dari makna merayakan hari magha, diantaranya:

a.       Kita harus berhenti berbuat jahat

b.       Kita harus berusaha selalu berbuat baik

c.        Kita juga harus selalu berpikir benar

Syair penting dalam hari Magha dikenal “Ovada Patimokha”

Bunyi syair Ovada Patimokha adalah :

“Jangan melakukan perbuatan jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan
pikiran, inilah ajaran semua Buddha”.
Tempat Ibadah
Arama
Arama memiliki ruang Dhammasala, Uposatha (tempat penahbisan bhikkhu), Kuti
(tempat tinggal para bhikhu/bhikhuni), Perpustakaan,dan Taman yang luas.taman ini
biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka.

Vihara
Vihara memiliki ruang Dhammasala, Kuti(tempat tinggal para
bhikhu/bhikhuni),Perpustakaan.

Cetiya
Cetiya memiliki altar dan ruang Dhammasala/bakti sala.

Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum


dengan ruang dhammasala.jika yang lebih besar bangunannya.ada yg memisahkan
ruangnya.ruang dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat membabarkan
dharma.tetapi bykan ruang ini digabungkan dengan ruang sembayang umum sehingga
juga berfungsi sebagai tempat kebaktian&puja bakti.

Pertemuan ke 2

Agama Buddha Nusantara


Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha
berasal dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga
sekarang. Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi
agama mayoritas di beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya.
Agama Buddha kemudian juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi
salah satu agama tertua yang ada di Indonesia saat ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah


keyakinan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam
prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari
bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi
dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu
semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka
sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak
ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat
menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang
tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha


dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah
pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat
Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa
semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk
objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama
Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan
mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha,
perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Zaman Kerajaan
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad
ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama
kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali
yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-
7 sampai ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat
pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang
sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara
serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang
mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda,
dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa


Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada
tahun 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha
yang masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi
Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan
Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia.
Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam
Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan
juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan
Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah
keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh
kerajaan-kerajaan Islam.

Masa Kemerdekaan
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan
Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama
Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha
semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke
Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat
Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan
Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat
Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga
membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan


agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri
Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia
Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk
menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-
Buddha terakhir di kepulauan nusantara.[7] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali
minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat
oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang
bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama
Buddha di Indonesia, di mana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965,


setiap adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap
sebagai pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri
Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma
Buddhisme di Indonesia, mengenai ketuhanan dalam agama Buddha, maka digagaslah
ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia dengan sebutan "Sang Hyang Adi
Buddha". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini
dalam teks-teks Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di
Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah
percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, ketika semua warga negara
Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau
dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut
Buddhisme naik tajam, beberapa puluh Vihara Buddha baru dibangun. Pada
tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat
Buddha Indonesia (Walubi),
yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1
juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta
dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya
menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang
dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak
pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh
pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu
dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak
diwakili dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari


pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya
adat etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara
tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia)
dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua
memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Pertemuan ke 3

Pengertian Tiratana
Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan
‘ratana/ratna’. Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga
Mustika, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha.
Ratana (Ratna) adalahpermata, mustika yang tidak ternilai harganya dan yang tak ada
bandingnya. Tiga Mustika ini penting bagi umat Buddha karena dengan adanya tiga
mustika ini maka pembebasan diri dari penderitaan dapat dicapai.

Pembebasan dapat dicapai bukan karena kita telah  berlindung kepada Tiratana dalam
pengertian biasa. Berlindung pada Tiratana dengan mengucapkan Tisarana hanyalah
merupakan langkah awal dalam menyatakan tekad, yang selanjutnya dengan
melaksanakan dhamma yang diajarkan oleh Sangha; setelah mendengar Dhamma,
seseorang berusaha mengerti makna Dhamma itu dan kemudian berusaha
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

 Dalam agama Buddha,Tiratana tersebut adalah :

1). BUDDHA-RATANA (mustika Buddha), yaitu Sang Buddha sebagai guru agung
junjungan kita, yang telah memberikan ajaran-Nya kepada umat manusia dan para dewa
agar dapat mencapai kebebasan mutlak, Nibbana.

2).   DHAMMA-RATANA (mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma sebagai ajaran guru
suci junjungan kita Sang Buddha yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke
jalan yang benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing merekan mencapai
Nibbana.

3).           SANGHA-RATANA ( mustika Sangha), yaitu Sang Sangha yang merupakan


persaudaraan Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapanna,
Sakadagami, Anagai, Arahat) dan sebagai pangawal dan pelindung Dhamma, serta
mengajarkan dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga
mencapai Nibbana.

Jenis dan Sifat Buddha


Buddha berdasarkan pencapaiannya,terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1.       Samma Sambuddha, adalah orang yang berusaha sendiri sehingga mencapai


Penerangan Agung (Bodhi), mengajarkan orang lain sehingga mereka pun mencapai
Penerangan Agung.

2.       Pacceka Buddha, adalah orang yang berusaha sendiri hingga mencapai


Penerangan Agung (Bodhi), namun tidak dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai
penerangan agung (Bodhi).

3.       Savaka Buddha atau Ariya Puggala, adalah orang yang mencapai Penerangan
Agung (Bodhi) karena belajar dari seorang Samma Sambuddha. Biasa disebut juga
arahat. Ada Arahat yang dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain, sehingga
orang lain juga mencapai kesucian.

Kebajikan-kebajikan Buddha

Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.

Seorang Bddha mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1.       Maha parisudhi, atinya Maha Suci karena terbebas dari semua kekotoan batin
denagan usahanya sendiri. Dengan kesucian ini maka roda samsara dapat dipatahkan
dan tidak ada lagi kelahiran kembali.

2.       Maha Panna, adalah kebijaksanaan tertinggi yang dicapai denga melaksanakan


meditasi Vipassana Bhavana dengan terlebih dahulu menguasai meditasi Samatha
Bhavana, sehingga memiliki kemampuan batin untuk melihat kehidupan-kehidupan yang
lampau, serta kematian dan kelahiran dari mahluk-mahluk, dapat merealisasikan tentang
hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Bersamaan dengan pencapaian
penerangan agung kebijaksanaan menjadi sempurna (Maha Panna), Beliau pun memiliki
Chalabinna dan Dasabala yang smpurna. Ia disebut sebagai seorang Sabbanu (Maha
Tahu) karena kesempurnaan kebijaksanaannya itu.

3.       Maha Karuna, adalah cinta kasih dan maha kasih sayang, berkaitan dengan
keccendrungan Sang Buddha untuk meringankan dan akhirnya melenyapkan
penderitaan mahluk-mahluk.

 
Selain sifat-sifat tersebut diatas, Sang buddha memiliki sembilan macam kebajikan
lainnya, yaitu :

1.      Araham, manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin, karena melenyapkan 
semua Asava deengan pencapaian pengetahuan Asavakkhayanana, yakti pengetahuan
yang dapat melenyapkan kekotoran batin, karena telah meleyapkan kekotoran batin
yang sangat halus sekali.

2.      Samma Sambuddho, manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan


usahanya sendiri dan mampu mengajarkan Dhamma yang telah dikemukakannya
kepada semua makhluk.

3.      Vijjacaranasampano, mempunyai pengetahuan dan tindakan sempurna.

4.      Sugato, yang berbahagia, karena sudah dapat merealisasikan dhamma dengan


sempurna dan mengatasi lingkaran kelahiran dengan mencapai Nibbana.

5.      Lokavidu, mengetahui dengan sempurna keadaan alam yang terkena hukum


kesunyataan.

6.      Anuttaro Purisadhammasarathi, pembimbing umat manusia yang tiada taranya.

7.      Sattha devamanussanam, guru suci para dewa dan manusia, yang mengajarkan
Dhamma selain kepada manusia juga kepada dewa.

8.      Buddho, yang sadar, seseorangf yang telah mencapai penerangan sempurna


hingga dapat mematahkan roda samsara.

9.      Bhagava, yang patut dimuliakan, yang dipuja oleh dewa dan manusia karena
kebijaksanaannya.

Seorang Samma Sambuddha yang muncul di dunia,seperti Buddha Gotama, mempunyai


tugas-tugas yang harus diselesaikan, yaitu :

1.       Tugas-tugas terhadap dunia, yaitu membimbing dan mengajarkan Dhamma kepaa


semua mahluk agar mereka mencapai kebahagiaan maupun mencapai kesucian batin.

2.       Tugas-tugas terhadap sanak keluarga, yaitu mengajarkan Dhamma kpada sanak


keluargannya, hingga mencapai kesucian batin menjadi Ariya Puggala.

Tugas-tugas sebagai Buddha, yaitu menahbis bhikkhu-bhikkhu da membentuk Sangha,


menggariskan peraturan (vinaya) bagi para anggota Sangha agar mereka dapat
melaksanakan kehidupan suci memelihara keutuhan Dhamma
Jenis dan Sifat Dhamma
Dhamma dan Vinaya yang merupakan Ajaran Sang Buddha, dinamakan ”Dhamma”. Kata
Dhamma sangat luas artinya,biasanya penggunaan kata Dhamma dengan arti yang
terbatas dapat diketahui apabila kita menggunakannya atau menemukannya dalam
bentuk suatu ungkapan atau kalimat. Dalam Dhammasangani Atthakatha, Buddhaghosa
meyebutkan empat macam definisi mengenai Dhamma yaitu :

1.       Pariyati, atau ajaran yang dirumuskan. Hal ini berarti semua ajaran Agam Buddha
terdapat dalam kitab Suci Tipitaka.

2.       Hetu, atau kondisi, sebab yang bergantung, pengetahuan analisa tentang Dhamma
yang bermakna, dan pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan.

3.       Guna, moral atau perbuatan berkualitas, yang terdapat pada perenungan tentang
kebajikan Dhamma.

4.       Nissata-nijivata, atau fenomena sebagai lawan dari substansial.

Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut
dalam ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang
berfenomena maupun tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau
dengan kata lain segala sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala
sesuatu yang ada, adalah disebut sebagai Dhamma.

Dhamma juga berarti kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, ajaran Sang Buddha.
Istilah Dhmma mempunyai arti yang sanga luas, mencakup tidak hanya benda atau hal
yang bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat,misalnya yang mutlak (nibbana),
yakni:

1.       Sankhata Dhamma, keadaan yang bersyarat yakni tertampak pemunculannya,


tertampak lenyapnya, dan selama hal itu tertampak pula perubahan-perubahannya,
misalnya : tata surya, matahari, bumi, gunung, pohon, manusia, laut, danau, sungai, batu,
angin, dlsb.

2.       Asankhata Dhamma, keadaan yang tidak bersyarat yakni tidak dilahirkan / tdak
muncul, tidak termusnah, ada dan tidak berubah.

Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma (dharma) tersebut, kita harus
melaksanakannya secar bertahap. Ada tiga tahap pelaksanaan Dhamma, yaitu :

1.       Pariyatti Dhamma : mempelajari Dhamma dengan tekun Kitab Suci Tipitaka /


Dhamma Vinaya.
2.       Patipatti Dhamma    : melaksanakan atau mempraktekkan Dhamma vinaya dalam
kehidupan sehari-hari. Setelah mempelajari Dhamma secara seksama, alangkah mulianya
bila kita melaksanakannya juga. Namun,pelakssanaan Dhamma adalah merupakan suatu
hal yang susah untuk dimulai. Pikiran yang baik akan mendukungb terciptanya
pelaksanaan Dhamma yang murni.

3.       Pativedha Dhamma : hasil penembusan, yakni hasil menganalisa kejadian-kejadian


hidup melalui meditasi Vipssana Bhavana sehingga mencapai kebebasan mutlak.

Di antara ketiga aspek Dhamma itu, Pativedha-dhamma-lah yang merupakan duniawi


(lokuttara). Pativedha dhamma ini terdapat dalam batin mereka yang telah mencapainya
(telah mencapai tingkat-tingkat kesucian). Natin yang demikian itu tidak mungkin lagi
tercemar oleh kekotoran batin yang menjurus kepada kemerosotan. Itulah sebabnya
maka Pativedha Dhamma merupakan Dhammaratana yang dipuja dan memberi harapan
pada umat manusia.

Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah Parinibbana, namun Dhamma
mulia ini telah Beliau wariskan seluruhnya kepada uamt manusia, dalam bentuk yang
utuh. Sekalipun Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis; tentang
ajaran-Nya, tetapi para siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau dengan
jalan menghapal dan mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.

Dhamma akan melindungi mereka yan mempraktekkan Dhamma. Bagi seseorang yang
mempraktekkan Dhamma, ia tak akan jatuh ke alam penderitaan. Sesuai dengan
Dhamma, bila kita mencari kebahagiaan maka hendaknya kita meninggalkan kemoralan
(sila), antara lain melakanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat pentingnya suatu pelaksanaan sebagai tindak-lanjutnya, Sang Buddha


bersabbda dalam dhammapada berikut: ”Seseorang yang kendatipun menghafl banyak
kiab suci tetapi tidak melaksanakan sesuai dengan ajaran, niscaya tak akan memperoleh
pahala atau manfaat dari hidup keagamaan, bagaikan pengembala yang hanya
menghitung-hitung sapi milik orang lain.” (Dhammapada,Yamakavagga, 19).

Kebajikan-Kebajikan Dhamma

Dhamma (pali) atau Dharma (Sansekerta) berarti ajaran, hukum, peraturan-peraturan.


Secara umum Dhamma berarti segala sesuatu yang bersyarat atau yang tidak bersyarat,
yang muncul atau tidak muncul, yang nyata atau abstrak. Dhamma tetap ada walaupun
para Buddha ada atau tidak ada. Dhamma bukan ciptaan para Buddha. Dhamma
memeang ada dan selamanya akan tetap ada selamanya. Buddha hanya penemu
dhamma. Setelah menemukannya, beliau membabarkannya kepada semua maklukagar
mereka yang telah siap akan mendapatkan manfaatnya.
Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya dapat memberikan
manfaat dalam kehidupannya. Ada enam kebajikan Dhamma, yaitu :

1.       Svakkhato Bhagavato Dhammo, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha telah


sempurna dibabarkan, telah dapat menjadikan orang yang telah mempraktekkan
Dhamma tersebut menjadi sucidan dapat mengatasi lingkaran tumimbal lahir.

2.       Sandhitthiko, berada sangat dekat ( kesunyataan yang dapat dilihat dan


dilaksanakan dengan kekuatan sendiri). Dhamma berada sangat dekat bagi orang yang
memprektekkannyadalam kehidupan sehingga dapat merealisasikan dhamma dalam
hidupnya dengan melenyapkan semua kekotoran batinnya.

3.       Akaliko, tidak lapuk oleh waktu, akan selalu ada walaupun tidak ada Buddha dan
telah dilupakan manusia.

4.       Ehipassiko, mengundang untuk dibuktikan. Dhamma dapat membuat seorang


yakin dan membawanya untuk dapat mempraktekkan kebenarantersebut serta menuai
hasilsesuai dengan praktek Dhammanya.

5.       Opanayiko, menuntun kedalam batin (patut dilaksanakan), yang merupakan ajaran


kebenaran yang patut dilaksanakan untuk melenyapkan semua kekotoran batin dan
mencapai kesucian batin melalui praktek meditasi dan sila yang baik.

6.       Paccatam veditabbo vinnuhi, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin
masing-masing. Dhamma dapat diselami oleh para bijaksana yang telah menjalankan sila
yang benar dan mencapai pandangan terang dalam praktek meditasi.

Setiap orang dapat mempelajari dhamma dengan bebas, memikirkannya dengan tenang
dan bijaksana, dan boleh menerima bagian-bagian yang sesuai dengan pendapatnya
masing-masing, serta boleh menolak bagian-bagian yang tidak dipahami. Buddha
Dhamma tidak memaksa orang untuk percaya secara membabi buta. Semangat yang
menjiwai Buddha Dhamma adalah semangat pemikiran rasional.

Jenis dan Sifat Sangha


Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para bhikkhu atau para bhikkhuni. Kata
Sangha pada umumnya di tunjukkan untuk sekelompok bhikkhu atau bhikkuni.

Ada dua jenis persaudaraan bhikkhu (bhikhuni(, yaitu:

1.       Sammuti Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu biasa yang belum mencapai


tingkat kesucian.

2.       Ariya Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu yang telah mencapai ariya puggala
(mahluk ariya). Ariya Puggala adalah orang yang telah mencapai salah satu tingkat
kesucian dari empat tingkat kesucian, yang didasarkan pada kualitas pencapaian
penyucian batin, yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.
Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah
mencapai kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang
bhikkhu yang brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-
peraturan kebhikkhuan sidang, dll.

Sangha adalah satu, persaudaraan tingkat dunia, yang kesebuanya berpaokan kepada
Dhamma dan Vinaya. Sangha adalah persaudaraan yang agung, bijak, suci, yang menjadi
panutan umat awam, yang mendamaikan segala permasalahan, yang menjadi kekuatan
dari segala jenis kebaikan, dan kemurahan hati.

Sangha adalah pewaris Ajaran Yang Mulia Buddha Gotama dan berkewjiban untuk
membimbing mereka yang belum mengerti hakekat hidup yang sebenarnya.

Kebajikan-kebajikan Sangha

Sangha adalah perkumpulan siswa Sang Buddha, baik siswa ariya maupun yang masih
memerlukan latihan Dhamma.

Ariya Sangha memiliki sembilan kebajikan Sangha, yaitu:

1.       Supatipanno Bhagavato Savaka Sangho, Siswa sang Bhagava yang melaksanakan


Dhama Vinaya secara sempurna, telah bertindak baik.

2.       Ujupatipanno, yang berkelakuan jujur, telah bertindak lurus.

3.       Nayapatipanno, yang berjalan di jalan benar, menuju Nibbana.

4.       Samicipatipanno, yang tlah bertindak patut, penuh tanggung jawab.

5.       Ahuneyyo, patut menerima pemberian / persembahan.

6.       Pahuneyyo, patut menerima persembahan dana.

7.       Anuttaram Punakhetam lokassa,lapangan untuk menanam jasa, yang tiada taranya


di alam semesta.

Kebutuhan pokok yang diperkenankan bagi Anggota Sangha adalah:

a.       Jubah (Civara), yaitu jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tak
bernilai ekonomi (pamsukula).
b.       Makanan yang diterima sebagai dana (pindapata), yaitu makanan yang
secukupnya untuk mengingatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan
ketenangan batin.

c.        Tempat tinggal (Sesana), yaitu berdiamatau bertempat tinggal dalam tempat yang
terlindung dengan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.

d.       Obat-obatan (bhesajja), yaitu yang digunakan sesuai petunjuk dari dokter dan
yang selaras dengan Vinaya, yang dibuat dari bahan-bahan yang tak tercela.

Dengan menggunakan kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut, para bhikkhu tetap


berusaha dan menjaga agar mereka tidak terikat dan melekat kepada keinginan untuk
memuaskan diri dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kerena jika bhikkhu tidak
waspada, maka keterikatan pada hal-hal ini akan merintangi usahanya untuk mencapai
pembebasan batin.

Tugas memelihara keutuhan ajaran Sang Buddha adalah berada di tangan Sangha, 
demikian juga dalam penyebaran Dhamma adalah terutama dilaksanakan oleh Sangha.
Karena itu dapat dikatakan bahwa Sangha adalah panutan kita, sebagai wakil Sang
Buddha dari masa ke masa. Dan setiap orang yang menjadi bhikkhu, dengan sendirinya
menjadi anggota Sangha.

Sangha pertama di dunia mulai menyebarkan dhamma setelah sang Buddha mempunyai
60 orang Bhikkhu yaitu beberapa waktu setelah khotbah pertama di Isipatana pada
bulan Asadha, tahun 588 sebelum masehi

4.1 Pengertian Tipitaka


Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang
digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon
mereka. Sesuai dengan makna istilah tersebut, Tripiṭaka pada mulanya mengandung tiga
"keranjang" atau tiga "kelompok" akan berbagai pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma  Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Abhidhamma Piṭaka).

Sutta Pitaka berisi kotbah-kotbah Buddha selama 45 tahun


membabarkan Dharma berjumlah 84.000 sutta. Vinaya Pitaka berisi
peraturan Bhikkhu/ni, sedangkan Abhidhamma Pitaka berisi
ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu
kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita
menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak
berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah
mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili)
di Rajagaha.

4.2 Konsili Buddhis


Konsili I: Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di
Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa
terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-
khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). 

Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti
tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir:
"Jadikanlah  Dhamma  dan  Vinaya  sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".

Konsili II: Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat
hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di
mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok
Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang
ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang
menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama
Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Konsili III: Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak
membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan
gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud
meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri
keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh
Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta
Dhamma ke negeri-negeri lain.

Konsili III: Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.
Konsili IV: Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah
lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang
Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk
pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian
Dhamma Vinaya.

Konsili V: Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada


permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727
buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Konsili VI: Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun


Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu
penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

4.3 Kegiatan Tripitaka Chanting


BERITAMAGELANG.ID - Ribuan umat Buddha Sangha Theravada Indonesia mengikuti
Puja Bhakti Agung Ashada 2563 Budhis Era Tahun 2019 dan pembacaan kitab Tripitaka
Chanting di Taman Lumbini Komplek Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jumat
(12/7).

Pimpinan tertinggi Shangha Theravada Indonesia Bante Sri Pannavaro Mahatera


menjelaskan, prosesi yang digelar beberapa pekan setelah Hari Raya Trisuci Waisak, atau
biasa disebut hari raya Ashalha (Ashada) ini diikuti sekitar 1.000 umat dari dalam dan luar
negeri.

Tidak sekedar membaca, umat Budha juga harus terus membaca kitab Tipitaka, dikaji,
dan dipahami sebagai landasan kehidupan sehari-hari.

"Peserta para umat dari pelosok tanah air dan Bikhu mancanegara antara lain Singapura,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Mereka tidak hanya ikut membaca
(mendaraskan) namun juga menjalankan delapan sila (pantangan) puasanya sang Budha,
seperti tidak makan setelah jam 12.00, tidak bernyanyi, tidak berhubungan suami istri,
tidak berkosmetik dan hidup sederhana," papar Bante Pannavaro di sela kegiatan.

Hari raya Asadha Agung, lanjutnya, adalah waktu ketika Sang Buddha Gautama pertama
kali mengajarkan ajaran Dhamma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana
Penares India Kuno.
"Hari ini adalah pembukaan pembacaan kitab suci Tripitaka. Tapi tentu saja tidak bisa
khatam karena jilid yang sangat tebal, mencapai 45.000 bab. Setiap tahun kami hanya
bisa menyelesaikan 10 sutera (10 khotbah Budha) dalam bahasa othentik, bahasa Phali,"
imbuhnya.

Dirjen Bimas Budha Kementrian Agama Chaliyadi mengungkapkan, pelaksanaan


Indonesia Tripitaka Chanting dan Asalha Mahapuja merupakan untuk lima kalinya.
Dengan harapan umat Buddha Indonesia mampu memahami kitab suci itu benar dan
utuh. Kemudian mengaplikasikan ajaran Buddha dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

"Kita tahu bangsa kita bangsa yang besar majemuk, yang terdiri dari beragam suku ras
dan agama. Maka salah satu dalam memaknai esensi agama diharapkan umat dapat
memahami kitab suci agama itu secara baik benar dan utuh," ungkap Chaliyadi.

Dengan memahami ajaran-ajaran agama yang baik dan benar, keyakinan dalam konteks
Tripitaka, maka kerukunan dan kedamaian bangsa Indonesia bisa terjaga.

"Semua agama mengajarkan bagaimana hidup berdampingan satu dengan yang lain.
Kita diharapkan selalu menjaga intern agama itu sendiri, antar umat beragama dan umat
beragama dan pemerintah. Karena itu, kontek negara yang pluraris ini hidup
berdampingan menjadi sebuah kebutuhan agar kita selalau menjaga keutuhan bangsa
Indonesia," paparnya.

Digelar selama tiga hari, Jumat - Minggu (12-14/07) puncak kegiatan Tripitaka Chanting
akan digelar prosesi agung Puja Bhakti di pelataran Candi Borobudur.
4.4 Salah satu isi Sutta
CULAGOPALAKA SUTTA

Khotbah Pendek tentang Pengembala Sapi

Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,


Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005

[225] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam
di negeri Vajji di Ukkacela di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau berbicara kepada para
bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi
berkata demikian:

2. Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi suku Magadha yang tolol. Di
bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di
sebelah sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di
negara Videna di tempat yang tidak ada arungannya. Ketika ternak-ternak itu
bergerombol bersama di tengah arus Sungai Gangga, mereka menemui malapetaka dan
bencana. Mengapa demikian? Karena pengembala Magadha yang tolol itu, di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di
sebelah sini maupun di sebelah sana, menggiring ternaknya menyeberangi pantai
seberang di negara Videha di tempat yang tidak ada arungannya.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
tidak terampil di dunia ini dan di dunia lain, tidak terampil di dalam alam Mara dan apa
yang berada di luar alam Mara, tidak terampil di dalam alam Kematian dan apa yang
berada di luar alam Kematian – hal itu akan membawa kerugian dan penderitaan untuk
kurun waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan
para petapa dan brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi Magadha yang bijaksana. Di
bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga
di sebelah sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai
di negara Videha di tempat yang ada arungannya. Dia membuat sapi-sapi jantan, para
pejantan dan pemimpin ternak itu masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan melawan arus
Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Kemudian, dia
membuat ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan masuk sesudah itu. Mereka
juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia
membuat sapi betina muda dan sapi jantan muda masuk sesudah itu. Mereka juga
membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia
membuat anak-anak ternak dan ternak-ternak yang lemah masuk sesudah itu. Mereka
juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang.
Pada waktu itu, ada anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, namun dengan
dorongan lenguhah induknya, ia juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai
dengan selamat ke pantai seberang. Mengapa demikian? Karena pengembala Magadha
yang bijaksana itu, [226] di bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah
memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah sana, mengiringi
ternaknya menyebrangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang ada
arungannya.

5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam Mara dan apa yang berada
di luar alam Mara, terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar alam
Kematian – hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun waktu
yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa
dan brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.

6. “para bhikkhu, sebagaimana sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu
membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula
bhikkhu-bhikkhu yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan,
yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah
menaruhkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu
dumadi, dan telah sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir – dengan membelah
arus Mara mereka telah sampai dengan selamat ke pantai seberang.

7. “Sebagaimana ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan itu membelah arus
Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu –
yang dngan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah akan muncul lagi secara
spontan [di Alam Kediaman Murni], dan di sana mereka mencapai Nibbana akhir tanpa
pernah kembali dari alam itu. Dengan membelah arus Mara, mereka akan selamat
sampai ke pantai seberang.

8. “Sebagaimana sapi betina muda dan sapi jantan muda membelah arus Sungai Gangga
dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dengan
hancurnya tiga belenggu dan dengan melemahnya nafsu keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin, merupakan Yang-Kembali-Sekali-Lagi, yang kembali sekali lagi ke
dunia ini untuk mengakhiri penderitaan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan
selamat sampai ke pantai seberang.

9. “Sebagaimana anak sapi dan ternak yang lemah membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang dengan hancurnya
tiga belenggu, merupakan Pemsuk-Arus, yang tidak lagi terkena kejatuhan, pasti menuju
[ke pembebasan], mengarah ke pencerahan-dengan membelah arus Mara mereka juga
akan selamat sampai ke pantai seberang.

10. “Sebagaimana anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, karena didorong
oleh lenguhan induknya, juga membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai ke
pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang merupakan para pengikut-Dhamma
dan pengikut-keyakinan-dengan membelah arus mara mereka juga akan selamat sampai
ke pantai seberang.368

11. “Para bhikkhu, aku [227] terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam
alam Mara dan apa yang berada di luar alam Mara, terampil di alam Kematian dan apa
yang berada di luar alam Kematian. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan
kebahagiaan untuk kurun waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka
harus mendengarkan aku bdan menaruh keyakinan padaku.”

12. Itulah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Setelah Yang tertinggi mengatakan hal
itu, Guru pun selanjutnya mengatakan:

“baik dunia ini maupun dunia sana


Dijelaskan dengan baik oleh orang yang tahu,
Dan apa yang masih di dalam jangkauan mara
Serta apa yang di luar jangkauan Kematian.

Karena langsung mengetahui semua alam,


Yang Tercerahkan yang memahami,
Membuka pintu menuju Tanpa-kematian
Yang melaluinya Nibbana dapat dicapai dengan selamat.

Karena arus mara sekarang telah dibelah,


Alirannya telah dihalangi, ilalangnya telah dibuang;
Maka bersuka-citalah, para bhikkhu, dengan megah
Dan teguhkan hati di mana keselamatan terletak.”

4.5 Penggolongan Tipitaka


Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah
Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri
oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha
mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke
negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci
Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak
terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak


pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga
dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia
dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi
18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan
sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih
berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh).
Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini
dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di
Indonesia dan negara-negara lain.

Kita sebagai umat buddha, yang paling umum harus kita ketahui adalah kitab suci
agama buddha, Ajaran-ajaran/khotbah-khotbah Sang Buddha semuanya di rangkum
dalam satu bagan yaitu : Tipitaka, yang artinya tiga keranjang.

Kitab suci agama Buddha pada zaman dahulu di tulis dalam bahasa pali (bahasa yang di
gunakan sehari-hari di India sebelum masehi) di daun lontar, daun lontar masih
tersimpan utuh di vihara alu, Srilangka, sekarang banyak beredar buku bacaan tipitaka
saduran dari daun lontar bisa di dapat di toko-toko buku atau vihara.

Inilah Skema/bagan/pembagian kitab suci agama Buddha Tipitaka.

Agar lebih mudah di ingat/pelajari, buatlah skema Tipitaka di atas sebuah karton dan
tempelkan di dinding rumah/kamar anda.

Tipitaka terbagi atas 3 bagian :

1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri (terdiri dari
5 kitab)

a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara

2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha (terdiri dari 5 Nikaya)

a. Digha Nikaya : berisi khotbah ukuran panjang 34 sutta.


1. Silakkhanda vagga (13 sutta)
2. Maha vagga (10 sutta)
3. Pathika vagga (11 sutta)
b. Majjhima Nikaya : berisi khotbah ukuran sedang (5 vagga) 152 Sutta.
1. Mula Pannasa
a. Mula pariyaya vagga (10 sutta)
b. Silanda vagga (10 sutta)
c. Opamma vagga (10 sutta)
d. Culamaya vagga (10 sutta)

2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)

3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)

c. Samyutta Nikaya : berisi 5 Samyutta (7.762 sutta)


1. Sagatha ragga samyutta
2. Nidana ragga samyutta
3. Khanda ragga samyutta
4. Salayata ragga samyutta
5. Maha raga samyutta

d. Anguttara Nikaya : berisi 11 Nipata (9.557 sutta)


1. Ekaka Nipata
2. Duka Nipata
3. Tika Nipata
4. Cattuka Nipata
5. Pancaka Nipata
6. Chakka Nipata
7. Sattaka Nipata
8. Attaka Nipata
9. Navaka Nipata
10. Dasaka Nipata
11. Ekadasaka Nipata

e. Khuddaka Nikaya : berisi 15 kitab


1. Khuddaka Patta
2. Dhammapada
3. Udana
4. Ittivuttaka
5. Sutta Nipata
6. Vimana vatthu
7. Peta vatthu
8. Thera vatthu
9. Theri vatthu
10. Jataka
11. Nidessa
12. Patismbhidamaga
13. Apadana
14. Buddhavamsa
15. Carita pitaka

3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha (terdiri
dari 7 kitab )
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana

Jalan Utama Berunsur Delapan (bahasa Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; bahasa


Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ) merupakan ajaran utama agama Buddha yang
menjelaskan "Jalan" menuju lenyapnya Penderitaan (Dukkha) dan mencapai
pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan merupakan bagian keempat dari Empat
Kebenaran Mulia. Bagian pertama dari Jalan Utama Berunsur Delapan adalah
Pengertian Benar akan Empat Kebenaran Mulia yang juga dikenal sebagai "Jalan
Tengah".

Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah ditunjukkan oleh Sang Buddha melalui
Jalan Mulia Berunsur Delapan atau disebut juga sebagai Jalan Tengah (Majjhima
Patipada), karena dalam mempraktekkan Buddha Dhamma, Sang Buddha
menasehatkan kepada para siswanya untuk mengikuti Jalan Tengah dan
menghindarkan diri dari Dua cara ekstrim yang salah, yaitu :

Mencari kebahagiaan dengan menuruti atau memuaskan nafsu-nafsu indera.

Mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri.

 
Mencari kebahagiaan dengan cara ekstrim itu tidak akan menghasilkan
kebahagiaan sejati, cara itu tidak akan dapat menghentikan daur tumimbal lahir
yang terus menerus, yang berarti tidak dapat melenyapkan penderitaan bahkan
menimbulkan penderitaan-penderitaan baru.

Disebut ‘Jalan Mulia’ karena bila dilaksanakan dengan benar, maka akan
menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia., disebut ‘ Berunsur Delapan ‘,
karena terdiri dari delapan unsur/ruas/jalur yang menuntun seseorang menuju
tercapainya Nibbana.

“Di antara semua jalan, maka "Jalan Utama Berunsur Delapan" adalah yang
terbaik; di antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran Mulia" adalah
yang terbaik.

Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan
di antara semua mahluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya 'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada
kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara
(penggoda).

Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini
pula yang kutunjukkan setelah aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-
duri (kekotoran batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan


'Jalan'. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki 'Jalan' ini akan terbebas
dari belenggu Mara. ”
— Dhammapada 273-276

Jalan Utama Berunsur Delapan sering kali dibagi menjadi tiga bagian:

·         Kebijaksanaan (Pali: Pañña; Sanskerta: prajñā)

1.   Pengertian Benar (sammä-ditthi)

2.   Pikiran Benar (sammä-sankappa)

·         Kemoralan (Pali: Sīla)

3.   Ucapan Benar (sammä-väcä)

4.   Perbuatan Benar (sammä-kammanta)


5.   Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

·         Konsentrasi (Pali: Samädhi)

6.   Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

7.   Perhatian Benar (sammä-sati)

8.   Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Kedelapan unsur tersebut menyandang kata Benar yang diterjemahkan dari kata sammä (Pali)


atau samyañc (bahasa Sanskerta). Kata-kata lain seperti sempurna (perfect) atau sesuai (ideal)

“Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau jalan
mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?

Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan,
tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan
benar, setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran benar,
konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Meditas
(Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna)

— Culavedalla Sutta

Kebijaksanaan (Pañña)
Pengertian Benar
Pengertian Benar (samma-ditthi) yang merupakan kunci utama agama
Buddha, Tipitaka menjelaskan

“ Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar?

Pengetahuan tentang Dukkha, pengetahuan tentang asal usul Dukkha,


pengetahuan tentang berhentinya Dukkha, pengetahuan tentang cara berlatih
yang membawa pada berhentinya Dukkha.:

Inilah, para bhikkhu, yang dikatakan pandangan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Pengertian Benar mencakup pengetahuan tentang:

·         Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani)

·         Tiga Corak Umum (Tilakkhana)

·         Hukum Sebab-musabab (Paticcasamuppada)

·         Hukum Kamma

Bhikkhu Sariputta menjelaskan lebih lanjut mengenai "Pengertian Benar"


dalam Sammaditthi Sutta (Pali:Sammādiṭṭhi Sutta), di mana dijelaskan pula bahwa
pengertian benar dapat dicapai melalui pengertian yang lebih mendalam akan kebijakan
dan ketidak-bijakan, empat jenis makanan (cattaro ahara), dua belas nidana atau tiga
noda (asava). "Pengertian Salah" timbul karena ketidaktahuan (avijja), yang merupakan
penyebab dari pemikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, pencaharian salah, daya-
upaya salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. Praktisi (penganut agama Buddha)
harus menggunakan daya-upaya benar untuk meninggalkan pengertian salah dan
mempertahankan pengertian benar. Perhatian benar digunakan untuk senantiasa
berada pada pengertian benar.

Pemikiran Benar
Pengertian Benar mengakibatkan Pemikiran Benar (sammä-sankappa). Karena itu, faktor
kedua dari jalan utama ini, mempunyai dua tujuan:

·         melenyapkan pikiran-pikiran jahat, dan ;

·         mengembangkan pikiran-pikiran baik. Pikiran baik terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1.    Nekkhamma; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri
sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

2.    Abyapada; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.

3.    Avihimsa; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau
kebengisan.

Kemoralan (Sīla)
Ucapan Benar
Ucapan Benar (sammä-väcä) adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã),
memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar / caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang
tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalãpã). Berikut syarat untuk sebuah ucapan
dikategorikan sebagai ucapan benar.

·        Ucapan itu benar

·        Ucapan itu beralasan

·        Ucapan itu berfaedah

·        Ucapan itu tepat pada waktunya

“ Pangeran, demikian juga dengan ucapan atau kata-kata semacam itu yang
diketahui oleh Tathagata bukan mewakili apa keadaannya tidaklah sesuai dengan
kebenaran dan tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan mana adalah tidak
disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain. Tathagata tidak mengatakan
ucapan-ucapan semacam itu.

Ucapan semacam itu yang diketahui oleh Sang Tathagata mewakili apa
keadaannya, sesuai dengan kenyataan, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan,
juga ucapan ini adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain,
maka ucapan-ucapan itu tidak diucapkan oleh Tathagata.

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita,


berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak
disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk
menggunakan ucapan itu.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, tidaklah mewakili keadaan, tidak
cocok dengan realita dan tidak berhubungan dengan kebaikan tetapi ucapan itu
disetujui oleh orang-orang lain  : ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang
Tathagata.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, mewakili keadaannya sesuai dengan
realita, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan ini disenangi dan
disetujui oleh orang-orang lain; ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang
Tathagata.

Ucapan yang diketahui Tathagata, mewakili keadaannya, sesuai dengan realita


dan berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini disenangi dan disetujui oleh
orang-orang lain; Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan
ucapan itu. Mengapa  ? Sebab Tathagata mempunyai rasa kasih sayang terhadap
makhluk-makhluk itu. ”
— Abhayarajakumara Sutta,  [6]

Perbuatan Benar
Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai "tindakan benar".
Praktisi (dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak benar
secara moral, tidak melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun
orang lain. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah , para bhikkhu, perbuatan benar?

Menahan diri dari pembunuhan, menahan diri dari pencurian, menahan diri dari
hal-hal yang berhubungan dan melakukan kegiatan seksual.:

Ini, para bhikkhu, yang disebut perbuatan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Pencaharian Benar
Pencaharian Benar (sammā-ājīva) berarti bahwa praktisi (pengikut Agama Buddha) tidak
sepatutnya berhubungan dengan usaha atau pekerjaan yang, secara langsung atau
tidak langsung, melukai mahluk hidup lainnya. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar?

Ada kasus di mana seorang murid dari Yang Mulia, meninggalkan penghidupan
tidak jujur, hidup dengan penghidupan benar:

Inilah, para bhikku, yang disebut penghidupan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Lima jenis bisnis yang seharusnya tidak dilakukan olah seorang umat awam:

1.    Bisnis Senjata

2.    Bisnis Manusia

3.    Bisnis Daging

4.    Bisnis barang yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

5. Bisnis Racun

Konsentrasi (Samädhi)
Daya-upaya Benar

Daya-upaya Benar (sammā-vāyāma) juga dapat diartikan dengan "usaha benar".


Untuk hal ini, praktisi (pengikut agama Buddha) harus berupaya keras untuk
meninggalkan seluruh pikiran yang salah dan dapat merugikan, perkataan, dan
perbuatan. Praktisi (penganut agama Buddha) sebaliknya harus berupaya keras
untk meningkatkan apa yang baik dan berguna untuk diri mereka sendiri dan
orang lain dalam pemikiran mereka, perkataan dan perbuatan, tanpa mengikut-
sertakan pemikiran akan kesulitan atau kekhawatiran. Tipitaka menjelaskan:
Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar?

(i) Di mana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras,
bersiteguh, menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak
memunculkan hal buruk, kualitas tidak terampil yang belum muncul.

(ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang
tidak terampil yang telah muncul.

(iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul.

(iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti,
menambah, memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas
terampil yang telah muncul:

Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Keempat daya-upaya benar dimaksud di atas adalah:

·        Usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul,

·        Usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul,

·        Usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul, dan

·        Usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.

Perhatian Benar

Perhatian Benar (sammā-sati), juga dapat diartikan sebagai "Ingatan Benar" atau
"Kesadaran Benar". Dengan demikian penganut agama Buddha harus senantiasa
menjaga pikiran-pikiran mereka terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan
pikiran. Mereka harus waspada dan berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau
berkata-kata karena kelalaian atau kecerobohan. Tipitaka menjelaskan hal ini
demikian:

Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? ”



(i) Di mana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar
— tekun, sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang
berhubungan dengan dunia.

(ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, &
perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan
dengan dunia.

(iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar,
perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan
dengan dunia.

(iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun,
sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang
berhubungan dengan dunia.

Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar.


— Magga-vibhanga Sutta
Konsentrasi Benar

Konsentrasi Benar (sammā-samādhi), seperti yang ditunjukkan dalam bahasa Pali,


adalah melatih konsentrasi (samādhi). Dengan demikian seorang praktisi
memusatkan pikiran kepada suatu objek pikiran hingga mencapai konsentrasi
penuh dan masuk kedalam kondisi meditatif (Jhana). Biasanya, pelatihan samadhi
dapat ditempuh melalui pengaturan pernapasan (anapanasati), melalui visualisasi
benda (kasina), dan melalui pengulangan kalimat-kalimat tertentu. Samadhi
dilakukan untuk menekan lima gangguan guna memasuki jhana. Jhana merupakan
sebuah media guna pengembangan kebijaksanaan dengan menanamkan pengertian
dan menggunakannya untuk menguji kesungguhan suatu fenomena dengan
pengenalan langsung. Hal ini membantu mengurani kekotoran, merealisasikan
dhamma dan, pada akhirnya, mencapai kesadaran diri. Selama berlatih konsentrasi
benar, seorang praktisi harus memeriksa dan membuktikan pandangan benar
mereka. Pada proses demikian, pengetahuan benar akan timbul, dan diikuti dengan
pembebasan sesungguhnya. Tipitaka menjelaskan:

Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar? ”



(i) Di mana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas,
melepaskan kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam
jhana pertama: kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan,
disertai oleh pemikiran yang diarahkan & penilaian.

(ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia


memasuki & berdiam di dalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan
muncul dari konsentrasi, penyatuan dari kesadaraan yang bebas dari
pemikiran yang diarahkan & penilaian — kepastian dari dalam.

(iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian


& awas, dan merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki &
berdiam di dalam jhana ketiga, yang dinyatakan oleh Yang Mulia,
"Ketenangan & perhatian, dia memiliki kenikmatan yang terus menerus."

(iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya


kebahagiaan & penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam
di dalam jhana keempat: kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh,
tidak nikmat ataupun sakit.

Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar.


— Magga-vibhanga Sutta

Cattari Ariya Saccani

6.1 Pengertian

Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat


Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting
dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami
Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan
kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia sampaikan
kepada lima orang bhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai Empat
Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya Beruas Delapan.

6.2 Pengelompokkan
Empat Kebenaran Ariya tersebut adalah:

 Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)

Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan,


ketidakpuasan, beban. Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia
yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati,
disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha
bersabda, "Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu: kelahiran
adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah
dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha;
berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai
adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima
Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha."
 Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca)

Samudaya adalah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang
menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan
adalah taṇhā, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat
diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang
memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si
pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum
untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.

 Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)

Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan


menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan
tersebut.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan
cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan,
maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan
Nibbana.

 Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha


Nirodha Ariya Sacca)

Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus
ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan.

Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk
menghentikan dukkha, yakni melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Menuju
Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:


o Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan
Pikiran Benar (sammä-sankappa)
o Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar
(sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
o Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma),
Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

6.3 Tanha sebagai sebab penderitaan


Taṇhā adalah kata dalam bahasa Pali yang terkait dengan kata dalam bahasa
Weda, tṛṣṇā dan tarśa, yang berarti "nafsu keinginan".Konsep ini merupakan konsep
yang penting dalam kepercayaan Buddha.Terdapat tiga jenis taṇhā, yaitu:

 Kama-taṇhā (nafsu kesenangan sensual):bernafsu terhadap rasa senang atau


kenikmatan inderawi.Walpola Rahula menyatakan bahwa taṇhā tidak hanya
terbatas pada nafsu inderawi, kekayaan atau kekuasaan, tetapi juga nafsu
terhadap gagasan atau idealisme, cara pandang, pendapat, teori dan kepercayaan
(dhamma-taṇhā)."
 Bhava-taṇhā (nafsu untuk ada): bernafsu untuk menjadi sesuatu dan bersatu
dengan suatu pengalaman.Nafsu ini terkait dengan ego, yaitu pencarian identitas
tertentu dan nafsu untuk terlahir kembali untuk selamanya.Menurut penjelasan
yang lain, nafsu ini dipicu oleh pandangan yang salah mengenai kehidupan abadi
dan keabadian.
 Vibhava-taṇhā (nafsu untuk tidak ada):nafsu untuk tidak mengalami hal yang
tidak menyenangkan dalam kehidupan saat ini atau masa depan, seperti orang-
orang atau situasi yang tidak menyenangkan.Akibatnya muncul keinginan untuk
bunuh diri atau memusnahkan diri sendiri, dan dalam kepercayaan Buddha
tindakan ini hanya akan membuat mereka terlahir kembali dalam kehidupan yang
lebih buruk. Menurut Phra Thepyanmongkol, nafsu ini dipicu oleh pandangan
yang salah mengenai bunuh diri karena pelakunya mengira bahwa mereka tidak
akan terlahir kembali.

Taṇhā dianggap sebagai penyebab dukkha (penderitaan) dan siklus kelahiran kembali


(Saṃsāra).Ajaran Buddha berusaha menghilangkan taṇhā dengan mengajak
penganutnya untuk mengikuti Jalan Utama Berunsur Delapan untuk
melenyapkan dukkha.

6.4 Tiga Akar Kejahatan


Tiga akar kejahatan adalah lobha, dosa, dan moha. Semua akar kejahatan ini ada pada
setiap manusia, namun kadar atau kualitas dari masing-masing akar kejahatan ini
berbeda-beda. Ada manusia yang lobha-nya lebih menonjol daripada dosa dan moha-
nya, begitu juga ada manusia yang dosa-nya lebih tinggi daripada lobha dan moha-nya,
serta ada juga manusia yang moha-nya lebih dominan daripada lobha dan dosa-nya.
Tetapi ketiga akar kejahatan ini saling kait mengait, dimana semuanya saling
mempengaruhi. Tiga akar kejahatan ini sangat berbahaya sekali pada kehidupan semua
makhluk, jika makhluk-makhluk dikuasai oleh ketiga akar kejahatan ini, maka akan
menderita dalam kehidupan ini dan juga kehidupan yang akan datang, dan akan terus-
menerus mengalami kelahiran dan kematian tanpa henti.

Lobha adalah keserakahan, menginginkan barang milik orang lain, bisa juga dikatakan
tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, ingin terus-menerus mencari kesenangan-
kesenangan, apapun caranya akan ditempuh demi keinginannya terpenuhi, keinginan
pada kepuasan indera (mata, telinga, mulut, hidung, kulit). Kemelekatan dan kerinduan
atau kesenangan terhadap kenangan yang indah, terhadap seseorang. Kemelekatan dan
kerinduan atau keinginan untuk tetap cantik atau gagah, keinginan untuk menjadi
terkenal, dan lain-lain yang tergolong keinginan untuk memiliki sesuatu dan tidak mau
melepaskan segala yang dimiliki.

Dosa adalah kebencian, tidak suka terhadap seseorang, tidak suka kepada diri sendiri,
cemburu pada seseorang, iri hati/sirik atas keberhasilan yang dicapai oleh orang lain,
curiga, takut, cemas, was-was, dendam kesumat, serta hal-hal lainnya yang tergolong
keinginan untuk menolak sesuatu.

Moha adalah kebodohan batin. Pengertian bodoh disini bukan bodoh karena tidak bisa
menulis, bukan bodoh karena tidak bisa membaca, tetapi bodoh yang dimaksud adalah
bodoh batinnya. Ia tidak bisa membedakan perbuatan baik yang harus dilakukan dan
perbuatan jahat yang semestinya ditinggalkan. Perbuatannya cenderung pada hal-hal
yang jahat. Karena bodoh batinnya, ia menganggap kejahatan wajar dilakukan, termasuk
juga dalam kebodohan batin ini adalah malas melakukan kebajikan, sifat egois, gengsi,
sombong, keangkuhan, kemunafikan.

Tiga akar kejahatan ini sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk-makhluk, tidak hanya
dalam kehidupan ini akan membuat penderitaan, tetapi juga dalam kehidupan yang
akan datang akan mengkondisikan terlahir ke alam-alam rendah/derita. Di dalam
Itivuttaka dijelaskan bahwa sebagian besar makhluk-makhluk meninggal dan lahir di
alam-alam rendah/sengsara yaitu alam peta/setan, neraka dan binatang karena kekuatan
dari lobha, dosa, dan moha.

6.5 Akhir Dukkha


Lobha/nafsu serakah dicegah dengan alobha/tidak nafsu serakah yaitu dengan cara
mengembangkan santuṭṭhῑ/merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan
merenungkan serta memahami tentang ketidakkekalan dan kelapukan dari tubuh ini.

- Dosa/kebencian  dicegah dengan adosa/tidak membenci yaitu dengan cara


mengembangkan mettā bhāvanā/cinta kasih.

- Moha/kebodohan batin dicegah dengan amoha/batin yang tidak bodoh, yaitu


mengembangkan paññā/kebijaksanaan, mengerti bahwa perbuatan baik akan
mengakibatkan kebahagiaan, dan perbuatan jahat akan mengakibatkan penderitaan. Bila
bisa meninggalkan dan melenyapkan tiga akar kejahatan ini, maka tercapai kesucian, dan
untuk mengikis atau melenyapkan tiga akar kejahatan ini, maka hendaknya kita
melakukan praktik vipassanā bhāvanā.

Dengan mengerti bahwa betapa bahayanya tiga akar kejahatan ini, maka mari kita
berusaha untuk mengikisnya. Kalaupun kita belum mampu mengikisnya, setidaknya kita
berusaha untuk menekan agar jangan sampai tiga akar kejahatan ini terus berkembang
7.1 Pengertian

Tilakkhana atau Tiga Corak Umum atau kadang disebut Tiga Corak Kehidupan
yaitu anicca, dukkha dan anatta, merupakan tiga corak umum yang ada di setiap segala
sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di
alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari
Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja.
Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal.

Tilakkhana ( 3 sifat universal)  :

·       Sabbe Sankhara Anicca

·       Sabbe Sankhara Dukkha

·       Sabbe Dhamma Anatta

"Sabbe sankhara anicca`ti.


Yada pannaya passati; atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."

Segala sesuatu yang berkondisi adalah anicca.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini;

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 277)

"Sabbe sankhara dukkha`ti.

Yada pannaya passati;

atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 278)

"Sabbe dhamma anatta`ti.

Yada pannaya passati;

atha nibbindati dukkhe.

Esa maggo visuddhiya."


 

Segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah anatta.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

(Dhammapada 279)

Sang Buddha pernah bersabda :

"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata

atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha,

tetaplah berlaku suatu hukum,

suatu kesunyataan yang mutlak

bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,...

tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."

(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)


7.2 Sabbe Shankara Anicca

ANICCA ( Perubahan/Ketidak kekalan )

“ Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya.

Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini;

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.

Inilah jalan yang membawa pada kesucian.”

( Dhammapada XX ; 277 )

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk,

segalanya muncul dan lenyap kembali.

Mereka muncul dan kembali terurai.


Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."

(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Satu kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari ajaran
Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan
tanpa inti (anatta).

Anicca berasal dari kata “an” yang merupakan bentuk negatif atau sering diterjemahkan


sebagai tidak atau bukan. Dan “nicca” yang berarti tetap, selalu ada, kekal, abadi. Jadi
kata ”an-nicca” berarti tidak tetap, tidak selalu ada, tidak kekal, tidak abadi, berubah.
Dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anitya.

Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan
unsur) akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)

Anicca (Ketidak-kekalan) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku
bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai
atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu
fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari
waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran,
bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh
menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.

Semua fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang
tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses,
yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan
kemudian Bhanga (berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua
saat yang berturut-turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca bersifat netral
dan tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil dari sebab-sebab dan
kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga terus-menerus berubah.
7.3 Sabbe Sankhara Dukkha

DUKKHA ( Penderitaan )

Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan.
Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata ”duh-kha”
berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.

Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan
unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau
penderitaan.

Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan?
Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika
kita tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami
perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita
dan akhirnya menimbulkan beban berat atau penderitaan.

Terdapat 12 macam dukkha, yaitu:


1.     Penderitaan dari kelahiran (Jati-dukkha)

2.     Penderitaan dari ketuaan (Jara-dukkha)

3.     Penderitaan dari kesakitan (Byadhi-dukkha)

4.     Penderitaan dari kematian (Marana-dukkha)

5.     Penderitaan dari kesedihan (Soka-dukkha)

6.     Penderitaan dari ratap tangis (Parideva-dukkha)

7.     Penderitaan dari jasmani (Kayika-dukkha)

8.     Penderitaan dari batin (Domanassa-dukkha)

9.     Penderitaan dari putus asa (Upayasa-dukkha)

10.  Penderitaan karena berkumpul dengan orangyang tidak disenangi atau dengan


musuh (Appiyehisampayoga-dukkha)

11.  Penderitaan karena berpisah dengan sesuatu / seseorang yang dicintai (Piyehivippayoga-


dukkha)

12.  Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan. (Yampicchannaladhi-dukkha)

" Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu?

Itu bukan lain adalah kelima kelompok kemelekatan

(Panca-Khandha). "

(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)

Didalam Ajaran Empat Kebenaran Mulia, pengertian tentang Dukkha tidak terbatas pada
penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak
sempurnaan atau ketidak abadian.

Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup
sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah
Dukkha. Tetapi hendaknya dimengerti bahwa setiap kegembiraan bahkan dalam keadaan
Jhana yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan
duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.
 

Tidak seperti ciri keberadaan atau corak kehidupan yang lain seperti Anicca dan Anatta yang
mudah diterima secara obyektif, Corak Penderitaan (Dukkha Lakkhana) ini sulit diterima
begitu saja oleh manusia, karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala
sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan.

Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:

1.  Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami
manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya.
Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang
yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk
dalam kelompok Dukkha ini.

2.  Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang


menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini
biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.

3.  Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau
berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok
kemelekatan (Pancakkhandha).
7.4 Sabbe Sankhara Anatta

ANATTA ( Tiada Inti Diri )

“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;

apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,

maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,

Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”

( Dhammapada XX ; 279 )
Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering diterjemahkan
sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam
bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti  ‘‘bukan diri
sejati” atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti
diri” .

Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu
psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti “diri”,
“mahkluk”, “ego”, “jiwa”, “roh”, “aku” atau “kepribadian”. Namun sebelum
membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari
sudut pandang Buddhis maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat,
apa yang ditolak Sang Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia
menolak keberadaan atta.

Definisi atta menurut non-Buddhis dan Buddhis

Definisi atta menurut non-Buddhis :

1) Dalam Abingdon Dictionary of Living Religions :

·       Sesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau
dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang
tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun
menciptakan individu.

2) Dalam A Dictionary of Mind and Spirit oleh Donald Watson :

·       Jiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam), Monad,
Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat
dipahami, batin, atau bahkan pikiran.

Sedangkan definisi atta menurut Buddhis:

1) Dalam Buddhist Dictionary karya Nyanatiloka:

·       Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego,
jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.
2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:

·       Atta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai definisi atta
atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi. Karena itu
perlu juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.

Menurut Dictionary of Psychology, 'diri' adalah:

1.  Individu sebagai makhluk hidup;

2.  Ego atau aku;

3.  Kepribadian atau kumpulan sifat.

Definisi 'ego' adalah: diri, terutama gagasan seseorang akan dirinya sendiri. Definisi


'kepribadian' adalah kumpulan sistem psikofisik dalam individu yang bersifat dinamis
dan menentukan cara berpikir dan perilaku seseorang atau sesuatu yang memberikan
prakiraan apa yang akan dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu situasi. Istilah-
istilah psikologis itu bersesuaian dengan beberapa istilah yang dipakai dalam ajaran
Buddha untuk menerangkan kehidupan konvensional makhluk hidup. Peristilahan itu
berguna sebagai label, namun secara mutlak, label-label tersebut, seperti yang akan kita
lihat, hanya sekedar nama yang semata-mata merupakan kebenaran ilusi.

Dalam bahasa Pali, ada istilah seperti satta, puggala, jiva, dan atta untuk menerangkan


psikologi konvensional mengenai makhluk.

Satta, menurut Nyanatiloka, berarti makhluk hidup. Puggala berarti individu, orang,


berikut padanannya: kepribadian, perangai, makhluk (satta), diri (atta). Jiva adalah
kehidupan sesuatu yang vital/ jiwa.
7.5 Panca Khanda

Sang Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal,
semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-
jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.

Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran adalah lima
khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.Bila khandha itu memiliki
atta, maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita, karena
semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu."
Tetapi, karena khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan
oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi.
Misalnya, " Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu."

( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).

Di dalam Anattalakkhana Sutta; Samyutta Nikaya 22.59 {S 3.66}, Sang Buddha


menjelaskan
bahwa Rupa (jasmani), Vendana (perasaan), Sanna (pencerapan),  Sankhara (pikiran)
dan Vinnana (kesadaran) disebut sebagai Panca Khandha (lima kelompok
kehidupan/kemelekatan) yang semuanya bukanlah diri sejati.  Jika Khandha itu
merupakan diri sejati, maka tidak akan mengalami penderitaan, dan semua keinginan
seseorang akan khandha-nya akan terpenuhi,”Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan
seperti itu”. Tetapi karena khandha tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan
atau harapan seseorang, “Biarkan Khandha-ku seperti ini dan bukan seperti itu”, dan juga
mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa khandha bukanlah diri sejati.

9.1 Pengertian dan Rumusan


Paticca samuppada (bahasa Pali: paticcasamuppāda; bahasa Sanskerta: प्रतीत्यसमत्ु पाद
(pratītyasamutpāda); Hanyu: 緣起) berarti Hukum Sebab-Musabab yang saling
bergantungan merupakan salah satu ajaran terpenting dalam agama Buddha.

Ajaran ini menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua
mahluk, khususnya manusia. Dengan menganalisis dan merenungkan Paticca
Samuppada inilah, Siddhartha Gautama (yang pada saat itu masih menjadi Petapa)
akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.[1]

Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga
melihat Paticcasamuppada.
“ ”
Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so
paticcasamuppadam pasati.
— Maha-hatthipadopama Sutta:  Majjhima Nikaya  28
Pemahaman akan Paticcasamuppada yang sederhana adalah:

Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.


Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.

Imasmiṃ sati, idaṃ hoti.
Imass’ uppādā, idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati, idaṃ na hoti.
Imassa nirodhā, idhaṃ nirujjhati.

12 (dua belas) Sebab-musabab (Nidana) yang ada dalam setiap mahluk, khususnya
manusia dapat dikategorikan sebagai berikut:

Kehidupan lampau Kehidupan Kehidupan yang


sekarang akan datang
 Ketidaktahua
n/  Kesadaran  Kelahiran
kebodohan  Batin dan kembali
 Bentuk- Jasmani  Kelapukan,
bentuk  Enam indra kematian,
perbuatan /  Kesan-kesan
Kamma  Perasaan sakit
 Keinginan /
kehausan
 Kemelekatan
 Proses
tumimbal
lahir

..... Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan


“ ”
penderitaan.
— Paticca-samuppada-vibhanga Sutta;  Samyutta Nikaya  12.2 (S 2.1)

9.3 Dua Belas Rantai Nidana

hanya point utama yaitu dua belas mata rantai hukum paticcasamuppada.

memulai uraiannya  dari gambar yang ditengah tengah giagram paticcasamuppada


berupa gambar seekor ayam, seekor ular dan seekor babi. Ketiga hewan tersebut
melambangkan sifat dasar dari setiap manusia yaitu lobha, dosa dan moha.

Babi melambangkan sifat moha atau kebodohan batin kita. Ayam melambangkan sifat
lobha atau keserakahan kita dan ular melambangkan sifat dosa atau kebencian,
kemarahan, atau sifat penolakan kita.

Itulah sifat dasar kita yang menyebabkan kita terus menerus menderita dalam kehidupan
yang berulang ulang.

Moha atau kebodohan batin adalah ketidakmampuan kita untuk membedakan mana
yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Moha membuat
batin kita gelap atau bisa disebut juga Avijja (kegelapan batin).

Anda dapat melihat pada diagram hukum Paticcasamuppada disebelah kanan agak
keatas dari lingkaran ayam, ular dan babi tersebut tulisan Avijja. Kegelapan batin inilah
yang membuat sebab penderitaan kita.

Dibawah ini saya berikan gambar gambar 12 mata rantai dari hukum Paticcasamuppada
yang mungkin bisa dapat menolong anda untuk lebih memahami. Dimulai dari rantai
pertama yaitu avijja.

AVIJJA digambarkan sebagai orang buta yang memegang tongkat dengan resiko masuk
jurang.
 

Avijja akan mengakibatkan kita akan berbuat berbagai bentuk perbuatan baik atau
buruk. Avijja akan mengakibatkan sankhara atau diartikan sebagai bentuk bentuk
perbuatan,

SANKHARA digambarkan seperti pembuat periuk yang terus membuat periuk apapun


hasilnya.

Sankhara, bentuk bentuk perbuatan (karma) yang dilakukan terus menerus akan menjadi
sebab yang baru. Karena masih membuat karma karma baru maka setelah meninggal
akan dilahirkan kembali. Fisiknya musnah namun akan ada kesadaran yang
menyambung. Jadi Sankhara mengakibatkan munculnya kesadaran atau patisandhi
vinnana.

PATISANDHI  VINNANA digambakan seperti seekor kera yang meloncat ke pohon lain


yang masih banyak buahnya dari pohon yang sudah kehabisan buah.

Demikian seterusnya akan muncul sebab satu yang akan mengakibatkan hal lain.
Gambar mata rantai yang lain saya lanjutkan dibawah. Untuk penjelasannya silakan anda
mendengarkan secara langsung uraian Bhante Sri Pannavaro tentang hukum
Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan. File audio nya
bisa anda dengarkan dengan mengklik tombol play yang saya posting diatas dan
dibawah setelah gambar gambar ilustrasi di bagian bawah postingan ini. Anda juga bisa
mendownloadnya dengan menggunakan username dan password yang sudah  diberikan
kepada semua anggota ceramahdhamma.com

NAMA dan RUPA, Batin dan jasmani. Karena ada kesadaran untuk lahir kembali maka
mengakibatkan munculnya nama rupa yng digambarkan seperti sepasang manusia pria
dan wanita.

Karena ada batin dan jasmani maka akan mengakibatkan adanya Salayatana atau enam
landasan indria kita berupa mata, hidung, telinga, kulit, lidah dan pikiran.

SALAYANATA, enam landasan indria digambarkan seperti rumah yang mempunyai lima


jendela dan satu pintu.

 
Karena adanya lima panca indra serta pikiran maka memungkinkan terjadinya kontak
dengan segala sesuatu di sekeliling kita.

PHASSA (KONTAK) digambarkan seperti seorang wanita yang sedang menelepon dan


sepasang kekasih yang sedang berpacaran.

Karena adanya kontak maka menimbulkan vedana atau perasaan. Bisa perasaan senang,
tidak senang dan netral.

VEDANA atau perasaan digambarkan seperti seorang yang matanya tertusuk anak


panah, karena perasaan sungguh akan membutakan kita.

Karena adanya perasaan senang, tidak senang maka akan menimbulkan tanha atau
keinginan yang terus menerus untuk mendapatkan perasaan tersebut.

TANHA atau keinginan yang terus menerus tersebut digambarkan seperti seorang


wanita yang sedang makan.

Karena adanya keinginan yang terus menerus maka akan menimbulkan kemelekatan
atau Upadana.

UPADANA atau kemelekatan digambarkan seperti orang yang tidak pernah berhenti


mengambil buah yang ada di pohon walaupun keranjangnya sudah penuh dengan buah
bahkan sudah luber dan berserakan.

Kemelekatan akan menimbulkan terjadi nya pertumbuhan yang akan terus menerus atau
bhava.

BHAVA atau terus bertumbuh digambarkan sebagai sepasang suami istri yang melekat
satu sama lain.

Bhava yang disebabkan karena adanya kemelekatan akan menimbulkan terjadinya


kelahiran atau jati.

JATI atau kelahiran digambarkan sebagai ibu yang sedang melahirkan.

Dengan adanya kelahiran maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan sakit, tua dan
kematian kembali atau Jara Marana.

JARA MARANA atau tua, sakit dan mati digambarkan sebagai berikut.


 

semoga anda mendapatkan tambahan kebijaksanaan dari uraian mengenai hukum


Paticcasamuppada ini. Semoga anda semua berbahagia. Sadhu Sadhu Sadhu.

9.4 Rangkaian Akhir Penderitaan

Berakhirnya kebodohan secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan


kehendak.

Berakhirnya seluruh kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal


lahir.

Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.

Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan berhentinya enam landasan indria.

Berakhirnya enam landasan indria mengakibatkan berhentinya kontak.

Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya perasaan.


Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya keinginan.

Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan berhentinya nafsu kemelekatan.

Berakhirnya nafsu kemelekatan mengakibatkan berhentinya kamma.

Berakhirnya kamma mengakibatkan berhentinya kelahiran.

Berakhirnya kelahiran mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh


kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.

Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap
tangis maka berakhirlah tumimbal lahir.

9.5 Aganna Sutta

Agganna Sutta, dikatakan: "manusia pertama di bumi ini banyak, mulai dari
makhluk Abhassara Bhumi yang mati. Kemudian lahir di bumi melayang-layang
dengan tubuh bercahaya, bumi sedang berproses. Ketika bumi sedang berproses,
makhluk ini timbul sifat lobha, memakan sari tanah". Di dalam Agganna Sutta itu
juga dijelaskan, dengan meningkatnya tanha dari makhluk-makhluk yang
bercahaya tersebut, maka menimbulkan tingkat kelebihan dari konsumsi. Sebagai
ilustrasi: dengan meningkatnya lobha, pohon-pohon padi yang biasanya tidak
perlu dipanen karena padi datang bergulir sendiri, sehingga orang pada saat itu
tidak menanam padi untuk diambil, tetapi padi itu "jalan" sendiri, sudah masak
sendiri. Tetapi karena sifat lobha tadi, makhluk-makhluk itu menyimpan dan
mengambil lebih banyak; karena mengambil lebih banyak artinya pohon ini
menjadi lebih sedikit sehingga pohon padi harus ditanam. Orang tersebut harus
datang ke sawah untuk memelihara dan mengambil padi tersebut. Dengan
meningkatnya keserakahan orang tersebut, maka pohon padi terkondisikan untuk
dibudidayakan dan seterusnya sampai terbentuknya sistem-sistem di masyarakat.
Masyarakat kemudian dikelompokkan berdasarkan pekerjaan. Ada yang sebagai
brahmana, satria, dan sebagainya. Pada akhirnya pengelompokkan masyarakat
berdasarkan jenis pekerjaan itu dianggap oleh orang sekarang seolah-olah seperti
kasta. Awalnya itu cerita dari meningkatnya lobha/tanha. Jika itu dihubungkan,
ada satu aplikasi dari Paticcasamuppada yang bergulir pada kehidupan sosial
hingga berpengaruh terhadap lingkungan.

10.1 Pengertian

Kamma (Sanskerta: karma) adalah kata dalam bahasa Pali yang berarti yang berarti


perbuatan. Hal ini dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau
keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik
(bermoral) atau buruk (tidak bermoral), mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda:

"O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (bahasa Pali: Cetana) itulah yang kami namakan
Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau
pikiran."

Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas
berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan.
Memang segala sesuatu yang lampau memengaruhi keadaan sekarang atau pada saat
ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang
telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama
dengan apa yang terjadi pada saat sekarang memengaruhi pula hal-hal yang akan
datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang
sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih
akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada "di tangan kita"
sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati
sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.

Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb:


"Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya,
pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik
kejahatan pula. Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan
merasakan buah-buah dari padanya".

Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar
adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma
yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita
dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah
berbuat suatu kesalahan. Janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-
vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan
juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan
berlangsung terus.
10.2 Jenis-Jenis

12 macam kamma tersebut dibagi berdasarkan 3 kelompok yakni berdasarkan waktu


berbuahnya, berdasarkan kekuatan karma dan berdasarkan fungsinya.

Kamma berdasarkan jangka waktu berbuahnya:

1. Ditthadhamma Vedaniya Kamma adalah Kamma yang berbuahnya juga dalam


kehidupan sekarang.
2. Upajja Vedaniya Kamma adalah Perbuatan yang kita lakukan sekarang, hasilnya
tepat di kehidupan yang akan datang.
3. Aparapara Vedaniya Kamma adalah Perbuatannya itu hasilnya berturut-turut
selama kehidupannya berlansung.
4. Ahosi Kamma adalah Kamma yang tidak bisa berbuah lagi, karena jangka waktu
berbuah dan kondisi pendukungya sudah habis.

Kamma berdasarkan kekuatannya:

1. Garuka Kamma adalah Perbuatan yang akibatnya paling besar atau kuat. Yang
termasuk Akusala Garuka Kamma.
2. Asañña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan menjelang kematian yang
kekuatnnya paling kuat. Jadi misalnya saat kita berada pada menjelang kematian
maka setelah itu kita akan dilahirkan di alam sesuai dengan pkiran pada saat
menjelang kematian itu, misalnya saja marah maka setelah itu akan terlahir di
alam Neraka. Namun itu sesuai dengan karma baik kita juga. Jika karma baik kita
menopang maka terlahir di alam Neraka hanya sebentar. Begitu pula sebaliknya.
3. Aciñña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan terus menerus yang akhirnya
akan menjadi watak atau kebiasaan ( karena kebiasaan yang dilakukan ).
4. Katatta Kamma adalah Kekuatan yang paling ringan atau cetananya ringan.

Kamma berdasarkan Fungsinya:

1. Janaka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk mendorong kelahiran suatu
makhuk (potensi).
2. Upatahmbaka Kamma adalah Kamma yang fungsinya untuk memperkuat,
menambah Janaka Kamma jadi hasilnya bisa menjadi besar (kamma yang searah).
3. Upapilaka Kamma adalah Kamma yang mengurangi kekuatan Janaka Kamma
yang arahnya berlawanan.
4. Upaghataka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk menghancurkan
kekuatan dari Janaka Kamma.
10.3 Akusala Garuka Kamma

Kamma berdasarkan salurannya:

1. Kamma Pikiran (mano-kamma).


2. Kamma Ucapan (vaci-kamma).
3. Kamma Perbuatan (kaya-kamma).

Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah
kelahiran di alam neraka:

1. Membunuh ibu.
2. Membunuh ayah.
3. Membunuh seorang Arahat.
4. Melukai seorang Buddha.
5. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
10.4 Dasa Kusala Kamma
1. Gemar beramal dan bermurah hati akan berakibat dengan diperolehnya kekayaan
dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
2. Hidup bersusila mengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang
keadaannya berbahagia.
3. Bermeditasi berakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
4. Berendah hati dan hormat menyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
5. Berbakti berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain berbuah dengan
terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam
lingkungan yang menggembirakan.
8. Sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
9. Menyebarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan
10. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.

10.5 Dasa Akusala Kamma

1. Pembunuhan akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam


kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya
senantiasa berada dalam ketakutan,dijauhi orang
2. Pencurian akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan
yang senantiasa tak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang
lain.
3. Perbuatan asusila akibatnya mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami
yang tidak disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal
perasaan seksnya.
4. Berdusta akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
5. Bergunjing akibatnya kehilangan sahabat-sahabat tanpa alasan yang jelas.
6. Kata-kata kasar dan kotor akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh
orang lain.
7. Omong kosong akibatnya bertubuh cacat, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya
oleh khalayak ramai.
8. Keserakahan akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
9. Dendam, kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lain akibatnya buruk
rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
10. Pandangan salah akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang
bijaksana, kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.

11.1 Pengertian

Teori agama Buddha mengenai kelahiran kembali atau tumimbal lahir ( punabbhava )
bersumber dari Penerangan Sempurna yang dicapai oleh Buddha dan bukan dari
kepercayaan tradisional India. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci agama
Buddha ( Mahasaccaka Sutta, Majjhima Nikaya ) pada malam tercapainya Penerangan
Sempurna Buddha memperoleh kemampuan untuk mengetahui kehidupan – kehidupan
– Nya yang lampau. Kala itu ketika pikiranNya tenang, bersih, suci dan tanpa cacat,
bebas dari kotoran yang mencemari, lentur dan fleksibel, mantap dan tak goyah, Beliau
memperoleh kemampuan untuk mengingat kembali kehidupan – kehidupanNya yang
terdahulu.

Dengan menggunakan kemampuan mata batin – Nya ( dibbacakkhu ), Buddha dapat


melihat antara lain, kelangsungan hidup dari makhluk hidup dalam berbagai keadaan
kehidupan, setiap keadaan sesuai dengan karma atau perbuatannya.

Menarik untuk diperhatikan bahwa penelitian terbaru dalam bidang psikologi telah
mengakui apa yang disebut supernormal. Minat terhadap masalah yang melebihi
jangkauan indra ( persepsi ekstrasensori ) dalam percobaan psikologi lambat laun
mendapat kemajuan, dan hasil – hasil yang dicapai agaknya di luar pemahaman biasa.

Kasus – kasus mengenai anak – anak yang dapat mengingat kehidupannya yang lampau
mendapat sorotan bukan hanya di negara – negara Asia seperti Myanmar, India, Sri
Lanka ( Ceylon ) dan negara – negara timur lainnya, melainkan juga di negara – negara
barat. Dr. Ian Stevenson, M.D dari Universitas Virginia USA telah menerbitkan hasil – hasil
dari penyelidikan dan penelitiannya dalam beberapa buku, dua diantaranya berjudul :
Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, dan Sri Lanka Cases of Reincarnation Type.

Perhatikan juga dua buku lainnya : Reincarnation – An East – West Anthology dan
Reincarnation in World Thought – A Living Study of Reincarnation in all Ages, tulisan –
tulisan pilihan dari kalangan berbagai agama dunia, filsafat, ilmu pengetahuan serta
pemikir besar di masa lampau dan sekarang, disusun dan disunting oleh Joseph Head
dan S.L. Cranston, Julian Press Inc, New York, 1961 dan 1967.

Para ahli filsafat Yunani kuno seperti Empedocles dan Pythagoras juga mengajarkan
ajaran mengenai kelahiran kembali dan plato membuatnya sebagai asumsi penting
dalam filsafatnya.
11.2 Hukum Perubahan/kelanjutan/pembentukan

Hukum atau prinsip tertentu harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha
untuk memahami ajaran kelahiran kembali atau kelangsungan hidup. Hukum atau
prinsip dasar pertama yang harus diuji dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali
adalah hukum perubahan ( anicca ). Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun di
dunia ini yang kekal atau abadi. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan sasaran
dari hukum perubahan yang universal dan tanpa henti ini. Ketika melihat air sungai,
seseorang mungkin berpikir bahwa semuanya sama, tetapi tidak ada setetes air pun
yang dilihat seseorang pada saat mana saja tetap di tempatnya sama dengan sesaat
yang lalu. Bahkan seseorang yang terlihat diam tidaklah sama pada dua saat yang
berurutan. Kita hidup dalam dunia yang selalu berubah sementara kita sendiri juga ikut
mengalami perubahan. Ini merupakan hukum abadi. Sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Buddha : “ Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur dan berkondisi, yang
hidup atau mati, adalah tidak kekal “ ( sabbe sankhara anicca ).

Ciri yang penting dari hukum perubahan ini adalah walau segala sesuatu merupakan
sasaran perubahan, tidak ada yang pernah musnah atau lenyap. Hanya bentuknya yang
berubah. Jadi zat padat dapat berubah menjadi zat cair dan zat cair menjadi gas, tetapi
tidak satu pun yang sesungguhnya benar – benar hilang. Zat materi adalah cerminan
energi dan yang semacam itu tidak akan pernah dapat musnah atau lenyap sesuai
dengan prinsip ilmu pengetahuan, yang juga disebut dengan hukum kekekalan energi.

Ciri penting lainnya dari hukum perubahan adalah tidak adanya pembedaan dan garis
pemisah yang membatasi antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi atau keadaan
yang selanjutnya. Setiap penggabungan membentuk keadaan yang selanjutnya.
Bayangkan ombak di laut yang naik dan turun. Setiap kali ombak yang naik lalu turun
memberikan kesempatan pada ombak lain bergerak, yang juga naik lalu turun untuk
memberikan kesempatan pada ombak yang lain lagi, setiap ombak menyatu membentuk
ombak yang selanjutnya. Disini tidak ada garis pembatas antara ombak yang satu dan
ombak yang selanjutnya. Demikian pula dengan segala perubahan kondisi di dunia ini.
Jadi perubahan merupakan proses yang terus menerus, perubahan atau aliran yang
tanpa henti – suatu pemikiran yang sangat selaras dengan pemikiran ilmu pengetahuan
modern.

Dua hukum atau prinsip dasar lain yang harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam
usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum pembentukan dan hukum
kontinuitas. Sementara hukum perubahan menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang
kekal, tetapi selalu mengalami perubahan, hukum pembentukan menyatakan bahwa
segala sesuatu, setiap saat, mengalami proses pembentukan menjadi benda lain. Jadi
hukum pembentukan adalah akibat wajar atau kelanjutan yang sewajarnya dari hukum
perubahan. Tidak pada saat kapan pun sesuatu tidak mengalami proses pembentukan
menjadi sesuatu yang lain. Pembentukan yang tanpa henti merupakan ciri dari semua
benda. Ciri inilah yang selalu ada mendasari segala perubahan.

Hukum kontinuitas bergantung pada hukum pembentukan. Pembentukan menimbulkan


kelanjutan, dan oleh karena itu, hukum kontinuitas merupakan akibat wajar, kelanjutan
yang sewajarnya dari hukum pembentukan. Karena terdapat kelanjutanlah maka
seseorang tidak dapat melihat garis pemisah yang jelas antara satu kondisi atau keadaan
dengan kondisi yang selanjutnya.
11.3 Lingkaran Kehidupan

Dalam pemikiran Buddhis tidak ada awal mula dari yang tak ada. Tidak ada yang tanpa
sebab. Segalanya, yang hidup ataupun mati, berawal mula melalui sebab, segalanya
memiliki kondisi. Namun, agama Buddha tidak membicarakan sebab yang pertama. Awal
pertama dari urut – urutan kehidupan mahkluk hidup tidak dapat dijelaskan dan
sebagaimana yang dikatakan oleh Buddha : “ Roda kehidupan ini, lingkaran yang tidak
terputus ini, tidak memiliki akhir yang jelas, dan awal pertama dari mahkluk hidup, sebab
pertama, tidak dapat diketahui. “

Ketika Buddha menekankan bahwa apa yang disebut “ mahkluk hidup “ atau “ manusia “
tidak lain adalah perpaduan dari badan jasmani dan kekuatan atau energi batin, yang
berubah tanpa henti, bukankah Beliau telah mendahului ilmu pengetahuan modern dan
ilmu psikologi modern dua puluh lima abad sebelumnya ?
Kehidupan jasmani – rohani ini mengalami perubahan tanpa henti, membentuk proses
jasmani – rohani baru setiap saat, sehingga mempertahankan kemampuan proses badan
jasmani di masa yang akan datang, dan tidak meninggalkan kekosongan di antara satu
saat dan saat berikutnya. Kita hidup dan mati setiap saat dalam kehidupan kita. Semata –
mata hanya terbentuk dan lenyap, timbul dan tenggelam bagaikan ombak di laut.

Perubahan tanpa henti, proses jasmani – rohani tersebut yang jelas bagi kita dalam
kehidupan ini, tidak terhenti pada saat kematian, tetapi terus berlanjut tanpa henti. Arus
tanpa henti dari batin yang dinamis ini dikenal sebagai kehendak, kemauan, hasrat atau
nafsu keinginan ( tanha ) yang merupakan kekuatan karma. Kekuatan besar ini, keinginan
untuk hidup, membuat hidup terus berlanjut. Menurut agama Buddha, bukan hanya
kehidupan manusia, tetapi seluruh kesadaran dunia ditarik oleh kekuatan yang luar biasa
ini – batin ini dengan faktor kejiwaannya, baik ataupun buruk.

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, menurut ajaran materialistis, manusia berhenti
hidup pada saat kematian. Namun, menurut agama Buddha, kekuatan dan energi tidak
berhenti pada saat kematian ; tidak ada kekuatan yang pernah hilang, selalu mengalami
perubahan. Energi tidak berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dapat berhenti
untuk hidup di satu tempat dan mulai hidup lagi di tempat lain. Dalam diri manusia
kekuatan terbesar adalah keinginannya untuk hidup, melanjutkan hidup, menjadi lebih
dan lebih lagi. Kekuatan ini tidak hilang pada saat kematian. Kekuatan itu hidup,
memulai lagi dan terbentuk kembali dalam keadaan baru berpadu dengan sendirinya.
Memulai lagi perubahan penting tanpa henti ini dalam keadaan baru disebut dengan
kelahiran kembali, tumimbal lahir atau pembaharuan kembali eksistensi.

Proses karma ( kammabhava ) adalah kekuatan yang datang dari kehidupan sekarang,
mempersiapkan kehidupan yang akan datang dalam rangkaian tanpa akhir. Dalam
proses ini tak ada yang meninggal dunia di sini dan lahir di tempat lain, seseorang bukan
orang yang sama, bukan juga orang yang sepenuhnya berbeda ( na ca so na ca anno ).
Kemungkinan logis dari identitas pribadi tanpa roh itu diakui oleh Profesor A.J. Ayer dari
Oxford, seorang analis logika yang mengatakan : “ Saya pikir akan terbuka bagi kita
untuk mengakui kemungkinan logis dari reinkarnasi hanya dengan menetapkan kaidah
bahwa jika seseorang yang secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup
pada waktu belakangan, memiliki ingatan – ingatan nyata dan sifat dari seseorang yang
secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu sebelumnya,
mereka seharusnya dihitung sebagai satu orang dan bukan dua. “
11. 4 Aliran Kesadaran

Kesadaran di momen terakhir ( cuti citta atau cuti vinnana ) milik kehidupan
sebelumnya ; dengan cepat berlanjut setelah padamnya kesadaran itu. Karena telah
terkondisikan maka timbul momen pertama dari kesadaran pada kelahiran yang
sekarang yang disebut hubungan kembali atau kelahiran kembali dari kesadaran
( patisandhivinnana ). Demikian pula momen pikiran terakhir dari kehidupan ini
mengondisikan momen pikiran pertama dari kehidupan yang selanjutnya. Dengan cara
ini kesadaran lahir dan mati memberikan tempat pada kesadaran baru. Maka aliran
kesadaran tanpa henti ini akan terus berlanjut sampai kehidupan berhenti. Kehidupan
dalam hal ini adalah kesadaran – keinginan untuk hidup, keinginan untuk melanjutkan.

Menurut ilmu biologi modern, kehidupan manusia baru dimulai pada saat menakjubkan
ketika sel sperma dari ayah bersatu dengan sel telur atau ovum dalam tubuh ibu. Ini
merupakan momen kelahiran. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan dua faktor fisik
yang umum ini saja. Akan tetapi, agama Buddha membicarakan pula faktor ketiga yang
bersifat rohani.

Menurut Mahatanhasamkhaya Sutta, sebuah khotbah dari Buddha : “ Dengan


bertemunya ketiga faktor ini maka pembuahan terjadi. Jika calon ibu dan ayah bersatu,
tetapi bukan pada masa subur si calon ibu, dan makhluk hidup yang akan dilahirkan
( gandhabba ) tidak ada, maka benih kehidupan tidak tertanam. Jika kedua calon orang
tua bersatu dan pada masa subur si calon ibu, tetapi gandhabba atau makhluk hidup
yang akan dilahirkan tidak ada, maka tidak terjadi pembuahan. Jika calon ibu dan ayah
bersatu, dan pada masa subur si calon ibu, serta makhluk hidup yang akan dilahirkan,
gandhabba, juga ada, maka benih kehidupan tertanam di sana. “

Faktor ketiga, gandhabba, hanyalah istilah untuk kesadaran yang lahir kembali
( patisandhi vinnana ). Dapat pula disebut kekuatan energi yang dilepaskan dari orang
yang meninggal dunia. Tetapi kesadaran yang lahir kembali bukanlah diri yang kekal, roh
ataupun satuan hidup yang merasakan buah dari perbuatan baik dan jahat. Kesadaran
juga disebabkan oleh kondisi. Terpisah dari kondisi, maka tidak akan timbul kesadaran.
Kehendak untuk hidup ini, keinginan untuk hidup ini, terbayang luas dalam pikiran
manusia baik yang sadar maupun yang tidak. Kehendak, seperti layaknya bentuk pikiran
lainnya, adalah ungkapan energi, dan hal seperti ini tidak pernah dapat hilang atau
hancur. Kehendak yang kuat dan tanpa henti ini, keinginan untuk hidup ini, adalah
ungkapan energi yang kuat dan tanpa henti dan tidak dapat mati bersamaan dengan
kematian seseorang. Kehendak untuk hidup membuatnya dilahirkan kembali. Keinginan
untuk hidup membuatnya hidup kembali. Ia secara rohaniah kemudian mengalami
kehidupan lain.

Karena kehendak untuk hidup ( bhavatanha ) merupakan motif utama yang mendasari
hampir semua kegiatan manusia, pada saat kematian, hal ini berkembang begitu hebat
sehingga secara rohaniah mengambil sikap serakah. Seperti yang telah dikatakan sendiri
oleh Buddha ; Di ambang kematian keinginan utama ini menjadi kemelekatan
( upadana ) yang menarik dirinya pada kehidupan lain. Proses pikiran terakhirlah yang
membawa kemelekatan ini. Ini merupakan hukum alam, tak ada yang misterius, misterius
hanya bila kita tidak memahaminya. Orang yang sekarat dengan seluruh jasmaninya
melekat kuat pada kehidupan, sehingga pada titik kematiannya, mengirim energi karma
secepat kilat, menemukan rahim calon ibu siap untuk pembuahan, dan kehidupan baru
pun dimulai.
11.5 Alam Kehidupan

31 alam kehidupan pada Ajaran Buddha dibagi menjadi lima bagian yaitu:

I. 4 Apayabhumi (4 alam kemerosotan)

Kata "apayabhumi" terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak
ada`, `aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal
makhluk hidup`.

Alam ini juga sering disebut dengan `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua
kosakata, yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam
tujuan bagi suatu makhluk yang akan dilahirkan kembali`.

Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk
berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu:
Alam neraka (Niraya),

Alam Binatang (Tiraccchana),

Alam setan (Peta),

Alam Iblis(Asurakaya)

Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam
guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.

II. 1 Manussabhumi(1 alam manusia)

Kata "manussabhumi" terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`.
`Manussa` terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa`
yang berarti `tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti
alam tempat tinggal manusia.

III. 6 Devabhumi(6 alam dewa)

Disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup
dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk
yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidak-kekalan. Alam surga
terbagi menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita,
Nimmanarati, dan Paranimmitavasavatti.

IV. 16 Rupabhumi(16 alam brahma berbentuk)

Merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk.
Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus
yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhana (pemusatan pikiran yang kuat dalam
memegang obyek) yang luhur.

Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu:

3 alam bagi peraih jhana pertama (Pathama)

3 alam bagi peraih Jhana kedua (Dutiya)

3 alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya)

2 alam bagi peraih Jhana keempat (Catuttha)

5 Alam Suddhavasa.
Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari
napsu birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga)
yang berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.

V. 4 Arupabhumi(4 alam brahma tanpa bentuk )

Merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun
disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini
sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan
dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena
pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan
sehingga tidak menginginkannya.

Selain pembagian di atas, 31 alam kehidupan dapat dikelompokkan menjadi 3 :


1. Sebanyak 11Kama-Bhumi

11 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya masih senang dengan napsu indera dan
melekat pada panca indera.
2. Sebanyak 16 Rupa-Bhumi

16 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Rupa Jhana (Jhana


Bermateri, hasil dari melaksanakan Samata Bhavana).
3. Sebanyak 4 Arupa-Bhumi

4 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Arupa Jhana (Jhana Tanpa


Bermateri, hasil dari melaksanakan Samatha Bhavana)

12.1 Konsep Ketuhanan

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada
Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka
tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk
bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu." 
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta
Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama
Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang
Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan,
Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah
suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi. 

 Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa
konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan
yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu
ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep
Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama
lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam
agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Bila
kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka,
maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam
agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama
Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah
konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan
Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
12.2 Alam Semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat
banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang
Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya
sebagai berikut : Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka
dhatu (tata surya kecil) ? ....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis
orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas
seribu tata surya. 

Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu
jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah,
Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). * Ananda,
seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu".
Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi
Mahasahassi Lokadhatu". Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat
memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu,
ataupun melebihi itu lagi. Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi
Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam
Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya.
Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih
melampauinya lagi.
12.3 Bumi dan Manusia

Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha,
khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya
seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini
diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta.
Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan. Vasettha,
terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia
ini hancur. 

Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam
cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki
tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka
hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya
terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam
belum ada, ..... laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal
sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama
sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. 

Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin,
demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti
dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon
murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang
memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan
masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi
sari tanah itu dengan jari-jari ..... mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah,
memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. 
Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan
lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan
konstelasikonstelasi nampak ..... siang dan malam ..... terjadi. Demikianlah, Vasettha,
sejauh itu bumi terbentuk kembali. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati
sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang
lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka
menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. 

Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang
rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ..... maka sari tanah itupun
lenyap ..... ketika sari tanah lenyap ..... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko).
Cara tumbuhnya seperti cendawan ..... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup
dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian
dalam masa yang lama sekali ..... (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan
keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang
muncul dari tanah itu pun lenyap. 

Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ..... warnanya seperti dadi susu atau
mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ..... Mereka menikmati,
mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ..... maka tubuh
mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas;
sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka
mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki
bentuk tubuh buruk ..... Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka
sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ..... muncullah tumbuhan padi
(sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir
yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan
malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. 

Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka
pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus
padi itu muncul. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari
alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan
hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran
yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan
perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya
(itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian
wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat
memperhatikan keadaan wanita. 

Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka
timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu
indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin....
12.4 Kiamat

Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya
bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti
apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap
berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan
hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya -
tata surya yang tersebar di alam semesta ini. Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini
menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau
yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini
muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama
matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan
akhirnya muncul matahari ketujuh. 

Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan
lenyap bertebaran di alam semesta. Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain
bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi
matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya
terdapat matahari pula. Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan
galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena
banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata
surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa
yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita.
Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah
matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang
dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu : Bhikkhu, akan tiba suatu masa
setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada
hujan. 

Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon
penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi
layu, kering dan mati ..... Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di
akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka
semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada ..... 

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu
sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada ..... Para
bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar
tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara,
Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada ..... Para
bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut
100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan
surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima,
empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya,
air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan
hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut,
hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki. 

Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang
besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-
mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas
tapak-tapak kaki sapi. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di
akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka
bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan,
memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran
periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang
terjadi dengan bumi ini. Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun
adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan
semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal. Para bhikkhu,
selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh
muncul. 

Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja
gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang
berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan
debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan
menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan
oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada
bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus
tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.

12.5 Panca Niyama

Dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 menjelaskan


bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari 24 sebab (paccaya 24) atau
salah satu dari Panca Niyama  (Lima Hukum) yang bekerja di alam Semesta ini, masing-
masing hukum alam ini memiliki sifat-sifatnya sendiri dan tidak diatur oleh suatu
kekuatan sosok makhluk Adikuasa manapun.

Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah
satu dasar dari Lima Hukum Alam (Panca Niyama Dhamma), Hukum alam semesta
inilah yang mengatur segala gejala, proses, aktivitas, sebab-akibat batin dan jasmani
(fisik) yang ada dialam semesta itu sendiri. Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar
dan dicium keberadaannya, namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari
gejala-gejala yang muncul secara fisik maupun batin. Hukum alam ini terdiri atas :

1. UTU NIYAMA ( Hukum Musim )

Adalah hukum tertib “Physical inorganik” misalnya : gejala timbulnya angin dan hujan


yang mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan perubahan iklim yang
disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas , sifat benda seperti gas, cair dan padat,
kecepatan cahaya , terbentuk dan hancurnya tata surya dan sebagainya. Semua  aspek 
fisika  dari  alam  diatur  oleh hukum ini.

Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur Pathavi,


Apo, Tejo, dan Vayo. (Majjhima Nikaya 22).

2. BIJA NIYAMA ( Hukum Biologis )

Adalah hukum tertib yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari benih/biji-bijian dan


pertumbuhan tanam-tanaman, misalnya padi berasal dari tumbuhnya benih padi,
manisnya gula berasal dari batang tebu atau madu, adanya keistimewaan daripada
berbagai jenis buah-buahan , hukum genetika /penurunan sifat dan sebagainya . Semua
aspek Biologis makhluk hidup diatur oleh hukum ini.

Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam


berbagai bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari
hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia
tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan
tumbuhan dan disebut Bija-niyama.

3. KAMMA NIYAMA ( Hukum Perbuatan )

Adalah hukum tertib yang mengatur sebab akibat dari perbuatan , misalnya : perbuatan
baik / membahagiakan dan perbuatan buruk terhadap pihak lain, menghasilkan pula
akibat baik dan buruk yang sesuai .

Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan


seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali :

“Aku katakan, Kehendak adalah Kamma,

karena didahului oleh kehendak,


seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran “.

(Anguttara Nikaya III : 415)

4. DHAMMA NIYAMA ( Fenomena Alam)

Adalah hukum tertib yang mengatur sebab-sebab terjadinya keselarasan /persamaan


dari satu gejala yang khas, misalnya : terjadinya keajaiban alam seperti bumi bergetar
pada waktu seseorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon
Buddha, atau pada saat Ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya
berat (gravitasi) , daya listrik, gerakan gelombang dan sebagainya, termasuk dalam
hukum ini.

Dhamma  adalah sesuatu yang menghasilkan sifat dasarnya sendiri (dhareti), yaitu


kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah
berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam
hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang
dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. 

5. CITTA NIYAMA ( Hukum Psikologis )

Adalah hukum tertib mengenai proses jalannya alam pikiran atau hukum alam
batiniah, misalnya : proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat
kesadaran, kekuatan pikiran / batin (Abhinna), serta fenomena ekstrasensorik seperti
Telepati, kewaskitaan (Clairvoyance), kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah
lampau, kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka pendek
atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua gejala batiniah yang kini
masih belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern termasuk dalam hukum
terakhir ini.

Citta berarti "yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang


menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh
lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek
13.1 Pengertian Bodhisatva

Analisa dari segi etimologis , kata Bodhisattva (Sansekerta)/Bodhisatta (Pali) terbentuk


dari dua kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan Sattva/Satta
yang berarti makhluk. Sehingga Bodhisattva/Bodhisatta berarti  :  

" makhluk yang bercita-cita untuk mencapai pencerahan sempurna."

Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua


aliran sepakat bahwa:

1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.

2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.


3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk lainnya.

Di dalam ajaran agama Buddha, seorang Bodhisattva / Bodhisatta atau Photishat (bahasa
Thai) adalah makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta.

Bodhisattva juga merujuk kepada Buddha di kehidupan sebelum-Nya.

Dalam ajaran Mahayana, Bodhisattva mengambil janji untuk tidak memasuki nirvana
sebelum semua mahkluk mencapai ke-Buddha-an. Ini tidak sama dengan di tradisi
Theravada kebanyakan, dimana makluk yang mencapai pencerahan adalah Arahat,
bukan Buddha.

Arti Bodhisatta pada Pali Canon (kumpulan koleksi kitab pada ajaran Theravada) dan
tradisi Theravada tidak mengatakan bahwa seorang Bodhisattva membuat janji ‘tidak
akan mencapai pencerahan sebelum semua orang lain mencapai penerangan’. Ini
merupakan inovasi dari Mahayana.  

Jadi seorang Bodhisatta dan seorang Bodhisattva merupakan hal yang berbeda.

Bodhisattva pada Ajaran Mahayana

Dalam pandangan Mahayana, seorang Bodhisattva memiliki tekad penuh kasih guna
membantu seluruh mahluk untuk menuju pencerahan. Motivasi yang demikian dikenal
dengan sebutan Bodhicitta.

Bodhisatta pada Ajaran Theravada

Kata Bodhisatta bahasa Pali digunakan oleh Buddha di kitab Pali Canon untuk menunjuk
kepada dirinya di kehidupan sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang menuju
pencerahan dan pada periode ketika ia masih bergerak menuju pembebasan.
Kehidupan Siddhattha Gotama sebagai seorang Bodhisatta dicatat dalam Kitab Jataka.
Ketika Siddhattha Gotama menceritakan dirinya dahulu, ia menggunakan istilah “ketika
saya masih seorang Bodhisatta”.

Seorang Bodhisatta yang seringkali diceritakan dalam Pali Canon adalah Calon Buddha
Metteya/Maitreya, yang oleh karenanya Ajaran Theravada tidak menceritakan
Bodhisattva lain selain Bodhisatta Metteya.

Siddhattha Gotama pun menggambarkan dirinya sebagai Bodhisatta, sebagai berikut:

“ Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih


seorang Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku
sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari
apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran.
” (Ariyapariyesana Sutta 26)

Dalam Vissudhi magga IX disebutkan :

“Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung memperhatikan kesejahteraan para


makhluk, tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk, mengharapkan waktu
yang lebih lama bagi tingkat kebahagiaan para makhluk yang lebih tinggi, tidak
membeda-bedakan serta adil bagi para makhluk”.

Pada Buddhavamsa, pandangan ideal seorang Bodhisatta dikembangkan hingga


mencapai puncak yang tertinggi.

Pada  kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar
untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Sammasambuddha) dikarenakan oleh
belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan
yang menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang
(vyakarana).  

Sebagai tambahan, seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa berikrar


untuk menjadi Bodhisatta pada saat akan mencapai Kearahatan. Hal ini tercermin pada
riwayat Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat ia masih
menempuh Jalan Bodhisatta. Saat itu Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada
saat itu Sumedha merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak
kotor. Pada saat itu Pertapa Sumedha berpikir: "Jika mau, aku dapat membakar sampai
habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah gunanya merealisasi Dhamma di
sini [tanpa menguntungkan makhluk  lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan
menjadi Buddha di dunia ini…"

13.2 Pengertian Ariya Puggala

Agama Buddha merupakan suatu agama yang dalam mencapai suatu tujuannya
menekankan pada praktek moral. Dewasa ini banyak yang beranggapan bahwa agama
buddha merupakan suatu agama yang bersifat religius yang menyembah berhala.
Namun sebenarnya tidaklah demikian, karena setiap agama mempunyai cara-cara
tersendiri untuk mencapai tujuannya. Buddha menganjurkan kepada setiap umatnya
untuk selalu tekun menjalankan praktek sila dalam kehidupan sehari-hari. didalam
agama Buddha terdapat suatu jalan yang digunakan oleh sang Buddha dalam mencapai
suatu pencerahan yang membawa setiap manusia kepada ketenangan abadi.

Didalam agama Buddha terdapat 4 (empat) tingkatan makhluk suci berdasarkan pada
praktek jalan mulia berunsur delapan, yang terdiri dari Sotapati,Sakadagami, Anagami
dan tingkat kesucian yang sempurna yaitu Arahat. Dalam pencapaiannya tidak lepas dari
melatih diri dengan melaksanakan Sila, Samadhi, Panna. Selain pencapian kesucian
tidaklah ditentukan oleh kedudukan seseorang, pakaian, dan juga pola makan. Namun
yang menentukan seseorang mencapai kesucian adalah keinginan batin yang kuat dalam
melaksanakan jalan mulia berunsur delapan.

A. Pengertian Makhluk Suci


Dalam Buddha Dhamma makhluk suci di sebut juga dengan Ariya puggala. “ariya”
artinya agung, mulia baik atau benar. “puggala” adalah individu, seseorang yang mulia
atau agung. Makhluk suci adalah siapa saja yang telah menghancurkan atau
melenyapkan dengan tuntas belenggu–belenggu atau sepuluh samyojana, sehingga
mencapai tingkat kesucian sotapana, sakadagami, anagami dan arahat. Orang yang
belum memiliki keseimbangan batin belum bisa dikatakan sebagai makhluk suci.

B. Tingkat–tingkat kesucian
Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan:
Puthujjana Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai
tingkat kesucian.
Ariya-puggala Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya
telah mencapai tingkat kesucian pertama.

13.3 Jenis Tingkat Kesucian

A. Sotapanna: tingkatan Sotapanna , dimana kata ini secara harafiah berarti “Pemasuk
Arus”: Orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.

Sotapanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2)


vicikiccha, dan (3) silabbata-paramasa.

Ada tiga macam Sotapanna:

1.  Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.
2. Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga
kali lagi.
3. Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali
tujuh kali lagi.

B. Sakadagami: Orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana) yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2)
vicikiccha, dan (3) silabbata-paramasa dan telah melemahkan belenggu (4) kama-raga
dan (5) vyapada.

C. Anagami:  Orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung
terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam
Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat
dan akhirnya ia mencapai parinibbana.

Anagami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana) yaitu (1) sampai dengan (5).

Ada lima macam Anagami:

1. Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan pertama dari masa


kehidupan mereka/Antaraparinibbayi
2. Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan kedua dari masa
kehidupanmereka/Antaraparinibbayi
3. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha keras ( Sasankhara parinibbayi)
4. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha ringan ( Asankhara
parinibbayi)
5. Mereka yang mencapai alam kehidupan akanittha, yaitu alam kehidupan yang
tertinggi (Uddham-soto-akanitthagami)

Pertama dan kedua digolongkan berdasarkan atas masa kehidupan mereka, sedangkan
yang ketiga dan keempat berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima
ditandai melalui alam tujuan mereka.

D. Arahat: Orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan
semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di
alam mana pun. Ia akan parinibbana.

Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 – 10).

Terdapat empat macam Arahat:

1. Sukhavipassako Arahat.
Arahat yang tidak memiliki jhana/abhinna, hanya mencapai kesucian dengan
melaksanakan vipassana bhavana.
2. Tevijjo Arahat.
Arahat yang memiliki tiga pengetahuan (vijja):
1. Pubbenivasanussati Nana; memiliki kesadaran akan kelahirannya yang
lampau
2. Dibbacakkhu Nana; memiliki “mata dewa” sehingga dapat mengetahui
kelahiran makhluk di alam dewa atau peta setelah meninggal.
3. Asavakhaya Nana; memiliki pengetahuan bagaimana cara melenyapkan
asava (kekotoran batin yang paling dalam).
3. Chalabhino Arahat:
a sampai c seperti di atas ditambah dengan tiga kemampuan lain, yaitu:
1. Cetopariya Nana (paracitta vijja Nana); dapat membaca atau mengetahui
pikiran makhluk lain.\
2. Dibbasota Nana (telinga dewa); dapat mendengar percakapan suara dari
alam dewa, brahma, dan apaya.
3. Iddhividha Nana, yang terdiri dari:
1. Adhitthana Iddhi, kekuatan kehendak mengubah tubuh dari satu
menjadi banyak, dari banyak menjadi satu lagi.
2. Vikubbana Iddhi, kemampuan ‘menyalin rupa’ menjadi anak kecil,
raksasa, rupa buruk, menjadi tak tampak.
3. Manomaya Iddhi. Kemampuan ‘mencipta’ dengan kekuatan pikiran.
Misalnya: mencipta istana, taman, binatang. Lamanya ciptaan itu
tergantung dari kekuatan pikiran.
4. Nana vipphara Iddhi. Pengetahuan menembus ajaran yang sulit.
5. Samadhivipphara Iddhi. Kekuatan konsentrasi untuk:
1. menembus dinding
2. meyelam ke dalam bumi seperti di air
3. berjalan di atas air seperti di tanah datar
4. masuk ke dalam api tanpa hangus
5. terbang seperti burung
4. Patisambhidappatto Arahat.
Arahat yang memiliki empat patisambhida (pengetahuan sempurna):
1. Atthapatisambhida.
Pengertian mengenai arti/maksud ajaran dan dapat memberi penerangan
secara rinci, hampir seperti Sang Buddha.
2. Dhammapatisambhida.
Pengertian mengenai intisari dari ajaran dan mampu mengajukan
pertanyaan ajaran yang mendalam.
3. Niruttipatisambhida.
Pengertian mengenai bahasa dan mampu menggunakan kata-kata yang
mudah dimengerti oleh pendengar.
4. Patibhanapatisambhida. Pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu
menjawab spontan bila ada pertanyaan mendadak.
13.4 Belenggu Batin
Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka
patahkan. Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan
para makhluk terus berputar-putar dalam samsara.

Sakkayaditthi: Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal
Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
Silabbataparamasa: Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan
manusia dari penderitaan.
Kamaraga: Nafsu Indriya.
Vyapada: Benci, keinginan tidak baik.
Ruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).
Aruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.
Mana: Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan
orang lain.
Uddhacca: Bathin yang belum seimbang benar.
Avijja: Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang 
bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

Catatan: Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam
keadaan samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia
dilahirkan di Alam bentuk (rupa-raga).

Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu
rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat
dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.

Orambhagiya-samyojana dan Uddhambhagiya-samyojana telah dimusnahkan oleh


Arahat.
13.5 Para Siswa/Siswi Utama Buddha
Siswa sang Buddha yang sudah mencapai kesucian (siswa laki-laki). Sangha Bhikkhu:

1. Yang Ariya SARIPUTTA, Terkemuka dalam Kebijaksanaan


2. Yang Ariya MOGGALLANA, Terkemuka dalam Kekuatan Gaib
3. Yang Ariya ANANDA, Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
4. Yang Ariya MAHA KASSAPA, Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras
5. Yang Ariya ANURUDDHA, Terkemuka dalam Mata Dewa
6. Yang Ariya UPALI, Terkemuka dalam Menjaga Sila
7. Yang Ariya RAHULA, Terkemuka dalam melaksanakan Kebaikan

SISWA-SISWA UTAMA SANG BUDDHA (THERI)

1. Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri


Berasal dari suku Koliya, pada waktu Mahà Pajàpati Gotami dilahirkan, ada seorang
peramal yang meramalkan bahwa jika besar nantiia akan menjadi pemimpin dari suatu
perkumpulan yang akan mempunyai banyak pengikut. Dan oleh sebab itu ia diberi nama
dengan “Pajàpati”, yang mempunyai arti pemimpin dari suatu perkumpulan besar,
sedangkan “Mahà” yang berarti luar biasa.

Mahà Pajàpati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan
Bhikkhuni. Yang diterima oleh para Bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah
diajarkan Sang Buddha.(Delapan Peraturan Utama<Aññhasila>).

2. Yang Ariya Khema Theri


Khemà berasal dari desa Sagala, Magadha salah satu keluarga yang sangat berkuasa.
Selain itu ia juga cantik, kulitnya berwarna kuning keemasan dan kecantikan Khemà
tersebut membuat Raja Bimbisara meminang dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa
Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu
Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti
sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat
mengagumi kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan
sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian
dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.

3. Yang Ariya Kisa Gotami Theri

Seorang gadis yang berasal dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi, nama yang
sebenarnya “Gotami”. Akan tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil
dengan nama “Kisà”, sehingga setiap orang yang melihatnya berjalan dengan badannya
yang tinggi dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada dalam
dirinya.Kisa Gotami sulit mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik.
Namun secara tak terduga kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya
yang menganggap bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja.
Pedagang kaya itu kemudian menikahi Kisa Gotami.
4. Yang Ariya Patacara Theri

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul
tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan
sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang
berkondisi.

Patacara merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. Orang
tua Patacara sangat menyayangi dan menjaganya dengan ketat. Oleh karena itu ketika
Patacara menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga, untuk
melindunginya dari gangguan para pemuda. 

5. Yang Ariya Bhadda Kapilani Theri


Setelah melihat bahaya kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin dan kami mencapai Nibbana

Bhadda Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda
tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari, ketika
Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan serangga
tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih wijen kering.
Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih menakutkan lagi ketika
beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian serangga tersebut
merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut terlihat biasa, tetapi tidak
menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda mengambil keputusan untuk melepas
hidup keduniawian.

6. Yang Ariya Sona Theri


Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang berjuang penuh dengan
semangat. Sona adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai sepuluh orang
anak. Beliau merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan penuh
kasih sayang. Seluruh hidupnya dicurahkan hanya untuk anak-anaknya.Suami Sona
adalah pengikut Sang Buddha, ia belajar banyak mengenai kehidupan. Setelah beberapa
tahun menjadi kepala rumah tangga, suami Sona memutuskan untuk terbebas dari
belenggu kehidupan dengan cara menjalani kehidupan suci. 

7. Yang Ariya Ambapali Theri


Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam,
rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli,
menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan
memberikannya nama. Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis
atau batang).Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang
cantik dan anggun.
14.1 Pengertian

Agar seseorang lebih mampu menyadari segala bentuk perilaku badan dan ucapannya,
maka ia hendaknya melaksanakan latihan ketiga yaitu konsentrasi atau samadhi  . Latihan
konsentrasi ini menjadi sangat penting karena seseorang dikondisikan untuk tidak hanya
terkendali perbuatan badan dan ucapannya saja, melainkan juga perbuatan melalui
pikiran. Mereka yang memiliki perilaku badan dan ucapan yang baik belum tentu
mempunyai pikiran yang baik. Namun, seseorang yang telah memiliki pikiran baik, tentu
perilaku badan dan ucapannya akan baik pula. 

Pelaksanaan latihan konsentrasi ini atau sering disebut sebagai Samatha


Bhavana  menjadi dasar latihan kesadaran yang lebih tinggi yaitu selalu sadar dan
perhatian setiap gerak-gerik pikiran yang muncul dan tenggelam yang disebut
sebagai Vipassana Bhavana  . Pentingnya upaya seseorang berlatih konsentrasi maupun
kesadaran ini didukung dengan inti Ajaran Sang Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur
Delapan. Seperti telah diketahui bersama bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah
satu jalan yang terdiri dari delapan unsur yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar
dan Konsentrasi Benar. Delapan unsur Jalan Mulia ini sering dikelompokkan menjadi tiga
bagian besar yang disebut sebagai kelompok kebijaksanaan (panña)  ,
kemoralan (sila)  dan konsentrasi (samadhi)  . Kebijaksanaan meliputi dua unsur pertama
yaitu Pandangan Benar dan Pikiran Benar. Kemoralan terdiri dari tiga unsur berikutnya
yaitu Ucapan Benar, Perbuatan Benar, serta Mata Pencaharian Benar. Sedangkan
konsentrasi terdiri dari Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. 

Pelaksanaan satu Jalan Mulia yang memiliki delapan unsur ini secara tekun dan penuh
semangat akan dapat membebaskan seseorang dari ketamakan (lobha), kebencian (dosa)
serta kegelapan batin (moha).

Dari pembagian kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut, jelas sudah bahwa
konsentrasi menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kedua
bagian lainnya. Latihan konsentrasi pada awalnya dilakukan dengan memusatkan pikiran
pada obyek meditasi yang telah ditentukan. Pencapaian tertinggi meditasi
konsentrasi (Samatha Bhavana)  ini disebut dengan Jhana  . Apabila tingkat konsentrasi
ini dapat dicapai, maka pelaku meditasi dapat melanjutkan dengan mengembangkan
kesadaran pada segala gerak gerik pikiran maupun badan. 

Latihan meditasi tingkat lanjutan ini disebut sebagai meditasi mengembangkan


kesadaran (Vipassana Bhavana)  yang hasil tertingginya adalah
kebijaksanaan (Panña) .  Untuk mencapai kebijaksanaan sebagai hasil latihan
pengendalian pikiran secara maksimal, diperlukan beberapa persiapan dasar. Seperti
diketahui bahwa pikiran adalah merupakan bagian dari batin, sedangkan manusia terdiri
dari badan serta batin, maka persiapan badan yang baik akan mendukung
perkembangan kualitas batin yang baik pula. Persiapan badan dimulai dengan
memahami posisi badan yang ideal selama bermeditasi. Ada empat posisi meditasi yang
dapat dipergunakan yaitu duduk, berdiri, berjalan serta berbaring.
14.2 Posisi Meditasi
Posisi duduk biasanya dilakukan dengan bersila, yaitu menyilangkan kedua kaki.
Idealnya, kedua kaki terlipat sedemikian rupa sehingga kedua telapak kaki terletak di
atas paha. Jadi, telapak kaki kiri berada di atas paha kanan dan telapak kaki kanan
terletak di atas paha kiri. Namun, kalau sulit untuk melakukan posisi ini, boleh juga kaki
kiri dilipat dan diletakkan di bawah kaki kanan. Telapak kaki kanan berada di atas paha
kiri. Akan tetapi, jika posisi ini pun sulit dilakukan, pergunakan posisi apapun juga yang
penting duduk bisa terasa nyaman tanpa diganggu rasa kesemutan untuk waktu
meditasi yang telah ditentukan, misalnya 15 atau 30 menit tanpa bergerak.

Setelah mampu memposisikan kaki sehingga nyaman duduk, maka letakkan kedua
telapak tangan berada di pangkuan. Telapak tangan kiri berada di bawah telapak tangan
kanan. Biasanya, kedua ujung ibu jari dipertemukan. Duduklah dengan tegak namun
santai. Kepala tegak, mata dipejamkan, dan bernafaslah secara normal. Pusatkan pikiran
pada obyek meditasi yang telah dipilih. Apabila pikiran memikirkan hal lain, sadarilah
dan segera pusatkan kembali pada obyek meditasi tersebut. Demikian seterusnya selama
waktu meditasi yang telah ditentukan.

Adapun meditasi dengan posisi berdiri dilakukan sesuai namanya yaitu memusatkan
pikiran sambil berdiri tegak. Agar seseorang mampu berdiri secara nyaman, posisikan
kedua telapak kaki satu sama lain berjarak selebar pundak. Tangan biasanya diletakkan
di bawah pusar, telapak tangan kiri menempel di badan dan telapak tangan kanan di
atas punggung tangan kiri. Tentu saja tangan boleh diposisikan di tempat lain, misalnya
di samping badan, bersilang tangan di depan dada bahkan bersilang tangan di
pinggang. Posisikan tangan senyaman mungkin sehingga selama waktu berdiri yang
telah ditentukan, konsentrasi tidak terganggu. Kedua mata dipejamkan dan seluruh
perhatian dipusatkan pada obyek meditasi.

Posisi meditasi yang lain adalah berjalan. Posisi tangan tetap di bawah perut, atau
mungkin di samping badan, bersilang di depan dada ataupun di pinggang. Secara
perlahan namun penuh konsentrasi, langkahkan kaki satu demi satu. Pada saat
melangkah, seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi yaitu, biasanya, proses
berjalan atau telapak kaki yang sedang melangkah. Perhatian pada proses berjalan
dilakukan dengan merasakan saat kaki diangkat, maju dan diletakkan. Perhatian pada
telapak kaki dilakukan dengan menyadari bagian belakang, tengah serta depan telapak
kaki yang diangkat dan diletakkan. Meditasi berjalan ini dilakukan di tempat yang lurus
dan rata. Jarak yang dipergunakan sekitar 15 langkah sampai dengan 25 langkah. Pelaku
meditasi berjalan perlahan sampai di ujung jalan kemudian berbalik dan berjalan kembali
sampai di ujung jalan yang lain. Demikian seterusnya sampai selesai waktu meditasi yang
ditentukan. Jika kekuatan konsentrasi semakin tinggi, langkah yang dilakukan juga akan
semakin perlahan. Ada kemungkinan, jarak sejauh 25 langkah tersebut ditempuh dalam
waktu 30 menit atau lebih. Satu langkah mungkin menjadi dua menit atau lebih karena
pikiran terpusat sangat kuat memperhatikan kaki yang sedang bergerak.

Sedangkan posisi meditasi yang keempat adalah berbaring. Posisi ini perlu dibedakan
dengan tiduran. Tiduran dilakukan dengan tubuh telentang, tengkurap ataupun
menyamping, kepala di atas bantal. Sedangkan posisi meditasi berbaring dilakukan
dengan tubuh menyamping ke sebelah kanan, kepala ditopang oleh tangan kanan.
Tangan kiri terletak di atas sisi kiri badan. Kaki kiri terletak di atas kaki kanan. Kedua mata
dipejamkan. Seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi yang telah dipilih.

Meditasi sebaiknya dilakukan pada waktu dan tempat yang sama. Biasanya orang
berlatih meditasi pada saat ia bangun tidur dan akan tidur. Lama meditasi, paling sedikit
15 menit sampai dengan 60 menit atau lebih. Lakukan meditasi sesuai dengan
kemampuan. Sebelum meditasi, boleh saja melakukan sedikit upacara ritual menurut
keyakinan masing-masing. Umat Buddha biasanya melakukan pembacaan paritta atau
mengulang kotbah Sang Buddha sekitar 15 sampai 20 menit. Upacara ritual ini
diperlukan agar pikiran lebih terarah pada kegiatan spiritual daripada kegiatan material.

14.3 Objek Meditasi


Selama duduk bermeditasi, pelaku meditasi dapat memilih salah satu dari 40 obyek
meditasi yang dikenal dalam Dhamma. Agar lebih jelas dan membantu pemilihan obyek
meditasi, berikut ini secara singkat akan diuraikan obyek-obyek tersebut yaitu:

Kasina tanah pada mulanya menggunakan obyek segumpal tanah. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya pelaku meditasi dapat menggunakan tanah bentukan,
misalnya kendi dsb. Kasina air mempergunakan air yang diletakkan di sebuah tempat,
misalnya gelas atau mangkuk. Kasina api biasanya mempergunakan nyala api lilin. Kasina
angin dilakukan dengan merasakan angin yang berhembus dan mengenai tubuh sendiri.
Kasina warna dilakukan dengan mempersiapkan peralatan dari kertas atau media lainnya
yang dengan diberi warna biru, kuning, merah, atau putih. Kasina cahaya
mempergunakan cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai
melalui jendela atau sejenisnya. Kasina ruangan terbatas mempergunakan ruangan
kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya misalnya kamar kosong atau
bahkan sebuah drum dsb.

Pelaku meditasi dengan mempergunakan salah satu dari obyek ini berusaha
memusatkan perhatian pada obyek yang telah ditentukan dengan cara memandangnya
untuk waktu yang cukup lama. Ia masih diperbolehkan untuk berkedip seperlunya. Ia
terus memusatkan perhatian sampai seluruh obyek itu dapat diingat dan divisualisasikan
atau dibayangkan dengan baik dalam batin. Dengan demikian, ia mampu melihat obyek
itu secara jelas dan sama pada saat ia membuka maupun menutup mata.

•  Sepuluh asubha  (ketidakindahan)

Pelaku meditasi dengan obyek ini menyaksikan sendiri atau membayangkan (visualisasi)
dalam batinnya sehingga ia dapat melihat dengan jelas mayat yang dimasukkan ke
lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-
koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah,
dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya hanya sebagai tengkorak saja.
Kemudian, ia hendaknya menyimpulkan bahwa “Sebagaimana mayat itu, demikian pula
tubuh ini. Bagian dalam maupun bagian luar. Saat ini saya masih sehat dan segar,
namun, suatu saat pasti saya pasti akan hancur seperti mayat itu.”. Perenungan dan
pemahaman terhadap mayat akan mengkondisikan seseorang dapat terbebas dari
kemelekatan dengan segala sesuatu, termasuk dengan tubuhnya sendiri.

•  Sepuluh anussati  (perenungan)

Pelaku meditasi yang mempergunakan obyek perenungan Buddhanussati,  merenungkan


sembilan sifat Sang Buddha yaitu maha suci, telah mencapai penerangan sempurna,
sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana,
pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan
manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.

Demikian pula dalam Dhammanussati  , pelaku meditasi merenungkan enam sifat


Dhamma yaitu Dhamma telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak
lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat
dihayati oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.

Obyek Sanghanussati  dilaksanakan dengan merenungkan sembilan sifat Ariya-Sangha


yaitu mereka yang telah bertindak baik, lurus, benar dan patut. Mereka patut menerima
pujaan, patut menerima sambutan, patut menerima persembahan, patut menerima
penghormatan, ladang menanam jasa yang tiada taranya bagi mahluk dunia.

Obyek silanussati  dilaksanakan dengan merenungkan sila atau kemoralan yang telah


dilaksanakan dengan sempurna, tidak tercela dan dipuji oleh para bijaksana serta
menuju pemusatan pikiran.

Obyek caganussati  dilaksanakan dengan merenungkan kebajikan berdana yang telah


dilaksanakan yang mampu mengurangi bahkan melenyapkan kekikiran.

Obyek devatanussati  dilaksanakan dengan merenungkan para dewa dan dewi penghuni


berbagai tingkat surga yang berbahagia serta sedang menikmati hasil perbuatan baik
yang telah dilakukannya.

Obyek marananussati  dilaksanakan dengan merenungkan, “Kematian pasti akan aku


alami. Badan yang telah menjadi bangkai akan dimakan oleh ulat, kutu, belatung, serta
binatang lainnya yang hidup dengan ini. Bahwa aku tidak pernah mengetahui saat,
tempat dan cara ku mengalami kematian. Aku juga tidak mengetahui kemana aku akan
terlahirkan kembali setelah kematian.”

Obyek kayagatasati  dilakukan dengan merenungkan 32 bagian tubuh mulai dari telapak


kaki sampai kepala atau sebaliknya semuanya diselubungi kulit yang berisikan penuh
kekotoran. Dalam badan terdapat rambut di kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging,
urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, saluran
usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak
kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak.

Obyek paling disukai dan dijadikan dasar latihan meditasi di berbagai tempat
adalah anapanasati  yang dilaksanakan dengan selalu merenungkan atau mengamati
saat nafas keluar maupun masuk secara alamiah. Pelaku meditasi tidak perlu mengatur
nafas. Ia hanya selalu berusaha menyadari saat nafas masuk dan keluar.

Obyek upasamanussati  dilakukan dengan merenungkan Nibbana (Bhs. Pali) atau


Nirwana (Bhs. Sanskerta) yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan,
putusnya lingkaran tumimbal lahir.

•  Empat appamañña  (keadaan tanpa batas)

Keempat keadaan tanpa batas ini sering disebut sebagai Brahma Vihara  (kediaman
luhur). Pelaksanaan metta-bhavana  dapat dilakukan dengan memancarkan pikiran cinta
kasih terhadap diri sendiri, orangtua, guru, teman-teman, bahkan kepada para
musuhnya. Namun, selain cara tersebut, ada pula yang menggunakan pengulangan
dalam batin kalimat “Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan pengulangan ini, si
pelaku adalah mahluk, semoga ia mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan
yang ia miliki. Demkian pula keluarganya adalah mahluk, semoga keluarganya
mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan mereka masing-masing. Lingkungan
juga mahluk, kiranya mereka semua mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma
masing-masing. Bahkan, para musuhnya pun mahluk, semoga mereka semua
berbahagia. Pengulangan kalimat cinta kasih ini akan dapat mengendalikan bahkan
melenyapkan kebencian yang mungkin saja dimiliki oleh pelaku meditasi.

Pelaksanaan karuna-bhavana  dilakukan dengan berusaha memancarkan pikiran penuh


welas asih serta belas kasihan kepada mereka yang sedang menderita, mengalami
kemalangan, sedih, sengsara dan sebagainya.

Pelaksanaan mudita-bhavana  dilakukan dengan berusaha memancarkan pikiran penuh


simpati kepada mereka yang sedang berbahagia atau bahkan lebih bahagia daripada
pelaku meditasi. Ia hendaknya merasakan kebahagiaan ketika melihat mahluk lain
berbahagia.

Pelaksanaan upekkha-bhavana  dilakukan dengan mengembangkan sikap tenang


seimbang ketika pelaku meditasi dalam kehidupan sehari-hari mengalami delapan
kondisi keduniawian akibat perubahan waktu yaitu suka – duka, dipuji – dicela, untung –
rugi, memperoleh pangkat – dipecat.

•  Satu aharapatikulasañña  (perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Penggunaan obyek aharapatikulasañña  ini dilakukan dengan merenungkan bahwa


makanan yang nikmat dilihat dan harum baunya, ketika dikunyah dan dimuntahkan
kembali akan menghilangkan nafsu makan. Begitu pula ketika makanan yang telah
ditelan dimuntahkan kembali. Apalagi ketika sisa makanan yang telah ditelan dan
dicernakan keluar dari tubuh berbentuk cairan (urine) dan kotoran (tinja). Perenungan
pada makanan ini akan membangkitkan pengertian bahwa makanan hanya untuk hidup
bukan hidup untuk makan. Tidak ada gunanya seseorang melekat dengan makanan. Ia
dapat membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan makan. Ia tidak lagi
makan secara berlebihan.

•  Satu catudhatuvavatthana  (analisa terhadap empat unsur dalam badan jasmani)


Pelaksanaan meditasi dengan obyek catudhatuvavatthana  dilakukan dengan
merenungkan bahwa dalam badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu :

1.
1. Pathavi-dhatu  (unsur tanah atau unsur padat) yaitu segala sesuatu yang
bersifat keras atau padat. Misal : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi,
dan lain-lain.
2. Apo-dhatu  (unsur air atau unsur cair) yaitu segala sesuatu yang bersifat
berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Misal : empedu,
lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
3. Tejo-dhatu  (unsur api atau unsur panas) yaitu segala sesuatu yang bersifat
panas dingin. Misal : Kondisi badan yang biasanya hangat, namun bisa
menjadi panas ketika sakit atau kedinginan di suatu tempat.
4. Vayo-dhatu  (unsur angin atau unsur gerak) yaitu segala sesuatu yang
bersifat bergerak. Misal : angin yang berada dalam perut atau usus, angin
yang keluar masuk sewaktu seseorang bernapas, dan lain-lain.

•  Empat arupa  (perenungan pada bukan materi)

Pelaksanaan kasinugaghatimakasapaññati  dilakukan setelah batin mencapai


kesempurnaan visualisasi kasina kemudian dilanjutkan dengan perenungan pada
ruangan tanpa batas dengan tetap melakukan visualisasi atau membayangkan “Ruangan.
Ruangan. Ruangan ini tidak terbatas” dan gambaran kasina yang telah dicapai digantikan
dengan ruangan tanpa batas ini.

Pelaksanaan akasanancayatana-citta  dilakukan dengan menembus mempergunakan


kesadarannya ruangan tanpa batas tersebut sambil merenungkan, “Tak terbataslah
kesadaran itu”. Pelaku meditasi secara terus menerus memikirkan penembusan ruangan
itu.

Pelaksanaan natthibhavapaññati  dilakukan dengan mengarahkan perhatian pada


kekosongan atau kehampaan serta tidak ada apa-apanya kesadaran terhadap ruangan
yang tanpa batas itu. Pelaku meditasi terus menerus merenungkan, “Tidak ada apa-apa
di sana. Semua hanyalah kekosongan”.

Pelaksanaan akincaññayatana-citta  dilakukan dengan merenungkan keadaan


kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan. Apabila pelaku meditasi telah
mencapai kondisi ini maka ia hendaknya mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-
unsur batin yang lain yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran
sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran
mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi.
14.4 Jenis Karakter/Watak

Setelah mengetahui satu persatu 40 obyek meditasi yang diuraikan di atas, maka pelaku
meditasi dapat memilih salah satu obyek yang sesuai. Pemilihan obyek meditasi dapat
berdasarkan kecepatan seseorang mampu mengkonsentrasikan pikiran menggunakan
obyek tersebut. Bisa juga, pemilihan obyek meditasi berdasarkan saran atau nasehat dari
orang yang dianggap lebih berpengalaman dalam meditasi. Namun, ada kalanya,
pemilihan obyek dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki pelaku meditasi. Dalam
Dhamma disebutkan ada beberapa sifat dasar manusia dan obyek meditasi yang
disarankan. Sifat dasar manusia tersebut adalah:

1. Orang yang dominan nafsu ketamakannya atau Raga-carita


2. Orang yang dominan kebenciannya atau Dosa-carita
3. Orang yang tidak pandai (dungu) atau Moha-carita
4. Orang yang kuat keyakinannya atau Saddha-carita
5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhi-carita
6. Orang yang suka melamun atau Vitakka-carita

Ciri-ciri orang yang mempunyai ragacarita  adalah melaksanakan segala sesuatu


berdasarkan nafsu ketamakan. Ia cenderung menyukai keindahan dan kecantikan, kagum
melihat suatu kebajikan walaupun hal tersebut kecil sekali, mudah melupakan kesalahan
orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka
yang mempunyai ragacarita  , maka obyek yang sesuai dalam melaksanakan meditasi
adalah ketidakindahan (asubha)  dan perenungan pada badan (kayagatasati)  .

Ciri-ciri orang yang mempunyai dosacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


kebencian. Ia cenderung suka marah, jengkel, iri hati, tidak senang melihat kesalahan
walaupun kecil, tidak mau perduli terhadap kebajikan orang lain walaupun besar, suka
bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain.
Untuk mereka yang mempunyai dosacarita  , maka obyek yang sesuai dalam
melaksanakan meditasi adalah empat appamañña  yaitu metta, karuna,
mudita  dan upekkha  serta empat kasina  (biru, kuning, merah dan putih).

Ciri-ciri orang yang mempunyai mohacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


kebodohan batin. Ia cenderung lemah batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka
khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas,
pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk
mereka yang mempunyai mohacarita  , maka obyek yang sesuai dalam melaksanakan
meditasi ialah anapanasati  yaitu berupaya mengetahui saat nafas masuk dan keluar
yang mengalir secara alamiah.

Ciri-ciri orang yang mempunyai saddhacarita  adalah melaksanakan segala sesuatu


tindakan berdasarkan keyakinan. Ia cenderung rendah hati, dermawan, jujur, suka
menemui orang-orang yang dianggap suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada
sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita  , maka obyek
yang sesuai dipergunakan dalam melaksanakan meditasi adalah
enam anussati  ( Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati,
caganussati,  dan devatanussati  ).

Ciri-ciri orang yang mempunyai buddhicarita  adalah melaksanakan segala sesuatu


berdasarkan sikap hati-hati. Ia cenderung merenungkan Tiga Corak
Umum (Tilakkhana)  yaitu ketidakkekalan, dukkha dan tanpa inti yang kekal. Ia sering
bermeditasi, bersedia mendengarkan saran atau nasehat orang lain, mempunyai kawan-
kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita  , maka obyek yang sesuai
dalam bermeditasi adalah perenungan pada kematian (marananussati)  , merenungkan
Nibbana (upasamanussati)  , merenungkan tentang makanan (aharapatikulasañña)  , dan
merenungkan empat unsur badan jasmani (catudhatuvavatthana)  .

Ciri-ciri orang yang mempunyai vitakkacarita  adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan


tergesa-gesa. Ia cenderung gugup, suka berteori, pikiran sering berkeliaran, tidak suka
bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita  , maka
obyek yang cocok untuk melaksanakan meditasi adalah anapanasati  atau perhatian
pada saat nafas dan keluar secara alamiah.
14.5 Rintangan Batin

Jika seseorang telah dapat menentukan posisi duduk yang nyaman serta obyek meditasi
yang sesuai, maka ia dapat mulai berlatih meditasi secara rutin di waktu dan tempat
yang sesuai. Dalam proses memusatkan perhatian, pelaku meditasi biasanya akan
berhadapan dengan rintangan batin yang menghalangi pencapaian tingkat konsentrasi
yang lebih baik. Dalam Dhamma disebutkan paling tidak terdapat lima rintangan batin
yang disebut sebagai Nivarana  yaitu:

1. Kamachanda  atau nafsu-nafsu keinginan


2. Byapada  atau kemauan jahat
3. Thina-middha  atau kemalasan dan kelelahan
4. Uddhacca-kukkucca  atau kegelisahan dan kekhawatiran
5. Vicikiccha  atau keragu-raguan
Untuk menaklukkan kelima rintangan batin tersebut, pelaku meditasi hendaknya
mengetahui penyebab timbulnya rintangan batin itu dan berusaha menghindarinya serta
melakukan usaha-usaha yang dapat melenyapkan kelima rintangan batin tersebut.

Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda)  akan timbul apabila seseorang berulang-ulang


memperhatikan obyek yang indah tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan
diri dari nafsu keinginan serta mampu menimbulkan kebijaksanaan, pelaku meditasi
hendaknya selalu berusaha melaksanakan meditasi menggunakan obyek yang tidak
indah (asubha)  atau menjijikkan serta berusaha menghindari obyek-obyek yang mampu
membangkitkan nafsu atau merangsang. Ia harus berusaha menguasai pikiran dan
mengendalikan indria-indrianya. Ia hendaknya senantiasa berbicara tentang
kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan dari nafsu-
nafsu.

Kemauan jahat (byapada)  akan timbul apabila seseorang secara berulang-ulang


memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian tanpa disertai
kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat tersebut serta menumbuhkan
kebijaksanaan, ia hendaknya selalu melaksanakan meditasi cinta kasih, selalu ingat
bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatan atau kamma  sendiri.
Mereka yang hidup berbahagia adalah karena mereka mempunyai kebajikan yang cukup
untuk mendukung kebahagiaan mereka sendiri. Sedangkan, mereka yang hidup
menderita adalah karena kamma buruk yang mereka lakukan dan miliki.

Kemalasan dan kelelahan (thina-middha)  akan timbul apabila seseorang berulang-ulang


selalu mengikuti rasa segan, rasa malas, rasa lelah, mengantuk sesudah makan, tanpa
disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan serta
menumbuhkan kebijaksanaan, ia hendaknya senantiasa merenungkan obyek cahaya
secara maksimal. Ia hendaknya selalu melihat penderitaan di dalam ketidakkekalan. Ia
hendaknya selalu merenungkan Ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari.

Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca)  akan timbul apabila seseorang


berulang-ulang selalu mengikuti ketidaktentraman pikiran tanpa disertai kebijaksanaan.
Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran tersebut serta menumbuhkan
kebijaksanaan, ia hendaknya selalu mempelajari dan memahami Kitab Suci Tipitaka. Ia
harus selalu berusaha melaksanakan kemoralan (sila)  dengan sempurna.

Keragu-raguan (vicikiccha)  akan timbul apabila seseorang berulang-ulang selalu


memperhatikan sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan tanpa disertai
kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan itu dan menumbuhkan
kebijaksanaan, ia hendaknya selalu meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan
Sangha.

Anda mungkin juga menyukai