Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Indonesia terletak di jalur pertemuan 3 lempeng tektonik dunia, yaitu

lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Gerakan ketiga

lempeng tersebut mempunyai kecepatan yang berbeda. Lempeng tektonik di

Indonesia kebanyakan masih aktif, lempeng tersebut memiliki arah gerak yang

berbeda, yaitu lempeng Eurasia yang bergerak relatif ke arah tenggara, lempeng

Indo-Australia yang yang bergerak relatif ke arah utara, dan lempeng pasifik

yang relatif bergerak ke arah barat. Tabrakan antara lempeng-lempeng yang

selalu bergerak itulah yang mengakibatkan terjadinya gempa bumi, gempa bumi

yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng ini disebut juga gempa tektonik.

Akibat dari tumbukan lempeng tersebut terbentuk jalur penunjaman (zona

subduksi) (Sukandarrumidi, 2010 : 88-89).

Selain itu Indonesia merupakan negara kepulauan yang di lewati oleh

jalur sabuk mediterania yang merupakan jalur dari cincin api (Ring of Fire)

dunia. Jalur medeterania ini membentang dari pulau Sumatera, melewati pulau

Jawa, Bali, Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke Maluku Sulawesi Utara.

(Hidayat, 2011: 24). Akibat Indonesia dilewati oleh jalur cincin api ini maka di

Indonesia terdapat banyak gunung berapi yang rata-rata masih aktif. Gunung

api yang masih aktif ini akan bergejolak karena melakukan aktivitasnya di

dalam bumi, ini juga merupakan siklus alam yang terdapat pada gunung berapi

di seluruh dunia. Kegiatan gunung api ini akan mengakibatkan pergerakan


magma yang ada di dalam permukaan gunung api yang sewaktu-waktu dapat

dikeluarkan dengan berbagai materialnya. Proses pengeluaran material oleh

gunung berapi ini akan menimbulkan getaran di sekitar daerah gunung berapi,

getaran ini adalah awal dari bencana gempa bumi yang disebut dengan gempa

vulkanik.

Gempa bumi merupakan bencana alam yang tidak dapat diprediksi

secara tepat terjadinya, bahkan sampai saat ini belum ada alat yang dapat

mendeteksi gempa bumi tersebut. Manusia sebagai makhluk yang selalu

melakukan hubungan timbal balik dengan alam, seharusnya dapat membaca

pesan yang disampaikan oleh alam melalui gerak binatang tidak seperti

biasanya. Gerak binatang akan memberikan petunjuk akan datangnya bahaya

salah satunya adalah bencana gempa bumi. Mengingat gempa bumi itu

merupakan bencana yang merusak dan tidak sedikit korban jiwa serta kerusakan

bangunan akibat yang ditimbulkan dari gempa bumi. Manajemen bencana

merupakan cara yang digunakan untuk penanggulangan bencana, manajemen

bencana ini efektif untuk meminimalkan korban jiwa dan juga kerusakan

bangunan, serta fasilitas yang ada. Salah satu tahap dari manajemen bencana ini

adalah Kesiapsiagaan. Menurut Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2007

tentang penanggulangan bencana :

Tentang penanggulangan bencana dijelaskan bahwa kesiapsiagaan


adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna.

Kesiapsiagaan berkaitan dengan kegiatan dan langkah-langkah yang

diambil sebelum terjadinya bencana untuk memastikan adanya respon yang


efektif terhadap dampak bahaya, termasuk dikeluarkannya peringatan dini

secara tepat waktu dan efektif. Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat

dari bencana gempabumi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap gempa

bumi dan cara penanggulangan gempa bumi sebelum, saat dan setelah terjadi.

Rencana penanggulangan bencana penting, tetapi tidak cukup hanya dengan

melibatkan diri mereka sendiri untuk memastikan kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan

bukan hanya melibatkan dari persiapan diri sendiri melainkan dapat melibatkan

pihak lain atau lembaga lain yang terkait dengan penanggulangan bencana.

Menurut (Kusumasari, 2014 : 24-27) bahwa kesiapsiagaan ini dapat diperoleh

dari sosialisasi maupun pelatihan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan

maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terkait dengan

penanggulangan bencana gempa bumi.

Pemahaman Kesiapsiagaan dalam hal ini sangat diperlukan oleh

masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa sebagai salah satu wilayah yang dilewati

oleh sabuk mediterania sehingga sebagian wilayah Jawa memiliki jalur

pegunungan gunung berapi yang masih aktif dan merupakan wilayah titik

terdekat yang di lewati oleh jalur lempeng tektonik dunia. Pulau Jawa juga

menjadi daerah yang berpotensi besar terhadap terjadinya bencana gempa bumi.

Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang merusak, baik dalam bentuk

bangunan maupun jatuhnya korban jiwa. Salah satu gempa yang pernah terjadi

di Jawa dan merupakan gempa bumi yang menimbulkan korban jiwa tidak

sedikit yaitu gempa bumi tektonik yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya.
Gempa bumi yang meluluh lantahkan Yogyakarta dan sekitarnya terjadi

pada tanggal 27 Mei 2006 tepatnya pada jam 05.54 WIB yang berkekuatan 5,9

SR. Gempa tersebut telah meluluh lantahkan banyak tempat di wilayah DIY dan

sebagian Provinsi Jawa Tengah. Gempa tersebut berpusat di koordinat 8⁰ LS

dan 110⁰ BT atau sekitar 25 km ke arah barat daya dari Kota Yogyakarta.

Gempa bumi ini juga tergolong “perusak” karena termasuk jenis gempa

dangkal, yaitu hanya berkedalaman 17 km di bawah permukaan tanah.

Penyebab gempa ini adalah adanya pergeseran Sesar Opak yang membentang

dari pesisir pantai Bantul hingga ke Prambanan sepanjang 40 km dengan arah

30⁰NE (Northeast—Timur Laut).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Geothermamics,

Kyushu University yang dipimpin oleh Prof. Sachio Ehara mengenai

aftershocks gempa bumi 27 Mei 2006 pusat gempa diperkirakan pada posisi 10

km sebelah timur Sesar Opak (Masroer & Fikri, 2013: 9 ). Korban tewas

mencapai 5.716 jiwa dengan rincian: Kota Yogyakarta 195 jiwa, Kulon Progo

22 jiwa, Gunung Kidul 81 jiwa, Bantul 4.121 jiwa, Sleman 240 jiwa, Klaten

1.041 jiwa, Magelang 10 jiwa, Boyolali 4 jiwa, Sukoharjo 1 jiwa, Purworejo 1

jiwa. Sementara korban terluka 37.927 jiwa. Dalam gempa ini merobohkan total

sebanyak 156.662 bangunan rumah di wilayah Yogyakarta, dan Jawa Tengah

serta merusak situs peninggalan sejarah antara lain makam raja-raja Imogiri,

dan candi Prambanan dan obyek wisata kulit Manding dan obyek wisata

gerabah Kasongan. (Grup konsultatif untuk Indonesia, 2006: 3-20) Gempa

bumi yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah ini disebabkan karena
ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa bumi dan belum

ada informasi mengenai perihal bencana gempa bumi.

Wilayah yang paling banyak terdapat korban jiwa dan kerusakan

bangunan yaitu di Kabupaten Bantul dengan korban jiwa sebanyak 4.121 jiwa

dan bangunan hancur total sebanyak 46.753 bangunan. Salah satu dusun di

Kabupaten Bantul yang mendapat dampak dari gempa bumi 27 Mei 2006 yaitu

Dusun Potrobayan. Dusun Potrobayan merupakan dusun yang terdekat dari

episentrum (pusat gempa) yaitu 200 meter dari pertemuan Sesar Opak dan Sesar

Oyo. Di dusun ini di bangun prasasti sebagai monumen peringatan gempa 27

Mei 2006. Monumen ini di dirikan berada tepat diatas alur sungai opak yang

melewati Dusun Protobayan. Pembangunan monumen ini berdasarkan

kerjasama antara badan nasional penanggulangan bencana (BNPB), badan

penanggulangan bencana daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, Universitas

Pembangunan Nasional (UPN), dan Gubernur DIY Sri Sultan

Hamengkubuwono X. Menurut warga sekitar pembangunan monumen ini juga

sebagai lambang untuk memperingati gempa bumi dan mengenang korban jiwa

yang meninggal akibat dari gempa bumi 27 Mei 2006. Berdasarkan informasi

dari Kepala Dusun Protobayan, terdapat korban jiwa sebanyak 13 orang dan

hampir 95% bangunan rubuh total.

Ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi gempa bumi tampak dari

jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan serta sarana prasarana yang

ditimbulkan akibatkan gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei di Dusun
Potrobayan. Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang harus

diwaspadai. Menurut Ardin Wido Nartyas (2013: 4)

“Gempa bumi menjadi pemicu bencana besar paling mematikan dalam satu
dekade terakhir dan masih menjadi ancaman utama bagi jutaan orang di
seluruh dunia, terutama yang tinggal di kota besar, sebuah penelitian yang
di dukung PBB mengatakan bahwa hampir 60 persen dari sekitar 780 ribu
orang yang tewas akibat bencana alam antara tahun 2000 hingga 2009,
tewas karena gempa bumi”.

Adanya peristiwa gempa bumi yang sudah dialami oleh masyarakat di

Dusun Potrobayan Desa Srihardono diharapkan dapat memberi pengalaman

akan dampak gempa bumi yang merusak. Pengalaman gempa bumi yang sudah

terjadi diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terutama

kepala keluarga dalam menghadapi gempa bumi apabila gempa bumi itu terjadi

kembali. Kepala keluarga berperan sebagai seorang pemimpin dalam keluarga.

Kepala keluarga dapat berupa bapak ataupun ibu di dusun Potrobayan yang

berada tidak jauh dari pusat gempa bumi yang terjadi 10 tahun silam. Keluarga

diharapkan memiliki kemampuan untuk mengatasi gempa bumi, karena peran

keluarga dalam kesiapsiagaan sangat penting alasannya. Menurut (Harahap et

al, 2011: 22) kepala keluarga berperan dalam menyampaikan informasi bagi

keluargannya, mengambil keputusan yang cepat dapat memengaruhi anggota

keluarganya dan juga kepala keluarga sebagai sumber dukungan sosial bagi

keluargannya, akibat pengaruhnya semua ucapan, tingkah laku dan tindakannya

akan dijadikan panutan oleh keluarganya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hal utama yaitu,

mengetahui tingkat pemahaman kesiapsiagaan kepala keluarga dalam

menghadapi bencana gempa bumi. Penelitian ini penting dan menarik


mengingat Indonesia merupakan negara yang sebagian besar daerahnya rentan

dan berisiko terhadap bencana, khususnya lagi bencana gempa bumi.

Kebencanaan merupakan salah satu materi kajian yang dimuat dalam

pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Kajian Ilmu Pengetahuan

Sosial meliputi; ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Pokok

bahasan dalam ilmu bumi salah satunya yaitu mengenai kebencanaan (Supardi

2011 :174). Bencana merupakan peristiwa alam yang nantinya akan

menimbulkan masalah sosial lain di sekitar masyarakat. Perlunya kesiapsiagaan

menghadapi bencana merupakan salah satu upaya agar dampak dari bencana

dapat diminimalkan terutama bencana gempa bumi.

Pemahaman kesiapsiagaan dalam hal bencana gempa bumi ini menjadi

hal yang sangat penting diperhatikan bagi warga masyarakat terutama kepala

keluarga yang menjadi pemimpin dalam keluarga. Pemahaman kesiapsiagaan

kepala keluarga ini juga berguna untuk mengurangi risiko bencana yang di

sebabkan oleh gempa bumi. Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis

tertarik melakukan penelitian dengan judul “ Tingkat Pemahaman

Kesiapsiagaaan Kepala Keluarga dalam menghadapi bencana gempa bumi di

Dusun Potrobayan Desa Srihardono Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul”. `


B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Banyaknya korban jiwa di Kabupaten Bantul sebanyak 4.121 jiwa dan

bangunan hancur total sebanyak 46.753 bangunan.

2. Banyaknya kerugian yang ditimbulkan akibat germpa bumi 27 Mei 2006

berupa korban jiwa sebanyak 13 jiwa meninggal dunia dan hampir 95 %

bangunan rubuh total di Dusun Potrobayan

3. Rendahnya tingkat pemahaman kesiapsiagaan kepala keluarga dalam

menghadapi bencana gempa bumi

C. Batasan masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan

diatas, maka permasalahan yang diteliti harus dibatasi. Pembatasan masalah

dalam penelitian ini mencakup tingkat pemahaman kesiapsiagaan kepala

keluarga yang diukur melalui parameter kesiapsiagaan dalam menghadapi

bencana gempa bumi.

D. Rumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka, diperoleh rumusan

masalah penelitian sebagai berikut, seberapa besar tingkat pemahaman

kesiapsiagaan kepala keluarga di Dusun Potrobayan dalam menghadapi

bencana gempa bumi yang diukur melalui parameter kesiapsiagaan ?


E. Tujuan penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ada, maka tujuan yang

akan dicapai pada penelitian ini untuk mengetahui, tingkat pemahaman

kesiapsiagaan kepala keluarga di Dusun Potrobayan dalam menghadapi

bencana yang diukur melalui parameter kesiapsiaagaan

F. Manfaat penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis maupun praktis, yakni:

1. Manfaat teoretis

a. Menambah kajian ilmu pengetahuan mengenai materi kebencanaan dalam

pendidikan IPS, terutama tentang manajemen bencana

b. Untuk mengimplementasikan peran Pendidikan IPS terhadap materi

kebencanaan yaitu bencana gempabumi.

c. Dapat menjadikan acuan bagi penelitian serupa diwaktu yang akan datang

tentang kebencanaan

2. Manfaat praktis

a. Bagi masyarakat

Hasil penelitian dapat berguna bagi masyarakat di Dusun

Potrobayan yang letak wilayahnya berada pada daerah rawan bencana

gempa bumi yaitu dalam hal pengurangan resiko bencana dan manajemen

bencana
b. Bagi kepala dusun

Hasil penelitian dapat berguna bagi kepala dusun Potrobayan

sebagai tolak ukur untuk mengetahui sikap dan pengetahuan kesiapsiagaan

warga masyarakat di dusun potrobayan dalam menghadapi bencana.

c. Bagi lembaga

Dapat berguna bagi pemerintah daerah maupun bagi

lembaga/instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana khususnya

bencana gempa bumi untuk memberikan sistem tanggap bencana yang

tepat

d. Bagi Jurusan

Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang selanjutnya.

e. Bagi calon pengajar/guru pendidikan ilmu pengetahuan sosial

1) Dapat digunakan sebagai materi tambahan dalam kegiatan pembelajaran di

sekolah khususnya materi bencana gempa bumi di SMP kelas VII dalam:

a) Bab: Manusia, Tempat dan Lingkungan

b) Sub Bab: Kondisi Alam Indonesia

c) Sub-sub Bab: Kondisi Geologi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai