Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gempabumi merupakan bagian dari revolusi bumi yang sering menimbulkan
bencana, seperti contoh gempa yang terjadi pada bulan Desember 2004 di Provinsi
Aceh yang mengakibatkan terjadinya tsunami hebat.yang menyebabkan memakan
banyak korban. Pemicu utama terjadiya tsunami tersebut adalah karena gempabumi
dasar laut. Oleh karena itu dampak dari terjadinya tsunami dapat di cegah. Tetapi
sampai saat ini para ahli belum bisa menentukan kapan dan dimana terjadinya
gempabumi. Karena sifat dari gempabumi itu sendiri masif, artinya saat ada bencana
gempabumi, lingkup wilayah yang cukup luas.
Kepulauan indonesia termasuk kedalam wilayah Pasific Ring of Fire (deretan
gunung api pasifik). Posisi Indonesia secara geologis memiliki dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positifnya indonesia kaya kan barang tambang dan mineral
yang melimpah. Dampak negatifnya adalah adanya beberapa sumber bencana
geologi khususnya gempabumi.
Gempabumi yang timbul di indonesia banyak di sebabkan oleh pergerakan 3
lempeng dunia yang saling bertemu diantaranya lempeng tektonik, yaitu: Lempeng
Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia
bergerak relatip ke arah utara dan menyusup kedalam lempeng Eurasia, sementara
lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat. Jalur pertemuan lempeng berada di
laut sehingga apabila terjadi gempabumi besar dengan kedalaman dangkal maka
akan berpotensi menimbulkan tsunami sehingga Indonesia juga rawan tsunami.
Dilihat dari posisi lempeng tersebut,pulau kalimantan saja yang relatif stabil
dibandingkan dengan Jawa, Sumatera, NTT, Sulawesi dan lain-lain. Tetapi di
wilayah kalimantan gempa bukan ancaman serius melaikan bencana Klimatologis
dan Hidrologis seperti kebakaran hutan dan banjir. Berikut merupakan gambar yang
menunjukkan pulau kalimantan lebih relatif secara geologis jika dibandingkan
dengan wilayah lain.
Tedapat beberapa catatan tentang kejadian gempabumi Indonesia yang terjadi
pada periode 2008 – 2022 dengan rata-rata pertahun 7.069 data berikut di peroleh
dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Gempabumi di Indonesia setiap
2

tahunnya intensitasnya bertambah. Dalam hal ini kita bisa harus bisa menerima
kesiapsiagaan dalam menangi bencana yang dimana harus bisa memperhatikan apa
yang akan di lakukan pada saat sebelum terjadi bencana, pada saat bencana, dan
pasca bencana agar dampak yang di dapatkan dari bencana tersebut tidak banyak
merugikan.
Berdasarkan hasil data dari BMKG ada 22 lokasi gempa merusak yang dimana
hampir seluruh pulau indonesia mengalaminya terkecuali dengan papua dan bahkan
kawasan yang dominan memiliki resiko wilayah rusak di pulau Jawa dan Sumatra.
Tetapi pada data yang telah terbit wilayah yang palinga banyak terjadi kerusakan
adalah Provinsi Jawa Barat, kerna sejak terjadinya gempa Banten, Cianjur,
Sukabumi, dan Garut.
Kaitannya dengan gempabumi,Jawa Barat memiliki karakteristik wilayah
topografi yang bergunung-gunung, letaknya berada pada jalur tektonik,terdapat jalur
patahan yang memiliki potensi gempa yang sangat dahsyat, serta aliran air yang
bermuara kewilayah pesisir utara. Secara fisiografis, Jawa Barat terbagi menjadi 4
bagian (Van Bemmelen, 1949 ) yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona
Bandung dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat.
Didukung oleh data Badan Pusat Statistika pada tahun 2022 wilayah Jawa Barat
merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbatak di Indonesia di bandingkan
dengan Provinsi lainnya. Hal ini mengakibatkan penduduk Jawa Barat Harus siap
menagnggung kosekuensi apabila terjadi suatu bencana alam.
Bencana seringkali menimbulkan kerugian pada manusia tidak hanya tidak
hanya kehilangan harta tetapi banyak nyawa yang menjadi korbannya dengan jumlah
yang tidak sedikit. Pada bulan November Senin 21 November 2022, terjadi gempa
tektonik yang luar biasa berkekuatan 5,6 skala richter dengan lokasi Pusat
Gempabumi (epicenter) terletak pada koordinat 6.86°LS 107.01°BT terletak di Pusat
gempa berada di darat 10 km Barat Daya Kabupaten Cianjur pada kedalaman 11 km.
Dampak yang di timbulkan gempabumi tersebut dirasakan oleh beberapa kota dan
kabupaten yang tersebar di sekitar wilayah Provinsi Jawa Barat. Kabupten dan Kota
Bandung, Sukabumi, Bogor dan wilayah sekitanya merasakan getaran atau
goncangan akibat gempa tersebut tidak terkecuali Ibukota Jakarta.
3

Peristiwa bencana alam tidak bisa dihindari oleh siapapun yang tinggal di
wilayah Jawa Barat Khususnya wilayah Kabupten Cianjur. Usaha yang dapat
dilakukan oleh manusia adalah bagaimana cara mengurangi resiko dari bencana yang
terjadi, agar kerugian atau korban jiwa tidak terlalu besar efeknya kepada kita.
Penyebab dari banyaknya korban jiwa dan kerugian yang di rasakan oleh masyarakat
ataupun pemerintah akibat masih kurangnya kesadaran dan pemahaman upaya untuk
pengurangan resiko bencana (mitigasi bencan)
Kecamatan Cugenang berada di Kabupeten Cianjur, lebih khususnya berada di
kawasan pesisir selatan. Secara teori kawasan ini rawan dengan bahaya gempabumi,
karena secara geologi di kelilingi oleh beberapa zona sesar dan berdekatan dengan
palung jawa. Dilihat dari kondisi morfologi berupa perbukitan menjadikan pemicu
besarnya dampak dari suatu kejadian gemapa. Terdapat beberapa patahan(fault) di
wilayang cugenang.
Dalam Penelitian dan Analisis, SIG dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
daerah rawan bencana Sig dapat membantu menentukan wilayahnya. Misalkan untuk
wilayah Jawa, sangat berpotensi Gempa karena dilalui oleh lempeng samudra dan
benua. Jawa juga merupakan daerah busur dalam vulkanik atau darah yang memiliki
banyak gunungapi yang aktif. Wilayah selatan Jawa berpotensi gempa dan tsunami.
Oleh karena itu dengan memanfaatkan Sig dapat mengurangi dan bersiaga tehadap
ancaman bencana tersebut. Peta Bencana Berbasis SIG, Sistem Informasi Geografi
adalah suatu sistem yang diaplikasikan untuk memperoleh, menyimpan, menganalisa
dan mengelola data yang terkait dengan atribut, secara spasial. Pada kondisi yang
lebih umum, SIG adalah cara yang memudahkan pengguna untuk membuat query
interaktif, menganalisa informasi spasial dan mengedit data. Ilmu informasi
geografis adalah ilmu yang mengkombinasikan antara penerapan dengan sistem
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu alat yang dapat mendukung
penetapan keputusan dalam semua fase siklus bencana. Dengan kata lain adalah
suatu kata yang menjelaskan tentang semua jenis item dari data yang hendaknya
mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi terhadap suatu lokasi atau dapat diukur
dalam hal koordinat geografis. SIG dapat diterapkan untuk melindungi kehidupan,
kepemilikan dan infrastuktur yang kritis terhadap bencana yang ditimbulkan oleh
alam; melakukan analisis kerentanan, kajian multi bencana alam, rencana evakuasi
4

dan`perencanaan tempat pengungsian, mengerjakan skenario penanganan bencana


yang tepat sasaran, pemodelan dan simulasi, melakukan kajian kerusakan akibat
bencana dan kajian keutuhan komunitas korban bencana. Penggunaan SIG dalam
rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan Basis data, inventori, overlay
SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut, analisis resiko , analisis untung
rugi, proses geologi, statistik spasial, matriks keputusan, analisis sensitivitas, proses
geologi, korelasi, auto korelasi dan banyak peralatan dan algoritma untuk pembuatan
keputusan spasial yang komplek lainnya. Alasan mengapa penulis terratik untuk
melakukan penelitian tentang PEMETAAN ZONASI KERUSAKAN
BANGUNAN AKIBAT BENCANA DI KECAMATAN CUGENANG
KABUPATEN CIANJUR. Adalah untuk memetakan zonasi dari kerusakan yang
terjadi akibat dari bencana gempabumi.
1.2. Rumusan Masalah
Kejadian gemapabumi yang terjadi pada 21 November 2022 berkekuatan 5,6
skala Richter telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang dialami oleh
masyarakat Kabupaten Cianjur. Berdasarkan kenyataan yang di paparkan pada
point latar belakang di atas maka yang menjadi rumsan masalah pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis kerusakan bangunan akibat gempabumi di Kecamatan
Cugenang kabupaten cianjur?
2. Bagaimana memetakan zonasi kerusakan bangunan akibat bencana gempa
bumi di kecamatan Cugenang kabupaten cianjur ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang di paparkan, maka tujuan yang ingin di
capai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kerusakan bangunan akibat gempabumi di Kecamatan
Cugenang kabupaten cianjur?
2. Untuk memetakan zonasi kerusakan bangunan akibat bencana gempa bumi di
kecamatan Cugenang kabupaten cianjur ?
1.4. Manfaat
5

Berdasarkan Uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, makan hasik penelitian


ini di harapkan memberikan manfaat sebegai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menjadi referensi terhadap
penelitian selanjutnya khususnya penelitian yang berkaitan dengan analisis dari
dampak bencana menggunakan Sistem Informasi Geografi di kecamatan
Cugenang. Adanya penelitian ini di harapkan dapat menghasilkan informasi,
data, serta, metode yang disajikan untuk dapat menjadi database dalam kajian
pengembangan analisis kerusakan bangunan jika terjadi suatu bencana di suatu
daerah.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebegai berikut:
a. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan
pengalaman secara langsung dalam pemanfaatan Sistem Informasi Geografi
dalam menganalisis Sebaran Kerusakan Bangunan akibat Bencana
Gempabumi Di Kecamatan Cugenang. Selain itu, penelitian ini juga dapat
bermanfaat dalam mengasah dan menerapkan pengetahuan dan kemampuan
yang telah di dapatkan dari perkuliahan maupun di luar perkuliah selama di
Universitas Pendidikan Indonesia.
b. Bagi Univeristas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi mutu kualitas dalam
menghasilakan sebuah karya tulis dalam menunjang keterbatuan dan
kelengkapan data informasi untuk menjadi arsip penelitian aktual mengenai
Sebaran Kerusakan Bangunan akibat Bencana Gempabumi Di Kecamatan
Cugenang. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai media
pembelajaran dalam hal pemanfaat teknologi Sistem Informasi Geografi
untuk pemetaan sebran kerusakan bangunan.
c. Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai Sebaran Kerusakan Bangunan akibat Bencana Gempabumi Di
Kecamatan Cugenang. Mengedukasi masyarakat bagaimana tindakan yang
6

dilakukan kedepannya agar tidak menimbulkan hal yang sama dengan apa
yang telah terjadi sebelumnya.
3. Manfaat Kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan bagi Pemerintah Kecamatan
Cugenang dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan keputusan untuk
menetapkan suatu keputusan kebijakan.Dalam hal ini terkait bagaiman pemetaan
dalam mengetahui kerusakan akibat bencana gempa bumi.
7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Gempabumi
2.1.1. Pengertian Bencana Gempabumi
Sebagian besar dari kita pernah mengalami kejadian alam yang
cenderung merugikan. Bencana menurut Priambodo (2009:22) adalah
kejadian alam,buatan,manusia atau perpaduan antara keduanya yang terjadi
secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang cukup besar
untuk kehidupan. Dalam kejaidan tersebut, unsur yang terkait langsung atau
terpengaruh harus merespon dengan melakukan tindakan luar biasa guna
menyesuaikan sekaligus memulihkan kondisi seperti semula atau menjadi
lebih baik.
Gempabumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat
dari terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang
mengalami deformasi (Noor, 2009). Gempabumi dapat didefinisikan sebagai
rambatan gelombang pada masa batuan / tanah yang berasal dari hasil
pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam bumi. Sumber energi yang
dilepaskan dapat berasal dari hasil tumbukan lempeng, letusan gunungapi,
atau longsoran masa batuan / tanah.

Hampir seluruh kejadian gempa berkaitan dengan suatu patahan, yaitu


satu tahapan deformasi batuan atau aktivitas tektonik dan dikenal sebagai
gempa tektonik.Sebaran pusat-pusat gempa (epicenter) di dunia tersebar di
sepanjang batas-batas lempeng (divergent, convergent, maupun transform),
oleh karena itu terjadinya gempabumi sangat berkaitan dengan teori Tektonik
Lempeng. Sebagaimana diuraikan diatas bahwa penyebaran pusat-pusat
gempabumi sangat erat kaitannya dengan batas-batas lempeng.

Pola penyebaran pusat gempa di dunia yang berimpit dengan batas-


batas lempeng. Disamping gempa tektonik, kita mengenal juga gempa minor
yang disebabkan oleh longsoran tanah, letusan gunungapi, dan aktivitas
manusia. Gempa minor umumnya hanya dirasakan secara lokal dan
8

getarannya sendiri tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan atau


kerugian harta benda maupun jiwa manusia.

Adapun mekanisme terjadinya gempabumi dapat dijelaskan seperti


yang diilustrasikan pada gambar 2.1 dibawah ini. Dalam gambar bagian atas
mengilustrasikan gambar permukaan bum yang berada pada suatu jalur
pathan aktif dengan beberapa bangunan rumah sebelum terjadi gempa. Pada
kondisi in batuan
Berada dalam keadaan tegang (strained). Gambar bagian tengah
menjelaskan saat terjadi pergeseran disepanjang jalur patahan yang
diakibatkan oleh gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan dan energi
yang terhimpun di dalam masa batuan akan dilepas dan merambat kesegala
arah sebagai gelombang longitudinal (gelombang P) dan gelombang
transversal (gelombang S). Rambatan gelombang yang menjalar didalam
batuan inilah yang menghancurkan bangunan bangunan yang ada
disekitamya. Gambar bagian bawah mengilustrasikan kondisi setelah terjadi
gempa dimana batuan kembali berada pada keadaan seperti semula.

Gambar 2.1 Mekanisme gempabumi (Sumber: Noor, 2009)

2.1.2. Jenis – jenis Gempabumi


Jenis-jenis gempa dapat di lihat dari beberapa terlihat pada Teori
terjadinya atau asal gempabumi yang dapat diterima adalah pergeseran sesar
dan teori kekenyalan elastik (elastic rebound theory). Para ahli tetap
9

menganggap bahwa terdapat empat sebab yang menimbulkan Gempabumi


yaitu (Mulyo,2004)
a. Runtuhnya gua-gua dalam bumi
Dugaan para ahli tempo dulu bahwa Gempabumi terjadi akibat
runtuhnya gua-gua raksasa yang terdapat di dalam bumi. Dugaan itu sama
sekali tidak benar sebab keruntuhan seperti itu tidak pernah ada. Kalau saja
terjadi keruntuhan di dalam bumi, hal itu hanya mungkin pada daerah
pertambangan bawah tanah (underground), penggalian batu kapur dan
sejenisnya. Akan tetapi, keruntuhan yang terjadi hanya dapat menimbulkan
getaran bumi yang sangat kecil dan bersifat lokal.
b. Tabrakan (impack)
Awalnya banyak juga yang percaya bahwa gempabumi disebabkan
adanya meteor atau shooting star yang menabrak bumi. Pada tahun 1908 di
Rusia, suatu bintang beralih (meteor) jatuh dan mengakibatkan terjadinya
lubang yang sangat besar menyerupai sebuah kawah. Walaupun
gelombang tekanan akibat jatuhnya meteor tersebut tercatat sampai ke kota
London di Inggris. Akan tetapi, efeknya sama sekali tidak terekam pada
alat pencatat getaran gempabumi (seismograf).
Ini berarti getaran yang ditimbulkan akibat tabrakan meteor dengan
bumi kekuatannya sangat kecil, lagipula tabrakan yang demikian
sebenarnya sangat jarang terjadi di bumi.
c. Peledakan gunung api (volkanik)
Aktifitas gunung api dapat menimbulkan gempabumi yang dinamakan
gempabumi volkanik. Gempabumi ini terjadi baik sebelum, selama
maupun setelah peledakan gunung api. Penyebabnya adalah akibat
terjadinya persentuhan antara magma dengan dinding gunung api dan
tekanan gas pada peledakan yang sangat kuat atau perpindahan magma
secara tiba-tiba di dalam dapur magma.
Gempabumi volkanik sebenranya kekuatannya sangat lemah dan
hanya terasa di wilayah sekitar gunung api yang sedang aktif saja.
Berdasarkan kekuatan sumber gempabuminnya, maka dapat dibedakan
menjadi empat jenis Gempabumi volknaik:
10

1) Gempabumi volkanik dalam, kedalaman sumber gempabuminya


antara 2-30 km. Gempabumi ini banyak persamaanya dengan
Gempabumi tektonik, terutama mengenai gempabumi susulannya.
Terjadi pada saat menjelang letusan gunung api atau sebagai pertanda
suatu gunung api ,mulai aktif.
2) Gempabuni Volkanik dangkal, sumber gempabuminya terletak pada
kedalaman kurang dari 2 km. jenis in timbul pada saat mendekati
terjadinya letusan, selama berlangsungnya letusan dan setelah letusan
itu berakhir
3) Gempabumi ledakan, Gempabumi ini terjadi sehubungan dengan
berlangsungnya ledakan suatu gunung api yang sumber
gempabuminya sangat dangkal.
d. Kegiatan tektonik lempeng
Gempabumi yang banyak terjadi dan mempunyai efek yang sangat
serius sebenarya berasal dari kegiatan tektonik, yaitu mencakup 90% dari
seluruh kejadian Gempabumi. Gempabumi ini berhubungan dengan
kegiatan gaya-gaya tektonik yang berlangsung dalam proses pembentukan
gunung-gunung, terjadinya paahan-patahan batuan (faults) dan tarikan atau
tekanan dari pergerakan lempeng-lempeng batuan penyuun kerak bumi.
Proses dan jalur pusat-pusat Gempabumi tektonik di seluruh dunia
dapat dijelaskan dengan tori tektonik lempeng. Bagian-bagian paling aktif
sepanjang jalur pusat Gempabumi terletak sepanang busur kepulauan dan
tepi benua. Akibat dari gempa bumi menghasilkan dampak yang cukup
besar terhadap bangunan serta lingkungan sekitarnya yang terkena bencana
gempa bumi. Akibat gempa bumi dikategorikan menjadi dua golongan
besar. Akibat yang pertama adalah akibat langsung (direct effects) dan
akibat yang kedua adalah akibat tidak langsung (Wang, 1994). Akibat
gempa bumi langsung dan tidak langsung adalah sebagai berikut ini.
a. Akibat langsung
Akibat langsung yang dimaksud adalah dampak langsung yang
terjadi dari kerusakan struktur tanah ataupun kerusakan sesuatu diatas
tanah. Kerusakan-kerusakan akibat gempa bumi langsung adalah
sebagai berikut ini.
11

1) Likuifaksi.
2) Penurunan tanah dan runtuhnya lapis tanah.
3) Tanah longsor dan batu longsor.
4) Retakan permukaan tanah.
5) Kerusakan bangunan.
b. Akibat Tidak langsung
Efek tidak langsung adalah efek setelahnya yang diakibatkan oleh
kondisi situs (topographical effects) dan kondisi tanah (site effects)
yang mana kerusakan bangunan terparah oleh peristiwa perambatan
gelombang gempa. Efek tidak langsung dapat dikategorikan sebagai
berikut ini.
1) Akibat Resonasi
Resonansi adalah peristiwa merambatnya respon suatu objek dari
akibat kesamaan periode getar struktur dan periode getar tanah/situs.
Mengingat bangunan berada diatas tanah maka terdapat interaksi
antara tanah dengan bangunan.
2) Akibat Amplifikasi
Amplifikasi adalah membesarnya respon tanah (percepatan,
kecepatan ataupun simpangan) dan akan banyak berkaitan dengan
tanah yang bersifat elastis atau tanah yang degradasi kekuatannya
relatif kecil.
3) Akibat wave-field
Wave-Field yang dimaksud adalah gelombang gerakan tanah
yang merambat akibat kompleksitas kombinasi gelombang Rayleigh
(Rwave) dan gelombang Love (L-wave) yang ada di permukaan tanah.
Salah satu dampak yang dirasakan adalah kerusakan bangunan
dan infrastruktur lainnya. Keruskan bangunan dapat bersasal dari
akibat langsung berupa rekahan tanah akibat hiposentrum gempa yang
dirasakan, serta akibat tidak langsung dari resonansi atau perambatan
gelombang di atas tanah. Oleh karena itu dampak kerusakan dari
gempa bumi dapat berupa kerusakan ringan hingga berat
2.1.3. Hiposentrum dan Episentrum
12

Pengertian dari hiposentrum (hypocentre) adalah pusat Gempabumi,


tempat terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi didalam bumi
sehingga menimbulkan gempabumi (Mulyo, 2004). Kebanyakan Gempabumi
berada pada hiposentrum 25-700 km. Secara logis kita dapat menarik
hipotesis, bahwa semakin dangkal pusat Gempabumi tersebut maka
goncangan yang ditumbulkan semakin kuat, begitu pula sebaliknya. Apabila
gempa disebabkan oleh gunung berapi atau tanah longsor maka disebut
sebagai hiposentrum titik. Gempa dapat dibedakan menjadi tiga tipe
berdasarkan kedalaman hiposentrumnya antara lain :
 Gempa dangkal (kedalaman hiposentrum < 100 km)
 Gempa menengah (kedalaman hiposentrum 100-300 km)
 Gempa dalam ( kedalaman hiposentrum > 300 - 700 km)
Episentrum Episentrum adalah suatu garis atau tutuk di suatu permukaan
bumi yan tegak lurus dengan hiposentrum. Posisi episentrum selalu berada di
atas hiposentrum. Episentum berbentuk garis disebut sebagai gempa linier
dan episentrum berbentuk titik disebut sebagai gempa sentral. Gempa dapat
dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan jarak dari episentrumnya, antara
lain :
 Gempa lokal (jarak dari episentrum < 10.000 km)
 Gempa jauh (jarak dari ep[isentrum sekitar 10.000 km)
 Gempa sangat jauh (jarak dari episentrum 10.000 km)
Dan kirkland (2020:162) mengemukakan bahwa suatu area yang berada
langsung diatas dari fokus (hiposentrum)adalah defenisi dari episentrum
sebagaimana terlihat pada gambar 3
13

Gambar 2.2 Episentrum (Sumber: Kirklnad 2010)

2.2. Kerusakan bangunan


2.2.1. Pengertian kerusakan bangunan
Bangunan gedung sebagaimana barang konstruksi lainnya akan
mengalami kerusakan. Kerusakan bangunan merupakan proses melemahnya
kekuatan dan ketahanan konstruksi dan material bangunan menerima beban-
beban dari luar atau beban berat sendiri sehingga melebihi kapasitasnya.
Menurut Sulaiman (2005), kerusakan bangunan adalah cacat atau kegagalan
fungsi, performa, tatalaksana atau syarat-syarat sebuah bangunan sehingga
mengurangi layanan bagi penggunanya. Jika kondisi tersebut dibiarkan,
lama-kelamaan akan terjadi penurunan kualitas dan akhirnya terjadi
kehancuran bangunan (Dardiri, 2012).
Kerusakan bangunan terjadi karena adanya bagian dari bangunan
yang mengalami kerusakan. Terjadinya kerusakan pada bangunan membuat
bangunan tersebut menjadi kurang nyaman untuk ditempati bahkan ada
kemungkinan terjadinya runtuhan sehingga bisa menimbulkan korban jiwa
(Saputra & Faizah, 2019).
Kerusakan bangunan merupakan tidak dapat beroperasinya suatu
bangunan termasuk komponen-komponen didalamnya karena terjadinya
penyusutan pada akhir umur bangunan akibat kelebihan beban, kebakaran,
gempa bumi atau penyebab lainnya (Simanjuntak, 2020).
2.2.2. Faktor Penyebab Kerusakan Bangunan
Penyebab kerusakan bangunan bisa terjadi karena faktor dari struktur
bangunan maupun faktor alam yang mempengaruhinya.
14

Faktor alam yang mempengaruhinya antaralain yaitu (Ariyanto, 2020)


a. Faktor suhu
Bangunan akan mengalami kerusakan apabila mendapatkan suhu
yang ekstrim yang secara terus menerus terjadi. Hal ini akan
menyebabakan kerusakan pada struktur bangunan terutama pada bagian
luar bangunan.
b. Faktor Hujan
Hujan menyebabkan terjadinya rembesan yang terjadi pada
bangunan sehungga menyebabkan bangunan mengalami kebocoran. Hal
ini akan mebuat kebocoran pada atap, talang, rembesan atap plat beton,
dan lain sebagainya.
c. Faktor Angin
Salah satu faktor alam yang menyebabkan kerusakan bangunan
adalah angin. Pada kondisi angin yang kencang, menimbulkan gerakan
ataupun geratan pada atap bangunan sehingga menyebabkan atap genteng
bergeser satu sama lain dan mudah lepas. Oleh karena itu, komponen
bangunan yang rentan terhadap faktor angin adalah atap bangunan atau
genteng.
d. Faktor Gempa
Gempa bisa di sebabkan beberapa faktor diantaranya kerena
pergeseran lempeng bumi, aktivitas gunung merapi, runtuhan dan lain
sebagainya. Enenrgi yang di teriman oleh bangunan sebagai dampak dari
gempa bumi tergantung pada kedalaman gempa, jarak dari titik gempa
dan jenis tanah yang di lalui.
Kerusakan bangunan dapat berdampak bagi kawasan disekitar kerusakan,
sehingga akan mempengaruhi aktivitas kawasan tersebut. Kerusakan
bangunan yang terjadi terdapat beberapa tingkatan kerusakan sesuai dengan
tujuan penelitian tentang zonasi kerusakan bangunan. Tingkatan kerusakan
dapat berupa kerusakan parah maupun ringan tergantung faktor yang
mempengaruhinya (Saputra & Faizah, 2019). Oleh karena itu terhadap kajian
kerusakan bangunan, pada penelitian ini menggunakan klasifikasi kerusakan
bangunan berdasarkan skala intensitas kerusakan yang berupa ketahanan
bangunan atas guncangan gemnpa bumi yang terjadi. Sehingga menggunakan
15

klasifikasi berdasarkan European Macroseismic Scale (EMS) 1998 dengan


membagi lima kelas kerusakan
2.3. Eropean Macroseisme Scale (EMS) 1998
European Macroseismic Scale (EMS) 1998 adalah skala intensitas berdasarkan
tingkat kerusakan yang berbeda. Skala ini melihat dari perbedaan ketahanan
bangunan terhadap guncangan yang dihasilkan gempa bumi (Maqsood dkk., 2013).
Respon bangunan terhadap getaran gempa berdasarkan kekuatan struktur serta jenis
bangunannya (Grünthal & European Seismological Commission. Working Group
“Macroseismic Scales.,” 1998). Skala EMS 1998 tersebut menyatakan efek yang
dirasakan dari keparahan guncangan tanah sebagai klasifikasi intensitas. Skala ini
merupakan pengembangan dari skala sebelumnya yang hanya menggunakan jenis
konstruksi bangunan sebagai analogi kerusakan (Giovinazzi & Lagomarsino, 2004).
Intensitas makroseismik merupakan parameter alami untuk menghadapi
kerentanan yang berasal dari pengamatan kerusakan, sehinggga pengamatan
makrosesimik bisa berguna untuk tujuan perkiraan parameter input seismik. Bentuk
dari intensitas skala EMS 1998 ini secara umum menggambarkan ketahanan
bangunan sesuai jenis bangunannya. Klasifikasi dari kerusakan berdasarkan jenis
bangunannya seperti bangunan pasangan bata dan bangunan beton bertulang,
ditunjukan pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 Klasifikasi dari Kerusakan Jenis Bangunan Pasangan Bata
Menurut Eropean Macroseisme Scale 1998

Skala EMS Gambar Bangunan Pasangan Bata


Tingkat 1: Hampir tidak ada
kerusakan

(tidak ada kerusakan struktur,


kerusakan ringan non-struktur)
Retakan garis rambut yang
sangat sedikit di dinding,
runtuhan kecil dari plaster.

Tingkat 2: Kerusakan
Sedang
(kerusakan ringan struktural,
kerusakan sedang non-struktural)
Banyak retakan di dinding,
jatuhnya partikel besar dari
plaster.
16

Tingkat 3: Kerusakan
substantial yang besar

(kerusakan sedang struktural,


kerusakan besar non-struktural)
Retakan besar dan luas di
sebagian besar dinding, genteng
lepas, kegagalan elemen non-
struktural.

Tingkat 4: Kerusakan sangat


besar

(kerusakan struktur yang besar,


kerusakan sangat besar non-
struktur)

Skala EMS Gambar Bangunan Pasangan Bata


Runtuhnya dinding serta bagian
struktur seperti atap dan lantai

Tingkat 5: Hancur
(kerusakan struktur yang sangat
besar) Seluruh bangunan hancur
total.

Tabel 2 Klasifikasi dari Kerusakan Jenis Bangunan Beton Bertulang


Menurut Eropean Macroseisme Scale 1998

Skala EMS Gambar Bangunan Beton Bertulang


Tingkat 1: Hampir tidak ada
kerusakan

(tidak ada kerusakan struktur,


kerusakan ringan non-struktur)
Retakan halus pada plester serta
dinding dasar.

Tingkat 2: Kerusakan
Sedang
(kerusakan ringan struktural,
kerusakan sedang nonstruktural)
Retakan pada kolom dan balok
rangka serta jatuhnya plester dan
sambungan panel dinding
17

Tingkat 3: Kerusakan
substantial yang besar

(kerusakan sedang struktural,


kerusakan besar nonstruktural)
Retakan pada sambungan kolom
dan balok kolom

Skala EMS Gambar Bangunan Beton Bertulang


bingkai di dasar bangunan serta
kegagalan panel partisi.

Tingkat 4: Kerusakan sangat


besar

(kerusakan struktur yang besar,


kerusakan sangat besar non-
struktur) Retakan besar pada
elemen struktur dengan
kegagalan tekan beton dan
fraktur tulang.

Tingkat 5: Hancur
(kerusakan struktur yang sangat
besar) Runtuhnya bangunan ke
lantai dasar bangunan.

Tabel di atas menjelaskan klasifikasi kerusakan berdasarkan dari jenis struktur


bangunan, berupa bangunan pasangan bata dan beton bertulang. Dari setiap
klasifikasi tersebut diketahui bahwa EMS membagi level kerusakan berdasarkan 5
skala, mulai dari tingkatan skala sedang hingga hancur. Berdasarkan kajian tentang
klasifikasi kerusakan bangunan berdasarkan European Macroseismic Scale (EMS)
1998, maka selanjutnya dilakukan proses zonasi terhadap kerusakan bangunan
tersebut sehingga tercapainya tujuan pada penelitian ini tentang zonasi kerusakan
bangunan. Proses ini merupakan pemetaan zonasi berdasarkan tingkatan kerusakan
bangunan untuk menghasilkan peta zonasi kerusakan bangunan.

2.4. Korban Jiwa


2.4.1. Pengertian Korban Jiwa
Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau
mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya
18

yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum


pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan
sedangkan dalam bencana diartikan bahwa korban adalah orang/
sekelompok orang yang mengalami dampak buruk akibat bencana seperti
kerusakan atau kerugian harta benda, penderitaan atau kehilangan jiwa.
Korban meliputi korban meninggal, hilang luka/ sakit, menderita dan
mengungsi.
2.4.2. Pengelompokan Korban
Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan penghitungan skala benca,
tingkat bencana, serta resiko bencana yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya
tingkat bahaya dan resiko yang ditimbulkan bercampur menjadi satu. Besar
kecilnya skala bencana tidak dapat dengan mudah dipastikan, namun secara
umum Priambodo membagi skala tersebut kedalam tabel dibawah ini.

Tabel 3. Bagan Skala Bencana

Skala Tingkat Bahaya Manusia


A Ringan Cedera
B Menengah Luka parah
C Berat Cacat permanen
D Dahsyat Meninggal dunia
Sumber : Priambodo 2009
Dalam pengelompokkan berdasarkan Tagging ada klasifikasi korban dari
bencana itu sendiri diantaranya sebagai berikut:

a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap
hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau
maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan
cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera
dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok,
19

cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok,


cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar
ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan
lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilofasial tanpa
gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis). Sebagian
protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau
penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan
tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok
yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas,
ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
2.5. Kerugian Material
2.6. Wabah penyakit
2.7. Sistem Informasi Geografi
2.7.1. Pengertian Sistem Informasi Geografi
Definisi umum dari Sistem Informasi Geografis adalah sistem, yang
dirancang bekerja dengan data, serta memuat referensi spasial dan
koordinat-koordinat geografi. Dari segi fungsi, SIG mengolah informasi
yang berisi data dengan referensi geografis dan spasial. Pengolahan data
memakai teknologi komputer sehingga mudah dikombinasikan menjadi
informasi seperti yang diinginkan. Karena itu, SIG dipahami sebagai sistem
yang berfungsi mengumpulkan, mengatur, mengelola, menyimpan, dan
menyajikan berbagai data yang terkait dengan kondisi geografis suatu
wilayah.
Menurut Gistut (1994), pengertian SIG adalah sistem yang dapat
mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan
deskripsi – deskripsi lokasi dengan karakteristik – karakteristik fenomena
yang ditemukan dilokasi tersebut. SIG yang lengkap mencakup metodologi
dan teknologi yang diperlukan, yaitu data spasial perangkat keras, perangkat
lunak dan struktur organisasi.
20

Menurut Murai (1999), SIG adalah sistem informasi yang digunakan


untuk memasukan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah,
menganalisis dan menghasilkan data II - 4 bereferensi geografis atau data
geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan
dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan,
transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.
2.7.2. Komponen Sistem Informasi Geografi
Menurut John E. Harmon dan Steve J. Anderson (2003), komponen SIG
adalah sebagai berikut:
1) Pengguna, yaitu orang yang menjalankan sistem, terdiri dari orang yang
mengoperasikan, mengembangkan, hingga mendapatkan manfaat dari
sistem. Terdapat beberapa kategori orang yang menjadi bagian dari SIG
yaitu operator, analis, database administrator, programmer, hingga
stakeholder.
2) Aplikasi , yaitu prosedur atau langkah dalam mengolah data menjadi
sebuah informasi. Contohnya seperti klasifikasi, penjumlahan, rotasi,
koreksi geometri, overlay, buffer, query, join table, dan sebagainya.
3) Data, yaitu data yang di gunakan dalam SIG, terdiri dari data grafis dan
data atribut.
a. Data posisi/koordinat/grafis/ruang/spasial, merupakan data yang
menjadi representasi fenomena yang ada di muka
bumi/keruangan yang mempunyai referensi (koordinat) yang lazim
berupa foto udara, peta, citra satelit, dan lain sebagainya atau dapat
juga berupa hasil interpretasi dari data-data tersebut
b. Data atribut/nonspasial, merupakan data yang menggambarkan
aspek-aspek deskriptif dari femomena yang dimodelkan. Contohnya
catatan survey, data sensus penduduk, serta data statistik yang lain.
4) Perangkat lunak (software), yaitu perangkat lunak SIG yang berupa
program aplikasi yang mempunyai kemampuan pengelolaan,
pemrosesan, analisis, penyimpanan, serta penayangan data spasial.
Contohnya adalah Idrisi, ARC/INFO, ArcView, MapInfo, ILWIS,
ArcMap, dan lain sebagainya)
21

5) Perangkat keras (hardware), yaitu perangkat keras yang digunakan


dalam menjalankann sistem berupa komputer, printer, scanner, Central
Prosesing Unit (CPU), digitizer, plotter, serta perangkat pendukung
lainnya.
2.7.3. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi
Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk memudahkan dalam
memperoleh data-data yang sudah diolah dan tersimpan sebagai atribut
sebuah lokasi atau objek. Data yang diolah dalam SIG terdiri dari data
spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merealisasikan data
spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, dengan begitu pengguna
dapat menghasilkan peta dan menganalisis informasi di dalamnya dengan
berbagai cara. SIG adalah alat yang mumpuni untuk mengolah data spasial,
dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini
lebih lengkap dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau dalam bentuk
konvensional lainnya yang pada akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan
menghemat biaya yang diperlukan (Barus dan Wiradisastra, 2000 dalam As
Syakur 2007).
Terdapat beberapa alasan mengapa SIG perlu untuk digunakan,
menurut Anon (2003, dalam As Syakur 2007) alasan yang mendasarinya
adalah sebagai berikut:
1) SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi
2) SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data
3) SIG mempunyai kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada di
permukaan bumi ke dalam beberapa layer atau coverage data spasial d)
SIG mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam
memvisualisasaikan data spasial berikut atributnya
4) Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif
5) SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik.
6) SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang
sosial dan geoinformatika.
Seiring dengan perkembangan jaman, SIG semakin berkembang dan
memiliki pemanfaatan yang semakin melebar dan mencakup berrbagai
22

disiplin ilmu, seperti dalam ilmu kesehatan, ilmu pertanian, ilmu


lingkungan, ilmu ekonomi, ilmu militer dan sebagainya.
2.7.4. Sistem Informasi Geografi Untuk Pemetaan Gempabumi
Sistem Informasi Geografi dapat diaplikasikan dalam bidang Sumber
Daya Alam, misalnya studi kelayakan untuk tanaman pertanian, pengelolaan
hutan, analisis daerah bencana alam, analisis dampak lingkungan, hingga
sebaran sumber daya alam yang ada (As Syakur, 2007). Pemetaan zona
kerusakan bangunan dapat di lakukan dengan analisis spasial. Analisis spasial
merupakan salah satu alat analisis yang menggunakan data spasial (data yang
memiliki atribut geografis/lokasi) dalam rangka meningkatkan pemahaman,
dan membuat prediksi atau peramalan terhadap fenomena tertentu (Rustiadi
dkk, 2011).
Analisis ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian
di dalam ruang geografis secara cermat dan akurat. Setelah mendeskripsikan,
analisis spasial menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan hubungan
antar kejadian di dalam ruang sebagai upaya peningkatan pemahaman
terhadap proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
Selanjutnya analisis spasial bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
dalam pengendalian kejadian-kejadian dalam ruang geografis.
23

BAB III METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan langkah atau prosedur ilmiah yang untuk
memperoleh data dengan tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu metode analisis keruangan atau (spatial approach), Menurut Hadi Sabari
Yunus, (2010: 44) pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk memahami
gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam melalui media
ruang yang dalam hal ini variabel ruang mendapat posisi utama dalam setiap
analisis. Bila akan menyajikan data yang menunjukkan distribusi keruangan atau
lokasi dan mengenai sifat-sifat penting, maka informasi tersebut ditunjukkan dalam
bentuk peta (Bintarto dan Surastopo,1987).

3.2. Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Cugenang yang merupakan salah satu
kecamatan yang terletak di Kabupaten Cuanjur. Secara geografis, Kecamatan
Cugenang terletak diantantara 6°45’0”- 6°52’43” dan 107°0’43” -107°7’43” BT
(RBI) Luas wilayah Kecamatan Cugenang secara keseluruhan adalah 6.611,257,
yang terdiri dari 16 desa, dan seluruh des merupakan tempat akan menajdi lokasi
penelitian diantaranya yaitu, Desa Benjot, Desa Cibereum, Desa Cibulakan, Desa
Cijedi, Desa Cirumput, Desa Galudra, Desa Gasol, Desa Mangunkerta, Desa
Nyalindung, Desa Padaluyu, Desa Sarampad, Desa Sukajaya, Desa Sukamanah,
24

Desa Sukamulya, Desa Talaga, Desa Wangunjaya (2020: LKIPcugenang)


Berdasarkan administrasinya kecamatan Cugenang berbatasan langsung dengan:

a) Sebelah Utara : dengan Kecamatan Pacet, Sukaresmi, an Mande


b) Sebelah Selatan : dengan Kecamatan Warungkondang
c) Sebelah Barat : dengan Kecamatan Kabupaten Sukabumi
d) Sebelah Timur : dengan Kecamatn Cianjur dan Cilaku
25

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian


26

3.3. Defenisi Operasional


Defenisi operasional memilki tujuan untuk memberikan tafsiran atau
pemahaman secara jelas mengenai istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian
“Pemetaan zonasi Kerusakan Bangunan akibat Bencana Gempabumi Di Kecamatan
Cugenang kabupaten cianjur” maka dapat diuraikan defenisi operasional yang
berkaitan dengan penelitain adalah sebagai berikut:
1. Pemetaan
Pemetaan adalah pengelompokkan suatu kumpulan wilayah yang berkaitan
dengan beberapa letak geografis wilayah yang meliputi dataran tinggi,
pegunungan, sumber daya dan potensi penduduk yang berpengaruh terhadap
sosial kultural yang memilki ciri khas khusus dalam penggunaan skala yang
tepat (Munir, 2012)
2. Sistem Informasi Geografi
Sistem informasi geografis adalah suatu sistem komputer yang mampu
menangani dan menggunakan data yang menggambarkan suatu tempat di atas
permukaan bumi (ESRI, 1995)
3. Sebaran Tingkat Kerusakan Bangunan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/ 2008
tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung, kerusakan
bangunan ialah tidak berfungsinya kembali bangunan maupun komponen dalam
bangunan yang disebabkankarena adanya penyusutan atau berakhirnya umur
bangunan serta bisa juga disebabkan oleh ulah manusia atau kejadian alam
seperti beban yang berlebihan, gempa bumi, kebakaran dan lain sebagainya.
Tingkat kerusakan bangun ini dapat dilihat dari kokohnya suatu bangunan yang
dimana bangunan/perumahan di bagi menjadi 3 jenis yaitu rumah permanen,
rumah semi permanen, rumah panggung.
4. Gempabumi
Gempabumi adalah suatu gerakan atau getaran yang terjadi pada kulit bumi
yang dihasilkan dari tenaga endogen. Tenaga endogen merupakan tenaga atau
kekuatan perut bumi yang terjadi karena adanya perubahan pada kulit bumi.
Bayong (2006:12) dari segi kerawanan bencana kita bisa melihat dari sisi
27

geologi, geomorfologi dan intensitas gempabumi/ kekuatan gempabumi. yang


mementukan apakah wilayah tersebut termasuk rawan terhadap gempabumi.
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi
Menurut Sugiyono (2001), populasi merupakan wilayah generalisasi yang
di dalamnya terdapat objek/subjek yang memiliki kuantitas dan sifat tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dapat dipelajari dan setelahnya dapat
ditarik kesimpulannya. Berdasarkan definisi tersebut, populasi yang diambil
dalam penelitian ini adalah Kecamatan Lembang yang menjadi lokasi
penelitian.
Berdasarkan pengertian yang telah di paparkan diatas, maka populasi
dalam penelitian ini adalah populasi wilayah. Yang dimana populasi wilayah
yaitu seluruh desa yang ada di Kecamatan Cugenang dimana terdiri dari 16
desa yaitu, Desa Benjot, Desa Cibereum, Desa Cibulakan, Desa Cijedi, Desa
Cirumput, Desa Galudra, Desa Gasol, Desa Mangunkerta, Desa Nyalindung,
Desa Padaluyu, Desa Sarampad, Desa Sukajaya, Desa Sukamanah, Desa
Sukamulya, Desa Talaga, Desa Wangunjaya. Populasi wilayah meliputi
kondisi fisik daerah yang akan di teliti.
3.4.2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang bersifat mewakili
popolasi yang bersangkutan (Sumaatmadja, 1981:112). Menurut Margono
(2004), yang dimaksud dengan teknik sampling yaitu langkah untuk
menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang
nantinya dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan
karakteristik dan penyebaran populasi supaya diperoleh sampel yang
representatif.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan
purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2001). Pemilihan
sekelompok subjek di dalam purposive sampling diambil berdasarkan pada
karakteristik tertentu yang dinilai memiliki keterkaitan yang erat dengan
karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pada penelitian ini
sampel yang digunakan yaitu kerusakan bangunan akibat dari bencana
28

gempabumi maka sampel dari menelitian ini meliputi seluruh wilayah desa
yang memiliki kerusakan akibat dari gempabumi yang terjadi.
3.5. Variabel Penelitian
Istilah dari variabel yang hampir tidak pernah ketinggalan dalam setiap
penelitian, F. N Kerlinger dalam arikunto menyebutkan variabel sebagai sebuah
konsep sepertihalnya laki-laki dalam konsep jenis kelamain. Menurut Sugiyono
(2016), variable penelitian merupakan sebuah atribut atau sifat atau nilai dari
orang, obyek, organisasi, atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.
Variabel penelitian perlu ditetapkan dan dijelaskan supaya alur hubungan dua atau
lebih variable dalam penelitian dapat dicari dan dianalisis (Bungin, 2017).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel tunggal
yang berarti variabel tersebut hanya terdiri dari satu variabel penelitian yang
menjadi kerangka acuan pengambilan data di lapangan walaupun mempunyai
beberapa indikator pengembangan. Variabel dalam penelitian ini dijabarkan pada
tabel berikut:
Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Variabel Indikator Penelitian

Pemetaan zonasi kerusakan


1. Kerusakan bangunan
bangunan akibat Bencana
2. Korban jiwa
Gemapabumi di kecamatan
3. Kerusakan material
cugenang kabupaten cianjur
4. Wabah penyakit

3.6. Tahap Penelitian


3.6.1. Pra penelitian
Pra penelitian merupakan sebuah awalan yang dilakukan dalam suatu
penelitian. Pada tahap ini mencakup langkah-langkah yang mendukung
terhadap pengambilan dan pengumpulan data dan bahan sebagai gambaran
awal penelitian. Langkah yang akan di lakukan peneliti pada tahap ini adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan objek penelitian
2) Mengkaji permasalahan, isu, dan menentukan juduk penelitian
29

3) Mengumpulkan literatur ilmiah


3.6.2. Pelaksanaan Penelitian
Pada tahapan pelaksanaan penelitian ini merupakan tahapan yang
penting karena akan tertuju pada pengumpulan data, pengolahan data, hingga
tahap analisis data. Berikut penjelasan setiap tahapan penelitian:
1) Tahap Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data hasil pengamatan dan
pengukuran secara langsung di lapangan, sementara data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber seperti jurnal, buku, dan data lembaga
yang berkaitan dengan penelitian
2) Tahap Pengolahan Data
Pada tahapan ini peneliti melakukan tabulasi data dan pengolahan
data primer serta data sekunder untuk memastikan data yang
dikumpulkan telah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian
3) Tahap Analisis Data
Pada tahap analisis data di lakukan setelah pengolahan data telah
selesai.pada tahap ini peneliti melakukan proses analisis secara sapsial
menggunakan software ArcGIS 10.8 untuk menganalisis sebaran
kerusakan bangunan untuk menentukan kerawanan bencana gempabumi
yang di akitakan dengan litologi, sesar aktif, Intensitas gempabumi,
kemiringan lereng, tingkat kerusakan bangunan.
3.6.3. Pasca penelitian
Tahapan pasca penelitian adalah tahap khir dari suatu penelitian. Setelh
penelitian selesai dilakukan, hasil dari penelitian kemudian di susun ke dalam
sebuah laporan akhir penelitian. Laporan penelitian tersebut dapat dijadikan
rujukan oleh lembaga pemerintahan, masyarakat, ataupun pihak-pihak terkait
untuk mengetahui sebaran kerusakan bangunan akibat gempabumi yang di
alami.
30

3.7. Alat dan Bahan


3.7.1. Alat
Tabel 3.2 Alat Penelitian
No. Alat Spesifikasi Kegunaan
1. Perangkat Keras Leptop Digunakan dalam
melaksanakan
penelitian, mulai
dari pengumpulan
data, pengolahan
data, tahap
analisis data, serta
membuat laporan
penelitian
GPS Digunakan dalam
membantu uji
validasi dan
pengambilan data
primer di
lapangan dalam
hal pengambilan
koordinat
geografis.
2. Perangkat Lunak ArcGIS 10.8 Digunakan dalam
pengolahan data,
analisis data, dan
proses layout peta
Envi 5.3 Digunakan dalam
pengolahan data
sekunder.
Microsoft Office Digunakan dalam
proses pengolahan
data statistik dan
pembuatan
laporan hasil
penelitian.
3. Kamera Ponsel Digunakan untuk
proses
dokumentasi uji
validasi lapangan.
4. Alat Ukur Inclinometer Digunakan
untmenganalisa
dan menghitung
kemiringan tanah.
31

3.7.2. Bahan
Tabel 3.3 Bahan Penelitian
No Bahan Spesifikasi Kegunaaan Sumber
1. Administrasi Shapefile Digunakan RBI
Kecamatan Cugenang dalam
pembuatan peta
2. Hiposentrum Gempa Shapefile dan Acuan melihat USGS
Bumi Exel kondisi setelah
gempa bumi
Peta Geologi Peta Geologi Digunakan Pusat
Lembar dalam Survey
Cianjur, jawa pembuatan peta Geologi,
1:100.000 geologi Badan
Geologi,
ESDM
3. Kerusakan Bangunan KML dan Sebagai Observasi
Shapefile landasan untuk Lapangan
memenentukan
kerusakan
bangunan

3.8. Teknik Pengumpulan data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Studi Literatur
Studi literatur merupakan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
metode pengumpulan data Pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah
bahan penelitian (Zed, 2008). Menurut Komariyah & Satori (2014) perlu
menggunakan pandangan-pandangan ahli lain berbentuk referensi buku, jurnal,
laporan penelitian karya ilmiah lainnya serta peneliti dapat juga mengutip
substansi yang terdapat dalam literatur-literatur sebagai bahan rujukan.
Studi literatur memiliki tujuan untuk menghimpun data-data statistik dan
penelitian terdahulu untuk menunjang keberhasilan suatu penelitian. Peneliti
menggunakan studi literatur ini dengan mempelajari buku, jurnal, laporan
penelitian lain yang dinilai dapat membantu dalam proses penelitian yang
berkaitan dengan metode penelitian atau teori penelitian.
32

b. Observasi
Menurut Widoyoko (2014), observasi adalah pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah gejala pada
objek penelitian. Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi secara
langsung di Kecamatan Lembang untuk mendapatkan gambaran secara umum
maupun detail mengenai topik yang akan diteliti.
c. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan komunikasi langsung dengan masyarakat
setempat yang di jadikan sampe penelitian maupun narasumber dari instansi
terkait
d. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengambil data-data yang mengandung hasil
penelitian di Kecamatan Cugenang. Teknik dokumentasi menampilkan data-data
berupa gambar yang di dapatkan dari hasil observasi yang dapat memperkuat
hasil dari penelitian.
3.9. Teknik analisis data
a. Analisis Zonasi Kerusakan Bangunan
Klasifikasi kerusakan bangunan berdasarkan European Macroseismic
Scale (EMS) 1998. Analisis ini dilakukan untuk tercapainya tujuan penelitian
tentang zonasi kerusakan bangunan. Klasifikasi EMS 1998 membagi tingkatan
kerusakan atas 5 (lima) skala, yaitu tingkat kerusakan ringan, sedang, besar,
sangat besar, dan hancur. Untuk menentukan klasifikasi kerusakan bangunan,
dilakukan menggunakan data yang diperoleh dari sumber terkait serta
identifikasi berdasarkan observasi dan survey langsung ke lapangan sehingga
akan lebih jelas untuk menentukan klasifikasi dari kerusakan bangunan tersebut.
Data yang diperoleh selanjutnya diproses menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.8 dengan hasil mengklasifikasikan kerusakan bangunan di setiap
wilayah yang mengalami kerusakan. Sehingga dapat di interpretasikan.
b. Analisis Korban akibat bencana Gempabumi
Analisis korban akibat bencana gempabumi dengan menggunakan teknik
analisis apsial. Teknik ini digunakan untuk menganalisis masalah dengan cara
mengumpulkan sejumlah data atau mengorganisasikan dalam kriteria tertentu
33

lalu disajikan dalam bentuk tabel (hasil tabulasi) dan garfik (gambar/chart).
Dalam hal ini, data yang di peroleh pada masing-masing korban di sajikan dalam
bentuk tabel, untuk kemudian di deskripsikan secara lebih rinci. Analisis ini
mengacu pada Priambodo dan Tagging ada klasifikasi korban.
c. Analisis Kerusakan Material
d. Analisis Sebaran Wabah Penyakit

3.10. Diagram Alur Penelitian


Data berasal dari pengamatan langsung ke lapangan mengenai kerusakan
bangunan untuk dilakukan pemetaan zonasi kerusakan bangunan.
Pengamatan langsung atau observasi dan survey lapangan untuk pembuktian
kebenaran dari data sekunder yang didapat berdasarkan pengolahan dan studi
literatur. Untuk tahapan selanjutnya akan dijelaskan pada gambar diagram
alir berikut.
34

1 Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik
(Edisi Revisi VI). Jakarta: Rieneke Cipta
Badan Pusat Statistik (BPS). 2021. Kecamatan Cugenang Dalam Angka 2021:
BadanPusat Statistik Kabupaten Cianjur

Basuki, A. Y., Riqqi, A., Deliar, A., & Oktaviani, N. (2014). Tata Kelola Basis Data
Geospasial Kelautan Berbasiskan Sistem Grid Skala Ragam (Wilayah Studi:
Selat Sunda). Conference On Geospatial Information Science and
Engineering Menuju Pengelolaan Informasi Secara Spasial.

Hadi, S. T. (2018) Modul Praktik. Diakses melalui. https://kesgi.poltekkesdepkes-


sby.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/MODUL-MANAJEMEN-
BENCANA-PRAKTIK-2018.pdf

Khafid, M. A. (2019). Analisis Penentuan Zonasi Pemukiman Risiko Bencana Tanah


Longsor Berbasis Sistem Informasi Geospasis: Studi Kasus Kecamatan
Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika.

Malik, Y.N. 2009. Gempabumi Dan Tsunami. Buana Nusantara Bandung

Noor, D. 2009. Pengantar Geologi. Program Studi Tektik Geologi Universitas


Pakuan : Bogor From

Notohadiprawiro, T. 2006. Metode Penelitiandan dan Penulisan Ilmiah. Repro: Ilmu


Tanah Universitas Gajah Mada.

Peraturan Mentri Pekerjaan Umum no 21/PRT/M/2007. 2007. Pedoman penataan


ruang (Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan
Gempabumi). Departemen Pekerjaan Umum : Jakarta

Priambodo, S. A. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana.


Kanisus :Yogyakarta.
35

PVMBG. 2009. Laporan Singkat Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Gemapa


Bumi di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Badan Geologi :
Bandung

Rachmat, A. 2005. Managament dan mitigasi bencana. Badan Pelestarian


Lingkungan Hidup Provinsi Jawabarat: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai