Anda di halaman 1dari 2

Daulat Alam di Mentawai dan Merapi

Merapi bak bintang panggung. Dari puncaknya di ketinggian 3.000 meter dari muka laut,
Gunung Merapi adalah sosok kokoh, memancarkan pesona.
Ia menjadi salah satu target penaklukan pendaki gunung. Manakala dada dan perutnya sesak
oleh dorongan jutaan meter kubik lava, ia ”murka” dan memuntahkan, menyemburkan materi
panas dan beracun, dengan ditonton jutaan orang. Kali ini bahkan sosok ”sakti” seperti Mbah
Maridjan harus menyerah pada kuasa Merapi.
Yang satunya datang menyergap bak pencuri nyawa yang misterius, tetapi tidak kalah
dahsyatnya. Gempa dan tsunami yang melanda Mentawai menewaskan tak kurang dari 117
orang dan membuat ratusan jiwa lainnya hilang. Sumber daya penciptanya ada nun jauh di
kedalaman Samudra Hindia, di mana lempeng Eurasia terlibat dalam dorong-dorongan abadi
dengan lempeng Indo-Australia.
Di satu sisi, tertunduk kepala kita oleh jatuhnya ratusan korban di Mentawai dan puluhan
lainnya di sekitar Merapi. Dalam duka, mari kita semua ringankan hati dan tangan menolong
saudara kita yang menjadi korban.
Kita melihat betapa naturalnya alam mengekspresikan diri guna mencapai keseimbangan baru.
Perut bumi yang bergolak panas mendapatkan kelegaan setelah memuntahkan materi yang
berikutnya menjadi pendorong kesuburan lahan pertanian. Sementara di pesisir barat Pulau
Sumatera, kedua lempeng sejenak bisa tenang setelah melepas tenaga dorongan, yang
mungkin kecil untuk ukuran pelat kerak bumi, tetapi katastrofik bagi manusia.
Menjadi tugas kita menyikapi semua lambang alam tersebut. Hingga kali ini kita masih berada
dalam posisi defensif, dan setiap kali masih harus ”menerima kekalahan” dan ”merasakan
dampak” setiap kali alam mencari keseimbangan baru. Dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan, yang lalu bisa memberi kita sensor dan detektor canggih untuk mengetahui, atau
setidaknya mengurangi, potensi dampak jika kita tak sanggup menghindari sepenuhnya,
mestinya kita bisa berada dalam posisi lebih baik, diwujudkan dalam korban minimal—atau
bahkan nirkorban—manakala ada bencana alam.
Kita paham, semua membutuhkan kesiapan. Untuk pemerintah, berlaku pepatah gouverner
c’est prevoir atau ”memerintah itu melihat lebih dulu, atau melihat ke depan”. Dengan
kemampuan melihat ke depan, sebagian hasil alam yang dieksploitasi—mulai dari minyak dan
gas hingga hasil hutan—digunakan untuk melengkapi sensor gunung berapi, pelampung
detektor tsunami, dan pemberi peringatan untuk lahan kritis yang terancam longsor.
Mungkin kita belum cukup banyak untuk ”berinvestasi” dalam upaya pembacaan alam, hingga
setiap kali ada gunung meletus atau gempa dan tanah longsor, kita selalu dalam posisi sebagai
korban. Kita ingin menggugah agar kita semakin dewasa. Bukan ingin menjadi empu yang
menguasai alam, tetapi bangsa yang arif dalam memahami tanda-tandanya. Alam yang subur
sebenarnya memberi kita daya untuk menjadikan kita bangsa yang punya kemampuan seperti
itu.

Sumber : Kompas | Kamis, 28 Oktober 2010

Membangun Saling Percaya


Situasi Papua yang memanas menciptakan keprihatinan baru bangsa ini. Berbagai pendekatan telah dilakukan,
tetapi rantai kekerasan belum bisa disudahi.
Dalam beberapa hari terakhir, serial kekerasan terjadi di bumi Papua. Ada unjuk rasa pekerja PT Freeport soal upah,
ada penembakan di kawasan Freeport yang mengakibatkan tiga orang tewas, ada pembubaran Kongres Rakyat
Papua III yang berubah menjadi kekerasan, dan terakhir penembakan Kepala Kepolisian Sektor Mulia di Bandara
Mulia, Puncak Jaya. Dalam dua pekan terakhir delapan orang tewas!
Menarik apa yang disinyalir peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, seperti dikutip harian
ini, terus berlangsungnya kekerasan di bumi Papua hari-hari terakhir ini menunjukkan siklus kekerasan di Papua
belum terputus.
Kekerasan yang terjadi di Papua tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang relasi antara Papua dan Jakarta. Terasa
adanya ketidakpercayaan yang tulus antara elite Jakarta dan elite Papua. Relasi itu ikut memberikan kontribusi
belum ditemukannya solusi hakiki soal Papua. Wajah keindonesiaan di Papua mungkin tidak terlalu ramah bagi
warga Papua dan juga mungkin sebaliknya.
Otonomi khusus telah diberlakukan di Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua. Representasi kultural Papua diwadahi dalam Majelis Rakyat Papua yang mempunyai sejumlah tugas
dan wewenang. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah Majelis Rakyat Papua betul-betul telah diperankan
sebagai representasi kultural aspirasi Papua? Kalau belum, mengapa itu sampai bisa terjadi?
Kekerasan diyakini bukanlah solusi untuk mengakhiri konflik. Kekerasan yang dilawan kekerasan hanya akan
melahirkan kekerasan baru sehingga akan terjadi spiral kekerasan. Sementara kita sendiri mungkin belum
mengetahui secara persis akar masalah terus terjadinya kekerasan di Papua. Akar konflik Papua harus terus digali
sehingga kita bisa menemukan solusi yang paling tepat.
Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sejumlah media massa, 16 Agustus 2011, menata
Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua sebagai gerbang
timur wilayah Indonesia.
Dialog adalah solusi damai yang harus terus diupayakan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hukum tentu harus ditegakkan karena membunuh dan menembak orang sampai mati adalah tindak pidana.
Pendekatan keamanan harus dilengkapi pendekatan lain, seperti pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
kultural. Dengan pendekatan yang holistik dan dialog yang tulus, kita meyakini masalah Papua bisa diselesaikan,
sebagaimana kita juga bisa menyelesaikan problem di Aceh. Kemungkinan internasionalisasi masalah Papua sejauh
mungkin dihindarkan karena potensi untuk itu ada!

Anda mungkin juga menyukai