PENDAHULUAN
Salah satu sesar aktif di Sulawesi adalah sesar Palu Koro yang memanjang
kurang lebih 240 km dari utara (Kota Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk
Bone. Sesar ini merupakan sesar sinistral aktif dengan kecepatan pergeseran
sekitar 25 - 30 mm/tahun. Sesar Palu Koro berhubungan dengan Sesar
Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedangkan di ujung utara melalui
selat Makasar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi
(Kaharuddin drr., 2011). Hal tersebut membuat Indonesia sangat rentan
terhadap bencana gunung api, gempa bumi dan bencana-bencana lain yang
berhubungan dengan kegempaan seperti tsunami dan likuifaksi. Salah satu
bencana gempa bumi yang baru terjadi, berdampak besar, serta menimbulkan
rangkaian bencana selain gempa adalah gempa Palu 2018. Pada Jum’at, 28
September 2018, BMKG mengeluarkan press release yang cukup
mengguncang penduduk Indonesia. Terdeteksi gempa dengan Magnitudo 7.7
pada hari itu, pukul 17:02:44 WIB, berlokasi di 0,18 LS dan 119, 85 BT yang
berjarak sekitar 26 km dari Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah
(Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2018b).
1
Bencana tersebut menyebabkan 2.256 korban jiwa, 1.309 laporan orang
hilang, lebih dari 4.600 orang luka berat, lebih dari 36.000 orang luka ringan,
dan lebih dari 223.000 orang mengungsi. (Maulana, 2019).
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuat makalah ini, yaitu:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari bencana
1.3.2 Untuk mengetahui sejarah potensi bencana di Kota Palu
1.3.3 Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Kota Palu sebagai
wilayah yang potensi akan bencana
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1.4.1 Dapat mengetahui pengertian dari bencana
1.4.2 Dapat mengetahui sejarah potensi bencana di Kota Palu
1.4.3 Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi Kota Palu sebagai
wilayah yang potensi akan bencana
2
BAB II
ISI
3
Gambar 2.1 Distrubusi episenter gempa bumi di Sulawesi tahun 1900-2018
dari katalog USGS: a) untuk magnitude >6,0: dan (b) untuk magnitude > 7,0.
Berdasarkan data Utsu catalogue, ada beberapa kejadian gempa merusak yang
pernah terjaadi di Sulawesi, termasuk Palu dan donggala (Gambar 2.2).
beberapa dari kejadian gempa tersebut telah membangkitkan tsunami,
diantaranya adalah gempa 1848. Pada masa itu belum ada pengukuran
magnitude, akan tetapi katalog utsu memberikan angka 7,0. Gempa ini
memberikan dampak kerusakan yang signifikan dan korban jiwa sebanyak 56
orang. Tsunami yang dibangkitkan melanda Mando, Minahasa, dan Tomohon.
Pada 1 Desember 1972 terjadi gempa di Teluk Palu, tepatnya pada koordinat
0,7º LS dan 119,7 º BT (Prasetya dkk, 2001). Gempa ini diduga akibat adanya
aktivitas Sesar Palu Koro. Gempa dengan magnitude 6,3 ini membangkitkan
tsunami 15 m dan dilaporkan 14 orang meninggal dunia serta 30 orang
mengalami luka-luka.
Mengacu pada katalog Utsu, gempa 1983 adalah gempa yang juga
membangkitkan tsunami. Gempa merusak dengan magnitude 7,9 ini terjadi
pada koordinat 1,0º LS dan 120,0º BT, dan berdekatan dengan Palu dan
Donggala. Guncangan akibat gempa ini terasa di sebagian besar wilayah
Sulawesi dan bagian Timur Kalimantan.
4
Gambar 2.2 Distribusi episenter gempabumi pada masa lampau berdasarkan
data katalog Utsu yang terjadi di Sulawesi (bulatan warna merah). Garis-garis
hitam menunjukkan lokasi sesar.
Kawasan teluk Kota Parigi Moutong di Timur Kota Palu menjadi lokasi yang
paling serius terdampak bencana. Tsunami yang dibangkitkan oleh gempa
1983 melanda wilayah Parigi, merobohkan lebih dari 900 rumah warga dan
mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 16 orang. Beberapa
bangunan dan infrastruktur yang dibangun Belanda pada masa itu rusak,
seperti dermaga dan mercusuar.
Catatan berikutnya sebagaimana terdapat dalam katalog Utsu adalah gempa
yang terjadi pada 14 Agustus 1968. Gempabumi dengan magnitude 7,4 ini
terjadi pada kedalaman 23 km, dan diperkirakan akibat aktivitas Sesar Palu
Koro. Gempa ini juga membangkitkan tsunami setinggi lebih dari 10 meter
dan mengakibatkan korban jiwa sedikitnya 200 orang. Pada tahun 1996,
gempa merusak dengan magnitude 7,6 kembali terjadi dan juga memicu
bangkitnya tsunami. Pada kejadian ini tercatat 10 orang meninggal dunia
akibat gempa dan tsunami yang melanda Minahasa. Berikutnya adalah gempa
yang terjadi pada tahun 2000 dengan magnitude 7,5. Gempa ini juga
membangkitkan tsunami yeng melanda Luwuk, Banggai dan Peleng. Kejadian
gempa dan tsunami pada tahun 2000 ini mengakibatkan korban meninggal
sejumlah 46 orang dan 264 orang mengalami luka-luka.
Pada tanggal 28 september 2018, gempa dan tsunami kembali berulang di Palu
da Donggala. Gempa beruntun yang di awali dnegan gempa magnitude 5,9
pada pukul 14:00 WIB. Berselang sekitar 3 jam, gempa dengan magnitude
yang lebih besar, yaitu 7,5 (data USGS) mengguncang Palu dan Donggala.
5
Goncangan terasa sampai Minahasa, Gorontalo dan Makassar. Berdasarkan
laporan BNPB sampai dengan 7 Oktober 2018, korban meninggal dunia telah
mencapai 1763 orang dan ribuan orang lagi belum ditemukan (Tim Pusat
Studi gempa Nasional, 2018).
6
Menurut beberapa peneliti (co: Audley-Charles dkk., 1972; Katili, 1978;
Bergman dll) dalam (Hall, 2002) pada Oligosen Akhir-Miosen Awal terdapat
tumbukan antara Blok Sulawesi Barat dan Blok Sulawesi Timur. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya ofiolit dan batuan metamorf ofiolitik yang
mengindikasikan umur yang sama (Hall, 2002). Pada Miosen Awal,
mikrokontinen dari Australia bertumbukan dengan Sulawesi di bagian
tenggara. Pada Miosen Akhir berkembanglah fase ekstensional yang
membentuk beberapa cekungan di area Banda menurut Hall dan Wilson, 2000;
Hall, 2002 dalam (Bellier dkk., 2006). Pada Awal Pliosen terjadi kolisi tahap
akhir antara Sulawesi East Arm dengan blok Baggai-Sula yang menyebabkan
berkembangnya struktur-struktur seperti lipatan, sesar naik, serta uplift di
daerah Sulawesi bagian tengah dan barat ( Hall dan Wilson, 2000; Hall, 2002;
Van Leeuwen dan Muhardjo, 2005; Bergmen dkk., 1996; Polve dkk., 2001
dalam Bellier dkk., 2006). Fase ini juga diperkirakan menjadi tahap awal
pembentukan Sesar Palu-Koro (Polve dkk., 2001 dalam (Bellier dkk., 2006).
Sesar Palu-Koro merupakan salah satu sesar terbesar di Sulawesi dengan
pergerakan sekitar 42 mm/tahun (Socquet dkk., 2006). Sesar ini menerus dari
arah barat laut - tenggara dari Palu hingga Poso dan bercabang menjadi Sesar
Matano dan Sesar Lawanopo (Socquet dkk., 2006). Secara geomorfologi,
kemenerusan Sesar Palu-Koro dimanifestasikan oleh adanya Cekungan Palu
yang dibatasi oleh pegunungan dengan arah relatif barat laut-tenggara
(mendekati utara-selatan) yang membentuk wine glass valley dan triangular
facet pada dasar pegunungan (Tjia dan Zakaria, 1974; Beaudouin, 1998 dalam
Bellier dkk., 2006)). Hal ini membuat daerah Sulawesi Tengah, terutama di
area Sesar Palu-Koro memiliki resiko tinggi terhadap gempa dan bencana-
bencana alam lain yang berhubungan dengan gempa seperti tsunami dan
likuifaksi. Setidaknya 19 gempa bumi yang bersifat merusak telah terjadi
dalam kurun waktu 1910 hingga 2013 (Supartoyo dkk., 2014). Enam gempa
berpotensi tsunami pernah terjadi di Selat Makassar dan beberapa di antaranya
berhubungan dengan Selat Palu-Koro (Socquet dkk., 2019). Palu adalah salah
satu kota yang memiliki resiko kegempaan yang tinggi. Terdapat delapan
kecamatan di Kota Palu: Palu Barat, Palu Timur, Palu Selatan, Palu Utara,
Tatanga, Mantikulore, dan Taweli dan Ulujadi, di mana semua kecamatan
berresiko tinggi gempa dan hanya Kecamatan Ulujadi yang berisiko sedang
(Rusydi dkk., 2018).
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini, yaitu:
1. Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang
menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat,
berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang
ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan
sumberdaya yang ada. Contoh bencana alam yaitu gempabumi, gunung
meletus, tsunami dan lain sebagainya. Bencana non alam adalah bencana
yang dapat disebabkan oleh epidemi, kegagalan teknologi, dan lain
sebagainya.
2. Berdasarkan katalog USGS tahun 1900-2018, setidaknya terdapat lebih
dari 15 kejadian gempa dengan magnitude >6,0 di wilayah ini. Dalam
katalog Utsu adalah gempa yang terjadi pada 14 Agustus 1968.
Gempabumi dengan magnitude 7,4 ini terjadi pada kedalaman 23 km, dan
diperkirakan akibat aktivitas Sesar Palu Koro. Pada tahun 1996, gempa
merusak dengan magnitude 7,6 kembali terjadi dan juga memicu
bangkitnya tsunami. Pada tahun 2000 dengan magnitude 7,5. Pada tanggal
28 september 2018, gempa dengan magnitude 7,4 (data USGS)
mengguncang Palu dan Donggala. Goncangan terasa sampai Minahasa,
Gorontalo dan Makassar. Berdasarkan laporan BNPB sampai dengan 7
Oktober 2018, korban meninggal dunia telah mencapai 1763 orang dan
ribuan orang lagi belum ditemukan (Tim Pusat Studi gempa Nasional,
2018).
3. Di Sulawesi terdapa Sesar Palu Koro, hal ini membuat daerah Sulawesi
Tengah, terutama di area Sesar Palu-Koro memiliki resiko tinggi terhadap
gempa dan bencana-bencana alam lain yang berhubungan dengan gempa
seperti tsunami dan likuifaksi.
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menjadikan salah satu sumber referensi
mengenai daerah yang berpotensi bencana khusunya di Kota Palu, sehingga
bisa mengurangi resiko dari bencana yang sewaktu-waktu datang.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
Socquet, A., Simons, W., Vigny, C., McCaffrey, R., Subarya, C., Sarsito, D.,
Ambrosius, B. dan Spakman, W. (2006), "Microblock Rotations and Fault
Coupling in SE Asia Triple Junction (Sulawesi, Indonesia) from GPS and
Earthquake Slip Vector Data", Journal of Geophysical Research: Solid Earth,
Vol.111, No.B8. http://doi.org/10.1029/2005JB003963.
Supartoyo, S., Sulaiman, C. dan Junaedi, D. (2014), "Kelas Tektonik Sesar Palu
Koro, Sulawesi Tengah", Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol.5, No.2,
hal. 111–128. http://doi.org/10.34126/jlbg.v5i2.68.
Tim Pusat Nasional.2018. Kajian Gempa Palu Provinsi Sulawesi Tengah 28
September 2018 (M7.4). Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perumahan Dan
Permukiman. Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949), The Geology of Indonesia: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagos, Government Printing House, The Hague.
10