BENCANA ALAM
OLEH :
FIRLIANA TRIWIDYANTI
NIM 2111016
DOSEN PENGAMPU :
MERINA WIDYASTUTI, S.KEP.,NS., M.KEP
BNPB menyatakan bahwa jumlah korban tewas Merapi mencapai 275 orang, termasuk sang juru
kunci, Mbah Maridjan alias Ki Surakso Hargo yang ditemukan tewas akibat terjangan awan
panas di rumahnya. Peristiwa meletusnya gunung merapi sontak menjadi sorotan media
internasional, di antaranya Inggris, Jerman, Prancis, dan Singapura.
Selain tsunami dan gempa, bencana likuifasi juga terjadi, membuat tanah melarut dan membawa
apa pun yang berada di atasnya untuk mengalir. BBC menyebut bahwa jumlah korban tewas
mencapai 2.045 orang. Sejumlah negara pun mengulurkan bantuan kepada Indonesia, di
antaranya Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru memberikan total bantuan USD20,8
juta dalam bentuk uang maupun barang.
3. Gempa Sumatera Barat (2009)
Pada 30 September 2009, terjadi sebuah peristiwa memilukan di Sumatera Barat. Gempa bumi
berkekuatan 7,6 SR terjadi di lepas pantai 17:16:10 WIB dengan kedalaman 87 km, di sekitar 50
km barat laut kota Padang. Kerusakan terjadi di banyak wilayah, seperti Kabupaten Padang
Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota
Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Kekuatan gempa
bahkan terasa sampai luar Indonesia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Berdasarkan data pemerintah daerah Sumatera Barat, korban jiwa yang ditimbulkan sekitar 1.115
orang tewas, 2.32 terluka, dan 279.000 bangunan mengalami kerusakan. Banyak negara yang
membantu Indonesia atas peristiwa tersebut seperti Australia, China, Uni Eropa, Hongkong,
Jepang Malaysia, Korea Selatan, Qatar, Thailand, Taiwan, Turki, Uni Emirat Arab, dan Amerika
Serikat.
Ledakannya terdengar sampai ke Perth, Australia. Ribuan orang meninggal akibat gelombang
panas, tsunami yang menghancurkan pulau-pulau di sekitar Krakatau, hingga dampak secara
global seperti peningkatan suhu bumi yang mengacaukan cuaca selama bertahun-tahun. Langit di
seluruh dunia menjadi gelap dan terjadi fenomena matahari terbenam yang luar biasa.
Namun, sejak abad ke-15, Gunung Kelud setidaknya telah memakan lebih dari 15.000 jiwa.
Termasuk letusan di tahun 1919 yang merenggut nyawa 5.160 jiwa. Dampak dari meletusnya
Gunung Kelud pada 2014 lalu itu menyita perhatian dunia. Sejumlah media massa internasional
yang menyampaikan berita tersebut terdiri dari Associated Press America, Reuters (Inggris),
ABC News (Australia), dan Xinhua (China).
Kearifan lokal ini menjadi sebuah tatanan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga ikut
andil dalam penanganan bencana. Mitigasi menjadi sebuah pemahaman yang muncul dan
berkembang secara alami di dalam kehidupan masyarakat. Mitigasi bencana merupakan upaya
yang dilakukan untuk tujuan mengurangi dampak dari bencana yang terjadi baik bencana alam,
bencana ulah manusia ataupun gabungan dari keduanya yang terjadi dalam suatu masyarakat
atau negara (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2006). Mitigasi yang dilakukan
dapat berupa mitigasi struktural dan non-struktural (Peraturan Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Nasional No. 4 Tahun 2008). Mitigasi dilakukan untuk dapat mengurangi risiko
bencana, hal ini dilakukan dengan pembangunan fisik, penyadaran, ataupun peningkatan
kemampuan dalam penanganan bencana.
Kearifan lokal juga berperan dalam mitigasi bencana pada masyarakat Rote. Mitigasi yang
digunakan yaitu mitigasi non-struktural. Ketika terjadi gempa bumi, masyarakat akan berteriak
ami nai ia o… (kami ada), berhamburan keluar rumah, dan berkumpul di lapangan yang luas.
Tidak hanya itu, masyarakat juga akan membuat barak untuk orang tua dan anak-anak. Hal ini
merupakan tindakan yang dilakukan masyarakat berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan
dari kejadian gempa bumi sebelumnya (Thene, 2016). Masyarakat tidak menggunakan mitigasi
struktural dalam menghadapi gempa bumi. Tindakan berteriak yang dilakukan masyarakat Rote
Ndao merupakan sistem simbol kearifan lokal mereka.
Masyarakat Baduy Juga menggunakan kearifan lokalnya dalam mitigasi bencana. Dalam
mitigasi bencana pada kearifan lokal masyarakat Baduy terdapat mitigasi bencana non-struktural
dan mitigasi struktural. Mitigasi non-struktural yang dilakukan diantaranya yaitu Tradisi
Perladangan, aturan pembagian zona hutan, aturan dalam pembuatan bangunan, dan Upacara
memuja Dewi Sri. Sedangkan mitigasi struktural yang dilakukan masyarakat Baduy yaitu 1)
Penggunaan peralatan dan tata cara perladangan yang dilakukan masyarakat Baduy; 2)
Keterampilan dalam pembuatan bangunan rumah, jembatan, lumbung; 3) Pelestarian ekosistem
dengan pembagian zona hutan (Suparmini, dkk., 2013). Peranan kearifan lokal dalam mitigasi
bencana oleh masyarakat Baduy termasuk lebih kompleks dikarenakan mencakup kedua macam
mitigasi yang dilakukan.
Menurut Zamroni (2011) menjelaskan bahwa masyarakat Jawa melakukan mitigasi bencana
dalam kehidupannya. Mereka menggunakan kearifan lokal dalam menanggulangi bencana.
Masyarakat pun memiliki filsafat kehidupan yang menekankan aspek harmoni, ketentraman, dan
kenyamanan. Filsafat yang mereka pegang merupakan usaha sinergi untuk pengurangan risiko
bencana. Masyarakat pun melakukan berbagai ritual upacara. Bencana bagi masyarakat Jawa
berarti cerminan ketidakharmonisan manusia dengan alam, manusia melakukan perbuatan yang
sembrono.
Berangkat dari hal tersebut, kearifan lokal menjadi sebuah rujukan dalam upaya-upaya mitigasi
bencana. Dalam hal ini baik mitigasi struktural maupun non-struktural. Masyarakat yang dekat
secara langsung dan berinteraksi lebih lama dengan alam membuat masyarakat memiliki kearifan
lokal tersendiri. Tanda-tanda alam yang terkait dengan bencana tidak bisa diketahui oleh semua
orang (Zamroni, 2011). Namun masyarakat yang tinggal lama dan mengenal lingkungan sebagai
lingkungan nenek moyangnya, maka mereka mengenal bagaimana memperlakukan alam sebagai
tempat kehidupannya.
Kearifan lokal menjadi acuan dalam tingkah laku seseorang dan sekaligus menjadikan kehidupan
penuh dengan keadaban. Tingkah laku sebagai perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari menjadi perhatian khusus. Hal ini dilakukan baik dengan sesama manusia, alam, dan
segala apa pun yang ada di sekitanya. Hal ini memberikan manfaat pelestarian lingkungan
masyarakat, dimana kearifan menjadi tatanan nilai yang teruji dari generasi ke generasi
(Direktorat Kesiapsiagaan, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, 2017). Dalam
kaitannya dengan penanganan bencana, masyarakat memahami mitigasi dengan cara mengamati
gejala alam, hewan, maupun lingkungannya. Dengan pengenalan tersebut kearifan lokal
memberikan peranan dalam memberikan peringatan dini dan dapat berkontribusi dalam
mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan.
Sampai saat ini peresmian upaya mitigasi bencana berbasis kearifan lokal belum diresmikan oleh
pemerintah pusat sebagai mitigasi utama, padahal hal tersebut telah teruji dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Basis kearifan lokal merupakan inovasi penanggulangan bencana berbasis
komunitas (Zamroni, 2011). Strategi ini dilakukan sebagai alternatif untuk mendorong
masyarakat (komunitas sosial) dalam penanggulangan bencana yang ada di sekelilingnya dengan
baik. Bekal yang dibawa masyarakat setempat akan memberikan kesiapan yang lebih untuk
menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungannya ((Direktorat Kesiapsiagaan, Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan, 2017). Pembinaan dari pemerintah terkait kebencanaan yang
disinergikan dengan pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya akan menjadikan
terobosan keberhasilan dalam penanganan kebencanaan di Indonesia secara maksimal.