Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA

Disusun Oleh :
Cindi Efrilita
Dosen Pengampu: Aprilina, SST, M.Keb.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Manajemen Bencana di
Indonesia”. Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan dan penulis dalam
penanggulan bencana di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati
menerima saran dan kritik guna penyempurnaan makalah ini.

Lubuklinggau, 28 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….4
1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………..........8
1.3 Manfaat Penulisan…………………………………………………8
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis Bencana………………………………………..9
2.2 Tahapan Bencana………………………………………………….10
2.3 Definisi Bencana…………………………………………………..11
2.4 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana………………12
2.5 Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana…………………………15
2.6 Asas-asas Penanggulangan bencana………………………………17
2.7 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana………………………18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………..21
3.2 Saran………………………………………………………………21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia
berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya
posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko
kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat
tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan
menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Berikut ini adalah 10 bencana terbesar di Indonesia yang mengguncang dunia:

1. Letusan Gunung Merapi (1930 dan 2010)

Dikutip dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya


Mineral, tercatat sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi telah meletus lebih
dari 80 kali, dengan interval letusan 4 tahun sekali. Erupsi terbesarnya
terjadi pada tahun 1930. Awan panas menuruni lereng 20 kilometer ke arah
barat, memporak-porandakan 23 desa dan menewaskan 1.369 penduduk.
Erupsi lainnya kembali terjadi 80 tahun kemudian, tepatnya pada 5
November 2010. Debu vulkaniknya tidak hanya menutupi wilayah
Yogyakarta, tapi juga sampai ke sejumlah wilayah di Jawa Barat.

BNPB menyatakan bahwa jumlah korban tewas Merapi mencapai


275 orang, termasuk sang juru kunci, Mbah Maridjan alias Ki Surakso
Hargo yang ditemukan tewas akibat terjangan awan panas di rumahnya.
Peristiwa meletusnya gunung merapi sontak menjadi sorotan media
internasional, di antaranya Inggris, Jerman, Prancis, dan Singapura.

2. Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Palu dan Donggala (2018)

Pada tanggal 28 September 2018, warga di wilayah di Sulawesi


Tengah Kabupaten Donggala dan Kota Palu dikejutkan dengan guncangan
gempa. Guncangan di Palu sebesar 7,4 SR, dengan kedalaman 10 km,
sementara posisinya berada 27 meter arah timur laut Donggala. Lalu, lima
menit kemudian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

4
mengeluarkan peringatan tsunami. Namun, gelombang tsunami setinggi
enam meter telanjur menyapu Kota Palu sebelum warga sempat melarikan
diri ke daratan tinggi.

Selain tsunami dan gempa, bencana likuifasi juga terjadi, membuat


tanah melarut dan membawa apa pun yang berada di atasnya untuk
mengalir. BBC menyebut bahwa jumlah korban tewas mencapai 2.045
orang. Sejumlah negara pun mengulurkan bantuan kepada Indonesia, di
antaranya Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru memberikan total
bantuan USD20,8 juta dalam bentuk uang maupun barang.

3. Gempa Sumatera Barat (2009)

Pada tanggal 30 September 2009, terjadi sebuah peristiwa


memilukan di Sumatera Barat. Gempa bumi berkekuatan 7,6 SR terjadi di
lepas pantai 17:16:10 WIB dengan kedalaman 87 km, di sekitar 50 km barat
laut kota Padang. Kerusakan terjadi di banyak wilayah, seperti Kabupaten
Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman,
Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan
Kabupaten Pasaman Barat. Kekuatan gempa bahkan terasa sampai luar
Indonesia, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Berdasarkan data pemerintah daerah Sumatera Barat, korban jiwa


yang ditimbulkan sekitar 1.115 orang tewas, 2.32 terluka, dan 279.000
bangunan mengalami kerusakan. Banyak negara yang membantu Indonesia
atas peristiwa tersebut seperti Australia, China, Uni Eropa, Hongkong,
Jepang Malaysia, Korea Selatan, Qatar, Thailand, Taiwan, Turki, Uni
Emirat Arab, dan Amerika Serikat.

4. Letusan Gunung Toba 74.000 Tahun Lalu

Seperti yang diketahui, Danau Toba adalah ikon dari Sumatera Utara
dan didapuk menjadi danau terbesar di Indonesia dengan luas 1.130
kilometer persegi. Namun, dikutip dari situs Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Danau Toba dulunya merupakan supervulcano dan
gunung api yang sudah tidak aktif (Tipe B).

Dipercaya sekitar 74.000 lalu, letusan Gunung Api Toba mampu


meluluhlantahkan sebagian besar umat manusia. Letusannya menjadi yang
paling dahsyat yang pernah ada di muka bumi. Hanya 5.000-10.000 orang
saja yang mampu bertahan. Bahkan perubahan iklim global sempat terjadi.
Gunung tersebut memuntahkan 2.800 kilometer kubik abu dan menutup
atmosfer bumi hingga 6 tahun lamanya, menurunkan suhu udara.

5
5. Gempa Yogyakarta (2006)

Pada tanggal 27 Mei 2006, tepat di pagi hari pukul 05.53, terjadi
gempa bumi berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Yogyakarta dan
sekitarnya. Orang-orang banyak yang masih dalam kondisi terlelap,
sehingga mereka terjebak di dalam rumah yang roboh. Sebanyak lebih dari
5.800 orang meninggal dan 20.000 lainnya terluka. Bangunan dan
infrastruktur hancur. Bahkan Candi Prambanan ikut menjadi korban.
Diyakini gempa Yogyakarta menjadi gempa terbesar kedua di
Indonesia setelah peristiwa yang menimpa aceh di tahun 2004. Akibat dari
peristiwa gempa 2006, Yogyakarta mulai meningkatkan migasi bencana.
Menteri-menteri penanggulangan bencana se-Asia Pasifik mengadakan
pertemuan pada tahun 2012 di Yogyakarta untuk memaparkan pelajaran
yang bisa diambil dari gempa 2006, dan Deklarasi Yogya ditetapkan sebagai
Dokumen PBB.

6. Tsunami Flores (1992)

Pada tanggal 12 Desember 1992, gempa berkekuatan 6,8 skala liter


mengguncang Laut Flores. Pusat gempa terletak di kedalaman laut, 35 km
arah barat Kota Maumere, tepatnya pukul 13.29 WITA. Tidak hanya itu,
tsunami setinggi 30 meter juga menerjang selama 15 menit,
meluluhlantahkan rumah yang hancur karena gempa. Wilayah yang terkena
dampak tsunami berada di Kabupaten Sikka, Ende, Ngada, dan Flores
Timur.
Peristiwa tersebut menewaskan lebih dari 3.000 jiwa, 500 orang
hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 warga terpaksa mengungsi. Tercatat
pula 18.000 rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah hancur. Karena saat
itu Indonesia belum memiliki ahli tsunami, maka riset mengenai peristiwa
tsunami Flores banyak dilakukan oleh peneliti asal Jepang.
7. Gempa dan Tsunami Aceh (2004)

Pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, tepatnya pada pukul 07:58:53


WIB, terjadi sebuah gempa di Banda Aceh, disusul tsunami besar yang
meluluhlantahkan sebagian besar wilayah di Banda Aceh. Dikutip dari
Jurnal “Tsunami Aceh 2004 Sebagai Dasar Penataan Ruang Kota
Meulaboh”, gempa bumi tektonik berpusat di titik 3.316°N, 95.854°E
Samudera Hindia dengan kekuatan 9,1 Mw. Gempa tersebut bahkan disebut
sebagai gempa terbesar ke-5 yang pernah terjadi dalam sejarah. Lalu timbul
gelombang tsunami setinggi 30 meter.
Tidak hanya di Indonesia, ada 15 negara yang terdampak dalam
peristiwa ini, namun yang mengakibatkan korban jiwa adalah di Sri Lanka,
India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia. Menurut
data Bank Dunia, ada 169.000 jiwa korban meninggal dari Indonesia,

6
sementara total keseluruhan korban mencapai 230.000 jiwa di negara-
negara terdampak.
8. Letusan Gunung Krakatau (1883)

Gunung Krakatau berada di tengah antara Pulau Jawa dan Sumatera.


Berkat letusan gunung Krakatau Purba pada 1883, kedua wilayah yang
tadinya menyatu tersebut kini terpisah. Letusan Gunung Krakatu 1883
dipercaya sebagai letusan eksplosif terbesar yang pernah ada sepanjang
catatan sejarah Indonesia. Tepat pada 26 dan 27 Agustus 1883, Krakatau
memuntahkan jutaan ton batu, debu, magma, hingga material vulkanik.
Bahkan letusannya mampu menciptakan gelombang tsunami yang
meluluhlantahkan pesisir Lampung dan Banten.
Ledakannya terdengar sampai ke Perth, Australia. Ribuan orang
meninggal akibat gelombang panas, tsunami yang menghancurkan pulau-
pulau di sekitar Krakatau, hingga dampak secara global seperti peningkatan
suhu bumi yang mengacaukan cuaca selama bertahun-tahun. Langit di
seluruh dunia menjadi gelap dan terjadi fenomena matahari terbenam yang
luar biasa.
9. Letusan Gunung Tambora (1815)

Ledakan Gunung Tambora terjadi April 1815 dan mengukir sebagai


salah satu ledakan gunung terbesar yang berdampak secara global. Puncak
letusan eksplosif itu terjadi pada 10 April 1815. Letusan Tambora berhasil
membuat bumi mengalami tahun tanpa musim panas pada 1816, karena
suhu global berkurang antara 0,4–0,7 °C.
Volcanic Explosivity Index (VEI) mencetus bahwa ledakan Gunung
Tambora mencapai level 7, yakni 10 kali lebih besar dari Krakatau. Isi perut
gunung berupa material vulkanik, abu, dan batuan cair dimuntahkan,
bahkan suara ledaknnya terdengar sampai Sumatera. Dipercaya bahkan
suara ledakannya setara dengan 800 megaton TNT. Bahkan Sir Stamford
Raffles sampai menurunkan pasukannya untuk menyelidiki asal suara
tersebut. Akibat peristiwa ini, sebanyak 80.000 orang tewas.
10. Letusan Gunung Kelud (2014)

Gunung Kelud di Jawa Timur meletus setelah sebelumnya naik


status menjadi waspada. Letusan tersebut dianggap menjadi yang terbesar
setelah peristiwa pada tahun 1990. Pukul 22.50 WIB, Gunung Kelud
memuntahkan letusan berupa aliran magma, menyebabkan hujan kerikil di
beberapa wilayah Jawa Timur, bahkan gerungannya terdengar sampai
Purbalingga. Hujan abu juga membuat menutup sebagian besar Pulau Jawa
dan menghentikan segala aktivitas masyarakat. Korban tewas akibat letusan
tersebut mencapai 4 orang, berdasarkan laporan BNPB.

7
Namun, sejak abad ke-15, Gunung Kelud setidaknya telah memakan
lebih dari 15.000 jiwa. Termasuk letusan di tahun 1919 yang merenggut
nyawa 5.160 jiwa. Dampak dari meletusnya Gunung Kelud pada 2014 lalu
itu menyita perhatian dunia. Sejumlah media massa internasional yang
menyampaikan berita tersebut terdiri dari Associated Press America,
Reuters (Inggris), ABC News (Australia), dan Xinhua (China).

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana dan dapat
menambah wawasan masyarakat secara umum sehingga dapat turut serta dalam
upaya penanggulangan bencana.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal
menajemen bencana.
2. Pembaca dapat menerapkan upaya penanggulangan bencana, terutama
untuk para petugas kesehatan.

BAB II
PEMBAHASAN

8
2.1 Definisi dan Jenis Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi. dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror. Kejadian bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi
dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban
dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan
melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.

2.2 Tahapan Bencana


Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster,
tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap
rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster memegang peran
yang sangat strategis. 6
a. Tahap Pra-Disaster

9
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya
mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact.
Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis
karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap
bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada
petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya
korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan
kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase)
merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana,
manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi
beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan. Tahap serangan
dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang
pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong
korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus yaitu
masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana.
Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah :
korban dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan),
yang sudah ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka
sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah tulang ekstremitas dan tulang
belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan bom atau gunung api atau
ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu ke dua dan
selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan
kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal
higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit,
malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.

10
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti
sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada
tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang
lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya. Kita perlu
melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan
norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan
rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap
kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana.
Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk
membangun kembali Indonesia yang lebih baik, lebih beradab, lebih santun,
lebih cerdas hidupnya lebih memiliki daya saing di dunia internasional.

2.3 Definisi Manajemen Bencana


Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen
bencana (disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.7
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran
paradigma dari pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik
(menyeluruh). Pada pendekatan konvensial bencana itu suatu peristiwa atau
kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus segera
mendapatkan pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal
yang bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response).
Selanjutnya paradigma manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan
pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan dan
mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non-struktural di daerah-daerah
yang rawan terhadap bencana, dan upaya membangun kesiap-siagaan.8
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma
manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang,
diselengkarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference

11
on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam
mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan
lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas
kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu: 7
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan
yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana
serta menerapkan sistem peringatan dini
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangun
kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana
pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

2.4 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana


Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan
tahap pascabencana.9
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu
tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana meliputi :
 perencanaan penanggulangan bencana;
 pengurangan risiko bencana;
 pencegahan;

12
 pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
 persyaratan analisis risiko bencana;
 pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
 pendidikan dan pelatihan; dan
 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
 Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna.5
 Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat
tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang5 .
 Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. 5
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan
multi stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi
koordinasi.

2. Tahap Tanggap Darurat


Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan, pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.5

13
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:9,5
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana,
jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap
fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber
daya alam maupun buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status darurat
bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukan
dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat
bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan
penyelamatan korban, pertolongan darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan kebutuhan
air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian.
e. perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan memberikan
prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan
yang dimaksud terdiri atas bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang
mengandung atau menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu
fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi
disebut fase penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase
sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang

14
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.5
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana,
baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial
dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pascabencana.5

2.5 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana


Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU
No. 24 tahun 2007, yaitu: 5
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat
dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa
apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip
koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan
“prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada
kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip
berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah

15
bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan
“prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik
dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi”
adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa
dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana.

2.6 Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana


Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007
berasaskan: 5
1. kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”
termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga undang-
undang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus

16
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud
dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan
“asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan
sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang
dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas
ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan
dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah
bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan
secara gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas kelestarian
lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk
generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi
kepentingan bangsa dan negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu
pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan

17
bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi
bencana, maupun pada tahap pascabencana

2.7 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana


Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan dampak bencana, terutama dalam penanganan korban trauma
baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat
membantu untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke
rumah sakit yang memadai.11
Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan
penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa
menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting, karena
itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal
sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip
ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life
Support.11
Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan
perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan.
Paling sering terjadi di ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadi
dalam pengaturan perawatan kesehatan di tempat lain di mana pasien
diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang untuk
memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis
dan fasilitas yang terbatas.10
Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses
triage meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana
kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang
tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena
status triage pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag

18
(triage Tagging System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple
Triage and Rapid Transportasi)
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok
korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak
mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera
atau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu
metode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita
menjadi 4 kategori :
1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang
kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status
mental
2. Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang
mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas
atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga
sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan
sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera
yang mematikan.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas
korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan
dijelaskan sebagai :

19
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal,
cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat,
luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura
mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka
bakar ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan
dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas serta gawat darurat psikologis).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan
manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana.
Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di
mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.

20
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan
bencana menggunakan prinsip triage.

3.2 Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban pemerintah
atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari
masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut
berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://nasional.okezone.com/read/2022/04/06/337/2574354/10-bencana-
alam-terbesar-di-indonesia-pernah-tewaskan-sebagian-besar-penduduk-
bumi. Diakses tanggal 28 November 2023.
2. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan
Presiden RI
3. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007. Pengenalan
Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di Indonesia. (2th ed).
Jakarta: Direktorat Mitigasi.
4. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta: BNPB

21
5. Adi, IGST Agung Krisnando.Konsep Dasar Manajemen Bencana.
https://www.academia.edu/36574695/MAKALAH_KONSEP_DASAR_M
ANAJEMEN_BENCANA diakses tanggal 28 November 2023.

22

Anda mungkin juga menyukai