Anda di halaman 1dari 16

Ekologi Bencana, Demokrasi Lokal dan Aktivisme Kemanusiaan

Oleh: Sunano

Balaroa dan Petobo, mungkin awalnya hanya dikenal oleh masyarakat Palu, berupa
pemukiman padat penduduk. Awalnya, Kelurahan Balaroa yang terletak di Kecamatan Palu
Barat, Kota Palu merupakan program perumnas untuk wilayah Sulawesi Tengah. Tidak ada
eksotisme di sana, atau semacam pencapaian yang berprestasi , tapi dari kelurahan ini, jejak
pembangunan Kota Palu mulai menggeliat dan semakin meluas di beberapa sudut kota. Namun,
setelah bencana langka berupa likuefaksi pada 28 September 2018 yang menenggelamkan dua
pemukiman itu, mendadak menjadi perbincangan ramai.

Likuefaksi adalah jenis bencana unik yang langka terjadi di dunia. Tanah tiba-tiba menjadi
gembur dan melumat semua apa yang ditanam di atasnya. Kenyamanan rumah tiba-tiba
menjadi ‘neraka’ lumpur yang mematikan. Bencana yang sangat beringas, tidak menyisakan
apapun dan memporakporandakan semuanya. Bagi yang selamat merupakan keberuntungan
langka, namun siapapun yang sedang tinggal di atasnya, banyak yang ikut terkubur di dalamnya,
dan sudah tidak mungkin bisa digali untuk ditemukan. Makanya, semua penyintas sepakat, dua
bekas pemukiman itu sekaligus menjadi makam.

Bencana pertama berupa gempa dengan magnitudo 7,4 skala richter, diikuti bencana
susulan likuefaksi dan bencana susulan lain berupa tsunami. Gelombang tsunami yang
menerjang Teluk Palu hampir dikatakan mustahil dari sebab, jenis, dan waktu terjadinya
bencana, karena hanya selang 15 menit pasca gempa, muncul tsunami yang menerjang
sepanjang Teluk Palu setinggi satu sampai 3 meter. Hal menarik yang ramai diberitakan dan juga
menjadi bagian dari isi khotbah Shalat Jum’at di beberapa masjid Kota Palu adalah ‘kemarahan
Tuhan’ karena Pemda Sulteng menyelenggarakan kegiatan yang dianggap ‘sesat’. Sesaat pasca
gempa, sebagian masyarakat menuduh bahwa bencana di Palu akibat penyelenggaraan aktivitas
budaya festival pesona Palu Nomoni untuk melestarikan budaya Kaili di Kota Palu. Festival
budaya ini dianggap ‘sesat’ dan menyimpang dari ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas
penduduk Palu.

Bencana di Indonesia memang menjadi ancaman setiap saat. Misalnya Pulau Jawa saja,
dikelilingi lebih dari 30 gunung berapi (National Geographic, Volcano, 2010). Jelas menjadi
ancaman bagi 151,6 juta penduduk yang mendiaminya. Menurut penjelasan BNPB, Indonesia
memiliki 500 gunung api, yang di antaranya 129 gunung api masih aktif tersebar di Sumatera,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Seperti petasan, yang siap akan
meletus seiring waktu. Juga ancaman bencana alam lain seperti gempa, tsunami, banjir, longsor,
angin (badai), abrasi pantai, kekeringan, dan lainnya. Merupakan ancaman nyata terhadap
kelangsungan kehidupan manusia dan tatanan bermasyarakat. Sejarah sudah mencatat,
Indonesia pernah mengalami dua letusan gunung berapi dahsyat, letusan Tambora tahun 1815
dan Gunung Krakatau tahun 1883. Salah satu penelitian yang dilakukan Adjat Sudrajat (2011)
menjelaskan bahwa banyak sekali gunung api tidur bangun kembali dan beberapa di antaranya
meletus dan menimbulkan banyak kerusakan dan korban.

Tingkat bahaya jenis bencana lain juga mengancam jutaan manusia. Menurut data BNPB
menyebutkan ada 148,4 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi, 5juta warga tinggal di
daerah rawan tsunami, dan 63,7 juta jiwa di daerah rawan banjir, serta 40,9 juta jiwa tinggal di
daerah rawan longsor. Belum lagi ancaman terhadap manusia akibat kegagalan tekhnologi dan
bencana buatan.

Masyarakat Indonesia selalu terbelah menjadi beberapa kelompok dalam


menerjemahkan setiap kejadian bencana. Mereka selalu mengaitkan kejadian bencana dengan
masalah kemanusiaan, masalah kegagalan pemimpin dan aktivitas yang melanggar moral dan
agama. Memang, bisa jadi hal itu tersulut oleh perilaku manusia karena berbuat kerusakan dan
‘dosa’, bukan sekedar siklus alam semata. Hal itu juga terjadi saat bencana gempa dan tsunami
Aceh tahun 2004, gempa Jogja tahun 2006, tsunami pangandaran tahun 2006, gempa Padang
tahun 2009, dan berbagai jenis bencana lainnya. Gejala ini memang muncul seiring dengan
semakin seringnya bencana alam melanda Indonesia. Kelompok ilmuwan selalu menelaah
berdasarkan pengetahuan yang masih terbatas yang mereka miliki. Menjelaskan sebab-sebab
dan potensi bencana lanjutan. Orang beragama memang lebih percaya pada doktrin agama,
misalnya tentang hukuman dan takdir, tentang musibah, ujian, dan azab yang menimpa
manusia. Konsep ini muncul berdasarkan rujukan pada agamawan yang punya otoritas
menafsirkan teks dan kitab suci. Sedangkan sebagian masyarakat melihat ada hubungan antara
bencana dan sikap pemerintah, baik karena perilaku korup, tidak amanah atau hal lain.

Kelompok lain menjelaskan bencana sebagai bagian dari aktivitas budaya, dan kearifan
lokal. Maka, masyarakat yang dekat dengan kearifan lokal, penanganan bencana berpegang
pada norma yang ada, seperti di Lombok waktu terjadi gempa hebat pada akhir Juli 2018,
menggunakan tradisi rowah semacam upacara kenduri bersama semua lapisan masyarakat dan
berogak, semacam gazebo yang jamak ditemukan di setiap rumah di Lombok. Ketika banyak
rumah yang hancur akibat gempa, masyarakat sangat terbantu adanya bangunan ini sebagai
tempat berlindung sementara. Orang Jawa memandang tsunami sebagai bagian dari ‘laku Ratu
Kidul’ yang membutuhkan sesaji.

Ketika bencana datang menghampiri, selalu meluluhlantahkan tidak hanya bangunan dan
isinya, juga sistem sosial, adat istiadat, perilaku, pola fikir manusia, dan pemerintahan yang ada.
Suasana chaos, panik dan kehilangan menyelimuti semua penyintas. Perilaku manusia, bisa jadi
dilakukan dengan sengaja, atau karena ketidaktahuan mereka terhadap ancaman, atau acuh
terhadap lingkungan. Kemudian mereka bertanya-tanya siapa yang datang pertama
memberikan pertolongan, mereka yang menjadi rujukan, kemudian masih terus mendampingi
sampai para penyintas kembali pulih kondisi sosial ekonominya. Saat mendistribusikan bantuan,
dan melakukan pendampinga, seringkali malah menghancurkan mental penyintas karena
kedermawanan hanya bersifat ‘charity’ sehingga memunculkan ketergantungan penyintas.
Akibatnya bencana susulan pun terjadi berupa hancurnya sistem sosial, perilaku manusia.
Kondisi ini bisa kita amati, sesaat setelah bencana, masyarakat menjadi beringas membutuhkan
logistik bantuan sampai menjarah apa yang bisa dijarah. Sebulan kemudian, di beberapa ruas
jalan muncul anak-anak peminta, kepada setiap mobil yang lewat, khususnya mobil donatur
atau relawan. Pada situasi itu, wajar jika setiap orang menelisik apa penyebab bencana. Mereka
menelisik kembali penyebab kemalangan pada semua perilaku pemimpin mereka atau diri
mereka sendiri sebelumnya, kemudian mencari korelasi antara bencana yang terjadi dengan
aturan norma agama dan kearifan lokal.

Makanya, jika melibatkan penyebab, konsep bencana yang lebih luas, memiliki spektrum
yang kompleks. Dari segi penyebab yang mengancam kelangsungan hidup manusia, yang
disebabkan peristiwa alami (gempa, tsunami, angin, letusan gunung, dan lain sebagainya) juga
masalah chaos-nya negara, katastrofi (malapetaka) yang disebabkan ulah manusia (kerusakan
lingkungan, penggundulan hutan, kegagalan tekhnologi, kesalahan eksplorasi seperti lumpur
lapindo, limbah, konflik dan perang) juga menjadi penyebab bencana. Dengan adanya aspek
perilaku manusia sebagai salah satu penyebab bencana, maka kajian tentang bencana menjadi
semakin kompleks. Karena masuknya kategori semua perilaku yang ‘mengancam kehidupan’
menjadi kategori bencana. Mencakup semua hal, mulai dari perubahan iklim, krisis air,
kekeringan, krisis energi, urbanisasi, kriminalitas, kegagalan tekhnologi (seperti jebolnya
Situgintung yang terletak di Ciputat Timur, Tanggerang Selatan pada 27 Maret 2009, dan
ambruknya jembatan di Kutai Kertanegara, Kalimatan Timur pada tahun 2020), bencana alam,
perang, pembunuhan, hingga kesehatan global seperti sekarang saat terjadi pandemi Covid-19
dan juga kemiskinan, kelaparan dan malnutrisi anak. Hal itu keseluruhannya merupakan akibat
perbuatan manusia yang menciptakan ‘bencana buatan’.

Dari Bahaya Menjadi Budaya

Bencana, sebagian merupakan siklus, bahkan sudah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu,
saat memusnahkan peradaban hewan besar, dinosaurus dan terus berlanjut sampai sekarang.
Catatan historis ini terekam dalam istilah bencana atau disaster berasal dr Yunani kono yaitu
‘dus’ –buruk- dan ‘aster’ –bintang. Istilah ini mengacu pada fenomena astronomi pada
masyarakat Yunani kuno dalam menentukan ramalan. Kemampuan ini menjadi keahlian orang
Yunani untuk membaca rasi bintang sehingga bisa membaca fenomena astronomi yang
berkonotasi pada sesuatu yang buruk. Kemunculan bintang-bintang tertentu di cakrawala
diyakini sebagai penanda akan terjadinya bencana, sesuatu yang buruk pada manusia (Etkin,
2016). Istilah ini kemudian diserap ke berbagai bahasa menjadi ‘disaster’ dalam bahasa Inggris
dan ‘desastre’ dalam bahasa Perancis yang berarti kerusakan, khususnya disebabkan oleh
bencana alam. Makanya semua kejadian yang yang bersifat destruktif, katastrofi, berakibat
buruk dan merusak disebut sebagai bencana atau disaster, tanpa membedakan penyebab,
dampak yang timbulkan dan implikasi terhadap kelangsungan hidup manusia dan
lingkungannya. (Quarantelli, 1998).

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam (natural disaster) antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia (man-made disaster)
yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, terror, dan perang.

Mengacu pada definisi menurut UU No. 24 Tahun 2007 dan penjelasan BNPB, penyebab
bencana semakin kompleks. Apalagi aspek fenomena sosial bisa menjadi acuan pengkajian
bencana. Akan tambah semakin ruwet jika aspek bencana dikaji pada wilayah ilmu pengetahuan,
agama dan budaya. Tentunya tidak hanya melibatkan para ahli dalam bidang eksakta seperti
pakar hidrologi, klimatologi, geologi, meteorologi dan lain sebagainya, juga melibatkan pakar
antropologi, sosiologi, ekonomi, politik dan ahli agama, dalam lintas disiplin.

Ada pembagian peran yang seharusnya terkategorisasi berdasarkan kecenderungan


penerimaan masyarakat terhadap bencana. Khususnya pada antisipasi terhadap ancamannya.
Selama ini, masyarakat sering abai terhadap ancaman ini sehingga kemampuan mengurangi
dampak dari bencana sangat terbatas apalagi bersifat jangka panjang. Pada jenis bencana
geologi, seperti gempa, letusan gunung, tanah longsor dan lainnya, yang sebenarnya memiliki
tanda, kadang periodesasi atau rekam jejak sejarah yang terekam dalam kearifan lokal atau
budaya masyarakat, hal ini sebenarnya bisa menjadi modal mengurangi ancaman bencana yang
terjadi. Dalam konsep manajeman bencana, mengurangi resiko dampak bencana dalam konsep
‘mitigasi’. Di bidang ini masih belum banyak orang yang aware terhadap kesiapsiagaan
masyarakat saat bencana melanda. Atau bagaimana setiap komunitas melakukan upaya
mengurangi munculnya bencana yang mampu mengancam kelangsungan hidup mereka.

Pengertian mitigasi, yang dikutip dari Oman Abdurrahman (2011), adalah semua tindakan
yang ditujukan guna mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum
bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka
panjang. Mitigasi bisa juga sebagai usaha menghindarkan berkembangnya bahaya menjadi
bencana, atau mengurangi risiko jika terjadi bencana. Jadi bisa jadi ada siklus bencana yang
memang tidak bisa dicegah karena pasti akan terjadi seperti gempa bumi dan gunung meletus,
maka mitigasi bencana berupa upaya mengurangi risiko jika sampai terjadi bencana. Sedangkan
upaya penanggulangan bencana berupa bencana buatan yang potensial, seperti reboisasi hulu
sungai dan lahan kritis rawan longsor, penanaman mangrove pantai rawan tsunami, dan lainnya.
Idealnya memang ini menjadi tanggungjawab pemerintah, butuh kebijakan yang jelas
mengatur bagaimana setiap institusi, lembaga sampai level paling bawah menyusun agenda
mitigasi bencana. Pemerintah pun hanya sebatas menerbitkan peta rawan bencana di Indonesia
tanpa tindak lanjut pada program mitigasinya. Seringkali upaya mitigasi bencana tidak berjalan
terkoordinasi lintas sektoral. Yang terpenting dan secara aktif melibatkan berbagai bidang dan
pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, ilmuwan
dari lintas disiplin ilmu, lembaga swadaya masyarakat, lembaga filantropi, organisasi massa, dan
masyarakat umum khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana.

Pemerintah ketika menyusun peta rawan dan risiko bencana, yang diluncurkan pada
bulan Februari 2010 langsung digagalkan dengan bencana banjir bandang yang terjadi di Wasior
pada 4 Oktober 2010. Saat itu, wilayah Wasior memang sudah terdeteksi memiliki kerawanan
bencana sangat tinggi, cuman karena sosialisasi dari pemerintah pusat yang terlambat, bencana
gagal diantisipasi menyebabkan 153 orang meninggal, 146 orang hilang dan ribuan orang
mengungsi karena kehilangan rumah dan harta benda. Sampai sekarang, kebijakan pemerintah
untuk menurunkan risiko bencana masih belum menjadi prioritas utama. Alih-alih meredam isu
dan gejolak akibat munculnya corona virus di China pada akhir Desember 2019, dan terus
menyebar ke seluruh dunia, pemerintah Indonesia malah melucu dengan berbagai argumennya.
Kegagalan antisipasi ini menyebabkan angka penderita Covid-19 sampai sekarang, pertengahan
Februari 2021 sudah tembus angka 1 juta orang. Ekonomi dan sistem kehidupan lain banyak
yang babak belur, khususnya masa depan anak-anak karena lebih dari setahun belajar dari
rumah, tanpa penekanan acuan pencapaian pendidikan yang jelas.

Kebijakan lain yang memperparah kejadian ‘bencana buatan’ adalah pemerintah bukan
mencegah illegal logging, malah menerbitkan berbagai izin pemanfaatan kayu, pemanfaatan
lahan, sampai alihfungsi lahan. Sampai terakhir kebijakan pemerintah mengenai food estate
(lumbung pangan nasional) malah membuka kesempatan alihfungsi hutan menjadi lahan
pertanian semakin massif karena sebenarnya menarasikan perusahaan perkebunan atau
pertanian pangan model baru. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah belum memiliki
kejelasan terhadap mitigasi ‘bencana buatan’ tetapi malah mereka yang menciptakannya.

Oman Abdurrahman menjelaskan bahwa mitigasi bencana menjadi bagian dari


manajemen bencana dan juga menjelaskan tentang bahaya itu sendiri, kerentanan, bencana dan
mitigasi bencana. Peta rawan bencana yang dikeluarkan pemerintah itu hanya sebagian dari
aktivitas mitigasi bencana. Jika kita acuh, maka ancaman bencana perlahan menciptakan
selubung kematian yang sangat pelan. Kita seperti sedang menggali kuburan sendiri dengan
merusak alam, mengindahkan kaidah dan etika lingkungan. Saat ini memang kewaspadaan
masyarakat terhadap bencana alam, jauh lebih siap. Mereka belajar dari pengalaman bencana
tsunami Aceh, namun untuk jenis ‘bencana buatan’ masih belum ada. Misalnya sepanjang tahun
2020 bencana yang terjadi merupakan ‘buatan’, akibat ulah manusia, bahkan sampai banjir
sangat parah sepanjang 50 tahun terkahir di Kalimantan Selatan yang melanda 11 kabupaten
merupakan salah satu jenis bencana ‘buatan’. Jika kita definisikan lebih jauh ‘akibat ulah
manusia’ bisa menyentuh banyak aspek di sekitar kita. Seperti di Kalimantan Selatan, penyebab
banjir yang sangat luas adalah akibat kerusakan ekosistem hutan yang sudah sangat parah.
Hutan rusak akibat kebijakan pemerintah yang gemar melepas status hutan untuk ditambang
dan alih fungsi menjadi perkebunan. Ini adalah fenomena ‘bencana buatan’ yang mulai sering
terjadi selama dua tahun terakhir. Lebih jauh, sebenarnya, kesalahan kebijakan pengelolaan
hutan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan sistem yang baru, otonomi daerah menciptakan
raja-raja kecil yang eksploitatif terhadap wilayahnya. Tidak hanya di Kalimantan Selatan, seluruh
daerah sudah mengalami kerusakan ekosistem sangat parah, saat ini bencana longsor dan banjir
bandang terjadi di semua daerah karena hulu sungai sudah gundul semua. Degradasi lingkungan
yang sangat parah berdampak sangat buruk pada kelangsungan hidup manusia. Jenis bencana
ini saat sekarang sudah tak terhitung jumlahnya dan belum mendapat perhatian yang dominan.

Jika merujuk pada penjelasan teknis-akademis, semua bencana yang terjadi selama ini,
jika selalu bersifat datatif dan eksploratif kadang tidak memuaskan banyak pihak. Karena banyak
hal di sekitar kita, sering tidak mampu terjawab oleh tekhnologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Seperti pandemi Covid-19 sekarang ini, sudah setahun lebih, penyebarannya
masih mengganas. Semua negara masih dalam posisi siaga satu baik dalam pencegahan maupun
upaya penyembuhan pasien terinfeksi. Makanya, sekang sebagian orang berpandangan lain
sebagai penyebab, bisa jadi pemimpinnya, sistem pemerintahannya, (baca: demokrasi) atau
faktor normatif agama. Dan sepertinya, melihat bencana yang tidak melihat tempat dan situasi,
kita sudah memasuki akhir zaman ‘kiamat’, seperti dalam konsep normatif agama.

Bisa jadi pendekatan yang pertama dan penting dilakukan adalah mengembalikan fungsi
agama sebagai penjaga norma dan etika lingkungan. Selama ini, dalam setiap bencana, selalu
mengaitkan dengan ‘kemarahan Tuhan’ sehingga manusia mendapat azab atau ujian. Seperti
yang dilakukan Paradise (2005) ketika mengkaji risiko gempa bumi di Maroko juga pada
kesimpulan bahwa ‘kemarahan Tuhan’ secara dramatis mempengaruhi bagaimana masyarakat
mempersepsi, mengelola dan memodifikasi keterlibatan yang diperlukan dalam proses mitigasi
bencana atau partisipasi dalam pembuatan keputusan. Pengakuan bawah individu atau
komunitas, atau perilaku pemimpin dan penguasa dapat mengakibatkan bencana, hal itu bisa
menjadi kunci bagi persiapan ‘mitigasi’ bencana. Menurut Moch. Nur Ichwan menjelaskan
bahwa ada dua aspek yang mempengaruhi ‘mitigasi’ bencana lebih mudah adalah keyakinan
teologis dan struktur nilai. Pada point pertama, persepsi masyarakat terhadap bencana bisa
sangat efektif dan berdampak signifikan terhadap proses ‘mitigasi’ dan penanganan dampak
bencana, apalagi jika keyakinan berakar pada ‘pemahaman teologis’ keagamaan. Pada struktur
nilai, dalam masyarakat biasanya dipengaruhi oleh pemahaman teologis dan pengaruh budaya.
Sebagian orang mengaitkan struktur nilai dengan budaya saja, tentu hal ini tidak sepenuhnya
salah, tetapi menjadi bias dalam pengertian sekulerisme dan kajian sosial. Sehingga, dalam
setiap bentuk kearifan lokal, selalu ada norma yang kuat yang mengikat seluruh anggota
komunitas.

Nur Ichwan ingin mengajak pada setiap penganut agama agar tidak terjebak hanya sampai
‘bahwa bencana merupakan peringatan, ujian atau azab’. Karena jika hanya sampai pada taraf
itu, kita habya bisa berefleksi pada setiap kejadian, tapi sesungguhnya pada setiap bencana
terdapat korban, para penyintas dan kerusakan ekosistem yang harus segera mendapatkan
pertolongan dan lingkungan yang rusak harus segera diperbaiki. Jika penganut agama terjebak
pada persepsi ‘apakah bencana ini merupakan azab Tuhan, karena masyarakatnya banyak
berdosa?’ Akibatnya bisa dianggap membantu orang yang banyak berdosa.

Dalam konteks itu, Nur Ichwan memberi contoh bahwa segera setelah tsunami melanda
Aceh pada 26 Desember 2004, khutbah-khutbah di Saudi Arabia dan Timur Tengah umumnya,
melihat bencana ini sebagai azab Allah. Dan akibatnya apa yang terjadi? Bantuan dari negara-
negara Timur Tengah, yang notabene mayoritas Muslim, baik atas inisiatif masyarakat maupun
pemerintahannya, jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan bantuan yang diberikan
oleh negara-negara Barat yang mayoritas non Muslim. Piranti membangun persepsi pada
bagaimana komunitas bersikap terhadap bencana memang sangat ditentukan oleh arahan dari
pimpinan atau pemuka agama. Apalagi bagi masyarakat yang cenderung homogen dalam
mazhab, atau kepercayaan. Atau bisa jadi pemahaman teologis setiap umat beragama biasanya
mendasari sikap dan perilaku walaupun berbeda-beda. Misalnya pada umat Kristiani, seperti
tesis Weber adalah ‘Etika Protestan, dan Spirit Kapitalisme’. Salah satu etika penting Kristiani
adalah kedermawanan, menolong orang, semakin banyak kamu menolong, semakin kaya.
Namun temuan penulis, selama terlibat dalam penanganan dampak bencana, ketika
terjun menjadi relawan pada lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada Gempa
Lombok, Juli 2018, menemukan sikap kelapangan, penerimaan yang luar biasa. Masyarakat
Lombok, dikenal dengan suku Sasak, yang kuat memegang etika dan norma masyarakat. Basis
‘pemahaman teologis’ dan ‘struktur nilai’ orang Sasak berasal dr agama Islam. Islam bagi orang
Sasak seperti Islam bagi orang Melayu, ‘Masuk Islam masuk Melayu’ adalah dua ungkapan yang
menurut Antropolog Judith Nagata (1994) diucapkan dalam satu tarikan napas ( once breath),
adalah bentuk akulturasi budaya Islam pada zaman Kesultanan Melayu di Sumatera Timur dan
Malaysia pada masa kolonial. Kelompok etnis apa saja, apabila mereka telah masuk Islam maka
menjadi Melayu. Konstruksi budaya dan norma dalam adat Sasak memang sangat kental dengan
Islam dan ada unsur sinkretis dengan budaya lokal yang dipengaruhi Hindu dan Budhha.

Nur Ichwan lebih jauh menjelaskan bahwa keyakinan dan struktur nilai berpengaruh pada
partisipasi dalam pengambilan keputusan komunitas dan berpengaruh pada munculnya
aktivisme sosial. Hal itu juga berpengaruh pada masyarakat politik, baik di parlemen maupun
pemerintahan dalam merumuskan kebijakan terkait dengan masalah kebencanaan yang
mengacu pada persepsi, keyakinan dan struktur nilai secara umum.

Fenomena menjamurnya aktivisme sosial di Indonesia yang berbasis pada komunitas


tertentu atau aktivitas tertentu juga menjadi kajian menarik. Gairah pada gerakan filantropi dan
kemanusiaan seperti menjadi identitas masyarakat. Namun jika dikaitkan dengan problem
mendasar bencana alam, bencana buatan dan bencana akibat ‘ulah’ manusia, belum banyak
rumusan yang jelas mengenai gerakan humanitarian Musl im yang sistematis menyusun
manajemen bencana, khususnya fokus pada agenda ‘mitigasi’ bencana. PR ini perlu segera
menjadi agenda kemanusiaan kita bersama dalam menyelesaikan yang pernah digagas bersama
pemerintah menjadikan Indonesia sebagai ‘laboratorium bencana’.

Mengenai basis agama, apakah fenomena komunitas Muslim di Timur Tengah, juga terjadi
di Indonesia? Sebagian kecil memang terdapat kemiripan walaupun dalam aksi kemanusiaan
tidak membedakan, tetapi dalam kerjasama kadang memiliki bias agama. Seperti dijelaskan di
atas, komunitas Muslim di Timur Tengah kerap kali lebih mempertimbangkan faktor agama
(baca: persamaan mazhab, kepercayaan) dulu ketimbang kemanusiaan, sementara orang Barat
lebih mengedepankan masalah kemanusiaan dibandingkan agama. Kejadian ini bisa kita lihat
pada bencana kemanusiaan yang melanda Timur Tengah seperti di Yaman dan Suriah, bantuan
Timur Tengah hanya menyasar pada mereka yang sesama suku, mazhab atau aliran teologis
agama (sunni dan syiah). Berbeda dengan sikap pemerintah Selandia Baru saat masjid
diberondong senapan yang menimbulkan korban jiwa, simpati kemanusiaan terjadi di seluruh
penjuru negara. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan aktivisme sosial humanitarian di
kalangan umat Islam, sehingga bisa aware terhadap bencana, perlu dihilangkan ‘theological
block’ ini. Maka upaya membangun gerakan filantropi (Islam) harus berbasis pada humanity,
philanthropy, and volunteerism (kemanusiaan, kedermawanan dan kerelawanan), tanpa
membedakan latar belakang agama, kepercayaan dan asal mereka. Jika basis kemanusiaan dan
kedermawanan sudah ada, tinggal langkah berikutnya pada kerelawanan dengan memunculkan
gerakan sosial, aktivisme kemanusiaan, baik untuk program mitigasi bencana atau ketika terjadi
bencana.

Membangun budaya sadar terhadap ancaman bencana kita meniru mitigasi bencana
seperti di Jepang, sebagai prototipe negara dengan masyarakatnya betul betul sadar dan tau
ancaman yang setiap saat datang. Jepang belajar pada gempa bumi terburuk yang terjadi tanggal
17 Januari 1995. Skala gempa cukup besar mencapai 6,9 skala richter, mengguncang Prefektur
Hyogo selama 20 detik. Dengan waktu yang cukup panjang itu, korban jiwa sangat banyak
mencapai 6.434 orang dan hampir semua rumah dan bangunan rusak. Sadar negaranya rawan
terhadap ancaman gempa, Jepang mengevaluasi semua hal, khususnya manajemen bencana
dari potensi, bahaya, kerentanan, mitigasi sampai penanganan setelah terjadi bencana. Hal yang
tidak mungkin mengingkari dan menghentikan aktvitas pergerakan lempeng bumi karena itu
sebuah keniscayaan, juga jenis bencana lain seperti letusan gunung dan topan.

Pemerintah Jepang memutar otak mencari solusi, tekhnologi terus dimaksimalkan untuk
membuat alat peringatan dini, sehingga risiko bencana bisa dikurangi. Lahitan mitigasi bencana
bagi anak-anak dan penduduk Jepang juga terus dilakukan secara setiap bulan dengan serius.
Pelatihan berupa perlindungan diri saat terjadi gempa baik saat di dalam rumah atau berada di
luar rumah. Bangunan sekolah difungsikan sebagai gedung yang aman dari gempa dan memiliki
jalur evakuasi yang mudah diakses anak-anak. Lembaga fungsional lain juga diberi pelatihan
mitigasi semua dari petugas pemadam kebakaran, aparat militer sampai lembaga sosial.
Bangunan di Jepang juga harus memenuhi standar konstruksi tahan gempa sampai 9 skala
richter. Pelatihan mitigasi bencana akhirnya menjadi habbit orang Jepang, dan terbukti k etika
gempa dan tsunami besar melanda Kamaishi di Prefektur Iwate pada 11 Maret 2011, korban
jiwa terbilang sedikit.
Di Indonesia, rekaman mitigasi bencana masih dalam bentuk kearifan lokal dan tradisi
masyarakat. Kearifan lokal dalam bentuk berbagai bangunan tahan gempa berupa rumah adat,
rumah lama dari kayu dan ‘tulangan raja’ satu model tiang utama pada bangunan rumah di Palu
yang terkenal seringnya terjadi gempa. Dan juga ‘smong’ cerita lisan yang sudah menjadi
kearifan lokal bagi masyarakat Simeulue. Kemunculan kata ‘smong’ yang berarti ‘hempasan
gelombang air laut’ berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue, merupakan pengalaman
pahit terjadinya tsunami pada tahun 1907 silam. Saat itu ombak besar menghantam pesisir
Pulau Simeulue khususnya di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami besar tersebut jadi mimpi
buruk dan sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue. Kisah tersebut kemudian
menjadi cerita lisan yang diwariskan turun temurun melalui nafi-nafi, semacam budaya tutur
yang berisi nasihat atau petuah kehidupan. Pada setiap kesempatan, saat memanen cengkeh, di
surau saat mengaji, dan menjadi pengantar tidur anak. Saat bencana tsunami Aceh pada 2004
lalu, hikayat ‘smong’ menjadi penyelamat masyarakat Simeulue, walaupun ribuan rumah hancur
dihempas gelombang, hanya 6 orang yang meninggal.

Demokrasi Lokal Sebagai Aktivisme Kemanusiaan

Satu hal yang menarik diamati dari dua kejadian bencana saat tsunami Aceh tahun 2004
dan gempa Jogja tahun 2006 lalu, adalah pergerakan masyarakat tanpa dikomando
menyediakan diri menjadi relawan. Puluhan ribu masyarakat Indonesia merasa terpanggil
membantu ketika tsunami meluluhlantahkan Aceh, mereka datang dengan berbagai cara,
kebanyakan melalui organisasi masyarakat yang membuka kesempatan pengiriman relawan
kemanusiaan ke Aceh. Begitu juga saat gempa Jogja, masih ingat di desa tempat kelahiran saya,
Desa Kalibeji, Kecamatan Sempor, Kebumen, Jawa Tengah mengorganisasi masyarakat untuk
menjadi relawan kemanusiaan. Setiap kelompok berisi 80 sampai 100 orang laki -laki
diberangkatkan menggunakan 3 truk ke Jogja selama 3 hari, dan bergilir pada kelompok lain.
Tugas mereka hanya satu, membantu masyarakat membersihkan puing rumah yang hancur.
Semua kebutuhan dan peralatan dibawa sendiri.

Fenomena tersebut menjelaskan bahwa semangat ‘gotong rotong’ masih sangat kuat,
yang berakar jauh pada adat istiadat masyarakat Indonesia sebagai pola demokrasi tradisional
khas budaya timur Indonesia, dan juga ‘musyawarah dalam pencapaian keputusan’. Seperti
penjelasan Muhammad Hatta, ‘di desa-desa, sistem yang demokratis masih kuat dan hidup
sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah kepemilikan tanah yang
komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama,
sewaktu mengadakan kegiatan sosial-ekonomi’ (Herbert Feith, 1970). Makanya struktur
demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi yang
berlaku di desa. Ide dasar demokrasi menurut Yumiko M. Prijono (1983) berupa pengikutsertaan
rakyat dan persetujuan umum dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan
bersama. Setiap aktivitas mewujud dalam bentuk ‘solidaritas sosial’. Basis utama dalam
demokrasi di Indonesia, jika merujuk pada zaman dahulu adalah tanah sebagai kapital, bisa jadi
sekarang adalah kepemilikan kapital dalam bentuk lain. Model lama dalam demokrasi misalnya
dalam bentuk memanen padi, hasil pertanian, atau membangun rumah, selalu dengan pola
gotong royong. Untuk hari ini bentuk ‘demokrasi lokal’ yang masih berjalan salahsatunya adalah
partisipasi dalam gerakan filantropi, aktivisme kemanusiaan dan kedermawanan.

Model demokrasi lokal khas Indonesia ini banyak menjadi modal sosial dan dasar perilaku
manusia. memang sangat dipengaruhi oleh budaya lokal setempat, misalnya di Jawa, konsep
orang Jawa terhadap dunia menyatakan bahwa semua orang mempunyai sifat, kemampuan,
nasib, dan kemalangan, status, gensi, dan kedudukan yang berbeda sesuai dengan kodratnya.
Perbedaan antara pimpinan/elite dengan pengikut/rakyat sangat ditekankan. Dalam berbagai
aktivitas, khususnya menyangkut kegiatan sosial seperti kerjabakti kampung, gotong royong
membangun rumah dan semua aktivitas bersama dalam berbagai kepentingan. Tidak hanya di
desa, di kota besar, fenomena aktivisme kemanusiaan selalu muncul, lewat tradisi dan kebiasaan
lokal. Penilaian ini juga menjadi dasar perilaku orang dalam mensikapi terjadinya bencana.
Misalnya pada perilaku Mbah Maridjan saat meletus Gunung Merapi pada November 2010,
sebagian masyarakat mengikutinya.

Lebih jauh, dalam aktivisme kemanusiaan, ‘demokrasi lokal’ juga menjadi basis perilaku.
Solidaritas sosial ini kemudian menjadi basis kemanusiaan masyarakat Indonesia hari ini,
khususnya pada saat terjadi bencana. Panggilan kemanusiaan, jika mampu mereka
menyumbangkan tenaga, pikiran dan hartanya, atau hanya salah satunya. Kedermawanan
Indonesia diakui sampai menjadi negara tertinggi angka kedermawanan. Badan amal Inggris,
Charities Aid Foundation (CAF), telah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan
di dunia tahun 2018. Diikuti oleh Australia di tempat kedua dan Selandia Baru di tempat ketiga.
Kita bisa melihat bersama fenomena saat awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, semua
orang, tidak membedakan kemampuan ekonomi, berpartisipasi semampunya membantu
mereka yang terdampak. Tidak kita temukan akibat pandemi sampai terjadi bencana kelaparan.
Pada kasus lain, penulis juga banyak menemukan solidaritas unik saat menjadi relawan di
berbagai bencana kemanusiaan lewat lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Sesaat setelah
bencana, baik gempa Lombok, bencana Palu atau tsunami di Selat Sunda pada akhir Desember
2018 semua orang merasa terpanggil menjadi relawan. Lewat posko induk ACT, banyak orang
mendaftarkan diri menjadi relawan, walaupun mereka pekerja tetap, karyawan rumah sakit,
PNS, dosen, sampai yang pekerja harian lepas berbondong-bondong datang ke lokasi bencana.
Sebagian relawan memilih mengambil cuti untuk bisa mengabdikan diri menjadi relawan,
sebagian menjual harta yang dimiliki, untuk menjadi relawan. Tak hanya relawan, donasi dalam
berbagai jenis pun mengalir deras.

Sudah seperti menjadi ‘gerakan sosial’ pada setiap bencana, tanpa komando dan contoh
pimpinan, masyarakat bergerak sendiri membantu semampunya. Selain dipe lopori oleh
lembaga kemanusiaan dan lembaga filantropi yang menjamur, yang jumlahnya bisa jadi sudah
ada ratusan sekarang, baik yang bersifat lokal, spesifik sesuai bidang tertentu, dikelola oleh
lembaga profit, pemerintah atau lembaga kemanusiaan bertaraf internasional seperti Aksi Cepat
Tanggap, Dompet Dhuafa, dan lainnya. Kegairahan ‘gerakan sosial’ kemanusiaan juga dipelopori
oleh Organisasi Massa yang jumlahnya juga tidak sedikit dengan level dari yang bersifat lokal,
jama’ah, komunitas, kelompok hobi sampai level internasional seperti Muhammadiyah,
Nahdatul ‘Ulama, dan Ormas lain.

Selain partisipasi pada setiap kejadian bencana, kesadaran masyarakat juga mulai tumbuh
dengan terlibat pada program lingkungan, program konservasi dan berbagai aktivias sos ial
kemanusiaan yang spesifik. Energi ini juga penting diarahkan pada bagaimana ikut bersama-
sama mengurangi risiko bencana sehingga menjadi kesadaran bersama. Hal yang masih belum
menjadi perhatian penuh adalah ‘gerakan sosial’ kemanusiaan diarahkan untuk mengorganisasi
dan memobilisasi manusia, masyarakat untuk mempersiapkan terjadinya bencana, mitigasi
bencana, aktivitas pascabencana dan bersama-sama menyusun konsep manajemen bencana.
Dengan modal penting ‘demokrasi lokal’ yang sudah sangat mengakar, saya kira hal ini akan
mudah dilakukan. Tinggal siapa yang memulainya.

Dalam ranah kebencanaan, Aksi Cepat Tanggap mencoba merespon dengan menyusun
konsep TDM (total disaster management) yang menyusun agenda dari pemetaan sampai
pendampingan sosial ekonomi penyintas bencana. Program pemetaan tingkat kerawanan
bencana, yang berarti mendefinisikan sendiri bahaya bencana yang setiap saat bisa terjadi.
Seperti yang pernah dilakukan saat menelusuri jejak gempa sesar Palu-Koro setahun sebelum
bencana di Palu. Kemudian agenda mitigasi bencana dengan membangun kemitraan untuk
melakukan rebiosasi hulu sungai, kawasan lahan kritis dan pesisir pantai. Selain program
kemitraan, program wakaf terpadu juga diarahkan bagaimana bisa menjadi salah satu solusi
program mitigasi bencana. Saat terjadi bencana, ACT sudah teruji mampu menolong penyintas
sebanyak-banyaknya dengan dukungan armada, logistik dan jangkauan aksi semaksimal dan
seluas mungkin. Saat mendampingi penyintas, model ‘demokrasi lokal’ juga diterapkan saat
mendirikan dapur umum untuk menyediakan makanan bagi pengungsi. Posko dapur umum yang
didirikan harus berasal dari pengungsi dan mereka yang sepenuhnya mengelola. Tugas tim
kemanusiaan ACT hanya menyediakan logistik. Pendampingan juga dilakukan sampai tuntas
dengan mendorong kemandirian sosial ekonomi lewat beberapa program seperti Wakaf Usaha
Mikro, berupa bantuan modal ekonomi bagi penyintas.
Referensi:

Abdurrahman, Oman dan Priatna (penyunting), 2011, Hidup di Atas Tiga Lempeng, Gunung Api
dan Bencana Geologi, Bandung: Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Etkin, D, 2016, Disaster Theory: An Interdisciplinary Approach to Concepts and Causes. Oxford:
Elsevier Ltd.

Feith, Herbert (editor), 1970, Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca: Cornell University
Press.

Hatta, Muhammad, 1956, “Colonial Society and the Ideal of Social Democracy”, dalam Feith,
Herbert (editor), 1970, Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca: Cornell University Press.

Ichwan, Moch, Nur, 2012, ”Eko-Teologi Bencana, Aktivisme Sosial, dan Politik Kemaslahatan
dalam, Indiyanto, Agus dan Arqom Kuswanjono (editor), 2012, Agama, Budaya, dan Bencana,
Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya, Bandung: Mizan.

Indiyanto, Agus dan Arqom Kuswanjono (editor), 2012, Agama, Budaya, dan Bencana, Kajian
Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya, Bandung: Mizan.

Mangunjaya, Fachruddin M. dkk (editor), 2007, Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Pustaka Obor.

Paradise, Thomas R, 2005, “Perception of earthquake risk in Agadir, Marocco: A case study from
a Muslim community,” Environmental Hazard 6.

Prijono, Yumiko M. dan Prijono Tjiptoherijanto, 1983, Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta:
Sinar Harapan.

Suhanda, Irwan (editor), 2011, Bencana Mengancam Indonesia, Jakarta: Kompas.


Sunano, S.Sos

Menyelesaikan pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga


Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai divis i
Kemediaan, Departemen Program Kemanusiaa n,
lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Beberapa buku yang terbit di ACT adalah: buku
Global Qurban, buku Jakarta Hijau, buku Sumur
Wakaf, buku Tepian Negeri, dan buku Humanity Food Truck, Melayani Dengan Memberi
Makan Gratis.

Selain bekerja di ACT, beberapa tulisan lepas dimuat di suara muhammadiyah di media
online seperti republika.com khususnya berkaitan dengan isu dan kajian Tionghoa di
Indonesia. Buku pertama terbit adalah Partisipasi Muslim Tionghoa di Indonesia. Buku
kedua Muslim Tionghoa di Indonesia yang diterbitkan Matabangsa. Pernah di Lembaga
Konsultan CSR, beberapa kali menerbitkan buku dokumentasi, masterplan program CSR
dan Social Mapping.

Anda mungkin juga menyukai