Anda di halaman 1dari 58

KEGIATAN BELAJAR 4:

DHAMMACAKKAPAVATTHANA
SUTTA

Capaian Pembelajaran
Mata Kegiata n

Capaian pembelajaran yang diharapkan dicapai peserta


setelah mempelajari materi Dhammacakkapavatthana Sutta adalah
mampu menganalisis Nilai Sejarah dalam Dhammacakkapavatthana
Sutta, mampu menganalisi dua hal ekstrim yang harus ditinggalkan,
mampu memahami hukum Empat Kesunyataan Mulia dan mampu
menganalisis dan memiliki pemahaman tentang delapan unsur yang
terdapat dalam Ariya Atthangika Magga sebagai satu -satuny a jalan
untuk mencapai pembebasan.
A. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Subcapaian pembelajaran yang diharapkan dicapai peserta adalah mampu:


1. Menganalisis nilai-nilai kesejarahan yang terkandung dalam
Dhammacakkappavattana Sutta
2. menganalisis nilai-nilai Dhammacakkappavattana Sutta
3. menganalisis isi yang terkandung dalam unsur Panna, Sila dan Samadhi
B. Materi Pokok

Materi pokok yang dipelajari dalam kegiatan belajar 1 adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kesejarahan Dhammacakkapavattana Sutta, dan
2. Dhammacakkapavattana Sutta
3. Pengelompokan unsur yang terkandung dalam Panna, Sila dan Samadhi.

URAIAN MATERI
1. Nilai-Nilai Kesejarahan Dhammacakkapavattana Sutta
Saudara, Anda tentu tahu bahwa dalam kehidupan manusia selalu mengalami perubahan
baik secara jasmani maupun batin. Fase yang dialami oleh setiap manusia bahkan semua
makhluk yaitu lahir, tua sakit, mati merupakan sebuah kepastian. Di kerajaan Kapilavatthu pun

1
tak lepas dari fase tersebut. Namun karena Raja Sudhodana tau jika Pangeran Sidharta melihat
fase tersebut maka akan meninggalkan kerajaan, maka Raja mengondisikan agar disekeliling
istana tidak nampak situasi demikian. Hingga Pangeran Sidharta dewasa, tidak pernah melihat
fase tersebut dan hanya menikmati kehidupan yang nyaman dan mewah. Fase tersebut akan
terlihat diluar tembok tinggi kerajaan, benar-benar hanya ada diluar kerajaan.
Pada suatu waktu, Pangeran Sidharta meminta ijin kepada Ayahnya untuk keluar dari
istana. Tentu saja sebelum Pangeran Sidharta keluar istana seluruh lingkungan masyarakat
ditata dengan rapi dan suasana semarak untuk menyambut Pangeran Sidharta. Namun dalam
perjalanan tiba-tiba muncul laki-laki tua dalam keramaian dalam keramaian. Laki-laki tua itu
nampak kurus kering, layu bungkuk berpunuk (Kusaladhamma;2007:54). Pangeran Sidharta
sangat terpukau dengan pemandangan yang baru pertama dijumpainya dan menanyakannya
kepada kusirnya yang bernama Channa.
Perjalanan keluar istana dilanjutkan oleh Pangeran Sidharta pada hari ke dua, ketiga dan
keempat. Selama perjalanan tersebut Pangeran Sidharta melihat empat penampakan agung
yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan pertapa suci. Setelah melihat empat penampakan
agung tersebut Pangeran Sidharta merenungkan penampakan-penampakan tersebut hingga
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kehidupan berkeluarga, mencari jalan untuk
terbebas dari keempat fase perubahan tersebut dan akhirnya menemukan jalan atau ajaran
kebenaran (Dhamma) terbebas dari fase tua, sakit, dan mati. Setelah melalui pertapaan yang
ekstrim yaitu menyiksa diri, akhirnya Pertapa Sidharta menemukan kebenaran sejati (Dhamma)
dan tercapailah kesempurnaan.
Setelah pencaian pencerahannya, Buddha berpikir “Ajaran ini sangatlah mendalam,
Sangat tidak mungkin saya bias menjelaskan dengan kata-kata tentang apa yang telah saya
capai, maka sebaiknya tidak usah saya mengajarkannya”. Saya hanya akan duduk diam di
bawah pohon bodhi hingga akkhir usia saya. Pemikiran tersebut sangat mengganggu: pergi
dan hidup sendiri tanpa berurusan dengan kehidupan masyarakat. Ketika Buddha sedang
mempertimbangkan hal tersebut, datanglah Brahma Sahampati berusaha meyakinkan Buddha
agar berkenan mengajar Dharma. Brahma Sahampati memohon kepada Buddha dengan
mengatakan bahwa pasti ada makhluk yang mampu mengerti ajarannya, makhluk yang hanya
memiliki sedikit debu di matanya. Maka ajaran Buddha ditujukan bagi mereka yang hanya
memiliki sedikit debu di matanya.

2
Setelah kedatangan Brahma Sahampati, Buddha melanjutkan perjalanan dari Bodh Gaya
ke Varanasi. Beliau bertemu dengan seorang pertapa yang tertarik pada penampakan Buddha
yang bercahaya. Pertapa itu bertanya: “Apakah yang telah engkau temukan?” dan Buddha
menjawab :”Aku adalah yang telah tercerahkan sempurna, Sang Arahat, Sang Buddha.”
Kejadian ini seperti kotbah pertama dan hasilnya adalah kegagalan karena pertapa
tersebut berpikir bahwa Buddha telah berpikir terlalu keras dan berlebihan memandang dirinya
sendiri. Itu nampak wajar kan? Karena kita sendiri bila mendengar orang yang mengaku
demikian pastilah akan berpikir wah dia sangat menyombongkan diri. Tetapi, pernyataan
Buddha adalah ajaran yang hebat dan tepat. Ajaran yang sempurna namun tidak dapat
dipahami oleh orang-orang yang memiliki banyak debu di mata mereka.
Menjadi hal yang wajar apabila Beliau merasa pesimis akan membabarkan ajaran yang
telah ditemukan. Dengan permohonan Brahma Sahampati dan berbagai pertimbangan melalui
perenungan, akhirnya Buddha memutuskan membabarkan Dharma. Buddha membabarkan
Dharma untuk pertama kalinya yang dikenal dengan Dhammacakka-pavattana Sutta pada hari
Āsādha ini lebih dari 2500 tahun yang lalu.
Dhammacakkapavattana Sutta berisi Empat Kebenaran Mulia yaitu “kebenaran mulia
tentang dukkha, kebenaran mulia tentang sebab dukkha, kebenaran mulia tentang lenyapnya
dukkha, dan kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya dukkha”. Khotbah ini
dibabarkan kepada lima orang petapa yang bernama Koṇḍañña, Vappa, Bhaddiya, Mahānāma,
dan Assaji. (Kusaladhamma;2007:54).
Dengan mempelajari Empat Kebenaran Mulia, sangat berdampak pada kehidupan
seseorang. Sebagaimana yang Buddha teladankan langsung, melalui cara bertapa yang ekstrim
pada awalnya tidak mampu mencapai penembusan kebenaran mulia tersebut. Namun setelah
dilakukan dengan cara yang tepat, tidak juga dengan berfoya-foya, yakni dengan jalan tengan,
Beliau mampu mencapai penembusan dan mampu menyelami serta merealisasi Empat
Kebenaran Mulia, hingga tercapailah kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.
Demikian pula untuk umat awam seperti kita semuanya, apabila memahami dengan baik
akan Empat Kebenaran Mulia dan senantiasa mempraktikkannya dalam keseharian, maka tidak
ada lagi kesedihan yang mendalam dalam batin setiap orang. Dengan pemahaman yang
mendalam akan Empat Kebenaran Mulia, maka seseorang akan senantiasa menjaga pikirannya
agar tidak menimbulkan sebab dari dukkha. Hal yang dapat dilakukan, saat keberhasilan
praktik empat keenaran mulia dalam kehidupan sehari-hari adalah manusia akan menjaga

3
pikirannya untuk selalu waspada. Dengan demikian tidak mempertahankan pikiran yang
negatif dan tidak mendatangkan banyak keinginan duniawi yang berlebihan. Tahapan
selanjutnya adalah akan senantiasa menjaga kehendak dalam tahap : menghapus kehendak
buruk yang telah muncul, melaksanakan kehendak baik yang telah muncul dan memunculkan
kehendak baik yang belum pernah dilakukan.
Begitu luar biasa nilai yang dapat diambil dari Dhammacakkapavattana Sutta untuk
diterapkan dalam keseharian. Dari sutta tersebut, manusia tergiring dengan baik menuju
kebahagiaan bebas dari kemelekatan, sehingga batin akan menjadi tenang, penuh suka cita,
dan meminimalisasi kehendak tidak baik yang akan muncul. Sebagaimana dianalisis bahwa
umat Buddha dapat menggunakan Empat Kebenaran Mulia untuk kemajuan spiritual kita.
Bahwa sebagai umat Buddha dapat menerapkan kebenaran mulia dalam kehidupan sehari-hari
untuk menghadapi munculnya kemelekatan terhadap keinginan-keinginan pikiran.

2. Isi Dhammacakkapavattana Sutta

Demikianlah yang Ku dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā bersemayam di dekat
kota Benares, di Taman Rusa Isipatana (Migadāya). Di sana, Sang Bhagavā bersabda kepada
rombongan lima orang bhikkhu (Assajji, Vappa, Bhadiya, Koṇḍanna, Mahānama), demikian:
“Dua hal yang berlebihan (ekstrim) ini, O, para Bhikkhu, tidak patut dijalankan oleh mereka
yang telah meninggalkan rumah untuk menempuh kehidupan tak berkeluarga, apakah dua
ini?” “Menuruti kesenangan nafsu indria yang rendah, yang tidak berharga dan tidak berfaedah,
kasar, duniawi, atau melakukan penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak berharga dan tidak
berfaedah.

Setelah menghindari kedua hal yang berlebih-lebihan ini, O, para Bhikkhu, jalan tengah
(majjhimā-paṭipadā) yang telah sempurna diselami oleh Tathāgata, yang membukakan Mata
Batin (Cakkhu-Karaṇī), yang menimbulkan Pengetahuan (Nāṇa-Karaṇī), yang membawa
Ketentraman (Upasamāya), Kemampuan Batin luar biasa (Abhinnāya), Kesadaran Agung
(Sambodhāya), Pencapaian Nibbāna (Nibbānāya).”

“Apakah, O, para bhikkhu, Jalan Tengah yang telah sempurna diselami oleh Tathāgata,
yang membukakan Mata Batin, yang menimbulkan Pengetahuan, yang membawa
Ketentraman, Kemampuan Batin luar biasa, Kesadaran Agung, Pencapaian Nibbāna itu? Tiada
lain Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Aṭṭhangika Magga), yaitu:

1. Sammā-Diṭṭhi (Pengertian Benar)


2. Sammā-Saṅkappa (Pikiran Benar)
3. Sammā-Vācā (Ucapan Benar)
4. Sammā-Kammanta (Perbuatan Benar)
5. Sammā-Ājīva (Penghidupan Benar)
6. Sammā-Vāyāma (Usaha Benar)

4
7. Sammā-Sati (Kesadaran Benar)
8. Sammā-Samādhi (Samādhi Benar)

Itulah sesungguhnya Jalan Tengah, O, para Bhikkhu, yang telah sempurna diselami oleh
Tathāgata yang membukakan Mata Batin, yang menimbulkan Pengetahuan, yang membawa
Ketentraman, Kemampuan Batin luar biasa, Kesadaran Agung, dan Pencapaian Nibbāna.”

“Sekarang, O, para Bhikkhu, Kesunyataan (Kebenaran) Mulia tentang Dukkha (Dukkha


Ariya Sacca), yaitu: Kelahiran adalah dukkha (penderitaan), usia tua adalah dukkha, penyakit
adalah dukkha, kematian adalah dukkha, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah
dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diingini adalah
dukkha, singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan (pancapādānakkhandhā) merupakan
dukkha.”

“Sekarang, O, para Bhikkhu, Kesunyataan Mulia tentang Sebab Dukkha (Dukkha Samudaya
Ariya Sacca), yaitu: Ketagihan (Taṇhā) yang menyebabkan tumimbal lahir, disertai dengan
nafsu indria (Nandi-Rāga-Sahagatā) yang menemukan kesenangan di sana sini, yaitu:

1. Kāma-Taṇhā :ketagihan akan kesenangan indria,


2. Bhava-Taṇhā :ketagihan akan penjelmaan,
3. Vibhava-Taṇhā :ketagihan akan pemusnahan diri sendiri.”

“Sekarang, O, para Bhikkhu, Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkha Nirodha
Ariya Sacca), yaitu: Terhentinya semua nafsu indria tanpa sisa, melepaskannya, bebas, terpisah
sama sekali dari ketagihan tersebut.”

“Sekarang, O, para Bhikkhu, Kesunyataan Mulia tentang Jalan Untuk Melenyapkan Dukkha
(Dukkha Nirodha Gāminī Paṭipadā Ariya Sacca), tiada lain Jalan Mulia Berunsur Delapan
(Aṭṭhangika Ariya Magga), yaitu:

1. Sammā-Diṭṭhi (Pengertian Benar)


2. Sammā-Saṅkappa (Pikiran Benar)
3. Sammā-Vācā (Ucapan Benar)
4. Sammā-Kammanta (Perbuatan Benar)
5. Sammā-Ājīva (Penghidupan Benar)
6. Sammā-Vāyāma (Usaha Benar)
7. Sammā-Sati (Kesadaran Benar)
8. Sammā-Samādhi (Samādhi Benar)

“Inilah Kesunyataan Mulia tentang Dukkha. Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai


segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang dan jelas.
Timbullah Pandangan (Cakkhu), timbullah Pengetahuan (Nāṇa), timbullah Kebijaksanaan
(Pannā), timbullah Penembusan (Vijjā), Timbullah Cahaya (Āloko).

5
Kesunyataan Mulia tentang Dukkha ini harus dipahami (Parinneyya). Demikianlah, O, para
Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang
dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.

Kesunyataan Mulia tentang Dukkha ini telah dipahami. Demikianlah, O, para Bhikkhu,
mengenai segala sesuatu (Dhamma), yang belum pernah Saya dengar menjadi terang dan
jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.”

“Inilah Kesunyataan Mulia tentang Sebab Dukkha. Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai
segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang dan jelas. Timbullah
Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah Penembusan,
timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Sebab Dukkha yang harus dilenyapkan (Pahātabba).
Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya
dengar menjadi terang dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah
Kebijaksanaan, timbullah Penembusan, timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Sebab Dukkha yang telah dilenyapkan. Demikianlah, O, para
Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang
dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.”

“Inilah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha. Demikianlah, O, para Bhikkhu,


mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang dan jelas.
Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dicapai (Sacchikātabba).
Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya
dengar menjadi terang dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah
Kebijaksanaan, timbullah Penembusan, timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang telah dicapai. Demikianlah, O, para
Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang
dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.”

“Inilah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Untuk Melenyapkan Dukkha. Demikianlah, O, para
Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya dengar menjadi terang
dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah Kebijaksanaan, timbullah
Penembusan, timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Untuk Melenyapkan Dukkha yang harus dikembangkan
(Bhāvatabba). Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum

6
pernah Saya dengar menjadi terang dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan,
timbullah Kebijaksanaan, timbullah Penembusan, timbullah Cahaya.

Inilah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Untuk Melenyapkan Dukkha yang telah dikembangkan.
Demikianlah, O, para Bhikkhu, mengenai segala sesuatu (Dhamma) yang belum pernah Saya
dengar menjadi terang dan jelas. Timbullah Pandangan, timbullah Pengetahuan, timbullah
Kebijaksanaan, timbullah Penembusan, timbullah Cahaya.”

“Demikianlah, selama Pengetahuan dan Pengertian Saya (Yathābhūta Nāṇa-Dassana) tentang


Empat Kesunyataan Mulia sebagaimana adanya, masing-masing dalam tiga tahap dan dua
belas segi pandangan ini belum sempurna betul, maka, O, para Bhikkhu, Saya tidak menyatakan
kepada dunia bersama para dewa dan Māra-nya, kepada semua makhluk, termasuk dewa-
dewa dan manusia- manusia, bahwa Saya telah mencapai Kebijaksanaan Agung (Anuttara
Sammā-Sambhodi).”

Ketika Pengetahuan dan Pengertian Saya tentang Empat Kesunyataan Mulia sebagaimana
adanya, masing-masing dalam tiga tahap dan dua belas segi pandangan, telah sempurna,
hanya pada saat itu, O, para Bhikkhu, Saya menyatakan kepada dunia bersama para dewa dan
Māra-nya, kepada semua makhluk, termasuk dewa- dewa dan manusia-manusia, bahwa Saya
telah mencapai Kebijaksanaan Agung. Timbullah dalam diri Saya Pengetahuan dan Pengertian
(Nāṇa-Dassana):

“Tak terguncangkan Kebebasan Batin Saya (Ceto-Vimutti). Inilah kelahiran yang terakhir. Tidak
ada lagi tumimbal lahir bagi Saya.”

”Demikianlah sabda Sang Bhagavā, dan kelima bhikkhu itu merasa puas serta mengerti kata-
kata Sang Bhagavā. Tatkala khotbah ini sedang disampaikan timbullah pada Yang Ariya
Koṇḍanna Mata Dhamma (Dhamma-Cakkhu) yang bersih tanpa noda: “Segala sesuatu muncul
karena ada sebabnya, segala sesuatu akan lenyap karena sebabnya habis/ tidak ada” (Yaṅkinci
samudaya-dhammaṁ sabban-taṁ nirodha-dhamma).”

Tatkala Roda Dhamma (Dhamma-Cakka) telah diputar oleh Sang Bhagavā, dewa- dewa Bumi
berseru serempak: “Di dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma
yang tanpa bandingnya oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang
Samaṇa, Brahmana, Devā, Māra, Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!”

Mendengar seruan dewa- dewa Bumi, dewa- dewa Cātummahārājikā berseru serempak: “Di
dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma yang tanpa bandingnya
oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa, Brahmana, Devā,
Māra, Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!” Mendengar seruan dewa- dewa
Cātummahārājikā, dewa- dewa dari surga Tāvatiṁsā, berseru serempak: “Di dekat Benares, di
Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma yang tanpa bandingnya oleh Sang
Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa, Brahmana, Devā, Māra,
Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!”

Mendengar seruan dewa- dewa dari surga Tāvatiṁsā, dewa- dewa Yāmā, berseru serempak:
“Di dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma yang tanpa

7
bandingnya oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa,
Brahmana, Devā, Māra, Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!”

Mendengar seruan dewa- dewa Yāmā, dewa- dewa dari surga Tusitā, berseru serempak: “Di
dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma yang tanpa bandingnya
oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa, Brahmana, Devā,
Māra, Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!”

Mendengar seruan dewa- dewa dari surga Tusitā, dewa- dewa dari surga Nimmānaratī, berseru
serempak: “Di dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda Dhamma yang tanpa
bandingnya oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa,
Brahmana, Devā, Māra, Brahma, mau pun oleh siapa pun di dunia!”

Mendengar seruan dewa- dewa dari surga Nimmānaratī, dewa- dewa dari surga
Paranimmitavasavattī, berseru serempak: “Di dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah
diputar Roda Dhamma yang tanpa bandingnya oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat
dihentikan, baik oleh seorang Samaṇa, Brahmana, Devā, Māra, Brahma, mau pun oleh siapa
pun di dunia!” Mendengar seruan dewa- dewa dari surga Paranimmitavasavattī, dewa-dewa
Alam Brahma, juga berseru: “Di dekat Benares, di Taman Rusa Isipatana, telah diputar Roda
Dhamma yang tanpa bandingnya oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan, baik oleh
seorang Samaṇa, Brahmana, Devā, Māra, Brahma, mau pun oleh siapa juga di alam semesta
ini!”

Demikianlah pada saat itu juga, seketika itu juga, dalam waktu yang sangat singkat suara itu
menembus Alam Brahma. Alam semesta ini dengan laksana alamnya tergugah dan bergoyang
disertai bunyi gemuruh, dan cahaya yang gilang- gemilang yang tak terukur, melebihi cahaya
dewa, terlihat di dunia. Pada saat itu Sang Bhagavā bersabda: “Koṇḍanna telah mengerti,
Koṇḍanna telah mengerti.” Demikianlah mulanya bagaimana Yang Ariya Koṇḍanna
memperoleh nama julukan Annā Koṇḍanna, Koṇḍanna yang (pertama) mengerti. (Sutta Pitaka,
Samyutta Nikaya, Maha Vagga, Sacca Samyutta, Dhammacakkappavattana Vagga,
Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56. 11))

3. Pengelompokan unsur yang terkandung dalam Panna, Sila dan Samadhi


Delapan unsur dalam Jalan Mulia dikelompokkan dalam Paññā, Sila dan Samadhi.
Masing-masing kelompok dijelaskan sebagai berikut:
a. Paññā (Kebijaksanaan)
1). Sammā Diṭṭhi (Pengertian Benar)

Sammā diṭṭhi (pengertian/pandangan benar) adalah unsur paling awal dari


keseluruhan unsur dalam Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pandangan atau
pengertian benar sebagai titik awal, starting point, titik tolak yang harus dilalui seiring
praktik kita yang semakin maju. Menjalani sesuatu tanpa dilandasi pengertian benar akan
membuat perjalanan praktik tidak tentu arah, bahkan dianggap sia-sia. Pengertian benar

8
diperlukan sebagai bekal untuk menempuh perjalanan, dasar pertimbangan, bahan refleksi
alternatif saat mendengar nasihat orang yang sudah berpengalaman. Pertimbangan-
pertimbangan yang dibangun seseorang dalam menjalankan praktik menjadi sebuah
kerangka pengertian yang dibentuk oleh pandangan benar. Pandangan benar seseorang
menjadi dasar dalam segala tindakan, baik melalui pikiran, ucapan, maupun tubuh badan
jasmani.

Sammā diṭṭhi (pengertian/pandangan benar) tidak sekadar keyakinan teoretis, tetapi

lebih daripada itu. Pengertian yang dimiliki seseorang atas suatu tindakan, konsep, ide,
pengetahuan, maupun fakta-fakta lainnya akan menjadi pengatur sikap, perbuatan, dan
keseluruhan orientasinya menuju pada kebenaran. Pengertian yang dimiliki seseorang ini
memiliki pengaruh sangat luas, baik untuk diri sendiri maupun objek lain di luar dirinya,
termasuk dampak sosial. Pengertian benar yang dibangun seseorang, apakah dalam bentuk
perilaku yang tampak, maupun hanya disimpan dalam batin, akan mengonstruksi persepsi,
mengorganisasikan nilai-nilai, menetap sebagai kerangka ide untuk kemudian
diterjemahkan dalam bentuk tindakan yang bisa mempengaruhi dunia sekitarnya.
Hubungan antara sammā diṭṭhi dan sammā saṅkappa sebagai unsur paññā dalam
Jalan Mulia Berunsur Delapan ditempatkan pada urutan awal, sedangkan pada tingkat
praktik kesatuan sīla, samādhi, paññā keduanya adalah tahapan terakhir; sering kali
menimbulkan kebingungan karena seolah tampak tidak adanya konsistensi yang tegas.
Pada dasarnya, hal ini didasarkan atas pertimbangan logis sebagai persiapan penting pada
tahap awal sebagai pemacu untuk memasuki praktik kesatuan sīla, samādhi, paññā.
Pengertian benar (sammā diṭṭhi) menyediakan perspektif untuk praktik, sedangkan pikiran

benar (sammā saṅkappa) menyediakan arah bagi tujuan. Kedua unsur ini saling melengkapi

satu sama lain. Jika batin telah terlatih dalam pelaksanaan sīla dan samādhi, maka akan
sampai pada pengertian/pandangan benar dan pikiran benar yang lebih tinggi, sehingga
menyempurnakan praktik yang benar dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.
Pengertian benar mengondisikan perbuatan. Pengertian atau pandangan seseorang
menjadi pertimbangan pengetahuan dalam menentukan berbagai alternatif pilihan dan
pertimbangan sebagai upaya untuk mewujudkannya menjadi perbuatan nyata. Perbuatan
yang muncul sebagai perilaku bergantung pada pandangan-pandangan yang menjadi awal
kemunculannya. Pandangan seseorang bisa jadi benar atau salah karena menyangkut
tentang komitmen seseorang mengenai hakikat hidup. Jika seseorang memiliki pandangan

9
benar, maka perbuatan yang dilakukan akan mengarah pada pembebasan dari penderitaan.
Sebaliknya, jika seseorang terpenjara dengan pandangan salah maka rangkaian perbuatan
yang dilakukan mengakibatkan penderitaan. Pengertian atau pandangan seseorang sebagai
orientasi konseptual memiliki peran untuk menentukan arah perkembangan di masa yang
akan datang. Tentu saja, ini bukanlah faktor satu-satunya karena seperti yang disampaikan
oleh Buddha, bahwa “Tidak ada faktor tunggal yang paling bertanggung jawab atas
munculnya pikiran tidak baik seperti pandangan salah atau pikiran baik seperti pandangan
benar” (Anguttara Nikaya 1: 16.2).
Pengertian benar meliputi pandangan benar duniawi dan nonduniawi yang mengarah
pada pembebasan. Pandangan benar duniawi berlaku dalam batasan dunia, sedangkan
pandangan benar nonduniawi mengarah pada pembebasan dari dunia. Pandangan benar
duniawi mengatur kemajuan batin dan jasmani dalam lingkaran kehidupan, mengarah pada
dualitas tinggi-rendah, serta kebahagiaan dan penderitaan duniawi. Pandangan benar
nonduniawi mengarah pada prinsip-prinsip mendasar untuk pembebasan yang melampuai
dualitas duniawi. Pandangan benar nonduniawi ini tidak sekadar berada pada kemajuan
spiritual dalam lingkaran kehidupan, tetapi juga pada jalan pembebasan dari siklus
kehidupan, kelahiran dan kematian yang terus berulang.
Pandangan benar duniawi melibatkan pemahaman benar mengenai hukum karma.
Rumusan konseptual tentang hukum karma ini adalah “Setiap makhluk adalah pemilik
perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, berasal dari perbuatan mereka, terikat
dengan perbuatan mereka, dan didukung oleh perbuatan mereka. Apapun perbuatan yang
dilakukan, baik atau buruk, merekalah yang akan menjadi pewarisnya” (Anguttara Nikaya 3:
33). Pemahaman atas hukum karma dipegang kuat oleh seseorang sebagai pandangan yang
menjadi dasar dalam berpikir, bertindak, dan berucap kemudian menjadi bentuk perbuatan
yang tampak dalam perilaku keseharian. Pengertian benar tentang hukum karma menjadi
pedoman bagi seseorang untuk melakukan perbuatan. Alasan pertimbangan ini
menguatkan tindakan seseorang untuk mendapatkan hasil dari apa yang dilakukannya.
Perbuatan yang dilakukan seseorang, apakah baik atau buruk akan dipahami sebagai
rangkaian peristiwa atas dasar pengertian yang dimilikinya. Perbuatan baik membawa
konsekuensi kebahagiaan, sedangkan perbuatan buruk akan membawa pada penderitaan.
Pengertian benar tentang karma atau perbuatan dapat dipahami melalui definisi
kamma itu sendiri. Kamma berarti perbuatan, dalam konteks Buddhisme jenis perbuatan

10
yang relevan adalah perbuatan yang disertai kehendak. Kehendak ini muncul sebagai
perbuatan yang sudah ditentukan secara moral untuk memberikan makna etis. Buddha
dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa, “Para bhikkhu, kehendaklah yang saya sebut
perbuatan. Setelah berkehendak, seseorang melakukan suatu perbuatan melalui tubuh,
ucapan, atau pikiran” (Anguttara Nikaya, 6: 63). Hubungan antara kehendak dan perbuatan
secara mendasar sebagai peristiwa mental yang berasal dari pikiran yang berusaha
mewujudkan dorongan-dorongan pikiran, kecenderungan, serta tujuan-tujuan sebagai
pendahulunya. Kehendak menjadi perbuatan nyata jika keluar dari saluran perbuatan, yaitu
badan jasmani, ucapan, atau pikiran. Kehendak yang disalurkan melalui badan jasmani
disebut dengan perbuatan fisik, sedangkan yang disalurkan melalui ucapan disebut
perbuatan verbal, dan yang disalurkan melalui pikiran muncul dalam bentuk pemikiran,
rencana, gagasan, dan keadaan-keadaan mental lainnya.
Hal penting lainnya yang diperlukan untuk memahami pengertian benar duniawi
tentang karma adalah akar yang menjadi sumber munculnya suatu perbuatan. Di samping
itu, seseorang juga harus mengetahui bahwa setiap perbuatan didasarkan atas
pertimbangan etis yaitu apakah suatu perbuatan itu disebut bajik (baik) atau tidak bajik
(buruk). Sebagaimana disebutkan oleh Buddha bahwa, “Jika seorang siswa mulia mengerti
perbuatan sebagai tidak bajik dan mengetahui akar perbuatan tidak bajik tersebut; mengerti
perbuatan sebagai bajik dan mengetahui akar dari perbuatan bajik tersebut; maka ia telah
memiliki pengertian/pandangan benar” (Majjhima Nikaya 9). Perbuatan-perbuatan
dibedakan sebagai bajik atau tidak bajik didasarkan atas motif-motif yang mendasari
perbuatan tersebut (mula). Akar-akar perbuatan merupakan kualitas moral pada kehendak
yang sesuai dengan akar-akar tersebut. Akar perbuatan tidak bajik adalah tiga kekotoran
batin, yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Akar
perbuatan bajik yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa
kebodohan batin (amoha). Tanpa keserakahan menyiratkan adanya pelepasan keduniawian,
ketidakmelekatan, dan kemurahan hati; sedangkan tanpa kebencian ditunjukkan dengan
sikap mental yang muncul yaitu cinta kasih, simpati, dan kelembutan; serta tanpa
kebodohan batin menyiratkan kebijaksanaan.
Perbuatan tidak bajik berdasarkan salurannya, yaitu jika melalui badan jasmani akan
tampak pada usaha memusnahkan kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, perilaku
keliru berkaitan dengan kesenangan indra; jika melalui saluran verbal dapat berbentuk

11
ucapan salah, memfitnah, kasar, omong kosong; serta jika saluran yang dilalui adalah
pikiran, maka perbuatan tidak bajiknya berupa ketamakan, niat jahat, dan pandangan salah.
Perbuatan bajik merupakan kebalikan dari perbuatan tidak bajik, yaitu mencintai kehidupan,
tidak mencuri, berperilaku benar, ucapan benar, tidak memfitnah, tidak berkata kasar,
berbicara yang perlu, bebas dari serakah, bebas dari niat jahat, dan berpegang pada
pandangan benar.
Pandangan benar nonduniawi mengarah pada pembebasan, yaitu pengertian dari
Empat Kebenaran Mulia. Pengertian benar inilah yang dimaksud dalam Jalan Mulia Berunsur
Delapan ruas pertama. Buddha menjelaskan ruas jalan pengertian benar ini dalam istilah
Empat Kebenaran Mulia, yaitu “Sekarang, apa itu pengertian benar? Pengertian benar
adalah pengertian mengenai penderitaan (dukkha), asal mula dukkha, berhentinya dukkha,
dan jalan menuju berhentinya dukkha” (Digha Nikaya, 22). Jalan Mulia Berunsur Delapan
dimulai dengan pengertian konseptual mengenai Empat Kebenaran Mulia yang harus
dipahami untuk kemudian pada akhirnya dicapai pada puncak tertinggi dari jalan menuju
akhir dukkha.
Kebenaran Mulia tentang dukkha meliputi ketidakpuasan yang melekat pada
kehidupan, yang terlihat dalam ketidakkekalan, kesakitan, dan ketidaklengkapan yang
terus-menerus melekat pada semua bentuk kehidupan. Kebenaran Mulia tentang
penderitaan yaitu “Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; sakit adalah
penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, duka, dan keputusasaan
adalah penderitaan; berhubungan dengan yang tidak menyenangkan adalah penderitaan;
berpisah dari hal yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan yang
diinginkan adalah penderitaan; secara singkat, lima kelompok kemelekatan adalah
penderitaan (Digha Nikaya 22). Lima kelompok kemelekatan merujuk pada setiap individu
terdiri atas kumpulan lima kelompok, yaitu bentuk-bentuk materi/jasmani, perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran; yang mana semuanya berhubungan
dengan kemelekatan. Lima kelompok kemelekatan adalah dukkha karena sifatnya yang
tidak kekal. Melekati sesuatu yang tidak kekal dan terus berubah adalah penderitaan. Lima
kelompok tersebut berubah dari saat ke saat, timbul dan lenyap, tanpa inti apapun yang
kekal dan bertahan. Semua proses kelima kelompok tersebut merupakan arus tanpa putus
yang terus-menerus berubah, sehingga apabila dilekati dengan keinginan untuk
dipertahankan pada kekekalan maka akan menjerumuskan pada penderitaan.

12
Kebenaran Mulia tentang sebab dukkha yaitu nafsu keinginan (taṇhā) sebagai
penyebab dominan. Buddha menyatakan bahwa, “Inilah Kebenaran Mulia asal mula
penderitaan. Nafsu keinginan inilah yang menghasilkan keberadaan yang terus berulang,
terikat dengan kesenangan dan nafsu, serta mencari kesenangan di sana sini yang
dinamakan nafsu keinginan untuk kesenangan-kesenangan indra, nafsu keinginan untuk
keberadaan, dan nafsu keingunan untuk tanpa keberadaan” (Digha Nikaya 22). Nafsu

keinginan (taṇhā) ada tiga, yaitu kāma taṇhā, bhava taṇhā, dan vibhava taṇhā. Kāma taṇhā
adalah semua nafsu keinginan yang memuaskan indra-indra. Bhava taṇhā adalah keinginan-

keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, bertahan, lahir kembali, termasuk keinginan


untuk menjadi lebih baik dalam berperan demi kebaikan dunia, menjadi tercerahkan.
Vibhava taṇhā adalah keinginan untuk bebas dari keinginan-keinginan tersebut di atas,
termasuk keinginan untuk mengalami pembebasan itu sendiri. Pada dasarnya ketiga nafsu
keinginan ini tetap disebut sebagai faktor dominan sebab asal mula dukkha.
Kebenaran Mulia ketiga adalah tentang berhentinya dukkha. Buddha bersabda bahwa,
“Inilah kebenaran mulia mengenai berhentinya penderitaan. Ini adalah pemudaran dan
penghentian yang lengkap dari nafsu keinginan ini, inilah peninggalan dan pembuangan,
pembebasan dan pelepasan dari nafsu keinginan” (Digha Nikaya, 22). Berhentinya dukkha
disebut dengan keadaan kedamaian sempurna ketika nafsu keinginan lenyap, yang disebut
dengan Nibbāna, suatu keadaan tidak berkondisi yang dialami saat hidup bersama dengan
padamnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin merupakan akar perbuatan yang menjadi sebab munculnya suatu
tindakan. Padamnya ketiga hal ini merupakan keadaan tidak berkondisi sebagai kedamaian
sempurna.
Kebenaran Mulia keempat menunjukkan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
akhir dukkha, yaitu jalan menuju realisasi Nibbāna. Jalan tersebut adalah Jalan Mulia
Berunsur Delapan, yang terdiri dari pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar,
perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian/kesadaran benar, dan
konsentrasi benar.
Pengertian benar mengenai Empat Kebenaran Mulia berkembang melalui dua tahap,
yaitu pandangan benar sesuai dengan kebenaran-kebenaran tersebut (saccanulomika
sammā diṭṭhi) dan pandangan benar yang menembus kebenaran-kebenaran

(saccapativedha sammā diṭṭhi) (Bodhi, 2010: 35). Kesesuaian antara pengertian benar

13
dengan kebenaran membutuhkan pemahaman yang jelas tentang arti dan makna
kebenaran tersebut. Hal ini dapat ditempuh dengan mempelajari dan menelaahnya secara
mendalam. Selanjutnya, pendalaman ini digunakan untuk merefleksikan kebenaran-
kebenaran tersebut dalam latihan, praktik, dan pengalaman hingga seseorang memperoleh
keyakinan kuat terhadap kemurnian kebenaran-kebenaran tersebut. Pada tahap ini,
kebenaran-kebenaran belum dapat ditembus, pengertian belum sempurna, dan bersifat
teoretis. Realisasi atas pengalaman dari kebenaran-kebenaran tersebut dilakukan dengan
praktik meditasi. Meditasi dapat dilakukan bertahap mulai dari konsentrasi yang terus-
menerus, kemudian dikembangkan untuk pandangan terang. Dengan kata lain, meditasi
samatha bhāvana dilakukan terlebuh dulu kemudian baru vipassana bhāvana. Namun
demikian, kedua jenis meditasi ini pada praktiknya dapat dilakukan secara sinergi
berkesinambungan saling melengkapi satu sama lain. Pandangan terang muncul dengan
merenungkan lima kelompok sebagai faktor-faktor sebagaimana adanya, timbullah
karakteristik fenomena yang sesungguhnya. Puncak perenungan akan menghasilkan
pengetahuan mata batin dari fenomena yang berkondisi ke keadaan tidak berkondisi
sebagai pencapaian atas kemampuan pandangan terang yang mendalam. Dengan
demikian, penembusan seluruh Empat Kebenaran Mulia secara bersamaan terjadi. Keadaan
ini disebut Nibbāna terealisasi, nafsu keinginan berhenti, pengertian muncul bahwa nafsu
keinginan adalah asal mula dukkha. Pengalaman ini dicapai dengan mempraktikkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan.
Pengertian benar yang menembus Empat Kebenaran Mulia muncul di akhir jalan,
bukan di awal. Namun, pengertian benar ini harus selaras dengan kebenaran-kebenaran,
diperoleh melalui pembelajaran yang diperkuat dengan refleksi dan perenungan mendalam.
Pengertian benar ini menginspirasi seseorang untuk menjalankan praktik memulai latihan
beruas tiga, sīla, samādhi, paññā. Ketika latihan berkembang, maka kebijaksanaan terbuka
dengan sendirinya, menembus kebenaran-kebenaran tersebut, dan membebaskan pikiran
dari belenggu.
Selain pemahaman tentang Empat Kebenaran Mulia, pengertian benar meliputi
pengetahuan disertai penembusan tentang hukum sebab musabab yang saling

bergantungan (paṭiccasamuppāda) dan tiga corak kehidupan (tilakkhana) (Sammaditthi


Sutta). Paṭiccasamuppāda merupakan hukum sebab akibat yang saling bergantungan.

Formulasi paṭiccasamuppāda telah Anda pahami dengan baik tentunya.

14
Hubungan antara sebab akibat yang saling bergantungan dinyatakan pada tabel
berikut ini (Bodhi, 2010: 547):

3 Periode 12 Faktor 20 Cara dan 4 Kelompok

Masa Lampau 1 Kebodohan batin 5 Penyebab masa


2 Bentukan-bentukan lalu:
kehendak 1, 2, 8, 9, 10

Masa Sekarang 3 Kesadaran 5 Penyebab masa


4 Batin dan jasmani sekarang:
5 Enam landasan indra 3, 4, 5, 6, 7
6 Kontak
7 Perasaan

8 Keinginan 5 Penyebab masa


9 Kelekatan sekarang:
1 Proses menjadi 8, 9, 10, 1, 2
0

Masa Mendatang 1 Kelahiran 5 Penyebab masa


1 depan:
1 Usia tua dan kematian 3, 4, 5, 6, 7
2

Seseorang yang memahami sebab-akibat yang saling bergantungan akan mempunyai


pemahaman tinggi dengan melihat Dharma, demikian pula sebaliknya. Pemahaman ini akan
membawa pada tindakan yang harus dilakukan agar mencapai Pencerahan. Pencerahan
menjadi ciri khas bagi orang yang telah menembus Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Paṭiccasamuppāda membuat seseorang memahami terkondisinya dukkha dan dapat

diperluas bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini sebagai sesuatu yang muncul
bergantungan pada sesuatu lainnya. Oleh karena itu, tidak ada diri yang abadi, kekal, tidak
berubah, dan tidak terkondisi. Pengertian benar tentang paṭiccasamuppāda berkembang

melalui dua tahap, yaitu pandangan benar tentang kesesuaian konsep hukum

paṭiccasamuppāda dengan kebenaran dan penembusan tentang paṭiccasamuppāda itu


sendiri. Paṭiccasamuppāda terbagi menjadi tiga masa kehidupan, yaitu masa lampau, masa

sekarang, dan masa mendatang. Adanya kebodohan batin menjadi sebab adanya bentukan-

15
bentukan kehendak. Kedua unsur dalam hukum paṭiccasamuppāda ini merupakan karma
masa lampau. Adanya bentukan-bentukan kehendak memunculkan kesadaran, yang diikuti
oleh batin dan jasmani. Adanya batin dan jasmani muncullah enam landasan indra, yang
diikuti munculnya kontak. Adanya kontak muncullah perasaan. Bentukan-bentukan
kehendak, batin dan jasmani, enam landasan indra, kontak, dan perasaan merupakan unsur

dalam hukum paṭiccasamuppāda sebagai hasil karma kehidupan masa sekarang. Adanya
perasaan memunculkan nafsu keinginan yang diikuti oleh kemelekatan. Adanya
kemelekatan memunculkan proses menjadi atau keberadaan. Nafsu keinginan,

kemelekatan, dan proses menjadi merupakan unsur dari hukum paṭiccasamuppāda sebagai

karma pada kehidupan sekarang. Adanya proses menjadi menyebabkan kelahiran yang
memberi konsekuensi pada usia tua dan kematian. Kelahiran, usia tua, dan kematian
merupakan hasil kehidupan masa mendatang. Usia tua dan kematian merupakan fenomena
dalam kehidupan yang membawa pada kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kemuraman,
keputusasaan, yang intinya adalah penderitaan. Hal ini sering dikatakan bahwa kelahiran
sebagai sebab dari kematian adalah penderitaan.
Pengertian benar merujuk pada keselarasan dengan kebenaran tentang tiga corak
kehidupan (tilakkhana), yaitu ketidakkekalan atau perubahan (anicca), tidak memuaskan
atau penderitaan (dukkha), dan tidak adanya diri yang abadi (anatta). Di samping
keselarasan pemahaman kebenaran tentang tilakkhana, tahap lanjut dari pengertian benar
adalah penembusan terhadap tiga corak umum itu sendiri. Penembusan ini sebagai
indikator pengertian benar telah dipahami. Segala sesuatu di dunia ini terdiri dari perpaduan
unsur yang tidak kekal. Semua fenomena di dunia ini yang berkondisi selalu mengalami
perubahan dan terus berubah. Tidak ada satu bentuk pun yang dikatakan sebagai sesuatu
yang kekal. Badan jasmani mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Unsur-unsur batin,
seperti pikiran, perasaan, kesadaran, motivasi, dll. terus mengalami perubahan. Perubahan
tidak dapat dicegah atau dihindari. Jika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu adalah
tidak kekal, maka pengetahuan terbuka dengan terang dalam penembusan ketidakkekalan
sebagaimana adanya. Ini adalah pengertian benar mengenai anicca.
Corak kehidupan lain yang merupakan konsekuensi atas kelahiran adalah dukkha
(penderitaan). Pengertian benar tentang dukkha dipahami melalui dua tahapan, yaitu
kesesuaian dukkha dengan kebenaran dan penembusan mengenai dukkha itu sendiri
sebagaimana adanya. Ketika penderitaan muncul, seseorang cenderung ingin menolaknya

16
karena membuat tidak nyaman dan tidak bahagia. Orang cenderung mengatakan bahwa
seharusnya penderitaan bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang lain dan pihak-pihak yang
tidak berhubungan dengan dirinya. Penolakan terhadap penderitaan justru akan membuat
seseorang semakin terpenjara oleh kehidupan itu sendiri. Penderitaan sebagai konsekuensi
atas kelahiran yang membawa pada perubahan, ketidakkekalan, ratap tangis, sakit, usia tua,
dan kematian; yang mana semua hal itu merupakan dukkha yang harus dipahami.
Kemelekatan sebagai sifat alami manusia cenderung menyukai hal-hal yang membuat
senang, dan menolak hal-hal yang membuat menderita. Jika sifat dasar ini tidak dipahami
dan dimengerti dengan benar, akan menyebabkan kelahiran yang terus-menerus.
Kemelekatan dan penolakan didasari atas nafsu keinginan untuk memuaskan indra. Semakin
melekat pada sesuatu, maka akan semakin sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri dari
penderitaan. Tentu saja, orang yang demikian tidak memiliki kebijaksanaan.
Corak kehidupan yang dapat dikatakan sebagai ciri khas ajaran Buddhisme adalah
anatta (tanpa diri yang kekal). Buddha menolak semua teori mengenai diri yang abadi dan
kekal. Pemahaman tentang kebenaran anatta harus dimengerti oleh seseorang, disesuaikan
dengan kebenaran, selanjutnya penembusan terhadap anatta itu sendiri. Diri yang sifatnya
sementara tersusun dari empat komponen, yaitu padat (tanah), cair (air), panas (api), dan
gerak (angin). Nama diri, apakah pria, wanita, keriting, lurus, pendek, tinggi dll. hanyalah
pemberian identitas komunal untuk mempermudah pergaulan di masyarakat. Pada
dasarnya, semua itu bukanlah diri sejati. Semua hanya perpaduan tanpa inti yang kekal.
Buddha menolak dua pandangan yang bertentangan dengan anatta, yaitu (a) attavada,
paham yang menganggap bahwa jiwa adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang
masa, (b) ucchedavada, paham yang menganggap bahwa setelah mati, jiwa akan turut
lenyap. Buddhis menolak kedua pandangan tersebut, karena diri, jiwa, atman, adalah tidak
kekal dan hanya perpaduan unsur-unsur sebagaimana adanya.

b. Sammā Saṅkappa (Pikiran Benar)

Sammā saṅkappa (pikiran benar) mengacu pada aspek niat atau kehendak sebagai
aktivitas mental, aspek kognitif berdasarkan pengetahuan faktual empiris yang dikenali
pada unsur pengertian benar. Aktivitas mental dapat berupa kecenderungan dan
kegemaran yang membentuk seseorang. Hal ini secara emosional dapat mempengaruhi
pandangan, dan sebaliknya pandangan-pandangan seseorang dapat menentukan
kecenderungan-kecenderungan yang mengarah pada pikiran benar. Oleh karena itu,

17
pengertian yang dimiliki seseorang dapat menembus pengetahuan dan wawasan, diperoleh
melalui refleksi, penyelidikan, yang kemudian membawa konstruksi pengetahuan baru.
Pikiran benar dijelaskan oleh Buddha meliputi tiga unsur, yaitu (a) pikiran yang
diarahkan untuk melepaskan keduniawian (nekkhamma sankappa), (b) pikiran tanpa
membahayakan/memusuhi (abyāpāda sankappa), dan (c) pikiran tanpa kekejaman
(avihimsā sankappa). Ketiga hal ini berlawanan dengan tiga jenis pikiran salah, yaitu pikiran
yang dikendalikan oleh keinginan, pikiran jahat, dan pikiran penuh kekejaman. Dengan kata
lain, masing-masing unsur tersebut saling berlawanan: pikiran yang diarahkan untuk
melepaskan keduniawian melawan pikiran yang dikendalikan oleh keinginan; pikiran baik
melawan pikiran buruk; serta pikiran tidak menyakiti melawat pikiran menyakiti.
Sebelum mencapai Pencerahan, Siddhartha Gotama menemukan pembagian pikiran
seperti tersebut di atas. Pikiran meliputi pemikiran mengenai keinginan, niat jahat, dan sifat
menyakiti; serta pemikiran mengenai pelepasan keduniawian, niat baik, dan sifat tidak
menyakiti. Penyadaran atas keinginan, niat jahat, dan sifat menyakiti memunculkan
pemahaman yang akan merugikan diri sendiri maupun orang lain, menghambat
kebijaksanaan, dan menjauhkan dari Nibbāna. Dengan demikian, refleksi ini secara otomatis
akan menghalau pemikiran-pemikiran semacam itu dan mengarahkan diri untuk berjuang
mengakhirinya. Hal ini akan membawa akibat bagi munculnya pemikiran-pemikiran yang
bermanfaat, kondusif bagi pengembangan kebijaksanaan, membantu pencapaian Nibbāna.
Pemikiran yang mengarah pada pikiran benar ini terus diperkuat dan disempurnakan.
Pikiran adalah pendahulu perbuatan yang akan tampak pada badan jasmani dan
ucapan. Pikiran menggerakkan ucapan dan badan jasmani dalam segala aktivitasnya dalam
rangka mewujudkan cita-cita dan mencapai tujuan tertentu. Aktivitas seseorang
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan atau pengertian yang dimilikinya. Dengan kata
lain, pengertian seseorang menjadi dasar bagi aktivitas seseorang. Saudara bisa
membayangkan, jika seseorang memiliki pengertian atau pandangan salah, maka aktivitas
keseharian yang tampak dalam segala perbuatannya tidak bajik akan berdampak seperti
apa, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya? Pada konteks yang lebih luas,
jika seseorang atas dasar pengertian salah melakukan perbuatan-perbuatan yang
merugikan masyarakat maka akan membawa pada penderitaan yang tidak berkesudahan.
Pemikiran-pemikiran yang didorong oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin
akan membawa dampak besar bagi perubahan sosial yang mengarah pada kekacauan.

18
Pikiran benar akan membawa pada perbuatan benar. Pikiran benar dihasilkan dari
sebuah pandangan benar. Seseorang yang meyakini hukum karma, bahwa setiap perbuatan
akan menghasilkan akibat, segala aktivitas perbuatannya akan dikendalikan dan dibatasi
oleh pikiran benar sebagai hasil dari pengertian yang dimilikinya. Pikiran benar akan
menjadi dasar segala aktivitas perbuatan yang dilakukan untuk menghindari pengejaran
kekuasaan, pemuasan hawa nafsu, dan perbuatan tidak bajik lainnya, agar hasil yang
diperoleh mendatangkan kebahagiaan, terutama bagi diri sendiri di samping bagi pihak lain.
Buddha menegaskan bahwa, “Jika seseorang memegang pandangan salah, maka
perbuatan, perkataan, rencana, dan tujuannya akan mengarah pada penderitaan;
sedangkan jika seseorang memegang pandangan benar, maka perbuatan, perkataan,
rencana, dan tujuannya akan mengarah pada kebahagiaan” (Anguttara Nikaya 1: 16.2).
Seseorang yang memiliki pengertian tentang Empat Kebenaran Mulia memiliki
hubungan dengan kehidupan orang itu sendiri menyebabkan munculnya pikiran
melepaskan keduniawian; mengerti Empat Kebenaran Mulia dalam hubungan dengan
makhluk lain menyebabkan munculnya pikiran-pikiran baik dan tidak menyakiti orang lain.
Ketika seseorang melihat bahwa kehidupan diri sendiri penuh dukkha, dan bahwa dukkha
itu berasal dari nafsu keinginan, pikiran cenderung mengarah pada pelepasan keduniawian
untuk meninggalkan nafsu keinginan terhadap objek-objek yang cenderung dilekati. Di sisi
lain, jika mental dan batin diarahkan pada makhluk lain, bahwa mereka juga terkena
penderitaan, maka perenungannya adalah memelihara pikiran-pikiran baik dan tidak
menyakiti mereka. Hal ini didasarkan pada rumusan umum bahwa makhluk lain pun mencari
kebahagiaan seperti diri sendiri. Pikiran-pikiran diarahkan pada harapan penuh cinta kasih
agar semua makhluk hidup sehat, bahagia, dan damai. Atas dasar pertimbangan bahwa
semua makhluk hidup diliputi oleh dukkha dan mencari kebahagiaan, menyebabkan
pemikiran-pemikiran tidak menyakiti, memunculkan harapan penuh belas kasih agar
mereka terbebas dari penderitaan.
Pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan memerlukan pengertian benar dan
pikiran benar sebagai dasar untuk melawan tiga akar keburukan, yaitu kesekarahan,
kebencian, dan kebodohan batin. Kebodohan batin dan kekotoran baik dilawan dengan
pandangan benar agar kebijaksanaan (paññā) muncul. Kebodohan batin tercabut sampai ke
akar-akarnya ketika pandangan benar telah dikembangkan sampai tahap realisasi penuh.
Pikiran benar turut berperan dalam proses ini. Kebencian dan keserakahan sebagai

19
kekotoran batin perlu diberantas melalui penguatan kehendak dari pikiran sehingga kedua
akar keburukan ini dilawan dengan pelepasan keduniawian, niat baik, dan sifat tidak
menyakiti. Keserakahan dilawan dengan pelepasan keduniawian, sedangkan kebencian
dilawan dengan sifat tidak menyakiti.
Saudara, perlu diketahui bahwa yang diajarkan oleh Buddha adalah jalan yang
berlawanan dengan jalan dunia. Dunia yang penuh dengan keinginan dan orang yang
belum tercerahkan hidup dengan derasnya arus keinginan, mencari kebahagiaan dengan
mengejar objek-objek untuk memenuhi segala keinginannya. Jalan pelepasan keduniawian
merupakan jalan yang berbeda dengan jalan duniawi. Nafsu keinginan perlu ditinggalkan,
bukan hanya karena memicu moral jahat, tetapi sesungguhnya keinginan ini adalah akar
dari dukkha. Dengan demikian, pelepasan keduniawian, menjauh dari kemelekatan dan
dorongannya akan pemuasan, menjadi kunci menuju kebahagiaan, menuju kebebasan dari
cengkeraman kemelekatan.
Buddha tidak menuntut setiap orang harus meninggalkan keduniawian dengan cara
menempuh kehidupan monastik sebagai samana. Sejauh mana seseorang melepaskan
keduniawian tergantung pada kecenderungan dan situasi orang tersebut. Pencapaian
kebebasan membutuhkan pemberantasan penuh atas kemelekatan. Kemelekatan identik
dengan keinginan, sehingga semakin sedikit nafsu keinginan akan semakin cepat
melepaskan diri dari cengkeraman kemelekatan. Konsekuensi ajaran Buddha telah demikian
jelas, bahwa nafsu keinginan adalah asal mula dukkha, sehingga dukkha dapat diakhiri
hanya dengan satu cara yaitu membuang nafsu keinginan. Hal ini memerlukan kontribusi
pikiran benar dalam mengarahkan pemahaman pada pelepasan keduniawian sebagai cara
untuk membebaskan diri dari kemelekatan.
Buddha tidak menganjurkan seseorang untuk menekan keinginan dengan cara
mengusir keinginan tersebut seolah-olah sebagai sesuatu yang menakutkan dan penuh
ketidaksukaan. Pendekatan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Keinginan hanya tertekan
sampai bawah permukaan tetapi terus berkembang. Pengertian benar diperlukan sebagai
solusi atas keinginan yang timbul. Melepaskan keduniawian bukanlah memaksakan diri
untuk meninggalkan hal-hal yang masih disayangi, tetapi lebih pada cara pandang atau
perspektif yang digunakan dalam menghadapi kenyataan kehidupan agar tidak terbelenggu
dalam keinginan dan kemelekatan. Sifat dasar keinginan sebagai bentuk pikiran dipahami

20
dengan benar melalui pengertian yang sesuai kebenaran, diselidiki dengan saksama disertai
perhatian yang tajam, maka keinginan secara bertahap akan berkurang dengan sendirinya.
Jika keinginan dilihat dari sudut pandang yang berbeda, maka kekuatannya akan
mereda sehingga menghasilkan kemajuan menuju pelepasan keduniawian. Pertimbangan
yang bijaksana (yoniso manasikara) diperlukan dalam rangka mengubah persepsi
seseorang. Persepsi mempengaruhi pikiran, sebaliknya, pikiran dapat mempengaruhi
persepsi seseorang. Cara sederhana melihat pertimbangan secara bijaksana melalui
kebiasaan dalam melihat segala sesuatu tidak atas dasar ketertarikan dan keinginan sesaat,
namun lebih menggali sampai ke akar-akarnya keterlibatan diri atau menyelidiki
konsekuensi jangka panjang yang mungkin ditimbulkannya. Perbuatan sebagai hasil pikiran
yang berdasarkan pengertian/pandangan, diselidiki hingga ke akarnya, akibat-akibatnya,
dan apakah layak dan sesuai dengan tujuan hidup kita. Ukuran penyelidikan ini adalah pada
kebenaran itu sendiri, tidak berpegang pada apa yang menyenangkan apalagi memuaskan.
Perenungan bahwa dukkha melekat dengan keinginan adalah salah satu cara untuk
mengarahkan pikiran pada pelepasan keduniawian. Cara lain dapat ditempuh dengan
merenungkan secara langsung manfaat yang diperoleh dari pelepasan keduniawian. Proses
ini merupakan arus batin yang panjang dalam melewati kesenangan-kesenangan yang
menjerat, kasar, menuju kebahagiaan mulia, damai, pengumbaran hawa nafsu menuju
pengendalian diri yang kuat. Keinginan dapat pula berubah menjadi ketakutan dan
kesedihan. Pelepasan keduniawian dapat menghalau ketakutan dan menimbulkan
kegembiraan. Proses perenungan keinginan ini akan mengarah pada latihan tiga ruas dalam
Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu paññā, sīla dan samādhi, dan. Perenungan arus batin
keinginan akan memurnikan pelaksanaan sīla, membantu praktik samādhi, dan memupuk
benih paññā.
Perenungan terhadap bahaya-bahaya dari keinginan dan manfaat-manfaat pelepasan
keduniawian secara bertahap akan mengarahkan pikiran untuk menjauh dari jeratan
keinginan. Kemelekatan terhadap sesuatu karena keinginan otomatis gugur secara alami
dan spontan. Walaupun perubahan tidak terjadi secara tiba-tiba, namun latihan yang gigih
akan membawa pada perubahan tersebut. Melalui perenungan berulang-ulang, pikiran
yang satu dapat meruntuhkan pikiran lainnya, pikiran untuk melepaskan keduniawian akan
mengusir pemikiran-pemikiran atas dasar keinginan.

21
Pikiran tidak bajik penuh dengan pemikiran-pemikiran yang dikuasai oleh kemarahan
dan kebencian. Pikiran tidak bajik harus dilawan dengan pikiran bajik. Jika pikiran tidak bajik
(kebencian) muncul maka ada dua kemungkinan cara menanganinya. Pertama, membiarkan
dan mewujudkan kebencian tersebut melalui perbuatan tubuh dan ucapan. Pendekatan ini
mampu melepaskan ketegangan, membantu mengarahkan kemarahan, namun
mengandung bahaya tertentu. Cara ini mengembangbiakkan rasa sakit hati, memprovokasi
balas dendam, menciptakan musuh, meracuni hubungan, dan pemicu karma tidak bajik
lainnya. Pikiran tidak bajik ini pada akhirnya merusak pemikiran-pemikiran dan perilaku
seseorang. Kedua, menekan pikiran tidak bajik agar tidak muncul. Cara ini sekadar meredam
sementara agar mendorong masuk ke dalam, di mana kekuatan tersebut berubah menjadi
rasa rendah terhadap diri sendiri, depresi, atau menimbulkan kekerasan yang tidak masuk
akal.
Buddha merekomendasikan metta untuk mengatasi pikiran jahat, terutama jika
objeknya adalah orang lain. Metta adalah cinta kasih, yaitu suatu perasaan yang intens, tidak
mementingkan diri sendiri, perhatian tulus yang semata-mata demi kesejahteraan dan
kebahagiaan makhluk lain. Metta merupakan perasaan batin yang mendalam, dicirikan oleh
kehangatan dan kepedulian yang spontan, bukan karena keharusan dan tuntutan. Cinta
kasih yang terlibat dalam metta tidak tergantung pada hubungan tertentu dengan orang-
orang tertentu, melainkan semua orang dan makhluk lain dalam keadaan universal tanpa
membeda-bedakan. Metta dapat dilatih melalui meditasi. Metta dikembangkan untuk
mengatasi kebencian. Metta awalnya dijalankan dengan kesengajaan, kemudian
dipraktikkan, perasaan cinta akan mengakar kuar, menjadi kuat dalam pikiran sebagai
kecenderungan alami dan spontan.
Mengembangkan metta adalah dengan cara metta bhavana, yaitu meditasi cinta kasih.
Meditasi cinta kasih dimulai dengan pengembangan cinta kasih terhadap diri sendiri. Cinta
kasih kepada orang lain menjadi mungkin kalau cinta kasih terhadap diri sendiri sudah
dikembangkan. Metta yang diarahkan kepada diri sendiri akan membantu meluruhkan
kekerasan-kekerasan pemikiran yang diciptakan oleh sikap-sikap negatif, sehingga
memungkinkan untuk dikembangkan pada wilayah yang lebih luas untuk menebar kebaikan
dan simpati kepada orang lain. Hal mendasar sebagai acuan pelaksanaan metta kepada
orang lain atau makhluk lain bahwa secara alami semua makhluk menginginkan
kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Pikiran tidak menyakiti atau memusuhi adalah

22
pemikiran yang dipandu oleh karuna (belas kasih) yang muncul untuk melawan pemikiran-
pemikiran kejam, agresif, dan ganas. Belas kasih merupakan bentuk konkret dari cinta kasih
(metta). Karuna muncul dengan mempertimbangkan bahwa semua makhluk berharap
bebas dari penderitaan.
Pikiran benar yang meliputi pelepasan keduniawian, pikiran bajik, dan sifat tidak
menyakiti memiliki lawan pikiran salah yaitu nafsu keinginan, niat jahat, dan sifat menyakiti.
Perenungan-perenungan diarahkan untuk pengembangan pada praktik, bukan sekadar
kepuasan teoretis. Pengembangan pikiran melepaskan keduniawian ditempuh dengan
merenungkan penderitaan yang terikat dengan kenikmatan duniawi. Pikiran bajik
dikembangkan dengan mempertimbangkan bahwa semua makhluk menginginkan
kebahagiaan. Sifat tidak menyakiti dikembangkan dengan mempertimbangkan bahwa
semua makhluk menginginkan bebas dari penderitaan. Buddha menjamin kebebasan akan
tercapai dengan cara menempuh jalan pembebasan akhir dari dukkha. Apapun yang
menjadi bahan renungan seseorang akan menjadi kecenderungan pikiran orang tersebut.
Jika seseorang sering memikirkan hawa nafsu, permusuhan, atau pemikiran berbahaya,
maka keinginan, niat jahat, dan sifat menyakiti akan menjadi kecenderungan pikiran
seseorang. Jika seseorang sering memikirkan sebaliknya, maka pelepasan keduniawian, niat
baik, dan sifat tidak menyakiti akan menjadi kecenderungan pikiran (Majjhima Nikaya, 19).

b. Sila (Kemoralan)
3) Sammā Vācā (Ucapan Benar)
Setelah memahami bagian Kebijaksanaan pada Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu
Pandangan Benar dan Pikiran Benar, terwujudlah ucapan dan tindakan yang benar. Ucapan
Benar secara khusus dibahas tersendiri dalam ajaran Buddha, dengan membedakannya dari
perbuatan karena dua alasan. Pertama, setiap hari tindakan kita tidak bisa terlepas dari yang
namanya berbicara. Tidak ada orang yang tidak pernah berbicara, kecuali orang yang cacat
secara fisik. Namun, perluasan dari berbicara yaitu komunikasi, tentunya pasti dilakukan
oleh setiap orang entah melalui tulisan, isyarat maupun ucapan.
Kita harus melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa. Itulah sebabnya
bahasa memegang peranan penting dalam peradaban manusia. Bahasa juga yang
membedakan secara unik manusia dengan hewan. Sehingga alasan kedua menjadi jelas,
yaitu ketika kita berkomunikasi, kita menggunakan bahasa yang merupakan alat

23
komunikasi. Begitu pula saat kita berpikir, sadar atau tanpa sadar, kita menggunakan yang
namanya bahasa. Ucapan adalah wujud dari pikiran atau pemikiranpemikiran kita, sehingga
batas antara ucapan dan pikiran itu sangat kecil dan halus. Sang Buddha menyadari hal
tersebut, sehingga mengkhususkan ucapan sebagai sebuah poin penting. Bahkan dalam
sutta-sutta, kata “ucapan” biasanya muncul sejajar dan bersamaan dengan kata “pikiran”
atau “perbuatan”. Menyadari hal tersebut, berhati-hatilah ketika kita sedang berucap atau
berbicara. Pikirkanlah terlebih dahulu apa yang akan kita ucapkan. Sebagaimana terdapat
dalam Dhammapada syair 281 : “Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran
dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia
memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan Jalan yang telah dibabarkan oleh
Para Suci”.
Dengan Pandangan Benar sebagai dasar dan Pikiran Benar sebagai awal dari suatu
tindakan, terbentuklah ucapan dan perbuatan. Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, ucapan
merupakan bagian dari kelompok moralitas (sila). Kata sila sendiri memiliki banyak makna,
yaitu sebagai aturan pedoman tindakan, seperti Lima Aturan-Moralitas Buddhis (panca-sila);
sebagai perbuatan yang sesuai dengan prinsip moral; dan sebagai tindakan benar atau sifat
luhur. Makna sila yang lebih tinggi yang dimaksud pada Jalan Mulia Berunsur Delapan
adalah usaha mentalitas untuk menjauhkan diri dari tindakan buruk. Oleh karenanya, walau
sila mempunyai manfaat bagi sosial bagi banyak orang (menciptakan keharmonisan), sila
juga membawa latihan bagi pemurnian batin. Maka dari itu, janganlah kita meremehkan
aturan-aturan moralitas (sila). Sila sebagai dasar dan penopang keseluruhan pelatihan
mental. Tanpa sila yang bagus, jangan berharap kebijaksanaan dapat muncul, apalagi
kebahagiaan sejati (nibbana).
Ucapan Benar adalah bagian dari moralitas (sila) yang harus disempurnakan
bersamaan dengan tindakan dan pikiran yang benar. Dalam Jalan Mulia Mulia Berunsur
Delapan, Kelompok Moralitas (Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Penghidupan Benar)
merupakan aspek terpenting dalam menyempurnakan batin dan menumbuhkan
kebijaksanaan. Kelompok Moralitas (sila) ini adalah fondasi dasar untuk mencapai
pencerahan, bebas dari penderitaan, seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam
Dhammapada syair 361 yaitu sungguh baik mengendalikan perbuatan; sungguh baik
mengendalikan ucapan; sungguh baik mengendalikan pikiran; dan sungguh baik

24
mengendalikan semuanya (indria-indria). Seorang bhikkhu yang dapat mengendalikan
semuanya akan bebas dari semua penderitaan.
Ucapan Benar (samma vaca) terdiri dari dua kata, yaitu ucapan (vaca) dan benar/sejati
(samma). Ucapan (vaca) memiliki makna yang sudah jelas, yaitu ujaran atau kata yang
dilisankan/disebutkan. Benar/sejati (samma) memiliki arti yang lebih dalam daripada
sekedar benar, tapi juga mencakup keseluruhan, lengkap atau integral (lebih jelas lihat buku
Pandangan Benar oleh penulis yang sama).
Sesuai dengan definisi di Saccavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya, maka suatu ucapan
dikatakan ‘benar’ apabila memenuhi kriteria : ucapan yang menjauhi kebohongan,
menghindari fitnah atau kata-kata untuk memecah belah yang didasari kebencian, tidak
mengandung katakata kasar, dan tidak melakukan obrolan kosong yang tidak bermanfaat.
Sebagaimana Buddha jelaskan dalam Kitab Suci Dhammapada Syair 234 bahwa para
bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya. Sesungguhnya, mereka itu
benarbenar telah dapat menguasai diri. Jadi, apabila suatu ucapan melanggar walau hanya
salah satu kriteria di atas, ucapan tersebut tidak dikategorikan ucapan benar. Jika kita simak,
poin keempat mungkin merupakan kriteria yang paling sulit dipenuhi, namun bukan tidak
bisa asalkan kita mau untuk melatihnya. Penjelasan lebih rinci mengenai masing-masing
kriteria tersebut di atas akan dijabarkan selanjutnya.
Sebagimana Buddha jelaskan dalam Syair Dhammapada syair 176 bahwa orang yang
melanggar salah satu Dhamma (Aturan Moralitas Buddhis/Pancasila keempat, yakni selalu
berkata bohong), yang tidak mempedulikan dunia mendatang, maka tak ada kejahatan yang
tidak dilakukannya. Ucapan yang benar sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Buddha seperti
yang terlihat dalam sabda sang Buddha pada ayat Dhammapada di atas. Biasanya seseorang
yang berani untuk mengatakan kebohongan, maka kejahatan yang lebih kejam, entah itu
pencurian, pembunuhan, maupun perampokan akan mudah untuk dilakukan olehnya.
Dijelaskan pula dalam Dhammapada syair 306 bahwa orang yang selalu berbicara
tidak benar, dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata: “Aku tidak
melakukannya,” akan masuk ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan
rendah ini, mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya. Dalam konteks modern,
ucapan tidak sekedar berucap, namun dapat diperluas ke komunikasi yang benar, termasuk
melalui tulisan. Seseorang yang menulis artikel ataupun buku yang berisi hal-hal yang
memecah belah, penuh ketidakbenaran, dan menghasut termasuk melakukan ucapan salah

25
yang bertolak belakang dengan ucapan benar. Isyarat-isyarat yang bisa menimbulkan salah
persepsi, yang dengan sengaja dilakukan, dalam hal ini termasuk ucapan tidak benar.
Media elektronik melipatgandakan suatu ucapan. Terlebih internet yang
menyebarkan suatu ucapan entah itu melalui tulisan, audio, visual maupun audio-visual
yang jelas sekali mempunyai daya pengaruh amat besar. Suatu ucapan yang merusak atau
mengadu domba dapat berkembang biak melalui saluran global, begitu pula sebaliknya
ucapan-ucapan yang menyenangkan dan bermanfaat dapat menyebar dengan cepat
melalui situs-situs jejaring sosial (social network). Oleh sebab itu, berhati-hatilah ketika
menyebarkan ucapan atau tulisan melalui media informasi yang ada.
Dalam ajaran Buddha, pelatihan Ucapan Benar dapat dilakukan secara pasif dan aktif.
Sama dengan Pikiran Benar, aspek pasif dari Ucapan Benar adalah dengan cara menghindari
ucapan-ucapan yang tidak benar, katakata yang memecah belah, ucapan kasar, dan obrolan
kosong sesuai dengan definisi Ucapan Benar di atas. Aspek aktif Ucapan Benar adalah
ucapan yang dianjurkan aktif untuk dilakukan. Aspek aktif pada Ucapan Benar mencakup
ucapan apa adanya atau kejujuran, katakata yang menimbulkan keharmonisan, kata-kata
yang lembut, dan ucapan yang bermanfaat. Aspek pasif dari ucapan benar adalah
menghindari ucapan tidak benar (bohong), menjauhi ucapan yang memecah belah atau
fitnah, menghindari berkata kasar, dan menghindari obrolan kosong. Sedangkan aspek
aktif dari ucapan benar adalah membiasakan ucapan apa adanya (jujur), melakukan ucapan
yang menimbulkan keharmonisan, berucap kata yang lembut, dan melakukan obrolan yang
bermanfaat.
Di dalam Anguttara Nikaya disebutkan bahwa ada lima tanda suatu ucapan dikatakan
baik dan benar, yaitu: Jika ucapan memiliki lima tanda, para bhikkhu, berarti ucapan itu
disampaikan dengan baik, tidak disampaikan dengan buruk, tak-ternoda dan taktercela oleh
para bijaksana. Apakah lima tanda ini? Itulah ucapan yang tepat waktu, benar, lembut,
bertujuan, dan diucapkan dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih.
Kata-kata yang baik adalah kata-kata yang sesuai dengan situasi dan kondisi.
Terkadang ucapan kita tidak salah, namun malah menyinggung orang lain, dan hal tersebut
dikatakan tidak tepat waktu. Demikian pula, ketika suasana hati seseorang sedang buruk,
ucapan apapun seringkali tidak berarti. Kita harus bijak kapan memilih untuk diam dan
kapan memilih untuk berucap. Contoh kasus ini adalah seseorang yang sedang dalam
keadaan dipengaruhi emosi negatif (marah), bisa jadi kita malah menyiram minyak pada api,

26
walaupun kita bermaksud untuk menenangkan orang tersebut. Biasanya hal tersebut terjadi
karena mungkin masalah tersebut berhubungan dengan kita. Jadi, Sang Buddha
mengajarkan bahwa kita perlu waspada dalam ucapan agar sesuai dengan kondisi dan tepat
waktu.
Kata-kata yang diucapkan haruslah sesuai dengan kenyataan. Ini artinya jelas, kita
berucap apa adanya. Buddha mengatakan dalam Majjhima Nikaya mengenai hal ini,
seorang tidak lagi berbohong dan selamanya menghindarinya. Bila dia bersaksi di
pengadilan warga, pertemuan warga, rukun warga, atau mahkamah agung, dan ditanya:
“Katakan pada kami, orang yang baik, apa yang engkau ketahui?” Bila dia tidak tahu, dia
berkata: “Saya tidak tahu,” dan bila dia mengetahui, dia berkata: “Saya tahu.” Apabila dia
tidak melihat, dia berkata: “Saya tidak lihat,” dan apabila dia melihat, dia berkata: “Saya
lihat.” Dia tidak akan sengaja berbohong, baik untuk keuntungan dirinya sendiri,
keuntungan orang lain ataupun demi kesenangan duniawi lainnya.
Ucapan Sang Buddha tenang dan lembut. Tidak pernah Beliau marah dengan
ucapan-ucapan yang kasar. Kebiasaan berucap lembut akan memengaruhi batin atau
pikiran kita menjadi lebih lembut dan tidak kejam. Jika kita terbiasa berucap dengan kasar,
maka tanpa kita sadari benih-benih kekejaman telah tumbuh dalam diri kita.
Setiap ucapan yang kita lakukan, seharusnya secara sadar kita lakukan. Kita harus
sadar terhadap setiap ucapan yang dikeluarkan dan akibatnya. Dengan demikian, kita hanya
mengucapkan kata-kata yang bertujuan. Bertujuan di sini adalah demi kebaikan banyak
orang. Contohnya adalah ceramah-ceramah oleh para dhammaduta mempunyai tujuan
untuk menyampaikan ajaran Buddha.
Ucapan ini berkaitan dengan Pikiran Benar. Ketika pikiran penuh dengan cinta kasih,
maka ucapan seseorang akan menjadi lembut dan menyenangkan. Kata-kata yang penuh
cinta kasih tidak akan terwujud menjadi umpatanumpatan yang kasar. Begitu pula, kata-
kata yang penuh cinta kasih akan menyatukan dan menimbulkan keharmonisan. Contoh
ucapan ini adalah dorongan dan motivasi kepada teman yang sedang menghadapi masalah.
Perkataan bohong mempunyai makna yang jelas. Segala ucapan yang tidak benar, tidak
sesuai dengan kenyataan, dikategorikan sebagai ucapan bohong. Faktor yang menentukan
suatu perkataan dapat dianggap bohong adalah kehendak untuk berbohong.
Jika kita renungkan sejenak, perkataan tidak benar atau bohong yang kita lakukan
biasanya akan ditutupi lagi dengan kebohongan lainnya. Untuk menyembunyikan

27
kebohongan yang telah dibuat, mau tidak mau ditutupi lagi dengan kebohongan. Inilah
yang disadari oleh Sang Buddha, sehingga Beliau menyatakan dalam Majjhima Nikaya
bahwa tidak seharusnya seseorang melakukan kebohongan sekalipun demi sebuah lelucon.
Hal-hal berikut yang kelihatannya seperti berbohong, namun sebenarnya tidak
dapat dianggap sebagai kebohongan karena tidak adanya niat untuk menipu, antara lain:
Euphemisme Euphemisme adalah suatu cara dalam pembicaraan atau tulisan (komunikasi)
yang tidak langsung menurut kebiasaan dan kadang-kadang hanya demi kesopanan.
Seperti salam “terima kasih”, atau dalam surat “hormat saya”, Cerita kiasan (fabel), dan Salah
pengertian (terkadang salah jawab terhadap suatu pertanyaan, bukan ada niat).

Dalam Subhasita sutta, Samyutta Nikaya dijelaskan bahwa “ucapan yang bermanfaat
adalah yang paling utama, kata orang-orang suci. Orang harus berbicara apa yang berharga
dan bukan yang tidak berharga. Inilah yang kedua. Orang harus berbicara apa yang
menyenangkan dan bukan yang tidak menyenangkan. Inilah yang ketiga. Orang harus
berbicara apa yang benar dan bukan apa yang salah. Inilah yang keempat.” Dari sutta
tersebut kita dapat melihat bahwa penekanan Sang Buddha terhadap ucapan yang
bermanfaat paling diutamakan. Hal tersebut karena ucapan tersebut berhubungan dengan
orang lain etika sosial Buddhis.
Selanjutnya Sang Buddha mengatakan bahwa selayaknya kita berbicara sesuatu
yang berharga, yang mempunyai makna atau nilai yang patut untuk dikatakan. Misalnya,
ucapan yang membahas tentang ilmu pengetahuan, ucapan yang membahas tentang
Ajaran Buddha secara teoritis, ucapan yang membahas pengetahuan. Kemudian, kita
dianjurkan untuk berbicara yang menyenangkan sebagai respon aktif dari ucapan yang
tidak menyakitkan. Yang dapat kita lakukan adalah memberi ucapan selamat, berterima
kasih, memuji (bukan menjilat). Ucapan seperti ini akan membuat orang lain menjadi
gembira, bahagia dan senang.
Yang terakhir sangat jelas mengenai ucapan yang benar dan yang salah. Ucapan
benar adalah ucapan yang sesuai dengan kenyataan, ucapan yang jujur, ucapan apa adanya,
ucapan yang tidak melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Jadi, empat cara ucapan
ini dianjurkan oleh Sang Buddha agar senantiasa ada dalam ucapan kita seharihari. Biasanya
suatu ucapan yang kita lakukan, tergantung kondisinya sehingga suatu kata yang tadinya
bermanfaat pada kondisi kemarin bisa jadi tidak bermanfaat untuk kondisi keesokan

28
harinya. Demikian pula, suatu ucapan bisa mengandung banyak cara sekaligus. Suatu
ucapan bisa bermanfaat, sekaligus menyenangkan dan benar. Bisa pula ucapan tersebut
menyenangkan, namun kurang tepat karena dilebih-lebihkan. Idealnya sebuah ucapan
memenuhi 4 cara tersebut di atas. Selain 5 ciri ucapan benar lainnya, yaitu harus tepat waktu,
benar (sesuai dengan kenyataan), lembut, bertujuan baik dan berdasarkan cinta kasih
seperti yang disebutkan dalam Anggutara Nikaya,
Secara ringkas, ucapan benar adalah ucapan yang benar, lembut, tidak merugikan
orang lain, tepat waktu, tidak menambah kesombongan dalam diri, menyenangkan,
bermanfaat bagi orang dan ucapan yang membuat keharmonisan. Setelah pembahasan
yang ringkas mengenai ucapan benar atau perluasannya komunikasi benar, penulis
berharap kita semua semakin menyadari arti penting kata-kata, tulisan maupun isyarat yang
kita lakukan. Ucapan yang dianggap kecil terkadang berpengaruh besar terhadap orang
lain. Begitu pula, tulisan-tulisan yang kasar atau provokatif dapat menyebabkan pertikaian
antar masyarakat.
Marilah kita berusaha lebih menyadari setiap kata-kata yang terucap. Pikirkan dahulu
kata-kata yang akan kita kemukakan, apakah merugikan orang lain atau tidak, apakah benar
atau salah, dan apakah menambah keserakahan, kesombongan dan kebencian dalam diri.
Marilah mengurangi umpatan-umpatan kasaryang terkadang tanpa sengaja kita ucapkan
karena kebiasaan dengan semakin menyadari setiap ucapan yang akan dikeluarkan.
Meditasilah untuk melatih kesadaran. Renungkanlah setiap ucapan yang ke luar beserta
akibat-akibatnya.

4) Sammā Kammanta (Perbuatan Benar)


Perbuatan Benar merupakan bagian dari Kelompok Moralitas (sila) dalam Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Dalam praktik ajaran ini, disiplin moral (sila) menempati urusan yang
paling dasar sekaligus penting sebagai fondasi bagi latihan konsentrasi/ meditasi (samadhi).
Tanpa displin moral yang baik, kebijaksanaan tidak akan tumbuh. Pengertian sila sangat luas
mencakup seperangkat aturan moralitas, perbuatan yang sejalan dengan prinsip moral,
serta sebagai suatu tindakan luhur. Dalam pengertian Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, sila
memiliki makna yang lebih tinggi yaitu suatu usaha mentalitas untuk menjauhi tindakan
atau ucapan buruk. Pelaksanaan sila sebagai pedoman latihan, yaitu aturan moralitas seperti

29
pada Lima Aturan-moralitas (Pancasila Buddhis) sangat berguna bagi pemurnian batin atau
pengembangan batin.
Ulasan ajaran Buddha mengenai Perbuatan Benar jelas membicarakan suatu etika.
Etika pada beberapa ajaran agama didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh
suatu makhluk. Lalu bagaimana dengan standar etika dalam ajaran Buddha? Bagaimana kita
tahu bahwa sesuatu itu dikatakan baik atau buruk? Apakah yang menjadikan suatu
perbuatan itu benar? Menurut ajaran Buddha, suatu perbuatan itu dikatakan baik atau buruk
tergantung pada keadaan pikiran pelaku saat perbuatan tersebut dilakukan. Jadi, kriteria
dasar etika Buddhis bukanlah teologis, melainkan psikologis.
Sebagaimana dijelaskan dalam Dhammapada syair 122 bahwa Janganlah
meremehkan kebajikan walaupun kecil, dengan berkata: “Perbuatan bajik tidak akan
membawa akibat.” Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan
setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya
dengan kebajikan. Maka jangan pernah menyepelekan perbuatan baik sekecil apapun,
hendaknya dilakukan terus menerus.
Perbuatan Benar (samma kammanta) terdiri dari dua kata, yaitu perbuatan atau
tindakan (kammanta) dan benar/ sejati (samma). Makna perbuatan di sini sangat jelas, yaitu
melakukan sesuatu dengan badan jasmani. Buddha mengatakan bahwa perbuatan benar
adalah perbuatan yang memenuhi kriteria berikut: menghindari pembunuhan makhluk
hidup, menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, dan menghindari perbuatan
seksual yang salah. Hal tersebut berarti bahwa perbuatan seseorang dikatakan benar,
sejalan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, apabila kriteria tersebut telah terpenuhi.
Esensi di balik hal tersebut adalah, selama suatu tindakan tidak didasari oleh keserakahan,
kebencian atau ketidaktahuan, maka dikatakan sebagai perbuatan benar. Sebaliknya,
apabila ada unsur keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan maka perbuatan tersebut
dikatakan salah.
Setiap hari, dimanapun, kita tidak terlepas dari melakukan suatu tindakan atau
perbuatan. Perbuatan kecil yang dilakukan tentu akan berakibat atau berefek kepada orang-
orang sekitar kita. Dalam pengalaman seharihari, kita dapat merasakan manfaat perbuatan
benar yang dilakukan. Begitu pula kita bisa melihat akibat perbuatan salah dalam kehidupan
nyata di sekitar kita. Mencuri misalnya, dapat mengakibatkan dihakimi massa, dipenjara,
atau dihantui ketakutan karena melakukan perbuatan yang salah. Begitu pula apabila

30
seseorang melakukan perzinahan, ketakutan dan kecemasan akan ketahuan membuat
hidupnya jauh dari ketenangan dan kebahagiaan.
Selanjutnya dijelaskan pula dalam Dhammapada syair 117-118 bahwa apabila
seseorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu, dan jangan
merasa senang dengan perbuatan itu; sungguh menyakitkan akibat dari memupuk
perbuatan jahat. Apabila seseorang berbuat bajik, hendaklah ia mengulangi perbuatannya
itu dan bersuka cita dengan perbuatan itu, sungguh membahagiakan akibat dari memupuk
perbuatan bajik. Jadi, jelas apabila perbuatan yang kita lakukan merupakan perbuatan
benar, tidak akan ada kecemasan, ketakutan atau ketidaktenangan dalam menjalani hidup
ini. Apabila setiap manusia menjalankan hidup sesuai dengan panduan Sang Buddha yaitu
banyak melakukan perbuatan benar, maka dunia ini tidak akan ada perang, hidup manusia
akan damai dan tentram.
Praktik Perbuatan Benar dalam ajaran Buddha meliputi dua hal, yaitu pasif dan aktif.
Dalam pengertian pasif, suatu Perbuatan Benar dilakukan dengan cara melatih diri
menghindari tindakan-tindakan yang salah. Pengertian aktif adalah anjuran untuk
melakukan banyak perbuatan bajik dalam kehidupan sehari-hari. Alasan perbuatan benar
secara aktif sangat dianjurkan karena perbuatan baik yang dilakukan akan membuat kita
menjadi bahagia. Sebagai contoh, apabila kita melihat orang lain mengalami kecelakaan,
kemudian kita membiarkannya, memang hal tersebut bukan merupakan perbuatan salah,
karena tidak ada tindakan salah yang dilakukan. Namun, hal tersebut bisa membuat kita
merasa bersalah dan akan membuat kita dicela karena telah begitu kejam membiarkan
orang kecelakaan dan diam saja. Ketika ada kondisi seperti itu, segera bantu orang tersebut
dan itulah bentuk perbuatan benar. Ajaran Buddha mengajarkan bahwa tindakan aktif
merupakan wujud perbuatan benar dan harus dikembangkan agar hati kita menjadi tenang
dan bahagia.
Sisi pasif dari perbuatan benar yaitu menghindari pembunuhan makhluk hidup
(termasuk menyakiti), menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, dan
menghindari perbuatan seksual yang salah. Sedangkan sisi aktif dari perbuatan benar yang
hendaknya dipraktikkan yaitu mengembangkan kepedulian dan simpati, melatih kejujuran
dan kemurahan hati, dan melatih kepuasan dan kesetiaan.
Perbuatan Benar adalah suatu perbuatan atau tindakan total, artinya seseorang
melakukan suatu tindakan atau perbuatan secara utuh, secara total, tidak

31
setengahsetengah. Sebagai contoh, ketika melakukan sesuatu, tapi kita tidak benar-benar
memberikan energi, perhatian, dan semangat kita sepenuhnya. Ketika sedang bekerja,
mungkin untuk beberapa saat perhatian fokus, namun kemudian pikiran kita teralihkan
untuk cepatcepat menyelesaikan pekerjaan atau ada hal-hal yang lain yang terpikir dan
mengalihkan perhatian kita. Tindakan total ini juga mencakup kesadaran akan setiap
perbuatan yang dilakukan, akan akibat-akibatnya, menyadari akan manfaat-manfaat atau
alasan-alasan di balik tindakan tersebut. Di sisi lain, tindakan total mencakup kebijaksanaan,
cinta, kasih, usaha, minat, antusias yang menyatu dalam perbuatan kita sehari-hari. Memang
hanya seorang Buddha yang betul-betul secara sempurna bertindak total; namun setidak-
tidaknya dalam melakukan suatu perbuatan, mari kita curahkan dengan penuh energi
semangat dan perhatian.

5) Sammā Ajiva (Matapencaharian Benar)


Penghidupan Benar adalah salah satu unsur dari Kelompok Moralitas (sila) di dalam
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Penghidupan benar adalah wujud dari pikiran, perbuatan,
dan ucapan Benar yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang perlu hidup,
perlu bekerja untuk hidup. Ketika hal tersebut terjadi, akan muncul persinggungan dengan
orang lain. Kehidupan ekonomi satu orang akan berinteraksi dengan yang lain. Ini terjadi
pada setiap orang. Oleh karena pentingnya hal tersebut, Sang Buddha memperhatikan
aspek ini, aspek ekonomi. Penghidupan Benar dalam ajaran Buddha mewakili aspek ini.
Di dalam kitab Tipitaka, Samyutta Nikaya disebutkan berulang-ulang bahwa
Penghidupan Benar adalah penghidupan yang meninggalkan Penghidupan Salah,
mempertahankan kehidupannya dengan penghidupan yang benar. Tidak disebutkan
dengan jelas dalam definisi ketika Sang Buddha sedang berbicara mengenai Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Walaupun demikian, di ucapan-ucapan Buddha yang lain, dapat
ditemukan suatu bentuk standar mengenai bagaimana penghidupan benar itu.
Standar tersebut terdapat dalam Anguttara Nikaya bahwa suatu penghidupan harus
dilakukan dengan cara-cara yang legal, bukan ilegal; diperoleh dengan damai, tanpa
paksaan atau kekerasan; diperoleh dengan jujur, tidak dengan penipuan dan kebohongan;
serta diperoleh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan bahaya dan penderitaan bagi
orang lain.
Setiap orang perlu bekerja untuk hidup. Sejak zaman dulu manusia telah melakukan

32
segala cara dan upaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Satu dengan yang lainnya
berinteraksi dan saling membutuhkan untuk mencukupi dan menunjang hidup. Ketika
masyarakat semakin maju, maka bentukbentuk penghidupan pun bermunculan. Apabila
seseorang melakukan penghidupan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap orang
lain maka dunia ini lambat laun akan menjadi kacau. Seandainya setiap orang melakukan
pekerjaannya dengan caracara yang tidak jujur, selalu menipu, maka kehidupan manusia
tidak akan harmonis dan damai. Kehidupan manusia akan menjadi kacau.
Ketika seseorang melakukan mata pencaharian yang benar, tentunya berdampak
positif terhadap batin, pikiran dan perasaan menjadi lebih tenang. Bayangkan apabila
pekerjaan seseorang ilegal, dilakukan dengan menipu, maka orang tersebut akan selalu
dipenuhi oleh ketakutan, kecemasan dan perasaan tidak nyaman lainnya. Untuk itulah
diperlukan cara hidup yang benar, penghidupan yang benar. Apabila seseorang melakukan
penghidupan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap orang lain maka dunia ini
lambat laun akan menjadi kacau. Untuk itulah diperlukan cara hidup yang benar,
penghidupan yang benar.
Diuraikan dalam Anguttara Nikaya bahwa Penghidupan menjadi salah ketika
dilakukan dengan pikiran, ucapan dan perbuatan salah serta merugikan atau membuat
penderitaan bagi makhluk lain. Di dalam Literatur Buddhis, Sang Buddha menyebutkan
penghidupan atau mata pencaharian spesifik yang tidak dianjurkan dilakukan. Sang Buddha
menganjurkan umat awam menghindari lima macam penghidupan salah, yaitu: “Ada lima
perdagangan yang wajib dihindari oleh para perumah tangga. Apa lima itu? Berdagang
senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman keras dan
berdagang racun”.
Suatu pekerjaan menjadi penghidupan salah apabila dilakukan dengan cara-cara yang
melanggar ucapan benar atau perbuatan benar.Walaupun demikian, hal tersebut tidaklah
selalu berlaku.Penjual senjata atau barang memabukkan dapat melakukan pekerjaan tanpa
melanggar ucapan benar atau perbuatan benar, namun tetap dilarang oleh Sang Buddha.
Hal ini karena Beliau mempertimbangkan konsekuensi dari pekerjaan tersebut terhadap
makhluk lain. Jadi, efek terhadap makhluk lain merupakan salah satu poin penting dalam
membuat kriteria jenis penghidupan salah. Selain itu, Sang Buddha menyebutkan dalam
Mahacattarisaka Sutta bahwa penghidupan salah dapat terjadi apabila dilakukan dengan
cara sebagai berikut:

33
a) Kebohongan (berhubungan dengan kata-kata) Maknanya adalah melakukan suatu
pekerjaan dengan tidak jujur. Contohnya berdusta dengan mengatakan secara berlebih-
lebihan kualitas barang yang tidak tepat.
b) Penghianatan/Ketidaksetiaan Artinya pekerjaan dilakukan dengan melanggar janji, tidak
sesuai dengan kesepakatan.
c) Peramalan/Penujuman Pekerjaan yang berkaitan dengan ramalan-ramalan dan
ketidakpastian.
d) Penipuan/Kecurangan (Berhubungan dengan tindakan mengelabui/menipu) Suatu
Pekerjaan dilakukan dengan menipu atau berbagai bentuk tipuan atau hal-hal curang
lainnya.
e) Riba/Lintah Darat Pekerjaan dilakukan dengan mencari keuntungan tidak wajar dan
sangat berlebih-lebihan.Contohnya menjual barang dengan harga dua kali atau lebih.
Dari Ucapan Sang Buddha ini, dapat disimpulkan bahwa suatu penghidupan benar
dapat menjadi salah apabila dilakukan dengan cara yang salah. Contohnya seorang penjual
barang-barang elektronik bukan merupakan Mata Pencaharian Salah, namun si penjual
melakukan kecurangan dengan memalsukan barang yang dijual, sehingga Penghidupan
yang secara etis benar, menjadi salah. Begitu pula pekerjaan sebagai dokter yang secara etis
sangat mulia namun apabila seorang dokter sebaliknya melakukan aborsi atau menarik
biaya yang tidak wajar, maka dapat dikatakan Penghidupannya Salah. Menggaji pekerja
terlalu rendah, membayar gaji tidak sesuai jam kerja juga dapat menjadikan suatu
Penghidupan Benar menjadi Salah.
Penghidupan umat awam dan seorang petapa (Bhikkhu/ni) berbeda. Sang Buddha
juga menjelaskan dalam Digha Nikaya tentang jenis-jenis penghidupan yang seharusnya
tidak dilakukan oleh seorang bhikkhu/ni. Penghidupan Salah tersebut seperti yang
diucapkan Sang Buddha adalah: “Membaca garis tangan,meramal dari gambarangambaran,
tanda-tanda, mimpi, tanda-tanda jasmani, gangguan tikus, pemujaan api, persembahan dari
sesendok sekam, tepung beras, beras, ghee atau minyak, atau darah, dari mulut, membaca
ujung jari, pengetahuan rumah dan kebun, ahli dalam jimat, pengetahuan setan,
pengetahuan rumah tanah, pengetahuan ular, pengetahuan racun, pengetahuan tikus,
pengetahuan burung, pengetahuan gagak, meramalkan usia kehidupan seseorang, jimat
melawan anak panah, pengetahuan tentang suara-suara binatang,…[Dst]”.
Inti dari Ucapan Sang Buddha tersebut adalah bahwa para petapa, yaitu bhikkhu/ni

34
tidak seharusnya melakukan segala bentuk ramalan, membuat jimat, mengatur pernikahan,
pertunangan atau perceraian, melakukan berbagai bentuk pengobatan dengan menipu dan
mencari keuntungan materi.Pekerjaan seperti ini juga tidak disarankan dilakukan oleh umat
awam karena tidaklah berguna, tidak berdasar, dan sia-sia.

c. Samādhi (Konsentrasi)
6) Sammā Vāyāma (Usaha Benar)
Saudara, sammā vāyāma atau usaha benar memiliki faktor mental yaitu semangat
(viriya). Viriya dapat muncul dalam bentuk bajik dan tidak bajik. Faktor viriya tidak bajik
dapat menjadi bahan bakar nasfu keinginan, kekerasan, dan ambisi tertentu. Sebaliknya,
faktor viriya bajik dapat mendorong munculnya kemurahan hati, disiplin diri, kebaikan,
konsentrasi, dan usaha membangun pemahaman. Semangat atau kerja keras yang terlibat
dalam sammā vāyāma atau usaha benar merupakan bentuk energi bajik, lebih spesifik
adalah energi dalam kesadaran yang diarahkan menuju pembebasan dari penderitaan.
Energi bajik berupa viriya ini didukung oleh pengertian benar dan pikiran benar, bekerja
melalui saling keterhubungan di antara unsur-unsur Jalan Tengah lainnya. Energi bajik yang
tidak diarahkan pada jalan pembebasan, menyebabkan akumulasi jasa kebajikan yang akan
matang dalam lingkaran kelahiran dan kematian. Energi ini berguna untuk kelangsungan
hidup di masyarakat.
Usaha, ketekunan, kerja keras, dan keteguhan diperlukan untuk pembebasan diri
sendiri. Buddha hanya menunjukkan jalan menuju pembebasan, diri sendiri harus
mempraktikkan jalan tersebut, yang mana praktik memerlukan suatu usaha sebagai energi.
Energi usaha ini diperlukan untuk pengembangan pikiran agar fokus pada keseluruhan
unsur Jalan Tengah. Pikiran cenderung kotor, menderita, tersesat yang harus dibebaskan,
dimurnikan, dan diterangi oleh kebijaksanaan. Usaha diperlukan untuk mengubah kondisi
pikiran yang kotor menjadi pikiran yang bersih. Diri sendiri adalah pejuang untuk
mengubahnya, tidak bisa menggantungkan kepada orang lain, bahkan kepada Buddha
sekali pun. Kata kuncinya adalah, siapa pun yang mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh
Buddha, maka ia dapat mencapai tujuan. Usaha sangat diperlukan sebagai wujud praktik
dari tekad, “Saya tidak akan menghentikan usaha saya hingga mencapai apapun yang dapat
dicapai dengan keteguhan, energi, dan usaha keras seorang manusia” (Majjhima Nikaya,
70).

35
Sifat proses mental yang menyebabkan usaha benar dibagi menjadi empat hal, yaitu:
(a) mencegah munculnya keadaan-keadaan tidak bajik yang belum muncul; (b)
meninggalkan keadaan-keadaan tidak bajik yang sudah muncul; (c) membangkitkan
keadaan-keadaan bajik yang belum muncul; serta (d) memelihara dan menyempurnakan
keadaan-keadaan bajik yang sudah muncul (Bodhi, 2010: 75). Keadaan-keadaan tidak bajik
(akusala dhamma) adalah kekotoran batin, pemikiran, emosi-emosi, dan niat-niat yang
berasal dari kekotoran batin, baik yang keluar dalam bentuk perbuatan maupun batin.
Keadaan-keadaan bajik (kusala dhamma) adalah keadaan-keadaan pikiran yang tidak
ternodai oleh kotoran-kotoran batin, terutama keadaan-keadaan pikiran yang membantu
menuju pembebasan. Keadaan-keadaan tidak bajik dicegah agar tidak muncul dan
kekotoran-kekotoran batin aktif yang sudah hadir dilenyapkan. Keadaan-keadaan bajik
yang belum berkembang dimunculkan, kemudian dikembangkan secara terus-menerus.
Mencegah munculnya keadaan-keadaan tidak bajik yang belum muncul. “Di sini
pengikutnya membangun tekadnya untuk menghindari munculnya keadaan-keadaan yang
jahat, yang tidak bajik, yang belum muncul, dan ia melakukan usaha membangkitkan
energinya, mengerahkan pikirannya dan berjuang” (Anguttara Nikaya, 4: 13). Usaha benar
bertujuan untuk mengatasi keadaan-keadaan tidak bajik, suatu keadaan pikiran yang
ternodai oleh kekotoran-kekotoran batin. Pada konteks meditasi, kekotoran batin ini
disebut dengan pañcanivarana (lima rintangan batin), yaitu kamacchanda (nafsu indra),
byapada (niat buruk), thina-middha (kemalasan), uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan
penyesalan), dan vicikiccha (keraguan). Nafsu indra mencegah seseorang untuk memasuki
meditasi mendalam. Nafsu indra ini meliputi kesenangan, ketertarikan, keterlibatan dengan
panca indra. Cara mengatasi rintangan nafsu indra adalah dengan mengembalikan
perhatian pada fokus pernapasan dan/atau batin. Niat buruk menjadi rintangan dalam
meditasi karena membatasi diri sendiri untuk berkembang lebih baik dalam mencapai
kebahagiaan. Niat buruk ini juga terhadap objek meditasi yang dipilih. Rintangan ini bisa
diatasi dengan meditasi cinta kasih, memaafkan diri sendiri, cinta kasih dan niat baik kepada
objek yang dipilih, serta berdamai dengan pernapasan. Ciri kemalasan dalam meditasi
adalah mengantuk dan tidak ada usaha untuk bertahan. Cara mengatasinya dengan
berhenti melawan pikiran sendiri, sekadar mengamati perubahannya, atau membiarkan
begitu saja, menjaga kesadaran. Kegelisahan dan penyesalan sebagai rintangan batin
disebabkan karena munculnya ingatan-ingatan masa lalu yang menyakitkan. Hal ini dapat

36
diatasi dengan memaafkan dan membiarkannya berlalu begitu saja. Keraguan terhadap
ajaran, guru, bahkan diri sendiri dapat merintangi praktik meditasi seseorang. Hal ini dapat
diatasi dengan memperbanyak pengalaman, memahami ajaran, menyelidiki keteladanan
guru-guru meditasi, serta memberikan semangat dan kesempatan kepada diri sendiri untuk
berkembang. Kelima hal ini merintangi jalan menuju pembebasan, berkembang dan
menguasai batin, mengganggu ketenangan dan pandangan terang. Nafsu indra dan niat
buruk didorong oleh keserakahan dan kebencian, sedangkan kemalasan, kegelisahan, dan
keraguan dikuasai oleh kebodohan batin. Tentu saja, dominasi keserakahan, kebencian, dan
kebodohan batin dibarengi dengan kekotoran-kekotoran batin lainnya.
Secara umum, usaha-usaha yang perlu dilakukan berkaitan dengan rintangan-
rintangan batin adalah mencegah rintangan-rintangan yang belum muncul, disebut dengan
usaha mengendalikan (samvarappadhana). Usaha mengendalikan ini dilakukan pada saat
mulai berlatih meditasi maupun sepanjang perjalanan perkembangannya. Rintangan yang
muncul cenderung mengacaukan perhatian dan menggelapkan kualitas kewaspadaan,
sehingga merusak ketenangan dan kejernihan. Rintangan muncul dari dalam diri sendiri.
Rintangan-rintangan muncul menjadi bagian dari latihan karena adanya kontak indra
dengan objek. Lima indra menerima kontak dengan jenisnya yang spesifik, mata terhadap
bentuk, telinga terhadap suara, hidung terhadap bau, lidah terhadap rasa, dan kulit terhadap
sentuhan. Objek-objek indra secara terus-menerus diterima indra, kemudian indra
melanjutkan informasi tersebut ke dalam pikiran, diproses, dievaluasi, dan diberikan respons
yang sesuai. Di sinilah peran batin yang merespons menentukan kesan-kesan yang diterima
dengan cara yang berbeda-beda, tergantung perasaan yang ditimbulkannya. Ketika pikiran
mengalihkan perhatiannya terhadap informasi yang masuk dengan pertimbangan yang
tidak bijaksana (ayoniso manasikara), objek-objek indra cenderung membangkitkan
keadaan tidak bajik. Kekotoran batin yang aktif sesuai dengan objek, kemudian mendorong
munculnya keinginan, objek yang tidak disukai mendorong munculnya niat buruk, dan
objek-objek yang tidak dapat dipastikan dengan jelas mendorong munculnya kekotoran
batin yang berhubungan dengan kebodohan batin.
Pencegahan kekotoran batin yang muncul adalah kontrol atas indra, dikenal dengan
pengendalian kemampuan indra (indriya-samvara), “Ketika ia menyadari bentuk dengan
mata, suara dengan telinga, bau dengan hidung, rasa dengan lidah, kesan dengan tubuh,
atau suatu objek dengan pikiran; ia mempersepsikan tidak berdasarkan tanda atau

37
detailnya. Dan ia berjuang untuk menghindarinya, yang mana darinya keadaan-keadaan
buruk dan tidak bajik, keserakahan dan kesedihan, akan muncul apabila ia tetap dengan
indra yang tidak terjaga; dan ia mengawasi indra-indranya, mengendalikan indra-indranya”
(Anguttara Nikaya, 4: 14). Mengendalikan indra bukanlah menolak kontak indra dengan
objek, menyangkal dan menarik diri dari dunia indrawi. Hal ini tidak mungkin dilakukan,
andaikan tercapai, masalah tetap belum terselesaikan; karena kekotoran batin terletak di
dalam pikiran, bukan pada organ indra atau objek-objeknya. Cara mengontrol indra dengan
cara tidak mempersepsikan setiap tanda yang muncul atas kontak indra terhadap objek. Jika
diikuti maka pikiran cenderung menjelajahi detail-detailnya untuk kemudian terjerat dalam
kekotoran batin yang berlipat dan berkembang.
Mengendalikan indra membutuhkan perhatian dan pengertian jelas tentang apa yang
harus dilakukan saat indra bertemu objek. Kesadaran indra terjadi dalam suatu rangkaian
urutan tindakan kognitif sesaat yang memiliki tugas khusus masing-masing. Pikiran
mengalihkan perhatian pada objek, kemudian mempersepsikan objek itu, lalu menerima
persepsi tersebut, memeriksanya, dan mengidentifikasinya. Respons mulai muncul. Jika
perhatian tidak dihadirkan, maka kekotoran batin laten muncul, menggerakkan
pertimbangan yang salah. Keserakahan akan mempesonakan terhadap objek yang
menyenangkan, kebencian akan muncul terhadap perasaan yang tidak menyenangkan. Jika
perhatian pada pengalaman indrawi dihadirkan penuh, seseorang mampu menghentikan
proses kognitifnya sebelum berevolusi lebih jauh ke tahap yang memicu potensi noda-noda
batin laten. Perhatian mencegah munculnya rintangan-rintangan dengan cara menjaga
pikiran pada tingkat yang dirasakan. Perhatian memusatkan kesadaran pada apa yang
diberikan, mencegah pikiran terjerat pada analisis lanjutan dengan ide dan gagasan yang
dilahirkan dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Kewaspadaan memandu
pikiran memahami objek sebagaimana adanya tanpa tersesat lebih jauh.
Meninggalkan keadaan-keadaan tidak bajik yang sudah muncul. Meskipun telah
melakukan usaha mengontrol indra, namun kekotoran batin mungkin masih muncul.
Kekotoran batin membesar dari mental yang lebih halus dan dalam, berakumulasi dengan
bentuk-bentuk kekotoran batin lain dari masa lalu yang terpendam, kemudian tecermin
dalam pemikiran-pemikiran dan emosi-emosi tidak bajik. Jika hal ini terjadi, maka usaha
baru perlu dilakukan untuk meninggalkan keadaan-keadaan tidak bajik yang muncul. Usaha
meninggalkan ini disebut dengan pahanappadhana (Bodhi, 2010: 81). Sebagaimana Buddha

38
sabdakan, bahwa “Di sini pengikutnya membangun tekadnya untuk mengatasi keadaan-
keadaan jahat, yang tidak bajik, yang sudah muncul dan ia melakukan usaha,
membangkitkan energinya, mengerahkan pikirannya dan berjuang” (Anguttara Nikaya, 4:
13). “Ia tidak mempertahankan pemikiran apapun dari hawa nafsu indra, niat buruk, atau
sifat menyakiti, atau keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bajik lainnya yang mungkin
sudah muncul; ia meninggalkannya, mengusirnya, menghancurkannya, menyebabkan
mereka untuk menghilang” (Anguttara Nikaya, 4: 14).
Rintangan berupa keinginan yang muncul dapat diobati dengan meditasi
ketidakkekalan. Meditasi jenis ini menghancurkan penyangga di balik kemelekatan, yaitu
keyakinan bahwa objek-objek yang dilekati adalah stabil, awet, dan kekal. Hawa nafsu
keinginan dalam bentuk spesifik nafsu indra dapat diberi obat penawar dengan perenungan
mengenai sifat tidak menarik dari tubuh. Niat buruk dan jahat dapat diredam dengan
meditasi cinta kasih (metta bhavana) yang dapat melenyapkan kejahatan dan kemarahan
melalui pemancaran cinta kasih berupa harapan yang tidak egois agar semua makhluk
hidup sehat dan berbahagia. Rintangan kemalasan dapat dilawan dengan dengan usaha
membangkitkan energi, visualisasi bola cahaya cemerlang, bangkit berdiri, meditasi jalan
cepat, refleksi kematian, dan membuat tekad bulat untuk terus berjuang. Kegelisahan dan
kekhawatiran paling efektif dilawan dengan mengalihkan pikiran pada objek sederhana
yang cenderung dapat menenangkan pikiran, misalnya meditasi pernapasan (anapanasati),
memperhatikan masuk dan keluarnya aliran napas. Keraguan dapat diredam dengan
penyelidikan, bertanya-tanya, mengajukan pertanyaan, dan mempelajari ajaran-ajaran yang
meragukan hingga menjadi jelas.
Usaha mengatasi keadaan-keadaan tidak bajik dan rintangan-rintangan dengan
kelima cara di atas dapat membuat seseorang ahli dalam semua pemikiran. Seseorang tidak
lagi dikendalikan oleh pikirannya, namun menjadi pengendali yang bijaksana. Apapun
pemikiran yang ingin dipikirkan, pemikiran itulah yang akan dipikirkannya. Apapun
pemikiran yang tidak ingin dipikirkan, pemikiran itulah yang tidak akan dipikirkannya.
Meskipun pemikiran-pemikiran tidak bajik kadang muncul, seseorang dapat mengusirnya
dengan cepat.
Membangkitkan keadaan-keadaan bajik yang belum muncul. Kekotoran-kekotoran
batin dapat dihapuskan dengan usaha benar untuk mengembangkan keadaan-keadaan
bajik pikiran. Usaha ini meliputi dua hal yaitu: membangkitkan keadaan-keadaan baik yang

39
belum muncul dan mematangkan keadaan-keadaan bajik yang sudah muncul. Hal ini
dinyatakan Buddha, sebagai berikut “Di sini pengikutnya membangun tekadnya untuk
membangkitkan keadaan-keadaan bajik yang masih belum muncul; dan ia melakukan
usaha, membangkitkannya, mengerahkan pikirannya dan berjuang” (Anguttara Nikaya, 4:
13).
Membangkitkan keadaan-keadaan baik yang belum muncul dikenal dengan usaha
untuk berkembang (bhavanappadhana), yang mana keadaan-keadaan bajik yang akan
dikembangkan adalah tujuh faktor pencerahan (satta bojjhanga), yaitu perhatian,
penyelidikan fenomena, energi, kegiuran, ketenangan, konsentrasi, dan keseimbangan batin
(Bodhi, 2010: 84). Tujuh faktor pencerahan ini menuntun seseorang menuju pencerahan.
Perhatian membuat segala fenomena terang dalam nuansa kekinian, bebas dari komentar,
interpretasi, dan tujuan-tujuan subjektif. Penyelidikan menemukan karakteristik, kondisi,
dan konsekuensi atas fenomena. Perhatian cenderung menerima apa adanya segala
fenomena, sedangkan penyelidikan memeriksa, menganalisis, dan membedah fenomena
untuk mengetahui struktur fundamental penyusunnya. Penyelidikan membutuhkan energi
atau semangat/tekad. Energi ini membangkitkan antusiasme awal untuk meneguhkan
praktik tanpa mengenal Lelah. Sifat energi yang teguh dan mantap tidak terkalahkan oleh
rintangan-rintangan, bahkan rintangan menjadi lemah dan tak berdaya. Kegiuran
merupakan suatu ketertarikan yang menyenangkan terhadap objek. Kegiuran yang
terbangun menuju kegembiraan yang luar biasa, mengalir ke seluruh tubuh, membuat
pikiran bersinar suka cita, bergairah, dan keyakinan menguat. Namun demikian,
pengalaman kegiuran ini memunculkan kegelisahan. Praktik yang berkembang menggiring
pada kegiuran yang bersurut dan membawa pada suatu keheningan/ketenangan. Kegiuran
yang mampu dikendalikan akan menimbulkan perenungan mendalam yang menghasilkan
ketenangan. Ketenangan mengantarkan seseorang pada konsentrasi, yaitu penyatuan
pikiran pada satu titik. Konsentrasi mendalam akan menuju pada dominasi keseimbangan
batin. Keseimbangan batin merupakan keadaan batin yang tenang, seimbang, terbebas dari
sifat buru-buru dan kelambanan. Buru-buru dan lamban merupakan sikap mental yang
harus dikendalikan dan dilawan dengan tekad. Ketika faktor-faktor lain seimbang, pikiran
tetap tenang melihat semua fenomena.
Memelihara keadaan-keadaan bajik yang sudah muncul. Usaha benar keempat
mengarah pada menjaga faktor-faktor bajik yang muncul dan mengembangkannya, disebut

40
dengan usaha untuk memelihata (anurakkhanappadhana). Buddha bersabda, bahwa “Di sini
pengikutnya membangun tekadnya untuk memelihara hal-hal bajik yang sudah
dimunculkan, dan tidak membiarkan hal-hal bajik ini lenyap, tetapi sebaliknya membawa
mereka pada pertumbuhan, pada kedewasaan, dan pada perkembangan yang sepenuhnya
sempurna; dan ia melakukan usaha, membangkitkan energinya, mengerahkan pikirannya
dan berjuang” (Anguttara Nikaya, 4: 13). Menjaga objek yang menyebabkan tujuh faktor
pencerahan stabil dan secara bertahap meningkat akan menghasilkan realisasi yang
membebaskan. Realisasi membebaskan ini menandakan puncak dari usaha benar.

7) Sammā Sati (Perhatian Benar)


Saudara, Anda tahu bukan, bahwa Dhamma itu merupakan kebenaran tertinggi dari
semua hal, terlihat langsung, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan?
Dhamma akan direalisasi di dalam diri sendiri. Dhamma tidak berada jauh di luar jangkauan
diri ini, bukanlah sesuatu yang misterius, Dhamma adalah pengalaman diri sendiri.
Kebenaran yang dihasilkan dari pengalaman diri sendiri akan membebaskan, diketahui
secara langsung. Dhamma tidak cukup diterima berdasarkan keyakinan, membaca buku-
buku, mendengarnya dari guru-guru Dharma, memikirkannya, atau mengambil
kesimpulan-kesimpulan. Kebenaran ini harus diketahui dengan pandangan terang, dikenali,
dan diserap pengetahuan dengan melihatnya langsung.
Perhatian (sati) adalah menghadirkan pikiran, penuh perhatian atau kewaspadaan
terhadap segala fenomena, baik fisik maupun batin. Pikiran dipertahankan pada perhatian
murni, apa adanya, telanjang, bebas dari persepsi diri atas objek di luar diri. Pada praktiknya,
pikiran dilatih untuk tetap berada pada saat kini, terbuka, diam, siap-siaga, jika muncul
hanya dicatat dan dikenali. Semua penilaian dan interpretasi harus ditangguhkan, apabila
sampai muncul hanya dicatat dan dikenali. Perhatian memiliki tugas hanya mencatat apapun
yang datang dan sedang berlangsung. Keseluruhan proses perhatian adalah kembali ke saat
ini, berdiri di sini, dan kini tanpa tergelincir, tanpa terseret oleh pasang surutnya pemikiran-
pemikiran yang mengganggu.
Biasanya, pikiran memulai proses kognitif dengan menanggapi dan memberikan
kesan kemudian diikuti analisis dan mencari sebab-sebab atau memikirkan akibatnya. Kesan
yang muncul digunakan untuk menyiapkan bahan pemikiran lain mengonstruksi mental-
mental lain. Interpretasi dihasilkan dari proses ini. Pikiran menyadari objeknya, bebas dari

41
konseptualisasi umum namun hanya bersifat sementara dan singkat. Kemudian, sesaat
setelah menangkap kesan awal, pikiran mengajukan gagasan atau konseptualisasi dengan
pikiran lainnya untuk menginterpretasi objek pikiran itu sendiri, untuk membuat objek
tersebut dimengerti berdasarkan kategori atau asumsi tertentu yang juga dimiliki oleh
pikiran itu sendiri. Pikiran mengajukan konsep-konsep, menggabungkannya ke dalam
konstruksi yang saling mendukung dan membenarkan agar terbentuk skema interpretatif
yang kompleks. Akhirnya, pengalaman langsung yang orisinil diisi dengan pemikiran dan
objek yang tampak samar di antara banyaknya gagasan dan pandangan yang berseliweran.
Pikiran yang tersesat, terselubung dalam ketidaktahuan, memproyeksikan konstruksi
internalnya sendiri berdasarkan apa yang tampak dan bukan yang sebenarnya. Hal ini
berakibat apa yang diketahui sebagai objek akhir kognisi yang digunakan sebagai dasar
untuk nilai, rencana, dan tindakan adalah produk campur aduk, bukan benda orisinilnya.
Bumbu-bumbu dibuat oleh pikiran berdasarkan kekotoran batin laten yang dominan.
Kekotoran batin menciptakan bumbu-bumbu, memproyeksikannya berdasarkan apa yang
tampak dan bukan sebenarnya, menggunakannya sebagai alat untuk muncul ke permukaan,
sehingga dapat menyebabkan penyimpangan lebih jauh. Kebijaksanaan diperlukan untuk
memperbaiki gagasan-gagasan yang keliru. Kebijaksanaan dapat efektif menyelesaikan
tugasnya memerlukan akses langsung menuju objek sebagaimana adanya di dalam objek
itu sendiri, tanpa dibumbui pemikiran-pemikiran konseptual. Perhatian benar memiliki tugas
membersihkan pada tingkat kognitif ini. Perhatian membuat pengalaman menjadi terang
dalam kemunculannya yang murni. Perhatian mengungkap objek sebagaimana adanya
objek itu sebelum mengarah pada konseptual yang penuh dengan interpretasi. Oleh karena
itu, mempraktikkan perhatian bukanlah persoalan untuk melakukan sesuatu, namun
cenderung tidak melakukan sesuatu: tidak berpikir, tidak menilai, tidak menghubung-
hubungkan, tidak merencanakan, tidak membayangkan, tidak mengharapkan. Segala
pemikiran, gagasan, atau interpretasi merupakan campur tangan yang memanipulasi
pengalaman yang bisa jadi cenderung mendominasi. Perhatian dihadirkan untuk
melemahkan dominasi tersebut hanya dengan mengenali dan mencatatnya (saja). Perhatian
mencatat dan mengenali setiap pengalaman sebagaimana pengalaman adanya kontak
indra dengan objek, bahwa sesungguhnya setiap fenomena pengalaman itu hanyalah
muncul, bertahan, dan berlalu. Pengamatan sebagaimana adanya ini tidak memberi
kesempatan ruang adanya kemelekatan muncul, tidak ada dorongan untuk menunggangi

42
arus tersebut dengan keinginan. Perhatian ini diikuti dengan perenungan atas pengalaman
tersebut yang dipertahankan secara terus-menerus sebagaimana adanya, penuh
kewaspadaan, tepat, dan gigih.
Perhatian berperan sebagai fungsi dasar yang sangat kuat. Perhatian membawa
pikiran aman berada pada saat ini, sehingga tidak terapung, terseret, atau terbawa ke masa
lalu atau masa depan dengan ingatan-ingatan, penyesalan, ketakutan, dan harapan-
harapan. Pikiran tanpa perhatian diibaratkan labu, pikiran yang didirikan dalam perhatian
diibaratkan batu (Visuddhimagga, XIV, 64). Labu yang diletakkan pada kolam akan
terapung-apung dan akan selalu berada di permukaan air, sedangkan batu tidak akan
terapung, akan berada di tempat di mana diletakkan dan dengan segera tenggelam ke
dalam air hingga mencapai dasar. Jika perhatian kuat, maka pikiran akan tetap berada
bersama objeknya, menembus karakteristik objek tersebut secara mendalam.
Perhatian memfasilitasi kedua pencapaian dalam meditasi, yaitu keheningan dan
pandangan terang. Perhatian dapat mengarahkan konsentrasi maupun kebijaksanaan
tergantung pada penerapannya. Untuk mengarah pada tingkatan-tingkatan keheningan,
perhatian berperan dalam menjaga pikiran tetap pada objek, bebas dari penyimpangan.
Perhatian bertugas sebagai penjaga yang memastikan agar pikiran tidak tergelincir dari
objek dan tersesat dalam pemikiran-pemikiran tak terarah. Perhatian juga mengawasi
faktor-faktor yang mengalihkan pikiran, menangkap rintangan-rintangan agar tidak sampai
merugikan. Untuk mengarah pada pandangan terang dan realisasi kebijaksanaan, perhatian
mengamati, mencatat, memahami fenomena dengan tingkat ketelitian paling tinggi hingga
karakteristik fundamentalnya menjadi terang dan jelas.
Perhatian benar dikembangkan melalui latihan yang disebut dengan landasan
perhatian atau penerapan perhatian (cattaro satipatthana), perenungan yang penuh
perhatian dari empat hal secara objektif: tubuh, perasaan, keadaan pikiran, dan fenomena
(Bodhi, 2010: 93). Buddha bersabda bahwa, “Dan apakah, bhikkhu, perhatian benar itu? Di
sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan tubuh di dalam tubuh, dengan semangat,
memahami dengan jelas dan penuh perhatian, telah menyingkirkan ketamakan dan duka
berkenaan dengan dunia. Ia berdiam merenungkan perasaan-perasaan di dalam perasaan-
perasaan … keadaan-keadaan pikiran di dalam keadaan-keadaan pikiran … fenomena di
dalam fenomena, dengan semangat, memahami dengan jelas dan penuh perhatian, telah
menyingkirkan ketamakan dan duka yang berkenaan dengan dunia” (Digha Nikaya, 22).

43
Empat landasan perhatian membentuk satu-satunya jalan yang mengarah pada pencapaian
kemurnian, pada penanggulangan kesedihan dan ratap tangis, pada akhir dari rasa sakit
dan duka, pada pemasukan di jalan yang benar, dan realisasi Nibbāna. Empat landasan
perhatian itu disebut dengan ekayano maggo (“satu-satunya jalan”). Hal ini tidak berarti
didasarkan atas dogmatisme sempit, tetapi untuk menunjukkan bahwa pencapaian
pembebasan hanya dapat dimunculkan dari perenungan atas pengalaman menembus, yang
diperoleh dalam praktik dari perhatian benar.
Penerapan perhatian pada empat landasannya terbagi dalam sisi yang berkenaan
dengan materi dan batin. Pada praktiknya, keempat hal tersebut diperlukan semuanya
untuk perenungan. Tidak ada urutan prioritas dalam pelaksanaannya, apakah tubuh lebih
dulu dilakukan sebagai perenungan dasar, baru kemudian sisi mental. Untuk memudahkan
penjelasan, dijelaskan dengan urutan perenungan pada tubuh (kayanupassana), perasaan
(vedananupassana), keadaan pikiran (cittanupassana), dan fenomena (dhammanupassana).
Perenungan pada tubuh (kayanupassana). Perhatian pada pernapasan
(anapanasati) merupakan perenungan pada unsur tubuh yang paling mudah dikenali.
Perhatian pada napas berperan sebagai “akar subjek meditasi” (mulakammathana), fondasi
untuk seluruh arah perkembangan perenungan. Perhatian pada napas bukan berarti suatu
latihan bagi pemula. Perhatian pada napas dapat menuntun seseorang menuju pada semua
tingkatan jalan yang dapat mencapai puncak yaitu pembebasan. Buddha sendiri
menjalankan meditasi anapanasati ini pada saat malam Pencerahan-Nya. Buddha sendiri
merekomendasikan teknik ini kepada para bhikkhu, memuji teknik ini sebagai “damai dan
luhur, suatu kediaman penuh kebahagiaan murni yang melenyapkan dengan seketika dan
menenangkan pemikiran-pemikiran tidak bajik yang jahat segera setelah mereka muncul”
(Majjhima Nikaya, 118).
Perhatian pada napas sangat efektif sebagai latihan meditasi karena setiap orang
memiliki fungsi respirasi yang melekat pada tubuhnya. Seseorang hanya perlu awas dan
waspada terhadap proses pernapasan sebagai objek pengamatan. Meditasi tidak
membutuhkan kepintaran secara kognitif, hanya kewaspadaan terhadap napas. Seseorang
cukup sekadar bernapas secara alami melalui lubang hidung, mempertahankan napas
dalam pikiran pada titik kontak di sekitar lubang hidung atau bibir atas, di mana sensasi dari
napas dapat dirasakan seiring dengan udara yang bergerak masuk dan keluar. Seseorang
tidak perlu mengontrol napas atau memaksanya ke dalam bentuk napas panjang atau

44
pendek. Perhatian penuh pada napas akan mengurangi kompleksitas pemikiran-pemikiran
yang selalu berubah berloncatan mengembara dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya.
Perhatian penuh pada napas akan menjaga keawasan dan kewaspadaan pada saat ini, tidak
akan terjebak pada ingatan masa lalu dan harapan untuk masa depan.
Buddha menjelaskan bahwa perhatian pada napas melibatkan empat langkah dasar,
yaitu hembusan napas panjang dicatat sebagaimana hal itu muncul, hembusan napas
pendek dicatat sebagaimana hal itu muncul, menyadari keseluruhan (napas) tubuh, dan
menenangkan fungsi-fungsi tubuh (Bodhi, 2010: 96). Seseorang hanya sekadar mengamati
napas bergerak masuk dan keluar, mencatat apakah napas itu panjang atau pendek. Sejalan
dengan perhatian yang semakin tajam, napas dapat diikuti sepanjang seluruh perjalanan
pergerakannya, mulai dari awal tarikan napas hingga akhir, kemudian dari awal hembusan
napas hingga tahap akhir. Melalui keempat tahapan dasar ini, terdapat praktik lanjutan yang
mengarahkan perhatian pernapasan menuju konsentrasi yang dalam dan pandangan terang
(Visudhimagga, VIII, 145-244).
Perenungan atas tubuh, selain perhatian pada pernapasan, dapat diperluas dengan
perhatian pada postur-postur tubuh, yaitu berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring; atau
variasi di antaranya. Perhatian pada postur-postur memfokuskan perhatian penuh pada
tubuh dalam posisi yang sedang berlangsung: ketika sedang berjalan, seseorang waspada
ia sedang berjalan; ketika sedang berdiri, seseorang waspada ia sedang berdiri; ketika
sedang duduk, seseorang waspada ia sedang duduk; ketika sedang berbaring, seseorang
waspada ia sedang berbaring; ketika sedang mengubah postur, seseorang waspada ia
sedang mengubah postur. Perenungan pada postur-postur menerangi sifat tanpa diri dari
tubuh, bahwa tubuh ini bukanlah suatu diri atau milik diri, namun sekadar perpaduan unsur-
unsur.
Latihan berikutnya membawa perluasan perhatian selangkah lebih jauh. Latihan ini
disebut dengan “perhatian dan pemahaman jelas” (satisampajañña). Saat melakukan
perbuatan apapun, seseorang melakukannya dengan kewaspadaan penuh dan pemahaman
jelas. Semua aktivitas menjadi kesempatan untuk kemajuan meditasi ketika dilakukan
dengan pemahaman jelas. Pemahaman jelas dapat diuraikan menjadi empat hal, yaitu: (1)
mengerti tujuan dari perbuatan, mengenali sasarannya dan menentukan apakah sasaran
tersebut sejalan dengan Dharma; (2) mengerti kecocokan, mengetahui cara-cara yang
paling efisien untuk mencapai sasaran; (3) mengerti jangkauan meditasi, menjaga pikiran

45
secara terus-menerus dalam suatu kerangka meditatif meskipun ketika pikiran sedang
terlibat dalam perbuatan; dan (4) mengerti tanpa kebodohan batin, melihat perbuatan
sebagai proses tanpa pribadi yang secara penuh terlepas dari entitas-ego yang mengatur
(Bodhi, 2010: 97).
Perenungan atas tubuh juga dapat dilakukan dengan meditasi pada ketidakmenarikan
tubuh. Meditasi ini dirancang untuk melawan kemelekatan dan ketertarikan atas tubuh,
terutama dalam bentuk nafsu seksual. Dorongan seksual merupakan bentuk nafsu
keinginan sebagai sebab dukkha yang harus dikurangi dan dihilangkan sebagai syarat
mengakhiri dukkha. Meditasi ini bertujuan untuk melemahkan nafsu seksual dengan
mencabut dorongan seksual dari fungsi kognitifnya, persepsi atas tubuh yang menarik bagi
indra. Persepsi ini perlu dilawan dengan menolak tidak hanya berhenti pada kesan, namun
dilanjutkan dengan memeriksa tubuh pada tingkatan yang lebih dalam, pengawasan yang
teliti yang didasarkan pada bebas dari nafsu.
Meditasi pada sifat ketidakmenarikan tubuh pada dasarnya adalah mencabut tiang
penopang persepsi. Meditasi menggunakan tubuh sendiri sebagai objek lebih disarankan
daripada menggunakan tubuh orang lain, terutama lawan jenis, yang kemungkinan akan
gagal dalam mencapai hasil yang diinginkan. Visualisasi sebagai alat dapat membantu
secara mental untuk membedah tubuh menjadi komponen-komponennya dan
menyelidikinya satu per satu untuk mengetahui sifat alami yang menjijikkan komponen
tersebut agar menjadi terang dan jelas. Tubuh terdiri dari 32 bagian, yaitu: rambut kepala,
rambut tubuh, kuku, gigi, kulit, daging, otot, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, diafragma,
limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, kotoran, otak, empedu, dahak, nanah,
darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ingus, ludah, minyak sendi, dan air kencing. Sifat
menjijikkan dari komponen tubuh secara tidak langsung menyatakan sifat yang sama bagi
keseluruhan tubuh. Sasaran meditasi ini bukan untuk membenci dan muak terhadap diri
sendiri, namun pada ketidakmelekatan, untuk memadamkan nafsu dengan menghilangkan
bahan bakarnya (Visudhimagga, VIII, 42-144).
Meditasi atas komponen tubuh disebut dengan analisis elemen-elemen
(dhatuvavatthana) (Bodhi, 2010: 98). Meditasi ini dimulai dengan mengontrol
kecenderungan bawaan seseorang dengan mengidentifikasi sifat tubuh yang pada dasarnya
tanpa inti. Meditasi ini membedah mental ke dalam empat unsur dasar, yaitu tanah, air, api,
dan udara yang melambangkan empat tipe perilaku dari unsur padat, kondisi cair, panas,

46
dan gerakan berulang. Unsur padat tampak jelas pada bagian tubuh yang padat, yaitu
organ, jaringan, dan tulang. Unsur cair terdapat dalam cairan tubuh. Unsur panas ada pada
suhu tubuh. Unsur gerakan berulang naik-turun, ke atas ke bawah ada pada proses
pernapasan. Jika latihan meditasi semakin mendalam, maka seseorang akan berhenti untuk
melekati tubuh. Seseorang akan melihat tubuh tidak lebih dari perpaduan unsur-unsur yang
terus berubah menopang batin yang juga terus berubah.
Latihan perhatian pada tubuh juga termasuk perenungan atas peluruhan tubuh
setelah kematian, dapat dilakukan secara imajinatif, dengan bantuan gambar, atau
berhadapan langsung dengan mayat. Cara ini dapat menuntun seseorang pada gambaran
mental dari tubuh yang sedang terurai, menyadari bahwa hal itu akan berlaku untuk
tubuhnya sendiri. Meditasi ini tidak bertujuan untuk membenci dan muak terhadap tubuh,
namun lebih pada mengurangi kemelekatan egoistik terhadap eksistensi diri dengan cara
perenungan yang kuat dalam menghancurkan kemelekatan tersebut. Kemelekatan
terhadap keberadaan hidup melalui asumsi yang tersirat tentang kekekalan. Bertemu sosok
mayat dapat menjadi perenungan dengan jelas, bahwa “Segala yang terbentuk adalah tidak
kekal”.
Perenungan pada perasaan (vedananupassana). Landasan perhatian setelah tubuh
adalah perasaan (vedana). Perasaan menyatakan kualitas kesenangan atas pengalaman.
Pengalaman di sini adalah kontak antara indra dengan objek. Kualitas kesenangan ini
terbagi menjadi tiga tipe, yaitu: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan
perasaan netral. Perasaan tidak dapat terpisah dari kesadaran, karena setiap tindakan
mengetahui diwarnai oleh beberapa corak perasaan. Oleh karena itu, perasaan hadir setiap
saat dari pengalaman, yang mungkin kuat atau lemah, jelas atau kabur.
Kemunculan perasaan tergantung pada peristiwa mental yang disebut kontak
(phassa). Kontak menandai datanya kesadaran dengan objek melalui indra. Kontak
merupakan kualitas dari kesadaran yang menyentuh objek, menghadirkan kesadaran itu
sendiri ke dalam mental melalui organ indra. Oleh karena itu, terdapat enam jenis kontak,
yaitu kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-tubuh, dan kontak-batin.
Dengan demikian, terdapat enam jenis perasaan berdasarkan kontak sebagai sumber
munculnya perasaan.
Perasaan mendapat makna khusus dalam meditasi perenungan karena perasaan ini
dapat memicu kekotoran-kekotoran batin laten keluar. Dapat dikatakan bahwa perasaan ini

47
fungsinya menyulut api kekotoran batin menjadi besar. Jika perasaan menyenangkan
muncul, maka akan membawa pengaruh kekotoran batin keserakahan dan melekat pada
hal yang menyenangkan tersebut. Jika perasaan menyakitkan muncul, maka batin
cenderung merespons tidak senang, tidak suka, atau takut sebagai aspek-aspek kekotoran
batin kebencian. Ketika perasaan netral muncul, secara umum seseorang tidak
menyadarinya, atau membiarkan perasaan itu memberi rasa aman yang palsu sebagai
keadaan-keadaan pikiran yang didominasi oleh kebodohan batin. Jadi, kekotoran-
kekotoran batin dikondisikan oleh perasaan tertentu untuk bangkit dan menyergap:
keserakahan timbul atas perasaan menyenangkan, kebencian muncul atas perasaan
menyakitkan, dan kebodohan batin bangkit atas perasaan netral.
Hubungan antara perasaan dengan kekotoran batin tidak selalu saling terkait. Dengan
kata lain, kesenangan tidak harus selalu mengarah pada keserakahan; kesakitan pada
kebencian; atau perasaan netral pada kebodohan batin. Ikatan antara perasaan dan
kekotoran batin dapat diputus dengan perhatian. Perasaan akan membangkitkan kekotoran
batin hanya saat perasaan tidak disadari bahkan diikuti, bukan diamati. Perasaan dapat
dijadikan objek pengamatan dengan perhatian yang mampu menjinakkannya dan tidak
memancing respons tidak bajik. Jika ini dilakukan terus-menerus dan dipraktikkan sebagai
cara hidup meditatif, maka kemelekatan, penolakan, apatis akan luntur, menjadi bersih,
terang, dan jelas.
Perenungan pada perasaan melibatkan perhatian pada perasaan-perasaan yang
muncul, mencatat kualitasnya apakah menyenangkan, menyakitkan, atau netral. Perasaan
dicatat tanpa menganalisisnya, tidak menganggap sebagai “aku” atau “milikku” maupun
sesuatu yang terjadi “padaku”. Kewaspadaan dipertahankan dengan perhatian apa adanya:
mengamati perasaan yang muncul, melihatnya sekadar perasaan. Kondisi semacam ini
disebut dengan bare attention (perhatian telanjang), suatu peristiwa mental telanjang
terlepas dari semua referensi subjektif yang mengarah pada ego. Tugas bare attention
sekadar mencatat kualitas perasaan, apakah kesenangan, kesakitan, atau kenetralan.
Praktik perhatian atas perasaan semakin lama semakin berkembang, seseorang
berlatih terus-menerus mencatat setiap perasaan, membiarkannya pergi, demikian
seterusnya. Praktik yang terus berkembang tidak hanya berfokus pada kualitas-kualitas
perasaan, tetapi lebih ke arah proses perasaan itu sendiri. Perasaan merupakan sebuah
aliran peristiwa, kejadian yang muncul sangat cepat dari saat ke saat, kemudian lenyap

48
sesegera mungkin. Pandangan terang mengenai ketidakkekalan mulai muncul seiring
dengan prosesnya dalam mencabut tiga akar kekotoran batin. Pandangan terang ditandai
dengan tidak adanya keserakahan atas perasaan-perasaan menyenangkan, tidak adanya
kebencian untuk perasaan-perasaan menyakitkan, dan tidak adanya kebodohan batin untuk
perasaan netral. Semua pengalaman hanya dilihat sebagai peristiwa yang berlangsung
sesaat dan tanpa inti.
Perenungan pada keadaan pikiran (cittanupassana). Pikiran merupakan tempat
faktor mental tertentu, salah satunya perasaan yang telah dibahas di atas. Pikiran
merupakan indra yang tetap identik dengan dirinya sendiri melalui rentetan pengalaman-
pengalaman. Meskipun pengalaman berubah, pikiran yang mengalami pengalaman yang
berubah tersebut tampak tetap sama. Meskipun pikiran berubah dengan cara-cara tertentu,
namun pikiran tetap mempertahankan identitasnya. Namun demikian, menurut konsep
Buddhis, tidak ada organ mental yang permanen. Pikiran bukanlah sebagai subjek
pemikiran, perasaan, dan kehendak yang permanen, tetapi suatu urutan tindakan mental
yang sifatnya sesaat, jelas dan berbeda, yang di antaranya hanyalah hubungan kausal satu
sama lain atau saling menyebabkan dan bukanlah bersifat inti.
Suatu keadaan pikiran atau tindakan kesadaran disebut dengan citta. Citta terdiri dari
banyak komponen, di antaranya kesadaran itu sendiri, proses mengalami objek yang paling
dasar; yang mana kesadaran juga disebut citta sebagai sebutan untuk keseluruhan pada
bagian paling utama. Bersama dengan kesadaran, citta mengandung faktor-faktor mental.
Faktor-faktor mental ini termasuk perasaan, persepsi, kehendak, emosi, dll. semua fungsi-
fungsi mental kecuali proses mengetahui objek yang paling dasar, yaitu citta atau
kesadaran.
Kesadaran tidak dapat dibedakan melalui sifat kesadaran itu sendiri, kecuali melalui
faktor-faktor yang berhubungan dengannya, yaitu cetasika. Cetasika mewarnai citta dan
memberikan karakter pembeda. Buddha menjelaskan tentang perenungan pikiran, dengan
merujuk pada cetasika, yang terdiri atas enam belas jenis citta yang harus dicatat: pikiran
dengan nafsu, pikiran tanpa nafsu, pikiran dengan kebencian, pikiran tanpa kebencian,
pikiran dengan kebodohan batin, pikiran tanpa kebodohan batin, pikiran yang terbatas,
pikiran yang terpencar, pikiran yang berkembang, pikiran yang tidak berkembang, pikiran
yang dapat dilampaui, pikiran yang tidak dapat dilampaui, pikiran yang terkonsentrasi,
pikiran yang tidak terkonsentrasi, pikiran yang terbebas, pikiran yang tidak terbebas (Bodhi,

49
2010: 103-104). Pada awalnya latihan fokus pada enam keadaan pikiran yang pertama,
mencatat apakah pikiran berhubungan dengan salah satu akar-akar tidak bajik atau
terbebas dari akar-akar tidak bajik. Ketika citta tertentu hadir, direnungkan hanya sebagai
citta, keadaan pikiran. Citta tersebut tidak diidentifikasi sebagai “aku” atau “milikku”, tidak
dianggap sebagai suatu diri atau sesuatu yang menjadi milik suatu diri. Keadaan pikiran
yang murni atau terkotori, keadaan pikiran mulia atau rendah, tidak perlu ada kegembiraan
atau kekesalan, hanya ada pengenalan keadaan tersebut dengan jelas. Keadaan ini hanya
sekadar dicatat, kemudian membiarkan berlalu tanpa melekat pada keadaan yang
diinginkan atau menolak keadaan yang tidak diinginkan.
Seiring dengan perenungan yang semakin berkembang, isi pikiran menjadi semakin
tipis. Pergerakan pikiran yang tidak relevan, imajinasi, dan emosi semakin surut, bersamaan
dengan perhatian yang semakin jelas, pikiran tetap waspada, mengamati semua prosesnya
sebagaimana adanya. Penjelasan ini seolah-olah terdapat pengamat dan pikiran yang
diamati. Namun, latihan semakin berkembang meruntuhkan konsep subjek-objek ini.
Pikiran itu sendiri yang terlihat kokoh dan stabil larut dalam aliran citta yang muncul dan
lenyap dari saat ke saat, tidak datang dari mana pun, dan tidak pergi ke mana pun. Citta
terus berkelanjutan dalam arus tanpa jeda.
Perenungan pada fenomena (dhammanupassana). Dhamma memiliki dua arti
yang saling berhubungan. Pertama, dhamma merujuk pada semua cetasika, faktor-faktor
mental, semuanya diperhatikan secara tersendiri lepas dari perannya sebagai keadaan
pikiran. Kedua, dhamma merujuk pada semua unsur kenyataan, ajaran, keseluruhan
pengalaman sebagaimana telah diajarkan oleh Buddha.
Perenungan terhadap dhamma meliputi: lima rintangan, lima kelompok, enam
landaran indra dalam dan luar, tujuh faktor pencerahan, dan Empat Kebenaran Mulia. Lima
rintangan dan tujuh faktor pencerahan merupakan dhamma dalam konteks lebih sempit
dari faktor-faktor mental. Lima kelompok, enam landasan indra, dan Empat Kebenaran
Mulia merupakan dhamma dalam konteks yang lebih luas dari keseluruhan kenyataan
kehidupan. Pada konteks perhatian benar, lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan
membutuhkan perhatian khusus karena kedua hal itu sebagai hambatan dan pendukung
untuk pembebasan. Lima rintangan (nafsu indra, niat jahat, kemalasan, kegelisahan dan
kekhawatiran, keraguan) muncul pada tahap awal latihan, saat gangguan-gangguan kasar
mulai surut dan kecenderungan-kecenderungan halus mulai tampak. Kapan pun salah satu

50
jenis rintangan muncul, kehadirannya harus dicatat, kemudian membiarkannya lenyap yang
juga harus cukup dicatat saja. Semua jenis rintangan tetap dalam kendali dipastikan dengan
pemahaman bahwa rintangan-rintangan muncul, dapat dihilangkan, dan dicegah sehingga
tidak muncul di masa depan (Bodhi, 2010: 106).
Perhatian terhadap tujuh faktor pencerahan diterapkan sama ketika perhatian pada
lima rintangan dilakukan. Tujuh faktor pencerahan (perhatian, penyelidikan, energi,
kegiuran, ketenangan, konsentrasi, keseimbangan batin) kehadirannya menjadi perhatian.
Ketika salah satu dari tujuh faktor pencerahan muncul, dicatat, kemudian diselidiki untuk
menemukan kemunculan faktor tersebut dan bagaimana faktor tersebut dimatangkan.
Ketika faktor-faktor pencerahan pertama kali muncul, faktor-faktor tersebut lemah, lalu
dikembangkan secara konsisten hingga menjadi kuat. Perhatian memulai proses
perenungan. Ketika perhatian dihadirkan dengan mantap akan membangkitkan
penyelidikan sebagai kualitas kecerdasan. Penyelidikan memicu kemunculan energi yang
mampu melahirkan kegiuran. Kegiuran menuntun pada ketenangan yang mengarah pada
konsentrasi pada satu titik. Konsentrasi akan menuju pada keseimbangan batin.
Keseluruhan perjalanan praktik dan latihan ini mengarah pada pencerahan yang dimulai
dari perhatian. Perhatian dijaga tetap ada sepanjang perjalanan praktik sebagai kekuatan
pengatur yang memastikan bahwa pikiran itu jelas, sepenuhnya sadar, dan seimbang.
Sati (perhatian) tidak hanya sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, tetapi
juga pada faktor-faktor pencerahan. Perhatian memiliki fungsi sadar akan saat ini dan
kemampuan mengingat (Analayo, 2012: 73). Perhatian berfungsi menyeimbangkan dan
memantau indra-indra dan kekuatan dengan menyadari apakah upaya yang diberikan
berlebihan atau sebaliknya. Perhatian memiliki fungsi dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan
sebagai pendukung usaha benar dan mencegah munculnya citta yang tidak bajik dengan
cara membatasi input indrawi. Keberadaannya di tengah antara usaha benar dan
konsentrasi benar, perhatian yang sudah mantap berfungsi sebagai landasan penting untuk
mengembangkan tingkat ketenangan mental yang lebih mendalam.
8) Sammā Samādhi (Konsentrasi Benar)
Saudara, kini tiba pada unsur terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu
konsentrasi benar. Konsentrasi mewakili pemfokusan faktor mental yang hadir dalam setiap
keadaan kesadaran. Intinya, fokus atau terpusat pada segala sesuatu yang muncul pada
batin, juga termasuk tubuh badan jasmani. Keterpusatan pikiran pada satu titik memiliki

51
fungsi menyatukan faktor-faktor mental. Faktor ini bertanggung jawab atas aspek yang
menunggalkan kesadaran, memastikan bahwa setiap citta atau tindakan pikiran tetap
terpusat pada objeknya. Pada setiap saat, pikiran harus sepenuhnya sadar terhadap sesuatu
(objek-mata, suara, bau, rasa, sentuhan, atau objek mental). Keterpusatan pikiran pada satu
titik menjelaskan fakta bahwa dalam setiap tindakan kesadaran terdapat titik pusat fokus,
menuju pada batas luar fokus tersebut hingga ke bagian inti terdalam.
Samādhi tidak ekuivalen dengan keterpusatan pada satu titik dalam keseluruhannya.
Seorang guru mengajar, petani tekun membajak sawah, buruh pabrik bekerja fokus, dll.
bertindak dengan pikiran yang terkonsentrasi, namun konsentrasi ini tidak bisa diidentikkan
sebagai samādhi. Samādhi merupakan keterpusatan pada satu titik yang bajik, yakni
konsentrasi dalam suatu keadaan pikiran yang bajik. Namun demikian, samādhi masih
dipersempit lagi cakupannya. Tidak semua konsentrasi yang bajik menandakan samādhi, ini
hanya konsentrasi yang dilatih intensif, dihasilkan dari upaya sengaja untuk meningkatkan
pikiran ke tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.
Samādhi didefinisikan sebagai pemusatan pikiran dan faktor-faktor mental secara
benar dan seimbang pada suatu objek. Samādhi sebagai konsentrasi yang bajik
mengumpulkan aliran keadaan-keadaan mental yang timbul tenggelam agar mengarah
pada penyatuan batin. Ciri utama pikiran yang terkonsentrasi adalah penuh perhatian tanpa
putus pada suatu objek dan ketenangan fungsi-fungsi mental yang konsekuen. Tentu ini
berbeda dengan pikiran yang tidak terkonsentrasi, selalu berloncatan dari satu pemikiran
ke pemikiran lainnya tanpa kontrol. Pikiran seperti ini disebut dengan pikiran yang tersesat
penuh dengan kekhawatiran, kegelisahan didukung oleh kekotoran batin, penuh dengan
pemikiran-pemikiran acak. Pikiran yang terlatih dalam konsentrasi tetap fokus pada objek.
Keheningan yang diperoleh dari praktik ini digunakan sebagai instrumen yang efektif untuk
penembusan. Pikiran yang terkonsentrasi mencerminkan refleksi atas tanggapan indra atas
objek sebagaimana adanya.
Konsentrasi dikembangkan dengan dua cara yang memiliki fungsi berbeda, yaitu
sebagai tujuan praktik langsung menuju konsentrasi itu sendiri dan sebagai pengiring
praktik menuju pandangan terang (Bodhi, 2010: 108-109). Meditasi yang bertujuan untuk
mencapai keheningan dan konsentrasi yaitu samatha bhavana; sedangkan meditasi untuk
pengembangan pandangan terang disebut dengan vipassana bhavana. Samatha bhavana
dan vipassana bhavana keduanya membutuhkan disiplin moral sebagai penopang.

52
Keduanya juga memiliki rintangan-rintangan yang harus diatasi; di samping menemukan
guru yang cocok, serta sesuai dengan tempat kondusif yang mendukung latihan. Pada
praktiknya, samatha bhavana fokus pada satu objek meditasi yang digunakan sebagai titik
fokus mengembangkan konsentrasi.
Objek meditasi biasanya ditentukan oleh guru yang sedang diikuti oleh seseorang
yang berlatih, disesuaikan dengan sifat dan temperamen orang tersebut. Namun demikian,
jika tidak memiliki guru seseorang dapat berlatih meditasi menggunakan objek sesuai
dengan pengalamannya. Panduan dasar melakukan meditasi konsentrasi memberikan
alternatif objek yang bisa digunakan. Objek ini dibagi menjadi empat puluh jenis yang
disebut dengan kammatthana. Keempat puluh objek tersebut dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yaitu sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussatiyo, empat
brahmavihāra, empat aruppa, satu sañña, dan satu vavatthana) (Bodhi, 2010: 109).
Kasina mewakili kualitas dasar yaitu empat unsur primer (tanah, air, api, udara), empat
unsur warna (biru, kuning, merah, putih), cahaya, dan ruang. Kesepuluh objek kasina ini
dijadikan titik fokus bagi seseorang yang berlatih meditasi. Asubha merupakan objek mayat-
mayat yang tidak menarik sesuai dengan tahapan perubahannya. Objek ini seperti
perenungan pembusukan fisik dalam perhatian pada tubuh. Perhatian pada tubuh
menekankan pada refleksi atas mayat membusuk untuk memicu pemikiran kematian dan
peluruhan tubuh; sedangkan praktik meditasi dengan objek mayat menekankan pada
keterpusatan satu titik mental pada objek. Anussatiyo merupakan objek perenungan pada
Buddha, Dhamma, Sangha, moralitas, kemurahan hati, potensi kualitas luhur dalam diri,
kematian, sifat tidak menarik dari tubuh, pernapasan, dan kedamaian Nibbāna.
Brahmavihāra merupakan empat objek meditasi pada empat kediaman luhur, yaitu metta,
karuna, mudita, dan upekkha. Keempat hal ini merupakan sikap sosial yang ditujukan keluar
diri sendiri. Objek meditasi ini merupakan pemancaran sifat-sifat luhur secara universal
dimulai dari lingkungan tersempit di sekitar diri hingga meluas pada semua makhluk.
Aruppa merupakan objek meditasi konsentrasi yang terdiri dari empat keadaan tanpa
materi, yaitu landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan
ketiadaan, dan landasan bukan persepsi maupun bukan tanpa persepsi. Empat objek ini
hanya dapat dijangkau bagi mereka yang sudah terlatih dan mahir dalam konsentrasi.
Sañña merupakan objek meditasi satu persepsi yakni tentang sifat menjijikkan dari suatu
makanan untuk mengurangi kemelekatan pada kesenangan lidah. Vavatthana merupakan

53
meditasi pada objek satu analisis tentang perenungan pada tubuh dalam hal empat elemen
dasar penyusunnya, yaitu unsur tanah, air, api, dan udara.
Pemilihan objek meditasi konsentrasi didasarkan atas kecocokan pada tipe
kepribadian seseorang. Seseorang yang penuh dengan nafsu indra lebih cocok
menggunakan meditasi dengan objek yang tidak menarik dan perenungan pada bagian
tubuh. Meditasi cinta kasih (metta bhavana) sangat cocok untuk tipe pembenci. Pelaksana
meditasi pemula secara umum dapat mencoba keseluruhan objek tersebut untuk
mengurangi pikiran yang berloncatan dengan sangat cepat. Apa pun tipe yang
mendominasi seseorang, objek-objek meditasi yang dipilih tetap membawa manfaat karena
memberikan efek ketenangan pada proses pemikiran. Dari semua objek yang disarankan,
yang paling direkomendasikan dalam membersihkan pikiran dari pemikiran-pemikiran yang
berloncatan adalah perhatian pada napas. Meditasi dengan objek pernapasan dianggap
paling cocok bagi pemula maupun yang sudah berpengalaman dalam mencari pendekatan
langsung menuju konsentrasi mendalam. Jika pikiran sudah tenang, maka akan lebih mudah
untuk menyadari pola-pola pemikiran lainnya. Meditasi cinta kasih untuk melemahkan
kemarahan dan niat jahat; perhatian pada tubuh untuk melemahkan nafsu indra,
perenungan terhadap Buddha untuk menguatkan keyakinan dan bakti, dst.
Konsentrasi berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Jika tiap tahapan dilalui
dari awal sampai akhir, maka kemajuan akan diperoleh lebih cepat. Seseorang yang sudah
mendapatkan objek yang sesuai dengan dirinya akan mencari tempat yang kondusif untuk
mendukung latihannya. Kemudian duduk nyaman kaki disilangkan, punggung lurus dan
tegak, dua tangan di pangkuan, kepala tegak, mulut dan mata tertutup, pernapasan alami.
Lalu, fokus pada objek dan berusaha menjaga pikiran memegang objek, tidak menyimpang,
selalu siap siaga. Jika pikiran menyimpang, maka segera disadari dan dikembalikan pada
objek secara lembut namun tegas. Hal ini dapat dilakukan berulang sesuai dengan frekuensi
penyimpangan pikiran, sesering mungkin yang dibutuhkan. Tahapan seperti ini disebut
dengan konsentrasi pendahuluan (parikkamma samadhi) dan objeknya disebut dengan
tanda permulaan (parikkamma nimitta).
Tahap berikutnya adalah mulai terkonsentrasi dan pikiran mulai mudah menetap pada
objek, lima rintangan kemungkinan akan muncul. Bentuk-bentuk pemikiran bermunculan
silih berganti, gambaran, ingatan, emosi-emosi penuh kelekatan, keinginan timbul
tenggelam, kemarahan, sakit hati, pikiran berat, hingga keragu-raguan. Rintangan-

54
rintangan demikian menjadi penghalang yang berat pada latihan. Kesabaran dan usaha
tanpa henti dapat mengatasi rintangan-rintangan tersebut. Meditator perlu cara tepat untuk
mengantisipasi munculnya rintangan-rintangan. Suatu saat, pemeditasi perlu
mengesampingkan objek utama yang sedang dipilihnya ketika rintangan datang begitu
kuat. Pemeditasi dapat mengubah objeknya yang dapat melawan rintangan kuat tersebut.
Namun, ada kalanya pemeditasi dapat mempertahankan objek utama walaupun rintangan-
rintangan muncul sebagai pemikiran-pemikiran yang berseliweran.
Tahap berikutnya adalah aktifnya lima faktor mental sebagai kekuatan (bala). Faktor
mental ini muncul karena kerja keras pada jalan konsentrasi yang terus diperjuangkan
dengan penuh usaha dan kesabaran. Pada dasarnya, setiap meditator memiliki faktor
mental ini yang kemunculannya terputus-putus atau berselang di dalam kesadaran tidak
terarah yang biasa, tidak terikat satu sama lain, serta tidak memiliki peranan khusus apapun.
Namun, ketika aktifnya faktor mental melalui praktik meditasi, faktor ini mendapatkan
tenaga, berkaitan satu sama lain, dan menuju pada samādhi. Faktor mental ini terdiri dari
lima hal yang dikenal dengan faktor-faktor jhana. Kelima faktor ini adalah penerapan awal
dari pikiran (vitakka), penerapan bertahan dari pikiran (vicara), kegiuran (piti), kebahagiaan
(sukha), dan keterpusatan pada satu titik (ekaggata) (Bodhi, 2010: 113).
Vitakka mengarahkan pikiran pada objek. Vitakka menunjukkan, menuntun,
mendorong pikiran pada objek, seperti seseorang memukul paku pada kayu. Selanjutnya,
pikiran bertahan pada objek, menjaganya agar tetap berada di tempatnya sesuai dengan
fungsinya. Jika diibaratkan memukul lonceng, maka vitakka seperti saat pemukulan lonceng
dan vicara adalah gema suara lonceng tersebut. Piti adalah keriangan atau kegembiraan
yang mengiringi minat pada objek. Kegembiraan karena minat yang disenangi pada objek
menimbulkan sukha sebagai perasaan menyenangkan karena konsentrasi yang berhasil. Piti
dan sukha memiliki kualitas serupa, sehingga sering tertukar satu sama lain, walaupun
keduanya tidak identik. Faktor mental ekaggata berfungsi menyatukan pikiran pada objek.
Kemunculan faktor-faktor jhana menjadi lawan dari lima rintangan batin. Vitakka
melawan kemalasan. Vicara melawan keraguan dengan meletakkan pikiran pada objek. Piti
mencegah masuknya niat jahat, yang diikuti dengan sukha yang menghalau kegelisahan
dan kekhawatiran. Ekaggata melawan nafsu indra yang selalu terpikat pada kenikmatan
kontak-kontak yang berseliweran dalam pikiran. Dengan demikian, dengan menguatnya
faktor-faktor jhana secara otomatis rintangan-rintangan akan memudar dan runtuh.

55
Walaupun kelima rintangan ini tidak dapat dihancurkan secara total, namun setidaknya
telah dikurangi sehingga tidak mengganggu konsentrasi yang bergerak maju berkembang.
Tahapan di mana faktor-faktor jhana menekan lima rintangan batin, pikiran memasuki
konsentrasi yang disebut dengan upacara samadhi. Upacara samadhi merupakan keadaan
pikiran yang konsentrasinya mulai mendekat pada penyerapan. Hal ini dapat dikatakan
bahwa pikiran telah berada pada lingkungan penyerapan, namun masih banyak tugas yang
perlu dikerjakan agar pikiran menjadi sepenuhnya berada pada objek. Praktik kemudian
berkembang lebih lanjut, konsentrasi meningkat kekuatannya sehingga membawa pikiran
menuju penyerapan (appana samadhi). Pada upacara samadhi, faktor-faktor jhana kurang
kuat dan tidak mantap; masih jatuh bangun; sedangkan pada appana samadhi faktor-faktor
jhana sudah kuat tanpa keraguan berdiri tegak berjalan dengan mantap.
Konsentrasi pada appana samadhi dibagi menjadi delapan tingkat, masing-masing
ditandai dengan kedalaman, kemurnian, dan kehalusan. Empat tingkat pertama disebut
dengan empat jhana atau penyerapan meditatif. Empat tingkat kedua membentuk
kumpulan yang disebut dengan empat keadaan tanpa materi (aruppa). Delapan tingkat ini
dicapai sesuai urutan, di mana pencapaian tingkat selanjutnya bergantung pada
penguasaan satu tingkat sebelumnya.
Buddha bersabda tentang konsentrasi benar, bahwa “Dan apa, para bhikkhu, yang
disebut konsentrasi benar? Di sini, terasing dari kesenangan-kesenangan indra, terasing dari
keadaan-keadaan tidak bajik, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di dalam jhana
pertama, yang disertai penerapan awal dan bertahan dari pikiran serta dipenuhi oleh
kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari pengasingan. Kemudian, dengan menyurutnya
penerapan awal dan bertahan pikiran, dengan meraih keyakinan dari dalam dan penyatuan
mental, ia memasuki dan berdiam di dalam jhana kedua, yang bebas dari penerapan awal
dan bertahan pikiran namun dipenuhi dengan kegiuran dan kebahagiaan yang lahir dari
konsentrasi. Dengan memudarnya kegiuran, ia berdiam dalam keseimbangan batin, penuh
perhatian dan memahami dengan jelas; dan ia mengalami kebahagiaan dalam dirinya
sendiri kebahagiaan yang dikatakan oleh para bijaksana: Dengan bahagia, hiduplah ia yang
seimbang dan penuh perhatian, demikianlah ia memasuki dan berdiam di dalam jhana
ketiga. Dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan dan dengan lengkapnya
kegembiraan dan suka sebelumnya, ia memasuki dan berdiam di dalam jhana keempat,

56
yang memiliki bukan kesenangan maupun bukan kesakitan dan kemurnian perhatian berkat
keseimbangan batin. Ini, para bhikkhu, adalah konsentrasi benar” (Digha Nikaya, 22).
Jhana pertama terdiri dari lima faktor penyerapan yang orisinal, yaitu penerapan
awal, penerapan bertahan, kegiuran, kebahagiaan, dan keterpusatan pada satu titik.
Pencapaian jhana pertama ini tidak disarankan untuk puas diri kemudian melupakan praktik
atau terlalu percaya diri untuk segera mencapai tahap berikutnya. Penguasaan jhana
pertama ini harus dicapai berulang kali agar menjadi sempurna dalam arah pencapaian
jhana berikutnya, menjadi mahir dalam jhana pertama ini, berada di dalamnya, keluar
darinya, dan mengulanginya secara berkesinambungan tanpa kesulitan berarti. Penguasaan
jhana pertama tidak selamanya sempurna, seorang pemeditasi menyadari pencapaiannya
tidak sempurna. Meskipun jhana sudah jauh lebih unggul dibanding kesadaran indra biasa,
jhana tetap ada dekat dengan kesadaran indra dan tidak lepas dari rintangan-rintangan.
Penerapan awal dan penerapan bertahan, ada kalanya terlihat kasar. Pemeditasi dapat
memperbaiki konsentrasinya untuk mengatasi penerapan awal dan penerapan bertahan ini.
Kemampuan pemeditasi berkembang ditandai dengan surutnya kedua faktor tersebut dan
memasuki jhana kedua.
Jhana kedua memuat tiga komponen, yaitu kegiuran, kebahagiaan, dan keterpusatan
pada satu titik. Unsur paling menonjol dari jhana kedua ini adalah keyakinan dari pikiran.
Pikiran menjadi lebih tenang dan sepenuhnya menyatu. Keadaan ini masih tampak kasar
karena masih ada kegiuran yang bisa menjadi pemicu munculnya pemikiran-pemikiran lain.
Tujuan utama pada keadaan ini adalah mengatasi kegiuran itu sendiri. Jika sudah teratasi
maka pemeditasi akan memasuki jhana ketiga.
Jhana ketiga memuat dua faktor penyerapan, yaitu kebahagiaan dan keterpusatan
pada satu titik. Saat keadaan ini juga muncul keadaan-keadaan pelengkap lainnya, terutama
perhatian, pemahaman yang jelas, dan keseimbangan batin. Pemeditasi tetap melihat
bahwa pencapaian tahap ini memiliki cacat karena adanya kebahagiaan yang kasar. Oleh
karena itu, pemeditasi terus melanjutkan perjuangannya untuk melampaui kebahagiaan
pada jhana ketiga ini. Ketika pemeditasi berhasil maka ia memasuki jhana keempat. Jhana
keempat memiliki dua faktor yaitu keterpusatan pada satu titik dan perasaan netral, di
samping munculnya perhatian yang murni berkat tingginya keseimbangan batin.
Empat keadaan tanpa materi dicapai dengan memperhalus objek-objek,
menggantikan objek kasar dengan yang lebih halus. Keempat pencapaian ini diberi nama

57
berdasarkan objek-objeknya, yaitu landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa
batas, landasan ketiadaan, dan landasan bukan persepsi maupun bukan tanpa persepsi.
Keadaan-keadaan ini merupakan tingkat konsentrasi yang sangat halus dan sulit dijelaskan
dengan kata-kata. Inilah yang disebut dengan puncak konsentrasi mental, tingkat maksimal
dari penyatuan yang mungkin dari kesadaran. Penyerapan-penyerapan ini diraih melalui
jalan meditasi keheningan, betapa pun mulia, jalan ini kurang dalam kebijaksaan dari
pandangan terang, sehingga belum cukup untuk meraih pembebasan.
Terdapat satu jenis konsentrasi yang tidak tergantung pada pembatasan jangkauan
kewaspadaan, yaitu konsentrasi sesaat (khanika samadhi). Pemeditasi tidak perlu
memunculkan objek sesuai bidang perhatiannya. Pemeditasi hanya perlu mengarahkan
perhatian pada keadaan-keadaan yang sedang berubah dari pikiran dan tubuh, mencatat
fenomena tersebut. Tugas pemeditasi yang menempuh jalan khanika samadhi adalah
memelihara kewaspadaan yang berkesinambungan pada apa pun yang memasuki persepsi
dan tidak melekat pada apa pun. Selama praktik berlangsung, konsentrasi semakin kuat dari
saat ke saat hingga konsentrasi tersebut terpusat pada satu titik pada arus peristiwa yang
terus-menerus berubah. Meskipun terjadi perubahan di dalam objek, penyatuan mental
tetap mantap, mendapat kekuatan menekan rintangan-rintangan ke tingkat yang setara
dengan penekanan dari upacara samadhi. Khanika samadhi bersifat cair dan mudah
berpindah dengan cepat dapat dikembangkan dengan praktik empat landasan perhatian,
mengambil sekaligus jalan pandangan terang. Ketika sudah cukup kuat, konsentrasi sesaat
ini menghasilkan penembusan ke tingkat terakhir dari jalan dengan kemunculan
kebijaksanaan.

58

Anda mungkin juga menyukai