Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH BENCANA DI INDONESIA

BENCANA ALAM

OLEH :
FIRLIANA TRIWIDYANTI
NIM 2111016

DOSEN PENGAMPU :
MERINA WIDYASTUTI, S.KEP.,NS., M.KEP

PROGRAM S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
TAHUN ANGKATAN 2022/2023
SEJARAH BENCANA DI INDONESIA
1. KEJADIAN BENCANA DI INDONESIA

Berikut ini adalah 10 bencana terbesar di Indonesia yang mengguncang dunia.

1. Letusan Gunung Merapi (1930 dan 2010)


Dikutip dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tercatat sejak tahun
1600-an, Gunung Merapi telah meletus lebih dari 80 kali, dengan interval letusan 4 tahun sekali.
Erupsi terbesarnya terjadi pada tahun 1930. Awan panas menuruni lereng 20 kilometer ke arah
barat, memporak-porandakan 23 desa dan menewaskan 1.369 penduduk. Erupsi lainnya kembali
terjadi 80 tahun kemudian, tepatnya pada 5 November 2010. Debu vulkaniknya tidak hanya
menutupi wilayah Yogyakarta, tapi juga sampai ke sejumlah wilayah di Jawa Barat.

BNPB menyatakan bahwa jumlah korban tewas Merapi mencapai 275 orang, termasuk sang juru
kunci, Mbah Maridjan alias Ki Surakso Hargo yang ditemukan tewas akibat terjangan awan
panas di rumahnya. Peristiwa meletusnya gunung merapi sontak menjadi sorotan media
internasional, di antaranya Inggris, Jerman, Prancis, dan Singapura.

2. Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Palu dan Donggala (2018)


Pada 28 September 2018, warga di wilayah di Sulawesi Tengah Kabupaten Donggala dan Kota
Palu dikejutkan dengan guncangan gempa. Guncangan di Palu sebesar 7,4 SR, dengan
kedalaman 10 km, sementara posisinya berada 27 meter arah timur laut Donggala. Lalu, lima
menit kemudian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan
peringatan tsunami. Namun, gelombang tsunami setinggi enam meter telanjur menyapu Kota
Palu sebelum warga sempat melarikan diri ke daratan tinggi.

Selain tsunami dan gempa, bencana likuifasi juga terjadi, membuat tanah melarut dan membawa
apa pun yang berada di atasnya untuk mengalir. BBC menyebut bahwa jumlah korban tewas
mencapai 2.045 orang. Sejumlah negara pun mengulurkan bantuan kepada Indonesia, di
antaranya Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru memberikan total bantuan USD20,8
juta dalam bentuk uang maupun barang.
3. Gempa Sumatera Barat (2009)
Pada 30 September 2009, terjadi sebuah peristiwa memilukan di Sumatera Barat. Gempa bumi
berkekuatan 7,6 SR terjadi di lepas pantai 17:16:10 WIB dengan kedalaman 87 km, di sekitar 50
km barat laut kota Padang. Kerusakan terjadi di banyak wilayah, seperti Kabupaten Padang
Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota
Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Kekuatan gempa
bahkan terasa sampai luar Indonesia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Berdasarkan data pemerintah daerah Sumatera Barat, korban jiwa yang ditimbulkan sekitar 1.115
orang tewas, 2.32 terluka, dan 279.000 bangunan mengalami kerusakan. Banyak negara yang
membantu Indonesia atas peristiwa tersebut seperti Australia, China, Uni Eropa, Hongkong,
Jepang Malaysia, Korea Selatan, Qatar, Thailand, Taiwan, Turki, Uni Emirat Arab, dan Amerika
Serikat.

4. Letusan Gunung Toba 74.000 Tahun Lalu


Seperti yang diketahui, Danau Toba adalah ikon dari Sumatera Utara dan didapuk menjadi danau
terbesar di Indonesia dengan luas 1.130 kilometer persegi. Namun, dikutip dari situs
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Danau Toba dulunya merupakan supervulcano
dan gunung api yang sudah tidak aktif (Tipe B). Dipercaya sekitar 74.000 lalu, letusan Gunung
Api Toba mampu meluluhlantahkan sebagian besar umat manusia. Letusannya menjadi yang
paling dahsyat yang pernah ada di muka bumi. Hanya 5.000-10.000 orang saja yang mampu
bertahan. Bahkan perubahan iklim global sempat terjadi. Gunung tersebut memuntahkan 2.800
kilometer kubik abu dan menutup atmosfer bumi hingga 6 tahun lamanya, menurunkan suhu
udara.

5. Gempa Yogyakarta (2006)


Pada 27 Mei 2006, tepat di pagi hari pukul 05.53, terjadi gempa bumi berkekuatan 5,9 SR yang
mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya. Orang-orang banyak yang masih dalam kondisi
terlelap, sehingga mereka terjebak di dalam rumah yang roboh. Sebanyak lebih dari 5.800 orang
meninggal dan 20.000 lainnya terluka. Bangunan dan infrastruktur hancur. Bahkan Candi
Prambanan ikut menjadi korban. Diyakini gempa Yogyakarta menjadi gempa terbesar kedua di
Indonesia setelah peristiwa yang menimpa aceh di tahun 2004. Akibat dari peristiwa gempa
2006, Yogyakarta mulai meningkatkan migasi bencana.

Menteri-menteri penanggulangan bencana se-Asia Pasifik mengadakan pertemuan pada tahun


2012 di Yogyakarta untuk memaparkan pelajaran yang bisa diambil dari gempa 2006, dan
Deklarasi Yogya ditetapkan sebagai Dokumen PBB.

6. Tsunami Flores (1992)


Pada 12 Desember 1992, gempa berkekuatan 6,8 skala liter mengguncang Laut Flores. Pusat
gempa terletak di kedalaman laut, 35 km arah barat Kota Maumere, tepatnya pukul 13.29 WITA.
Tidak hanya itu, tsunami setinggi 30 meter juga menerjang selama 15 menit, meluluhlantahkan
rumah yang hancur karena gempa. Wilayah yang terkena dampak tsunami berada di Kabupaten
Sikka, Ende, Ngada, dan Flores Timur. Peristiwa tersebut menewaskan lebih dari 3.000 jiwa, 500
orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 warga terpaksa mengungsi. Tercatat pula 18.000
rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah hancur. Karena saat itu Indonesia belum memiliki ahli
tsunami, maka riset mengenai peristiwa tsunami Flores banyak dilakukan oleh peneliti asal
Jepang.

7. Gempa dan Tsunami Aceh (2004)


Pada 26 Desember 2004 lalu, tepatnya pada pukul 07:58:53 WIB, terjadi sebuah gempa di Banda
Aceh, disusul tsunami besar yang meluluhlantahkan sebagian besar wilayah di Banda Aceh.
Dikutip dari Jurnal “Tsunami Aceh 2004 Sebagai Dasar Penataan Ruang Kota Meulaboh”,
gempa bumi tektonik berpusat di titik 3.316°N, 95.854°E Samudera Hindia dengan kekuatan 9,1
Mw. Gempa tersebut bahkan disebut sebagai gempa terbesar ke-5 yang pernah terjadi dalam
sejarah. Lalu timbul gelombang tsunami setinggi 30 meter. Tidak hanya di Indonesia, ada 15
negara yang terdampak dalam peristiwa ini, namun yang mengakibatkan korban jiwa adalah di
Sri Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia. Menurut data Bank
Dunia, ada 169.000 jiwa korban meninggal dari Indonesia, sementara total keseluruhan korban
mencapai 230.000 jiwa di negara-negara terdampak.

8. Letusan Gunung Krakatau (1883)


Gunung Krakatau berada di tengah antara Pulau Jawa dan Sumatera. Berkat letusan gunung
Krakatau Purba pada 1883, kedua wilayah yang tadinya menyatu tersebut kini terpisah. Letusan
Gunung Krakatu 1883 dipercaya sebagai letusan eksplosif terbesar yang pernah ada sepanjang
catatan sejarah Indonesia. Tepat pada 26 dan 27 Agustus 1883, Krakatau memuntahkan jutaan
ton batu, debu, magma, hingga material vulkanik. Bahkan letusannya mampu menciptakan
gelombang tsunami yang meluluhlantahkan pesisir Lampung dan Banten.

Ledakannya terdengar sampai ke Perth, Australia. Ribuan orang meninggal akibat gelombang
panas, tsunami yang menghancurkan pulau-pulau di sekitar Krakatau, hingga dampak secara
global seperti peningkatan suhu bumi yang mengacaukan cuaca selama bertahun-tahun. Langit di
seluruh dunia menjadi gelap dan terjadi fenomena matahari terbenam yang luar biasa.

9. Letusan Gunung Tambora (1815)


Ledakan Gunung Tambora terjadi April 1815 dan mengukir sebagai salah satu ledakan gunung
terbesar yang berdampak secara global. Puncak letusan eksplosif itu terjadi pada 10 April 1815.
Letusan Tambora berhasil membuat bumi mengalami tahun tanpa musim panas pada 1816,
karena suhu global berkurang antara 0,4–0,7 °C. Volcanic Explosivity Index (VEI) mencetus
bahwa ledakan Gunung Tambora mencapai level 7, yakni 10 kali lebih besar dari Krakatau. Isi
perut gunung berupa material vulkanik, abu, dan batuan cair dimuntahkan, bahkan suara
ledaknnya terdengar sampai Sumatera. Dipercaya bahkan suara ledakannya setara dengan 800
megaton TNT. Bahkan Sir Stamford Raffles sampai menurunkan pasukannya untuk menyelidiki
asal suara tersebut. Akibat peristiwa ini, sebanyak 80.000 orang tewas.

10. Letusan Gunung Kelud (2014)


Gunung Kelud di Jawa Timur meletus setelah sebelumnya naik status menjadi waspada. Letusan
tersebut dianggap menjadi yang terbesar setelah peristiwa pada tahun 1990. Pukul 22.50 WIB,
Gunung Kelud memuntahkan letusan berupa aliran magma, menyebabkan hujan kerikil di
beberapa wilayah Jawa Timur, bahkan gerungannya terdengar sampai Purbalingga. Hujan abu
juga membuat menutup sebagian besar Pulau Jawa dan menghentikan segala aktivitas
masyarakat. Korban tewas akibat letusan tersebut mencapai 4 orang, berdasarkan laporan BNPB.

Namun, sejak abad ke-15, Gunung Kelud setidaknya telah memakan lebih dari 15.000 jiwa.
Termasuk letusan di tahun 1919 yang merenggut nyawa 5.160 jiwa. Dampak dari meletusnya
Gunung Kelud pada 2014 lalu itu menyita perhatian dunia. Sejumlah media massa internasional
yang menyampaikan berita tersebut terdiri dari Associated Press America, Reuters (Inggris),
ABC News (Australia), dan Xinhua (China).

2. PERAN KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal ini menjadi sebuah tatanan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga ikut
andil dalam penanganan bencana. Mitigasi menjadi sebuah pemahaman yang muncul dan
berkembang secara alami di dalam kehidupan masyarakat. Mitigasi bencana merupakan upaya
yang dilakukan untuk tujuan mengurangi dampak dari bencana yang terjadi baik bencana alam,
bencana ulah manusia ataupun gabungan dari keduanya yang terjadi dalam suatu masyarakat
atau negara (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2006). Mitigasi yang dilakukan
dapat berupa mitigasi struktural dan non-struktural (Peraturan Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Nasional No. 4 Tahun 2008). Mitigasi dilakukan untuk dapat mengurangi risiko
bencana, hal ini dilakukan dengan pembangunan fisik, penyadaran, ataupun peningkatan
kemampuan dalam penanganan bencana.

Kearifan lokal juga berperan dalam mitigasi bencana pada masyarakat Rote. Mitigasi yang
digunakan yaitu mitigasi non-struktural. Ketika terjadi gempa bumi, masyarakat akan berteriak
ami nai ia o… (kami ada), berhamburan keluar rumah, dan berkumpul di lapangan yang luas.
Tidak hanya itu, masyarakat juga akan membuat barak untuk orang tua dan anak-anak. Hal ini
merupakan tindakan yang dilakukan masyarakat berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan
dari kejadian gempa bumi sebelumnya (Thene, 2016). Masyarakat tidak menggunakan mitigasi
struktural dalam menghadapi gempa bumi. Tindakan berteriak yang dilakukan masyarakat Rote
Ndao merupakan sistem simbol kearifan lokal mereka.

Masyarakat Baduy Juga menggunakan kearifan lokalnya dalam mitigasi bencana. Dalam
mitigasi bencana pada kearifan lokal masyarakat Baduy terdapat mitigasi bencana non-struktural
dan mitigasi struktural. Mitigasi non-struktural yang dilakukan diantaranya yaitu Tradisi
Perladangan, aturan pembagian zona hutan, aturan dalam pembuatan bangunan, dan Upacara
memuja Dewi Sri. Sedangkan mitigasi struktural yang dilakukan masyarakat Baduy yaitu 1)
Penggunaan peralatan dan tata cara perladangan yang dilakukan masyarakat Baduy; 2)
Keterampilan dalam pembuatan bangunan rumah, jembatan, lumbung; 3) Pelestarian ekosistem
dengan pembagian zona hutan (Suparmini, dkk., 2013). Peranan kearifan lokal dalam mitigasi
bencana oleh masyarakat Baduy termasuk lebih kompleks dikarenakan mencakup kedua macam
mitigasi yang dilakukan.

Menurut Zamroni (2011) menjelaskan bahwa masyarakat Jawa melakukan mitigasi bencana
dalam kehidupannya. Mereka menggunakan kearifan lokal dalam menanggulangi bencana.
Masyarakat pun memiliki filsafat kehidupan yang menekankan aspek harmoni, ketentraman, dan
kenyamanan. Filsafat yang mereka pegang merupakan usaha sinergi untuk pengurangan risiko
bencana. Masyarakat pun melakukan berbagai ritual upacara. Bencana bagi masyarakat Jawa
berarti cerminan ketidakharmonisan manusia dengan alam, manusia melakukan perbuatan yang
sembrono.

Berangkat dari hal tersebut, kearifan lokal menjadi sebuah rujukan dalam upaya-upaya mitigasi
bencana. Dalam hal ini baik mitigasi struktural maupun non-struktural. Masyarakat yang dekat
secara langsung dan berinteraksi lebih lama dengan alam membuat masyarakat memiliki kearifan
lokal tersendiri. Tanda-tanda alam yang terkait dengan bencana tidak bisa diketahui oleh semua
orang (Zamroni, 2011). Namun masyarakat yang tinggal lama dan mengenal lingkungan sebagai
lingkungan nenek moyangnya, maka mereka mengenal bagaimana memperlakukan alam sebagai
tempat kehidupannya.

Kearifan lokal menjadi acuan dalam tingkah laku seseorang dan sekaligus menjadikan kehidupan
penuh dengan keadaban. Tingkah laku sebagai perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari menjadi perhatian khusus. Hal ini dilakukan baik dengan sesama manusia, alam, dan
segala apa pun yang ada di sekitanya. Hal ini memberikan manfaat pelestarian lingkungan
masyarakat, dimana kearifan menjadi tatanan nilai yang teruji dari generasi ke generasi
(Direktorat Kesiapsiagaan, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, 2017). Dalam
kaitannya dengan penanganan bencana, masyarakat memahami mitigasi dengan cara mengamati
gejala alam, hewan, maupun lingkungannya. Dengan pengenalan tersebut kearifan lokal
memberikan peranan dalam memberikan peringatan dini dan dapat berkontribusi dalam
mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan.

Sampai saat ini peresmian upaya mitigasi bencana berbasis kearifan lokal belum diresmikan oleh
pemerintah pusat sebagai mitigasi utama, padahal hal tersebut telah teruji dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Basis kearifan lokal merupakan inovasi penanggulangan bencana berbasis
komunitas (Zamroni, 2011). Strategi ini dilakukan sebagai alternatif untuk mendorong
masyarakat (komunitas sosial) dalam penanggulangan bencana yang ada di sekelilingnya dengan
baik. Bekal yang dibawa masyarakat setempat akan memberikan kesiapan yang lebih untuk
menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungannya ((Direktorat Kesiapsiagaan, Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan, 2017). Pembinaan dari pemerintah terkait kebencanaan yang
disinergikan dengan pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya akan menjadikan
terobosan keberhasilan dalam penanganan kebencanaan di Indonesia secara maksimal.

Anda mungkin juga menyukai