Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sulawesi merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng, yaitu Ind-Australia,


Eurasia, dan Filipina. Kondisi tersebut menyebabkannya sangat rawan
terhadap bencana gempa bumi tektonik. Lempeng Lautan Indo-Australia
bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar 50 – 70 mm/tahun dan menunjam
di bawah palung laut dalam Sumatra – Jawa sampai ke barat Pulau Timor di
NTT. Sementara itu, Lempeng Pasifik menabrak sisi utara Pulau Irian dan
pulau-pulau di utara Maluku dengan kecepatan 120 mm/tahun, dua kali lipat
lebih cepat dari kecepatan penunjaman lempeng di bagian sisi barat dan
selatan Indonesia (Bock drr., 2003). Tekanan akibat pergerakan lempeng-
lempeng ini menyebabkan banyak sesar lokal aktif di wilayah Sulawesi. Dari
aspek tenaga tektonik jelas bahwa bagian Indonesia Timur memiliki potensi
ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat dibandingkan dengan Indonesia
bagian barat (Natawidjaya dan Triyoso, 2007).

Salah satu sesar aktif di Sulawesi adalah sesar Palu Koro yang memanjang
kurang lebih 240 km dari utara (Kota Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk
Bone. Sesar ini merupakan sesar sinistral aktif dengan kecepatan pergeseran
sekitar 25 - 30 mm/tahun. Sesar Palu Koro berhubungan dengan Sesar
Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedangkan di ujung utara melalui
selat Makasar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi
(Kaharuddin drr., 2011). Hal tersebut membuat Indonesia sangat rentan
terhadap bencana gunung api, gempa bumi dan bencana-bencana lain yang
berhubungan dengan kegempaan seperti tsunami dan likuifaksi. Salah satu
bencana gempa bumi yang baru terjadi, berdampak besar, serta menimbulkan
rangkaian bencana selain gempa adalah gempa Palu 2018. Pada Jum’at, 28
September 2018, BMKG mengeluarkan press release yang cukup
mengguncang penduduk Indonesia. Terdeteksi gempa dengan Magnitudo 7.7
pada hari itu, pukul 17:02:44 WIB, berlokasi di 0,18 LS dan 119, 85 BT yang
berjarak sekitar 26 km dari Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah
(Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2018b).

Berdasarkan hasil permodelan yang dilakukan oleh BMKG, tsunami dengan


ketinggian maksimum 3 meter berisiko terjadi di daerah Palu sekitar 10 menit
setelah gempa (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2018a). Pada
hari yang sama, BMKG mengeluarkan sebuah ulasan yang membahas dan
meralat informasi gempa tersebut. Gempa tersebut ternyata memiliki
magnitudo 7.4 dengan OT 17:02:45 WIB, terjadi pada kedalaman 11 km.

1
Bencana tersebut menyebabkan 2.256 korban jiwa, 1.309 laporan orang
hilang, lebih dari 4.600 orang luka berat, lebih dari 36.000 orang luka ringan,
dan lebih dari 223.000 orang mengungsi. (Maulana, 2019).

Beradasarkan peristiwa diatas, penting untuk mengetahui potensi terjadinya


bencana di wilayah Kota Palu agar jika terjadi bencana dimasa yang akan
datang lebih siap dan dapat mengurangi dampak yang terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan:
1.2.1 Apa pengertian bencana?
1.2.2 Bagaimana sejarah potensi bencana Kota Palu?
1.2.3 Apa faktor yang mempengaruhi Kota Palu sebagai wilayah yang
potensi akan bencana?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuat makalah ini, yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari bencana
1.3.2 Untuk mengetahui sejarah potensi bencana di Kota Palu
1.3.3 Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Kota Palu sebagai
wilayah yang potensi akan bencana
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1.4.1 Dapat mengetahui pengertian dari bencana
1.4.2 Dapat mengetahui sejarah potensi bencana di Kota Palu
1.4.3 Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi Kota Palu sebagai
wilayah yang potensi akan bencana

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Bencana


Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang
menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat,
berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan
melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumberdaya yang
ada (Asian Disaster Reduction Center, 2003). Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana No 7 tahun 2015 tentang rambu dan papan
informasi bencana pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana alam adalah suatu kejadian atau peristiwa yang disebabkan oleh
peristiwa alam. Contoh bencana alam yaitu gempabumi, gunung meletus,
tsunami dan lain sebagainya. Bencana non alam adalah bencana yang dapat
disebabkan oleh epidemi, kegagalan teknologi, dan lain sebagainya. Bencana
yang disebabkan oleh manusia antara lain seperti terorisme, konflik sosial
antar kelompok atau komunitas masyarakat, dan lain sebagainya. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa bencana adalah segala sesuatu yang disebabkan oleh
alam dan non alam yang menimbulkan kerugian (korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis) secara
meluas terhadap masyarakat dan alam.

2.2 Sejarah Potensi Bencana di Kota Palu


Palu dan wilayah Sulawesi secara keseluruhan bukanlah wilayah yang sepi
gempa. Beberpa gempa di wilayah ini bahkan pernah membangkitkan
tsunami. Jadi secara tektonik, wilayah ini berada pada zona tektonik aktif yang
mennjadi sumber terjadinya gempa bumi. Keberadaan Sesar Palu Koro
merupakan salah satu bukti keaktifan tektonik di Sulawesi Tengah. Hal ini
ditandai oleh adanya aktifitas gempa bumi yang cukup signifikan.
Berdasarkan katalog USGS tahun 1900-2018 (Gambar 2.1), setidaknya
terdapat lebih dari 15 kejadian gempa dengan magnitude >6,0 di wilayah ini.

3
Gambar 2.1 Distrubusi episenter gempa bumi di Sulawesi tahun 1900-2018
dari katalog USGS: a) untuk magnitude >6,0: dan (b) untuk magnitude > 7,0.

Berdasarkan data Utsu catalogue, ada beberapa kejadian gempa merusak yang
pernah terjaadi di Sulawesi, termasuk Palu dan donggala (Gambar 2.2).
beberapa dari kejadian gempa tersebut telah membangkitkan tsunami,
diantaranya adalah gempa 1848. Pada masa itu belum ada pengukuran
magnitude, akan tetapi katalog utsu memberikan angka 7,0. Gempa ini
memberikan dampak kerusakan yang signifikan dan korban jiwa sebanyak 56
orang. Tsunami yang dibangkitkan melanda Mando, Minahasa, dan Tomohon.
Pada 1 Desember 1972 terjadi gempa di Teluk Palu, tepatnya pada koordinat
0,7º LS dan 119,7 º BT (Prasetya dkk, 2001). Gempa ini diduga akibat adanya
aktivitas Sesar Palu Koro. Gempa dengan magnitude 6,3 ini membangkitkan
tsunami 15 m dan dilaporkan 14 orang meninggal dunia serta 30 orang
mengalami luka-luka.
Mengacu pada katalog Utsu, gempa 1983 adalah gempa yang juga
membangkitkan tsunami. Gempa merusak dengan magnitude 7,9 ini terjadi
pada koordinat 1,0º LS dan 120,0º BT, dan berdekatan dengan Palu dan
Donggala. Guncangan akibat gempa ini terasa di sebagian besar wilayah
Sulawesi dan bagian Timur Kalimantan.

4
Gambar 2.2 Distribusi episenter gempabumi pada masa lampau berdasarkan
data katalog Utsu yang terjadi di Sulawesi (bulatan warna merah). Garis-garis
hitam menunjukkan lokasi sesar.

Kawasan teluk Kota Parigi Moutong di Timur Kota Palu menjadi lokasi yang
paling serius terdampak bencana. Tsunami yang dibangkitkan oleh gempa
1983 melanda wilayah Parigi, merobohkan lebih dari 900 rumah warga dan
mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 16 orang. Beberapa
bangunan dan infrastruktur yang dibangun Belanda pada masa itu rusak,
seperti dermaga dan mercusuar.
Catatan berikutnya sebagaimana terdapat dalam katalog Utsu adalah gempa
yang terjadi pada 14 Agustus 1968. Gempabumi dengan magnitude 7,4 ini
terjadi pada kedalaman 23 km, dan diperkirakan akibat aktivitas Sesar Palu
Koro. Gempa ini juga membangkitkan tsunami setinggi lebih dari 10 meter
dan mengakibatkan korban jiwa sedikitnya 200 orang. Pada tahun 1996,
gempa merusak dengan magnitude 7,6 kembali terjadi dan juga memicu
bangkitnya tsunami. Pada kejadian ini tercatat 10 orang meninggal dunia
akibat gempa dan tsunami yang melanda Minahasa. Berikutnya adalah gempa
yang terjadi pada tahun 2000 dengan magnitude 7,5. Gempa ini juga
membangkitkan tsunami yeng melanda Luwuk, Banggai dan Peleng. Kejadian
gempa dan tsunami pada tahun 2000 ini mengakibatkan korban meninggal
sejumlah 46 orang dan 264 orang mengalami luka-luka.
Pada tanggal 28 september 2018, gempa dan tsunami kembali berulang di Palu
da Donggala. Gempa beruntun yang di awali dnegan gempa magnitude 5,9
pada pukul 14:00 WIB. Berselang sekitar 3 jam, gempa dengan magnitude
yang lebih besar, yaitu 7,5 (data USGS) mengguncang Palu dan Donggala.

5
Goncangan terasa sampai Minahasa, Gorontalo dan Makassar. Berdasarkan
laporan BNPB sampai dengan 7 Oktober 2018, korban meninggal dunia telah
mencapai 1763 orang dan ribuan orang lagi belum ditemukan (Tim Pusat
Studi gempa Nasional, 2018).

2.3 Faktor yang mempengaruhi potensi bencana di Kota Palu


Sulawesi, sebuah pulau di bagian timur Kepulauan Indonesia dengan luas area
sekitar 172.000 km2 (pulau utama) dan 188.000 km2 dengan kepulauan di
sekitarnya, merupakan area yang sangat kompleks secara tektonik.
Kompleksitas tersebut menghasilkan fisiografi yang unik. Van Bemellen
membagi fisiografi Sulawesi ke dalam tujuh zona: North Arm, East Arm,
Banggai Archipelago, Southeast Arm, Buton Archipelago dan Tukang Besi
Island, South Arm, dan Central Besi (Van Bemmelen, 1949). Sulawesi adalah
hasil dari konvergensi aktif tiga lempeng atau triple junction yang
mempertemukan antara Lempeng Eurasia, Pasifik-Filipina, dan IndiaAustralia
(Bellier dkk., 2006; Hall, 2002; Prasetya dkk., 2001; Socquet dkk., 2006).
Sukamto dan Hamilton menyatakan dalam (Hall, 2002) bahwa secara tektonik
Sulawesi dibagi menjadi beberapa bagian: West Sulawesi magmatic arc,
Central Sulawesi Methamorphic Belt, East Sulawesi Ophiolit, dan
microcontinental blocks of Banggai-Sula and Button-Tukang Besi.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti, didapati bahwa
beberapa mikroblok di area Sulawesi telah mengalami rotasi akibat aktivias
lempeng-lempeng yang kompleks tersebut (Hall, 2002; Socquet dkk., 2006).

Gambar 2.3. Tektonik regional Sulawesi. Terjadi subduksi di utara Sulawesi


oleh Lempeng FilipinaPasifik yang menghasilkan North Sulawesi Subduction.
Sesar Palu-Koro bercabang menjadi dua, yaitu Sesar Matano dan Sesar
Lawanopo.

6
Menurut beberapa peneliti (co: Audley-Charles dkk., 1972; Katili, 1978;
Bergman dll) dalam (Hall, 2002) pada Oligosen Akhir-Miosen Awal terdapat
tumbukan antara Blok Sulawesi Barat dan Blok Sulawesi Timur. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya ofiolit dan batuan metamorf ofiolitik yang
mengindikasikan umur yang sama (Hall, 2002). Pada Miosen Awal,
mikrokontinen dari Australia bertumbukan dengan Sulawesi di bagian
tenggara. Pada Miosen Akhir berkembanglah fase ekstensional yang
membentuk beberapa cekungan di area Banda menurut Hall dan Wilson, 2000;
Hall, 2002 dalam (Bellier dkk., 2006). Pada Awal Pliosen terjadi kolisi tahap
akhir antara Sulawesi East Arm dengan blok Baggai-Sula yang menyebabkan
berkembangnya struktur-struktur seperti lipatan, sesar naik, serta uplift di
daerah Sulawesi bagian tengah dan barat ( Hall dan Wilson, 2000; Hall, 2002;
Van Leeuwen dan Muhardjo, 2005; Bergmen dkk., 1996; Polve dkk., 2001
dalam Bellier dkk., 2006). Fase ini juga diperkirakan menjadi tahap awal
pembentukan Sesar Palu-Koro (Polve dkk., 2001 dalam (Bellier dkk., 2006).
Sesar Palu-Koro merupakan salah satu sesar terbesar di Sulawesi dengan
pergerakan sekitar 42 mm/tahun (Socquet dkk., 2006). Sesar ini menerus dari
arah barat laut - tenggara dari Palu hingga Poso dan bercabang menjadi Sesar
Matano dan Sesar Lawanopo (Socquet dkk., 2006). Secara geomorfologi,
kemenerusan Sesar Palu-Koro dimanifestasikan oleh adanya Cekungan Palu
yang dibatasi oleh pegunungan dengan arah relatif barat laut-tenggara
(mendekati utara-selatan) yang membentuk wine glass valley dan triangular
facet pada dasar pegunungan (Tjia dan Zakaria, 1974; Beaudouin, 1998 dalam
Bellier dkk., 2006)). Hal ini membuat daerah Sulawesi Tengah, terutama di
area Sesar Palu-Koro memiliki resiko tinggi terhadap gempa dan bencana-
bencana alam lain yang berhubungan dengan gempa seperti tsunami dan
likuifaksi. Setidaknya 19 gempa bumi yang bersifat merusak telah terjadi
dalam kurun waktu 1910 hingga 2013 (Supartoyo dkk., 2014). Enam gempa
berpotensi tsunami pernah terjadi di Selat Makassar dan beberapa di antaranya
berhubungan dengan Selat Palu-Koro (Socquet dkk., 2019). Palu adalah salah
satu kota yang memiliki resiko kegempaan yang tinggi. Terdapat delapan
kecamatan di Kota Palu: Palu Barat, Palu Timur, Palu Selatan, Palu Utara,
Tatanga, Mantikulore, dan Taweli dan Ulujadi, di mana semua kecamatan
berresiko tinggi gempa dan hanya Kecamatan Ulujadi yang berisiko sedang
(Rusydi dkk., 2018).

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini, yaitu:
1. Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang
menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat,
berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang
ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan
sumberdaya yang ada. Contoh bencana alam yaitu gempabumi, gunung
meletus, tsunami dan lain sebagainya. Bencana non alam adalah bencana
yang dapat disebabkan oleh epidemi, kegagalan teknologi, dan lain
sebagainya.
2. Berdasarkan katalog USGS tahun 1900-2018, setidaknya terdapat lebih
dari 15 kejadian gempa dengan magnitude >6,0 di wilayah ini. Dalam
katalog Utsu adalah gempa yang terjadi pada 14 Agustus 1968.
Gempabumi dengan magnitude 7,4 ini terjadi pada kedalaman 23 km, dan
diperkirakan akibat aktivitas Sesar Palu Koro. Pada tahun 1996, gempa
merusak dengan magnitude 7,6 kembali terjadi dan juga memicu
bangkitnya tsunami. Pada tahun 2000 dengan magnitude 7,5. Pada tanggal
28 september 2018, gempa dengan magnitude 7,4 (data USGS)
mengguncang Palu dan Donggala. Goncangan terasa sampai Minahasa,
Gorontalo dan Makassar. Berdasarkan laporan BNPB sampai dengan 7
Oktober 2018, korban meninggal dunia telah mencapai 1763 orang dan
ribuan orang lagi belum ditemukan (Tim Pusat Studi gempa Nasional,
2018).
3. Di Sulawesi terdapa Sesar Palu Koro, hal ini membuat daerah Sulawesi
Tengah, terutama di area Sesar Palu-Koro memiliki resiko tinggi terhadap
gempa dan bencana-bencana alam lain yang berhubungan dengan gempa
seperti tsunami dan likuifaksi.

3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menjadikan salah satu sumber referensi
mengenai daerah yang berpotensi bencana khusunya di Kota Palu, sehingga
bisa mengurangi resiko dari bencana yang sewaktu-waktu datang.

8
DAFTAR PUSTAKA

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2018a), Press Release NO:


UM.505/9/D3/IX/2018, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2018b), Ulasan Guncangan Tanah
Akibat Gempabumi Utara Donggala Sulteng 28 September 2018, Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Diambil dari
https://www.bmkg.go.id/berita/?p=ulasanguncangan-tanah-akibat-gempabumi-
utaradonggala-sulteng-28-september2018&tag=ulasan-guncangan-
tanah&lang=ID.
Bellier, O., Sébrier, M., Seward, D., Beaudouin, T., Villeneuve, M. dan Putranto,
E. (2006), "Fission Track and Fault Kinematics Analyses for New Insight into the
Late Cenozoic Tectonic Regime Changes in West-Central Sulawesi (Indonesia)",
Tectonophysics, Vol.413, No.3, hal. 201–220.
http://doi.org/10.1016/j.tecto.2005.10.036.
Bock, Y.,drr., 2003, Crustal motion in Indonesia from Global Positioning System
measurements, Journal of Geophysical Research, Vol. 108, No. B8, 2367.
Hall, R. (2002), "Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of SE Asia
and the SW Pacific: Computer-Based Reconstructions, Model and Animations",
Journal of Asian Earth Sciences, Vol.20, No.4, hal. 353–431.
http://doi.org/10.1016/S1367-9120(01)000694
Kaharuddin, M.S., Hutagalung, R. dan Nurhamdan, 2011. Perkembangan
Tektonik dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan
Pulau Sulawesi, Proceeding JCM Makassar 2011, 1-10, Makassar: The 36th
HAGI and 40th IAGI Annual Convention and Exhibition, 26-29 September 2011.
Maulana, Aji Darma. 2019. Analisa Matematis Pada Koreksi Bouguer Dan
Koreksi Medan Data Gravitasi Satelit Topex Dalam Penentuan Kondisi Geologi
Studi Kasus Sesar Palu Koro, Sulawesi Tengah. Jurnal Geosaintek, Vol. 5 No. 3
Tahun 2019. 91-100. p-ISSN: 2460-9072, e-ISSN: 2502-3659
Natawidjaya, D. H. dan Triyoso, W., 2007. The Sumatran Fault Zone – from
Source to Hazard, Journal of Earthquake and Tsunami, Vol. 1, No. 1, 21-47.
Prasetya, G., de Lange, W. dan Healy, T. (2001), "The Makassar Strait
Tsunamigenic Region, Indonesia", Natural Hazards, Vol.24, hal. 295– 307.
http://doi.org/10.1023/A:1012297413280
Rusydi, M., Efendi, R., Sandra dan Rahmawati (2018), "Earthquake Hazard
Analysis Use Vs30 Data In Palu", Journal of Physics: Conference Series, Vol.979,
hal. 012054. http://doi.org/10.1088/17426596/979/1/012054.

9
Socquet, A., Simons, W., Vigny, C., McCaffrey, R., Subarya, C., Sarsito, D.,
Ambrosius, B. dan Spakman, W. (2006), "Microblock Rotations and Fault
Coupling in SE Asia Triple Junction (Sulawesi, Indonesia) from GPS and
Earthquake Slip Vector Data", Journal of Geophysical Research: Solid Earth,
Vol.111, No.B8. http://doi.org/10.1029/2005JB003963.
Supartoyo, S., Sulaiman, C. dan Junaedi, D. (2014), "Kelas Tektonik Sesar Palu
Koro, Sulawesi Tengah", Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol.5, No.2,
hal. 111–128. http://doi.org/10.34126/jlbg.v5i2.68.
Tim Pusat Nasional.2018. Kajian Gempa Palu Provinsi Sulawesi Tengah 28
September 2018 (M7.4). Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perumahan Dan
Permukiman. Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949), The Geology of Indonesia: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagos, Government Printing House, The Hague.

10

Anda mungkin juga menyukai