Anda di halaman 1dari 4

B.

Thitaviriyo
Pañca Upāsaka Dhamma (Lima Kekayaan Upāsaka)

Suppabuddham pabujjhanti, sadā gotamasāvakā


Yesam divā ca ratto ca, niccam buddha, dhamma, savghagatā sati
Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar. Sepanjang siang
dan malam mereka merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha, Dhamma,
dan Sa<gha dengan penuh kesadaran.
(Dhammapada 296-8)
Umat Buddha di Indonesia me-miliki satu tradisi upacara dalam mentahbiskan seseorang menjadi umat
Buddha, upacara ini disebut Visudhi Upāsaka-Upāsikā. Upacara ini biasa-nya dipimpin oleh pandita
dan dihadiri oleh seorang bhikkhu atau lebih. Setelah upacara selesai, bhikkhu yang hadir akan
memberikan nama Buddhis kepada setiap peserta (nama baptis dalam Kristen/Katholik).
Sesungguhnya, di dalam Dhamma siapa saja yang telah meng-ucapkan pernyataan berlindung
kepada Buddha, Dhamma, dan Sa<gha (Tiratana) dengan mengucapkan Tisara8a, walaupun tanpa
dihadiri bhikkhu, tanpa pemberian nama Buddhis dan tanpa pemercikan air paritta, maka orang tersebut
telah resmi menjadi umat Buddha, upāsaka atau upāsikā.
Kata upāsaka-upāsikā me-ngandung pengertian seseorang yang mengenal dekat atau ‘akrab’
Tiratana. Upāsaka-upāsikā disebut pula siswa Sang Buddha yang bepakaian putih (white clad
follower/white robed huaseholder). Sedangkan bhikkhu adalah siswa Sang Buddha yang ber-jubah
kuning (yellow robed).
Dalam A<guttara Nik1ya, Pañcakanīpatapāli (A.III.206), Sang Buddha menjelaskan bahwa
sebagai upāsaka-upāsikā hendaknya berusaha untuk mengembangkan Pañca Upasaka Dhamma atau
lima kekayaan seorang upāsaka-upāsikā. Adapun yang dimaksud dengan Pañca Upāsaka Dhamma itu
adalah:
1. Memiliki keyakinan (Saddha) kepada Tiratana.
Keyakinan merupakan dasar dalam menempuh kehidupan ber-agama. Sebagai umat Buddha,
kita yakin kepada Sang Tiratana. Keyakinan umat Buddha kepada Tiratana bukanlah keyakinan
yang membuta tanpa pengertian, tetapi keyakinan umat Buddha kepada Tiratana itu muncul dengan
didasari adanya pengertian yang benar. Umat Buddha mengerti dan memahami siapa Buddha,
Dhamma, dan Sa<gha. Dalam Sa9yutta Nikāya, Sang Buddha menyatakan: Saddhā sādhu
adhitthitā, “keyakinan yang benar membawa banyak kebaikan.”
2. Menjaga kesucian Sīlanya dengan baik.
Sīla atau moralitas yang dalam bahasa umum sering dikata-kan etika, inilah kekayaan yang
kedua yang hendaknya dimiliki para upāsaka-upāsikā. Dalam hal ini ada lima pedoman sīla bagi
upāsaka-upāsikā sebagai latihan pengendalian diri, yaitu: berlatih tidak membunuh, mencuri,
berbuat asusila, berdusta, dan mabuk-mabukan. Jika hari Uposatha
tiba para upāsaka-upāsikā dapat menambah latihan Pañcasīla mereka menjadi ‘delapan sīla’
atau Atthasīla. Dalam Sa9yutta Nik1ya, Sang Buddha menyatakan: S2la9 ajarasā sādhu,
“Berkah dari pelaksanaan sīla tak akan pernah pudar.”
3. Tidak yakin pada ‘kotuhala mavgalika’, menerima sesuatu yang baik dan buruk sebagai per-
tanda kemalangan atau keber-untungan.
Banyak sekali konsep dalam masyarakat yang mengait-ngaitkan suatu kejadian sebagai
pertanda kemalangan atau keberuntungan, sebagai contoh adalah ‘mimpi’. Sebagai upāsaka-
upāsikā hendak-nya tidak terpengaruh oleh konsep seperti ini, tetapi sebaliknya ia harus memiliki
pengertian benar dan yakin bahwa kemalangan dan keberuntungan itu ditentukan oleh perbuatan
kita sendiri. Sebagai-mana yang disabdakan Sang Buddha dalam Dhammapada 165: “Oleh diri
sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan
tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada
diri sendiri, tak seorangpun dapat mensucikan orang lain.”
4. Tidak mencari kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma.
Ketika dilanda persoalan, banyak di antara kita yang mencari penyelesaian dengan cara yang
tidak terpuji dan menyimpang dari kebaikan dan kebenaran Dhamma. Tetapi, bagi seorang
upāsaka-upāsikā yang baik, ia tidak akan melakukan hal tersebut. Ia hanya akan menjadikan
Dhamma sebagai sumber kebaikan dan kebenaran baginya.
5. Berbuat kebajikan sesuai Dhamma.
Dalam menjalankan kehidup-an, para upāsaka-upāsikā selalu berpedoman pada Kebenaran
Dhamma. Demikian pula ketika ia melakukan kebaikan, bukan semata-mata untuk mendapatkan
reputasi, bukan semata untuk mendapatkan kedudukan, bukan semata untuk menyenangkan orang
lain, tetapi ia berbuat itu demi Dhamma, demi tujuan yang paling luhur, yaitu tercapainya
Kebahagia-an Sejati (Nibbāna).

- Sepuluh Kualitas Upāsaka-upāsikā

Dalam Milinda Pañha, Bhikkhu Nagasena menjelaskan kepada Raja Milinda dari Yunani, bahwa
di samping memiliki lima kekayaan, para upāsaka-upāsikā juga hendaknya memiliki sepuluh kualitas
sebagai upāsaka-upāsikā, yaitu:
1. Ia selalu menginginkan ke-sejahteraan Sa<gha dan menempat-kan Dhamma sebagai yang
utama dalam hidupnya.
2. Ia memberi dengan penuh ke-tulusan.
3. Jika ia melihat tanda kemuduran dari ajaran Sang Buddha, dengan sekuat tenaga ia membantu
me-negakkannya.
4. Ia terbebas dari segala macam ketakhayulan dan ia memiliki pengertian yang benar.
5. Kalaupun ada kejadian dalam kehidupannya, ia tidak memikirkan yang lain selain Sang Buddha
sebagai Gurunya.
6. Ia tertib dalam ucapan dan per-buatannya.
7. Ia rukun dan harmonis dengan sesama.
8. Ia tidak irihati.
9. Ia tidak menggunakan Buddha Dhamma untuk menipu orang lain untuk mendapatkan
keuntungan atau kemasyuran.
10. Ia menerima perlindungan dengan berpedoman kepada Tiratana.

Sang Buddha mengumpamakan para upāsaka-upāsikā yang memiliki kebajikan-kebajikan seperti


ini (pañca upāsaka Dhamma dan sepuluh kualitas upāsaka), bagaikan bunga teratai merah (paduma),
teratai putih (pundarika), dan permata (ratana) yang tanpa noda.

Anda mungkin juga menyukai