1. ARCA BUDDHA
Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang penghormatan
Guru Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati dan Beliau telah
mengajarkan Dharma kepada dewa dan manusia.
2. STUPA
Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama Buddha Stupa
salah satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di jumpai di candi
Borobudur.
Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu
kalangan bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat Buddha, stupa menjadi
tempat menyimpan abu Guru Agung Buddha. Setelah wafat lalu dan dikremasi. Setelah
dikremasi, abu-Nya disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.
Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil, roda-rodanya
akan terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula dengan Roda
Dhamma, semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk
pertama kalinya, Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua
makhluk terbebas dari Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran
ajaran Guru Agung Buddha terus berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu,
roda Dhamma juga dilambangkan sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak
tahuan dan kegelapan batin dalam diri manusia. Simbol ini juga menggambarkan
khotbah HGuru Agung Buddha yang pertama kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath,
India.
Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara Buddhis. Secara
garis besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan seluruh jari kaki yang
sama panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki ini memperlihatkan tanda-
tanda, baik itu Dharmachakra atau Chakra di tengah telapak kaki, maupun menunjukkan
tiga puluh dua (32), seratus delapan (108), atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-
tanda istimewa Guru Agung Buddha. Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan
sebagai perlambangan atas diri Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru
Agung Buddha dalam bentuk patung manusia (Buddha Rupang) dibuat.
Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran Buddha dalam
mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau mempraktikan ajaran
Buddha.
7. BENDERA BUDDHIST
Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar tubuh Buddha
saat bermeditasi.
a. Biru berarti bakti
b. Kuning berarti bijaksana
c. Merah berarti cinta kasih
d. Putih berarti suci
e. Jingga berarti semangat
Diantara empat hari raya tersebut yang lebih dikenal pada umumnya adalah hari raya
Waisak Selain merupakan hari libur nasional, hari raya Waisak juga dirayakan oleh umat
Buddha diseluruh dunia. Hari Raya Waisak jatuh pada purnama di bulan Mei atau Juni
Hari raya Waisak juga dirayakan di Vihara, Cetiya, Arama, Mahavihara, Candi, dan
tempat lainnya Hari raya Waisak memperingati tiga peristiwa yang sangat penting.
2. Pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha pada tahun 588 SM di Hutan Gaya.
Agama Buddha diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Buddha adalah orang yang telah
mencapai kesempurnaan. Nama Buddha adalah gelar atau orang suci yang telah
mencapai penerangan sempurna. Semua orang bisa menjadi Buddha dengan catatan
telah melenyapkan nafsu keinginan (Tanha) dan kekotoran batin (Kilesa).
Buddha mengajarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Tujuan mengajar Dhamma
agar semua makhluk terbebas dari penderitaan, Dhamma artinya ajaran kebenaran atau
ajaran Buddha yang patut kita laksanakan dan praktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hari raya Asadha adalah hari Dharma. Hari raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan Juli atau Agustus. adapun peristiwa atau kejadian penting yang perlu diperingati
di bulan Asadha diantaranya:
Hari Kathina dikenal sebagai hari Sangha. Sangha adalah persaudaraaan para bhikkhu
dan bhikkhuni. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni adalah para siswa Buddha yang telah
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni tinggal di Vihara.
Sebelum hari kathina tiba para bhikkhu menjalani masa vassa. Saaat masa vasa para
bhikkhu tinggal di vihara tertentu selama tiga bulan untuk belajar dharma dan
bermeditasi
Hari raya kathina jatuh pada bulan Oktober. Pada hari raya kathina umat Buddha
berkesempatan memberi dana kepada Sangha. Dana yang diberikan berupa : Jubah,
obat-obatan, makanan, tempat tinggal (Kuti). Dalam memberi kita harus tulus. Memebri
pada hari raya Kathina adalah perbuatan bajik yang besar. Dengan melatih untuk
member atau berdana sama dengan melatih kemoralan hati kita. Tujuan berdana adalah
untuk melatih pelepasan dan mengikis kemelekatan.
4. Semua bhikkhu yang hadir tahbiskan oleh Buddha sendiri dengan mengucapkan
Ehi-Bhikhu.
Tiga hal penting yang harus kita ingat dari makna merayakan hari magha, diantaranya:
“Jangan melakukan perbuatan jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan
pikiran, inilah ajaran semua Buddha”.
Tempat Ibadah
Arama
Arama memiliki ruang Dhammasala, Uposatha (tempat penahbisan bhikkhu), Kuti
(tempat tinggal para bhikhu/bhikhuni), Perpustakaan,dan Taman yang luas.taman ini
biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka.
Vihara
Vihara memiliki ruang Dhammasala, Kuti(tempat tinggal para
bhikhu/bhikhuni),Perpustakaan.
Cetiya
Cetiya memiliki altar dan ruang Dhammasala/bakti sala.
Pertemuan ke 2
Zaman Kerajaan
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad
ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama
kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali
yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-
7 sampai ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat
pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang
sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara
serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang
mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda,
dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
Masa Kemerdekaan
Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan
Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama
Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha
semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke
Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat
Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan
Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat
Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga
membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1
juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta
dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya
menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang
dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak
pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh
pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu
dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak
diwakili dalam Departemen Agama.
Pertemuan ke 3
Pengertian Tiratana
Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan
‘ratana/ratna’. Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga
Mustika, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha.
Ratana (Ratna) adalahpermata, mustika yang tidak ternilai harganya dan yang tak ada
bandingnya. Tiga Mustika ini penting bagi umat Buddha karena dengan adanya tiga
mustika ini maka pembebasan diri dari penderitaan dapat dicapai.
Pembebasan dapat dicapai bukan karena kita telah berlindung kepada Tiratana dalam
pengertian biasa. Berlindung pada Tiratana dengan mengucapkan Tisarana hanyalah
merupakan langkah awal dalam menyatakan tekad, yang selanjutnya dengan
melaksanakan dhamma yang diajarkan oleh Sangha; setelah mendengar Dhamma,
seseorang berusaha mengerti makna Dhamma itu dan kemudian berusaha
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
1). BUDDHA-RATANA (mustika Buddha), yaitu Sang Buddha sebagai guru agung
junjungan kita, yang telah memberikan ajaran-Nya kepada umat manusia dan para dewa
agar dapat mencapai kebebasan mutlak, Nibbana.
2). DHAMMA-RATANA (mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma sebagai ajaran guru
suci junjungan kita Sang Buddha yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke
jalan yang benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing merekan mencapai
Nibbana.
3. Savaka Buddha atau Ariya Puggala, adalah orang yang mencapai Penerangan
Agung (Bodhi) karena belajar dari seorang Samma Sambuddha. Biasa disebut juga
arahat. Ada Arahat yang dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain, sehingga
orang lain juga mencapai kesucian.
Kebajikan-kebajikan Buddha
Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.
1. Maha parisudhi, atinya Maha Suci karena terbebas dari semua kekotoan batin
denagan usahanya sendiri. Dengan kesucian ini maka roda samsara dapat dipatahkan
dan tidak ada lagi kelahiran kembali.
3. Maha Karuna, adalah cinta kasih dan maha kasih sayang, berkaitan dengan
keccendrungan Sang Buddha untuk meringankan dan akhirnya melenyapkan
penderitaan mahluk-mahluk.
Selain sifat-sifat tersebut diatas, Sang buddha memiliki sembilan macam kebajikan
lainnya, yaitu :
1. Araham, manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin, karena melenyapkan
semua Asava deengan pencapaian pengetahuan Asavakkhayanana, yakti pengetahuan
yang dapat melenyapkan kekotoran batin, karena telah meleyapkan kekotoran batin
yang sangat halus sekali.
7. Sattha devamanussanam, guru suci para dewa dan manusia, yang mengajarkan
Dhamma selain kepada manusia juga kepada dewa.
9. Bhagava, yang patut dimuliakan, yang dipuja oleh dewa dan manusia karena
kebijaksanaannya.
1. Pariyati, atau ajaran yang dirumuskan. Hal ini berarti semua ajaran Agam Buddha
terdapat dalam kitab Suci Tipitaka.
2. Hetu, atau kondisi, sebab yang bergantung, pengetahuan analisa tentang Dhamma
yang bermakna, dan pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan.
3. Guna, moral atau perbuatan berkualitas, yang terdapat pada perenungan tentang
kebajikan Dhamma.
Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut
dalam ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang
berfenomena maupun tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau
dengan kata lain segala sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala
sesuatu yang ada, adalah disebut sebagai Dhamma.
Dhamma juga berarti kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, ajaran Sang Buddha.
Istilah Dhmma mempunyai arti yang sanga luas, mencakup tidak hanya benda atau hal
yang bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat,misalnya yang mutlak (nibbana),
yakni:
2. Asankhata Dhamma, keadaan yang tidak bersyarat yakni tidak dilahirkan / tdak
muncul, tidak termusnah, ada dan tidak berubah.
Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma (dharma) tersebut, kita harus
melaksanakannya secar bertahap. Ada tiga tahap pelaksanaan Dhamma, yaitu :
Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah Parinibbana, namun Dhamma
mulia ini telah Beliau wariskan seluruhnya kepada uamt manusia, dalam bentuk yang
utuh. Sekalipun Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis; tentang
ajaran-Nya, tetapi para siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau dengan
jalan menghapal dan mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.
Dhamma akan melindungi mereka yan mempraktekkan Dhamma. Bagi seseorang yang
mempraktekkan Dhamma, ia tak akan jatuh ke alam penderitaan. Sesuai dengan
Dhamma, bila kita mencari kebahagiaan maka hendaknya kita meninggalkan kemoralan
(sila), antara lain melakanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
Kebajikan-Kebajikan Dhamma
3. Akaliko, tidak lapuk oleh waktu, akan selalu ada walaupun tidak ada Buddha dan
telah dilupakan manusia.
6. Paccatam veditabbo vinnuhi, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin
masing-masing. Dhamma dapat diselami oleh para bijaksana yang telah menjalankan sila
yang benar dan mencapai pandangan terang dalam praktek meditasi.
Setiap orang dapat mempelajari dhamma dengan bebas, memikirkannya dengan tenang
dan bijaksana, dan boleh menerima bagian-bagian yang sesuai dengan pendapatnya
masing-masing, serta boleh menolak bagian-bagian yang tidak dipahami. Buddha
Dhamma tidak memaksa orang untuk percaya secara membabi buta. Semangat yang
menjiwai Buddha Dhamma adalah semangat pemikiran rasional.
2. Ariya Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu yang telah mencapai ariya puggala
(mahluk ariya). Ariya Puggala adalah orang yang telah mencapai salah satu tingkat
kesucian dari empat tingkat kesucian, yang didasarkan pada kualitas pencapaian
penyucian batin, yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.
Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah
mencapai kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang
bhikkhu yang brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-
peraturan kebhikkhuan sidang, dll.
Sangha adalah satu, persaudaraan tingkat dunia, yang kesebuanya berpaokan kepada
Dhamma dan Vinaya. Sangha adalah persaudaraan yang agung, bijak, suci, yang menjadi
panutan umat awam, yang mendamaikan segala permasalahan, yang menjadi kekuatan
dari segala jenis kebaikan, dan kemurahan hati.
Sangha adalah pewaris Ajaran Yang Mulia Buddha Gotama dan berkewjiban untuk
membimbing mereka yang belum mengerti hakekat hidup yang sebenarnya.
Kebajikan-kebajikan Sangha
Sangha adalah perkumpulan siswa Sang Buddha, baik siswa ariya maupun yang masih
memerlukan latihan Dhamma.
a. Jubah (Civara), yaitu jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tak
bernilai ekonomi (pamsukula).
b. Makanan yang diterima sebagai dana (pindapata), yaitu makanan yang
secukupnya untuk mengingatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan
ketenangan batin.
c. Tempat tinggal (Sesana), yaitu berdiamatau bertempat tinggal dalam tempat yang
terlindung dengan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.
d. Obat-obatan (bhesajja), yaitu yang digunakan sesuai petunjuk dari dokter dan
yang selaras dengan Vinaya, yang dibuat dari bahan-bahan yang tak tercela.
Tugas memelihara keutuhan ajaran Sang Buddha adalah berada di tangan Sangha,
demikian juga dalam penyebaran Dhamma adalah terutama dilaksanakan oleh Sangha.
Karena itu dapat dikatakan bahwa Sangha adalah panutan kita, sebagai wakil Sang
Buddha dari masa ke masa. Dan setiap orang yang menjadi bhikkhu, dengan sendirinya
menjadi anggota Sangha.
Sangha pertama di dunia mulai menyebarkan dhamma setelah sang Buddha mempunyai
60 orang Bhikkhu yaitu beberapa waktu setelah khotbah pertama di Isipatana pada
bulan Asadha, tahun 588 sebelum masehi
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu
kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita
menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak
berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah
mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili)
di Rajagaha.
Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti
tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir:
"Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Konsili II: Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat
hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di
mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok
Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang
ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang
menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama
Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Konsili III: Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak
membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan
gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud
meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri
keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh
Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta
Dhamma ke negeri-negeri lain.
Konsili III: Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.
Konsili IV: Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah
lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang
Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk
pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian
Dhamma Vinaya.
Tidak sekedar membaca, umat Budha juga harus terus membaca kitab Tipitaka, dikaji,
dan dipahami sebagai landasan kehidupan sehari-hari.
"Peserta para umat dari pelosok tanah air dan Bikhu mancanegara antara lain Singapura,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Mereka tidak hanya ikut membaca
(mendaraskan) namun juga menjalankan delapan sila (pantangan) puasanya sang Budha,
seperti tidak makan setelah jam 12.00, tidak bernyanyi, tidak berhubungan suami istri,
tidak berkosmetik dan hidup sederhana," papar Bante Pannavaro di sela kegiatan.
Hari raya Asadha Agung, lanjutnya, adalah waktu ketika Sang Buddha Gautama pertama
kali mengajarkan ajaran Dhamma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana
Penares India Kuno.
"Hari ini adalah pembukaan pembacaan kitab suci Tripitaka. Tapi tentu saja tidak bisa
khatam karena jilid yang sangat tebal, mencapai 45.000 bab. Setiap tahun kami hanya
bisa menyelesaikan 10 sutera (10 khotbah Budha) dalam bahasa othentik, bahasa Phali,"
imbuhnya.
"Kita tahu bangsa kita bangsa yang besar majemuk, yang terdiri dari beragam suku ras
dan agama. Maka salah satu dalam memaknai esensi agama diharapkan umat dapat
memahami kitab suci agama itu secara baik benar dan utuh," ungkap Chaliyadi.
Dengan memahami ajaran-ajaran agama yang baik dan benar, keyakinan dalam konteks
Tripitaka, maka kerukunan dan kedamaian bangsa Indonesia bisa terjaga.
"Semua agama mengajarkan bagaimana hidup berdampingan satu dengan yang lain.
Kita diharapkan selalu menjaga intern agama itu sendiri, antar umat beragama dan umat
beragama dan pemerintah. Karena itu, kontek negara yang pluraris ini hidup
berdampingan menjadi sebuah kebutuhan agar kita selalau menjaga keutuhan bangsa
Indonesia," paparnya.
Digelar selama tiga hari, Jumat - Minggu (12-14/07) puncak kegiatan Tripitaka Chanting
akan digelar prosesi agung Puja Bhakti di pelataran Candi Borobudur.
4.4 Salah satu isi Sutta
CULAGOPALAKA SUTTA
[225] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam
di negeri Vajji di Ukkacela di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau berbicara kepada para
bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi
berkata demikian:
2. Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi suku Magadha yang tolol. Di
bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di
sebelah sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di
negara Videna di tempat yang tidak ada arungannya. Ketika ternak-ternak itu
bergerombol bersama di tengah arus Sungai Gangga, mereka menemui malapetaka dan
bencana. Mengapa demikian? Karena pengembala Magadha yang tolol itu, di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di
sebelah sini maupun di sebelah sana, menggiring ternaknya menyeberangi pantai
seberang di negara Videha di tempat yang tidak ada arungannya.
3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
tidak terampil di dunia ini dan di dunia lain, tidak terampil di dalam alam Mara dan apa
yang berada di luar alam Mara, tidak terampil di dalam alam Kematian dan apa yang
berada di luar alam Kematian – hal itu akan membawa kerugian dan penderitaan untuk
kurun waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan
para petapa dan brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.
4. “Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi Magadha yang bijaksana. Di
bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga
di sebelah sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai
di negara Videha di tempat yang ada arungannya. Dia membuat sapi-sapi jantan, para
pejantan dan pemimpin ternak itu masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan melawan arus
Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Kemudian, dia
membuat ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan masuk sesudah itu. Mereka
juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia
membuat sapi betina muda dan sapi jantan muda masuk sesudah itu. Mereka juga
membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia
membuat anak-anak ternak dan ternak-ternak yang lemah masuk sesudah itu. Mereka
juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang.
Pada waktu itu, ada anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, namun dengan
dorongan lenguhah induknya, ia juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai
dengan selamat ke pantai seberang. Mengapa demikian? Karena pengembala Magadha
yang bijaksana itu, [226] di bulan terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah
memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah sana, mengiringi
ternaknya menyebrangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang ada
arungannya.
5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam Mara dan apa yang berada
di luar alam Mara, terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar alam
Kematian – hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun waktu
yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa
dan brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.
6. “para bhikkhu, sebagaimana sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu
membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula
bhikkhu-bhikkhu yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan,
yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah
menaruhkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu
dumadi, dan telah sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir – dengan membelah
arus Mara mereka telah sampai dengan selamat ke pantai seberang.
7. “Sebagaimana ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan itu membelah arus
Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu –
yang dngan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah akan muncul lagi secara
spontan [di Alam Kediaman Murni], dan di sana mereka mencapai Nibbana akhir tanpa
pernah kembali dari alam itu. Dengan membelah arus Mara, mereka akan selamat
sampai ke pantai seberang.
8. “Sebagaimana sapi betina muda dan sapi jantan muda membelah arus Sungai Gangga
dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dengan
hancurnya tiga belenggu dan dengan melemahnya nafsu keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin, merupakan Yang-Kembali-Sekali-Lagi, yang kembali sekali lagi ke
dunia ini untuk mengakhiri penderitaan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan
selamat sampai ke pantai seberang.
9. “Sebagaimana anak sapi dan ternak yang lemah membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang dengan hancurnya
tiga belenggu, merupakan Pemsuk-Arus, yang tidak lagi terkena kejatuhan, pasti menuju
[ke pembebasan], mengarah ke pencerahan-dengan membelah arus Mara mereka juga
akan selamat sampai ke pantai seberang.
10. “Sebagaimana anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, karena didorong
oleh lenguhan induknya, juga membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai ke
pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang merupakan para pengikut-Dhamma
dan pengikut-keyakinan-dengan membelah arus mara mereka juga akan selamat sampai
ke pantai seberang.368
11. “Para bhikkhu, aku [227] terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam
alam Mara dan apa yang berada di luar alam Mara, terampil di alam Kematian dan apa
yang berada di luar alam Kematian. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan
kebahagiaan untuk kurun waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka
harus mendengarkan aku bdan menaruh keyakinan padaku.”
12. Itulah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Setelah Yang tertinggi mengatakan hal
itu, Guru pun selanjutnya mengatakan:
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi
18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan
sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih
berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh).
Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini
dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di
Indonesia dan negara-negara lain.
Kita sebagai umat buddha, yang paling umum harus kita ketahui adalah kitab suci
agama buddha, Ajaran-ajaran/khotbah-khotbah Sang Buddha semuanya di rangkum
dalam satu bagan yaitu : Tipitaka, yang artinya tiga keranjang.
Kitab suci agama Buddha pada zaman dahulu di tulis dalam bahasa pali (bahasa yang di
gunakan sehari-hari di India sebelum masehi) di daun lontar, daun lontar masih
tersimpan utuh di vihara alu, Srilangka, sekarang banyak beredar buku bacaan tipitaka
saduran dari daun lontar bisa di dapat di toko-toko buku atau vihara.
Agar lebih mudah di ingat/pelajari, buatlah skema Tipitaka di atas sebuah karton dan
tempelkan di dinding rumah/kamar anda.
1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri (terdiri dari
5 kitab)
a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara
2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha (terdiri dari 5 Nikaya)
2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)
3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)
3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha (terdiri
dari 7 kitab )
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana
Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah ditunjukkan oleh Sang Buddha melalui
Jalan Mulia Berunsur Delapan atau disebut juga sebagai Jalan Tengah (Majjhima
Patipada), karena dalam mempraktekkan Buddha Dhamma, Sang Buddha
menasehatkan kepada para siswanya untuk mengikuti Jalan Tengah dan
menghindarkan diri dari Dua cara ekstrim yang salah, yaitu :
Mencari kebahagiaan dengan cara ekstrim itu tidak akan menghasilkan
kebahagiaan sejati, cara itu tidak akan dapat menghentikan daur tumimbal lahir
yang terus menerus, yang berarti tidak dapat melenyapkan penderitaan bahkan
menimbulkan penderitaan-penderitaan baru.
Disebut ‘Jalan Mulia’ karena bila dilaksanakan dengan benar, maka akan
menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia., disebut ‘ Berunsur Delapan ‘,
karena terdiri dari delapan unsur/ruas/jalur yang menuntun seseorang menuju
tercapainya Nibbana.
“Di antara semua jalan, maka "Jalan Utama Berunsur Delapan" adalah yang
terbaik; di antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran Mulia" adalah
yang terbaik.
Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan
di antara semua mahluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya 'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada
kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara
(penggoda).
Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini
pula yang kutunjukkan setelah aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-
duri (kekotoran batin).
Jalan Utama Berunsur Delapan sering kali dibagi menjadi tiga bagian:
· Kemoralan (Pali: Sīla)
· Konsentrasi (Pali: Samädhi)
“Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau jalan
mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?
Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan,
tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan
benar, setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran benar,
konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Meditas
(Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-dhamma ini
dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna)
— Culavedalla Sutta
Kebijaksanaan (Pañña)
Pengertian Benar
Pengertian Benar (samma-ditthi) yang merupakan kunci utama agama
Buddha, Tipitaka menjelaskan
· Hukum Sebab-musabab (Paticcasamuppada)
”
· Hukum Kamma
Pemikiran Benar
Pengertian Benar mengakibatkan Pemikiran Benar (sammä-sankappa). Karena itu, faktor
kedua dari jalan utama ini, mempunyai dua tujuan:
· mengembangkan pikiran-pikiran baik. Pikiran baik terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Nekkhamma; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri
sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
2. Abyapada; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
3. Avihimsa; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau
kebengisan.
Kemoralan (Sīla)
Ucapan Benar
Ucapan Benar (sammä-väcä) adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã),
memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar / caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang
tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalãpã). Berikut syarat untuk sebuah ucapan
dikategorikan sebagai ucapan benar.
“ Pangeran, demikian juga dengan ucapan atau kata-kata semacam itu yang
diketahui oleh Tathagata bukan mewakili apa keadaannya tidaklah sesuai dengan
kebenaran dan tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan mana adalah tidak
disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain. Tathagata tidak mengatakan
ucapan-ucapan semacam itu.
Ucapan semacam itu yang diketahui oleh Sang Tathagata mewakili apa
keadaannya, sesuai dengan kenyataan, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan,
juga ucapan ini adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain,
maka ucapan-ucapan itu tidak diucapkan oleh Tathagata.
Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, tidaklah mewakili keadaan, tidak
cocok dengan realita dan tidak berhubungan dengan kebaikan tetapi ucapan itu
disetujui oleh orang-orang lain : ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang
Tathagata.
Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, mewakili keadaannya sesuai dengan
realita, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan ini disenangi dan
disetujui oleh orang-orang lain; ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang
Tathagata.
Perbuatan Benar
Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai "tindakan benar".
Praktisi (dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak benar
secara moral, tidak melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun
orang lain. Tipitaka menjelaskan:
Menahan diri dari pembunuhan, menahan diri dari pencurian, menahan diri dari
hal-hal yang berhubungan dan melakukan kegiatan seksual.:
Ada kasus di mana seorang murid dari Yang Mulia, meninggalkan penghidupan
tidak jujur, hidup dengan penghidupan benar:
1. Bisnis Senjata
2. Bisnis Manusia
3. Bisnis Daging
5. Bisnis Racun
Konsentrasi (Samädhi)
Daya-upaya Benar
Perhatian Benar
Perhatian Benar (sammā-sati), juga dapat diartikan sebagai "Ingatan Benar" atau
"Kesadaran Benar". Dengan demikian penganut agama Buddha harus senantiasa
menjaga pikiran-pikiran mereka terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan
pikiran. Mereka harus waspada dan berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau
berkata-kata karena kelalaian atau kecerobohan. Tipitaka menjelaskan hal ini
demikian:
(ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, &
perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan
dengan dunia.
(iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar,
perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan
dengan dunia.
(iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun,
sadar, perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang
berhubungan dengan dunia.
6.1 Pengertian
6.2 Pengelompokkan
Empat Kebenaran Ariya tersebut adalah:
Samudaya adalah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang
menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan
adalah taṇhā, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat
diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang
memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si
pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum
untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan
cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan,
maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan
Nibbana.
Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus
ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk
menghentikan dukkha, yakni melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Menuju
Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
o Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan
Pikiran Benar (sammä-sankappa)
o Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar
(sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
o Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma),
Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Lobha adalah keserakahan, menginginkan barang milik orang lain, bisa juga dikatakan
tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, ingin terus-menerus mencari kesenangan-
kesenangan, apapun caranya akan ditempuh demi keinginannya terpenuhi, keinginan
pada kepuasan indera (mata, telinga, mulut, hidung, kulit). Kemelekatan dan kerinduan
atau kesenangan terhadap kenangan yang indah, terhadap seseorang. Kemelekatan dan
kerinduan atau keinginan untuk tetap cantik atau gagah, keinginan untuk menjadi
terkenal, dan lain-lain yang tergolong keinginan untuk memiliki sesuatu dan tidak mau
melepaskan segala yang dimiliki.
Dosa adalah kebencian, tidak suka terhadap seseorang, tidak suka kepada diri sendiri,
cemburu pada seseorang, iri hati/sirik atas keberhasilan yang dicapai oleh orang lain,
curiga, takut, cemas, was-was, dendam kesumat, serta hal-hal lainnya yang tergolong
keinginan untuk menolak sesuatu.
Moha adalah kebodohan batin. Pengertian bodoh disini bukan bodoh karena tidak bisa
menulis, bukan bodoh karena tidak bisa membaca, tetapi bodoh yang dimaksud adalah
bodoh batinnya. Ia tidak bisa membedakan perbuatan baik yang harus dilakukan dan
perbuatan jahat yang semestinya ditinggalkan. Perbuatannya cenderung pada hal-hal
yang jahat. Karena bodoh batinnya, ia menganggap kejahatan wajar dilakukan, termasuk
juga dalam kebodohan batin ini adalah malas melakukan kebajikan, sifat egois, gengsi,
sombong, keangkuhan, kemunafikan.
Tiga akar kejahatan ini sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk-makhluk, tidak hanya
dalam kehidupan ini akan membuat penderitaan, tetapi juga dalam kehidupan yang
akan datang akan mengkondisikan terlahir ke alam-alam rendah/derita. Di dalam
Itivuttaka dijelaskan bahwa sebagian besar makhluk-makhluk meninggal dan lahir di
alam-alam rendah/sengsara yaitu alam peta/setan, neraka dan binatang karena kekuatan
dari lobha, dosa, dan moha.
Dengan mengerti bahwa betapa bahayanya tiga akar kejahatan ini, maka mari kita
berusaha untuk mengikisnya. Kalaupun kita belum mampu mengikisnya, setidaknya kita
berusaha untuk menekan agar jangan sampai tiga akar kejahatan ini terus berkembang
7.1 Pengertian
Tilakkhana atau Tiga Corak Umum atau kadang disebut Tiga Corak Kehidupan
yaitu anicca, dukkha dan anatta, merupakan tiga corak umum yang ada di setiap segala
sesuatu atau fenomena yang terbentuk dari perpaduan unsur (berkondisi) yang ada di
alam semesta ini, termasuk makhluk hidup. Ciri ini merupakan salah satu bentuk dari
Hukum Kebenaran Mutlak (Paramatha-sacca) karena berlaku dimana saja dan kapan saja.
Oleh karena itu, Tilakkhana merupakan corak yang universal.
(Dhammapada 277)
(Dhammapada 278)
(Dhammapada 279)
( Dhammapada XX ; 277 )
Satu kata yang sederhana ini, Anicca (ketidakkekalan), merupakan inti dari ajaran
Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan
tanpa inti (anatta).
Sabbe sankhara anicca berarti segala sesuatu yang berkondisi (terbentuk dari perpaduan
unsur) akan mengalami perubahan (tidak kekal). ( Majjhima Nikaya I : 228)
Anicca (Ketidak-kekalan) merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku
bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai
atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu
fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari
waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran,
bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh
menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.
Semua fenomena yang ada didalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang
tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses,
yaitu: Uppada (timbul), kemudian Thiti (berlangsung), dan
kemudian Bhanga (berakhir/lenyap). Tidak ada sesuatupun yang tetap sama selama dua
saat yang berturut-turut walaupun dalam perbedaan detik. Hukum anicca bersifat netral
dan tidak memihak. Karena segala sesuatu merupakan hasil dari sebab-sebab dan
kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga terus-menerus berubah.
7.3 Sabbe Sankhara Dukkha
DUKKHA ( Penderitaan )
Dukkha berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan.
Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Jadi kata ”duh-kha”
berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban.
Sabbe sankhara dukkha berarti segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan
unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau
penderitaan.
Mengapa segala fenomena tidak memuaskan dan menimbulkan beban berat atau penderitaan?
Hal ini dikarenakan segala fenomena tersebut mengalami perubahan, tidak kekal. Dan ketika
kita tidak bisa memahami dan menerima bahwa segala fenomena selalu mengalami
perubahan, tidak kekal, maka timbul perasaan ketidaksukaan, ketidakpuasan pada diri kita
dan akhirnya menimbulkan beban berat atau penderitaan.
(Panca-Khandha). "
Didalam Ajaran Empat Kebenaran Mulia, pengertian tentang Dukkha tidak terbatas pada
penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak
sempurnaan atau ketidak abadian.
Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup
sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah
Dukkha. Tetapi hendaknya dimengerti bahwa setiap kegembiraan bahkan dalam keadaan
Jhana yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan
duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.
Tidak seperti ciri keberadaan atau corak kehidupan yang lain seperti Anicca dan Anatta yang
mudah diterima secara obyektif, Corak Penderitaan (Dukkha Lakkhana) ini sulit diterima
begitu saja oleh manusia, karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala
sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan.
Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:
1. Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami
manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya.
Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang
yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk
dalam kelompok Dukkha ini.
3. Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau
berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok
kemelekatan (Pancakkhandha).
7.4 Sabbe Sankhara Anatta
( Dhammapada XX ; 279 )
Anatta adalah kata bahasa Pali yang berasal dari awalan 'an' yang sering diterjemahkan
sebagai tidak, bukan atau tiada. 'atta' berarti ‘inti’, ‘diri sejati’ ‘roh’ atau jiwa. Dalam
bahasa Sanskerta disebut juga sebagai anatman. Jadi kata ”an-atta” berarti ‘‘bukan diri
sejati” atau dalam konteks penulisan ini , anatta akan diterjemahkan sebagai “Tiada inti
diri” .
Kata atta mempunyai makna yang luas dan dapat ditemukan dalam bidang ilmu
psikologi, filsafat, maupun peristilahan sehari-hari, contohnya, atta dapat berarti “diri”,
“mahkluk”, “ego”, “jiwa”, “roh”, “aku” atau “kepribadian”. Namun sebelum
membahas tentang apa itu atta, maka perlu melihat berbagai arti atta yang ditelaah dari
sudut pandang Buddhis maupun non-Buddhis, agar kita dapat memahami dengan tepat,
apa yang ditolak Sang Buddha ketika Beliau membabarkan doktrin anatta, yang mana Ia
menolak keberadaan atta.
· Sesuatu yang memberi kehidupan kepada suatu makhluk hidup; atau bagian atau
dimensi dalam makhluk hidup, yang merupakan inti, tidak berbentuk; atau sesuatu yang
tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun
menciptakan individu.
· Jiwa dikenal dengan banyak nama: jiva (Jain), Atman (Hindu), Ruh (Islam), Monad,
Ego, Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi Diri, Diri yang tidak dapat
dipahami, batin, atau bahkan pikiran.
· Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego,
jiwa, atau substansi pokok yang bersifat kekal.
2) Dalam The Truth of Anatta oleh Dr. G.P.Malalasekera:
· Atta adalah diri suatu keberadaan metafisik yang halus, jiwa. Berbagai definisi atta
atau jiwa sebagai diri, ego, jiwa, atau pikiran, sejalan dengan bidang psikologi. Karena itu
perlu juga melihat definisi atta dari sudut pandang ini.
Sang Buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal,
semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-
jasmani ( Pancakkhandha ) yang senantiasa berubah.
Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran adalah lima
khandha, yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.Bila khandha itu memiliki
atta, maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita, karena
semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya, "Semoga khandha-ku begini dan begitu."
Tetapi, karena khandha itu anatta, maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu dan
oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi.
Misalnya, " Semoga khandha-ku begini dan bukan begitu."
Ajaran ini menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua
mahluk, khususnya manusia. Dengan menganalisis dan merenungkan Paticca
Samuppada inilah, Siddhartha Gautama (yang pada saat itu masih menjadi Petapa)
akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.[1]
Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga
melihat Paticcasamuppada.
“ ”
Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so
paticcasamuppadam pasati.
— Maha-hatthipadopama Sutta: Majjhima Nikaya 28
Pemahaman akan Paticcasamuppada yang sederhana adalah:
12 (dua belas) Sebab-musabab (Nidana) yang ada dalam setiap mahluk, khususnya
manusia dapat dikategorikan sebagai berikut:
hanya point utama yaitu dua belas mata rantai hukum paticcasamuppada.
Babi melambangkan sifat moha atau kebodohan batin kita. Ayam melambangkan sifat
lobha atau keserakahan kita dan ular melambangkan sifat dosa atau kebencian,
kemarahan, atau sifat penolakan kita.
Itulah sifat dasar kita yang menyebabkan kita terus menerus menderita dalam kehidupan
yang berulang ulang.
Moha atau kebodohan batin adalah ketidakmampuan kita untuk membedakan mana
yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Moha membuat
batin kita gelap atau bisa disebut juga Avijja (kegelapan batin).
Anda dapat melihat pada diagram hukum Paticcasamuppada disebelah kanan agak
keatas dari lingkaran ayam, ular dan babi tersebut tulisan Avijja. Kegelapan batin inilah
yang membuat sebab penderitaan kita.
Dibawah ini saya berikan gambar gambar 12 mata rantai dari hukum Paticcasamuppada
yang mungkin bisa dapat menolong anda untuk lebih memahami. Dimulai dari rantai
pertama yaitu avijja.
AVIJJA digambarkan sebagai orang buta yang memegang tongkat dengan resiko masuk
jurang.
Avijja akan mengakibatkan kita akan berbuat berbagai bentuk perbuatan baik atau
buruk. Avijja akan mengakibatkan sankhara atau diartikan sebagai bentuk bentuk
perbuatan,
Sankhara, bentuk bentuk perbuatan (karma) yang dilakukan terus menerus akan menjadi
sebab yang baru. Karena masih membuat karma karma baru maka setelah meninggal
akan dilahirkan kembali. Fisiknya musnah namun akan ada kesadaran yang
menyambung. Jadi Sankhara mengakibatkan munculnya kesadaran atau patisandhi
vinnana.
Demikian seterusnya akan muncul sebab satu yang akan mengakibatkan hal lain.
Gambar mata rantai yang lain saya lanjutkan dibawah. Untuk penjelasannya silakan anda
mendengarkan secara langsung uraian Bhante Sri Pannavaro tentang hukum
Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan. File audio nya
bisa anda dengarkan dengan mengklik tombol play yang saya posting diatas dan
dibawah setelah gambar gambar ilustrasi di bagian bawah postingan ini. Anda juga bisa
mendownloadnya dengan menggunakan username dan password yang sudah diberikan
kepada semua anggota ceramahdhamma.com
NAMA dan RUPA, Batin dan jasmani. Karena ada kesadaran untuk lahir kembali maka
mengakibatkan munculnya nama rupa yng digambarkan seperti sepasang manusia pria
dan wanita.
Karena ada batin dan jasmani maka akan mengakibatkan adanya Salayatana atau enam
landasan indria kita berupa mata, hidung, telinga, kulit, lidah dan pikiran.
Karena adanya lima panca indra serta pikiran maka memungkinkan terjadinya kontak
dengan segala sesuatu di sekeliling kita.
Karena adanya kontak maka menimbulkan vedana atau perasaan. Bisa perasaan senang,
tidak senang dan netral.
Karena adanya perasaan senang, tidak senang maka akan menimbulkan tanha atau
keinginan yang terus menerus untuk mendapatkan perasaan tersebut.
Karena adanya keinginan yang terus menerus maka akan menimbulkan kemelekatan
atau Upadana.
Kemelekatan akan menimbulkan terjadi nya pertumbuhan yang akan terus menerus atau
bhava.
BHAVA atau terus bertumbuh digambarkan sebagai sepasang suami istri yang melekat
satu sama lain.
Dengan adanya kelahiran maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan sakit, tua dan
kematian kembali atau Jara Marana.
Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap
tangis maka berakhirlah tumimbal lahir.
Agganna Sutta, dikatakan: "manusia pertama di bumi ini banyak, mulai dari
makhluk Abhassara Bhumi yang mati. Kemudian lahir di bumi melayang-layang
dengan tubuh bercahaya, bumi sedang berproses. Ketika bumi sedang berproses,
makhluk ini timbul sifat lobha, memakan sari tanah". Di dalam Agganna Sutta itu
juga dijelaskan, dengan meningkatnya tanha dari makhluk-makhluk yang
bercahaya tersebut, maka menimbulkan tingkat kelebihan dari konsumsi. Sebagai
ilustrasi: dengan meningkatnya lobha, pohon-pohon padi yang biasanya tidak
perlu dipanen karena padi datang bergulir sendiri, sehingga orang pada saat itu
tidak menanam padi untuk diambil, tetapi padi itu "jalan" sendiri, sudah masak
sendiri. Tetapi karena sifat lobha tadi, makhluk-makhluk itu menyimpan dan
mengambil lebih banyak; karena mengambil lebih banyak artinya pohon ini
menjadi lebih sedikit sehingga pohon padi harus ditanam. Orang tersebut harus
datang ke sawah untuk memelihara dan mengambil padi tersebut. Dengan
meningkatnya keserakahan orang tersebut, maka pohon padi terkondisikan untuk
dibudidayakan dan seterusnya sampai terbentuknya sistem-sistem di masyarakat.
Masyarakat kemudian dikelompokkan berdasarkan pekerjaan. Ada yang sebagai
brahmana, satria, dan sebagainya. Pada akhirnya pengelompokkan masyarakat
berdasarkan jenis pekerjaan itu dianggap oleh orang sekarang seolah-olah seperti
kasta. Awalnya itu cerita dari meningkatnya lobha/tanha. Jika itu dihubungkan,
ada satu aplikasi dari Paticcasamuppada yang bergulir pada kehidupan sosial
hingga berpengaruh terhadap lingkungan.
10.1 Pengertian
"O, bhikkhu, kehendak untuk berbuat (bahasa Pali: Cetana) itulah yang kami namakan
Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau
pikiran."
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas
berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah ditakdirkan.
Memang segala sesuatu yang lampau memengaruhi keadaan sekarang atau pada saat
ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma itu meliputi apa yang
telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang telah lampau bersama-sama
dengan apa yang terjadi pada saat sekarang memengaruhi pula hal-hal yang akan
datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar di mana hidup yang
sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat dan apa yang akan datang masih
akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang inilah yang nyata dan ada "di tangan kita"
sendiri untuk digunakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati
sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.
Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar
adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma
yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa kita
dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah
berbuat suatu kesalahan. Janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-
vipaka itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan
juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya akan
berlangsung terus.
10.2 Jenis-Jenis
1. Garuka Kamma adalah Perbuatan yang akibatnya paling besar atau kuat. Yang
termasuk Akusala Garuka Kamma.
2. Asañña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan menjelang kematian yang
kekuatnnya paling kuat. Jadi misalnya saat kita berada pada menjelang kematian
maka setelah itu kita akan dilahirkan di alam sesuai dengan pkiran pada saat
menjelang kematian itu, misalnya saja marah maka setelah itu akan terlahir di
alam Neraka. Namun itu sesuai dengan karma baik kita juga. Jika karma baik kita
menopang maka terlahir di alam Neraka hanya sebentar. Begitu pula sebaliknya.
3. Aciñña Kamma adalah Perbuatan yang dilakukan terus menerus yang akhirnya
akan menjadi watak atau kebiasaan ( karena kebiasaan yang dilakukan ).
4. Katatta Kamma adalah Kekuatan yang paling ringan atau cetananya ringan.
1. Janaka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk mendorong kelahiran suatu
makhuk (potensi).
2. Upatahmbaka Kamma adalah Kamma yang fungsinya untuk memperkuat,
menambah Janaka Kamma jadi hasilnya bisa menjadi besar (kamma yang searah).
3. Upapilaka Kamma adalah Kamma yang mengurangi kekuatan Janaka Kamma
yang arahnya berlawanan.
4. Upaghataka Kamma adalah Kamma yang berfungsi untuk menghancurkan
kekuatan dari Janaka Kamma.
10.3 Akusala Garuka Kamma
Lima perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah
kelahiran di alam neraka:
1. Membunuh ibu.
2. Membunuh ayah.
3. Membunuh seorang Arahat.
4. Melukai seorang Buddha.
5. Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
10.4 Dasa Kusala Kamma
1. Gemar beramal dan bermurah hati akan berakibat dengan diperolehnya kekayaan
dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
2. Hidup bersusila mengakibatkan terlahir kembali dalam keluarga luhur yang
keadaannya berbahagia.
3. Bermeditasi berakibat dengan terlahir kembali di alam-alam sorga.
4. Berendah hati dan hormat menyebabkan terlahir kembali dalam keluarga luhur.
5. Berbakti berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari masyarakat.
6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain berbuah dengan
terlahir kembali dalam keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir dalam
lingkungan yang menggembirakan.
8. Sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan.
9. Menyebarkan Dhamma berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan
10. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
11.1 Pengertian
Teori agama Buddha mengenai kelahiran kembali atau tumimbal lahir ( punabbhava )
bersumber dari Penerangan Sempurna yang dicapai oleh Buddha dan bukan dari
kepercayaan tradisional India. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab suci agama
Buddha ( Mahasaccaka Sutta, Majjhima Nikaya ) pada malam tercapainya Penerangan
Sempurna Buddha memperoleh kemampuan untuk mengetahui kehidupan – kehidupan
– Nya yang lampau. Kala itu ketika pikiranNya tenang, bersih, suci dan tanpa cacat,
bebas dari kotoran yang mencemari, lentur dan fleksibel, mantap dan tak goyah, Beliau
memperoleh kemampuan untuk mengingat kembali kehidupan – kehidupanNya yang
terdahulu.
Menarik untuk diperhatikan bahwa penelitian terbaru dalam bidang psikologi telah
mengakui apa yang disebut supernormal. Minat terhadap masalah yang melebihi
jangkauan indra ( persepsi ekstrasensori ) dalam percobaan psikologi lambat laun
mendapat kemajuan, dan hasil – hasil yang dicapai agaknya di luar pemahaman biasa.
Kasus – kasus mengenai anak – anak yang dapat mengingat kehidupannya yang lampau
mendapat sorotan bukan hanya di negara – negara Asia seperti Myanmar, India, Sri
Lanka ( Ceylon ) dan negara – negara timur lainnya, melainkan juga di negara – negara
barat. Dr. Ian Stevenson, M.D dari Universitas Virginia USA telah menerbitkan hasil – hasil
dari penyelidikan dan penelitiannya dalam beberapa buku, dua diantaranya berjudul :
Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, dan Sri Lanka Cases of Reincarnation Type.
Perhatikan juga dua buku lainnya : Reincarnation – An East – West Anthology dan
Reincarnation in World Thought – A Living Study of Reincarnation in all Ages, tulisan –
tulisan pilihan dari kalangan berbagai agama dunia, filsafat, ilmu pengetahuan serta
pemikir besar di masa lampau dan sekarang, disusun dan disunting oleh Joseph Head
dan S.L. Cranston, Julian Press Inc, New York, 1961 dan 1967.
Para ahli filsafat Yunani kuno seperti Empedocles dan Pythagoras juga mengajarkan
ajaran mengenai kelahiran kembali dan plato membuatnya sebagai asumsi penting
dalam filsafatnya.
11.2 Hukum Perubahan/kelanjutan/pembentukan
Hukum atau prinsip tertentu harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam usaha
untuk memahami ajaran kelahiran kembali atau kelangsungan hidup. Hukum atau
prinsip dasar pertama yang harus diuji dalam usaha untuk memahami kelahiran kembali
adalah hukum perubahan ( anicca ). Hukum ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun di
dunia ini yang kekal atau abadi. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan sasaran
dari hukum perubahan yang universal dan tanpa henti ini. Ketika melihat air sungai,
seseorang mungkin berpikir bahwa semuanya sama, tetapi tidak ada setetes air pun
yang dilihat seseorang pada saat mana saja tetap di tempatnya sama dengan sesaat
yang lalu. Bahkan seseorang yang terlihat diam tidaklah sama pada dua saat yang
berurutan. Kita hidup dalam dunia yang selalu berubah sementara kita sendiri juga ikut
mengalami perubahan. Ini merupakan hukum abadi. Sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Buddha : “ Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur dan berkondisi, yang
hidup atau mati, adalah tidak kekal “ ( sabbe sankhara anicca ).
Ciri yang penting dari hukum perubahan ini adalah walau segala sesuatu merupakan
sasaran perubahan, tidak ada yang pernah musnah atau lenyap. Hanya bentuknya yang
berubah. Jadi zat padat dapat berubah menjadi zat cair dan zat cair menjadi gas, tetapi
tidak satu pun yang sesungguhnya benar – benar hilang. Zat materi adalah cerminan
energi dan yang semacam itu tidak akan pernah dapat musnah atau lenyap sesuai
dengan prinsip ilmu pengetahuan, yang juga disebut dengan hukum kekekalan energi.
Ciri penting lainnya dari hukum perubahan adalah tidak adanya pembedaan dan garis
pemisah yang membatasi antara satu kondisi atau keadaan dengan kondisi atau keadaan
yang selanjutnya. Setiap penggabungan membentuk keadaan yang selanjutnya.
Bayangkan ombak di laut yang naik dan turun. Setiap kali ombak yang naik lalu turun
memberikan kesempatan pada ombak lain bergerak, yang juga naik lalu turun untuk
memberikan kesempatan pada ombak yang lain lagi, setiap ombak menyatu membentuk
ombak yang selanjutnya. Disini tidak ada garis pembatas antara ombak yang satu dan
ombak yang selanjutnya. Demikian pula dengan segala perubahan kondisi di dunia ini.
Jadi perubahan merupakan proses yang terus menerus, perubahan atau aliran yang
tanpa henti – suatu pemikiran yang sangat selaras dengan pemikiran ilmu pengetahuan
modern.
Dua hukum atau prinsip dasar lain yang harus diuji terlebih dahulu kebenarannya dalam
usaha untuk memahami kelahiran kembali adalah hukum pembentukan dan hukum
kontinuitas. Sementara hukum perubahan menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang
kekal, tetapi selalu mengalami perubahan, hukum pembentukan menyatakan bahwa
segala sesuatu, setiap saat, mengalami proses pembentukan menjadi benda lain. Jadi
hukum pembentukan adalah akibat wajar atau kelanjutan yang sewajarnya dari hukum
perubahan. Tidak pada saat kapan pun sesuatu tidak mengalami proses pembentukan
menjadi sesuatu yang lain. Pembentukan yang tanpa henti merupakan ciri dari semua
benda. Ciri inilah yang selalu ada mendasari segala perubahan.
Dalam pemikiran Buddhis tidak ada awal mula dari yang tak ada. Tidak ada yang tanpa
sebab. Segalanya, yang hidup ataupun mati, berawal mula melalui sebab, segalanya
memiliki kondisi. Namun, agama Buddha tidak membicarakan sebab yang pertama. Awal
pertama dari urut – urutan kehidupan mahkluk hidup tidak dapat dijelaskan dan
sebagaimana yang dikatakan oleh Buddha : “ Roda kehidupan ini, lingkaran yang tidak
terputus ini, tidak memiliki akhir yang jelas, dan awal pertama dari mahkluk hidup, sebab
pertama, tidak dapat diketahui. “
Ketika Buddha menekankan bahwa apa yang disebut “ mahkluk hidup “ atau “ manusia “
tidak lain adalah perpaduan dari badan jasmani dan kekuatan atau energi batin, yang
berubah tanpa henti, bukankah Beliau telah mendahului ilmu pengetahuan modern dan
ilmu psikologi modern dua puluh lima abad sebelumnya ?
Kehidupan jasmani – rohani ini mengalami perubahan tanpa henti, membentuk proses
jasmani – rohani baru setiap saat, sehingga mempertahankan kemampuan proses badan
jasmani di masa yang akan datang, dan tidak meninggalkan kekosongan di antara satu
saat dan saat berikutnya. Kita hidup dan mati setiap saat dalam kehidupan kita. Semata –
mata hanya terbentuk dan lenyap, timbul dan tenggelam bagaikan ombak di laut.
Perubahan tanpa henti, proses jasmani – rohani tersebut yang jelas bagi kita dalam
kehidupan ini, tidak terhenti pada saat kematian, tetapi terus berlanjut tanpa henti. Arus
tanpa henti dari batin yang dinamis ini dikenal sebagai kehendak, kemauan, hasrat atau
nafsu keinginan ( tanha ) yang merupakan kekuatan karma. Kekuatan besar ini, keinginan
untuk hidup, membuat hidup terus berlanjut. Menurut agama Buddha, bukan hanya
kehidupan manusia, tetapi seluruh kesadaran dunia ditarik oleh kekuatan yang luar biasa
ini – batin ini dengan faktor kejiwaannya, baik ataupun buruk.
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, menurut ajaran materialistis, manusia berhenti
hidup pada saat kematian. Namun, menurut agama Buddha, kekuatan dan energi tidak
berhenti pada saat kematian ; tidak ada kekuatan yang pernah hilang, selalu mengalami
perubahan. Energi tidak berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dapat berhenti
untuk hidup di satu tempat dan mulai hidup lagi di tempat lain. Dalam diri manusia
kekuatan terbesar adalah keinginannya untuk hidup, melanjutkan hidup, menjadi lebih
dan lebih lagi. Kekuatan ini tidak hilang pada saat kematian. Kekuatan itu hidup,
memulai lagi dan terbentuk kembali dalam keadaan baru berpadu dengan sendirinya.
Memulai lagi perubahan penting tanpa henti ini dalam keadaan baru disebut dengan
kelahiran kembali, tumimbal lahir atau pembaharuan kembali eksistensi.
Proses karma ( kammabhava ) adalah kekuatan yang datang dari kehidupan sekarang,
mempersiapkan kehidupan yang akan datang dalam rangkaian tanpa akhir. Dalam
proses ini tak ada yang meninggal dunia di sini dan lahir di tempat lain, seseorang bukan
orang yang sama, bukan juga orang yang sepenuhnya berbeda ( na ca so na ca anno ).
Kemungkinan logis dari identitas pribadi tanpa roh itu diakui oleh Profesor A.J. Ayer dari
Oxford, seorang analis logika yang mengatakan : “ Saya pikir akan terbuka bagi kita
untuk mengakui kemungkinan logis dari reinkarnasi hanya dengan menetapkan kaidah
bahwa jika seseorang yang secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup
pada waktu belakangan, memiliki ingatan – ingatan nyata dan sifat dari seseorang yang
secara fisik diidentifikasikan sebagai seseorang yang hidup pada waktu sebelumnya,
mereka seharusnya dihitung sebagai satu orang dan bukan dua. “
11. 4 Aliran Kesadaran
Kesadaran di momen terakhir ( cuti citta atau cuti vinnana ) milik kehidupan
sebelumnya ; dengan cepat berlanjut setelah padamnya kesadaran itu. Karena telah
terkondisikan maka timbul momen pertama dari kesadaran pada kelahiran yang
sekarang yang disebut hubungan kembali atau kelahiran kembali dari kesadaran
( patisandhivinnana ). Demikian pula momen pikiran terakhir dari kehidupan ini
mengondisikan momen pikiran pertama dari kehidupan yang selanjutnya. Dengan cara
ini kesadaran lahir dan mati memberikan tempat pada kesadaran baru. Maka aliran
kesadaran tanpa henti ini akan terus berlanjut sampai kehidupan berhenti. Kehidupan
dalam hal ini adalah kesadaran – keinginan untuk hidup, keinginan untuk melanjutkan.
Menurut ilmu biologi modern, kehidupan manusia baru dimulai pada saat menakjubkan
ketika sel sperma dari ayah bersatu dengan sel telur atau ovum dalam tubuh ibu. Ini
merupakan momen kelahiran. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan dua faktor fisik
yang umum ini saja. Akan tetapi, agama Buddha membicarakan pula faktor ketiga yang
bersifat rohani.
Faktor ketiga, gandhabba, hanyalah istilah untuk kesadaran yang lahir kembali
( patisandhi vinnana ). Dapat pula disebut kekuatan energi yang dilepaskan dari orang
yang meninggal dunia. Tetapi kesadaran yang lahir kembali bukanlah diri yang kekal, roh
ataupun satuan hidup yang merasakan buah dari perbuatan baik dan jahat. Kesadaran
juga disebabkan oleh kondisi. Terpisah dari kondisi, maka tidak akan timbul kesadaran.
Kehendak untuk hidup ini, keinginan untuk hidup ini, terbayang luas dalam pikiran
manusia baik yang sadar maupun yang tidak. Kehendak, seperti layaknya bentuk pikiran
lainnya, adalah ungkapan energi, dan hal seperti ini tidak pernah dapat hilang atau
hancur. Kehendak yang kuat dan tanpa henti ini, keinginan untuk hidup ini, adalah
ungkapan energi yang kuat dan tanpa henti dan tidak dapat mati bersamaan dengan
kematian seseorang. Kehendak untuk hidup membuatnya dilahirkan kembali. Keinginan
untuk hidup membuatnya hidup kembali. Ia secara rohaniah kemudian mengalami
kehidupan lain.
Karena kehendak untuk hidup ( bhavatanha ) merupakan motif utama yang mendasari
hampir semua kegiatan manusia, pada saat kematian, hal ini berkembang begitu hebat
sehingga secara rohaniah mengambil sikap serakah. Seperti yang telah dikatakan sendiri
oleh Buddha ; Di ambang kematian keinginan utama ini menjadi kemelekatan
( upadana ) yang menarik dirinya pada kehidupan lain. Proses pikiran terakhirlah yang
membawa kemelekatan ini. Ini merupakan hukum alam, tak ada yang misterius, misterius
hanya bila kita tidak memahaminya. Orang yang sekarat dengan seluruh jasmaninya
melekat kuat pada kehidupan, sehingga pada titik kematiannya, mengirim energi karma
secepat kilat, menemukan rahim calon ibu siap untuk pembuahan, dan kehidupan baru
pun dimulai.
11.5 Alam Kehidupan
31 alam kehidupan pada Ajaran Buddha dibagi menjadi lima bagian yaitu:
Kata "apayabhumi" terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak
ada`, `aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal
makhluk hidup`.
Alam ini juga sering disebut dengan `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua
kosakata, yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam
tujuan bagi suatu makhluk yang akan dilahirkan kembali`.
Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk
berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu:
Alam neraka (Niraya),
Alam Iblis(Asurakaya)
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam
guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Kata "manussabhumi" terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`.
`Manussa` terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa`
yang berarti `tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti
alam tempat tinggal manusia.
Disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup
dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk
yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidak-kekalan. Alam surga
terbagi menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita,
Nimmanarati, dan Paranimmitavasavatti.
Merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk.
Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus
yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhana (pemusatan pikiran yang kuat dalam
memegang obyek) yang luhur.
5 Alam Suddhavasa.
Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari
napsu birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga)
yang berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.
Merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun
disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini
sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan
dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena
pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan
sehingga tidak menginginkannya.
11 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya masih senang dengan napsu indera dan
melekat pada panca indera.
2. Sebanyak 16 Rupa-Bhumi
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada
Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka
tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk
bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta
Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama
Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang
Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan,
Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah
suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa
konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan
yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu
ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep
Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama
lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam
agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Bila
kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka,
maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam
agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama
Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah
konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan
Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
12.2 Alam Semesta
Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat
banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang
Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya
sebagai berikut : Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka
dhatu (tata surya kecil) ? ....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis
orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas
seribu tata surya.
Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu
jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah,
Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). * Ananda,
seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu".
Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi
Mahasahassi Lokadhatu". Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat
memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu,
ataupun melebihi itu lagi. Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi
Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam
Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya.
Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih
melampauinya lagi.
12.3 Bumi dan Manusia
Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha,
khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya
seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini
diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta.
Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan. Vasettha,
terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia
ini hancur.
Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam
cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki
tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka
hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya
terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam
belum ada, ..... laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal
sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama
sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air.
Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin,
demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti
dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon
murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang
memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan
masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi
sari tanah itu dengan jari-jari ..... mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah,
memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka.
Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan
lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan
konstelasikonstelasi nampak ..... siang dan malam ..... terjadi. Demikianlah, Vasettha,
sejauh itu bumi terbentuk kembali. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati
sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang
lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka
menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk.
Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang
rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ..... maka sari tanah itupun
lenyap ..... ketika sari tanah lenyap ..... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko).
Cara tumbuhnya seperti cendawan ..... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup
dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian
dalam masa yang lama sekali ..... (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan
keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang
muncul dari tanah itu pun lenyap.
Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ..... warnanya seperti dadi susu atau
mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ..... Mereka menikmati,
mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ..... maka tubuh
mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas;
sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka
mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki
bentuk tubuh buruk ..... Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka
sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ..... muncullah tumbuhan padi
(sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir
yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan
malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali.
Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka
pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus
padi itu muncul. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari
alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan
hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran
yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan
perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya
(itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian
wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat
memperhatikan keadaan wanita.
Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka
timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu
indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin....
12.4 Kiamat
Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya
bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti
apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap
berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan
hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya -
tata surya yang tersebar di alam semesta ini. Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini
menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau
yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini
muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama
matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan
akhirnya muncul matahari ketujuh.
Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan
lenyap bertebaran di alam semesta. Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain
bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi
matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya
terdapat matahari pula. Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan
galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena
banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata
surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa
yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita.
Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah
matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang
dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu : Bhikkhu, akan tiba suatu masa
setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada
hujan.
Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon
penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi
layu, kering dan mati ..... Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di
akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka
semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada .....
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu
sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada ..... Para
bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar
tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara,
Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada ..... Para
bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama,
matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut
100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan
surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima,
empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya,
air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan
hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut,
hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang
besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-
mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas
tapak-tapak kaki sapi. Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di
akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka
bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan,
memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran
periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang
terjadi dengan bumi ini. Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun
adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan
semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal. Para bhikkhu,
selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh
muncul.
Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja
gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang
berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan
debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan
menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan
oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada
bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus
tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.
Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah
satu dasar dari Lima Hukum Alam (Panca Niyama Dhamma), Hukum alam semesta
inilah yang mengatur segala gejala, proses, aktivitas, sebab-akibat batin dan jasmani
(fisik) yang ada dialam semesta itu sendiri. Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar
dan dicium keberadaannya, namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari
gejala-gejala yang muncul secara fisik maupun batin. Hukum alam ini terdiri atas :
Adalah hukum tertib yang mengatur sebab akibat dari perbuatan , misalnya : perbuatan
baik / membahagiakan dan perbuatan buruk terhadap pihak lain, menghasilkan pula
akibat baik dan buruk yang sesuai .
Adalah hukum tertib mengenai proses jalannya alam pikiran atau hukum alam
batiniah, misalnya : proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat
kesadaran, kekuatan pikiran / batin (Abhinna), serta fenomena ekstrasensorik seperti
Telepati, kewaskitaan (Clairvoyance), kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah
lampau, kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka pendek
atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua gejala batiniah yang kini
masih belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern termasuk dalam hukum
terakhir ini.
Di dalam ajaran agama Buddha, seorang Bodhisattva / Bodhisatta atau Photishat (bahasa
Thai) adalah makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta.
Dalam ajaran Mahayana, Bodhisattva mengambil janji untuk tidak memasuki nirvana
sebelum semua mahkluk mencapai ke-Buddha-an. Ini tidak sama dengan di tradisi
Theravada kebanyakan, dimana makluk yang mencapai pencerahan adalah Arahat,
bukan Buddha.
Arti Bodhisatta pada Pali Canon (kumpulan koleksi kitab pada ajaran Theravada) dan
tradisi Theravada tidak mengatakan bahwa seorang Bodhisattva membuat janji ‘tidak
akan mencapai pencerahan sebelum semua orang lain mencapai penerangan’. Ini
merupakan inovasi dari Mahayana.
Jadi seorang Bodhisatta dan seorang Bodhisattva merupakan hal yang berbeda.
Dalam pandangan Mahayana, seorang Bodhisattva memiliki tekad penuh kasih guna
membantu seluruh mahluk untuk menuju pencerahan. Motivasi yang demikian dikenal
dengan sebutan Bodhicitta.
Kata Bodhisatta bahasa Pali digunakan oleh Buddha di kitab Pali Canon untuk menunjuk
kepada dirinya di kehidupan sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang menuju
pencerahan dan pada periode ketika ia masih bergerak menuju pembebasan.
Kehidupan Siddhattha Gotama sebagai seorang Bodhisatta dicatat dalam Kitab Jataka.
Ketika Siddhattha Gotama menceritakan dirinya dahulu, ia menggunakan istilah “ketika
saya masih seorang Bodhisatta”.
Seorang Bodhisatta yang seringkali diceritakan dalam Pali Canon adalah Calon Buddha
Metteya/Maitreya, yang oleh karenanya Ajaran Theravada tidak menceritakan
Bodhisattva lain selain Bodhisatta Metteya.
Pada kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar
untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Sammasambuddha) dikarenakan oleh
belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan
yang menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang
(vyakarana).
Agama Buddha merupakan suatu agama yang dalam mencapai suatu tujuannya
menekankan pada praktek moral. Dewasa ini banyak yang beranggapan bahwa agama
buddha merupakan suatu agama yang bersifat religius yang menyembah berhala.
Namun sebenarnya tidaklah demikian, karena setiap agama mempunyai cara-cara
tersendiri untuk mencapai tujuannya. Buddha menganjurkan kepada setiap umatnya
untuk selalu tekun menjalankan praktek sila dalam kehidupan sehari-hari. didalam
agama Buddha terdapat suatu jalan yang digunakan oleh sang Buddha dalam mencapai
suatu pencerahan yang membawa setiap manusia kepada ketenangan abadi.
Didalam agama Buddha terdapat 4 (empat) tingkatan makhluk suci berdasarkan pada
praktek jalan mulia berunsur delapan, yang terdiri dari Sotapati,Sakadagami, Anagami
dan tingkat kesucian yang sempurna yaitu Arahat. Dalam pencapaiannya tidak lepas dari
melatih diri dengan melaksanakan Sila, Samadhi, Panna. Selain pencapian kesucian
tidaklah ditentukan oleh kedudukan seseorang, pakaian, dan juga pola makan. Namun
yang menentukan seseorang mencapai kesucian adalah keinginan batin yang kuat dalam
melaksanakan jalan mulia berunsur delapan.
B. Tingkat–tingkat kesucian
Tingkat kesucian dalam agama Buddha dapat dibagi dalam dua golongan:
Puthujjana Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai
tingkat kesucian.
Ariya-puggala Ialah para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya
telah mencapai tingkat kesucian pertama.
A. Sotapanna: tingkatan Sotapanna , dimana kata ini secara harafiah berarti “Pemasuk
Arus”: Orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.
1. Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.
2. Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga
kali lagi.
3. Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali
tujuh kali lagi.
B. Sakadagami: Orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.
Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana) yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2)
vicikiccha, dan (3) silabbata-paramasa dan telah melemahkan belenggu (4) kama-raga
dan (5) vyapada.
C. Anagami: Orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung
terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam
Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat
dan akhirnya ia mencapai parinibbana.
Anagami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana) yaitu (1) sampai dengan (5).
Pertama dan kedua digolongkan berdasarkan atas masa kehidupan mereka, sedangkan
yang ketiga dan keempat berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima
ditandai melalui alam tujuan mereka.
D. Arahat: Orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan
semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di
alam mana pun. Ia akan parinibbana.
1. Sukhavipassako Arahat.
Arahat yang tidak memiliki jhana/abhinna, hanya mencapai kesucian dengan
melaksanakan vipassana bhavana.
2. Tevijjo Arahat.
Arahat yang memiliki tiga pengetahuan (vijja):
1. Pubbenivasanussati Nana; memiliki kesadaran akan kelahirannya yang
lampau
2. Dibbacakkhu Nana; memiliki “mata dewa” sehingga dapat mengetahui
kelahiran makhluk di alam dewa atau peta setelah meninggal.
3. Asavakhaya Nana; memiliki pengetahuan bagaimana cara melenyapkan
asava (kekotoran batin yang paling dalam).
3. Chalabhino Arahat:
a sampai c seperti di atas ditambah dengan tiga kemampuan lain, yaitu:
1. Cetopariya Nana (paracitta vijja Nana); dapat membaca atau mengetahui
pikiran makhluk lain.\
2. Dibbasota Nana (telinga dewa); dapat mendengar percakapan suara dari
alam dewa, brahma, dan apaya.
3. Iddhividha Nana, yang terdiri dari:
1. Adhitthana Iddhi, kekuatan kehendak mengubah tubuh dari satu
menjadi banyak, dari banyak menjadi satu lagi.
2. Vikubbana Iddhi, kemampuan ‘menyalin rupa’ menjadi anak kecil,
raksasa, rupa buruk, menjadi tak tampak.
3. Manomaya Iddhi. Kemampuan ‘mencipta’ dengan kekuatan pikiran.
Misalnya: mencipta istana, taman, binatang. Lamanya ciptaan itu
tergantung dari kekuatan pikiran.
4. Nana vipphara Iddhi. Pengetahuan menembus ajaran yang sulit.
5. Samadhivipphara Iddhi. Kekuatan konsentrasi untuk:
1. menembus dinding
2. meyelam ke dalam bumi seperti di air
3. berjalan di atas air seperti di tanah datar
4. masuk ke dalam api tanpa hangus
5. terbang seperti burung
4. Patisambhidappatto Arahat.
Arahat yang memiliki empat patisambhida (pengetahuan sempurna):
1. Atthapatisambhida.
Pengertian mengenai arti/maksud ajaran dan dapat memberi penerangan
secara rinci, hampir seperti Sang Buddha.
2. Dhammapatisambhida.
Pengertian mengenai intisari dari ajaran dan mampu mengajukan
pertanyaan ajaran yang mendalam.
3. Niruttipatisambhida.
Pengertian mengenai bahasa dan mampu menggunakan kata-kata yang
mudah dimengerti oleh pendengar.
4. Patibhanapatisambhida. Pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu
menjawab spontan bila ada pertanyaan mendadak.
13.4 Belenggu Batin
Derajat kesucian ini didasarkan atas jumlah belenggu (samyojana) yang telah mereka
patahkan. Aliran Theravada mengenal adanya sepuluh belenggu yang menyebabkan
para makhluk terus berputar-putar dalam samsara.
Sakkayaditthi: Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal
Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
Silabbataparamasa: Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan
manusia dari penderitaan.
Kamaraga: Nafsu Indriya.
Vyapada: Benci, keinginan tidak baik.
Ruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).
Aruparaga: Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.
Mana: Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan
orang lain.
Uddhacca: Bathin yang belum seimbang benar.
Avijja: Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang
bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
Catatan: Untuk Belenggu ruparaga dan aruparaga, Apabila ia meninggal sewaktu dalam
keadaan samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III atau Jhana IV , maka ia
dilahirkan di Alam bentuk (rupa-raga).
Lima Samyojana/Belenggu pada Sotapanna dan Anagami dikenal sebagai lima belenggu
rendah atau Orambhagiya-samyojana, Lima samyojana berikutnya pada Belenggu arahat
dikenal dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhagiya-samyojana.
Mahà Pajàpati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan
Bhikkhuni. Yang diterima oleh para Bhikkhu sesuai dengan peraturan yang telah
diajarkan Sang Buddha.(Delapan Peraturan Utama<Aññhasila>).
Seorang gadis yang berasal dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi, nama yang
sebenarnya “Gotami”. Akan tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil
dengan nama “Kisà”, sehingga setiap orang yang melihatnya berjalan dengan badannya
yang tinggi dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada dalam
dirinya.Kisa Gotami sulit mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik.
Namun secara tak terduga kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya
yang menganggap bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja.
Pedagang kaya itu kemudian menikahi Kisa Gotami.
4. Yang Ariya Patacara Theri
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul
tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan
sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang
berkondisi.
Patacara merupakan putri seorang saudagar kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik. Orang
tua Patacara sangat menyayangi dan menjaganya dengan ketat. Oleh karena itu ketika
Patacara menginjak umur 16 tahun, ia selalu dikelilingi oleh beberapa penjaga, untuk
melindunginya dari gangguan para pemuda.
Bhadda Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda
tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari, ketika
Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan serangga
tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih wijen kering.
Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih menakutkan lagi ketika
beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian serangga tersebut
merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut terlihat biasa, tetapi tidak
menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda mengambil keputusan untuk melepas
hidup keduniawian.
Agar seseorang lebih mampu menyadari segala bentuk perilaku badan dan ucapannya,
maka ia hendaknya melaksanakan latihan ketiga yaitu konsentrasi atau samadhi . Latihan
konsentrasi ini menjadi sangat penting karena seseorang dikondisikan untuk tidak hanya
terkendali perbuatan badan dan ucapannya saja, melainkan juga perbuatan melalui
pikiran. Mereka yang memiliki perilaku badan dan ucapan yang baik belum tentu
mempunyai pikiran yang baik. Namun, seseorang yang telah memiliki pikiran baik, tentu
perilaku badan dan ucapannya akan baik pula.
Pelaksanaan satu Jalan Mulia yang memiliki delapan unsur ini secara tekun dan penuh
semangat akan dapat membebaskan seseorang dari ketamakan (lobha), kebencian (dosa)
serta kegelapan batin (moha).
Dari pembagian kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut, jelas sudah bahwa
konsentrasi menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kedua
bagian lainnya. Latihan konsentrasi pada awalnya dilakukan dengan memusatkan pikiran
pada obyek meditasi yang telah ditentukan. Pencapaian tertinggi meditasi
konsentrasi (Samatha Bhavana) ini disebut dengan Jhana . Apabila tingkat konsentrasi
ini dapat dicapai, maka pelaku meditasi dapat melanjutkan dengan mengembangkan
kesadaran pada segala gerak gerik pikiran maupun badan.
Setelah mampu memposisikan kaki sehingga nyaman duduk, maka letakkan kedua
telapak tangan berada di pangkuan. Telapak tangan kiri berada di bawah telapak tangan
kanan. Biasanya, kedua ujung ibu jari dipertemukan. Duduklah dengan tegak namun
santai. Kepala tegak, mata dipejamkan, dan bernafaslah secara normal. Pusatkan pikiran
pada obyek meditasi yang telah dipilih. Apabila pikiran memikirkan hal lain, sadarilah
dan segera pusatkan kembali pada obyek meditasi tersebut. Demikian seterusnya selama
waktu meditasi yang telah ditentukan.
Adapun meditasi dengan posisi berdiri dilakukan sesuai namanya yaitu memusatkan
pikiran sambil berdiri tegak. Agar seseorang mampu berdiri secara nyaman, posisikan
kedua telapak kaki satu sama lain berjarak selebar pundak. Tangan biasanya diletakkan
di bawah pusar, telapak tangan kiri menempel di badan dan telapak tangan kanan di
atas punggung tangan kiri. Tentu saja tangan boleh diposisikan di tempat lain, misalnya
di samping badan, bersilang tangan di depan dada bahkan bersilang tangan di
pinggang. Posisikan tangan senyaman mungkin sehingga selama waktu berdiri yang
telah ditentukan, konsentrasi tidak terganggu. Kedua mata dipejamkan dan seluruh
perhatian dipusatkan pada obyek meditasi.
Posisi meditasi yang lain adalah berjalan. Posisi tangan tetap di bawah perut, atau
mungkin di samping badan, bersilang di depan dada ataupun di pinggang. Secara
perlahan namun penuh konsentrasi, langkahkan kaki satu demi satu. Pada saat
melangkah, seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi yaitu, biasanya, proses
berjalan atau telapak kaki yang sedang melangkah. Perhatian pada proses berjalan
dilakukan dengan merasakan saat kaki diangkat, maju dan diletakkan. Perhatian pada
telapak kaki dilakukan dengan menyadari bagian belakang, tengah serta depan telapak
kaki yang diangkat dan diletakkan. Meditasi berjalan ini dilakukan di tempat yang lurus
dan rata. Jarak yang dipergunakan sekitar 15 langkah sampai dengan 25 langkah. Pelaku
meditasi berjalan perlahan sampai di ujung jalan kemudian berbalik dan berjalan kembali
sampai di ujung jalan yang lain. Demikian seterusnya sampai selesai waktu meditasi yang
ditentukan. Jika kekuatan konsentrasi semakin tinggi, langkah yang dilakukan juga akan
semakin perlahan. Ada kemungkinan, jarak sejauh 25 langkah tersebut ditempuh dalam
waktu 30 menit atau lebih. Satu langkah mungkin menjadi dua menit atau lebih karena
pikiran terpusat sangat kuat memperhatikan kaki yang sedang bergerak.
Sedangkan posisi meditasi yang keempat adalah berbaring. Posisi ini perlu dibedakan
dengan tiduran. Tiduran dilakukan dengan tubuh telentang, tengkurap ataupun
menyamping, kepala di atas bantal. Sedangkan posisi meditasi berbaring dilakukan
dengan tubuh menyamping ke sebelah kanan, kepala ditopang oleh tangan kanan.
Tangan kiri terletak di atas sisi kiri badan. Kaki kiri terletak di atas kaki kanan. Kedua mata
dipejamkan. Seluruh perhatian dipusatkan pada obyek meditasi yang telah dipilih.
Meditasi sebaiknya dilakukan pada waktu dan tempat yang sama. Biasanya orang
berlatih meditasi pada saat ia bangun tidur dan akan tidur. Lama meditasi, paling sedikit
15 menit sampai dengan 60 menit atau lebih. Lakukan meditasi sesuai dengan
kemampuan. Sebelum meditasi, boleh saja melakukan sedikit upacara ritual menurut
keyakinan masing-masing. Umat Buddha biasanya melakukan pembacaan paritta atau
mengulang kotbah Sang Buddha sekitar 15 sampai 20 menit. Upacara ritual ini
diperlukan agar pikiran lebih terarah pada kegiatan spiritual daripada kegiatan material.
Kasina tanah pada mulanya menggunakan obyek segumpal tanah. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya pelaku meditasi dapat menggunakan tanah bentukan,
misalnya kendi dsb. Kasina air mempergunakan air yang diletakkan di sebuah tempat,
misalnya gelas atau mangkuk. Kasina api biasanya mempergunakan nyala api lilin. Kasina
angin dilakukan dengan merasakan angin yang berhembus dan mengenai tubuh sendiri.
Kasina warna dilakukan dengan mempersiapkan peralatan dari kertas atau media lainnya
yang dengan diberi warna biru, kuning, merah, atau putih. Kasina cahaya
mempergunakan cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai
melalui jendela atau sejenisnya. Kasina ruangan terbatas mempergunakan ruangan
kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingnya misalnya kamar kosong atau
bahkan sebuah drum dsb.
Pelaku meditasi dengan mempergunakan salah satu dari obyek ini berusaha
memusatkan perhatian pada obyek yang telah ditentukan dengan cara memandangnya
untuk waktu yang cukup lama. Ia masih diperbolehkan untuk berkedip seperlunya. Ia
terus memusatkan perhatian sampai seluruh obyek itu dapat diingat dan divisualisasikan
atau dibayangkan dengan baik dalam batin. Dengan demikian, ia mampu melihat obyek
itu secara jelas dan sama pada saat ia membuka maupun menutup mata.
• Sepuluh asubha (ketidakindahan)
Pelaku meditasi dengan obyek ini menyaksikan sendiri atau membayangkan (visualisasi)
dalam batinnya sehingga ia dapat melihat dengan jelas mayat yang dimasukkan ke
lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-
koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah,
dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya hanya sebagai tengkorak saja.
Kemudian, ia hendaknya menyimpulkan bahwa “Sebagaimana mayat itu, demikian pula
tubuh ini. Bagian dalam maupun bagian luar. Saat ini saya masih sehat dan segar,
namun, suatu saat pasti saya pasti akan hancur seperti mayat itu.”. Perenungan dan
pemahaman terhadap mayat akan mengkondisikan seseorang dapat terbebas dari
kemelekatan dengan segala sesuatu, termasuk dengan tubuhnya sendiri.
• Sepuluh anussati (perenungan)
Obyek paling disukai dan dijadikan dasar latihan meditasi di berbagai tempat
adalah anapanasati yang dilaksanakan dengan selalu merenungkan atau mengamati
saat nafas keluar maupun masuk secara alamiah. Pelaku meditasi tidak perlu mengatur
nafas. Ia hanya selalu berusaha menyadari saat nafas masuk dan keluar.
Keempat keadaan tanpa batas ini sering disebut sebagai Brahma Vihara (kediaman
luhur). Pelaksanaan metta-bhavana dapat dilakukan dengan memancarkan pikiran cinta
kasih terhadap diri sendiri, orangtua, guru, teman-teman, bahkan kepada para
musuhnya. Namun, selain cara tersebut, ada pula yang menggunakan pengulangan
dalam batin kalimat “Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan pengulangan ini, si
pelaku adalah mahluk, semoga ia mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan
yang ia miliki. Demkian pula keluarganya adalah mahluk, semoga keluarganya
mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan mereka masing-masing. Lingkungan
juga mahluk, kiranya mereka semua mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma
masing-masing. Bahkan, para musuhnya pun mahluk, semoga mereka semua
berbahagia. Pengulangan kalimat cinta kasih ini akan dapat mengendalikan bahkan
melenyapkan kebencian yang mungkin saja dimiliki oleh pelaku meditasi.
1.
1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat) yaitu segala sesuatu yang
bersifat keras atau padat. Misal : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi,
dan lain-lain.
2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair) yaitu segala sesuatu yang bersifat
berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Misal : empedu,
lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas) yaitu segala sesuatu yang bersifat
panas dingin. Misal : Kondisi badan yang biasanya hangat, namun bisa
menjadi panas ketika sakit atau kedinginan di suatu tempat.
4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak) yaitu segala sesuatu yang
bersifat bergerak. Misal : angin yang berada dalam perut atau usus, angin
yang keluar masuk sewaktu seseorang bernapas, dan lain-lain.
Setelah mengetahui satu persatu 40 obyek meditasi yang diuraikan di atas, maka pelaku
meditasi dapat memilih salah satu obyek yang sesuai. Pemilihan obyek meditasi dapat
berdasarkan kecepatan seseorang mampu mengkonsentrasikan pikiran menggunakan
obyek tersebut. Bisa juga, pemilihan obyek meditasi berdasarkan saran atau nasehat dari
orang yang dianggap lebih berpengalaman dalam meditasi. Namun, ada kalanya,
pemilihan obyek dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki pelaku meditasi. Dalam
Dhamma disebutkan ada beberapa sifat dasar manusia dan obyek meditasi yang
disarankan. Sifat dasar manusia tersebut adalah:
Jika seseorang telah dapat menentukan posisi duduk yang nyaman serta obyek meditasi
yang sesuai, maka ia dapat mulai berlatih meditasi secara rutin di waktu dan tempat
yang sesuai. Dalam proses memusatkan perhatian, pelaku meditasi biasanya akan
berhadapan dengan rintangan batin yang menghalangi pencapaian tingkat konsentrasi
yang lebih baik. Dalam Dhamma disebutkan paling tidak terdapat lima rintangan batin
yang disebut sebagai Nivarana yaitu: