Anda di halaman 1dari 43

1.

PENDAHULUAN
A. Judul Penelitian
Kesiapsiagaan Siswa SMA Negeri 1 Imogiri dalam Menghadapi
Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Bantul Yogyakarta

B. Latar Belakang Masalah


Bencana alam merupakan fenomena atau kejadian yang tidak dapat
dihindari, dari tahun ke tahun kejadiannya dapat meningkat. Menurut
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh
faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat pula
didefinisikan sebagai situasi krisis yang jauh diluar kapasitas manusia untuk
menyelamatkan diri, artinya suatu kejadian alam tidak akan disebut bencana
apabila dampak atau kerugian yang ditimbulkannya tidak dirasakan oleh
manusia.
Proses-proses geologi yang berasal dari dalam bumi (endogen)
maupun dari luar bumi (eksogen) dapat menimbulkan bahaya bahkan
bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya yang ditimbulkan oleh proses-
proses geologi disebut dengan bencana geologi (geological hazardz). Tanah
longsor, erupsi gunungapi, gempa bumi, banjir, erosi, salinasi, dan
kekeringan adalah beberapa contoh dari proses geologi yang dapat
berdampak pada aktivitas manusia di berbagai wilayah. Berdasarkan
catatan, bencana geologi yang terjadi di berbagai belahan dunia meningkat
secara tajam, baik dalam tingkat dan skala kejadiannya dan berdasarkan
statistik jumlah korban jiwa dan harta benda juga meningkat (Djauhari
Noor, 2006: 105).
Gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi yang diakibatkan oleh
pergeseran gerakan pada bagian dalam bumi (kerak bumi) secara tiba-tiba.

1
Gempa bumi dapat terjadi karena adanya aktivitas tektonisme atau
pergerakan lempeng, bumi, aktivitas sesar, dan aktivitas gunung berapi.
Menurut Bolt (1993) dalam Bevaola (2014: 12), dua pertiga dari semua
gempa bumi besar berada pada wilayah Cincin Api (Ring of Fire) di sekitar
Pasifik yang berdekatan dengan aktivitas geofisika yang terkait dengan
lempengan tektonik.
Gempa bumi merupakan bencana yang tidak dapat diprediksi kapan
dan dinama peristiwa tersebut, sehingga jika terjadi gempa bumi di suatu
wilayah dengan kekuatan besar sering menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan sarana prasarana. Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan dan
upaya menghadapi datangnya gempa bumi, sehingga dapat mengurangi
korban jiwa dan rusaknya sarana dan prasana sebagai dampak adanya
bencana gempa bumi.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilewati oleh jalur sabuk
mediterania yang merupakan jalur cincin api (ring of fire) dunia. Jalur
mediterania ini membentang dari Pulau Sumatera, melewati Pulau Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke Maluku, Sulawesi Utara
(Hidayati, 2011: 24). Akibat Indonesia dilewati oleh jalur cincin api ini,
maka di Indonesia terdapat banyak gunung berapi yang rata-rata masih aktif.
Gunungapi yang masih aktif akan bergejolak karena melakukan aktivitasnya
di dalam bumi yang merupakan siklus alam yang terdapat pada gunungapi
di seluruh dunia. Kegiatan gunungapi ini akan mengakibatkan pergerakan
magma yang ada di dalam gunungapi yang sewaktu-waktu dapat
dikeluarkan dengan berbagai materialnya. Proses pengeluaran material
erupsi gunung berapi ini akan menimbulkan getaran di sekitar daerah
gunung berapi, getaran ini merupakan awal dari bencana gempa bumi yang
disebut dengan gempa vulkanik.
Negara Indonesia memiliki posisi strategis, yaitu berada di antara dua
benua dan dua samudera. Dua samudera yaitu Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik, serta dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia.
Secara geologis, Indonesia terletak pada tiga lempeng tektonik yang

2
mengakibatkan Indonesia memiliki banyak gunung berapi. Lempeng
tektonik tersebut adalah lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan
Lempeng Pasifik. Letak Indonesia yang berada di atas tiga lempeng tektonik
menyebabkan Indonesia termasuk ke dalam negara yang rawan terhadap
bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunungapi. Kondisi ini menjadi
ancaman bencana alam di Indonesia.
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terletak
pada jalur pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, yaitu
Lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Lempeng Eurasia yang
menghasilkan zona subduksi. Pertemuan kedua lempeng ini menghasilkan
getaran gempa dengan intensitas kekuatan yang berbeda-beda. Selain itu,
dengan adanya zona subduksi maka Indonesia juga banyak terdapat
gunungapi terutama di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara.
BNPB menyebutkan bahwa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
pernah mengalami bencana gempa bumi yang berkekuatan dari 5 SR pada
tahun 1867, 1943, 1976, dan 2006. Kabupaten Bantul merupakan salah satu
wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ikut merasakan dampak
gempa bumi 27 Mei 2006. Gempa yang terjadi pada pukul 05.53 WIB
berkekuatan 5,9 SR berpusat di 803’ LS dan 11023’ BT dengan
kedalaman 33 kilometer dari permukaan tanah. Kondisi kegempaan di
Kabupaten Bntul juga dipengaruhi oleh keberadaan Patahan Opak di
sepanjang Sungai Opak. Patahan tersebut merupakan patahan/sesar normal
yang berada di sepanjang hampir 40 km dari pantai selatan Jawa
(Zukhrufuddin Thaa, 2007: 67).
Gempa bumi pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 SR telah
mengkibatkan 4.626 orang meninggal dunia dan 19.202 orang luka-luka.
Korban terbanyak dan kerusakan terparah akibat bencana gempa bumi
berada di Kabupaten Bantul yang menjadi pusat gempa bumi. Korban
meninggal dunia di Kabupaten Bantul akibat bencana gempa bumi sebanyak
4.141 orang, dan korban luka-luka sebanyak 12.026 orang. Dampak korba
jiwa di Kabupaten Sleman sebanyak 232 dan korban luka-luka sebanyak

3
3.789 orang. Kota Yogyakarta terdapat 204 korban meninggal dan 318
orang mengalami luka-luka. Korban meninggal di Kabupaten Kulon Progo
sebanyak 22 orang dan 2.678 mengalami luka-luka, sedangkan di
Kabupaten Gunung Kidul korban meninggal sebanyak 81 orang dan korban
luka-luka sebanyak 19.897 (Akhmad Muktaf Haifani, 2008: 290).
Selain korban jiwa, bencana gempa bumi juga berdampak pada
rusaknya fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, pasar, dan fasilitas
umum lainnya. Jumlah rumah rusak atau runtuh pada perkampungan di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai akibat dari gempa bumi
tektonik yang dapat diperoleh dari Pusat Data Gempa bumi Yogyakarta
tertanggal 12 Juni 2006 adalah 96.360 rumah, 117.182 rusak berat, dan
156.568 rusak ringan. Kerusakan terbesar terdapat di Kabupaten Bantul
yang diasumsikan mencapai 45% dari jumlah total kerusakan rumah
(Akhmad Muktaf Haifani, 2008: 291).
Rincian data kerusakan rumah akibat gempa bumi 27 Mei 2006 adalah
sebagai berikut:
Tabel 1: Data kerusakan bangunan rumah penduduk di Provinsi DIY
Kerusakan (Rumah Penduduk)
No Kabupaten
Rata Tanah Rusak Berat Rusak Ringan
1 Bantul 71.683 70.796 66.512
2 Sleman 5.243 16.003 33.233
3 Yogyakarta 7.161 14.535 21.192
4 Kulon Progo 4.527 5.178 8.501
5 Gunung Kidul 7.746 10.670 27.130
Total 96.360 117.182 156.568
Sumber: (Akhmad Muktaf Haifani, 2008: 291)

Wilayah yang mengalami kerusakan parah saat gempa bumi Mei 2006
adalah wilayah-wilayah yang dilewati oleh jalur Patahan Opak. Wilayah
tersebut meliputi Kecamatan Piyungan, Kecamatan Jetis, Kecamatan Pleret,
Kecamatan Imogiri, dan Kecamatan Pundong. Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantul menyusun peta kerentanan gempa bumi Kabupaten
Bantul berdasarkan letak Patahan Opak. Berikut ini merupakan peta
kerentanan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul:

4
Gambar 1. Peta kerentanan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul

5
Peta di atas memberikan informasi mengenai daerah-daerah di
Kabupaten Bantul yang memiliki kerentanan terhadap bencana gempa
bumi. Tingkat kerentanan digambarkan dengan zonasi wilayah dengan
tingkat bahaya rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Salah satu
wilayah yang masuk dalam kategori memiliki bahaya tinggi terhadap
gempa bumi adalah wilayah Kecamatan Imogiri.Dampak dari gempa bumi
Mei 2006 juga dirasakan di wilayah Kecamatan Imogiri. Kerugian yang
dialami berupa korban jiwa, korban luka-luka, maupun kerusakan fasilitas.
Kerusakan fasilitas atau bangunan akan berdampak pula pada korban
jiwa, misalnya korban luka-luka akibat tertimpa material bangunan yang
runtuh. Salah satu tempat yang berbahaya pada saat terjadi bencana gempa
bumi adalah sekolah. Hal ini karena sekolah merupakan salah satu
bangunan vital sebagai tempat berkumpul banyak individu, terutama pada
jam pelajaran sekolah. Bangunan sekolah memiliki kerentanan terhadap
ancaman bencana gempa bumi dengan dampak runtuhnya bangunan dan
korban jiwa.
SMA Negeri 1 Imogiri terletak di Jl. Imogiri Timur Km. 14
Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Melihat letak SMA Negeri 1
Imogiri, keberadaan sekolah ini berada di daerah dengan kerawanan
bencana gempa bumi tinggi. Wilayah Kecamatan Imogiri pernah
mengalami bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006. Kejadian gempa bumi
27 Mei 2006 memberi dampak adanya korban jiwa maupun kerusakan
infrastruktur bangunan. Pengalaman gempa bumi tersebut menunjukkan
betapa besarnya dampak bencana gempa bumi. Dampak bencana gempa

6
bumi juga dapat mengganggu berlangsungnya kegiatan pembelajaran di
sekolah.
Ancaman bencana gempa bumi di SMA Negeri 1 Imogiri yang
sewaktu-waktu dapat terjadi memerlukan respon dari sekolah baik oleh
guru maupun siswa. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai pemahaman tentang bencana, konsep bencana, wawasan
bencana, dan tindakan kesiapsiagaan menghadapi bencana di lingkungan
sekolah. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui upaya-
upaya yang dilakukan dalam pengurangan risiko bencana gempa bumi.
Oleh karena itu kesiapsiagaan guru dan siswa dalam menghadapi bencana
gempa bumi sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya korban jiwa.
Upaya menghadapi atau mengurangi dampak bencana perlu adanya
kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana gempa bumi.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana didefinisikan sebagai tindakan yang
bertujuan untuk meningkatkan keselamatan hidup saat terjadi bencana.
Kesiapsiagaan mencakup tindakan yang dirancang untuk meningkatkan
kemampuan dalam melakukan tindakan darurat untuk melindungi property
dari kerusakan dan kekacauan akibat bencana, serta kemampuan untuk
terlibat dalam kegiatan restorasi dan pemulihan awal pasca bencana (LIPI
UNeSCO, 2006).
Tindakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempa bumi
dapat berupa meningkatkan kemampuan menangani bahaya dengan
mengikuti pelatihan, memahami rute evakuasi, tindakan menyelamatkan
diri, dan lain-lain. Selain itu, pemahaman siswa tentang karakteristik
bencana gempa bumi dan mitigasi bencana perlu ditingkatkan sebagai
upaya dalam pengurangan risiko bencana. Peningkatan pemahaman siswa
tentang bencana gempa bumi dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun
sosialisasi kebencanaan dari sekolah, pemerintah dan lembaga terkait. Hal
ini perlu ditingkatkan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan
siswa tentang manajemen bencana khususnya bencana gempa bumi,
sehingga mampu mengurangi dampak dari terjadinya bencana.

7
Membangun kesiapsiagaan pada siswa bukan berarti mengajarkan
siswa menolak terjadinya gempa bumi di daerah mereka, melainkan
mengajarkan tentang upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah, dan
mengantisipasi timbulnya dampak buruk dari terjadinya bencana gempa
bumi yang kapan saja dapat terjadi. Kesiapsiagaan di sekolah menjadi hal
yang penting, mengingat sekolah merupakan lokasi yang memiliki risiko
tinggi untuk jatuhnya korban jiwa. Oleh karena itu, perlu adanya informasi
mengenai tingkat kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana. Hal ini
dapat digunakan untuk melakukan upaya-upaya dalam mengurangi
dampak dari bencana gempa bumi yang terjadi.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas mendorong
peneliti untuk mengetahui pemahaman tentang bencana dan tingkat
kesiapsiagaan siswa (individu) dalam menghadapi bencana. Oleh karena
itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Kesiapsiagaan
Siswa SMA Negeri 1 Imogiri Dalam Menghadapi Bencana Gempa
Bumi di Kabupaten Bantul Yogyakarta”

C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat
teridentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Gempa bumi merupakan bencana yang sulit diprediksi kapan dan
dimana peristiwa itu akan terjadi.
2. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng bumi aktif, yaitu
Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang
menyebabkan Indonesia termasuk dalam kawasan rawan bencana
gempa bumi.
3. Bencana gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006 menimbulkan
banyak korban jiwa dan kerusakan fasilitas.
4. SMA Negeri 1 Imogiri berada di kawasan rawan bencana gempa bumi
dengan tingkat bahaya tinggi.

8
5. Pengetahuan siswa SMA Negeri 1 Imogiri tentang bencana gempa bumi
yang belum diketahui.
6. Kesadaran siswa tentang pentingnya pengurangan risiko bencana belum
diketahui.
7. Belum diketahui keikutsertaan siswa SMA N 1 Imogiri dalam kegiatan
penyuluhan dan pelatihan kebencanaan.
8. Kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Imogiri dalam menghadapi
bencana gempa bumi yang belum diketahui.
9. Upaya sekolah dan siswa SMA Negeri 1 Imogri dalam menghadapi
bencana gempa bumi belum diketahui.

D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka perlu adanya
pembatasan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Pengetahuan siswa SMA Negeri 1 Imogiri terhadap bencana gempa
bumi belum diketahui.
2. Belum diketahui keikutsertaan siswa SMA N 1 Imogiri dalam kegiatan
penyuluhan dan pelatihan kebencanaan.
3. Kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Imogiri dalam menghadapi
bencana gempa bumi yang belum diketahui.

E. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diungkapkan di atas, maka
peneliti merumuskan masalah yang yang akan diteliti meliputi:
1. Bagaimana pengetahuan siswa SMA Negeri 1 Imogiri terhadap bencana
gempa bumi?
2. Bagaimana keikutsertaan siswa SMA N 1 Imogiri dalam kegiatan
penyuluhan dan pelatihan kebencanaan?
3. Bagaimana kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Imogiri dalam
menghadapi bencana gempa bumi?

9
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengetahuan siswa SMA Negeri 1 Imogiri terhadap bencana gempa
bumi.
2. Keikutsertaan siswa SMA N 1 Imogiri dalam kegiatan penyuluhan dan
pelatihan kebencanaan.
3. Kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Imogiri dalam menghadapi
bencana gempa bumi.

G. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai
berikut:
1. Menambah wawasan dan kajian ilmu geografi khususnya tentang
kesiapsiagaan bencana.
2. Mengungkap berbagai masalah yang berkaitan kesiapsiagaan siswa
dalam menghadapi bencana.
3. Sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk penelitian sejenis di
masa yang akan datang.
4. Sebagai tambahan wawasan bagi siswa tentang tanggap bencana
gempa bumi.
5. Menambah pengetahuan siswa tentang kesiapsiagaan menghadapi
bencana gempa bumi.
6. Bagi sekolah atau Perguruan tinggi, dapat digunakan sebagai bahan
masukkan dalam mengadakan pendidikan Manajemen Bencana.
7. Dapat digunakan sebagai masukan untuk mengadakan sosialisasi
kesiapsiagaan menghadapi bencana di masyarakat.
8. Dapat digunakan sebagai masukkan dalam mengadakan penyuluhan
tentang mitigasi bencana.
9. Bagi SMA Negeri 1 Imogiri

10
10. Sebagai bahan masukkan bagi Kepala Sekolah, Guru, Karyawan, dan
Siswa SMA Negeri 1 Imogiri untuk meningkatkan pengetahuan dan
sosialisasi tentang pentingnya manajemen bencana sehingga dapat
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
11. Dapat digunakan sebagai tambahan materi dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah khususnya materi SMA kelas X.
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kajian Tentang Bencana
a. Pengertian Bencana
Bencana merupakan peristiwa karena faktor alam maupun
ulah manusia yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan dan
dapat menimbulkan hilangnya jiwa manusia, harta benda, kerugian
sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, serta berada di luar
kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya (Nurjanah, dkk,
2012: 11).
Menurut Centre for Research on the Epidemiology Of
Disasters (CRED) dalam Bevaola, 2014: 3, bencana adalah suatu
gangguan serius terhadap fungsi masyarakat yang mengakibatkan
kerugian manusia, material, atau lingkungan yang luas melebihi
kemampuan masyarakat yang terkena dampak dan harus mereka
hadapi menggunakan sumber daya yang ada pada mereka.

Pengertian bencana juga tercantum dalam Undang-undang


No. 24 tahun 2007, bencana diartikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.

11
b. Jenis-jenis Bencana
Bencana diklasifikasikan sesuai dengan kecepatan peristiwa
ataupun sesuai penyebabnya (alam atau ulah manusia). Menurut
Undang-undang No. 24 tahun 2007, bencana diklasifikasikan atas 3
jenis sebagai berikut:
1) Bencana Alam adalah bencana yang bersumber dari fenomena
alam seperti gempa bumi, letusan gunung api, meteor,
pemanasan global, banjir, topan, dan tsunami.
2) Bencana Non Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
3) Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antara kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.
c. Faktor Penyebab Bencana
Terjadinya bencana adalah karena pertemuan antara
bahaya dan kerentanan, serta adanya faktor pemicu. Hal tersebut
dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Pemicu
Bahaya

Risiko
Bencana
Bencana

Kerentanan

Gambar 2. Proses Terjadinya Bencana

12
Menurut Nurjanah dkk, (2012: 15-19), proses terjadinya
bencana dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1) Bahaya (Hazard)
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang
mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian
harta benda dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan United
Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR),
bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
a) Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami,
gunungapi, gerakan tanah (mass movement) sering dikenal dengan
tanah longsor.
b) Bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama,
penyakit tanaman dan hewan ternak.
c) Bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, kegagalan teknologi.
d) Bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran hutan,
kerusakan lingkungan, dan pencemaran limbah.
2) Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan
dalam menghadapi ancaman bahaya. Tingkat kerentanan
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
bencana, hal ini karena suatu bencana akan terjadi apabila bahaya
tersebut terjadi pada daerah yang rentan terhadap bahaya. Tingkat
kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur),
sosial, kependudukan, dan ekonomi.
3) Kemampuan (Capacity)
Kemampuan merupakan kombinasi semua kekuatan dan
sumberdaya yang tersedia di dalam suatu komunitas, masyarakat,
atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko bencana.
4) Risiko (Disaster Risk)

13
Risiko bencana merupakan interaksi antara tingkat kerentanan
daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Ancaman bahaya,
khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika
proses alami pembangunan atau pembentukan muka bumi baik dari
tenaga internal maupun eksternal. Sedangkan tingkat kerentanan
daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi
ancaman tersebut semakin meningkat.
Risiko bencana merupakan tahap awal upaya mitigasi bencana
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bahaya x Kerentanan
Risiko=
Kapasitas
Mengurangi risiko bencana merupakan bagian dari manajemen
risiko bencana. Kaitannya dengan ini, mengurangi risiko bencana
dapat diartikan dengan:
a) Mengurangi bahaya
b) Mengurangi kerentanan
c) Meningkatkan kapasitas
1. Manajemen Bencana
Peristiwa bencana tidak dapat diprediksi dengan pasti dan tidak
terduga, sehingga yang paling diutamakan adalah proses antisipasi
bencana dan meminimalisasi akibat yang ditimbulkan. Ada upaya
nyata yang dapat dilaksanakan secara faktual dalam memahami dan
mengantisipasi kondisi alam yaitu dengan tindakan manajemen
bencana. Upaya manajemen bencana dapat berjalan dengan baik
bila seluruh komponen dapat bekerja sama, seperti pemerintah,
masyarakat, sekolah dan lembaga non-pemerintah. Menurut Hadi
Purnomo dan Ronny Sugiyantoro (2010: 14), hal terpenting dalam
manajemen bencana adalah adanya suatu langkah konkret dalam
mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak diharapkan
dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat. Upaya untuk
pemulihan pasca bencana juga dapat dilakukan dengan lebih cepat.

14
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana (Agus Rahmat dalam
Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro, 2010: 93). Tujuan
manajemen bencana adalah:
a. Mencegah kehilangan jiwa.
b. Mengurangi penderitaan manusia.
c. Memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai
risiko.
d. Mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda, dan
kehilangan sumber ekonomi.
Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro (2010: 97)
mengemukakan bahwa dalam pengelolaan bencana yang efektif
memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya,
menyeluruh, terpadu, dan kesiapan masyarakat. Manajemen
bencana memiliki tahapan-tahapan atau fase-fase yang dikenal
dengan siklus penanganan bencana (disaster management cycle).
Siklus manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan
bencana yang pada intinya merupakan tindakan pra bencana,
menjelang bencana, saat bencana, dan pasca bencana.
Siklus manajemen bencana memiliki empat aktivitas yang
sangat penting dilakukan, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respons
atau tanggap darurat, dan pemulihan. Adapun tahapan manajemen
bencana adalah sebagai berikut:

15
Sebelum terjadi
Setelah terjadinya bencana
bencana

Pencegahan
Pemulihan
dan Mitigasi

Tanggap Kesiapsiagaan
Darurat
Saat terjadinya
bencana
BENCANA Sebelum terjadi
bencana

Gambar 3. Tahapan manajemen bencana


a. Mitigasi
Mitigasi didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum bencana
terjadi dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap
masyarakat untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap
masyaraat dan lingkungan (King, 2007 dalam Bevaola Kusumasari, 2014: 22).
Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, mitigasi
bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana.
Ada dua jenis mitigasi, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Mitigasi
struktural didefinisikan sebagai pengurangan risiko yang dilakukan melalui
pembangunan dan perubahan lingkungan fiisk melalui penerapan solusi yang
dirancang, sedangkan mitigasi nonstruktural meliputi pengurangan kemungkinan

16
atau konsekuensi risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau
alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang.
Teknik ini dianggap sebagai cara manusia menyesuaikan diri dengan alam.
Didalam upaya mitigasi terdapat langkah-langkah regulasi, program pendidikan,
dan kesadaran masyarakat modifikasi fisik nonstruktural, modifikasi perilaku,
serta pengendalian lingkungan (Bevaola Kusumasari, 2004: 22)
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan didefinisikan sebagai suatu keadaan siap siaga dalam
menghadapi krisis, bencana atau keadaan darurat lainnya (Bevaola Kusumasari,
2004: 24). Tujuan dari kesiapsiagaan ini adalah untuk mengantisipasi masalah
dan sumber daya yang diperlukan untuk memberikan respons secara efektif
sebelum bencana terjadi.
c. Respons Daya Tanggap
Saluf (2008) dalam Bevaola Kusumasari, 2014: 2008) mendefinisikan
bahwa respons merupakan tindakan yang dilakukan segera sebelum, selama, dan
setelah terjadi bencana. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyelamatkan nyawa,
mengurangi kerusakan harta benda, meningkatkan pemulihan awal dari insiden
tersebut. Respons meliputi pemberian bantuan atau intervensi selama atau
setelah terjadi, serta menemui kelestarian hidup dan kebutuhan hidup dasar
masyarakat yang terkena dampak.
d. Pemulihan
Nurjanah dkk (2012: 74) menjelaskan bahwa pemulihan merupakan awal
upaya pembangunan kembali dan menjadi bagian dari pembangunan pada
umumnya yang dilakukan melalui rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi
dapat diartikan sebagai segala upaya perbaikan untuk mengembalikan fungsi
secara minimal terhadap sarana, prasarana, dan fasilitas umum yang rusak akibat
bencana. Rekonstruksi dapat diartikan sebagai segala upaya pembangunan
kembali sarana, prasarana, dan fasilitas umum, serta kapasitas kelembagaan
yang rusak akibat bencana baik pada level pemerintah, maupun
masyarakat/komunitas.

17
2. Kajian Gempa Bumi
a. Pengertian gempa bumi
Gempa bumi adalah goncangan akibat adanya gerakan, geseran, maupun
patahan lapisan batuan di dalam bumi (Departemen Komunikasi dan Informasi
RI, 2008: 7). Menurut Joko Christanto (2011: 11), gempa bumi terjadi karena
gesekan antar lempeng-lempeng tektonik di bawah permukaan bumi. Pergerakan
ini mengeluarkan energi yang luar biasa dan menimbulkan goncangan di
permukaan bumi. Abbott (2008: 79) dalam Nur Faizah Rahmawati (2016: 21)
mendefinisikan gempa bumi sebagai berikut:
The word earthquake is effectively a self-defining term-the earth
quakes, the arth shakes, and we feel the vibrations, earthquakes may be
created by volcanic activity, meteorite impacts, undersea landslides,
explosions of nuclear bombs, and more; but most commonly, they are
caused by sudden earth movemont along faults

Abbott menjelaskan bahwa kata gempa bumi secara efektif dapat diartikan
sebagai bergetarnya bumi yang dapat dirasakan oleh manusia. Gempa dapat
terjadi oleh aktivitas vulkanik, dampak meteor, lempeng bawah laut, ledakan
bom nuklir, dan lain-lain. Secara umum, gempa bumi diakibatkan oleh
pergerakan bumi secara tiba-tiba beserta patahannya. Gempa bumi memiliki
potensi bencana di sepanjang jalur patahannya. Getaran gempa bumi juga dapat
memicu bencana yang lain, seperti tanah longsor dan tsunami. Gempa bumi
dapat mengguncang atau meretakkan permukaan bumi, menghandurkan seluruh
kota, menewaskan ribuan orang, dan membuat banyak orang kehilangan tempat
tinggal. Gempa bumi juga dapat memicu gelombang massif yang disebut
tsunami.
b. Faktor-faktor Penyebab Gempa Bumi
Gempa bumi terjadi karena adanya energi yang disebabkan oleh tekanan
lempeng yang bergerak. Tekanan tersebut semakin lama akan semakin
membesar dan akan mencapai tekanan yang tidak dapat ditahan lagi oleh

18
lempeng tersebut, sehingga menghasilkan getaran gempa. Gempa bumi juga
terjadi pada aktivitas gunung api (Joko Christanto, 2011: 27).
Pergerakan lempeng tektonik bumi menyebabkan pembentukan banyak
patahan-patahan aktif baik di wilayah daratan maupun di dasar lautan. Batas
antara lempeng dengan patahan-patahan aktif dapat menjadi sumber terjadinya
gempa yang dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Masroer dan Thaqibul
Fikri (2013: 11) mengemukakan bahwa gempa bumi merupakan salah satu
proses alam yang terjadi di bumi sejak berjuta-juta tahun yang lalu, berupa
getaran atau goncangan tanah yang diawali oleh patahnya lapisan tanah atau
batuan di dalam kulit bumi, dan diikuti pelepasan energi secara mendadak.
c. Jenis-Jenis Gempa Bumi
Menurut Joko Christanto (2011: 41), faktor penyebab gempa bumi dapat
dibedakan menjadi:
1) Gempa bumi tektonik (tectonik earthquake)
Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh adanya
aktivitas tektonik yang berupa pergeseran lempeng-lemepeng tektonik secara
mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga sangat
besar.
2) Gempa bumi Vulkanik (Vulcanic earthquake)
Gempa bumi vulkanik adalah gempa bumi yang terjadi akibat adanya
aktivitas vulkanisme.
3) Gempa bumi runtuhan (sudden ground shaking)
Gempa bumi runtuhan adalah gempa bumi yang terjadi akibat runtuhnya
atap gua atau daerah kosong di bawah lahan mengalami keruntuhan, runtuhnya
atap tambang, runtuhnya batuan, dan sebagainya.
4) Gempa bumi tumbukan
Gempa bumi tumbukan terjadi sebagai akibat jatuhnya asteroid ke bumi.
5) Gempa bumi buatan
Gempa bumi buatan terjadi karena ulah manusia itu sendiri, seperti
peledakan dinamit, nuklir, dan bom dengan kekuatan yang sangat besar.
3. Kajian Mitigasi Gempa Bumi

19
Mitigasi atau upaya meminimalkan risiko yang ditimbulkan dari bencana
gempa bumi meliputi beberapa hal, yaitu memprediksi gempa bumi, tindakan
sebelum kejadian, tindakan saat kejadian, dan tindakan setelah kejadian bencana.
Arief Mustofa Nur (Jurnal Geografi Vol.7 No. 1, 2010) mengemukakan
tindakan-tindakan mitigasi bencana gempa bumi sebagai berikut:
a. Memprediksi Gempa Bumi
Bencana gempa bumi merupakan bencana yang tidak dapat dicegah, terjadi
secara tiba-tiba dan mengejutkan serta sulit diperkirakan secara akurat
lokasilokasi pusatnya, waktu kejadiannya dan ekuatannya secara tepat dan
akurat. Namun gempa bumi dapat diprediksi kisaran waktu yang memungkinkan
untuk terjadi kembali. Metode prediksi gempa bumi ada 2 (dua) yaitu:
1) Short-range prediction (prediksi waktu pendek), meliputi:
 Memprediksi jangka waktu antara fore shock dan main shock atau major
shock atau major earthquake.
 Berdasarkan pengelaman sejarah gempa bumi di Jepang, Amerika, China, dan
Russia perbedaan waktu gempa bervariasi ada yang 24 jam serta ada yang
lebih dari satu bulan.
2) Long-range prediction (prediksi waktu panjang), meliputi:
 Mempelajari interval bencana gempa bumi besar pada waktu yang lalu (siklus
bencana gempa bumi).
 Sebagai contoh siklus gempa Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang diperkirakan mengalami siklus 20-25 tahunan. Hal ini terbukti dari
adanya kejadian gempa bumi 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 SR. Gempa
bumi serupa juga pernah terjadi pada tahun 1980-an dengan kekuatan 5-6 SR.
b. Sebelum Kejadian
Persiapan yang perlu dilakukan sebelum terjadi bencana gempa bumi yaitu
menumbuhkan pemahaman dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal
ini dilakukan untuk mengurangi risiko dari adanya suatu bencana. Persiapan
tersebut meliputi:

20
1) Perlunya memahami daerah yang tinggali merupakan daerah yang dekat
dengan jalur gempa dan gunung api, sehingga perlunya sikap waspada dan
kesiapsiagaan.
2) Perlunya mengumpulkan informasi bencana yang diperkirakan terjadi di
daerah tempat tinggal dengan menghubungi instansi yang berwenang atau
terkait.
3) Perlunya memahami tempat-tempat yang aman dan tempa yang tidak aman
apabila terjadi bencana gempa. Hal ini cukup penting dalam rangka tindakan
penyelamatan diri saat kejadian bencana gempa bumi.
4) Mengaitkan benda-benda bera yang membahayakan ke tempat yang kokoh,
sehingga bila terjadi gempa bumi tidak mudah roboh atau jatuh yang dapat
menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka.
5) Membuat rencana jalur evakusi bagi masing-masing anggota keluarga menuju
satu titik tempat aman diluar rumah atau bangunan. Begitupun anggota
masyarakat menuju satu titik tempat aman yang telah disepakati bersama.
6) Melakukan latian evakuasi bagi anggota keluarga maupun masyarakat untuk
menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Hal ini penting untuk membiasakan
melakukan evakuasi dan untuk mengestimasi waktu serta melakuka
koordinasi saat kejadian bencana sebenarnya.
7) Selalu menyiapkan diri dengan peralatan meliputi senter, radio transistor, dan
Pertolongan Pertama Pada Kecelakan (P3K), serta perbekalan secukupnya.
8) Mendengarkan informasi resmi yang berhubungan dengan bencana yang
terjadi.
9) Mendiskusikan dengan teman dan tokoh masyarakat yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman. Hal ini penting karena dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman kebencanaan serta merupakan upaya menjalin
koordinasi dan kerjasama sesama anggota masyarakat.
c. Saat kejadian
Saat kejadian bencana gempa bumi perlu dilakuakan langkah-langkah yang
bertujuan untuk menyelamatkan diri. Hal ini sangat penting dalam rangka
mengurangi korban jiwa akibat bencana. Langkah-langkah tersebut antara lain:

21
1) Saat berada di dalam ruang/gedung
Apabila gempa bumi terjadi saat berada di dalam rumah/gedung, maka
langkah yang dilakukan adalah:
 Tetap tenang dan tidak panik.
 Mencabut semua peralatan listrik dan gas. Tindakan ini dilakukan untuk
menghindari kerusakan peralatan elektronik dan kemungkinan terjadinya
kebakaran.
 Sesegera mungkin lari ke luar rumah/gedung menuju ke tempat terbuka.
Tempat terbuka yang aman adalah tempat terbuka yang jauh dari bangunan
maupun pohon besar.
 Apabila tidak sempat keluar rumah ketika terjadi gempa, maka lebih baik
berlindung di bawah meja yang kokoh dengan bertujuan untuk melindungi
dari jatuhan benda-benda keras akibat gempa bumi.
2) Saat berada dalam perjalanan
 Tetap tenang dan tidak panik.
 Parkir kendaraan di tempat yang aman dan jauh dari pohon besar, bangunan,
serta aman dari kemungkinan pencurian kendaraan.
 Segera lari ke luar kendaraan menuju ke tempat terbuka.
d. Setelah kejadian
Setelah terjadi bencana, langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1) Mengecek anggota keluarga dan sanak saudara. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui jumlah yang selamat dan korban jiwa akibat bencana khususnya
keluarga dan sanak saudara.
2) Menyiapkan dapur umum (khususnya para wanita). Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan makanan secara terkoordinasi bagi semua pengungsi.
3) Menyiapkan tenda-tenda darurat atau yang lain untuk berteduh. Hal ini
dilakukan untuk tempat berteduh dan istirahat sementara yang terkoordinasi
bagi semua pengungsi.
4) Segera menghubungi dan mendatangi posko-posko bantuan untuk
mendapatkan makanan bergizi, selimut, dan obat-obatan.

22
5) Segera menghubungi dan mendatangi posko kesehatan untuk mmeriksa diri
agar terhindar dari penyakit yang umum pasca bencana seperti diare, infeksi
saluran pernafasan atas, penyakit kulit, dan penyakit menular lainnya.
6) Melakukan rehabilitasi dan rekontruksi daerah pasca bencana, baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah.
4. Kajian kesiapsiagaan
a. Definisi Kesiapsiagaan
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan becana,
kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Kesiapsiagaan mencakup kegiatan-kegiatan seperti merumuskan,
menguji, dan melakukan latihan terhadap rencana bencana; memberi pelatihan
bagi responden bencana dan masyarakat umum, melakukan komunikasi dengan
publik dan orang lain tentang kerentanan bencana, serta tindakan yang harus
dilakukan untuk mengurangi hal tersebut (Mileti, 1991 dalam Bevaola
Kusumasari, 2014: 24).
Kesiapsiagaan berkaitan dengan langkah-langkah dan kegiatan yang diambil
sebelum terjadinya bencana. Tujuannnya untuk mengantisipasi masalah dan
sumber daya tepat yang diperlukan untuk memberikan respon secara efektif
sebelum terjadi bencana.
b. Sifat Kesiapsiagaan
Membangun kesiapsiagaan adalah unsur penting, namun sifatnya tidak
mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di
tengah masyarakat. Kesiapsiagaan adalah tahapan yang sifatnya paling strategis,
karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi
datangnya suatu bencana (Soehatman Ramli, 2010: 31).
c. Indikator Kesiapsiagaan
Tingkat kesiapsiagaan suatu lembaga atau seseorang dapat diukur
menggunakan parameter-parameter yang telah ditetapkan dan sesuai dengan
yang akan diukur. Parameter kesiapsiagaan meliputi:
1) Pengetahuan

23
Pengetahuan merupakan faktor utama dalam kesiapsiagaan. Pengetahuan
yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat
untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi masyarakat
yang bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam (Deny
Hidayati dkk, 2006: 14).
Individu yang memiliki pengetahuan kesiapsiagaan diindikasikan dengan
adanya pemahaman mengenai kondisi di lingkungan tempat tinggal individu
tersebut. Kondisi lingkungan yang dimaksudkan meliputi pengetahuan tentang
kejadian bencana dan bencana yang mungkin akan terjadi di wilayahnya,
dampak yang ditimbulkan, dan kerentanan fisik sekolah.
Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tahun
2012 Tentang Penerapan Sekolah/ Madrasah Aman Teradap Bencana
menjelaskan bahwa perlu adanya kegiatan bagi siswa untuk dapat melakukan
observasi mengenai bahaya, kerentanan, risiko, dan kapasitas yang ada di
sekolah. Pengetahuan ini sangat diperlukan agar siswa dapat merespon bencana
dengan cepat dan tepat, sehingga mampu mengurangi risiko bencana yang ada di
sekolah.
2) Sikap dan Tindakan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sikap adalah kesiapan seseorang
untuk bertindak. Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang
muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan.
Mekanisme pikiran, tanggapan dan respon terhadap bencana gempa bumi
diharapkan dapat digunakan sebagai indikator kesiapsiagaan siswa dalam
pengurangan risiko bencana. Keutuhan dalam berfikir untuk memahami bencana
atau khususnya risiko bencana melalui dinamika berpikir dan bertindak dalam
pendekatan ORID (Objective, Reflective, Interpretative, and Decision) (Lazan &
Maria, 2003 dalam Siti Irene Astuti 2010: 34).
Indikator tersebut diungkap dalam Siti Irene Astuti (2010: 34) dengan
pertanyaan-pertanyaan pada proses mengingat kembali sebagai berikut:
a) Sejauh mana tingkat sensitivitas siswa dalam merespon bencana melalui
kemampuan sensorinya (O);

24
b) Sejauh mana tingkat reflektif siswa dalam mengahayati pengalaman bencana
mereka atau reaksi internal siswa persepsi membandingkan dengan kondisi
sebelum dan sesudah terjadi bencana, ketakutan, dan mungkin pengalaman
positif siswa (R);
c) Sejauh mana kesadaran realitas yang dialami siswa, ini membutuhkan
kemampuan interpretatif siswa, sehingga pengaruh langsung tidak terhadap
sekolah, keluarga, dan masa depan menjadi penting untuk diungkapkan (I);
d) Tahap-tahap pikiran dan respon yang dialami pada 1-3, kemudian siswa akan
membangun komitmen untuk menghadapi bencana dan adaptasi terhadap
berbagai perubahan yang dialami oleh masing-masing siswa sebagai
keputusan pribadinya (D)
3) Peringatan dini
Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,
peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan segera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
Peringatan dini disampaikan dengan segera mungkin kepada semua pihak,
khususnya mereka yang berpotensi terkena bencana akan kemungkinan
datangnya suatu bencana di daerah masing-masing. Peringatan didasarkan
berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah atau diterima dari
pihak berwenang mengenai kemungkinan akan datangnya suatu bencana. Sistem
peringatan dini sudah berkembang pesat didukung berbagai temuan teknologi
(Soehatman Ramli, 2010: 32).
Hal terpenting dalam sistem peringatan dini adalah adanya suatu penanda
bahaya yang diketahui dan dapat diterima oleh setiap komponen sekolah serta
adanya latihan atau simulasi rutin yang melibatkan seluruh warga sekolah.
4) Sistem tangap darurat
Menurut Soehatman Ramli (2010: 35), tanggap darurat bencana (response)
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan

25
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.
Menurut UU No 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,
tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.

Setiap komponen sekolah perlu saling berpartisipasi dalam penyusunan


rencana tanggap darurat. Warga sekolah perlu membuat perencanaan berkaitan
dengan tindakan-tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi bencana.
Tindakan seperti evaluasi, pertolongan dan penyelamatan merupakan tindakan
yang dilakukan untuk meminimalisir korban. Melibatkan siswa dapat melatih
siswa bila menghadapi keadaan darurat merupakan upaya membentuk sekolah
aman dan siap siaga dalam menghadapi bencana perlu dilakukan secara
partisipatif oleh seluruh warga sekolah.
5) Mobilitas sumber daya
Penanganan bencana memerlukan sumberdaya yang memadai sesuai dengan
tingkat dan jenis bencana yang akan dihadapi. Manajemen atau pemimpin
tertinggi harus menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk mengelola
bencana untuk menangani suatu bencana yaitu, Sumberdaya Manusia,
Sumberdaya Prasarana dan Material, serta Sumberdaya Finansial (Soehatman
Ramli, 2010: 59-63).
Pada saat pra bencana perlu adanya peningkatan sumber daya manusia,
termasuk sumber daya siswa. Peningkatan sumber daya siswa dapat dilakukan
sekolah dengan membentuk tim yang ditugaskan dalam keadaan darurat. Tim
tersebut dapat berupa tim satgas yang dikoordinasi oleh OSIS (Organisasi Siswa
Intra Sekolah), tim pertolongan pertama atau Palang Merah Remaja (PMR),
maupun Tim Keamanan Sekolah.
Siswa yang tergabung dalam tim khusus di sekolah memiliki peran penting
untuk membantu teman-temannya pada saat pra bencana. Tindakan tersebut
misalnya membawa dan mengarahkan temannya menuju lokasi aman. Dalam hal

26
ini, siswa dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
lebih dari teman-temannya. Selain itu, peran guru dalam kondisi darurat juga
dibutuhkan untuk tetap memberi arahan dan pendampingan kepada siswa.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bekerja sama dengan
UNESCO telah menentukan variabel kesiapsiagaan, kemudian diturunkan lagi
menjadi indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
kesiapsiagaan.
Tabel 3. Parameter kesiapsiagaan
Parameter Variabel Indikator
Pengetahua Pengetahuan:  Menyebutkan pengertian
n dan sikap  Kejadian alam dan bencana alam, tipe-tipe kejadian
bencana (tipe, alam yang menimbulkan
sumber, besaran, bencana, penebab, ciri-ciri, dan
lokasi) tindakan penyelamatan saat
 Kerentanan fisik terjadi bencana.
(lokasi, kondisi  Menyebutkan ciri-ciri bangunan
fasilitas, fasilitas tahan gempa dan tsunami
kritis, standard
bangunan)
Sikap terhadap risiko  Moivasi keluarga untuk
bencana kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi kejadian alam
ang menimbulkan bencana
Kebijakan Kebijakan keluarga  Kesepakatan keluarga mengenai
untuk kesiapsiagaan tempat evakuasi dalam situasi
bencana darurat
 Kesepakatan keluarga untuk
melakukan atau berpartisipasi
dalam simulasi evakuasi
Rencana Rencana keluarga  Adanya rencana penyelamatan
tanggap untuk merespon keluarga (siapa melakukan apa)
darurat keadaan darurat bila terjadi kondisi darurat
 Adanya anggota keluara yang
mengetahui apa yang harus
dilakukan untuk eakuai
Rencana evakuasi  Tersedianya peta, tempat, jalur
evakuasi keluarga, tempat
berkumpulnya keluarga
 Adanya kerabat/keluarga yang
menyediakan tempat
pengungsian sementara dalam

27
keadaan darurat
Pertolongan pertama,  Tersedianya kotak P3K atau
penyelamatan, obat-obatan penting untuk
keselamatan, dan pertolongan prtama keluarga
keamanan  Adanya rencana untuk
penyelamatan dan keselamatan
keluarga
 Adanya anggota keluarga yang
mengikuti pelathian pertolongan
pertama atau P3K
 Adanya anggota keluarga yang
mengikuti latihan dan
ketrampilan evakuasi
 Adanya akses untuk merespon
keadaan darurat
Pemenuhan  Tersediana kebutuhan dasar
kebutuhan dasar untuk keadaan darurat (misalnya
makanan siap saji seperlunya,
minuman, senter, dan baterai)
 Tersedianya alat komunikasi
alternatif keluarga (radio, HP,
telepon, HT)
 Tersedianya alat penerangan
alternative untuk keluarga pada
saat darurat (senter/lampu/jenset)
Peralatan dan  Tersedianya tas dan perlengkapa
perlengkapan siaga bencana
Fasilitas-fasilitas  Tersedianya alamat/no.telepon
penting (rumah sakit, rumah sakit, pemadam
pemadam kebakaran, kebakaran, polisi, PAM, PLN,
polisi, PAM, PLN, Telkom
Telokom)  Adanya akses terhadap fasilitas-
fasilitas penting
Latihan dan  Tersedianya akses untuk
simulasi/gladi mendapatkan pendidikan dan
materi kesiapsiagaan bencana
 Frekuensi latian (publik dan
dalam rumah tangga)
Sistem Tradisional yang  Tersedianya sumber-sumber
peringatan berlaku secara turun informasi untuk peringatan
bencana temurun bencana baik dari sumber
tradisional maupun lokal
TWS/Sistim  Tersediana sumber-sumber
Peringatan Tsunami informasi untuk peringatan
bencana tsunami

28
Diseminasi  Adanya akses untuk
peringatan dan mendapatkan informasi
mekanisme peringatan bencana
Latihan dan simulasi  Frekuensi latihan
Mobilisasi Sumberdaya manusia  Adanya anggota keluarga yang
sumberdaya terlibat dalam
seminar/workshop/pertemuan/pel
atihan kesiapsiagaan bencana
Bimbingan teknis dan  Tersedianya materi
penyediaan materi kesiapsiagaan bencana
 Tersedianya akses informasi dari
media dan sumber lainnya
 Adanya keterampilan anggota
keluarga yang berkaitan dengan
kesiapsiagaan terhadap bencana
Pendanaan dan  Adanya alokasi
logistik dana/tabungan/investasi.asuransi/
bahan logistic ang berkaitan
dengan kesiapsiagaan bencana
Jaringan sosial  Tersedianya jarngan sosial
(keluarga/kerabat/teman) yang
siap membantu pada saat darurat
bencana
Pemantauan dan  Kesepakatan keluarga untuk
evaluasi melakukan latihan simulasi dan
memantau tas siaga bencana
Sumber: kajian kesiapsiagaan masyarakat LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
LIPI-UNESCO/ISDR kemudian mengklasifikasikan nilai indeks tingkat
kesiapsiagaan bencana ke dalam lima tingkatan, yaitu sangat siap, siap, hampir
siap, kurang siap, dan belum siap. Berikut ini tabel kategori tingkat
kesiapsiagaan bencana:
Tabel 1. Indeks tingkat kesiapsiagaan bencana
No Nilai Indeks Kategori
1 80 – 100 Sangat siap
2 65 – 79 Siap
3 55 – 64 Hampir siap
4 40 – 54 Kurang siap
5 Kurang dar 40 (0 – 40) Belum siap
Sumber: Deny Hidayati, dkk (2006: 48)

29
5. Kerentanan Sekolah Terhadap Bencana Gempa Bumi
Sekolah merupakan salah satu tempat yang tempat sangat berbahaya pada
saat terjadi bencana gempa bumi. Hal ini karena sekolah merupakan salah satu
vital yang menjadi tempat berkumpul banyak individu, terutama pada jam
sekolah. Bangunan sekolah memiliki kerentanan terhadap berbagai bahaya,
misalnya gempa bumi, banjir, longsor yang bisa diikuti dengan runtuhnya
bangunan yang dapat menimbun siswa yang ada di dalamnya (TDRMRC-
UNSYIAH, 2011 dalam Hilman Syarif dan Mastura, Vol. VI No 2 2015).
Gempa bumi 12 Mei 2008 di Sichuan, China, memberikan gambaran
besarnya dampak ketika bencana terjadi pada sekolah. Gempa berkekuatan 7,9
SR itu menewaskan 87.000 orang dengan sedikitnya 5.335 siswa. Artinya,
sekitar 6% korban tewas adalah anak-anak sekolah. Berdasarkan laporan media
pemerintah Cina, lebih dari 7.000 bangunan sekolah runtuh dan menimbun para
pelajar dan guru. Kemudian pada tahun 2009, gempa bumi melanda kota Padang
yang menyebabkan 241 sekolah hancur dan 60 siswa meninggal dunia.
Akibatnya, proses kegiatan belajar-mengajar terhenti. Pengalaman gempa
tersebut menunjukkan betapa besarnya dampak kerusakan sekolah, khususnya
ruang kelas dan menunjukkan tingkat kerentanan sekolah dalam menghadapi
bencana. (LIPI-UNESCO, 2006).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI-UNESCO (2006) melakukan
penelitian di tiga wilayah, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu, dan
Kota Padang. Hasil penelitian yang merujuk pada parameter kesiapsiagaan
bencana menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan sekolah lebih rendah
dibandingkan masyarakat serta aparat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa sekolah merupakan ruang publik dengan tingkat
kerentanan yang tinggi.
6. Sosialisasi dan Penyuluhan Bencana
Sosialisasi bencana gempa bumi merupakan salah satu usaha mitigasi
bencana jangka panjang untuk menumbuhkan kesadaran terhadap risiko bencana
yang akan ditimbulkan. penanganan bencana memerlukan tenaga-tenaga terlatih

30
dan terampil, sehingga diperlukan suatu program pembinaan dan pelatihan yang
terencana mengenai penanganan bencana. Pelatihan sangat diperlukan baik
untuk petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana.
Pendidikan dan pembinaan dilakukan baik secara formal maupun informal
misalnya melalui tokoh-tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, media massa
dan jalur lainnya yang dilakukan secara berkesinambungan (Soehatman Ramli,
2010: 63)
Upaya sosialisasi melalui pelatian dan penyuluhan tentang berbagai hal
yang terkait dengan bencana mulai dari gejala atau ciri-ciri bencana,
dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamatkan diri. Jangkauan
sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok daerah yang padat penduduknya
dan rawan bencana. Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara
berkesinambungan dan terus menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan
masyarakat yang optimal tentang bencana (Subandono Diposaptono, 2007:
110).

Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada


Satuan Koordinator Pelaksana Penanganan bencana (SATKORLAK PB), Satuan
Pelaksana Penanganan bencana (SATLAK PB), dan masyarakat bertujuan
meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-
waktu terjadi (Joko Christanto, 2011: 214).

2. Kajian Penelitian Relevan


Tabel 2. Kajian penelitian relevan
1. Penelitian Fitri Chumairoh/ SKIRPSI/ UNY/ 2014
Judul Kesiapsiagaan Siswa SMA Negeri 1 Cangkringan
Terhadap Bencana Erupsi Gunung Merapi di
Kabupaten Sleman Yogyakarta
Tujuan Mengidentifikasi kesiapsiagaan Siswa SMA Negeri 1
Penelitian Cangkringan dalam menghadapi bencana erupsi
Gunung Merapi di Kabupaten Sleman Yogyakarta
Metode Analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif
Hasil Kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Cangkringan
terhadap bencana erupsi Gunung Merapi tergolong
dalam kategori Siap sebanyak (71,3%), kategori
cukup siap sebanyak (19,2%), dan sangat sebanyak
(9,6%) siswa berada pada kategori sangat siap untuk
menghadapi bencana erupsi gunung berapi.

31
2. Penelitian Nur Faizah Rahmawati/ SKRIPSI/ UNY/ 2016
Judul Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada Siswa
SMP Siaga Bencana di Kabupaten Bantul (SMP
Negeri 2 Imogiri)
Tujuan Mengetahui tingkat kesiapsiagaan siswa SMP Siaga
Penelitian bencana (SMP Negeri 2 Imogiri) dalam menghadapi
bencana gempa bumi. Mengetahui upaya yang
dilakukan sekolah untuk meningkatkan
kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana
gempa bumi.
Metode Analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif
Hasil Kesiapsiagaan siswa SMP Siaga bencana (SMP
Negeri 2 Imogiri) dalam kategori “siap” dan tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kesiapsiagaan
siswa kelas VII, VIII, dan IX.
3. Penelitian Dodon/ Jurnal/ ITB/ 2013
Judul Indikator dan perilaku kesiapsiagaan masyarakat di
permukiman padat penduduk dalam antisipasi
berbagai fase bencana banjir
Tujuan Untuk mengidentifikasi kesiapsiagaan masyarakat
Penelitian dalam menghadapi bencana banjir di permukiman
padat penduduk.
Metode Analisis statistik deskriptif
Hasil Kesiapsiagaan masyarakat jika dilihat berdasarkan
perilaku kesiapsiagaan yang ada maka tingkat
kesiapsiagaan masyarakat sebelum bencana rendah.
Tingkat kesiapsiagaan masyarakat saat bencana
masuk dalam kategori tinggi. tingkat kesiapsiagaan
masyarakat setelah bencana ke dalam kategori tinggi.

3. Kerangka Berfikir
SMA Negeri 1 Imogiri terletak di Jl. Imogiri Timur km 14 Desa Wukirsari,
Kecamatan Imogiri, Bantul. Sekolah ini berada di kawasan rawan bencana
gempa bumi di Kabupaten Bantul. Bencana gempa bumi yang melanda Daerah
Istimewa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 memberikan banyak kerugian bagi
masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan seperti kerusakan fisik serta
korban jiwa. Salah satu wilayah di Kabupaten Bantul yang terkena dampak
gempa bumi 27 Mei 2006 yaitu Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul. Hal ini memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran baik untuk

32
masyarakat, pemerintah, dan lembaga sekolah dalam menghadapi datangnya
ancaman bencana yang mungkin akan terjadi lagi.
Pengalaman bencana gempa bumi tersebut menumbuhkan sikap tanggap
darurat saat terjadi bencana, misalnya melakukan upaya menyelamatkan diri.
Pengalaman tersebut juga memberikan kesadaran bagi siswa tentang ancaman
bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Kesadaran akan upaya menghadapi
ancaman bencana gempa bumi dapat diperoleh dari adanya sosialiasi maupun
pelatihan yang dilakukan oleh lembaga terkait. Kegitan ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan siswa berkaitan dengan mitigasi dan upaya
penanggulangan bencana, sehingga dapat mengurangi risiko dan korban dari
adanya bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana merupakan langkah yang dapat
dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditumbulkan dari suatu bencana.
Tahapan yang ada dalam upaya tersebut yaitu pencegahan, mitigasi
kesiapsiagaan, dan rekontruksi. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari
proses manajemen penanggulangan bencana yang berkembang saat ini dan
menjadi elemen penting dari pengurangan risiko bencana.
Lokasi penelitian ini berada di kawasan rawan bencana gempa bumi dengan
tingkat bahaya tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada
kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana gempa bumi. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan siswa SMA Negeri 1 Imogiri
dalam menghadapi bencana gempa bumi. Kerangka berfikir secara keseluruhan
dapat dilihat pada skema kerangka berfikir berikut:

33
Gempa bumi
Bantul 27 Mei 2006

Siswa SMA Negeri 1


Imogiri

Pengetahuan Siswa Pengalaman Siswa mengikuti


tentang bencana sosialisasi dan pelatihan
kebencanaan

Sikap dan tindakan Siswa saat


kembali terjadi gempa bumi

Tingkat kesiapsiagaan Siswa dalam


menghadapi bencana

Gambar 4. Bagan Alur Berfikir

34
III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini berusaha menjelaskan dan mengungkap tingkat kesiapsiagaan
siswa SMA Negeri 1 Imogiri menggunakan parameter-parameter tingkat
kesiapsiagaan. Data yang diperoleh diolah dengan pendekatan kuantitatif non
statistik, yaitu dengan tabel frekuensi. Kemudian data dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan fakta-fakta berkaitan dengan
kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana gempa bumi.
Tema geografi yang diambil dalam penelitian ini adalah tema manusia dan
lingkungan (human-environment) yang mengkaji tentang interaksi manusia
dengan lingkungan sekitarnya. Konsep geografi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konsep lokasi dan konsep morfologi. Konsep lokasi
digunakan untuk mengetahui keberadaan daerah penelitian baik secara letak
astronomis maupun secara geografis. Tujuannya untuk memudahkan dalam
menemukan lokasi penelitian. Konsep geografi kedua yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konsep morfologi. Konsep morfologi menggambarkan
kenampakan daratan muka bumi sebagai hasil pengangkatan atau penurunan
wilayah (secara geologi).
Pendekatan geografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
ekologi/kelingkungan. Pendekatan ekologi dipilih karena pendekatan ekologi
merupakan metode untuk menelaah dan menganalisis fenomena geosfer yang
dikaitkan dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan fisik, sosial, maupun
manusia. Fenomena geosfer yang dimaksud yaitu peristiwa bencana gempa bumi
yang terjadi di Kabupaten Bantul yang dikaitkan dengan dampak yang dirasakan
oleh manusia. Pendekatan kelingkungan berkaitan dengan interaksi manusia
dengan lingkungan yang raan terhadap bencana gempa bumi. Penelitian ini
membahas tentang tingkat kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana yang
dapat dilihat dari pengetahuan siswa tentang bencana gempa bumi, keikutsertaan

35
sertaan siswa dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan kebencanaan, serta
indikator kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul Yogyakarta. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan
Januari – Mei 2018 dengan tempat penelitian di SMA Negeri 1 Imogiri Jl.
Imogiri Timur Km 14 Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah himpunan individu atau objek yang banyak terbatas atau
tidak terbatas (Moh Pabundu Tika, 2005: 24). Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa SMA Negeri 1 Imogiri yang berjumlah 568 siswa.
Tabel 4. Jumlah siswa yang menjadi populasi penelitian
No Kelas Jumlah Siswa
1. X 192
2. XI 189
3. XII 187
Jumlah Populasi 568
Sumber: Data siswa SMA Negeri 1 Imogiri 2017
2. Sampel
Sampel merupakan bagain dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
Proportionate Stratified Random Sampling. Menurut Sugiyono (2009: 82)
proportionate stratified random sampling adalah teknik pengambilan sampel
dengan populasi yang mempunyai anggota/unsur tidak homogen dan berstrata
secara proporsional. Tujuannya supaya semua jenjang kelas dapat terwakili
Pengambilan besaran sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Isaac
dan Michael dengan menggunakan taraf kesalahan 5%. Rumus yang digunakan
untuk menghitung ukuran sampel dari polulasi yang diketahui jumlahnya adalah
sebagai berikut:

36
2
❑ . N .P.Q
S= 2 2
d ( N−1 ) +❑ . P . Q

Keterangan:
S = jumlah sampel
❑2 = nilai Chi Kuadrat dengan dk = 1, taraf kesalahan signifikansi 5%
(3,841)
N = jumlah populasi
P = Q = 0,5
d = 0,05
Sumber Rumus: (Sugiyono, 2009: 87)
Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh hasil penghitungan jumlah
sampel penelitian sebagai berikut:

2
❑ . N .P.Q
S= 2 2
d ( N−1 ) +❑ . P . Q

3,841 x 568 x 0 , 5 x 0 , 5
S= 2
0 , 05 ( 568−1 ) +3,841 x 0 ,5 x 0 ,5

545,422
S=
1,4175+0,96025

545,422
S=
2,3775

S=229 , 4098843323

S=229

Jumlah siswa SMA Negeri 1 Imogiri berjumlah 568 siswa. Berdasarkan


populasi tersebut diambil 229 siswa sebagai sampel, sehingga perlu ditentukan
besaran sampel dari masing-masing tingkatan kelas yaitu dari kelas X, XI, dan

37
XII secara proporsional supaya dapat terwakili semuanya. Berikut merupakan
pembagian besaran sampel penelitian dari masing-masing kelas.
a. Kelas X
192
¿ x 229
568
= 77,4084507042
= 78 siswa
b. Kelas XI
189
¿ x 229
568
= 76,198943662
= 76 siswa

c. Kelas XII

187
¿ x 229
568
= 75,3926056338
= 75 siswa

Maka akan dapat diperoleh data sampel masing-masing kelas sebagai


berikut:
Tabel 5. Jumlah sampel penelitian
No Kelas
Jumlah Siswa Sampel Penelitian
1. X 192 siswa 77 siswa
2. XI 189 siswa 76 siswa
3. XII 187 siswa 75 siswa
Jumlah sampel 228 siswa
Sumber: Hasil perhitungan peneliti, 2018

D. Teknik dan Pengumpulan Data

38
Metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mengambil data yang dibutuhkan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan
data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang
langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan sumber data
sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data (Sugiyono, 2012: 187). Adapun sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawab (Sugiyono, 2012: 142). Angket yang digunakan dalam penelitian
ini adalah angket tertutup. Angket tertutup adalah suatu angket dImana
pertanyaan-pertanyaan dan alternatif jawabannya sudah ditentukan, sehingga
responden tinggal memahami pertanyaan dan memilih jawaban yang sudah
disiapkan.
Angket dalam penelitian ini untuk mengetahui dan mengukur tingkat
kesiapsiagaan siswa SMA Neger 1 Imogiri dalam menghadapi bencana gempa
bumi. Kuesioner yang diberikan kepada semua anggota sampel bertujuan untuk
mengungkapkan variabel penelitian data. Penggunaan metode ini akan diperoleh
data tentang kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana gempa bumi.

2. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain sebagainya (Suharsimi
Arikunto, 2010: 275). Data sekunder tersebut diperoleh dari lembaga sekolah
berupa data kondisi fisik daerah penelitian seperti letak SMA Negeri 1 Imogiri,
peta administratif, data jumlah guru dan karyawan, serta data/presensi siswa.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data tersebut berupa mesin fotokopi,
kamera, dan flashdisk.

39
G. Daftar Pustaka

Agustina Deny Ardiansyah. 2017. Kesiapsiagaan Guru SMAN 1 Prambanan


dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi (Online). Jurnal Pendikan
Geografi Universitas Negeri Malang diakses melalui
http://journal2.um.ac.id/index.php/jpg/article/view/1004 pada tanggal 15
januari 2018 pada pukul 09.00 WIB
Akhmad Muktaf Haifani. 2008. Manajemen resiko bencana gempa bumi (studi
kasus gempa bumi Yogyakarta 27 mei 2006). Jakarta: Pusat pengkajian
sistem dan teknologi keselamatan, instalasi, dan bahan nuklir, Bapeten.
Diakses melalui http://yuli.blog.uns.ac.id/files/2010/04/gempa-yuli.pdf pada
tanggal 12 Februari 2018 pukul 20.00 WIB
Arief mustofa nur. 2010. Gempa bumi, tsunami, dan mitigasinya. Jurnal geografi vol
7 no 1 balai informasi da konservasi kebumian karangsambung-lipi. Kebumen.
Diakses melalui
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view/92/93 pada tanggal
15 Februari 2018 pukul 10.00 WIB
BAPPENAS. (2006). Buku Utama Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah
Pasca Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Jakarta: BAPPENAS.
Bevaola Kusumasari. 2014. Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintahan
Lokal. Yogyakarta: Gava Media
Bintarto, R. dan Surastopo H. (1979). Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES
BNPB., 2012. Pedoman Penyelenggaraan Latihan Kesiapsiagaan
Penanggulangan Bencana. Jakarta
Cahyono Nugroho. 2007. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam
Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Nias Selatan. MPBI.
UNESCO. (Online), http://153617ind.pdf/diakses pada tanggal 20
September 2017 pada pukul 19.00 WIB
De Blij. H. J. 1998. Human Geography. New York: Von Hoffman Press
Deny Hidayati. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. LIPI-UNESCO. (Online). Diakses
melalui http:///unesco.unesco.org/images/0015/001536/153617ind.pdf. pada
1 Januari 2018 pukul 15.00 WIB
Deny Hidayati. 2008. Kesiapsiagaan Masyarakat: paradigma baru pengelolaan
bencana alam di Indonesia Vol. III, No. 1. Jakarta: pusat penelitian
kependudukan-lembaga ilmu pengetahuan Indonesia. Diakses melalui
http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/164 pada
tanggal 15 Januari 2018 pada pukul 10.00 WIB
Departemen Komunikasi dan Informatika RI. 2008. Memahami Bencana
Informasi Tindakan Masyarakat Mengurangi Resiko Bencana
Dinas ketahanan pangan. 2017. Buku pedoman latihan kesiapsiagaan menghadapi
bencana gempa bumi dan kebakaran dinas ketahanan pangan provinsi jawa
tengah.

40
http://dishanpan.jatengprov.go.id/files/87932856bukulatihankesiapsiagaanbe
ncana.pdf
Djauhari Noor. 2006. Geologi Lingkungan. Jakarta: Graha Ilmu
Dodon. 2013. Indikator Dan Perilaku Kesiapsiagaan Masyarakat Di Permukiman
Padat Penduduk Dalam Antisipasi Berbagai Fase Bencana Banjir. Jurnal
Perencanaan Wilayah Dan Kota, Vol 24 No 2, Agustus 2013. Bandung:
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Desa, Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota. Diakses melalui
http://www.sappk.itb.ac.id/jpwk/wp-content/uploads/2014/02/Jurnal-9-
Dodon.pdf pada tanggal 11 Desember 2017 pukul 11.00 WIB
Fitri Chumairoh. 2014. Kesiapsiagaan Siswa SMA Negeri 1 Cangkringan
Terhadap Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman
Yogyakarta. Jurusan pendidikan geografi FIS UNY
Hadi Purnomo Dan Ronny Sugiantoro. 2010. Manajemen Bencana Respond Dan
Tindakan Terhadap Bencana. Yogyakarta: Medpress
Hadi Sabari Yunus. 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Hidayati, B. 2011. Bencana Mengancam Indonesia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara
Hilman Syarif dan Mastura. 2015. Hubungan Self Efficacy Dengan
Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi Dan Tsunami Pada Siswa Sekolah
Menengah Atas Negeri 2 Dan 6 Banda Aceh (Online) Vol. VI. No. 2 diakses
melalui
http://journal2.um.ac.id/index.php./jpg/ pada tanggal 13 Desember 2017
pukul 20.00 WIB
Joko Christanto. 2011. Gempa Bumi, Kerusakan Lingkungan, Kebijakan dan
Strategi Pengelolaan. Yogyakarta: Liberty
Kristanti S Pribadi dan Ayu Krishna Yuliawati. 2008. Pendidikan Siaga Bencana
Gempa Bumi sebagai Upaya Meningkatkan Keselamatan Siswa (Studi
Kasus Pada SDN Cirateun dan SDN Padasuka 2 Kabupaten Bandung).
(Online) diakses melalui http://jurnal.upi.edu/md/view/418/pendidikan-
siaga-bencana-gempa-bumi-sebagai-upaya-meningkatkan-keselamatan-
siswa-(studi-kasus-pada-sdn-cirateun-dan-sdn-padasuka-2-kabupaten-
bandung).html pada tanggal 20 April 2017
Kristanti. 2013. Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Gempa Bumi di
Dusun Piring Desa Srihardono Kecamatan Pundong. Yogyakarta: Jurusan
Pendidikan Geografi FIS. UNY
LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam
Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami, Meliputi Ilmu
Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Moh Moh Pabundu Tika. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi
Aksara
Nur Faizah Rahmawati. 2016. Kesiapsiagaan Bencanagempa Bumi Pada Siswa
SMP Siaga Bencana di Kabupaten Bantul (SMP Negeri 2 Imogiri). Jurusan
pendidikan ilmu pengetahuan sosial FIS UNY
Nurjanah dkk. 2012. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta

41
Nursid Sumaatmadja. 2001. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.44 Tahun 2012
Tanggal 30 April 2012 Tentang Pedoman Penerapan Sekolah / Madrasah
Aman dari Bencana
Saifuddin Azwar. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Siti Irene Astute D, Sudaryono, S.U. 2010. Peran Sekolah Dalam Pembelajaran
Mitigasi Bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 1
Nomor 1, Tahun 2010.
Siti Irene Asuti D dan Sudaryono SU. 2010. Peran Sekolah Dalam Pembelajaran
Mitigasi Bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencanavolume 1 Nomor
1, Tahun 2010
Soehatman Ramli. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
Management). Jakarta: Dian Rakyat
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Jakarta:
Alfabeta
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Suharyono dan Moch Amien. 2013. Pengantar Filsafat Geografi. Yogyakarta:
Ombak
Suharyono, dan Moch Amien. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Dirjen
Pendidikan Dan Kebudayaan
UU No.24 Tahun 2007 “Tentang Penanggulangan Bencana”
Zukhrufuddin thaha darwis dkk. 2007. Pemodelan zona sesar opak di daerah pleret
bantul Yogyakarta dengan metode gravitasi. Jurnal berkala fisika vol. 10 No. 1
hal 65-70. Diakses melalui
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/berkala_fisika/article/view/3063/2744
pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 20.30 WIB

42
43

Anda mungkin juga menyukai