Anda di halaman 1dari 36

1.

1 Ucapan salam

Dalam dokumen Kesepakatan Sangha Theravada Indonesia (STI) Nomor: 016/STI/VI/2015


dan ditandatangani oleh Y.M. Bhikkhu Jotidhammo Mahathera sebagai Sanghanayaka (Ketua
Umum) pada 19 Juni 2015 di Balikpapan, STI menyampaikan beberapa hal terkait dengan
kalimat apa yang diucapkan umat Buddha sebagai salam Buddhis maupun salam umum
beserta contoh penerapannya.

 1. Salam Buddhis dan Salam Umum Ditujukan kepada sesama umat Buddha, kata salam
Buddhis yang digunakan adalah: “Buddhānubhāvena sotthi hotu“, berarti dengan kekuatan
nilai-nilai luhur Buddha, semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian, atau dapat disingkat
menjadi “Sotthi hotu“, berarti semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian. Ditujukan
kepada masyarakat umum, kata salam umum yang digunakan adalah: “Sotthi hotu“, berarti
semoga kesejahteraan ada pada Anda/-sekalian. Ditujukan kepada seseorang/orang-orang
yang dituakan atau dihormat, kata salam Buddhis dan salam umum menggunakan “Namaste“,
berarti penghormatan (saya/kami) kepada Anda. Keterangan: Secara harfiah, kata “sotthi”
berarti keadaan/keberadaan baik, dari partikel kata “su” berarti baik, dan “danatthi” berarti
keberadaan. 

2. Istilah “Namo Buddhāya” Istilah “Namo Buddhāya” setara dengan frase “Namo Tassa
Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”, “Namatthu Buddhasa”, “Namo Ratanattayaya”,
dan beberapa lainnya. Istilah-istilah tersebut umumnya digunakan pada waktu seseorang
sedang menyampaikan uraian berciri keagamaan, berpidato, atau menyatakan ungkapan hati
dengan penuh kesungguhan, misalnya: bertekad dan bersumpah. 

3. Istilah “Samvegacitta” Untuk kepentingan mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan
kenalan sesama umat Buddha yang sedang berada dalam suasana duka, kalimat yang
diucapkan adalah: “Turut ber-samvegacitta atas kewafatan mendiang
Ibu/Bapak/Sudara/Saudari ……. , Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik
……………………….. , Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu.” Keterangan:
Kalimat “Sugatim vā saggam lokam uttarim vā upapajjatu”, berarti semoga mendiang terlahir
di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu. Jika yang meninggal lebih dari 1 orang, kata
‘upapajjatu’ diubah menjadi ‘upapajjantu’. Samvegacitta merupakan pikiran disertai hal-hal
batiniah yang kuat muncul sebagai tanggapan atas kejadian menggugah hati, mengarah ke
perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang
dicinta/dihormat meninggal dunia. Ada sebuah kronologis, pada waktu Guru Agung Buddha
Parinibbāna, para awam menangis berderai air mata, sedangkan para ariyasāvaka memasuki
pemikiran yang diwarnai oleh samvega (hal-hal batiniah yang kuat). Hal-hal batiniah
(cetasika) di atas mengacu ke nilai-nilai positif, seperti: paññā (kebijaksanaan), mettā (cinta
kasih), karuņā (welas asih), upekkhā (keseimbangan batin), dan lain-lain, khususnya adalah
paññā dan upekkhā. 

4. Istilah “Anumodana” dan “Terima Kasih” Penggunaan kata “Anumodana” berbeda sedikit
dengan kata  “Terima kasih” Kata ‘anumodana’ berarti sikap turut bersuka cita atas perbuatan
baik yang telah dilakukan seseorang. Ini berbeda sedikit dengan kata ‘terima kasih’ yang
berarti sikap menghargai/senang atas barang atau jasa yang orang lain berikan kepada
dirinya. Perbedaanya terletak pada penekatan di sisi perbuatan untuk makna kata anumodana,
dan penekanan disisi hal-hal terkait dengan perbuatan itu yaitu berupa barang atau jasa yang
diberikan untuk kata terimakasih. Perbedaan dalam bentuk praktiknya adalah, jika ada
seseorang yang melakukan kebaikan berupa memberi namun barang yang diberikan tersebut
bukan ditujukan untuk diri penerima secara pribadi, atau melakukan kebaikan dalam bentuk
lain, misalnya bertekad melaksanakan uposathasila atau berlatih meditasi, sikap yang kita
tunjukkan kepadanya adalah turut bersuka cita atas perbuatan yang dilakukan, yaitu kita
mengucapkan kata ‘anumodana’. Sedangkan, jika ada seseorang yang melakukan kebaikan,
khususnya berupa memberi, dan pemberian itu ditujukan kepada diri kita secara pribadi,
sikap yang kita tujukkan kepadanya adalah menghargai/senang atas barang atau jasa yang
diberikan itu, yaitu kita mengucapkan kata ‘terima kasih’.

1.2 Simbol

1.    ARCA BUDDHA

Arca Buddha adalah lambang keluhuran. Arca Buddha sebagai lambang penghormatan Guru
Agung Buddha begitu luhur. Guru Buddha sangat dihormati dan Beliau telah mengajarkan
Dharma kepada dewa dan manusia.

2.    STUPA

Stupa bentuknya seperti genta. Stupa merupakan bangunan suci agama Buddha Stupa salah
satu dari objek yang dihormati umat Buddha. Stupa banyak di jumpai di candi Borobudur.

Di India kuno, bangunan stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu kalangan
bangsawan atau tokoh tertentu. Di kalangan umat Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan
abu Guru Agung Buddha. Setelah wafat lalu dan dikremasi. Setelah dikremasi, abu-Nya
disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.

3.    CAKRA/ RODA DHAMMA

Cakra memiliki delapan jari-jari. Ketika kita mengendarai sebuah mobil, roda-rodanya akan
terus berputar hingga sampai di tempat tujuannya. Begitu pula dengan Roda Dhamma,
semenjak Guru Agung Buddha membabarkan kebenaran (Dhamma) untuk pertama kalinya,
Dhamma akan terus-menerus menyebar keseluruh dunia hingga semua makhluk terbebas dari
Dukkha. Roda Dhamma merupakan symbol dari perputaran ajaran Guru Agung Buddha terus
berlanjut demi kebahagiaan semua makhluk. Selain itu, roda Dhamma juga dilambangkan
sebagai senjata yang dapat menghancurkan ketidak tahuan dan kegelapan batin dalam diri
manusia. Simbol ini juga menggambarkan khotbah HGuru Agung Buddha  yang pertama
kalinya di Taman RusaI sipatana, Sarnath, India.

4.    TERATAI / PADMA / LOTUS

Teratai putih melambangkan Bodhi (Sansekerta untuk pencerahan). Murni melambangkan


tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan kesempurnaan spiritual dan perdamaian sifat
seseorang. Sebuah bunga teratai umumnya dilengkapi dengan delapan kelopak, yang sesuai
dengan Delapan Jalan Hukum Baik. Teratai putih dianggap sebagai teratai dari Buddha (tapi
tidak Buddha sendiri) karena disebutkan di atas simbol-simbol yang terkait dengannya.

5.    POHON BODHI/ DAUN BODHI

Pohon Bodhi menghasilkan udara segar. Selama berabad-abad, pepohonan telah


menyediakan naungan dan perlindungan bagi manusia maupun binatang. Pohon Bodhi adalah
pohon tempat naungan Petapa Gautama ketika Beliau mencapai penerangan sempurna,
menjadi Yang Agung Buddha. Saat ini, pohon Bodhi dihormati sebagai pencerminan
keagungan dan kebijaksanaan  Guru Agung Buddha. Pohon Bodhi ini juga dilambangkan
sebagai pohon kehidupan. Menghormat pada pohon Bodhi merupakan salah satu cara untuk
menunjukkan rasa penghormatan dan syukur kita, umat Buddha, atas kebijaksanaan dan
ajaran yang telah dibabarkan oleh Guru Agung Buddha. Oleh sebab itu Pohon Bodhi
mempunyai makna penerangan sempurna. Bodhi artinya berkumpulnya .

6.    JEJAK KAKI BUDDHA

Jejak kaki Guru Agung Buddha ini sangatdihargai di seluruh Negara Buddhis. Secara garis
besar, jejak kaki yang sangat skematis ini memperlihatkan seluruh jari kaki yang sama
panjang dan terpahat di atas batu. Biasanya, jejak kaki ini memperlihatkan tanda-tanda, baik
itu Dharmachakra atau Chakra di tengah telapak kaki, maupun menunjukkan tiga puluh dua
(32), seratus delapan (108), atau seratus tiga puluh dua (132) dari tanda-tanda istimewa Guru
Agung Buddha. Jejak kaki Guru Agung Buddha ini digunakan sebagai perlambangan atas diri
Guru Agung Buddha sebelum perlambangan Guru Agung Buddha dalam bentuk patung
manusia (Buddha Rupang) dibuat.

Kesimpulannya adalah Jejak kaki Buddha adalah lambang dari kehadiran Buddha dalam
mengajarkan Dharma di dunia. Kita sebaiknya melaksanakan atau mempraktikan ajaran
Buddha
7.    BENDERA BUDDHIST

Bendera Buddhist ada enam warna. Keenam warna itu berasal dari sinar tubuh Buddha saat
bermeditasi.

a.    Biru berarti bakti

b.    Kuning berarti bijaksana

c.    Merah berarti cinta kasih

d.    Putih berarti suci

e.    Jingga berarti semangat

f.     Campuran lima warna berarti kegiatan praktik dari makna kelima warna bendera


Buddist

1.3 Hari Keagamaan

A.  HARI RAYA WAISAK

Diantara  empat hari raya tersebut yang lebih dikenal pada umumnya  adalah hari raya
Waisak Selain merupakan hari libur nasional, hari raya Waisak juga dirayakan oleh umat
Buddha diseluruh dunia. Hari Raya Waisak jatuh pada purnama di bulan Mei atau Juni

 Hari raya Waisak juga dirayakan di Vihara, Cetiya, Arama, Mahavihara, Candi, dan tempat
lainnya Hari raya Waisak memperingati tiga peristiwa yang sangat penting.

Tiga peristiwa tersebut terdiri dari :

1.       Pangeran Siddharta lahir pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.

2.       Pertapa Siddharta Gotama menjadi Buddha pada tahun 588 SM di Hutan Gaya.
3.       Sang Buddha Parinibana atau wafat pada tahun 543 SM di Kusinara.

Agama Buddha diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Buddha adalah orang yang telah
mencapai  kesempurnaan. Nama Buddha adalah gelar atau orang suci yang telah mencapai
penerangan sempurna. Semua orang bisa  menjadi Buddha dengan catatan telah melenyapkan
nafsu keinginan (Tanha) dan kekotoran batin (Kilesa).

Buddha mengajarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Tujuan mengajar Dhamma agar
semua makhluk terbebas dari penderitaan, Dhamma artinya ajaran kebenaran atau ajaran
Buddha yang patut kita laksanakan dan praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

B. HARI RAYA ASADHA

Hari raya Asadha adalah hari Dharma. Hari raya Asadha biasanya jatuh pada
bulan Juli atau Agustus. adapun peristiwa atau kejadian penting yang perlu diperingati di
bulan Asadha diantaranya:

1.       Buddha mengajarakan Dhamma pertama kali

2.       Dhamma diajarkan kepada lima (5) orang pertapa yaitu Assaji, Mahanama, Kondanna,
Bhadiya, dan Vappa.

3.       Terbentuknya persaudaraan para Bhikkhu (Ariya Sangha)

Buddha mengajarkan Dharma dengan penuh cinta kasih. Buddha mengajarkan, bagaimana
caranya agar semua orang dapat hidup bahagia. Hidup sesuai ajaran Buddha akan membawa
kebahagiaan dan kedaimaan bagi diri kita dan semua makhluk hidup

C. HARI RAYA KATHINA

 Hari Kathina dikenal sebagai hari Sangha. Sangha adalah persaudaraaan para bhikkhu dan
bhikkhuni.  Sangha bhikkhu dan bhikkhuni adalah para siswa Buddha yang telah
meninggalkan kehidupan berkeluarga. Sangha bhikkhu dan bhikkhuni tinggal di Vihara.
Sebelum hari kathina tiba para bhikkhu menjalani masa vassa. Saaat masa vasa para bhikkhu
tinggal di vihara tertentu selama tiga bulan untuk belajar dharma dan bermeditasi

 Hari raya kathina jatuh pada bulan Oktober. Pada hari raya kathina umat Buddha
berkesempatan memberi dana kepada Sangha. Dana yang diberikan berupa : Jubah, obat-
obatan, makanan, tempat tinggal (Kuti). Dalam memberi kita harus tulus. Memebri pada hari
raya Kathina adalah perbuatan bajik yang besar. Dengan melatih untuk member atau berdana
sama dengan melatih kemoralan hati kita. Tujuan berdana adalah untuk melatih pelepasan
dan mengikis kemelekatan.

 
D. HARI RAYA MAGHA PUJA

Hari Magha memperingati berkumpulnya para bhikkhu di vihara Veluana Arama

Hari Magha jatuh pada bulan Februari atau Maret

Kejadian penting pada hari Magha adalah :

1.       Berkumpulnya 1250 bhikkhu dan semuanya Arahat.

2.       Para Bhikkhu semuanya datang tanpa diundang.

3.       Para Bhikkhu semuanya memiliki kekuatanj gaib dan kesucian.

4.       Semua bhikkhu yang hadir tahbiskan oleh Buddha sendiri dengan mengucapkan Ehi-
Bhikhu.

Tiga hal penting yang harus kita ingat dari makna merayakan hari magha, diantaranya:

a.       Kita harus berhenti berbuat jahat

b.       Kita harus berusaha selalu berbuat baik

c.        Kita juga harus selalu berpikir benar

1.4 Tempat Ibadah

Arama
Arama memiliki ruang Dhammasala, Uposatha (tempat penahbisan bhikkhu), Kuti (tempat
tinggal para bhikhu/bhikhuni), Perpustakaan,dan Taman yang luas.taman ini biasanya
digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka.

Vihara
Vihara memiliki ruang Dhammasala, Kuti(tempat tinggal para
bhikhu/bhikhuni),Perpustakaan.

Cetiya
Cetiya memiliki altar dan ruang Dhammasala/bakti sala.
Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan
ruang dhammasala.jika yang lebih besar bangunannya.ada yg memisahkan ruangnya.ruang
dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat membabarkan dharma.tetapi bykan ruang ini
digabungkan dengan ruang sembayang umum sehingga juga berfungsi sebagai tempat
kebaktian&puja bakti.

1.5 Rohaniwan

Kelompok Sangha terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka
menjalani kehidupan suci untuk meningatkan nilai-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan
hidup berkeluarga. Mereka adalah seorang yang mempunyai tugas untuk membabarkan
Dhamma.

Sangha pada masa sekarang mengalami perluasan makna yakni tidak hanya sebagai penyebar
agama Buddha tetapi juga sebagai tempat belajar upasak-upasaki dalam mencapai tingkat
arahat.

Para biksu atau biksuni (kelompok sangha) hanya memiliki sedikit barang, seperti jubah,
mangkuk (patta), dan pisau untuk mencukur rambut.

Para biarawan dan biarawati ini mengikuti Patimokkha yaitu sebuah aturan yang ketat di
mana mereka bertekad melatih diri untuk melakukan hidup secara sederhana dan berpegang
pada disiplin moralitas.

Bhikkhu Theravada dipanggil bhante, Bhiksu Mahayana dipanggil Suhu dan Bhiksu
Tantrayana dipanggil Lama

Ada rohaniwan selain Bhikkhu dan bhiksu yaitu  Samanera dan Samaneri. 

Samanera adalah calon Bhikkhu dan Samaneri adalah calon bhiksuni. 

Mereka memakai jubbah warnanya ada yang kuning ada yang abu-abu dan ada yang
berwarna cokelat.
2.1 Agama Buddha Nusantara
Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha berasal
dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama
Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi agama mayoritas di
beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha kemudian
juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada
di Indonesia saat ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual,


dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik,
dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok
dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal,
Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita
bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi
sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak
sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi
kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran
diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara
yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat
Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan
pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah
keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan
Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan
pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi
yang sempurna.

2.2 Zaman Kerajaan


Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-
5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali
dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang
berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke
tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama
Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-
Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan
agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia
adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut
agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa


Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada
tahun 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang
masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon.
Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan
kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa
kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun
karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai
kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami
kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai
tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya,
mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada
daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena
tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-
pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak
berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada
masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa
Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

2.3 Tokoh Agama Buddha


Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang
memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu
(hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan
antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng adalah berkisar pada ajaran
Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.

Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias van Dients dan Bhiksu
Lin Feng Fei, kepala Kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (Mangga Besar), Jakarta.
Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha
tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk
mendapatkan pelajaran Agama Buddha.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Pandita Josias
memberikan ceramah Agama Buddha di Kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan
(Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta,
mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar
Jakarta.

Pada tanggal 4 Maret 1934, Yang Mulia (Y.M.) Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri
Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua
Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy Director
General International Buddhist Mission, Java Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M.
Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:

Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat


di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.

Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang


pertama) di Bogor dan Jakarta.
Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Kelenteng-
Kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, Kelenteng Hok Tek
Bio di Bogor, Kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, Kelenteng Tin kok Sin di Solo dan
perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.

Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi, salah


satunya adalah Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha Jawa Tengah
yang kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu
Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.

Kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera memiliki arti penting dalam kebangkitan dan
perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasa beliau, Buddhis
Indonesia mengadopsi Era Buddhis (Buddhist Era) atau Tahun Buddhis berdasarkan pada
penanggalan Era Buddhis yang digunakan oleh negara asal Y.M. Bhikkhu Narada Thera yaitu
Sri Lanka. Pada zaman inilah Agama Buddha di Indonesia mulai menggeliat di ujung
tidurnya.

Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta)


dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Poerbatjaraka sebagai wakil ketua, dan Ny.
Tjoe Hin Hoey sebagai sekretaris. Disamping itu dibentuk juga Java Buddhists Association
Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij
Oen Ho sebagai sekretaris. Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists
Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists Association pusat dan
berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee
Tek Hoay sebagai ketua dan Ny. Tjoa Hin Hoey seagai sekretaris. Dalam majalah Moestika
Dharma, Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan
tapi untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong menyebarkan
ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang condong menyebarkan
ajaran Theravada.

Juga pada tahun yang sama yaitu tahun 1934, dibentuk Central Boeddhistisch Instituut voor
Java (Institut Sentral Buddhis untuk Jawa) yaitu wadah kebersamaan seluruh organisasi Umat
Buddha di Hindia Belanda. Organisasi ini juga menerbitkan media cetak berbahasa Belanda
yang bernama De Dhamma in Nederlandsch-Indie.[5]

Hingga tahun 1935, Kwee Tek Hoay telah banyak membentuk Sam Kauw Hwee, yaitu organisasi-
organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut Agama Buddha, Khonghucu dan Tao,
dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini
pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa untuk menjadi
penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Buddhis
terhenti.

2.4 Organisasi Buddha di Indonesia


Pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) didirikan
Perhimpunan Teosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Teosofi ini
mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang
universal. Teosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari Agama Buddha, di mana seluruh
anggota Teosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari Agama Buddha. Dari
ceramah-ceramah dan meditasi Agama Buddha yang diberikan di Loji Teosofi di Jakarta,
Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, Agama Buddha mulai dikenal,
dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut Agama Buddha di Indonesia, yang setelah
Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di
Indonesia.

Selain itu, di Batavia timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran Agama Buddha
Mahayana, Khonghucu dan Tao yang kemudian lahirlah Organisasi Sam Kauw Hwee (Tri
Dharma / Tiga Ajaran) bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan
tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut Agama Buddha, yang dalam zaman
kemerdekaan Agama Buddha mulai bangkit dan berkembang.

Tidak jarang, bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Tiongkok datang memberikan


bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya
penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang dupa (hio) dan
cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran
Buddha secara rinci.

Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee Tek Hoay
(31 Juli 1886 – 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia
menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama dengan nama Moestika Dharma (1932 –
1941) yang isinya mengenai agama, filsafat, dan kebatinan (teosofi), termasuk di dalamnya
mengenai Agama Buddha. Edisi perdananya pada April 1932 memuat artikel Buddhis
berjudul “Pekerdjaannja Buddha Gautama di djaman sekarang“.

Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta, diketahui bahwa telah
berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah
kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst pada tahun 1929. Organisasi ini merupakan
anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (organisasi ini
mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut dengan International
Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia tahun 1932 dengan Deputy Director
General-nya adalah Josias van Dienst.

2.5 Masa Kemerdekaan


Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya,
mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada
daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena
tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-
pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak
berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada
masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa
Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama


Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka)
bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia
Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk
menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha
terakhir di kepulauan nusantara.[7] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk
mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat oleh seorang
bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama
bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di
Indonesia, di mana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap


adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai
pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri
Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma
Buddhisme di Indonesia, mengenai ketuhanan dalam agama Buddha, maka digagaslah
ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia dengan sebutan "Sang Hyang Adi Buddha".
Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks
Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa
Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal
tersebut, ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan
denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang
terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh Vihara Buddha baru
dibangun. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi
dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi),
yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari
jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran
Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha
hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu
mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari
agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah
sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya
sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili
dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian
yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis Tionghoa, dan
kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam
Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi,
semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

3.1 Pengertian Triratna


Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan
‘ratana/ratna’. Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga
Mustika, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha.
Ratana (Ratna) adalahpermata, mustika yang tidak ternilai harganya dan yang tak ada
bandingnya. Tiga Mustika ini penting bagi umat Buddha karena dengan adanya tiga mustika
ini maka pembebasan diri dari penderitaan dapat dicapai.

Pembebasan dapat dicapai bukan karena kita telah  berlindung kepada Tiratana dalam
pengertian biasa. Berlindung pada Tiratana dengan mengucapkan Tisarana hanyalah
merupakan langkah awal dalam menyatakan tekad, yang selanjutnya dengan melaksanakan
dhamma yang diajarkan oleh Sangha; setelah mendengar Dhamma, seseorang berusaha
mengerti makna Dhamma itu dan kemudian berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.

 Dalam agama Buddha,Tiratana tersebut adalah :

1). BUDDHA-RATANA (mustika Buddha), yaitu Sang Buddha sebagai guru agung
junjungan kita, yang telah memberikan ajaran-Nya kepada umat manusia dan para dewa agar
dapat mencapai kebebasan mutlak, Nibbana.

2).   DHAMMA-RATANA (mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma sebagai ajaran guru suci
junjungan kita Sang Buddha yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang
benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing merekan mencapai Nibbana.

3).  SANGHA-RATANA ( mustika Sangha), yaitu Sang Sangha yang merupakan


persaudaraan Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapanna,
Sakadagami, Anagai, Arahat) dan sebagai pangawal dan pelindung Dhamma, serta
mengajarkan dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga mencapai
Nibbana.

3.2 Jenis dan Sifat Luhur Buddha


Buddha berdasarkan pencapaiannya,terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1.       Samma Sambuddha, adalah orang yang berusaha sendiri sehingga mencapai


Penerangan Agung (Bodhi), mengajarkan orang lain sehingga mereka pun mencapai
Penerangan Agung.

2.       Pacceka Buddha, adalah orang yang berusaha sendiri hingga mencapai Penerangan
Agung (Bodhi), namun tidak dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai penerangan
agung (Bodhi).

3.       Savaka Buddha atau Ariya Puggala, adalah orang yang mencapai Penerangan Agung
(Bodhi) karena belajar dari seorang Samma Sambuddha. Biasa disebut juga arahat. Ada
Arahat yang dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain, sehingga orang lain juga
mencapai kesucian.

Kebajikan-kebajikan Buddha

Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.

Seorang Bddha mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1.       Maha parisudhi, atinya Maha Suci karena terbebas dari semua kekotoan batin denagan
usahanya sendiri. Dengan kesucian ini maka roda samsara dapat dipatahkan dan tidak ada
lagi kelahiran kembali.
2.       Maha Panna, adalah kebijaksanaan tertinggi yang dicapai denga melaksanakan
meditasi Vipassana Bhavana dengan terlebih dahulu menguasai meditasi Samatha Bhavana,
sehingga memiliki kemampuan batin untuk melihat kehidupan-kehidupan yang lampau, serta
kematian dan kelahiran dari mahluk-mahluk, dapat merealisasikan tentang hukum sebab
akibat yang saling bergantungan. Bersamaan dengan pencapaian penerangan agung
kebijaksanaan menjadi sempurna (Maha Panna), Beliau pun memiliki Chalabinna dan
Dasabala yang smpurna. Ia disebut sebagai seorang Sabbanu (Maha Tahu) karena
kesempurnaan kebijaksanaannya itu.

3.       Maha Karuna, adalah cinta kasih dan maha kasih sayang, berkaitan dengan
keccendrungan Sang Buddha untuk meringankan dan akhirnya melenyapkan penderitaan
mahluk-mahluk.

Selain sifat-sifat tersebut diatas, Sang buddha memiliki sembilan macam kebajikan lainnya,
yaitu :

1.      Araham, manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin, karena melenyapkan  semua
Asava deengan pencapaian pengetahuan Asavakkhayanana, yakti pengetahuan yang dapat
melenyapkan kekotoran batin, karena telah meleyapkan kekotoran batin yang sangat halus
sekali.

2.      Samma Sambuddho, manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya


sendiri dan mampu mengajarkan Dhamma yang telah dikemukakannya kepada semua
makhluk.

3.      Vijjacaranasampano, mempunyai pengetahuan dan tindakan sempurna.

4.      Sugato, yang berbahagia, karena sudah dapat merealisasikan dhamma dengan sempurna
dan mengatasi lingkaran kelahiran dengan mencapai Nibbana.

5.      Lokavidu, mengetahui dengan sempurna keadaan alam yang terkena hukum


kesunyataan.

6.      Anuttaro Purisadhammasarathi, pembimbing umat manusia yang tiada taranya.

7.      Sattha devamanussanam, guru suci para dewa dan manusia, yang mengajarkan
Dhamma selain kepada manusia juga kepada dewa.

8.      Buddho, yang sadar, seseorangf yang telah mencapai penerangan sempurna hingga
dapat mematahkan roda samsara.

9.      Bhagava, yang patut dimuliakan, yang dipuja oleh dewa dan manusia karena
kebijaksanaannya.

 
Seorang Samma Sambuddha yang muncul di dunia,seperti Buddha Gotama, mempunyai
tugas-tugas yang harus diselesaikan, yaitu :

1.       Tugas-tugas terhadap dunia, yaitu membimbing dan mengajarkan Dhamma kepaa


semua mahluk agar mereka mencapai kebahagiaan maupun mencapai kesucian batin.

2.       Tugas-tugas terhadap sanak keluarga, yaitu mengajarkan Dhamma kpada sanak


keluargannya, hingga mencapai kesucian batin menjadi Ariya Puggala.

Tugas-tugas sebagai Buddha, yaitu menahbis bhikkhu-bhikkhu da membentuk Sangha,


menggariskan peraturan (vinaya) bagi para anggota Sangha agar mereka dapat melaksanakan
kehidupan suci memelihara keutuhan Dhamma

3.3 Jenis dan Sifat Luhur Dhamma


Dhamma dan Vinaya yang merupakan Ajaran Sang Buddha, dinamakan ”Dhamma”. Kata
Dhamma sangat luas artinya,biasanya penggunaan kata Dhamma dengan arti yang terbatas
dapat diketahui apabila kita menggunakannya atau menemukannya dalam bentuk suatu
ungkapan atau kalimat. Dalam Dhammasangani Atthakatha, Buddhaghosa meyebutkan empat
macam definisi mengenai Dhamma yaitu :

1.       Pariyati, atau ajaran yang dirumuskan. Hal ini berarti semua ajaran Agam Buddha
terdapat dalam kitab Suci Tipitaka.

2.       Hetu, atau kondisi, sebab yang bergantung, pengetahuan analisa tentang Dhamma yang
bermakna, dan pandangan terang tentang kondisi atau sebab yang bergantungan.

3.       Guna, moral atau perbuatan berkualitas, yang terdapat pada perenungan tentang
kebajikan Dhamma.

4.       Nissata-nijivata, atau fenomena sebagai lawan dari substansial.

Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut dalam
ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang berfenomena maupun
tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau dengan kata lain segala
sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada, adalah disebut
sebagai Dhamma.

Dhamma juga berarti kebenaran, kesunyataan, peraturan tata susila, ajaran Sang Buddha.
Istilah Dhmma mempunyai arti yang sanga luas, mencakup tidak hanya benda atau hal yang
bersyarat, tetapi juga hal yang tidak bersyarat,misalnya yang mutlak (nibbana), yakni:

1.       Sankhata Dhamma, keadaan yang bersyarat yakni tertampak pemunculannya,


tertampak lenyapnya, dan selama hal itu tertampak pula perubahan-perubahannya, misalnya :
tata surya, matahari, bumi, gunung, pohon, manusia, laut, danau, sungai, batu, angin, dlsb.

2.       Asankhata Dhamma, keadaan yang tidak bersyarat yakni tidak dilahirkan / tdak
muncul, tidak termusnah, ada dan tidak berubah.
Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma (dharma) tersebut, kita harus
melaksanakannya secar bertahap. Ada tiga tahap pelaksanaan Dhamma, yaitu :

1.       Pariyatti Dhamma : mempelajari Dhamma dengan tekun Kitab Suci Tipitaka /


Dhamma Vinaya.

2.       Patipatti Dhamma    : melaksanakan atau mempraktekkan Dhamma vinaya dalam


kehidupan sehari-hari. Setelah mempelajari Dhamma secara seksama, alangkah mulianya bila
kita melaksanakannya juga. Namun,pelakssanaan Dhamma adalah merupakan suatu hal yang
susah untuk dimulai. Pikiran yang baik akan mendukungb terciptanya pelaksanaan Dhamma
yang murni.

3.       Pativedha Dhamma : hasil penembusan, yakni hasil menganalisa kejadian-kejadian


hidup melalui meditasi Vipssana Bhavana sehingga mencapai kebebasan mutlak.

Di antara ketiga aspek Dhamma itu, Pativedha-dhamma-lah yang merupakan duniawi


(lokuttara). Pativedha dhamma ini terdapat dalam batin mereka yang telah mencapainya
(telah mencapai tingkat-tingkat kesucian). Natin yang demikian itu tidak mungkin lagi
tercemar oleh kekotoran batin yang menjurus kepada kemerosotan. Itulah sebabnya maka
Pativedha Dhamma merupakan Dhammaratana yang dipuja dan memberi harapan pada umat
manusia.

Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah Parinibbana, namun Dhamma mulia ini
telah Beliau wariskan seluruhnya kepada uamt manusia, dalam bentuk yang utuh. Sekalipun
Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis; tentang ajaran-Nya, tetapi para
siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau dengan jalan menghapal dan
mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.

Dhamma akan melindungi mereka yan mempraktekkan Dhamma. Bagi seseorang yang
mempraktekkan Dhamma, ia tak akan jatuh ke alam penderitaan. Sesuai dengan Dhamma,
bila kita mencari kebahagiaan maka hendaknya kita meninggalkan kemoralan (sila), antara
lain melakanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat pentingnya suatu pelaksanaan sebagai tindak-lanjutnya, Sang Buddha bersabbda


dalam dhammapada berikut: ”Seseorang yang kendatipun menghafl banyak kiab suci tetapi
tidak melaksanakan sesuai dengan ajaran, niscaya tak akan memperoleh pahala atau manfaat
dari hidup keagamaan, bagaikan pengembala yang hanya menghitung-hitung sapi milik orang
lain.” (Dhammapada,Yamakavagga, 19).

Kebajikan-Kebajikan Dhamma

Dhamma (pali) atau Dharma (Sansekerta) berarti ajaran, hukum, peraturan-peraturan. Secara
umum Dhamma berarti segala sesuatu yang bersyarat atau yang tidak bersyarat, yang muncul
atau tidak muncul, yang nyata atau abstrak. Dhamma tetap ada walaupun para Buddha ada
atau tidak ada. Dhamma bukan ciptaan para Buddha. Dhamma memeang ada dan selamanya
akan tetap ada selamanya. Buddha hanya penemu dhamma. Setelah menemukannya, beliau
membabarkannya kepada semua maklukagar mereka yang telah siap akan mendapatkan
manfaatnya.

Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswanya dapat memberikan manfaat
dalam kehidupannya. Ada enam kebajikan Dhamma, yaitu :

1.       Svakkhato Bhagavato Dhammo, Dhamma yang diajarkan Sang Buddha telah sempurna
dibabarkan, telah dapat menjadikan orang yang telah mempraktekkan Dhamma tersebut
menjadi sucidan dapat mengatasi lingkaran tumimbal lahir.

2.       Sandhitthiko, berada sangat dekat ( kesunyataan yang dapat dilihat dan dilaksanakan
dengan kekuatan sendiri). Dhamma berada sangat dekat bagi orang yang
memprektekkannyadalam kehidupan sehingga dapat merealisasikan dhamma dalam hidupnya
dengan melenyapkan semua kekotoran batinnya.

3.       Akaliko, tidak lapuk oleh waktu, akan selalu ada walaupun tidak ada Buddha dan telah
dilupakan manusia.

4.       Ehipassiko, mengundang untuk dibuktikan. Dhamma dapat membuat seorang yakin


dan membawanya untuk dapat mempraktekkan kebenarantersebut serta menuai hasilsesuai
dengan praktek Dhammanya.

5.       Opanayiko, menuntun kedalam batin (patut dilaksanakan), yang merupakan ajaran


kebenaran yang patut dilaksanakan untuk melenyapkan semua kekotoran batin dan mencapai
kesucian batin melalui praktek meditasi dan sila yang baik.

6.       Paccatam veditabbo vinnuhi, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-
masing. Dhamma dapat diselami oleh para bijaksana yang telah menjalankan sila yang benar
dan mencapai pandangan terang dalam praktek meditasi.

Setiap orang dapat mempelajari dhamma dengan bebas, memikirkannya dengan tenang dan
bijaksana, dan boleh menerima bagian-bagian yang sesuai dengan pendapatnya masing-
masing, serta boleh menolak bagian-bagian yang tidak dipahami. Buddha Dhamma tidak
memaksa orang untuk percaya secara membabi buta. Semangat yang menjiwai Buddha
Dhamma adalah semangat pemikiran rasional.

3.4 Jenis dan Sifat Luhur Sangha


Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para bhikkhu atau para bhikkhuni. Kata Sangha
pada umumnya di tunjukkan untuk sekelompok bhikkhu atau bhikkuni.

Ada dua jenis persaudaraan bhikkhu (bhikhuni(, yaitu:

1.       Sammuti Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu biasa yang belum mencapai tingkat
kesucian.

2.       Ariya Sangha, adalah persaudaraan bhikkhu yang telah mencapai ariya puggala
(mahluk ariya). Ariya Puggala adalah orang yang telah mencapai salah satu tingkat kesucian
dari empat tingkat kesucian, yang didasarkan pada kualitas pencapaian penyucian batin,
yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.
Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah mencapai
kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang bhikkhu yang
brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-peraturan
kebhikkhuan sidang, dll.

Sangha adalah satu, persaudaraan tingkat dunia, yang kesebuanya berpaokan kepada
Dhamma dan Vinaya. Sangha adalah persaudaraan yang agung, bijak, suci, yang menjadi
panutan umat awam, yang mendamaikan segala permasalahan, yang menjadi kekuatan dari
segala jenis kebaikan, dan kemurahan hati.

Sangha adalah pewaris Ajaran Yang Mulia Buddha Gotama dan berkewjiban untuk
membimbing mereka yang belum mengerti hakekat hidup yang sebenarnya.

Kebajikan-kebajikan Sangha

Sangha adalah perkumpulan siswa Sang Buddha, baik siswa ariya maupun yang masih
memerlukan latihan Dhamma.

Ariya Sangha memiliki sembilan kebajikan Sangha, yaitu:

1.       Supatipanno Bhagavato Savaka Sangho, Siswa sang Bhagava yang melaksanakan


Dhama Vinaya secara sempurna, telah bertindak baik.

2.       Ujupatipanno, yang berkelakuan jujur, telah bertindak lurus.

3.       Nayapatipanno, yang berjalan di jalan benar, menuju Nibbana.

4.       Samicipatipanno, yang tlah bertindak patut, penuh tanggung jawab.

5.       Ahuneyyo, patut menerima pemberian / persembahan.

6.       Pahuneyyo, patut menerima persembahan dana.

7.       Anuttaram Punakhetam lokassa,lapangan untuk menanam jasa, yang tiada taranya di


alam semesta.

Kebutuhan pokok yang diperkenankan bagi Anggota Sangha adalah:

a.       Jubah (Civara), yaitu jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tak bernilai
ekonomi (pamsukula).

b.       Makanan yang diterima sebagai dana (pindapata), yaitu makanan yang secukupnya
untuk mengingatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan ketenangan batin.

c.        Tempat tinggal (Sesana), yaitu berdiamatau bertempat tinggal dalam tempat yang
terlindung dengan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.
d.       Obat-obatan (bhesajja), yaitu yang digunakan sesuai petunjuk dari dokter dan yang
selaras dengan Vinaya, yang dibuat dari bahan-bahan yang tak tercela.

Dengan menggunakan kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut, para bhikkhu tetap berusaha dan
menjaga agar mereka tidak terikat dan melekat kepada keinginan untuk memuaskan diri
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kerena jika bhikkhu tidak waspada, maka keterikatan
pada hal-hal ini akan merintangi usahanya untuk mencapai pembebasan batin.

Tugas memelihara keutuhan ajaran Sang Buddha adalah berada di tangan Sangha,  demikian
juga dalam penyebaran Dhamma adalah terutama dilaksanakan oleh Sangha. Karena itu dapat
dikatakan bahwa Sangha adalah panutan kita, sebagai wakil Sang Buddha dari masa ke masa.
Dan setiap orang yang menjadi bhikkhu, dengan sendirinya menjadi anggota Sangha.

Sangha pertama di dunia mulai menyebarkan dhamma setelah sang Buddha mempunyai 60
orang Bhikkhu yaitu beberapa waktu setelah khotbah pertama di Isipatana pada bulan
Asadha, tahun 588 sebelum masehi

3.5 Kesimpulan
Tiratana (pali) atauTri Ratna (Sansekerta) tediri dari dua kata yaitu ‘Ti/Tri’ dan
‘ratana/ratna’. Ti/Tri artinya tiga dan ratana artinya mustika. Jadi Tiratana artinya Tiga
Mustika, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang menjadi tiang pokok agama Buddha.

Buddha bukanlah nama seseorang, melainkan gelar bagi seseorang yang telah mencapai
penerangan sempurna dengan melenyapkan semua kekotoran batin sampai yang halus
sekalipun.

Segala sesuatu yang berfenomena disebut Dhamma. Namun seperti yang tersebut dalam
ungkapan: ”Sabbe dhamma anata”, berarti bahwa segala sesuatu yang berfenomena maupun
tak berfenomena (bersyarat maupun yang tidak bersyarat), atau dengan kata lain segala
sesuatu yang dibuat atau dipikirkan oleh manusia dan segala sesuatu yang ada, adalah disebut
sebagai Dhamma.

Sangha merupakan komunitas dari para bhikkhu maupun bhikkhuni baik yang telah mencapai
kesucian maupun yang belum. Disebut Sangha jika terdapat minimal 5 orang bhikkhu yang
brekumpul untuk melakukan suatu acara, misalnya pembacaan peraturan-peraturan
kebhikkhuan.

4.1 Pengertian Tripitaka


Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang
digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon
mereka. Sesuai dengan makna istilah tersebut, Tripiṭaka pada mulanya mengandung tiga
"keranjang" atau tiga "kelompok" akan berbagai pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma Piṭaka (Sanskrit;
Pali: Abhidhamma Piṭaka).
Sutta Pitaka berisi kotbah-kotbah Buddha selama 45 tahun membabarkan Dharma berjumlah
84.000 sutta. Vinaya Pitaka berisi peraturan Bhikkhu/ni, sedangkan Abhidhamma Pitaka
berisi ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin
bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang
kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk
dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat
berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya
Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk
mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.

4.2 Konsili Buddhis


Konsili I: Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di
Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa
terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah
Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). 

Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal
sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti
tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran
sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah  Dhamma dan Vinaya sebagai
pelita dan pelindung bagi dirimu".

Konsili II: Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak
mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di
mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok
Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin
mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi
mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi
menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Konsili III: Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga
sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-
ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-
penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.

Konsili III: Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali
pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan
inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi
asalnya.

Konsili IV: Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan


Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83
SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya.
Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.

Konsili V: Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada


permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727
buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Konsili VI: Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun


Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu
penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

4.3Kegiatan Tripitaka Chanting


BERITAMAGELANG.ID - Ribuan umat Buddha Sangha Theravada Indonesia mengikuti
Puja Bhakti Agung Ashada 2563 Budhis Era Tahun 2019 dan pembacaan kitab Tripitaka
Chanting di Taman Lumbini Komplek Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jumat (12/7).

Pimpinan tertinggi Shangha Theravada Indonesia Bante Sri Pannavaro Mahatera


menjelaskan, prosesi yang digelar beberapa pekan setelah Hari Raya Trisuci Waisak, atau
biasa disebut hari raya Ashalha (Ashada) ini diikuti sekitar 1.000 umat dari dalam dan luar
negeri.

Tidak sekedar membaca, umat Budha juga harus terus membaca kitab Tipitaka, dikaji, dan
dipahami sebagai landasan kehidupan sehari-hari.

"Peserta para umat dari pelosok tanah air dan Bikhu mancanegara antara lain Singapura,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Mereka tidak hanya ikut membaca
(mendaraskan) namun juga menjalankan delapan sila (pantangan) puasanya sang Budha,
seperti tidak makan setelah jam 12.00, tidak bernyanyi, tidak berhubungan suami istri, tidak
berkosmetik dan hidup sederhana," papar Bante Pannavaro di sela kegiatan.

Hari raya Asadha Agung, lanjutnya, adalah waktu ketika Sang Buddha Gautama pertama kali
mengajarkan ajaran Dhamma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana Penares
India Kuno.
"Hari ini adalah pembukaan pembacaan kitab suci Tripitaka. Tapi tentu saja tidak bisa
khatam karena jilid yang sangat tebal, mencapai 45.000 bab. Setiap tahun kami hanya bisa
menyelesaikan 10 sutera (10 khotbah Budha) dalam bahasa othentik, bahasa Phali,"
imbuhnya.

Dirjen Bimas Budha Kementrian Agama Chaliyadi mengungkapkan, pelaksanaan Indonesia


Tripitaka Chanting dan Asalha Mahapuja merupakan untuk lima kalinya. Dengan harapan
umat Buddha Indonesia mampu memahami kitab suci itu benar dan utuh. Kemudian
mengaplikasikan ajaran Buddha dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Kita tahu bangsa kita bangsa yang besar majemuk, yang terdiri dari beragam suku ras dan
agama. Maka salah satu dalam memaknai esensi agama diharapkan umat dapat memahami
kitab suci agama itu secara baik benar dan utuh," ungkap Chaliyadi.

Dengan memahami ajaran-ajaran agama yang baik dan benar, keyakinan dalam konteks
Tripitaka, maka kerukunan dan kedamaian bangsa Indonesia bisa terjaga.

"Semua agama mengajarkan bagaimana hidup berdampingan satu dengan yang lain. Kita
diharapkan selalu menjaga intern agama itu sendiri, antar umat beragama dan umat beragama
dan pemerintah. Karena itu, kontek negara yang pluraris ini hidup berdampingan menjadi
sebuah kebutuhan agar kita selalau menjaga keutuhan bangsa Indonesia," paparnya.

Digelar selama tiga hari, Jumat - Minggu (12-14/07) puncak kegiatan Tripitaka Chanting
akan digelar prosesi agung Puja Bhakti di pelataran Candi Borobudur.

4.4 Ringkasan Salah Satu Sutta


CULAGOPALAKA SUTTA

Khotbah Pendek tentang Pengembala Sapi


Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005

[225] 1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri
Vajji di Ukkacela di tepi Sungai Gangga. Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian:
“Para bhikkhu.”-“Yang Mulia Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:

2. Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi suku Magadha yang tolol. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videna di tempat yang tidak ada arungannya. Ketika ternak-ternak itu bergerombol bersama
di tengah arus Sungai Gangga, mereka menemui malapetaka dan bencana. Mengapa
demikian? Karena pengembala Magadha yang tolol itu, di bulan terakhir musim hujan, di
musim gugur, tanpa memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah
sana, menggiring ternaknya menyeberangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang
tidak ada arungannya.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang tidak
terampil di dunia ini dan di dunia lain, tidak terampil di dalam alam Mara dan apa yang
berada di luar alam Mara, tidak terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar
alam Kematian – hal itu akan membawa kerugian dan penderitaan untuk kurun waktu yang
lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan
brahmana itu dan menaruh keyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, dahulu hidup seorang pengembala sapi Magadha yang bijaksana. Di bulan
terakhir musim hujan, di musim gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah
sini maupun di sebelah sana, dia menggiring ternaknya menyeberangi sungai di negara
Videha di tempat yang ada arungannya. Dia membuat sapi-sapi jantan, para pejantan dan
pemimpin ternak itu masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan melawan arus Sungai Gangga
dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Kemudian, dia membuat ternak yang kuat
dan ternak yang akan dijinakkan masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai
Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat sapi betina muda dan
sapi jantan muda masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai
dengan selamat ke pantai seberang. Dia membuat anak-anak ternak dan ternak-ternak yang
lemah masuk sesudah itu. Mereka juga membelah arus Sungai Gangga dan sampai dengan
selamat ke pantai seberang. Pada waktu itu, ada anak sapi yang baru saja lahir sehingga
masih lemah, namun dengan dorongan lenguhah induknya, ia juga membelah arus Sungai
Gangga dan sampai dengan selamat ke pantai seberang. Mengapa demikian? Karena
pengembala Magadha yang bijaksana itu, [226] di bulan terakhir musim hujan, di musim
gugur, setelah memeriksa tepian Sungai Gangga di sebelah sini maupun di sebelah sana,
mengiringi ternaknya menyebrangi pantai seberang di negara Videha di tempat yang ada
arungannya.

5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang
terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam Mara dan apa yang berada di
luar alam Mara, terampil di dalam alam Kematian dan apa yang berada di luar alam Kematian
– hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun waktu yang lama bagi
mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan para petapa dan brahmana itu dan
menaruh keyakinan pada mereka.
6. “para bhikkhu, sebagaimana sapi-sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu membelah
arus Sungai Gangga dan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula bhikkhu-bhikkhu
yang merupakan Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan, yang telah menjalani
kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menaruhkan beban, telah
mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu dumadi, dan telah sepenuhnya
terbebas melalui pengetahuan akhir – dengan membelah arus Mara mereka telah sampai
dengan selamat ke pantai seberang.

7. “Sebagaimana ternak yang kuat dan ternak yang akan dijinakkan itu membelah arus Sungai
Gangga dan selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dngan
hancurnya lima belenggu yang lebih rendah akan muncul lagi secara spontan [di Alam
Kediaman Murni], dan di sana mereka mencapai Nibbana akhir tanpa pernah kembali dari
alam itu. Dengan membelah arus Mara, mereka akan selamat sampai ke pantai seberang.

8. “Sebagaimana sapi betina muda dan sapi jantan muda membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian pula para bhikkhu – yang dengan hancurnya
tiga belenggu dan dengan melemahnya nafsu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin,
merupakan Yang-Kembali-Sekali-Lagi, yang kembali sekali lagi ke dunia ini untuk
mengakhiri penderitaan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan selamat sampai ke
pantai seberang.

9. “Sebagaimana anak sapi dan ternak yang lemah membelah arus Sungai Gangga dan
selamat sampai ke pantai seberang, demikian juga para bhikkhu-yang dengan hancurnya tiga
belenggu, merupakan Pemsuk-Arus, yang tidak lagi terkena kejatuhan, pasti menuju [ke
pembebasan], mengarah ke pencerahan-dengan membelah arus Mara mereka juga akan
selamat sampai ke pantai seberang.

10. “Sebagaimana anak sapi yang baru saja lahir sehingga masih lemah, karena didorong oleh
lenguhan induknya, juga membelah arus Sungai Gangga dan selamat sampai ke pantai
seberang, demikian juga para bhikkhu-yang merupakan para pengikut-Dhamma dan
pengikut-keyakinan-dengan membelah arus mara mereka juga akan selamat sampai ke pantai
seberang.368

11. “Para bhikkhu, aku [227] terampil di dunia ini dan di dunia lain, terampil di dalam alam
Mara dan apa yang berada di luar alam Mara, terampil di alam Kematian dan apa yang berada
di luar alam Kematian. Hal itu akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan untuk kurun
waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka harus mendengarkan aku bdan
menaruh keyakinan padaku.”

12. Itulah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Setelah Yang tertinggi mengatakan hal itu,
Guru pun selanjutnya mengatakan:

“baik dunia ini maupun dunia sana


Dijelaskan dengan baik oleh orang yang tahu,
Dan apa yang masih di dalam jangkauan mara
Serta apa yang di luar jangkauan Kematian.

Karena langsung mengetahui semua alam,


Yang Tercerahkan yang memahami,
Membuka pintu menuju Tanpa-kematian
Yang melaluinya Nibbana dapat dicapai dengan selamat.

Karena arus mara sekarang telah dibelah,


Alirannya telah dihalangi, ilalangnya telah dibuang;
Maka bersuka-citalah, para bhikkhu, dengan megah
Dan teguhkan hati di mana keselamatan terletak.”

4.5 Klasifikasi Tripitaka


Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah
Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh
kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha
mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke
negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis
dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam
Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama


sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan
demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan
Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18
sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya.
Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang
sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama
Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara
Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

Kita sebagai umat buddha, yang paling umum harus kita ketahui adalah kitab suci agama
buddha, Ajaran-ajaran/khotbah-khotbah Sang Buddha semuanya di rangkum dalam satu
bagan yaitu : Tipitaka, yang artinya tiga keranjang.

Kitab suci agama Buddha pada zaman dahulu di tulis dalam bahasa pali (bahasa yang di
gunakan sehari-hari di India sebelum masehi) di daun lontar, daun lontar masih tersimpan
utuh di vihara alu, Srilangka, sekarang banyak beredar buku bacaan tipitaka saduran dari
daun lontar bisa di dapat di toko-toko buku atau vihara.

Inilah Skema/bagan/pembagian kitab suci agama Buddha Tipitaka.

Agar lebih mudah di ingat/pelajari, buatlah skema Tipitaka di atas sebuah karton dan
tempelkan di dinding rumah/kamar anda.

Tipitaka terbagi atas 3 bagian :

1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri (terdiri dari
5 kitab)

a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara

2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha (terdiri dari 5 Nikaya)

a. Digha Nikaya : berisi khotbah ukuran panjang 34 sutta.


1. Silakkhanda vagga (13 sutta)
2. Maha vagga (10 sutta)
3. Pathika vagga (11 sutta)

b. Majjhima Nikaya : berisi khotbah ukuran sedang (5 vagga) 152 Sutta.


1. Mula Pannasa
a. Mula pariyaya vagga (10 sutta)
b. Silanda vagga (10 sutta)
c. Opamma vagga (10 sutta)
d. Culamaya vagga (10 sutta)

2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)

3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)

c. Samyutta Nikaya : berisi 5 Samyutta (7.762 sutta)


1. Sagatha ragga samyutta
2. Nidana ragga samyutta
3. Khanda ragga samyutta
4. Salayata ragga samyutta
5. Maha raga samyutta

d. Anguttara Nikaya : berisi 11 Nipata (9.557 sutta)


1. Ekaka Nipata
2. Duka Nipata
3. Tika Nipata
4. Cattuka Nipata
5. Pancaka Nipata
6. Chakka Nipata
7. Sattaka Nipata
8. Attaka Nipata
9. Navaka Nipata
10. Dasaka Nipata
11. Ekadasaka Nipata

e. Khuddaka Nikaya : berisi 15 kitab


1. Khuddaka Patta
2. Dhammapada
3. Udana
4. Ittivuttaka
5. Sutta Nipata
6. Vimana vatthu
7. Peta vatthu
8. Thera vatthu
9. Theri vatthu
10. Jataka
11. Nidessa
12. Patismbhidamaga
13. Apadana
14. Buddhavamsa
15. Carita pitaka

3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha (terdiri
dari 7 kitab )
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana
5.1 Pengertian

Jalan Utama Berunsur Delapan (bahasa Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; bahasa


Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ) merupakan ajaran utama agama Buddha yang
menjelaskan "Jalan" menuju lenyapnya Penderitaan (Dukkha) dan mencapai pencerahan.
Jalan Utama Berunsur Delapan merupakan bagian keempat dari Empat Kebenaran Mulia.
Bagian pertama dari Jalan Utama Berunsur Delapan adalah Pengertian Benar akan Empat
Kebenaran Mulia yang juga dikenal sebagai "Jalan Tengah".

Jalan menuju lenyapnya penderitaan telah ditunjukkan oleh Sang Buddha melalui Jalan Mulia
Berunsur Delapan atau disebut juga sebagai Jalan Tengah (Majjhima Patipada), karena dalam
mempraktekkan Buddha Dhamma, Sang Buddha menasehatkan kepada para siswanya untuk
mengikuti Jalan Tengah dan menghindarkan diri dari Dua cara ekstrim yang salah, yaitu :

Mencari kebahagiaan dengan menuruti atau memuaskan nafsu-nafsu indera.

Mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri.

Mencari kebahagiaan dengan cara ekstrim itu tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati,
cara itu tidak akan dapat menghentikan daur tumimbal lahir yang terus menerus, yang berarti
tidak dapat melenyapkan penderitaan bahkan menimbulkan penderitaan-penderitaan baru.

Disebut ‘Jalan Mulia’ karena bila dilaksanakan dengan benar, maka akan menuntun
seseorang ke kehidupan yang mulia., disebut ‘ Berunsur Delapan ‘, karena terdiri dari delapan
unsur/ruas/jalur yang menuntun seseorang menuju tercapainya Nibbana.

“ Di antara semua jalan, maka "Jalan Utama Berunsur Delapan" adalah yang terbaik; ”
di antara semua kebenaran, maka "Empat Kebenaran Mulia" adalah yang terbaik.

Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di
antara semua mahluk hidup, maka orang yang 'melihat' adalah yang terbaik. Inilah
satu-satunya 'Jalan'. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian
pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).

Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula
yang kutunjukkan setelah aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri
(kekotoran batin).

Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'.
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki 'Jalan' ini akan terbebas dari belenggu
Mara.

5.2 Penggolongan

Jalan Utama Berunsur Delapan sering kali dibagi menjadi tiga bagian:

·         Kebijaksanaan (Pali: Pañña; Sanskerta: prajñā)

1.   Pengertian Benar (sammä-ditthi)

2.   Pikiran Benar (sammä-sankappa)

·         Kemoralan (Pali: Sīla)

3.   Ucapan Benar (sammä-väcä)

4.   Perbuatan Benar (sammä-kammanta)

5.   Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

·         Konsentrasi (Pali: Samädhi)

6.   Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

7.   Perhatian Benar (sammä-sati)


8.   Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

Kedelapan unsur tersebut menyandang kata Benar yang diterjemahkan dari kata sammä (Pali)


atau samyañc (bahasa Sanskerta). Kata-kata lain seperti sempurna (perfect) atau sesuai (ideal)
[2]

“ Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau
jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?

Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan,
tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan
benar, setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma
ini dimasukkan ke dalam kelompok moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran
benar, konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok
Meditas (Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-
dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna) ”
— Culavedalla Sutta

5.3 Klasifikasi Panna

Kebijaksanaan (Pañña)
Pengertian Benar

Pengertian Benar (samma-ditthi) yang merupakan kunci utama agama


Buddha, Tipitaka menjelaskan [4]

“ Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? ”

Pengetahuan tentang Dukkha, pengetahuan tentang asal usul Dukkha, pengetahuan


tentang berhentinya Dukkha, pengetahuan tentang cara berlatih yang membawa pada
berhentinya Dukkha.:
Inilah, para bhikkhu, yang dikatakan pandangan benar.
— Magga-vibhanga Sutta

Pengertian Benar mencakup pengetahuan tentang:

·         Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani)

·         Tiga Corak Umum (Tilakkhana)

·         Hukum Sebab-musabab (Paticcasamuppada)

·         Hukum Kamma

Bhikkhu Sariputta menjelaskan lebih lanjut mengenai "Pengertian Benar" dalam Sammaditthi


Sutta (Pali:Sammādiṭṭhi Sutta), di mana dijelaskan pula bahwa pengertian benar dapat dicapai
melalui pengertian yang lebih mendalam akan kebijakan dan ketidak-bijakan, empat jenis
makanan (cattaro ahara), dua belas nidana atau tiga noda (asava). "Pengertian Salah" timbul
karena ketidaktahuan (avijja), yang merupakan penyebab dari pemikiran salah, ucapan salah,
perbuatan salah, pencaharian salah, daya-upaya salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah.
Praktisi (penganut agama Buddha) harus menggunakan daya-upaya benar untuk
meninggalkan pengertian salah dan mempertahankan pengertian benar. Perhatian benar
digunakan untuk senantiasa berada pada pengertian benar.

Pemikiran Benar

Pengertian Benar mengakibatkan Pemikiran Benar (sammä-sankappa). Karena itu, faktor


kedua dari jalan utama ini, mempunyai dua tujuan:

·         melenyapkan pikiran-pikiran jahat, dan ;

·         mengembangkan pikiran-pikiran baik. Pikiran baik terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1.    Nekkhamma; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri
yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

2.    Abyapada; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.

Avihimsa; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.

5.4 Klasifikasi Sila


Kemoralan (Sīla)
Ucapan Benar

Ucapan Benar (sammä-väcä) adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã),
memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar / caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang
tidak bermanfaat / pergunjingan (samphappalãpã). Berikut syarat untuk sebuah ucapan
dikategorikan sebagai ucapan benar.

·        Ucapan itu benar

·        Ucapan itu beralasan

·        Ucapan itu berfaedah

·        Ucapan itu tepat pada waktunya

“ Pangeran, demikian juga dengan ucapan atau kata-kata semacam itu yang diketahui ”
oleh Tathagata bukan mewakili apa keadaannya tidaklah sesuai dengan kebenaran
dan tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan mana adalah tidak disenangi dan
tidak disetujui oleh orang-orang lain. Tathagata tidak mengatakan ucapan-ucapan
semacam itu.

Ucapan semacam itu yang diketahui oleh Sang Tathagata mewakili apa keadaannya,
sesuai dengan kenyataan, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini
adalah tidak disenangi dan tidak disetujui oleh orang-orang lain, maka ucapan-
ucapan itu tidak diucapkan oleh Tathagata.

Ucapan Tathagata ketahui mewakili apa keadaannya, sesuai dengan realita,


berhubungan dengan kebaikan, tetapi ucapan itu adalah tidak disenangi dan tidak
disetujui oleh orang-orang lain, maka Tathagata tahu waktu yang tepat untuk
menggunakan ucapan itu.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, tidaklah mewakili keadaan, tidak cocok
dengan realita dan tidak berhubungan dengan kebaikan tetapi ucapan itu disetujui
oleh orang-orang lain  : ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui oleh Sang Tathagata, mewakili keadaannya sesuai dengan
realita, tetapi tidak berhubungan dengan kebaikan, ucapan ini disenangi dan disetujui
oleh orang-orang lain; ucapan semacam itu tidak diucapkan oleh Sang Tathagata.

Ucapan yang diketahui Tathagata, mewakili keadaannya, sesuai dengan realita dan
berhubungan dengan kebaikan, juga ucapan ini disenangi dan disetujui oleh orang-
orang lain; Tathagata mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan ucapan itu.
Mengapa ? Sebab Tathagata mempunyai rasa kasih sayang terhadap makhluk-
makhluk itu.
— Abhayarajakumara Sutta,
Perbuatan Benar

Perbuatan Benar (sammā-kammanta) juga dapat diartikan sebagai "tindakan benar". Praktisi
(dalam hal ini penganut agama Buddha) diharapkan untuk bertindak benar secara moral, tidak
melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang
lain. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah , para bhikkhu, perbuatan benar?

Menahan diri dari pembunuhan, menahan diri dari pencurian, menahan diri dari hal-
hal yang berhubungan dan melakukan kegiatan seksual.:

Ini, para bhikkhu, yang disebut perbuatan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta
Pencaharian Benar

Pencaharian Benar (sammā-ājīva) berarti bahwa praktisi (pengikut Agama Buddha) tidak


sepatutnya berhubungan dengan usaha atau pekerjaan yang, secara langsung atau tidak
langsung, melukai mahluk hidup lainnya. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar?

Ada kasus di mana seorang murid dari Yang Mulia, meninggalkan penghidupan tidak
jujur, hidup dengan penghidupan benar:

Inilah, para bhikku, yang disebut penghidupan benar. ”


— Magga-vibhanga Sutta

Lima jenis bisnis yang seharusnya tidak dilakukan olah seorang umat awam:

1.    Bisnis Senjata

2.    Bisnis Manusia

3.    Bisnis Daging


4.    Bisnis barang yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

5. Bisnis Racun

5.5 Klasifikasi Samadhi

Konsentrasi (Samädhi)
Daya-upaya Benar

Daya-upaya Benar (sammā-vāyāma) juga dapat diartikan dengan "usaha benar". Untuk hal
ini, praktisi (pengikut agama Buddha) harus berupaya keras untuk meninggalkan seluruh
pikiran yang salah dan dapat merugikan, perkataan, dan perbuatan. Praktisi (penganut agama
Buddha) sebaliknya harus berupaya keras untk meningkatkan apa yang baik dan berguna
untuk diri mereka sendiri dan orang lain dalam pemikiran mereka, perkataan dan perbuatan,
tanpa mengikut-sertakan pemikiran akan kesulitan atau kekhawatiran. Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? ”

(i) Di mana seorang bhikkhu memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh,


menegakkan & mempertahankan kehendaknya untuk tidak memunculkan hal buruk,
kualitas tidak terampil yang belum muncul.

(ii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk meninggalkan hal buruk, kualitas yang tidak
terampil yang telah muncul.

(iii) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kualitas terampil yang belum muncul.

(iv) Dia memunculkan keinginan, usaha keras, bersiteguh, menegakkan &


mempertahankan kehendaknya untuk mempertahankan, mengerti, menambah,
memperbanyak, mengembangkan, & mengumpulkan kualitas terampil yang telah
muncul:

Ini, para bhikkhu, yang disebut usaha benar.


— Magga-vibhanga Sutta

Keempat daya-upaya benar dimaksud di atas adalah[8]:

·        Usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul,

·        Usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul,

·        Usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul, dan

·        Usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.

Perhatian Benar

Perhatian Benar (sammā-sati), juga dapat diartikan sebagai "Ingatan Benar" atau "Kesadaran
Benar". Dengan demikian penganut agama Buddha harus senantiasa menjaga pikiran-pikiran
mereka terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Mereka harus waspada dan
berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau berkata-kata karena kelalaian atau kecerobohan.
Tipitaka menjelaskan hal ini demikian:

“ Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? ”

(i) Di mana ada seorang bhikkhu tetap fokus pada tubuh kedalam & keluar — tekun,
sadar, & perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan
dengan dunia.

(ii) Dia tetap terfokus pada sensasi kedalam & keluar — tekun, sadar, & perhatian —
membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

(iii) Dia tetap terfokus pada pikiran kedalam & keluar — tekun, sadar, perhatian —
membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

(iv) Dia tetap terfokus pada kualitas mental kedalam & keluar — tekun, sadar,
perhatian — membuang keserakahan & kecemasan yang berhubungan dengan dunia.

Ini, para bhikkhu, yang disebut perhatian benar.


— Magga-vibhanga Sutta
Konsentrasi Benar

Konsentrasi Benar (sammā-samādhi), seperti yang ditunjukkan dalam bahasa Pali, adalah
melatih konsentrasi (samādhi). Dengan demikian seorang praktisi memusatkan pikiran
kepada suatu objek pikiran hingga mencapai konsentrasi penuh dan masuk kedalam kondisi
meditatif (Jhana). Biasanya, pelatihan samadhi dapat ditempuh melalui pengaturan
pernapasan (anapanasati), melalui visualisasi benda (kasina), dan melalui pengulangan
kalimat-kalimat tertentu. Samadhi dilakukan untuk menekan lima gangguan guna memasuki
jhana. Jhana merupakan sebuah media guna pengembangan kebijaksanaan dengan
menanamkan pengertian dan menggunakannya untuk menguji kesungguhan suatu fenomena
dengan pengenalan langsung. Hal ini membantu mengurani kekotoran, merealisasikan
dhamma dan, pada akhirnya, mencapai kesadaran diri. Selama berlatih konsentrasi benar,
seorang praktisi harus memeriksa dan membuktikan pandangan benar mereka. Pada proses
demikian, pengetahuan benar akan timbul, dan diikuti dengan pembebasan sesungguhnya.
Tipitaka menjelaskan:

“ Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar?

(i) Di mana ada seorang bhikkhu — sepenuhnya melepaskan sensualitas, melepaskan


kualitas (mental) tidak terampil — memasuki & berdiam dalam jhana pertama:
kegirangan dan kenikmatan yang muncul dari pelepasan, disertai oleh pemikiran yang
diarahkan & penilaian.

(ii) Dengan menenangkan pemikiran yang diarahkan & evaluasi, dia memasuki &
berdiam di dalam jhana kedua: kegirangan dan kenikmatan muncul dari konsentrasi,
penyatuan dari kesadaraan yang bebas dari pemikiran yang diarahkan & penilaian —
kepastian dari dalam.

(iii) Dengan hilangnya kegirangan, dia tetap dalam ketenangan, perhatian & awas, dan
merasakan kenikmatan dengan tubuhnya. Dia memasuki & berdiam di dalam jhana
ketiga, yang dinyatakan oleh Yang Mulia, "Ketenangan & perhatian, dia memiliki
kenikmatan yang terus menerus."

(iv) Dengan meninggalkan kenikmatan & sakit — bersamaan hilangnya kebahagiaan &


penderitaan yang sebelumnya — dia memasuki & berdiam di dalam jhana keempat:
kemurnian dari ketenangan & perhatian penuh, tidak nikmat ataupun sakit.

Ini, para bhikkhu, yang disebut konsentrasi benar.

Anda mungkin juga menyukai