Anda di halaman 1dari 21

Nama: Jabriel Duta Sathya

NIM: 230200442

Prodi: Ilmu Hukum

BAB 4

IPTEK DAN SENI

1. Filsafat Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah usaha untuk menyelidiki, menemukan, dan


meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan sebuah rumusan pasti. Dipandang dari
sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya.

Dalam Ajaran Buddha filsafat ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan


dengan salah satu ajaran Buddha dalam Kalama Sutta yaitu
“Ehipassiko”(Ehipassiko= datang-lihat-buktikan). Buddha bersabda “Oleh karena itu
warga suku kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan
kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu
yang didesas- desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang ditulis oleh kitab-
kitab suci, jugaapa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga
apa yang dikatakannyatelah direnungkan dengan saksama, juga apa yang cocok
dengan pandanganmu atau karena
ingin menghormati gurumu..Tetapi terimalah kalau engkau telah membuktikannya
sendiri” (Kalama Sutta)
Ajaran Ehipassiko mendorong pengamatan pribadi dan pengalaman langsung
untuk memahami realitas. Ini serupa dengan metode ilmiah yang menggunakan
observasi, pengujian, dan pengalaman untuk memahami fenomena.

2. Filsafat Nilai
2.1 Etika
Etika adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang biasa digunakan
sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah
laku.
Etika dalam ajaran buddha didasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip dan
aturan perilaku yang tercermin dalam ajaran-ajaran agama Buddha. Ajaran- ajaran itu
adalah:

• Pancasila

Pancasila adalah ajaran dasar baik moral Buddhisme, yang ditaati oleh para
pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini berasal dari bahasa Sanskerta
pañcaśīla dan bahasa Pali pañcasīla yang berarti berarti Lima Kemoralan atau Lima
Nilai Moral. Sang Buddha pun pernah bersabda,

"Sīladassanasampannaṁ, dhammaṭṭhaṁ saccavedinaṁ; attano kamma


kubbānaṁ, taṁ jano kurute piyaṁ.” (Barang siapa sempurna dalam sila dan
mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan
memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya)
(Dhammapada, XVI: 217).
Isi Pancasila Buddhis adalah:

➢ Pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi. (Saya bertekad tidak akan


membunuh)
➢ Adinnādānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi. (Saya bertekad tidak akan
mencuri)
➢ Kāmesu micchācārā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.(Saya bertekad tidak
akan melakukan perbuatan asusila)
➢ Musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.(Saya bertekad tidak akan
berbohong)
➢ Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.(Saya
betekad tidak akan meminum atau memakan yang dapat menyebabkan
lemahnya kewaspadaan)

• Jalan mulia berunsur delapan


Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya, Buddha
mengajarkan Empat Kebenaran Arya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu
Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju
Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya
Atthangiko Magga). Ariya Atthangika Magga (Jalan Ariya Berunsur Delapan), dibagi
menjadi tiga kelompok (Sila, Samadhi dan Panna), yang merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dan harus dikembangkan semua unsur-unsurnya
bersama-sama secara harmonis. Jalan utama beruas delapan atau Jalan Tengah itu
adalah:
a. SILA (Kemoralan):
(1) Samma Vaca (Ucapan Benar)
Ucapan Benar adalah bebas dari kata- kata dusta, fitnah, mengadu domba, makian
atau kata-kata kasar dan omong kosong. Suatu ucapan itu dikatakan benar apabila
kata-kata itu benar, beralasan, berfaedah, dan tepat pada waktunya.
(2) Samma Kammanta (Perbuatan Benar)
Perbuatan Benar adalah perbuatan-perbuatan yang berguna dan bermanfaat bagi si
pembuat dan orang lain, misalnya dengan menolong orang lain dalam bentuk materi
maupun moral, atau dengan kata lain, berusaha membahagiakan orang lain.
(3) Samma Ajiva (Penghidupan/ Mata Pencaharian Benar)
Mata Pencaharian Benar atau Penghidupan Benar adalah berarti bahwa kita sebaiknya
mencari nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip moral, melakukan pekerjaan yang
tidak melanggar Pancasila Buddhis, yakni menghindari lima mata pencaharian yang
dapat menyebabkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain (penipuan, ketidak-
setiaan, penujum-an, keeurangan, dan memungut bunga yang tinggi / praktek lintah
darat), serta menghindari lima bentuk perdagangan, yaitu: tidak berdagang senjata,
manusia untuk dijual sebagai budak atau pelacur, binatang untuk dibunuh, alkohol
atau minuman yang menyebabkan lemahnya kesadaran, dan racun. (Anguttara Nikaya
III: 153)

b. SAMADHI (Konsentrasi):
(4) Samma Vayama (Usaha Benar)
Usaha Benar adalah bahwa kita harus berupaya keras untuk meninggalkan seluruh
pikiran yang salah dan dapat merugikan, perkataan, dan perbuatan. Kita sebaliknya
harus berupaya keras untk meningkatkan apa yang baik dan berguna untuk diri
mereka sendiri dan orang lain dalam pemikiran mereka, perkataan dan perbuatan,
tanpa mengikut-sertakan pemikiran akan kesulitan atau kekhawatiran.
(5) Samma Sati (Perhatian Benar)
Perhatian Benar adalah bahwa kita harus senantiasa menjaga pikiran-pikiran mereka
terhadap fenomena yang memengaruhi tubuh dan pikiran. Mereka harus waspada dan
berhati-hati supaya tidak bertindak laku atau berkata-kata karena kelalaian atau
kecerobohan.
(6) Samma Samadhi (Konsentrasi Benar)
Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada objek yang tepat sehingga batin
mencapai keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Cara ini disebut dengan
Samatha Bhavana.
c. PANNA (Kebijaksanaan):
(7) Samma Ditthi (Pandangan Benar)
Pandangan Benar adalah pengetahuan benar yang disertai dengan pemembusan
terhadap: Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana(Tiga Corak Umum),
Hukum Paticca- Samuppada, dan Hukum kamma.
(8) Samma Sankappa (Pikiran Benar)
Pikiran benar adalah pikiran yang bebas dari keserakahan, nafsu- nafsu indera, selalu
berpikir untuk membahagiakan mahluk lain, serta selalu mengembangkan cinta kasih
terhadap makhluk lain.

2.2 Estetika
Estetika adalah adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang
seni dan keindahan tentang manusia terhadapnya. Estetika menurut banyak orang
disebut sebagai karya seni, sehingga dalam penyampaiannya mengandung banyak arti
karena menurut bagaimana cara penyampaian sebuah keindahan karya tersebut
dipandang.
Estetika atau keindahan dalam Buddhisme dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu: jasmani atau eksternal dan moral (spiritual) atau internal. Menurut Buddhisme
keindahan eksternal merupakan keindahan yang mudah untuk dilihat. Misalnya
kecantikan seorang wanita, bahwa kecantikan tersebut akan terlihat dari wajahnya
yang cantik, fisiknya yang indah dan keindahan lain yang berasal dari jasmaninya.
Keindahan yang berasal dari dalam atau spiritual inilah yang sulit untuk dapat
langsung dilihat, karena seseorang yang dari luar atau fisiknya cantik tetapi orang
tidak mengetahui seluruh keindahan yang dimilikinya. Keindahan internal seseorang
akan terlihat dari moral yang dimilikinya, misalnya kehidupan dari para bhikkhu.
Dalam Buddhisme, penanaman sikap yang benar untuk estetika sangat
penting. Buddhisme menerima dua tingkat nilai keindahan dalam arti nilai asli dan
popular. Nilai asli adalah nilai keindahan yang dinilai dari orang yang membuatnya
sendiri atau telah merasakannya (paramatha sacca) seperti pencapaian Nibbana.
Menurut Buddhisme, Dhamma dikatakan sebagai keindahan, karena Dhamma
indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya. Dhamma itu
indah artinya Dhamma itu akan membawa kemajuan batin. Seseorang yang telah
memahami tentang Dhamma akan dapat merasakan keindahan dari Dhamma itu
sendiri. Nilai populer adalah nilai keindahan yang dinilai dari orang banyak, bersifat
relatif, semua orang yang melihatnya (sammuti sacca).
Keindahan sammuti sacca merupakan keindahan duniawi, seperti keinginan
atau nafsu. Emosional juga termasuk dalam tingkat keindahan sammuti sacca dari
muncul emosional dapat memunculkan seni misal, saat marah daripada dilampiaskan
kepada orang lain maka dapat ditukar didalam lukisan, nyanyian atau syair-syair juga
termasuk dalam sammuti sacca misal, syair-syair yang terdapat di Their Ghata adalah
nyanyian berbentuk dhamma, kesenian dari lukisan dicandi-candi juga termasuk.

3. Filsafat Matematika
Dalam bidang matematika dalam agama Buddha terdapat konsep mengenai
ketakterhinggaan, angka nol dan persamaan pangkat.

Tentang persamaan pangkat, dalam Avatamasaica sutra bab 30, yang berjudul
“Tak dapat dihitung Buddha” bersabda“Sepuluh pangkat sepuluh dikalikan sepuluh
pangkat sepuluh sama dengan sepuluh pangkat duapuluh;…”

Tentang ketakterhinggaan, dalam Vajracchedika Prajnaparamita Sutra,


“Subhuti, apakah ruang angkasa di sebelah selatan, barat, utara atau ruang di
antara di atas dan di bawah dapat diukur? ….”
Tentang bilangan nol, sang Buddha mengajarkan, “Tidak ada apa-apa (ah-
nate-sa).” Pernyataan ini digambarkan oleh Buddha dengan jari telunjuk dan jempol
yang membuat sebuah lingkaran.

4. Iman, Ilmu, dan Amal sebagai kesatuan

A. Iman (keyakinan)/saddha

Dalam agama Buddha, keyakinan (saddhā) mengacu pada komitmen yang


tenang terhadap praktik ajaran Buddha, dan percaya pada makhluk yang tercerahkan
atau sudah maju, seperti Buddha atau bodhisattva (mereka yang ingin menjadi
Buddha). Umat Buddha biasanya mengenali banyak objek keyakinan, namun banyak
yang secara khusus mengabdi pada satu objek tertentu, misalnya satu Buddha
tertentu. Keyakinan tidak hanya berupa pengabdian kepada seseorang, tetapi ada
dalam kaitannya dengan konsep-konsep Buddhis seperti kemanjuran karma dan
kemungkinan pencerahan.

Keyakinan pada agama Buddha awal terfokus pada Tiga Permata, yaitu: Sang
Buddha; ajarannya (dharma); dan komunitas pengikut yang berkembang secara
spiritual atau komunitas yang mencari pencerahan (saṅgha ) .

Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar


atas penderitaan (dukkha). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan
menuntun para penganut merasakan takut dan agitasi (bahasa Pali: saṃvega), yang
memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan
menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil

B. Ilmu

Dalam agama Buddha, Ilmu mengacu kepada komiten pemahaman medalam


tentang ajaran Buddha. Ini melibatkan studi yang cermat terhadap ajaran-ajaran,
meditasi untuk mendapatkan wawasan yang mendalam, dan bukan hanya secara
teoritis melainkan juga praktik dalam kehidupan sehari-hari seperti pelaksanaan
Pancasila Buddhis, dan juga jalan mulia berunsur delapan.

C. Amal

Memberi, atau kemurahan hati (Amal), adalah salah satu Kesempurnaan


(paramitas) agama Buddha, tetapi untuk menjadi "sempurna" itu harus tanpa pamrih,
tanpa mengharapkan imbalan atau pujian. Bahkan mempraktikkan amal "untuk
merasa nyaman dengan diri sendiri" dianggap sebagai motivasi yang tidak murni. Di
beberapa sekolah biksu Buddha meminta sedekah memakai topi jerami besar yang
sebagian menutupi wajah mereka, menandakan tidak ada pemberi maupun penerima,
tetapi hanya tindakan memberi.

Dalam Sutta-pitaka Sang Buddha berbicara tentang enam jenis orang yang
membutuhkan kemurahan hati - para petapa atau pertapa, orang-orang dalam ordo
religius, orang miskin, pengelana, tunawisma dan pengemis.

Sutra awal lainnya berbicara tentang merawat orang sakit dan orang yang
membutuhkan karena bencana. Sepanjang ajarannya, Sang Buddha jelas bahwa
seseorang tidak boleh berpaling dari penderitaan tetapi melakukan apa pun yang bisa
dilakukan untuk membebaskannya.

5. Kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu


Agama Buddha juga menunjukkan keaktifannya dalam mengemban
peningkatan kualitas diri manusia. Buddha selalu menegaskan bahwa semua ilmu
pengetahuan dan pengalaman diperoleh melalui pendidikan dan belajar. Buddha
sebagia guru dewa dan manusia menerapkan interaksi yang aktif ketika mengajarkar
dhamma kepada muridnya, bahkan dalam khotbah-khotbah Buddha dapat ditemukan
semua isinya merupakan diskusi dan tanya jawab antara Buddha dengan muridnya.
Seperti yang telah disampaikan Sang Buddha dalam Manggala Sutta,
“Memiliki pengetahuan yang luas adalah berkah utama”. Pengetahuan yang luas,
adalah suatu bekal yang sangat berguna bagi umat manusia dalam perjalanan
mengarungi hidup yang penuh dengan tantangan ini.
Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya
bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang. (Dhammapada 152) Seseorang
semakin beranjak tua sepantasnya bertambah dalam kebijaksanaannya. Tetapi
sebagaimana usia kronologis tidak selalu persis sama dengan usia biologis atau waktu
fisiologis dengan waktu psikplogis, demikian pula halnya dengan ketuaan atau usia
lanjut bukan jaminan terdapatnya kebijaksanaan atau kesucian.
Seseorang tidak disebut thera (orang lebih tua) hanya karena rambutnya telah
memutih. Biarpun usianya sudah lanjut, dapat saja ia disebut orang tua yang tidak
berguna. (Dhammapada 260) Orang yang memiliki kebenaran dan kebijakan, tidak
kejam, terkendali dan terlatih dari noda-noda, sesungguhnya ia patut disebut thera
(orang yang lebih tua). (Dhammapada 261)

6. Tanggung Jawab Terhadap Alam dan Lingkungan


Buddha menekankan manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan, yang
berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan hidup di alam. Oleh karena itu
manusia ditekankan untuk tidak merusak alam dan berusaha menjaga kelestarian
alam bersifat fisik, tetapi bersifat abstrak.
Manusia harus menjadi bagian dari alam semesta tersebut dan peduli
terhadapnya. Memandang sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan,
penebang kayu. Buddhadharma menghubungkan lingkungan alam dan hubungan
manusia yang berguna untuk menciptakan suatu atmosfir kebahagiaan dalam
kehidupan di atas bumi.

7. Manggala Sutta
Manggala Sutta merupakan sebuah sutta dalam Kanon Pali yang berisi tentang
ajaran sang Buddha mengenai "berkah utama" (merujuk pada kata maṅgala yang
dapat diartikan pula sebagai "pertanda baik" atau "nasib baik"). Pada sutta ini, Sang
Buddha menguraikan bahwa berkah utama adalah pencapaian menjadi pribadi yang
sehat dan berguna, pribadi yang menjalankan hidup yang suci, pribadi yang menjauhi
perbuatan buruk, dsb.
Sutta ini diajarkan oleh sang Buddha ketika beliau berada di Kuil Jetavana untuk
menjawab pertanyaan seorang dewa mengenai hal apa yang sebenarnya menjadi
berkah utama (maṅgalāni) di dunia ini. Sutta ini menjelaskan tentang 38 berkah
utama yang ada dalam kehidupan dunia ini. Sutta ini pun biasanya selalu dibaca
ketika pembacaan paritta dan diyakini bahwa menuliskan sutta ini pada sebuah buku
merupakan suatu bentuk kebajikan.
Isi dari Manggala Sutta:
Evamme suttaṁ. Ekaṁ samayaṁ bhagavā, Sāvatthiyaṁ viharati, Jetavane
anāthapiṇḍikassa ārāme.

Atha kho aññatarā devatā, Abhikkantāya rattiyā abhikkantavaṇna Kevalakappaṁ


jetavanaṁ obhāsetvā. Yena bhagavā tenupasankami.

Upasaṅkamitvā bhagavantaṁ abhivādetvā, Ekamantaṁ atthāsi, Ekamantaṁ ṭhitā kho


sā devatā, Bhagavantaṁ gāthāya ajjhabhāsi :

Bahū Devā manussā ca Maṅgalāni acintayuṁ, Ākaṅkhamānā sotthānaṁ Brūhi


maṅgalamuttamaṁ

Asevanā ca bālānaṁ, Paṇḍitānañca sevanā, Pūjā ca pūjanīyānaṁ, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Paṭirūpadesavāso ca, Pubbe ca katapuññatā, Attasammāpadihi ca, Etam


maṅgalamuttamaṁ.
Bāhusaccañca sippañca, Vinayo ca susikkhito, Subhāsitā ca yā vācā, Etam
maṅgalamuttamaṁ.

Mātāpitu-upaṭṭhānaṁ, Puttadārassa saṅgaho, Anākulā ca kammantā, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Dānañca dhammacariyā ca, Ñātakānañca saṅgaho, Anavajjāni kammāni, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Āratī viratī pāpā, Majjapānā ca saññamo, Appamādo ca dhammesu, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Gāravo ca nivāto ca, Santuṭṭhi ca kataññutā, Kālena Dhammasavanaṁ, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Khantī ca sovacassatā, Samaṇānañca dassanaṁ, Kālena Dhammasākacchā, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Tapo ca Brahmacariyañca, Ariyasaccāna dassanaṁ, Nibbānasacchikiriyā ca, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Phuṭṭhassa lokadhammehi, Cittaṁ yassa na kampati, Asokaṁ virajaṁ khemaṁ, Etam


maṅgalamuttamaṁ.

Etādisāni katvāna, Sabbatthamaparājitā, Sabbattha sotthiṁ gacchanti, Tantesaṁ


maṅgalamuttaman ti.

Dalam Bahasa Indonesia:

Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika sang Bhagava menetap di dekat kota
Savatthi, di wilayah Jetavana, di wihara Anathapindika.

Di saat itu, datanglah dewa, ketika hari menjelang pagi, dengan cahaya yang
cemerlang menerangi seluruh wilayah Jetavana, mengunjungi sang Bhagava.
Dan menghormati beliau, lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, dewa itu
berkata kepada sang Bhagava dalam syair ini:

Banyak dewa dan manusia berselisih paham tentang berkah, yang diharapkan
membawa keselamatan, maka mohon terangkanlah, apa berkah utama itu?

Tak bergaul dengan orang-orang yang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang
bijaksana, dan menghormati yang patut dihormati, Itulah Berkah Utama

Bertempat tinggal di tempat yang sesuai, memiliki timbunan kebajikan di masa


lampau, dan membimbing diri ke arah yang benar, Itulah Berkah Utama

Berpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, dan bertutur
kata dengan baik, Itulah Berkah Utama Membantu ayah dan ibu, Menyokong anak
dan isteri, dan bekerja dengan sungguh-sungguh, Itulah Berkah Utama

Berdana, dan hidup sesuai dengan Dhamma, menolong sanak saudara dan kerabat,
dan tidak melakukan pekerjaan tercela, Itulah Berkah Utama

Menjauhi, menghindari perbuatan buruk, menahan diri dari minuman keras, dan tak
lengah melaksanakan Dhamma, Itulah Berkah Utama

Selalu memiliki rasa hormat, dan rendah hati, merasa puas dan bersyukur dengan
yang dimiliki, dan mendengarkan Dhamma pada waktu yang sesuai, Itulah Berkah
Utama

Sabar, rendah hati bila dinasihati, mengunjungi para petapa, dan membahas Dhamma
pada waktu yang tepat, Itulah Berkah Utama

Bersemangat dalam mengikis kotoran batin, menjalankan hidup suci, menembus


Empat Kebenaran Mulia, dan mencapai Nibbana, Itulah Berkah Utama

Meski digoda oleh hal-hal duniawi, namun batin tak tergoyahkan, tiada sedih, tanpa
noda, dan penuh damai, Itulah Berkah Utama
Karena dengan melaksanakan hal-hal seperti itu, para dewa dan manusia tak akan
terkalahkan di mana pun, serta mencapai kebahagiaan di mana pun berada, Inilah
Berkah Utama bagi para dewa dan manusia.

8. Sekhiya Sila

Sekhiya Sila merujuk pada serangkaian aturan atau petunjuk etika dalam
tradisi agama Buddha yang ditemukan dalam Vinaya Pitaka, bagian kanon Pali yang
berisi aturan-aturan disiplin untuk para biksu dan biksuni. Aturan-aturan Sekhiya Sila
dikenal sebagai "Sekhiya" yang berarti "yang harus dipraktekkan" atau "yang harus
diamalkan."

Sekhiya Sila terdiri dari 75 aturan etika yang mengatur perilaku para bhikkhu
(biksu) dalam kehidupan sehari-hari. Yang terdiri dari:

I. Tentang sikap tingkah laku yang tepat (Saruppa)

1. Saya akan mengenakan jubah-dalam secara rapi; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.

2. Saya akan mengenakan jubah-luar secara rapi; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
3. Saya akan pergi ke tempat umum dengan badan tertutup rapi; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
4. Saya akan duduk di tempat umum dengan badan tertutup rapi; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
5. Saya akan pergi ke tempat umum dengan penuh pengendalian diri; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
6. Saya akan duduk di tempat umum dengan penuh pengendalian diri; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
7. Saya akan pergi ke tempat umum dengan mata memandang ke bawah; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
8. Saya akan duduk di tempat umum dengan mata memandang ke bawah; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
9. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan jubah tersingsing ke atas
dalam cara yang tidak sopan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
10. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan jubah tersingsing ke atas
dalam cara yang tidak sopan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
11. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan tertawa keras-keras; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
12. Saya tidak duduk di tempat umum dengan tertawa keras-keras; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
13. Saya akan pergi ke tempat umum dengan tenang; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
14. Saya akan duduk di tempat umum dengan tenang; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
15. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan
badan jasmani; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
16. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan
badan jasmani; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
17. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan
lengan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
18. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan
lengan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
19. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan kepala; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
20. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan
kepala; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
21. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan tangan bertolak pinggang; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
22. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan tangan bertolak pinggang; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
23. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan kepala tertutup; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
24. Saya tidak duduk di tempat umum dengan kepala tertutup; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
25. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan berjalan di atas jari-jari kaki atau
tumit; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
26. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan memeluk lutut; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.

II. Tentang peraturan makan (Bhojanapatisamyuti)

27. Saya akan menerima dana makanan dengan hati-hati; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
28. Saya akan menerima dana makanan dengan perhatian pada mangkuk; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
29. Saya akan menerima dana makanan dengan lauk pauk dalam perbandingan
(yaitu, satu bagian lauk pauk berbanding dengan empat bagian nasi); ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
30. Saya akan menerima dana makanan sesuai dengan ukuran mangkuk (tidak
meluap keluar); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
31. Saya akan makan dana makanan dengan hati-hati; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
32. Saya akan makan dana makanan dengan perhatian pada mangkuk; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
33. Saya akan makan dana makanan tanpa membuat kekecualian; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
34. Saya akan makan dana makanan dan lauk pauk dalam perbandingan; ini
adalah latihan untuk dilaksanakan.
35. Saya tidak akan makan makanan dengan mengambilnya dari atas ke bawah;
ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
36. Saya tidak akan menutupi lauk pauk dan sayur lainnya dengan nasi, karena
ingin mendapat lebih banyak; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
37. Saya tidak akan meminta lauk pauk atau nasi untuk keuntungan diri sendiri
dan memakannya kecuali bila sakit; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
38. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
39. Saya tidak akan membuat suatu suapan besar istimewa; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
40. Saya akan membuat suatu suapan bulat; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
41. Saya tidak akan membuka mulut sampai suapan dibawa ke mulut; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
42. Saya tidak akan memasukkan seluruh tangan ke dalam mulut sewaktu makan;
ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
43. Saya tidak berbicara dengan mulut penuh; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
44. Saya tidak makan dengan berulang-ulang menyuapkan potongan makanan
yang sama (kecuali beberapa buah-buahan dan lain-lain; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
45. Saya tidak akan makan dengan menceraikan suatu suapan menjadi pecah-
pecahan (kecuali beberapa buah-buahan dan lain-lain); ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
46. Saya tidak akan makan dengan menggembungkan pipi ke luar (seperti seekor
kera); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
47. Saya tidak akan makan dengan menggoncang-goncangkan tangan; ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
48. Saya tidak akan makan dengan mencecerkan nasi; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
49. Saya tidak akan makan dengan mengeluarkan lidah; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
50. Saya tidak akan makan dengan membuat suara “capu-capu”; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
51. Saya tidak akan makan dengan membuat suara “suru-suru”; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
52. Saya tidak akan makan dengan menjilati tangan; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
53. Saya tidak akan makan dengan menggaruk mangkuk (dengan jari-jari tangan
yang menunjukkan secara diam-diam bahwa itu hampir kosong); ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
54. Saya tidak akan makan dengan menjilati bibir (dengan lidah); ini adalah
latihan untuk dilaksanakan.
55. Saya tidak menerima sebuah tempat air minum dengan tangan yang kotor oleh
makanan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
56. Saya tidak akan membuang air pencuci mangkuk yang ada butiran-butiran
nasi di dalamnya di tempat umum; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
III. Tentang cara mengajarkan Dhamma (Dhammadesanapatisamyutta)

57. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan
sebuah payung di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
58. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan
sebatang tongkat di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
59. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan
sebuah pisau di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
60. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada yang orang yang tidak sakit
dengan sebuah senjata di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
61. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
mengenakan sepatu; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
62. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
mengenakan sandal; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
63. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
berada dalam sebuah kendaraan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
64. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
berada di atas sebuah dipan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
65. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
duduk pada sebuah kursi malas; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
66. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
mengenakan penutup kepala; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
67. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang
kepalanya terbungkus; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
68. Saya tidak akan, sewaktu duduk di tanah, mengajar Dhamma pada seorang
yang tidak sakit yang duduk pada sebuah tempat duduk; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.
69. Saya tidak akan, sewaktu duduk pada sebuah tempat duduk yang rendah,
mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang duduk pada sebuah
tempat duduk yang tinggi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
70. Saya tidak akan, sewaktu berdiri, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak
sakit yang duduk, ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
71. Saya tidak akan, sewaktu berjalan di belakang, mengajar Dhamma pada
seorang yang tidak sakit yang berjalan di depan; ini adalah latihan untuk
dilaksanakan.
72. Saya tidak akan, sewaktu berjalan di tepi sebuah jalan, mengajar Dhamma
pada seorang yang tidak sakit yang berjalan pada jalan; ini adalah latihan
untuk dilaksanakan.

IV. Tentang aneka macam peraturan (Pakinnaka)

73. Saya tidak akan, apabila tidak sakit, membuang air besar atau air kecil dengan
berdiri; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
74. Saya tidak akan, apabila tidak sakit, membuang air besar atau air kecil atau
meludah pada tumbuh-tumbuhan hidup; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
75. Saya tidak akan, sewaktu tidak sakit, membuang air besar atau air kecil atau
meludah ke dalam air; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.

9. Keselarasan antara perkembangan IPTEK dan Moral


Pengaruh Sains terhadap semakin tinggi tingkat intelektual seseorang,
semakin memudahkan seseorang memahami Buddha-Dharma. Buddha menjelaskan
bahwa seringkali panca indera kita memberikan pengetahuan yg tidak tepat dan
menyesatkan. Apakah pengetahuan semacam ini perlu? Tentu kalau kita tidak mau
menjadi orang buta yang meraba gajah lalu mendebatkannya (Udana, 68-69). Sains
dan Teknologi memberi pengaruh banyak terhadap pernyiaran Buddha Dharma;
seperti penemuan kertas, teknologi cetak, digital, arsitektur, media audio, media
elektrik, internet dll.

Ukuran Peradaban Teknologi seringkali dipandang sebagai ukuran peradaban


manusia, sedangkan bagi Buddhisme adalah kesucian. Seringkali teknologi membuat
kebanyakan orang mengejar kepuasan indra dan kenikmatan duniawi, sedangkan
Buddhisme justru membatasi pemuasan nafsu indra. Apakah orang yang masih
mengejar pemuasan nafsu inderawi dapat menikmati kepuasan surgawi? Buddha
membandingakan pemuasan nafsu inderawi dengan penderita kusta. Orang yang sakit
kusta yg merasa lega dan puas setelah menggaruk atau bahkan membakar lukanya.
Apabila ia telah sembuh, maka tiadak mau lagi melakukan perbuatan yang sama.
Terdapat kesenangan lain daripada kepuasan indra, yg memberi alasan kenapa
seseorang melepaskan diri dari kemelekatan nafsu indrawi. (M.I, 502-508) orang
yang sakit kusta yg merasa lega dan puas setelah menggaruk atau bahkan membakar
lukanya.

Kaitan Sains dengan Moral IPTEK dipandang tidak mampu membuat


manusia menjadi lebih baik atau bermoral. Egoisme dan keserakahan manusia,
berpotensi merendahkan martabat bahkan menghancurkan. Menurut Buddha,
pengetahuan bagi si dungu membawa kesengsaraan, menghancurkan kebaikannya,
dan membelah kepalanya sendiri. (Dhammapada. 72). Agenda perkembangan IPTEK
telah menjadi agenda agama pula, khususnya menyangkut etika dan moral.

Anda mungkin juga menyukai