Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SEJARAH GEMPA PALU 28 SEPTEMBER 2018

Disusun Oleh :

KELOMPOK III

Dosen Pengampu : Rudianto Surbakti, ST., M.T

PRODI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2022
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.....................................................................................................................Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat............................................................................................................................
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Umum
2.2. Penyebab Alami Gempa
2.3. Jenis-jenis Patahan Penyebab Gempa
2.4. Kelompok Gempa
2.5. Teori Lempeng Tektonik
2.6. Jenis-Jenis Lempeng
2.7. Penggerak Pergerakan Lempeng
BAB III
PEMBAHASAN
2.1. Penyebab Gempa Palu
2.2. Bencana Pengiring
2.3. Kerusakan Akibat Gempa
2.4. Dampak dan korban Akibat Gempa
2.5. Kejadian Sekitar Gempa
2.6. Kerugian Ekonomi
2.7. Penanganan Konstruksi Pasca Bencana
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Anggota Kelompok dan Pembagian Tugas

NO. NAMA TUGAS

1. Meiman Berkat Jaya Giawa (198110071) Penyusun Materi

2. Pramudia Bagaskara (198110065) Pelengkap Materi

3. Martin Luther Hura (198110126) Pelengkap Materi

4. Reynaldi Pardosi (198110061) Pelengkap Materi

5. Yosdani Sihombing Syahputra (198110091) Pelengkap Materi

6. Muhammad Ikhsan Priyanitama (198110074) Editor


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018 adalah peristiwa gempa bumi berkekuatan 7,4


Magnitudo. Di ikuti dengan tsunami yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi, Indonesia
bagian utara pada tanggal 28 September 2018, pukul 18.02 WITA. Pusat gempa berada di
26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu, dengan kedalaman 10 km. Guncangan
gempa bumi dirasakan di Kabupaten Donggala, Kota Palu, Kabupaten Parigi
Moutong, Kabupaten Sigi, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Mamuju bahkan
hingga Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kota Makassar. Gempa memicu tsunami hingga
ketinggian 5 meter di Kota Palu.
Kota Palu yang merupakan pusat pemerintahan dan jantung prekonomian provinsi
Sulawesi Tengah, yang ikut terkena dampak bencana gempa yang mengakibatkan Tsunami
pada tanggal 28 September 2018 lalu. tercatat 1.636 jiwa meninggal akibat pristiwa tersebut
(Kompas.com, Ihsanuddin, 2018), dan menurut data citra satelit yang di dapat dari
International Disaster Charter kerusakan bangunan yang terjadi di kota palu akibat gempa dan
Tsunami tersebut mencapai 2.403 bangunan. Ini menyebabkan kelumpuhan kota palu dari
berbagai aspek, tercata sekitar 70.000 jiwa di tampung di pengungsian. Menurut peta gempa
Indonesia tahun 2010, kota palu masuk ke jajaran kota yang memiliki potensi gempa sangat
tinggi (BNPB, Palu, 2018).
Bumi sebagai tempat berpijak mahkluk hidup memiliki banyak komplekifitas dalam
pergerakannya. dengan pergerakan lempeng tektonik menjadikan permukaan bumi memiliki
berbagai macam sumber daya alam maupun resiko bencana yang akan terjadi di kemudian hari.
Gempabumi merupakan salah satu dampak negatif dari peroses pergerakan lempeng tersebut,
daerah pertemuan lempeng ini menjadikan kawasan tersebut menjadi daerah rawan akan
bencana Gempabumi. Pada dasarnya Gempabumi terjadi karena deretan pergerakan atau
getaran yang terjadi pada lapisan kulit bumi yang bersifat sementara kemudian menyebar ke
segala arah (Howel, 1969).
Di sisi lain Indonesia merupakan jalur dari lempeng bumi, yaitu Lempeng Indo-Australia di
sisi selatan yang bergerak ke utara dengan kecepatan 6-7cm/tahun menumbuk Lempeng
Eurasia yang stabil sepanjang Palung Sunda. Dari sisi timur, Lempeng Pasifik menumbuk
kawasan timur Indonesia sepanjang Palung New Guinea-Pasifik dengan kecepatan sampai
11cm/tahun.
Dalam satu dekade ini Indonesia sendiri banyak mengalami pristiwa gempa seperti pada
tabel di bawah tercatat 23 kali peristiwa gempa, yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit,
dan menghanjurkan infrastruktur di berbagai daerah yang di landa tersebut. Dalam pristiwa ini
tercatat sudah memakan 142.181 jiwa serta sekitar 37.000 dinyatakan hilang (bnpb.go.id,
pemutahiran sumber dan peta gempa, 2017).
Dari penjabaran di atas, kota Palu perlu perhatian khusus dalam merekontruksi kegitan
kotanya pasca gempa dan tsunami 28 September 2018. Melihat dari sisi kerusakan dan kondisi
alam kota Palu, cara bermukim konvensional di rasa kurang menjadi pilihan efektif.
Perencanaan area bermukim penduduk kota Palu sendri perlu perencanaan yang matang, guna
mengantisipasi bencana kedepannya serta menjadi penangulanngan bermukim pasca gempa
tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yaitu :
a. Apa yang dimaksud dengan Gempa bumi?
b. Apa penyebab terjadinya gempa bumi yang terjadi di Palu?
c. Apa saja bencana pengiring yang terjadi?
d. Apa dampak setelah terjadinya gempa bumi?
e. Berapa kerusakan ekonomi yang ditimbulkan?
f. Bagaimana penanganan konstruksi pasca bencana?

1.3. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dari makalah ini adalah ingin mengupas sejarah maupun faktor-faktor yang terjadi
akibat gempa bumi yang terjadi di Palu.

1.4. Manfaat
Manfaat dari makala ini adalah
a. Mampu menambah pengetahuan dan memberikan penjelasan tentang gempa bumi yang
terjadi di Palu.
b. Dapat dijadikan sebagai sumber referensi agar lebih dapat mendalami tentang gempa
yang terjadi di Palu
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Umum
Gempa bumi (earthquake) adalah getaran yang terasa dari permukaan bumi, cukup kuat
untuk menghancurkan bangunan utama dan membunuh ribuan orang. Tingkat kekuatan getaran
berkisar dari tidak dirasakan hingga cukup kuat untuk melemparkan orang di sekitar. Gempa
bumi merupakan hasil dari pelepasan tibatiba energi dalam kerak bumi yang menciptakan
gelombang seismik. Kegempaan, seismism atau aktivitas seismik pada suatu daerah mengacu
pada frekuensi, jenis dan ukuran gempa bumi yang terjadi selama periode waktu tertentu.
Ketika episentrum gempa besar terletak di lepas pantai, dasar laut akan tergerus dan cukup
untuk menimbulkan tsunami. Gempa bumi juga bisa memicu tanah longsor, dan aktivitas
vulkanik sesekali. Gempa bumi diukur dengan menggunakan alat dari seismometer. Moment
magnitude adalah skala yang paling umum di mana gempa bumi dengan magnitude sekitar
(skala) 5 dilaporkan untuk seluruh dunia. Sedangkan banyaknya gempa bumi kecil kurang dari
5 magnitude dilaporkan oleh observatorium seismologi nasional diukur sebagian besar pada
skala magnitude lokal, atau disebut juga sebagai Skala Richter. Kedua ukuran itu sebenarnya
sama selama rentang pengukurannya valid. Besaran gempa dengan skala 3 magnitude atau
kurang kebanyakan sering tidak dapat dirasakan dipermukaan atau disebut lemah. Namun jika
besaran magnitude dengan skala 7 atau lebih besar akan berpotensi menyebabkan kerusakan
serius disebuah daerah, tergantung pada kedalaman mereka. Gempa bumi terbesar yang terjadi
pada dekade ini dengan skala lebih dari 9 magnitude atau lebih adalah terjadi di Jepang pada
tahun 2011 (semenjak tulisan ini dibuat), dan itu adalah gempa Jepang terbesar sejak
pencatatan dimulai. Intensitas getaran diukur pada skala Mercalli yang dimodifikasi. Karena
merupakan gempa dangkal sehingga gempa tersebut menyebabkan semua struktur bangunan
rata dengan tanah.

2.2. Penyebab Alami Gempa


Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh
tekanan yang disebabkan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian
membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan
lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gempa tektonik
terjadi di mana saja di bumi di mana ada energi yang tersimpan regangan elastis yang cukup
untuk mendorong perambatan fraktur disepanjang bidang patahan (seperti gelang karet yang
ditarik kemudian dilepas tiba-tiba). Sisi patahan bergerak melewati satu sama lain dengan
lancar dan secara seismik hanya jika tidak ada penyimpangan atau asperities (tingkat kekasaran
permukaan lempeng di zona subduksi) sepanjang permukaan patahan yang meningkatkan
hambatan gesek. Kebanyakan permukaan patahan memiliki asperities tersebut dan ini
mengarah ke bentuk stick-slip behaviour. Kadangkala ketika patahan terkunci, dan terus terjadi
gerakan relatif antara lempeng akan menyebabkan meningkatnya tekanan dan karenanya energi
regangan tersimpan dalam sekitar permukaan patahan. Ini terus berlanjut sampai tekanan telah
meningkat cukup untuk menerobos asperity, kemudian secara tiba-tiba memungkinkan
meluncur di atas bagian yang terkunci dari patahan, dan melepaskan energi yang tersimpan
(Ohnaka, 2013).
Energi ini dilepaskan sebagai kombinasi dari radiasi gelombang seismik regangan
(elastis), panas dari gesekan permukaan patahan, dan retakan dari batuan, sehingga
menyebabkan gempa bumi (Ohnaka, 2013). Proses bertahap build-up dari tegangan dan
tekanan yang diselingi oleh sesekali kegagalan gempa secara tiba-tiba disebut sebagai teori
elastic-rebound. Diperkirakan bahwa hanya 10 persen atau kurang dari total energi gempa yang
dipancarkan sebagai energi seismik. Sebagian besar energi yang digunakan untuk daya gempa
perkembangan fraktur gempa atau hasil dari panas yang dihasilkan oleh gesekan. Oleh karena
itu, gempa bumi skala tersedia dari bumi yang merupkan energi potensial bumi dan kenaikan
suhu, meskipun perubahan ini diabaikan dibandingkan dengan arus konduktif dan konvektif
alur panas yang keluar dari interior yang dalam bumi (Spence, Sipkin, & Choy, 1989).
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung api.
Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa
gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di
balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) dapat terjadi
karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam Bumi (contoh. pada beberapa pembangkit
listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal). Terakhir, gempa juga dapat terjadi
dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia
senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti
ini dinamakan juga seismisitas terinduksi.

2.3. Jenis-Jenis Patahan Gempa


Ada tiga jenis patahan, yang semuanya dapat menyebabkan interplate gempa (merupakan
gempa yang terjadi dibatas dua lempeng) yaitu: normal, reverse (thrust) dan strike-slip. Patahan
normal dan reverse adalah contoh dip-slip (patahan menukik), di mana perpindahan sepanjang
patahan dalam arah dip dan gerakan pada mereka melibatkan komponen vertikal. Sesar normal
terjadi terutama di daerah di mana kerak sedang diperluas seperti batas divergen. Sedangkan
Thrust patahan terjadi di daerah di mana kerak sedang dipersingkat seperti di batas konvergen.
Patahan Strike-slip adalah struktur curam di mana kedua belah pihak dari patahan menyelinap
horizontal melewati satu sama lain. Banyak gempa bumi disebabkan oleh gerakan pada
patahan yang memiliki komponen baik dip-slip (normal dan thrust) dan strike-slip; ini dikenal
sebagai oblique-slip.
Patahan reverse, terutama yang terjadi di sepanjang batas lempeng konvergen merupakan
gempa bumi paling kuat, gempa megathrust, termasuk hampir semua memiliki kekuatan
magnitude 8 atau lebih. Patahan Strike-slip, khususnya transformasi benua, dapat
menghasilkan gempa bumi besar sampai sekitar 8 magnitude. Gempa bumi yang berhubungan
dengan patahan normal umumnya memilik kekuatan kurang dari 7 magnitude. Untuk setiap
kenaikan unit besarnya, ada peningkatan yang tiga puluh kali energi (berbeda dengan
perbandingan kekuatan) yang dilepaskan. Misalnya, gempa bumi berkekuatan 6 rilis sekitar 30
kali lebih banyak energi daripada gempa berkekuatan 5 dan gempa bumi berkekuatan 7
melepaskan 900 kali (30 × 30) lebih banyak energi daripada 5 magnitude gempa. Sebuah
gempa berkekuatan 8,6 melepaskan jumlah energi yang sama seperti 10.000 bom atom seperti
yang digunakan pada Perang Dunia II (USGSb , 2015).

2.4. Kelompok Gempa


Kebanyakan gempa bumi merupakan bagian dari urutan, berhubungan satu sama lain dalam
hal lokasi dan waktu. Sebagian besar kelompok gempa terdiri dari tremor kecil yang
menyebabkan sedikit atau tidak ada kerusakan, tapi ada teori bahwa gempa bumi dapat kambuh
dalam pola yang teratur (USGSa , 2015).
a. Aftershock (Gempa Susulan)
Aftershock adalah gempa yang terjadi setelah gempa sebelumnya (mainshock). Gempa
susulan berada di kawasan yang sama dari shock utama tetapi magnitudenya selalu lebih
kecil. Jika gempa susulan lebih besar dari shock utama, gempa susulan yang kembali
sebagai shock utama dikenal dengan istilah foreshock. Gempa susulan terbentuk karena
kerak bumi di sekitar bidang patahan tergusur menyesuaikan dengan efek shock utama
(USGSc , 2015).
b. Kawanan (Swarms)
Gempa Kawanan gempa adalah rangkaian gempa bumi menyerang di kawasan tertentu
dalam waktu singkat. Mereka berbeda dari gempa bumi diikuti dengan rangkaian gempa
susulan dengan kenyataan bahwa ada gempa tunggal dalam urutan jelas shock utama,
karena itu tak satu pun memiliki magnitude yang lebih tinggi (yang tercatat) dari yang lain.
c. Badai (Strom)
Gempa Kadang-kadang serangkaian gempa bumi terjadi dalam semacam badai gempa, di
mana gempa bumi menyerang patahan dalam kelompok, masing-masing dipicu oleh
tekanan atau tegangan disebarkan ulang gempa sebelumnya. Mirip dengan aftershock
namun segmen terjadinya berdekatan dari patahan, badai ini terjadi selama bertahun-tahun,
dan dengan beberapa gempa bumi susulan sama daya rusaknya seperti gempa awalnya.
Pola seperti diamati pada sekitar selusin gempa yang melanda Utara Anatolia Patahan di
Turki pada abad ke-20 dan telah disimpulkan untuk cluster anomali yang lebih tua dari
gempa bumi besar di Timur Tengah (Amos & Cline, 2000).

2.5. Lempeng Tektonik


Teori tektonika Lempeng (Plate Tectonics) adalah teori dalam bidang geologi yang
dikembangkan untuk memberi penjelasan terhadap adanya buktibukti pergerakan skala besar
yang dilakukan oleh litosfer bumi. Teori ini telah mencakup dan juga menggantikan Teori
Pergeseran Benua yang lebih dahulu dikemukakan pada awal-awal pertama abad ke-20 dan
konsep seafloor spreading yang dikembangkan pada tahun 1960-an (Read & Janet, 1975).
Bagian terluar dari interior bumi terbentuk dari dua lapisan. Di bagian atas terdapat
litosfer yang terdiri atas kerak dan bagian teratas mantel bumi yang kaku dan padat. Di bawah
lapisan litosfer terdapat astenosfer yang berbentuk padat tetapi bisa mengalir seperti cairan
dengan sangat lambat dan dalam skala waktu geologis yang sangat lama karena viskositas dan
kekuatan geser (shear strength) yang rendah. Lebih dalam lagi, bagian mantel di bawah
astenosfer sifatnya menjadi lebih kaku lagi. Penyebabnya bukanlah suhu yang lebih dingin,
melainkan tekanan yang tinggi (Read & Janet, 1975).
Lapisan litosfer dibagi menjadi lempeng-lempeng tektonik (tectonic plates). Di bumi,
terdapat tujuh lempeng utama dan banyak lempeng-lempeng yang lebih kecil. Lempeng-
lempeng litosfer ini menumpang di atas astenosfer. Mereka bergerak relatif satu dengan yang
lainnya di batas-batas lempeng, baik divergen (menjauh), konvergen (bertumbukan), ataupun
transform (menyamping). Gempa bumi, aktivitas vulkanik, pembentukan gunung, dan
pembentukan palung samudera semuanya umumnya terjadi di daerah sepanjang batas lempeng.
Pergerakan lateral lempeng lazimnya berkecepatan 50–100 mm/a (Read & Janet, 1975).

2.6. Teori Lempeng Tektonik


Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, geolog berasumsi bahwa kenampakan-
kenampakan utama bumi berkedudukan tetap. Kebanyakan kenampakan geologis seperti
pegunungan bisa dijelaskan dengan pergerakan vertikal kerak seperti dijelaskan dalam teori
geosinklin. Sejak tahun 1596, telah diamati bahwa pantai Samudera Atlantik yang berhadap-
hadapan antara benua Afrika dan Eropa dengan Amerika Utara dan Amerika Selatan memiliki
kemiripan bentuk dan nampaknya pernah menjadi satu. Ketepatan ini akan semakin jelas jika
kita melihat tepi-tepi dari paparan benua di sana (Kious & Tilling, 2008). Sejak saat itu banyak
teori telah dikemukakan untuk menjelaskan hal ini, tetapi semuanya menemui jalan buntu
karena asumsi bahwa bumi adalah sepenuhnya padat menyulitkan penemuan penjelasan yang
sesuai (Henry, 1978).
Penemuan radium dan sifat-sifat pemanasnya pada tahun 1896 mendorong pengkajian ulang
umur bumi (Joly, 1909), karena sebelumnya perkiraan didapatkan dari laju pendinginannya dan
dengan asumsi permukaan bumi beradiasi seperti benda hitam (Thomson, 1863). Dari
perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahkan jika pada awalnya bumi adalah sebuah
benda yang merah-pijar, suhu bumi akan menurun menjadi seperti sekarang dalam beberapa
puluh juta tahun. Dengan adanya sumber panas yang baru ditemukan ini maka para ilmuwan
menganggap masuk akal bahwa bumi sebenarnya jauh lebih tua dan intinya masih cukup panas
untuk berada dalam keadaan cair.
Teori Tektonik Lempeng berasal dari Hipotesis Pergeseran Benua (continental drift) yang
dikemukakan Alfred Wegener tahun 1912 dan dikembangkan lagi dalam bukunya The Origin
of Continents and Oceans terbitan tahun 1915. Alfred mengemukakan bahwa benua-benua
yang sekarang ada dulu adalah satu bentang muka yang bergerak menjauh sehingga
melepaskan benuabenua tersebut dari inti bumi seperti 'bongkahan es' dari granit yang
bermassa jenis rendah yang mengambang di atas lautan basal yang lebih padat (Wegener,
1966). Namun, tanpa adanya bukti terperinci dan perhitungan gaya-gaya yang dilibatkan, teori
ini dipinggirkan. Mungkin saja bumi memiliki kerak yang padat dan inti yang cair, tetapi
tampaknya tetap saja tidak mungkin bahwa bagian-bagian kerak tersebut dapat bergerak-gerak.
Di kemudian hari, dibuktikanlah teori yang dikemukakan geolog Inggris Arthur Holmes tahun
1920 bahwa tautan bagian-bagian kerak ini kemungkinan ada di bawah laut. Terbukti juga
teorinya bahwa arus konveksi di dalam mantel bumi adalah kekuatan penggeraknya (Henry,
1978) (Arthur, 1928) (Arthur, 1978).
Bukti pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami pergerakan didapatkan dari
penemuan perbedaan arah medan magnet dalam batuan-batuan yang berbeda usianya.
Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada sebuah simposium di Tasmania tahun 1956. Mula-
mula, penemuan ini dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi, namun selanjutnya justeru lebih
mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang menjelaskan pemekaran (spreading)
sebagai konsequencesi pergerakan vertikal (upwelling) batuan, tetapi menghindarkan
keharusan adanya bumi yang ukurannya terus membesar atau berekspansi (expanding earth)
dengan memasukkan zona subduksi/hunjaman (subduction zone), dan patahan/sesar translasi
(translation fault). Pada waktu itulah teori tektonik lempeng berubah dari sebuah teori yang
radikal menjadi teori yang umum dipakai dan kemudian diterima secara luas di kalangan
ilmuwan. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara seafloor spreading dan balikan medan
magnet bumi (geomagnetic reversal) oleh geolog Harry Hammond Hess dan oseanograf Ron
G. Mason (Mason & Raff, 1961) (Ben, 1995) (Freed & William, 2003) menunjukkan dengan
tepat mekanisme yang menjelaskan pergerakan vertikal batuan yang baru.
Seiring dengan diterimanya anomali magnetik bumi yang ditunjukkan dengan lajur-lajur
sejajar yang simetris dengan magnetisasi yang sama di dasar laut pada kedua sisi mid-oceanic
ridge, tektonik lempeng menjadi diterima secara luas. Kemajuan pesat dalam teknik pencitraan
seismik mula-mula di dalam dan sekitar zona Wadati-Benioff dan beragam observasi geologis
lainnya tak lama kemudian mengukuhkan tektonik lempeng sebagai teori yang memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam segi penjelasan dan prediksi.
Penelitian tentang dasar laut dalam, sebuah cabang geologi kelautan yang berkembang pesat
pada tahun 1960-an memegang peranan penting dalam pengembangan teori ini. Sejalan dengan
itu, teori tektonik lempeng juga dikembangkan pada akhir 1960-an dan telah diterima secara
cukup universal di semua disiplin ilmu, sekaligus juga membaharui dunia ilmu bumi dengan
memberi penjelasan bagi berbagai macam fenomena geologis dan juga implikasinya di dalam
bidang lain seperti paleogeografi dan paleobiologi.

2.7. Jenis-jenis Lempeng


Ada tiga jenis batas lempeng yang berbeda dari cara lempengan tersebut bergerak relatif
terhadap satu sama lain. Tiga jenis ini masing-masing berhubungan dengan fenomena yang
berbeda di permukaan. Tiga jenis batas lempeng tersebut adalah:
a. Batas transform (transform boundaries)
terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping
di sepanjang sesar transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral
(ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun dekstral (ke kanan di sisi yang
berlawanan dengan pengamat). Contoh sesar jenis ini adalah Sesar San Andreas di
California.
b. Batas divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries)
terjadi ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona
retakan (rifting) yang aktif adalah contoh batas divergen.
c. Batas konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries)
terjadi jika dua lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona
subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau tabrakan benua
(continental collision) jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang
dalam biasanya berada di zona subduksi, di mana potongan lempeng yang terhunjam
mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga kandungan air ini
dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan menyebabkan pencairan
sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini dapat kita lihat di Pegunungan
Andes di Amerika Selatan dan busur pulau Jepang (Japanese island arc).

2.8. Pengerak Pergerakan


Lempeng Pergerakan lempeng tektonik bisa terjadi karena kepadatan relatif litosfer
samudera dan karakter astenosfer yang relatif lemah. Pelepasan panas dari mantel telah
didapati sebagai sumber asli dari energi yang menggerakkan lempeng tektonik. Pandangan
yang disetujui sekarang, meskipun masih cukup diperdebatkan, adalah bahwa kelebihan
kepadatan litosfer samudera yang membuatnya menyusup ke bawah di zona subduksi adalah
sumber terkuat pergerakan lempengan. Pada waktu pembentukannya di mid ocean ridge,
litosfer samudera pada mulanya memiliki kepadatan yang lebih rendah dari astenosfer di
sekitarnya, tetapi kepadatan ini meningkat seiring dengan penuaan karena terjadinya
pendinginan dan penebalan. Besarnya kepadatan litosfer yang lama relatif terhadap astenosfer
di bawahnya memungkinkan terjadinya penyusupan ke mantel yang dalam di zona subduksi
sehingga menjadi sumber sebagian besar kekuatan penggerak-pergerakan lempengan.
Kelemahan astenosfer memungkinkan lempengan untuk bergerak secara mudah menuju ke
arah zona subduksi. Meskipun subduksi dipercaya sebagai kekuatan terkuat penggerak-
pergerakan lempengan, masih ada gaya penggerak lain yang dibuktikan dengan adanya
lempengan seperti lempengan Amerika Utara, juga lempengan Eurasia yang bergerak tetapi
tidak mengalami subduksi di manapun. Sumber penggerak ini masih menjadi topik penelitian
intensif dan diskusi di kalangan ilmuwan ilmu bumi. Pencitraan dua dan tiga dimensi interior
bumi (tomografi seismik) menunjukkan adanya distribusi kepadatan yang heterogen secara
lateral di seluruh mantel. Variasi dalam kepadatan ini bisa bersifat material (dari kimia batuan),
mineral (dari variasi struktur mineral), atau termal (melalui ekspansi dan kontraksi termal dari
energi panas). Manifestasi dari keheterogenan kepadatan secara lateral adalah konveksi mantel
dari gaya apung (buoyancy forces) (Toshiro & Thorne, 2000). Bagaimana konveksi mantel
berhubungan secara langsung dan tidak dengan pergerakan planet masih menjadi bidang yang
sedang dipelajari dan dibincangkan dalam geodinamika. Dengan satu atau lain cara, energi ini
harus dipindahkan ke litosfer supaya lempeng tektonik bisa bergerak. Ada dua jenis gaya yang
utama dalam pengaruhnya ke pergerakan planet, yaitu friksi dan gravitasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Penyebab Terjadinya Gempa Palu
Gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018 adalah peristiwa gempa bumi berkekuatan 7,4
Magnitudo. Di ikuti dengan tsunami yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi, Indonesia
bagian utara pada tanggal 28 September 2018, pukul 18.02 WITA. Pusat gempa berada di
26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu, dengan kedalaman 10 km. Guncangan
gempa bumi dirasakan di Kabupaten Donggala, Kota Palu, Kabupaten Parigi
Moutong, Kabupaten Sigi, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Mamuju bahkan
hingga Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kota Makassar. Gempa memicu tsunami hingga
ketinggian 5 meter di Kota Palu.

3.2. Bencana Pengiring Gempa Palu


Pusat gempa bumi (episentrum) berada di darat, sekitar Kecamatan Sirenja, Kabupaten
Donggala. Guncangan gempa bumi ini dilaporkan telah dirasakan cukup kuat di sebagian besar
provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan sebagian Kalimantan Timur serta Sulawesi
Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Di Makassar misalnya, getaran sempat dirasakan
beberapa detik. Di Menara Bosowa, karyawan berlarian meninggalkan gedung.
Di Palopo, Sulawesi Selatan, guncangan membuat warga berlarian meninggalkan rumah.
Di Samarinda, gempa turut dirasakan sampai warga keluar berhamburan dari gedung dan pusat
perbelanjaan. Di Balikpapan, guncangan gempa turut dirasakan di rusunawa, dan hotel. Secara
umum gempa dirasakan berintensitas kuat selama 2-10 detik. Dengan memperhatikan lokasi
episentrum dan kedalaman hiposenttrum gempa bumi, tampak bahwa gempa bumi dangkal ini
terjadi akibat aktivitas di zona sesar Palu Koro. Sesar ini merupakan sesar yang teraktif di
Sulawesi, dan bisa pula disenut paling aktif di Indonesia dengan pergerakan 7 cm pertahun.
Sesar yang diteliti di LIPI baru sampai sesar darat. Sedangkan sesar di laut sama sekali nihil
dari penelitian.

 Likuefaksi

Akibat guncangan gempa bumi, beberapa saat setelah puncak gempa terjadi muncul
gejala likuefaksi (pencairan tanah) yang memakan banyak korban jiwa dan material. Dua
tempat yang paling nyata mengalami bencana ini adalah Kelurahan Petobo dan
Perumnas Balaroa di Kota Palu. Balaroa ini terletak di tengah-tengah sesar Palu-Koro.
Saat terjadinya likuifaksi, terjadi kenaikan dan penurunan muka tanah. Beberapa bagian
amblas 5 meter, dan beberapa bagian naik sampai 2 meter. Di Petobo, ratusan rumah
tertimbun lumpur hitam dengan tinggi 3-5 meter. Terjadi setelah gempa, tanah di daerah
itu dengan lekas berubah jadi lumpur yang dengan segera menyeret bangunan-bangunan di
atasnya. Di Balaroa, rumah amblas, bagai terisap ke tanah.

Adrin Tohari, peneliti LIPI, ada menyebut bahwa di bagian tengah zona Sesar Palu-
Koro, tersusun endapan sedimen yang berumur muda, dan belum lagi
terkonsolidasi/mengalami pemadatan. Karenanya ia rentan mengalami likuefaksi jika ada
gempa besar. Laporan dan rekaman likuefaksi juga muncul dari perbatasan Kabupaten Sigi
dengan Kota Palu. Lumpur muncul dari bawah permukaan tanah dan menggeser tanah
hingga puluhan meter dan akhirnya menenggelamkan bangunan dan korban hidup-hidup.
Menurut data, likuefaksi yang terjadi di Perumnas Balaroa menenggelamkan sekitar 1.747
unit rumah; sementara di Kelurahan Petobo sekitar 744 unit rumah tenggelam. Jumlah
korban jiwa belum dapat dikumpulkan hingga 2 Oktober 2018.

 Tsunami

Gempa bumi ini dinyatakan berpotensi tsunami oleh Badan Meteorologi, Klimatologi,


dan Geofisika (BMKG) sehingga dikeluarkan peringatan dini tsunami untuk wilayah
pesisir pantai Kabupaten Donggala, Kota Palu dan sebagian pesisir utara Kabupaten
Mamuju. Tsunami diprediksi memiliki ketinggian 0,5 – 3 meter dengan waktu tiba di Kota
Palu pukul 18.22 WITA. Pukul 18.27 WITA terjadi kenaikan air muka laut 6 cm di
pesisir Kabupaten Mamuju. BNPB mengeluarkan asbab daripada terjadinya tsunami ini.
Menurut BNPB, tsunami ini sebabnya adalah adanya kelongsoran sedimen dalam laut
yang mencapai 200-300 meter. Sutopo Purwo Nugroho, pihak Humas BNPB lebih lanjut
menyatakan bahwa sendimen tersebut belum terkonsolidasi dengan kuat sehingga ketika
diguncang gempa terjadi longsor. Di lain tempat selain Donggala, adanya gempa lokal
yang membuat tsunami tak sebesar di Donggala. Di Teluk Palu yang jaraknya lebih dekat
dengan pusat gempa diperkirakan terlebih dahulu mengalami tsunami setinggi 1,5 meter.
Pukul 18.37 WITA, BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami akibat gempa ini. Fakta
terbaru menyebut bahwa titik tertinggi tsunami tercatat 11,3 meter, terjadi di Desa Tondo,
Palu Timur, Kota Palu. Sedangkan titik terendah tsunami tercatat 2,2 meter, terjadi di Desa
Mapaga, Kabupaten Donggala. Baik di titik tertinggi maupun titik terendah, tsunami
menerjang pantai, menghantam permukiman, hingga gedung-gedung dan fasilitas umum.

Kompas melaporkan sebuah survei gabungan tim Indonesia-Jepang. Abdul Muhari dari


Kementerian KKP dan Fumihiko Imamura dari Universitas Tohoku menyebut landaan
tsunami (inundation distance) hanyalah 200-300 meter dari bibir pantai, dan tinggi tsunami
di darat (inundation depth) hanya 2-5 meter. Karakter ini menunjukkan bahwa tsunami ini
bergelombang pendek. Ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh hasil pernyataan
BMKG, bahwa tsunami di Palu mencapai 6-7 meter, dan bahkan ada yang menyebut
bahwa sampai 11,31 meter. Data juga mengonfirmasi, bahwa tsunami terjadi kurang
sebelum 10 menit. Selain itu pula, survei mengonfirmasi bahwa tsunami terjadi setelah
adanya longsoran bawah laut pasca gempa. Melihat keberulangan tsunami yang rata-rata
terjadi 30 tahun sekali, maka hasil survei ini pula merekomendasikan agar pesisir Palu jadi
ruang terbuka saja, tidak tempat hunian. Survei ini melibatkan Kapal Baruna Jaya BPPT,
dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut. Diharapkan, hasil survei
berguna untuk pembelajaran dan pembangunan kembali Kota Palu.

3.3. Kerusakan akibat gempa

Sebagai akibat dari likuefaksi ini, sampai 3 Oktober, tim SAR menemukan korban di
Perumnas Balaroa 48 orang meninggal dunia, dan di Petobo 36 orang, juga meninggal dunia.
Di Jono Oge, Kabupaten Sigi, mencapai 202 hektar, 36 bangunan rusak, dan 168 lain juga
kemungkinan rusak. Di Petobo, Palu, luasan mencapai 180 hektar, bangunan rusak 2.050, dan
bangunan mungkin rusak 168. Di Petobo, tujuh alat berat dikerahkan. Di wilayah Balaroa
luasan mencapai 47,8 hektar, menyebabkan 1.045 bangunan rusak, lima alat berat dikerahkan.
Di luar Petobo dan Balaroa, terjadi pula kerusakan parah di Desa Tosale, Desa Towale,
dan Desa Loli, Kabupaten Donggala. Adapun dalam bidang infrastruktur, daerah Kecamatan
Sigi Biromaru, Sigi, ada Jalur Palu-Napu yang jadi akses untuk ke Poso, terutama lembah
Napu. Terlihat, jalan aspal terbuka menganga, didapati kebun jagung dan kelapa terseret ke
kampung itu. Tanah retak, bergelombang. Aspal terperosok hingga kedalaman lebih dari 3
meter. Lahan juga terlihat bergelombang.

3.4. Dampak dan korban

Pada awalnya, 1 orang tewas dan 10 orang luka-luka dikabarkan akibat gempa pertama
berkekuatan 6,0 Magnitudo pukul 15.00 WITA. Namun begitu, angka begitu cepat meningkat,
sampai diketahuilah jumlah korban telah sampai 420 orang meninggal. Pada Selasa 2 Oktober,
Sutopo mengabarkan bahwa, korban meninggal telah mencapai 1234 orang. Adapun jumlah
orang tertimbun yang dilaporkan masyarakat telah mencapai 152 orang. Orang yang terluka
dibawa ke rumah sakit untuk cepat mendapatkan perawatan. Korban yang tewas maupun yang
terluka, merupakan korban tertimpa bangunan yang roboh. BPBD Kabupaten Donggala juga
menyatakan bahwa puluhan rumah rusak karena adanya gempa ini.

Sementara akibat gempa 7,4 Mw yang disusul Tsunami di Kota Palu hingga Sabtu, 29


September 2018, pukul 15.00 WITA korban tewas mencapai 844 jiwa, lebih dari 500 orang
luka berat, 29 orang hilang[34] dan sebanyak 65.733 rumah rusak menurut Kapendam Kodam
XIII Merdeka Kolonel (Inf) M Thohir. Dari antara orang-orang yang hilang itu, sebanyak satu
keluarga sebanyak 5 orang hilang di tengah tsunami di Pantai Talise. Dari antara 400 lebih
orang yang meninggal itu, baru teridentifikasi sebanyak 97 orang. Sejumlah tempat rata dengan
tanah. Sepanjang cakrawala, ternampaklah kayu yang bersepah di mana-mana, pepuingan, dan
atap-atap yang terserak. Jalan raya juga terkena longsor akibat gempa ini. Menurut
laporan Kompas mengutip dari seorang saksi, bahwa banyak sekali mayat yang tewas
bergelimpangan di pantai. Dilaporkan bahwa kondisi korban meninggal dunia sangat
memprihantinkan. Jenazah dilaporkan bercampur dengan puing-puing material yang
beserakan. Seorang warga Korsel dilaporkan hilang dalam bencana ini. Dikabarkan bahwa ia
ditelpon pada pukul 16.50, dan telpon itu tidak diangkatnya. Orang Indonesia yang pergi
bersamanya juga tak dapat ditelpon.

Terakhir, setelah diumumkan oleh BNPB pada 10 Oktober bahwa korban meninggal
gfempa itu mencapai 2.045 orang, didapati paling banyak ada di Palu sebesar 1.636 orang dan
disusul Sigi kemudian Parigi. Sementara itu, korban yang mengungsi sebanyak 82.775 orang,
dan 8.731 orang pengungsi berad di luar Sulawesi.

Sebagai akibat dari guncangan gempa ini, Hotel Roa-Roa yang ada di Jalan Pattimura Palu,
juga Rumah Sakit Anuntapura di Jalan Kangkung, yang berlantai 4, juga roboh. Mal terbesar di
Palu, Mal Tatura, juga roboh. Ada puluhan sampai ratusan orang yang terjebak di dalamnya.
Tsunami di Palu sampai membuat KM Sabuk Nusantara terhempas puluhan meter dari
Pelabuhan Wani. Pelabuhan itu sendiri rusak pula dermaga dan bangunannya. Pelabuhan
Pantoloan rusak paling parah di sana. Quay crane atau keran peti kemas yang biasa digunakan
untuk bongkar muat peti kemas juga roboh. Dari sejumlah foto yang beredar, gempa Palu
tergolong dahsyat. Kios-kios di pesisir Teluk Palu atau Pantai Talise tersapu gelombang
besar. Jembatan Kuning yang merupakan ikon kota Palu turut ambruk. Terlihat di Teluk Talise,
reruntuhan jembatan yang memisah antara Palu Barat dan Palu Utara. Selain itu, terlihat
juga Masjid Arqam Bab Al Rahman atau Masjid Apung Palu yang roboh masuk ke dalam laut.
Terlihat pula reruntuhan menara ATC Bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu serta kerusakan di
pelabuhan. Sebagai akibat daripada kerusakan pada Bandara Palu pula, bandara ini telah
ditutup pada hari Jumat pukul 07.26 malam sampai 7.20 malam.

Dilaporkan, Sigi, Parigi Moutong dan Donggala juga terdampak gempa ini. Jaringan air


bersih, listrik, dan bahan bakar minyak menjadi sulit diakses.[44] Perhubungan komunikasi
antara Donggala dan Palu menjadi sulit diakses akibat tak berfungsinya ratusan BTS
tersebut. Kemenkominfo menyatakan bahwa dari antara 3007 BTS, ada 431 BTS yang tak
berfungsi, yakni 14,31%nya. Ini disebakan oleh karena mereka tidak mendapatkan akses
listrik. ada beberapa jaringan telekomunikasi dari Palu ke Santigi, Mamuju, dan Poso terputus
akibat gempa bumi berkekutan 7,4 skala richter itu. Menurut sumber Kumparan.com, apa-apa
sudah mulai pada susah. BBM ada yang dijual Rp 100 ribu perbotol mineral. Kondisi lalu
lintas pun menjadi semrawut, macet pun tak terhindarkan. Mobil dan motor tertahan di jalan
raya karena mogok kehabisan bahan bakar. Selain itu, air bersih mulai sulit dicari dan
listrikpun padam. Pada Jumat malam, ratusan warga Mamuju telah pergi mengungsi karena
khawatir akan datangnya tsunami.[14] Kemudian akibat dari bencana ini, sekitar 16000 korban
gempa mengungsi, pada 24 titik di kota Palu.

3.5. Kejadian sekitar gempa

Beredar kabar bahwa ada penjarahan di minimarket dan SPBU di Palu, namun


Mendagri Tjahjo Kumolo membantah berita itu dan memperbolehkan aksi tersebut. Toko
banyak yang rusak, dan makanan minuman banyak yang terbuang. Sebab itu, memang diambil
begitu saja. Lebih dari itu, Pemerintah Kota Palu memerintahkan minimarket
seperti Alfamart dan Indomaret untuk membuka tokonya dan dibayarkan oleh Pemerintah.
Presiden Jokowi juga menyebut agar tak mempermasalahkan persoalan ini. Namun demikian,
sejumlah orang telah ditangkap karena diduga melakukan aksi penjarahan di sejumlah toko
pascabencana gempa bumi ini. Setyo Wasisto Kadiv Humas Polri juga menyampaikan adanya
penyelidikan sejumlah provokator penjarahan berkaitan pasca gempa ini.

Namun begitu, efek dari pernyataan di atas sudah dapat ditebak. Ada peritel yang turut
merugi karena pembolehan di atas. Aprindo atau Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia
menyayangkan aksi penjarahan oleh masyarakat ini. 40 gerai Alfamidi dan 1 gerai Hypermart
telah jadi sasaran di sana. Roy N. Mandey, Ketum Aprindo menyayangkan hal ini dan
menyebut bahwa keputusan ini cenderung tak mendidik masyarakat.[81] Aprindo mencatat,
bahwa kerugian yang telah ditanggung peritel di Poso, Palu, dan Donggala mencapai Rp 450
miliar. Sebagai akibat dari penjarahan ini, 45 orang telah ditangkap oleh kepolisian. Dari sejak
1 Oktober 2018, Setyo Wasisto juga mewanti-wanti masyarakat agar tak berbuat kriminal
selepas bencana gempa bumi dan tsunami ini.

Selain itu pula, hal yang disorot oleh banyak kalangan adalah mitigasi
bencana tsunami Indonesia yang masih lemah, dan hilangnya buoy akibat dicuri orang-orang
yang tak bertanggung jawab sejak 2012. Selain tiadanya buoy tsunami di Palu yang kelak
membuat tidak dapatnya verifikasi pasti tentang tsunami tide gauge di Palu juga diketahui mati.

Selain itu pula, gempa ini juga membawa dampak terhadap kampanye pemilihan presiden
2019. Mengingat gempa yang terjadi di Sulawesi Tengah itu, Jubir Jokowi-Ma'ruf Amin Ace
Hasan Syadzily menyarankan agar kampanye tetap berlanjut, meskipun tengah terjadi
penanganan bencana ini. Hal itu disampaikan Ace menanggapi imbauan SBY untuk
menghentikan sementara kampanye sebagai bentuk solidaritas atas tsunami serta bencana
gempa bermagnitudo 7,4 yang melanda Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Peserta no urut
2, tim Prabowo Subianto menunda kampanye, dan fokus untuk penggalangan dana dan tak
ingin mengganggu jalannya penanganan pascabencana. Dia memberi ruang kepada pemerintah
agar lebih leluasa untuk mengerahkan bantuan secara maksimal.[86] Hal itu juga disampaikan
oleh Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurut Dahnil,
Sandi telah membatalkan kunjungan ke Gorontalo dan akan fokus menggalang relawan di
Jakarta untuk membantu proses penanganan tanggap bencana di Palu dan Donggala. Dahnil
juga mengajak semua pihak untuk bahu-membahu membantu para korban bencana di Palu dan
Donggala, lantaran dunia internasional juga turut ikut membantu para korban di daerah
tersebut.

3.6. Kerugian Ekonomi


Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis total
kerugian dampak bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut total
kerugian itu mencapai Rp18,48 triliun. "Kerugian dan kerusakan akibat bencana di Sulawesi
Tengah sebesar Rp 18,48 triliun per 27 Oktober 2018. Jumlah ini lebih besar daripada
sebelumnya yakni sebesar Rp 13,82 triliun per 21 Oktober lalu," kata Sutopo melalui rilis yang
diterima. Sutopo mengatakan dampak ekonomi berupa kerugian dan kerusakan akibat bencana
di Sulawesi Tengah ini kemungkinan masih akan terus bertambah sebab kerusakan akibat
bencana itu belum selesai dilakukan.

Adapun rincian dampak ekonomi dari total kerusakan Rp18,48 triliun ini, kerugian
mencapai angka Rp 2,89 triliun dan untuk kerusakan mencapai Rp15,58 triliun. "Pengertian
kerusakan adalah nilai kerusakan stock fisik asset, sedangkan kerugian adalah arus ekonomi
yang terganggu akibat bencana, yaitu pendapatan yang hilang dan atau biaya yang bertambah
akibat bencana pada lima sektor yaitu permukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial dan lintas
sektor," jelas Sutopo.

Dampak kerugian dan kerusakan akibat bencana sebesar Rp 18,48 triliun dijelaskan Sutopo
paling besar berasal dari sektor permukiman yang angkanya mencapai Rp 9,41 triliun, sektor
infrastruktur Rp 1,05 triliun, sektor ekonomi Rp 4,22 triliun, sektor sosial Rp 3,37 triliun, dan
lintas sektor mencapai Rp 0,44 triliun. "Dampak kerugian dan kerusakan di sektor permukiman
adalah paling besar karena luas dan masifnya dampak bencana. Hampir sepanjang pantai di
Teluk Palu bangunan rata tanah dan rusak berat," katanya.
Sedangkan jika dirunut berdasarkan sebaran wilayah kerugian dan kerusakan terbesar ada di
Kota Palu yang mencapai angka Rp 8,3 triliun. Sedangkan Kabupaten Sigi mencapai Rp 6,9
triliun, Donggala Rp 2,7 triliun dan Parigi Moutong mencapai Rp 640 milyar. "Tim Hitung
Cepat Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB dan UNDP, terus menghitung dampak dan
kebutuhan untuk pemulihan nantinya.

Kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana diperkirakan lebih dari Rp 10


triliun," katanya. "Tentu ini bukan tugas yang mudah dan ringan, namun Pemerintah dan
Pemda akan siap membangun kembali nantinya," kata Sutopo.

3.7. Penanganan Kontruksi Pasca Bencana

Gempa bumi 7,4 SR dengan kedalaman 10 km di utara Kota Palu, Provinsi Sulawesi
Tengah yang diikuti oleh tsunami dan likuefaksi luas di beberapa titik (Petobo, Balaroa, dan
Jono Oge) pada 28 September 2018 silam telah menyebabkan lebih dari 50.000 orang
mengungsi serta merusak infrastruktur utama dan ribuan fasilitas umum dan sosial termasuk
sekolah, ruamh sakit, dan Puskesmas di Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya. Tingkat
keparahan deformasi tanah dekat patahan dan likuifaksi di lokasi-lokasi ini belum pernah
terjadi sebelumnya secara global. Hitung cepat yang dilakukan oleh BNPB dan UNDP
mengindikasikan total kerusakan dan kerugian mencapai 18,48 triliun rupiah. Angka ini
termasuk kerusakan dan kerugian di sektor permukiman, infrastruktur, sosial, dan ekonomi.

Kerusakan pada sektor permukiman (rumah) dan sosial seperti bangunan pendidikan,
kesehatan, dan kantor layanan publik mengakibatkan penurunan produktivitas masyarakat di
lokasi terdampak. Untuk itu, kebutuhan pembangunan kembali menjadi prioritas pemerintah
dan masyarakat terdampak. Saat ini, masyarakat yang kehilangan rumah karena gempa bumi,
tsunami, dan likuefaksi disediakan hunian sementara sampai hunian tetap dapat dibangun
kembali. Begitu juga dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar lainnya yang
mengalami kerusakan berat; aktivitas berlangsung di bangunan sementara hingga bangunan
permanen selesai dibangun kembali.

a. Tahap pra-konstruksi

 Keterlibatan awal dengan instansi pemerintah daerah (misalnya Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perumahan, Dinas Tata Ruang, BPBD,
Bappeda, dan sebagainya) akan dilaksanakan dalam rangka menyepakati pembagian
peran, tanggungjawab dan koordinasi selama persiapan dan pelaksanaan proyek serta
penetapan prioritas investasi berdasarkan penilaian kerusakan, pemanfaatan sarana serta
lokasi di zona merah atau tidak. Relokasi fasilitas dari zona merah mungkin akan
dilakukan pada tahap mendatang dalam pelaksanaan proyek setelah lokasi baru
ditetapkan. Penetapan lokasi baru berdasarkan uji tuntas kesiapan lahan yang disetujui
oleh Bank Dunia.

 Setelah identifikasi fasilitas yang berpotensi untuk direhabilitasi dan/atau


direkonstruksi, komunikasi dengan pihak administrator fasilitas tersebut (seperti kepala
sekolah dan pimpinan Puskesmas) akan dilakukan. Komunikasi tersebut akan
difokuskan pada kriteria pemilihan sarana, kebutuhan rehabilitasi/rekonstruksi dan
apakah dibutuhkan relokasi atau tidak. Alternatif desain untuk sarana publik yang lebih
aman dan inklusif akan diperkenalkan pada tahap ini dan akan dibahas kembali saat
DED tersedia. PMU akan mendalami kemungkunan kolaborasi dengan para pemangku
kepentingan ini serta membahas manajemen potensi risiko lingkungan dan sosial
termasuk gangguan pada aktivitas akibat kegiatan konstruksi dan strategi serah-terima
untuk operasional dan pemeliharaan fasilitas;

 Terkait dengan Komponen 2, keterlibatan dengan pemerintah daerah dan administrator


fasilitas juga akan diupayakan untuk memahami akses masyarakat yang direlokasi pada
layanan publik dasar seperti sekolah dan kesehatan, selain kendala akibat potensi
meningkatnya permintaan untuk layanan tersebut di lokasi relokasi dan sekitarnya.

 Bergantung kepada skala dan jarak lokasi konstruksi dengan penduduk sekitar;
pelibatan akan dilakukan di awal untuk memastikan komunitas-komunitas ini
memahami potensi risikonya, tindakan pengelolaan, serta jalur umpan balik dan
mekanisme penanganan keluhan (Feedback and Grievance Redress Mechanism/FGRM)
yang telah disediakan. Papan informasi publik dengan informasi narahubung akan
ditampilkan di titik-titik yang dapat diakses di dalam lokasi konstruksi.

 Pekerja proyek, khususnya pekerja kontrak sebelumnya akan dibekali dengan tata tertib
termasuk aspek-aspek kesehatan seksual dan Kekerasan Berbasis Gender (Gender
Based Violence/GBV)/Ekploitasi dan Pelanggaran Seksual (Sexual Exploitation and
Abuse/SEA) serta prosedur darurat. FGRM untuk tempat kerja juga akan diperkenalkan.

b. Selama konstruksi berlangsung

 Sebagai bagian dari inspeksi konstruksi, konsultan pengawas akan secara proaktif
mencari tahu pandangan administrator fasilitas, masyarakat lokal, dan pengguna
fasilitas, sehubungan dengan dampak dan sejauh mana kegiatan rutin telah terganggu
oleh aktivitas konstruksi. Tindakan remedial akan diupayakan dan perkembangan
pelaksanaannya akan dimonitor secara regular dan dibahas dengan pemangku
kepentingan yang terdampak.

 Pekerja proyek, khususnya pekerja kontrak serta pekerja masyarakat akan menerima
pelatihan K3 secara rutin dan pelatihan tata tertib dari konsultan pengawas dan/atau
spesialis yang dikontrak oleh PMU. Pendekatan untuk pelatihan tersebut akan
dievaluasi berdasarkan umpan balik peserta dan kepatuhan akan dipantau sebagai
bagian dari aktivitas pengawasan rutin.

 Potensi dampak selain jejak langsung proyek, seperti lokasi pembuangan limbah/
puingpuing juga akan dipantau dan pelibatan pemangku kepentingan terkait, termasuk
pemulung dan masyarakat sekitar akan dilakukan. Konsultan pengawas akan diminta
untuk memantau risiko terkait dengan bahan limbah berbahaya, seperti asbes dan
bagaimana praktik yang sedang berjalan dapat berdampak pada kesehatan masyarakat
yang lebih luas. Pelibatan profesional/ahli terkait dapat dilakukan jika terjadi risiko
seperti ini.

c. Pasca konstruksi

 Proses serah-terima fasilitas sebagaimana disepakati selama tahap pra-konstruksi akan


dimulai. Proses ini termasuk inspeksi teknis secara keseluruhan oleh konsultan
pengawas dan keseluruhan perencanaan dan konsensus untuk operasi dan pemeliharaan
fasilitas oleh administrator fasilitas. Masing-masing Dinas Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab atas pengawasan fasilitas akan memimpin pelibatan dan koordinasi
terkait proses serah-terima;

 Pelatihan tentang prosedur darurat dan latihan evakuasi akan diberikan kepada
administrator fasilitas, staf dan pengguna, khususnya siswa. Ini termasuk pengenalan
rambu-rambu darurat dan penggunaan peralatan darurat;

Belajar dari kegiatan penyediaan hunian pasca-bencana sebelumnya yang dilaksanakan oleh
Kementerian PUPR untuk masyarakat terdampak erupsi Gunung Merapi dan Gunung
Sinabung, berikut diusulkan proses pelibatan masyarakat:

1. Tahap Perencanaan

a. Keterlibatan dengan instansi daerah terdampak serta mitra pembangunan akan


dilanjutkan melalui koordinasi yang dipimpin oleh Satuan Tugas Penanggulangan
Bencana Kementerian PUPR di Sulawesi Tengah. Persiapan awal akan fokus pada proses
validasi dan verifikasi masyarakat, penempatan fasilitator, pengelompokan masyarakat,
penentuan prioritas keluarga, penilaian uji tuntas tanah, identifikasi lokasi relokasi baru,
dan konsultasi dengan masyarakat lokal.

b. Pelibatan masyarakat sasaran akan dimulai setelah fasilitator dimobilisasi. Informasi


akan diberikan sejauh yang tersedia; mencakup lokasi, desain dan pendekatan
pembangunan, serta ancar-ancar rencana tapak. Tantangan dan kendala akan
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan masyarakat secara sistematis dengan
cara yang terkoordinir, transparan, dan mudah diakses.

c. Pelibatan masyarakat sehari-hari akan sangat bergantung pada fasilitator. Setiap


fasilitator akan bertanggung jawab untuk mendokumentasikan keluhan yang diajukan
oleh masyarakat dan mengkomunikasikannya kepada ketua tim mereka masing-masing.
Keluhan utama di mana resolusi dan/atau penyelesaian tidak dapat ditangani di lapangan
akan langsung dikomunikasikan kepada PIU dan spesialis lingkungan dan sosial yang
relevan agar melakukan tindakan dan tindak lanjut teknis.

d. Proses relokasi dan rencana aksi yang dihasilkan akan dibahas oleh masyarakat sasaran
setelah pilihan relokasi tersedia. Hal ini meliputi: a) relokasi ke lahan yang ditunjuk; b)
relokasi satelit ‘skala kecil (antara 50 - 70 keluarga) ke lahan yang dipilih oleh
masyarakat sasaran; serta c) pilihan lain seperti dukungan bantuan tunai untuk relokasi
perorangan.

e. Kriteria pemilihan penerima manfaat termasuk kriteria untuk sasaran prioritas,


ketersediaan lahan dan/atau ketersediaan lokasi alternatif, rencana tapak, desain dan
teknologi konstruksi , dan penyesuaian dan perubahan dari rencana tapak awal, desain
perumahan dan opsi relokasi yang diusulkan oleh Kementerian PUPR akan dibahas
dengan masyarakat sasaran sedini mungkin pada tahap perencanaan. Dengan
memanfaatkan proses pengambilan keputusan masyarakat yang ada, kepala desa dan/atau
RT/RW, pemuka masyarakat yang dihormati dan/atau jawara masyarakat akan
diberdayakan untuk memfasilitasi dan sejauh mungkin memimpin keterlibatan
masyarakat tersebut. Informasi tentang status proyek akan tersedia di lokasi yang dapat
diakses (mis. Papan informasi di tempat penampungan sementara, atau media lokal) dan
melalui tokoh masyarakat. Sosialisasi ini akan secara teratur dipantau (mis. melalui
pemeriksaan langsung) oleh fasilitator dan spesialis lingkungan dan sosial yang relevan
untuk mengurangi risiko distorsi dan spekulasi informasi di antara masyarakat dan
karenanya, tindakan korektif dapat diperkenalkan sedini mungkin.

f. Pada tahap perencanaan, ketersediaan pekerja masyarakat dan jenis keterampilan yang
tersedia akan dinilai. Perkiraan kebutuhan pekerja ini, syarat dan ketentuan dan durasi
masa kerja akan dibahas dengan masyarakat sasaran tersebut. Hal ini meliputi kuota yang
disepakati untuk pekerjaan perempuan dan para difabel (ditetapkan 30 persen). Informasi
tentang kriteria seleksi dan syarat serta ketentuan akan tersedia di ruang publik yang
dapat diakses oleh komunitas lokal. Penjangkauan sasaran 1 tentang peluang kerja
rekonstruksi khususnya untuk perempuan dan masyarakat berkebutuhan khusus akan
disediakan melalui fasilitator masyarakat dan pemimpin/jawara desa. Berbagai syarat dan
ketentuan, jenis pekerjaan konstruksi dan jam kerja akan diberlakukan untuk menjamin
inklusi perempuan dan masyarakat dengan kebutuhan khusus agar lebih luas.

g. Persiapan selanjutnya oleh fasilitator masyarakat, yang akan menghasilkan Rencana Aksi
Relokasi yang dapat diterima di antara masyarakat sasaran, akan lebih mendalami rincian
tentang aspek berikut:

• Penilaian dampak lingkungan dan sosial yang spesifik untuk setiap lahan, yang
mungkin tidak sepenuhnya direkam dalam proses perizinan lingkungan awal yang
ada saat ini;

• Preferensi dan kemauan masyarakat untuk pindah ke lokasi baru dan pilihan
alternatif yang diajukan oleh masyarakat.

• Adanya kelompok rentan dan sifat kerentanan tersebut. Ini meliputi janda,
masyarakat berkebutuhan khusus, keluarga miskin, yatim piatu, dsb.

• Karakteristik sosio-ekonomi dan kebudayaan masyarakat sasaran. Hal ini meliputi


sumber mata pencaharian dan potensi dampak dari perpindahan ke lokasi baru,
tingkat pendapatan dan pengeluaran (yang menjadi data baseline mata pencaharian),
akses pada layanan dasar, kohesi sosial, dinamika intra-masyarakat (termasuk
jaminan sosial untuk keluarga rentan), dinamika antar masyarakat (khususnya
dengan masyarakat lokal dan kelompok masyarakat penerima lainnya).

• Verifikasi status 'bersih dan jelas' dari lahan relokasi yang diusulkan dan kelayakan
teknisnya juga mencakup penilaian risiko dan bahaya dari lokasi yang diusulkan
akan dilakukan secara paralel oleh fasilitator masyarakat dalam koordinasi dengan
instansi Kabupaten/Kota terkait dan dengan dukungan teknis dari spesialis yang
relevan di PMU.

• Sebagai bagian dari proses verifikasi di atas, akses ke layanan dasar yang ada di
lokasi relokasi yang diusulkan dan penerimaan sosial yang lebih luas di antara
masyarakat lokal juga akan dinilai oleh fasilitator masyarakat dalam koordinasi

1
dengan instansi Kabupaten/Kota terkait dan dengan dukungan teknis dari spesialis
terkait di PMU. Keterlibatan dengan penyedia layanan dasar setempat, seperti
administrator sekolah dan Puskesmas juga akan dilakukan untuk memperoleh
pandangan, pemahaman, dan kendala untuk mengatasi peningkatan permintaan
layanan.

h. Konsep Rencana Aksi Relokasi dengan perkiraan biayanya akan dihasilkan dari proses di
atas dan akan terus diperbarui. Penyesuaian dalam rencana lokasi dan DED perlu
mencerminkan rencana untuk memastikan bahwa kesepakatan masyarakat, umpan balik
serta keluhan sejauh mungkin diakomodir. Tim konsultan DED perlu bekerja secara
kolaboratif dengan fasilitator masyarakat untuk memastikan bahwa masukan dan masalah
tersebut dapat ditangani sedini mungkin untuk meminimalisir perubahan dan penundaan.
Rencana-rencana ini akan dikomunikasikan kepada masyarakat sasaran dan pemangku
kepentingan yang lebih luas, yang mencerminkan kesepakatan kunci serta memberikan
alasan yang jelas untuk tidak memenuhi harapan tertentu. Pengesahan rencana-rencana
ini dari kepala desa dan RT/RW akan diupayakan untuk mendorong rasa kepemilikan
dan legitimasi dari keseluruhan proses.

i. Transfer lahan dan persyaratan perizinan lainnya seperti Izin Mendirikan Bangunan akan
dimulai setelah DED difinalisasi. Namun demikian, keterlibatan dengan pihak berwenang
terkait akan diupayakan sedini mungkin untuk mencegah penundaan.

2. Tahap Konstruksi

a. Sebelum pengerjaan konstruksi, keterlibatan dengan masyarakat sasaran dan perwakilan


dan pemimpin desa dan RT/RW masing-masing akan ditinjau kembali. Keterlibatan ini
akan fokus pada pengaturan waktu, mengamankan partisipasi masyarakat untuk kegiatan
konstruksi dan pemantauan pasca konstruksi, dan peningkatan kesadaran risiko, termasuk
risiko K3 dan GBV/SEA. Sama halnya, pekerja kontrak juga akan dibekali dengan
aspek-aspek tersebut sebelum penempatan. Keterlibatan ini akan didokumentasikan
dengan baik.

b. Fasilitator masyarakat yang berkoordinasi dengan konsultan pengawasan akan terlibat


dengan pekerja kontrak dan masyarakat untuk menilai kepatuhan terhadap K3, risiko
yang muncul, serta tingkat partisipasi masyarakat. Tindakan perbaikan, yang akan
dikenakan penilaian kepatuhan lebih lanjut, akan dikomunikasikan kepada kontraktor dan
spesialis terkait di PMU.
c. Fasilitator masyarakat, dengan dukungan teknis dari spesialis yang relevan di PMU akan
memberikan pembaruan rutin, termasuk kemajuan ke masyarakat sasaran. Setiap faktor
yang dapat menyebabkan keterlambatan perlu dikomunikasikan secara sistematis dengan
cara yang terkoordinasi, transparan, dan mudah diakses.

d. Spesialis yang relevan yang direkrut oleh PMU untuk menilai permasalahan spesifik,
seperti GBV/SEA, akan membina kontak dengan fasilitator masyarakat dan pihak
berwenang dan/atau instansi terkait (termasuk masyarakat sipil dan organisasi
nonpemerintah) untuk memahami risiko yang muncul dan mengidentifikasi tindakan
perbaikan bilamana kasus tersebut diidentifikasi dan/atau dilaporkan.

e. Fasilitator masyarakat akan memastikan bahwa saluran FGRM yang tersedia bersifat
operasional dan kredibel bagi masyarakat untuk melaporkan dan/atau mengajukan
keluhan dengan cara yang aman dan mudah diakses. Fasilitator ini akan secara proaktif
mencari pandangan dari sasaran dan masyarakat lokal demi memahami keprihatinan
mereka, masalah dan persepsi tentang pelaksanaan proyek secara keseluruhan.

Penjangkauan sasaran khusus akan dilaksanakan untuk kelompok rentan. Setiap keluhan
akan didokumentasikan dan ditangani dan/atau disampaikan ke tingkat lebih tinggi jika
terjadi masalah yang kompleks.

3. Tahap Pasca-Konstruksi

a. Setelah menyelesaikan pekerjaan konstruksi, pemeriksaan kualitas dan keselamatan


pekerjaan konstruksi terakhir akan dilakukan oleh spesialis yang relevan dan/atau auditor
independen dengan dukungan dari fasilitator masyarakat. Rencana tindakan korektif akan
disiapkan dan ditangani oleh masing-masing kontraktor sesuai dengan kontrak yang
ditandatangani.

b. Melalui masing-masing fasilitator masyarakat dan pemimpin/perwakilan desa,


masyarakat akan diberi tahu kapan mereka dapat mulai pindah serta jenis bantuan
relokasi yang disediakan. Bantuan khusus untuk keluarga rentan akan diberikan dan
disesuaikan berdasarkan kebutuhan dengan berkonsultasi dengan keluarga tersebut.

c. Tim pemantau independen yang kompeten untuk implementasi Rencana Aksi Relokasi
akan ditugaskan untuk menilai keseluruhan proses relokasi, termasuk persepsi dan
kepuasan masyarakat target.

d. Pemantauan gabungan dengan penerima manfaat sasaran pada tahap pasca konstruksi
akan diupayakan dan ini mencakup aspek-aspek berikut seperti tetapi tidak terbatas pada:
akses ke mata pencaharian dan layanan dasar, keselamatan masyarakat, dan kesejahteraan
keseluruhan di daerah pemukiman baru serta kesatuan sosial dengan masyarakat lokal.
Evaluasi pasca-relokasi dan umpan balik penerima manfaat jangka panjang (yaitu 2-3
tahun setelah relokasi) saat ini sedang dipertimbangkan dan pengaturan kelembagaan
termasuk pembiayaan jika evaluasi tersebut terjadi setelah penutupan proyek perlu
disepakati.

Saluran FGRM yang ada untuk masyarakat sasaran akan dipertahankan setelah relokasi
hingga penutupan proyek. Masyarakat akan didorong untuk menggunakan saluran-
saluran ini untuk memastikan dokumentasi sistematis dan proses penyelesaian
pengaduan.

4. Rencana konsultasi publik


Konsultasi publik berfungsi sebagai salah satu landasan pelibatan pemangku
kepentingan untuk proyek khususnya dan untuk untuk kegiatan di mana pandangan
pemangku kepentingan dicari untuk meningkatkan desain dan implementasi proyek pada
umumnya. Konsultasi ini kemungkinan akan berlangsung secara parallel dengan aktivitas
pelibatan lainnya yang didukung oleh proyek, termasuk fasilitasi masyarakat untuk
perencanaan dan mobilisasi, komunikasi dan pemantauan pemangku kepentingan proyek
sehari-hari, rapat koordinasi rutin, konsultasi ad-hoc, implementasi FGRM dll. Tabel
berikut ini memberikan rancangan awal dari konsultasi utama yang diharapkan selama
persiapan dan implementasi proyek.

5. Rencana Pembiayaan
Implementasi SEP akan didanai oleh Kementerian PUPR di bawah kendali dan
koordinasi Unit Pengelola Proyek (PMU) yang akan dibentuk untuk melaksanakan
manajemen proyek harian dan koordinasi proyek. Implementasi SEP akan menjadi
wewenang setiap Unit Implementasi Proyek (Project Implementation Unit/PIU), yang
terdiri dari Ditjen Cipta Karya untuk Komponen 1 dan Ditjen Cipta Karya dan Ditjen
Penyediaan Perumahan untuk Komponen 27.
Pembiayaan keseluruhan SEP akan menjadi bagian dari manajemen proyek secara
keseluruhan (Komponen 3) dan pengeluaran anggaran khusus, seperti fasilitator
masyarakat akan dibiayai sebagai bagian dari aktivitas proyek. Penghitungan biaya lebih
lanjut untuk SEP akan disertakan dalam biaya proyek secara keseluruhan.
6. Publikasi (Pengungkapan Informasi)
Dokumentasi dan informasi mengenai pembaruan kegiatan proyek dan hasil konsultasi
dengan para pemangku kepentingan akan dipublikasikan oleh PMU dalam dua media
sebagai berikut.
a. Situs Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan → https://www.pu.go.id. Halaman
web khusus akan dibuat pada awal proyek.
b. Kantor proyek, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Jl. Pattimura No. 20 Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan 12110. T: (021) 7228497; informasi@pu.go.id.

7. Mekanisme Umpan Balik Dan Penanganan Keluhan – Feedback And Grievance Redress
Mechanism (Fgrm)
Sebagai bagian dari SEP, suatu Mekanisme Umpan Balik dan Penanganan Keluhan
(Feedback and Grievance Redress Mechanism/FGRM) akan dipersiapkan untuk aktivitas
Komponen 1 dan 2. Tujuan FGRM secara umum adalah (1) untuk memperkuat
akuntabilitas kepada penerima manfaat, dan (2) untuk memberikan jalan bagi pemangku
kepentingan proyek untuk memberikan umpan balik dan/atau mengungkapkan keluhan
terkait kegiatan proyek. FGRM berfungsi sebagai mekanisme untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan proyek, memastikan mekanisme dapat
diakses dan handal, sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara sistemik,
terkoordinasi, dan tepat waktu. Dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas,
FGRM dapat mengurangi risiko ketika proyek secara tidak sengaja berdampak keapda
warga/penerima manfaat dan berfungsi sebagai umpan balik yang penting dan mekanisme
pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan dampak positif proyek.

Mekanisme ini tidak hanya untuk menerima dan mencatat keluhan/pengaduan tetapi juga
untuk menyelesaikan dan mengkomunikasikan status penyelesaian keluhan dalam rangka
memastikan transparansi dan akuntabilitas. Meskipun umpan balik harus diberikan
secepatnya sejak adanya pengaduan, semua pengaduan harus tercatat dan mengikuti
prosedur dasar sebagaimana disyaratkan dalam SEP. FGRM termasuk proses menerima,
mengevaluasi, dan menangani keluhan atau pengaduan dari masyarakat sasaran serta
pemangku kepentingan yang lebih luas yang mungkin terdampak atau berkepentingan
dengan proyek.

Rancangan mekanisme penanganan keluhan (FGRM) akan mengikuti landasan sistem


penanganan pengaduan eksisting milik Kementerian PUPR yang telah diadopsi dalam
proyek KOTAKU. Tindakan lebih lanjut seperti FGRM khusus untuk pekerja proyek akan
dikembangkan dan dipresentasikan secara terpisah dalam Prosedur Manajemen Tenaga
Kerja yang akan menjadi bagian dari Kerangka Kerja Manajemen Lingkungan dan Sosial
(Environmental and Social Management Framework/ESMF).

9. Pemantauan Dan Pelaporan


Laporan kemajuan tengah tahun dan laporan tahunan proyek akan tersedia di kantor PMU
dan dipublikasikan di situs Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(https://www.pu.go.id) atau halaman web khusus yang untuk CSRRP.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

a. Gempa bumi merupakan salah satu fenomena geologi ketika dua atau lebih lempeng bumi
saling bertemu dan mengalami tubrukan hingga melepaskan energi dalam jumlah besar dan
menciptakan getaran hingga terasa di permukaan bumi.

b. Kota Palu yang merupakan pusat pemerintahan dan jantung prekonomian provinsi Sulawesi
Tengah, yang ikut terkena dampak bencana gempa yang mengakibatkan Tsunami pada
tanggal 28 September 2018 lalu.

c. Gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018 adalah peristiwa gempa bumi berkekuatan 7,4


Magnitudo. Di ikuti dengan tsunami yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi, Indonesia
bagian utara pada tanggal 28 September 2018, pukul 18.02 WITA.

4.2. Saran

Penelitian untuk analisis anomali temperatur permukaan tanah dan awan gempa sebaiknya
dilakukan untuk lebih banyak kasus dengan resolusi waktu yang lebih baik lagi. Hal ini
ditujukan agar hasil yang diperoleh pada pengamatan dapat dijadikan sebagai acuan faktor apa
saja yang menjadi penyebab terjadinya anomali temperatur dan awan gempa.
DAFTAR PUSTAKA

https://bpbd.bandaacehkota.go.id/2018/08/05/pengertian-gempa-bumi-jenis-jenis-penyebab-akibat-
dan-cara-menghadapi-gempa-bumi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_dan_tsunami_Sulawesi_2018

Anda mungkin juga menyukai