Anda di halaman 1dari 63

ANALISIS SEISMISITAS BERDASARKAN DATA GEMPA BUMI

PERIODE 1958-2018 MENGGUNAKAN b-value PADA DAERAH


SELATAN JAWA BARAT DAN BANTEN

Skripsi ini ditujuan kepada Fakultas Sains dan Teknologi untuk memenuhi gelar Sarjana Sains (S.Si)

ILMAN LUTHFI HILMI

11140970000013

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam terjadi di permukaan bumi

dan mempunyai resiko tinggi mengalami kerusakan, baik bangunan maupun

jatuhnya korban jiwa. Hal ini disebabkan karena penyebab gempa bumi tidak

mudah untuk diprediksi, baik waktu, lokasi, maupun seberapa kuatnya goncangan

gempa yang dihasilkan. Goncangan gempa bumi sendiri diakibatkan pelepasan

energy dari dalam bumi yang menjalar ke segala arah berupa gelombang seismik

dan dirasakan sampai ke permukaan bumi. Pancaran gelombang seismik tersebut

dapat merambat seperti pada rambatan gelombang bunyi saat pesawat melaju di

udara. Hasil pancaran gelombang seismik tersebut bervariasi yang besarnya

beragam, dimulai dari magnitudo kecil sampai magnitudo besar. Pada gempa yang

ber-magnitudo kecil, gejala yang ditimbulkan biasanya tidak terasa karena hanya

tercatat oleh alat-alat khusus seperti seismograf, atau bisa saja gempa yang

ditimbulkan dapat terasa oleh sebagian orang namun tidak dapat menyebabkan

kerusakan karena hanya mengakibatkan benda-benda bergoyang. Beda halnya

dengan gempa yang ber-magnitudo besar, gempa bumi yang dihasilkan akan

menyebabkan kerusakan yang bersifat merusak bangunan maupun menyebabkan

jatuhnya korban jiwa.

1
Gempa bumi sendiri terdiri dari banyak jenis, selain yang berada di daratan

gempa bumi juga banyak terjadi di dasar laut. Perlu diwaspadai apabila pada daerah

laut mengalami gempa yang sifat magnitudo nya besar, maka bisa terjadi

kemungkinan bahwa pada daerah sekitar yang mengalami gempa terkena dampak

terburuknya, yaitu tsumani. Seperti gempa bumi yang menyebabkan Tsunami

terjadi di beberapa daerah didunia, bisa diambil contoh pada gempa Aceh tahun

2004 dengan kekuatan 9.5 SR menyebabkan ratusan ribu jiwa meninggal dunia, dan

rumah rusak dari kategori ringan sampai rusak parah akibat tsunami dengan tinggi

ombak sekitar belasan meter.

Kepulauan Indonesia sendiri merupakan salah satu daerah di dunia yang

mempunyai tatanan tektonik yang sangat beragam dan juga kompleks. Mengapa

demikian? karena pada Kepulauan Indonesia merupakan daerah yang berada pada

lintasan pertemuan tiga lempeng tektonik, baik lempeng besar maupun lempeng

kecil. Pada lempeng tektonik besar (macroplate), pertemuan lempeng tersebut yaitu

lempeng Eurasia yang relatif diam, lempeng Pasifik yang sifat pergerakannya ke

barat dan juga lempeng Indo-Australia yang sifat pergerakannya ke utara. Selain

lempeng besar, terdapatnya lempeng Filipina yang merupakan lempeng kecil

(microplate). Pertemuan antara ketiga lempeng besar tersebut menyebabkan

terbentuknya zona subduksi, yang merupakan pertemuan antara kedua buah

lempeng tektonik yang bersifat convergen (saling mendekat) di mana salah satu

lempeng akan menujam kedalam lempeng lainnya disebabkan nilai densitas yang

dimilikinya lebih tinggi dari lempeng lainnya. Selain membentuk zona subduksi,

pertemuan tiga lempeng juga disebut triple junction.

2
Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia
(Sumber: http://balai3.denpasar.bmkg.go.id/tentang-gempa)

Bencana alam tektonik sebenarnya sudah lama terbentuk sejak benua terpisah

seperti sekarang ini, banyak factor yang menyebabkan bencana tektonik terbentuk.

Bencana alam selain bencana tektonik juga ada yang menyebabkan perubahan

struktur daerah tersebut, salah satunya adalah gunung api. Gunung api yang ada di

dunia mempunyai potensi yang sama besar nya dengan gempa tektonik. Salah satu

contoh nya adalah bagaimana letusan gunung Krakatau yang menyebabkan bencana

besar akibat gunung tersebut mengalami erupsi dan meletus, menyebabkan muncul

nya anak gunung baru yaitu Anak Gunung Krakatau. Bencana tektonik dan gunung

api sangat berkaitan erat dengan kondisi geografis Indonesia. Hal ini terjadi

dikarenakan Indonesia selain adanya pertemuan antara tiga lempeng besar dan

kecil, juga dilalui oleh cincin api (Ring of Fire). Ring of Fire terletak di sepanjang

Samudera Pasifik dan mempunyai bentuk cekungan dengan panjang wilayah nya

sekitar 40.000 km2, melewati rute yang membentang dari Sumatera, Jawa, Bali,

3
Nusa Tenggara, Filipina dan terus ke Himalaya, Mediterania dan berujung di

Samudera Atlantik (Yonathan, 2018). Karena rute tersebut menyebabkan Indonesia

banyak terdapat gunung api yang masih aktif seperti di Sumatera Barat, gunung api

di Kepulauan Indonesia merupakan gunung api yang paling aktif pada jalur Ring of

Fire dibandingkan jajaran gunung api lain di jalur yang sama.

Daerah Jawa Barat dan Banten khususnya wilayah selatan merupakan kawasan

yang rawan terjadinya gempa bumi. Secara geografis daerah Jawa Barat dan Banten

terletak pada -6o s/d -8o LS dan 105o s/d 108o BT. Daerah ini merupakan wilayah di

Kepulauan Indonesia yang berada di zona pertemuan antara lempeng Eurasia

dengan Indo-Australia, di mana gerakan lempeng Indo-Australia bergerak kearah

utara dan bertumbukan dengan lempeng Eurasia yang relatif diam. Selain adanya

aktivitas subduksi lempeng didaerah Selatan Jawa Barat, daerah ini juga rawan

bencana gempa bumi dikarenakan adanya aktivitas sesar local diwilayah tersebut,

seperti Sesar Lembang, Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis. Hingga tahun 2018 ada

beberapa gempa bumi yang tercatat, di mana lebih dari 29 kali kejadian gempa bumi

yang bersifat merusak dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Kejadian gempa

bumi tersebut antara lain gempa bumi di Kuningan tahun 1875, gempa bumi

Tasikmalaya pada 1979, gempa bumi Majalengka tahun 1990, gempa bumi

Sukabumi tahun 2000, gempa bumi di Gunung Halu tahun 2005, gempa bumi dan

tsunami di Pangandaran tahun 2006, dan gempa bumi di Tasikmalaya tahun 2009

(Daryono, 2010; (Sunardi, et al., 2017)). Selain itu berdasarkan data dari situs

USGS ada beberapa gempabumi yang termasuk ke dalam gempa bumi yang

tercatat, salah satunya adalah daerah Tasikmalaya pada tahun 2017 dengan Mw 6.5.

4
Efek yang ditimbulkan dari gempa bumi baik gempa tektonik maupun gempa

api seperti pergerakan tanah, longsor, dan sebagainya seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya pada daerah yang terkena dampak dari gempa bumi. Dengan

mengetahui berbagai efek dari gempa tersebut dapat dilakukan berbagai upaya

untuk mencegah kerusakan tersebut.

Kewaspadaan dari gempa bumi perlu dilakukan suatu kajian mengenai

seismoteknik yang berdasarkan sejarah gempa bumi daerah tersebut. Seismoteknik

adalah katalog gempa bumi yang memuat persebaran gempa bumi dan juga ukuran

untuk perbandingan aktivitas seismis antara satu daerah dengan daerah lain.

Parameter seismoteknik merupakan harga numeric yang dapat digunakan sebagai

ukuran tingkat kegempaan suatu daerah. Parameter seismoteknik dapat berupa

keaktifan seismisk (a-value), kerapuhan batuan (b-value), indeks seismisitas, dan

periode pengulangan gempa.

Nilai a secara fisis dapat diartikan sebagai tingkat seismisitas di wilayah

tertentu, sedangkan nilai b sendiri merupakan aktifitas gempa local dan struktur

suatu wilayah. Dengan mengetahui khususnya nilai a dan b maka kita dapat

menentukan daerah yang merupakan daerah yang termasuk rawan gempa karena

nilai a dan b ini akan menunjukan seberapa besar tingkat keaktifan seismisitas dan

kegempaan. Nilai a dan b ini juga dapat digunakan sebagai acuan kepada

pemerintah daerah dalam pembuatan sebuah bangunan yang tahan gempa sehingga

dalam hal ini mengurangi resiko baik kerusakan bangunan maupun jatuhnya korban

jiwa.

5
Penelitian ini juga tidak terlepas dari bantuan software dan metode yang

digunakan. Berdasarkan informasi tersebut, maka perlunya dilakukan penelitian

terkait penentuan nilai parameter seismotektonik berdasarkan nilai a dan b di daerah

Selatan Jawa Barat dan Banten dengan menggunakan hubungan Gutenberg-Rithcer

atau Magnitudo Frequency Relation (MFR) dan metode statistic Maximum

Likelihood. Sedangkan software yang digunakan adalah dengan menggunakan

software Z-Map dan ArcGIS 10.2.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang berkaitan dengan latar belakang diatas antara lain:

1) Bagaimana cara untuk mengetahui b-value untuk daerah selatan Jawa Barat dan

Banten dengan metode statistic periode 1958-2018?

2) Bagaimana hasil dari seismisitas pada daerah selatan Jawa Barat dan Banten

berdasarkan distribusi gempa bumi?

3) Bagaimana persebaran periode ulang gempa bumi di daerah selatan Jawa Barat

dan Banten berdasarkan perhitungan?

1.3 Batasan Masalah

Data gempa berdasarkan katalog gempa bumi dari USGS dan BMKG selama 60

tahun terakhir, dimulai dari tanggal 1 Januari 1958 sampai 1 Juni 2018 meliputi

wilayah selatan Jawa Barat dan Banten dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Magnitudo minimum adalah 4 SR dan maksimum adalah 8 SR.

2) Kedalaman berkisar antara 0-300 km yang merupakan gempa dangkal sampai

dalam. Gempa dangkal diketahui sebagai gempa yang paling menyebabkan

kerusakan terparah.

6
3) Data diambil dengan ketentuan daerah koordinat yang terletak antara -6.948o

s/d -8.135o LS dan 104.996o s/d 108.721o BT.

4) Metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan hubungan Gutenberg-

Rithcer atau Magnitudo Frequency Relation (MFR) dan metode Maximum

Likelihood, sedangkan software yang digunakan dalam mengolah data adalah

Microsoft Excel dan dalam menginterpretasikan data adalah Software Z-Map.

Sedangkan untuk pemetaan seismisitas gempa bumi daerah penelitian

menggunakan software ArcGIS 10.2.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Mengetahui b-value untuk daerah selatan Jawa Barat dan Banten dengan

metode statistic periode 1958-2018.

2) Mengetahui tingkat seismisitas daerah selatan Jawa Barat dan Banten

berdasarkan data gempa periode 1958-2018.

3) Mengetahui tingkat periode ulang gempa bumi pada daerah selatan Jawa Barat

dan Banten berdasarkan nilai a dan b value yang di dapat.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Masyarakat Luar

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi kepada

Pemerintah baik Daerah maupun Pusat sebagai studi mitigasi kebencanaan

khususnya gempa bumi di daerah selatan Jawa Barat dan Banten sehingga dapat

dijadikan saran untuk pembuatan bangunan didaerah tersebut.

7
1.5.2 Bagi Mahasiswa

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain

itu manfaat lainnya adalah dapat sekaligus pengetahuan tentang penggunaan

software dan pengolahan data.

1.5.3 Bagi Instansi

Manfaat bagi instansi adalah terjalinnya hubungan baik antara Instansi

tempat melakukan penelitian dengan Program Studi sehingga dapat terjalin kerja

sama kedepannya. Selain itu juga sebagai saran dan masukan atas pelayanan untuk

tempat instansi tersebut.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri atas lima bab, antara lain sebagai berikut:

1) BAB I Pendahuluan

Bab ini berisi gambaran umum mengenai masalah yang akan dibahas dalam

penelitian tersebut. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang penulisan,

rumusan masalah, batasan masalah dalam penelitian, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian untuk orang lain.

2) BAB II Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tentang teori yang berkenaan dengan apa yang dibahas di dalam

penelitian ini. Pada bab ini juga berisi mengenai pengertian, proses, kondisi

geologi, hubungan antara frekuensi dengan magnitude, indeks seismisitas,

probabilitas dan periode ulang.

8
3) BAB III Metode Penelitian

Bab ini berisikan waktu dan tempat pelaksanaan, data apa saja yang digunakan,

alat dan bahan yang dipakai selama penelitian, pengolahan data, teknik

pengumpulan data dan juga diagram alir penelitian tersebut.

4) BAB IV Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang telah dilakukan berikut analisis

mengenai hasil penelitian tersebut.

5) BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri kesimpulan yang didapat dari penelitian ini serta saran kedepan

untuk penelitian selanjutnya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gempa bumi

Gempa bumi merupakan sentakan asli dari bumi, yang sumbernya di dalam

bumi yang merambat melalui permukaan bumi (J. A. Katili dan Marks, 1963: 250;

(Ir. Soetoto, 2013)). Selain itu definisi lain dari gempa bumi adalah sebuah proses

bergetarnya permukaan tanah disebabkan karena adanya pelepasan energy yang

secara tiba-tiba karena adanya patahan atau pecahnya massa batuan di lapisan kerak

bumi. Pengertian ini merupakan kesimpulan dari beberapa pendapat yang

mengemukakan tentang gempa bumi, sehingga adanya penjelasan yang lebih dalam

mengenai defisnisi gempa bumi. Defisini gempa bumi yang telah dirangkum dari

beberapa sumber diantaranya sebagai berikut (Pawirodikromo, 2012):

a. Earthquake is vibrations of the Earth caused by the sudden release of energy,

usually as a result of displacement of rock along fault.

b. An earthquake is a sudden motion or tembling in the earth caused by the sudden

release of slowly accumulated strain.

c. Earthquake is a ground shaking or radiated seismic energy caused by a sudden

stress changes or a sudden slip on a fault or volcanic/ magmatic activity.

d. Earthquake is a sudden shock or shacking and vibration at the surface of the

earth resulting from underground movement along a fault plane or volcanic

activity.

10
e. Earthquake is shaking of the Earth surface caused by rapid movement or rocky

outer earth layer.

f. Earthquake is vibration of the earth produced by the rapid release energy.

g. Earthquake is a shaking of a ground caused by the sudden breaking and shifting

of large section of the earth’s rocky outer shell.

Menurut teori yang dikemukakan oleh seismolog Reid (Fulki, 2011)

menyatakan bahwa gempa bumi merupakan gejala alam yang disebabkan oleh

pelepasan energy regangan elastis batuan yang disebabkan adanya deformasi

batuan yang terjadi di litosfer.

Deformasi batuan terjadi akibat adanya tekanan (stress) dan regangan (strain)

pada lapisan bumi. Tekanan atau tarikan yang terjadi secara terus-menerus akan

menyebabkan daya dukung pada batuan akan mencapai titik maksimum dan mulai

terjadinya pergeseran mengakibatkan patahan secara tiba-tiba. Energi stress yang

tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang dikenal sebagai gempa bumi.

Apabila dua buah lempeng mengalami pertumbukan, maka pada daerah

batasnya antara dua lempeng akan mengalami tegangan. Salah satu lempeng akan

menyusup ke bawah lempeng lainnya, inilah yang disebut subduksi. Pada umumnya

lempeng samudera akan menyusup ke bawah lempeng benua, ini disebabkan karena

densitas lempeng samudera lebih besar dibandingkan dengan lempeng benua.

Apabila tegangan tersebut telah melewati titik maksimum nya maka akan terjadi

patahan pada kulit bumi di daerah yang lemah. Kulit bumi yang patah akan

melepaskan energy atau tegangan parsial atau seluruhnya untuk kembali ke keadaan

11
semula. Peristiwa pelepasan energy ini disebut gempa bumi (Pepen, 2008; (Lira,

2017)).

Pergerakan dua lempeng yang berbatasan saling bergerak relative terhadap

sesamanya menimbulkan gesekan di sepanjang bidang batas lempeng. Gesekan dua

lempeng yang bersifat elastis dapat menimbulkan energy elastis. Jika pergerakan

lempeng terjadi terus menerus dalam waktu yang lama akan terjadi akumulasi

energy pada batas lempeng. Pada suatu kondisi tertentu di mana batuan tidak dapat

lagi menahan gaya yang ditimbulkan oleh gerak relative lempeng, energy elastis

yang terakumulasi akan dilepaskan secara tiba-tiba dalam bentuk gelombang elastis

yang menjalar ke segala arah. Gelombang ini sampai di permukaan bumi dalam

bentuk gelombang elastis yang menjalar ke segala arah. Gelombang ini sampai di

permukaan bumi dalam bentuk getaran tanah yang dapat dirasakan. Selanjutnya

gelombang elastis yang dipancarkan oleh gempa ini disebut gelombang seismik

(Fulki, 2011). Gelombang inilah yang diketahui sebagai penyebab adanya kejadian

gempa bumi.

Gempa bumi terjadi setiap menitnya baik gempa kecil maupun gempa besar.

Setiap gempa memiliki karakteristik yang berbeda baik energy yang dilepas

maupun goncangan yang dihasilkan, ini disebabkan karena adanya factor yang

mempengaruhi. Semua gempa tersebut biasanya mempunyai pusat gempa yang

berada di bawah permukaan. Pusat gempa bumi yang terdeteksi dipermukaan

disebut Epicenter, dan dicatat menggunakan alat yang dipasang pada setiap stasiun

pencatat daerah. Alat tersebut bernama seismogram yang merupakan alat untuk

mem-visualisai getaran tanah akibat gempa bumi dengan hasil catatan berupa

12
seismograf. Dari alat ini kita dapat mendapatkan berbagai informasi yaitu berupa

kecepatan gelombang P dan S, yang kemudian dianalisis kemudian diperoleh jarak

antara pusat gempa dengan stasiun pencatat terdekat.

2.2 Proses Terjadinya Gempa bumi

Dalam suatu kejadian gempa bumi, ada beberapa syarat yang diperlukan untuk

terjadinya suatu kejadian gempa bumi, antara lain sebagai berikut:

a. Pergerakan relative dari lempeng tektonik atau blok lempeng tektonik;

b. Adanya tekanan atau stress;

c. Pelepasan energy dari dalam bumi.

Menurut teori patahan (theory fracture) mengatakan bahwa pada waktu

terjadinya gempa bumi akan dilepaskan sejumlah energy tertentu akibat patahan

yang terjadi secara tiba-tiba dan gelombang seismik yang dipancarkan dapat

dirasakan oleh alat seismogram, jadi dapat diketahui bahwa gempa bumi adalah

hasil pelepasan energy dari suatu patahan kerak bumi di mana patahan itu

merupakan sumber gempa (Sulaiman, 1989)

Ada beberapa jenis gempa bumi yang dikategorikan berdasarkan penyebab

terjadinya. Gempa tersebut dimulai dari gempa yang relative kecil sampai pada

gempa yang besar atau dapat merusak. Jenis gempa tersebut antara lain:

1. Gempa bumi Runtuhan

Gempa bumi runtuhan merupakan gempa bumi yang terjadi diakibatkan karena

adanya runtuhan di dalam bumi. Runtuhan didalam bumi biasanya berada pada

13
lapisan tanah baik runtuhan di dalam gua-gua atau daerah pertambangan, daerah

kapur dan mengakibatkan getaran dalam tanah dalam efek yang kecil. Runtuhan di

dalam gua dan daerah pertambangan diakibatkan karena adanya tegangan yang

melampaui batas maksimal akibat perubahan struktur penyusun batuan. Gempa ini

juga dapat terjadi karena tanah longsor, misalnya tanah longsor raksasa di Peru

tahun 1974 telah mengakibatkan getaran tanah yang bersifat kecil sampai

menengah.

2. Gempa bumi Vulkanik

Gempa bumi vulkanik terjadi diakibatkan karena adanya proses aktivitas

magma panas yang keluar ke atas permukaan tanah, sehingga menimbulkan

ledakan. Gempa vulkanik berhubungan dengan ledakan gunung api, dengan

ledakan yang bervariasi mulai dari ledakan kecil sampai besar. Namun getaran

tanah biasanya hanya berada dalam radius yang kecil karena hanya berada pada

sekitar kaki gunung, dan intensitasnya juga lebih kecil dari gempa tektonik.

3. Gempa bumi Buatan

Gempa bumi buatan terjadi akibat adanya aktivitas manusia yang menyebabkan

ledakan yang sangat besar di dalam tanah maupun di permukaan tanah. Misalnya

percobaan ledakan nuklir ataupun peledakan bangunan bertingkat yang

terbengkalai. Selain itu juga adanya ledakan untuk ekplorasi pertambangan juga

turut mempengaruhi terjadinya gempa ini. Ledakan nuklir dibawah tanah dapat

menyebabkan adanya getaran tanah yang setara dengan gempa bumi magnitude 7

SR. Jika ledakan tersebut dilakukan di udara maka akan mengakibatkan lepasnya

14
energy yang sangat besar disertai dengan tekanan dan suhu yang sangat besar

sehingga dapat merusak bangunan disekitar.

4. Gempa bumi Tektonik

Gempa bumi ini merupakan gempa yang biasanya paling besar diantara ketiga

gempa tadi. Ini disebabkan oleh aktivitas lempeng tektonik baik dalam rentang

regional maupun global, yang mengakibatkan patahan lapisan batuan. Gerakan

lempeng tektonik dapat terjadi saling betumbuk (convergent), menggeser (shear),

dan juga saling tarik mensarik (tension). Dalam waktu lama gerakan lempeng

tektonik tersebut dalam waktu geologi akan mengakibatkan perubahan dan bentuk

lapisan batuan, diantaranya terbentuknya pegunungan.

Daerah yang paling rawan gempa biasanya berada pada pertemuan lempeng-

lempeng tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Subduction, merupakan suatu peristiwa di mana salah satu lempeng menujam

ke bawah karena perbedaan densitas. Peristiwa ini yang menyebabkan kejadian

gempa bumi paling banyak.

2. Extrusion, merupakan suatu kejadian penarikan satu lempeng terhadap lempeng

yang lain.

3. Transcursion, merupakan adanya suatu kejadian gerakan vertical satu lempeng

terhadap yang lain.

4. Accretion, merupakan suatu kejadian tabrakan lambat yang terjadi antara

lempeng samudra dan lempeng benua..

15
Sedangkan berdasarkan kedalaman sumber (h), gempa bumi dibedakan atas 3

jenis, yaitu:

1. Gempa bumi dalam, di mana pada kejadian ini kedalaman gempa biasanya lebih

dari 300 km;

2. Gempa bumi menengah, di mana pada kejadian ini kedalaman gempa berkisar

antara 80 sampai dengan 300 km. Jenis gempa bumi ini berada diantara gempa

dalam dan juga gempa dangkal;

3. Gempa bumi dangkal, merupakan gempa bumi yang paling berpotensi merusak

dikarenakan berada pada kedalaman kurang dari 80 km.

2.3 Skala Kekuatan Gempa

2.3.1 Skala Kekuatan

Merupakan kekuatan gempa yang bersifat kuantitatif (Adzkia, 2010). Konsep

ini pertama kali diperkenalkan oleh C. F. Ritchter pada tahun 1935, yang

mengemukakan mengenai skala kekuatan logaritma yang biasa disebut skala

Ritcher. Pengukuran kekuatan gempa bumi ini menggunakan skala Ritcher yang

umumnya dikenal dengan pengukuran magnitude bumi. Magnitudo gempa bumi

merupakan ukuran mutlak yang dikeluarkan oleh pusat gempa. Gempa terbesar

yang tercatat adalah sebesar 8.9 SR terjadi di daerah Columbia pada tahun 1906.

2.3.2 Skala Intensitas

Merupakan kekuatan gempa yang bersifat kualitatif (Zera, 2007), yaitu dengan

melihat besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh adanya gempa dipermukaan

bumi. Skala ini dikembangkan oleh Guisseppe Mercally pada tahun 1902, beliau

16
merupakan seorang ahli seismologi dari Italia yang namanya diabadikan menjadi

nama skala intensitas kegempaan. Dengan kata lain, skala MMI (Modified Mercally

Intensity) digunakan untuk mengukur besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh

gempa bumi. Selain skala MMI, ada skala lain yaitu skala Rossi-Forrel (1874-1878)

dan Skala Intensitas Gempa (SIG) BMKG. Dalam skala ini ada beberapa tingkatan

zona bahaya yang bertujuan untuk mempermudah penggunaan peta dalam melihat

tingkat bahaya gempa bumi dalam suatu daerah yang mengalami gempa. Semakin

tinggi skala nya maka semakin tinggi pula tingkat kerusakannya. Secara lebih rinci

skala tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

A. Skala Ricther

Mempunyai skala 1-8.8 dalam skala logaritma. Prinsip kerja dari skala ini

adalah pengukuran amplitude maksimum seismik pada jarak 161 km, dengan

mengukur perbedaan waktu tempuh gelombang P dan S.

Tabel 2.1 Skala Ricther dan Pembandingnya (Adzkia, 2010)


No SR Peningkatan Kekuatan Energi dilepas (Ledakan TNT)

1 1 1 0,17 kg

2 2 10 6 kg

3 3 100 179 kg

4 4 1000 5 metric ton

5 5 10.000 179 metric ton

6 6 100.000 5643 metric ton

7 7 1.000.000 179.100 metric ton

8 8 10.000.000 5.463.000 metric ton

17
B. Skala Rossi-Forrel

1. Terekam dari instrument;

2. Dapat dirasakan dalam keadaan diam oleh sejumlah kecil manusia dan hewan;

3. Merasakan guncangan yang cukup kuat oleh beberapa orang dalam keadaan

diam;

4. Dapat dirasakan oleh beberapa orang dalam keadaan bergerak;

5. Dapat dirasakan setiap orang, dapat menggerakan perabot dan membuat

lonceng berbunyi;

6. Dapat membangunkan orang yang tidur, membuat lonceng berbunyi lebih

keras;

7. Membuat kepanikan di sekitar, menjatuhkan benda yang tergantung seperti

lampu maupun hiasan dinding;

8. Dapat meretakan dinding bangunan baik kecil maupun lebar;

9. Bersifat merusak bangunan baik secara keseluruhan maupun sebagian

bangunan;

10. Dapat mengakibatkan bencana yang besar.

C. Skala Intensitas Gempa (SIG) BMKG

Merupakan skala yang dibuat oleh institusi pemerintah yang memiliki tujuan

untuk memahami seberapa besar dampak gempa secara makroseismik yang terjadi

disuatu tempat dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

18
Tabel 2.2 Skala Intensitas Gempa Bumi Menurut BMKG (sumber:bmkg.go.id)

D. Skala Mercalli

Penentuan nilai skala Mercally bersifat subjektif dikarenakan hal berikut, yaitu:

1. Tergantung pada jarak epicenter dengan tempat yang dimaksud;

2. Keadaan geologi setempat;

3. Kualitas dari bangunan setempat dilokasi terjadi nya gempa bumi;

4. Kekacauan yang biasa terjadi saat gempa.

Intensitas gempa lebih mempengaruhi dibanding nilai magnitude gempa.

Contohnya adalah gempa yang terjadi di kota Agadir, Maroko yang hancur oleh

gempa bumi tahun 1960 dan menyebabkan 12.000 korban jiwa, padahal magnitude

19
gempa hanya sekitar 5.75 SR, tetapi letak hypocenter gempa ada di dalam

kedalaman 2-3 km sehingga menyebabkan gempa yang besar.

2.4 Jenis Pergerakan Lempeng

Lempeng tektonik dunia bergerak menurut arah dan kecepatan masing-masing.

Ada 3 jenis pergerakan lempeng yang memiliki perbedaan dari cara lempeng

tersebut bergerak. Tiga jenis batas tersebut antara lain:

1. Gerakan Divergen

Gerakan yang terajadi ketika dua lempeng tektonik saling menjauh, diakibatkan

karena adanya gaya dorong peristiwa konveksi, gaya sentrifugal berotasinya bumi,

dan lainnya. Mid Ocean Ridge dan zona retakan merupakan salah satu dari contoh

gerakan divergen.

2. Gerakan Konvergen

Gerakan konvergen terjadi ketika salah satu ujung lempeng tektonik menjauh,

maka ujung yang lain tektonik akan bergerak mendekat karena bentuk bumi yang

bulat, sehingga membentuk zona subduksi atau tabrakan benua jika kedua lempeng

tersebut mengandung kerak benua. Lempeng yang menujam kebawah disebut

downgoing plate sedangkan lempeng yang diatas disebut juga overriding plate.

Contoh yang ada di zona subduksi yaitu palung laut, di mana lempeng yang

menujam mengandung air sehingga saat menujam kebawah kandungan air akan

dilepaskan karena pemanasan dan terjadi pencampuran dengan mantel

menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik.

20
3. Gerakan Transform

Gerakan ini terjadi ketika antara dua lempeng yang saling bergerak menggeser

di sepanjang sesar transform. Gerakan kedua lempeng bergerak ke kiri ataupun ke

kanan yang akan mengakibatkan terjadinya sesar geser. Contohnya adalah patahan

geser San Andreas yang terjadi karena bergesernya lempeng pasifik dengan

lempeng Amerika Utara didaerah pantai barat Amerika Serikat.

Gambar 2.1 Jenis Pergerakan Lempeng


(Sumber:http://frysiangeologi.blogspot.co.id/2012/12/3-jenis-pergerakan-

lempeng_22.html)

2.5 Metode Maximum Likelihood dan Least Square

Dalam melakukan analisis seismoteknik, ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk mencari nilai a dan b. Metode tersebut antara lain:

2.5.1 Metode Maximum Likelihood

Metode Maximum Likelihood merupakan salah satu metode stastistika yang

sangat sesuai untuk penyelesaian masalah mengenai seismoteknik, di mana metode

21
ini digunakan untuk menemukan sebuah penduga yang dapat diterapkan pada

berbagai kejadian (Pertiwi, 2010). Metode ini digunakan untuk menaksir suatu nilai

parameter seismoteknik apabila distribusi populasi telah diketahui. Teknik

penafsiran nilai parameter pada metode ini lebih mudah, akan tetapi teknik ini

hanya dapat digunakan jika distribusi populasi telah diketahui. Kelemahan dari

metode ini sendiri yaitu metode ini sangat sensitive terhadap data ekstrem, sehingga

akan mempengaruhi terhadap nilai rata-rata maupun variansi (Ririn, 2013).

Menurut Utsu (1965) nilai b dapat dihitung menggunakan perkiraan maximum

likelihood. Sedangkan nilai a ditentukan dengan persamaan dari Werkner (1965)

(Rohadi, et al., Juli 2007), dirumuskan sebagai berikut:

0.4343
𝑏= ̅ − 𝑀𝑜
………..………………………………………………….….(2.1)
𝑀

a= log N + log b ln 10 + Mo.b…….………………………………….………(2.2)

Keterangan:

Mo : Magnitude Minimum

̅
𝑀 : Magnitude Rata-Rata

Log e : 0.4343

Menurut Utsu (1965) berpendapat bahwa metode ini mempunyai keunggulan

yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode least square, terlebih lagi dengan

data di mana jumlah data gempa bumi itu kecil (Pertiwi, 2010). Selain itu dalam

hasil dari metode ini memberikan hasil yang lebih stabil karena memodelkan

kemiringan garis bukan dari hasil pencocokan least square pada tiap interval

magnitude, tapi kemiringan nilai tengah magnitude fungsi distribusi Gaussian.

22
Apabila diberikan probabilitas 95% dan Wz=1.960, batas atas dan batas bawah

nilai b dengan probabiitas tertentu menurut Utsu (1965), yaitu:

1.96 1.96
[𝑏 (1 − ) ≤ 𝑃𝑟 ≤ 𝑏 (1 + )] ……………………………………..(2.3)
√𝑁 √𝑁

2.5.1 Metode Least Square

Metode Least Square adalah metode yang digunakan untuk mencari nilai-nilai

parameter penduga dalam model regresi. Dalam metode ini kita dapat menganalisa

hubungan antara variable bebas dengan variable terikat (Mutiarani, et al., 2013).

Untuk melihat hubungan antara masing-masing variable maka dapat digunakan

1 variabel terikat (Y) dan 1 variabel bebas (X), di mana dalam hal ini metode ini

digunakan untuk data-data yang biasanya terdapat hubungan korelasi linear.

Metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑛 ∑(𝑋𝑖 .𝑌𝑖 )−(∑ 𝑋𝑖 )(∑ 𝑌𝑖 )


𝑏= …………………………………………………(2.4)
𝑛 ∑ 𝑋𝑖2 −( ∑ 𝑋𝑖 )2

𝑛 ∑ 𝑌𝑖 .−𝑏 ∑ 𝑋𝑖
𝑎= ………………………………………………………....(2.5)
𝑛

Di mana dalam metode least square untuk melihat hubungan antara variable

terikat dengan variable bebas, digunakan nilai yang di dapat dari koefisien relasi.

Koefisien relasi adalah sebuah ukuran linear antara variable terikat dan variable

bebas, di mana nilai ini yang menunjukan seberapa kuat antara 2 variabel tersebut.

Koefisien relasi dirumuskan sebagai berikut:

𝑛 ∑(𝑋𝑖 .𝑌𝑖 )−(∑ 𝑋𝑖 )(∑ 𝑌𝑖 )


𝑟= …………………………………….....(2.6)
√𝑛 ∑ 𝑋𝑖2 −( ∑ 𝑋𝑖 )2 .√𝑛 ∑ 𝑌𝑖2 −( ∑ 𝑌𝑖 )2

23
Di mana

n : Banyak Interval Magnitude

Xi : Nilai Tengah dari Interval Magnitude

Yi : Log Freuensi Kumulatif Gempa untuk Interval Magnitudo

Nilai r ini berkisar antara -1 sampai 1. Apabila nilai r adalah 1, maka adanya

hubungan antara M dengan N ada koefisien relasi positif yang tinggi. Sedangkan

apabila nilai r adalah -1 maka hubungan M dengan N ada koefisien relasi negatif

yang tinggi, nilai r adalah 0 maka tidak ada hubungan antara M dengan N (Walpole,

2006).

2.6 Hubungan Frekuensi-Magnitudo Gempa Bumi

Dalam kejadian gempa bumi, peneliti memprediksi kejadian gempa bumi secara

makro yang dapat dilihat pada kejadian masa lalu. Hubungan antara frekuensi dan

magnitude (frequency-magnitudo distribution, FMD) merupakan salah satu cara

untuk mengetahui aktivitas kegempaan disuatu wilayah (Rohadi dkk, 2008; (Priadi

& Arifin, 2017)). Secara umum b-value mendekati 1, yang berarti penurunan

aktivitas sebesar 10 kali terkait dengan kenaikan dalam tiap unit magnitude.

Frekuensi dan kekuatan gempa bumi yang didapatkan sangatlah tidak pasti

sehingga prediksi kejadian gempa bumi pada masa sekarang dilakukan dengan

menggunakan cara statistic dalam bentuk probabilitas. Probablitias terjadinya suatu

parameter gempa sendiri dapat diistilahkan dengan hazard analysis

(Pawirodikromo, 2012), yang dilampaui sesuai periode gempa bumi yang di

inginkan. Ini merupakan komponen yang cukup penting dikarenakan hasil dari

24
hazard analysis dapat dijadikan sebagai standar desain pembangunan bangunan

sesuai dengan beban gempa yang ada pada daerah tersebut.

Berikut merupakan table frekuensi rata-rata pertahun gempa bumi selama

periode 1918-1945 (Zera, 2007).

Tabel 2.3 Perbandingan kekuatan dan frekuensi gempa bumi


No Skala Kekuatan Frekuensi Tiap Tahun

1 >8 1

2 7-7.9 18

3 6-6.9 108

4 5-5.9 800

5 4-4.9 6200

6 3-3.9 49000

7 2-2.9 300000

Dari hasil data yang ditampilkan dalam Tabel 2.2 dapat ditarik kesimpulan

bahwa kejadian gempa bumi berbanding terbalik kepada frekuensi yang dihasilkan.

Itu artinya gempa dengan magnitude yang kecil sangat besar terjadi kemungkinan

gempa bumi dan sebaliknya bahwa semakin besar frekuensi gempa maka kejadian

yang dialami akan semakin sedikit terjadi.

Untuk keperluan analisis diperlukan parameter-parameter gempa bumi, salah

satunya adalah frekuensi kejadian gempa untuk setiap magnitude gempa yang

pernah terjadi dalam periode tertentu dalam suatu daerah yang mengalami kejadian

gempa. Dari data gempa bumi juga dapat dibuat hubungan antara frekuensi dan

25
kekuatan gempa untuk suatu daerah yang menjadi sangat penting. Hubungan itu

dapat ditulis sebagai berikut,

𝐿𝑜𝑔 𝑛 (𝑀) = 𝑎 − 𝑏 𝑀 …………………………………………………(2.7)

𝐿𝑜𝑔 𝑁 (𝑀) = 𝑎′ − 𝑏 𝑀 ………………………………………………...(2.8)

Di mana n (M) adalah jumlah gempa bumi dengan magnitude M dan N (M)

adalah jumlah kumulatif dengan a’= a - log (b ln 10). Dari rumus tersebut dapat

diketahui bahwa Log N adalah jumlah kumulatif gempa dengan M adalah

magnitude gempa yang terjadi. Rumusan ini merupakan rumusan yang dikenal

dengan hukum Gutenberg-Richter (Power Law) yang diperkenalkan oleh B.

Gutenberg dan C.F. Richter pada tahun 1956 (Zera, 2007).

Nilai a merupakan parameter seismik yang dipengaruhi oleh banyak data dan

luas daerah penelitian, dan nilai b merupakan parameter tektonik yang meliputi

kondisi lingkungan geologi. Nilai b yang tinggi kondisi medium heterogenitas

tinggi, dan nilai b yang rendah berhubungan dengan kondisi batuan yang lunak dan

medium heterogenitas rendah (Syahfirani, 2018). Penurunan b-value berbanding

lurus dengan peningkatan tingkat stress sebelum terjadinya gempa bumi yang besar.

2.7 Indeks Seismisitas

Indeks seismisitas merupakan sebuah parameter fisis yang menggambarkan

jumlah total kejadian gempa bumi yang berlangsung dalam periode satu tahun

dengan magnitude lebih besar dari magnitude terkecil gempa bumi pada suatu

wilayah penelitian. Dari hubungan antara frekuensi dengan magnitude gempa kita

dapat memperkirakan jumlah gempa bumi rata-rata dalam satu tahun yang memiliki

tingkat magnitude M dalam setiap tahunnya. Dimisalkan total jumlah gempa bumi

26
dengan magnitude M≥4 SR di dalam data gempa sebagai indeks seismisitas untuk

satu wilayah. Di mana hal ini sejalan dengan pendapat Peter (1965) bahwa indeks

seismisitas dengan N1 (M≥4) menggambarkan total kejadian gempa bumi tahunan

(Suwandi, et al., 2017). Harga indeks seismisitas dapat dijabarkan dalam rumus

sebagai berikut:

N1 (M ≥ Mo) = 10(a1’-bM)…………………………………………………...(2.9)

N1 (M ≥ 0) = 10a1’………….……………………………………………...(2.10)

N1 (M ≥ 4) = 10(a1’-4b)……………………………………………………...(2.11)

Secara teoritis, jumlah kejadian gempa bumi pertahunnya dapat dihitung

dengan membagi nilai a dengan periode penelitian (T), sebagi berikut:

a1 = a/log T

a1’ = a’/log T

Di mana

T = Waktu tahun pengamatan

a1, a1’, a, b = Parameter-parameter yang digunakan untuk menghitung nilai

indeks seismisitas

N1 (M ≥ 4) = Jumlah gempa rata-rata tahunan dengan M ≥ 4

2.8 Probabilitas Kejadian Gempa bumi

Probabilitas kejadian gempa bumi merupakan kemungkinan adanya kejadian

gempa bumi yang merusak disuatu daerah dalam waktu tertentu. Nilai dari

probabilitas kejadian gempa bumi dapat digunakan untuk perencanaan dalam

pembuatan bangunan yang lebih tahan terhadap goncangan gempa bumi.

27
Terjadinya kemungkinan gempa bumi dengan magnitude lebih besar daripada M

dengan periode waktu T, dapat ditulis sebagai berikut:

P (M, T) = 1-e-N(M).T…………………………………………..…………...(2.12)

Di mana frekuensi kumulatif rata-rata tahunan dengan jumlah magnitudo

terbesar adalah sebagai berikut:

N1(M)=N1(M≥4).102b…………………………………………..…………......(2.13)

Dengan didapatkannya nilai N1(M) dapat dihitung periode ulang rata-rata gempa

bumi merusak pada wilayah penelitian tersebut Perhitungan kemungkinan waktu

terjadinya periode pengulangan periode gempa bumi pada daerah penelitian adalah:

1
𝜃= (𝑀) ……..…………………………………………………….(2.14)
𝑁1

Di mana

P (M,T) : Probabilitas gempa bumi dengan magnitude M dan periode T

N1(M) : Jumlah gempa kumulatif dengan magnitude terbesar

𝜃 : Rata-rata periode ulang gempa

2.9 Kondisi Wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten

Jawa Barat dan Banten merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada

di bagian barat Pulau Jawa. Jawa Barat dan Banten sendiri berbatasan dengan Laut

Jawa di bagian utara, Selat Sunda di bagian barat, Provinsi Jawa Tengah di timur,

dan Samudera Hindia di wilayah selatan. Daerah ini terbagi menjadi beberapa

kabupaten dan kota, seperti Tasikmalaya, Garut, Pangandaran, Sukabumi, Cianjur,

Pandeglang dan Lebak. Di mana pada wilayah Jawa Barat bagian selatan

28
didominasi oleh topografi pegunungan dan lembah curam, terlebih wilayah Garut

dan Cianjur.

Dinamika tektonik pada Pulau Jawa banyak didominasi oleh adanya pergerakan

lempeng Indo-Australia yang bergerak kearah utara bertabrakan dengan lempeng

Eurasia yang relative diam (Mutiarani, et al., 2013). Adanya aktivitas tersebut

menyebabkan elemen tektonik terutama di daerah Jawa Barat menyebabkan

pembentukan palung, busur luar non-vulkanik, cekungan depan busur, dan Paparan

Sunda (Katili, 1973; (Haryanto, 2006)) Para peneliti sendiri telah banyak

mempelajari mengenai struktur geologi di Jawa dengan melakukan berbagai

penelitian. Menurut pendapat Pulunggono dan Martodjojo (1995) bahwa ada tiga

struktur geologi di Jawa yang dominan, yaitu Pola Meratus, Pola Jawa dan Pola

Sunda.

Pada pola Meratus sesar regional bergerak ke arah timurlaut-baratdaya, yang

salah satu contohnya adalah sesar Cimandiri (Pulunggono dan Martodjojo, 1995;

(Haryanto, 2006)) yang memanjang dari arah Sukabumi menuju ke arah Bandung

hingga mencapai daerah Pengunungan Meratus di Kalimantan Timur. Sedangkan

pola Jawa diwakili oleh sesar naik yang bergerak kearah utara yang melibatkan

sedimen Tersier. Pola Sunda mempunyai struktur yaitu berarah uatara-selatan

merupakan sesar-sesar yang membatasi beberapa cekungan di Pantai Utara Jawa

Barat, salah satunya adalah Segmen Banten dari Bogor dan Pegunungan Selatan.

Menurut Van Bemmelen (1949) struktur fisiografis Jawa Barat secara garis

besar dibagi menjadi empat zona, yaitu Zona Bandung, Zona Bogor, Zona

Pegunungan Selatan dan Zona Jakarta. Sedangkan berdasarkan sedimen dan

29
tektonik, wilayah Jawa Barat dan Banten terbagi menjadi 4 mandala sedimentasi,

yaitu blok Banten, blok Bogor, blok Pegunungan Jawa Barat Selatan dan blok

Jakarta Cirebon. Dari daerah penelitian ini dapat dilihat bahwa pada struktur

fisiografis dan sedimentasi, bahwa daerah tersebut termasuk kedalam zona

Bandung-zona Pegunungan Selatan dan Blok Pegunungan Jawa Barat Selatan.

Daerah
Penelitian

Gambar 2.2 Struktur Jawa Barat (Pulonggono dan Martodjojo, 1984)


(Sumber: http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/453/jbptitbpp-gdl-togiyonath-22636-3-2009ta-
2.pdf)

Zona Bandung merupakan daerah dengan morfologi daerah depresional

memanjang dari barat-timur, di mulai dari Lembah Cimandiri sampai Pantai Selatan

Jawa Tengah dengan lebar berkisar antara 20-40 km. Batas Zona Bandung yaitu

Zona Pegunungan Selatan dan Zona Pegunungan Bayah. Zona Bandung sendiri

merupakan daerah gunung api yang mempunyai bentuk depresi dibanding Zona

Bogor dan Pegunungan Selatan, di mana sebagian besar terisi oleh endapan alluvial

dan vulkanik muda hasil dari gunung api di dataran rendah daerah perbatasan

30
sampai membentuk barisan. Adanya campuran antara endapan kuarter dan tersier

di zona ini, dengan endapan tersier tersebut antara lain Pegunungan Bayah (umur

Eosen), bukit di sekitar Lembar Cimandiri, bukit Rajamandala (umur Oligosen),

dataran Jampang dan bukit Kabanaran.

Zona Pegunungan Selatan merupakan zona yang terbentang dari Teluk

Pelabuhan Ratu di sebelah timur sampai dengan Pulau Nusakambangan di sebelah

timur (Bemmelen. V., 1949; (Firmansyah, et al., 2017)). Zona ini mempunyai lebar

sekitar kurang lebih 50 km dengan lebar yang semakin menyempit kearah timur.

Daerah ini mempunyai batuan tertua yang termasuk kelompok Melange, di mana

pada kelompok Melange ini terdiri dari kerabat ofiolit (gabro dan basal), selain itu

juga ada batuan sedimen seperti gamping, rijang dan serpih hitam. Batuan ini

tercampur secara tektonik dalam gerusan serpihan sehingga membentuk bongkahan

(Suhaeli, 1977; (Sarmili & Setiady, 2015))

Kelompok batuan berumut diatas mélange yaitu Formasi Ciletuh (umur Eosen)

yang tersusun dari batuan konglomerat, batupasir dan lempung didaerah Sungai

Ciletuh, Pelabuhan Ratu (Sukamto, 1975; (Sarmili & Setiady, 2015)). Di mana dari

hasil identifikasi ditemukan bahwa pada batas formasi Ciletuh bagian bawah

ditemukan sesar yang berbatasan dengan kelompok batuan Melange, ditandai

adanya perubahan jenis batuan yang berangsur-angsur dari batuan lempeng ke

batupasir kuarsa. Pada batas atas formasi Ciletuh ditutupi oleh formasi Bayah yang

berumut Eosen Tengah. Pada umur Miosen Tengah adanya perubahan daerah lautan

menjadi daratan pada wilayah Pegunungan Selatan, diikuti adanya genang laut pada

daerah tersebut menghasilkan batugamping hasil dari Formasi Bojonglapang. Pada

31
akhir Miosen Tengah terjadi pengendapan batuan Formasi Beser, di mana

sebelumnya telah terjadi pengendapan secara regresif lempung dari Formasi

Nyalindung. Batupasir tufaan yang berupa endapan vulkanik dari Formasi Benteng

terjadi pada umur Pliosen, sedangkan pada umur Miosen terjadi polaritas

sedimentasi arah selatan-utara. Pada sedimen tua berumut Paleogen arah utara-

selatan (Sudradjat M.Sc, et al., 2009).

Berdasarkan hasil penilitian geologi yang telah dilakukan oleh para geologist

yang telah dipetakan oleh Pusat Survei Geologi (PSG) dalam peta Geologi Regional

kawasan Selatan Jawa Barat (Sudradjat M.Sc, et al., 2009). Di mana pada daerah

tersebut batuan penyusun terdiri atas:

1. Endapan Kuarter dan Alluvial (Qa); 8. Batuan Sedimen Mio-Pliosen (Tns);

2. Batu Gunungapi Kuarter (Qv); 9. Batugamping Mio-Pliosen (Tnl);

3. Pra Tersier (Ptm); 10. Batuan Terobosan Neogen (Tni);

4. Batuan Sedimen Paleogen (Tps); 11. Batuan Sedimen Plio-Plistosen (Tqs);

5. Batuan Sedimen Oligo-Miosen (Toms); 12. Batu Gunungapi Plio-Plistosen (Tqv).

6. Batugamping Oligo-Miosen (Toml);

7. Batu Gunungapi Oligo-Miosen (Tomv);

Dari hasil distribusi spasial pada gambar 2.3 batuan penyusun daerah penelitian

didominasi oleh batuan sedimen Mio-Pliosen (Tns) dan batu gunungapi Plio-

Pliosen (Tqv).

32
Daerah Penelitian

Gambar 2.3 Distribusi Spasial Litologi Daerah Penelitian (Sudradjat M.Sc, et al., 2009)

2.10 Software Z-Map

Dalam melakukan penelitian mengenai nilai a dan b, diperlukan software yang

digunakan untuk melakukan input data gempa secara otomatis dan menghasilkan

output yaitu nilai dan b beserta pemetaanya. Nilai a dan b tersebut dapat digunakan

untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari gempa bumi dan dianalisis dengan

kondisi geologi setempat. Software bernama Z-Map v6 yang dikembangkan oleh

Stefan Wiemer dan teman-temannya menghasilkan beragam fitur tambahan yang

berguna untuk analisis kegempaan.

33
Gambar 2.4 Tampilan Awal Software Z-MAP Versi 6

(Sumber: http://www.geociencias.unam.mx/~ramon/cookbook.pdf)

Software Z-Map hanya dapat berjalan apabila sudah terinstal MATLAB dan

bersifat open source. Beberapa fitur yang ada dalam Z-Map antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Perubahan tingkat seismisitas dapat dikerjakan sebagai fungsi ruang dan waktu

secara berkelanjutan;

2. Analisis yang terperinci dan detail dapat dilakukan pada beberapa wilayah

tertentu;

3. Tampilan yang berbeda dari peta, profil dan statistik yang sangat berguna

seperti p dan b values dapat dihitung dan divisualisasikan kedalam gambar

dengan mudah;

34
4. Analisis yang lebih mendalam dan kompleks dapat dengan mudah dilakukan

dengan bantuan orientasi pengguna.

2.11 Gempa bumi dan al-Qur’an

Segala sesuatu yang terjadi didunia ini sedikit banyak telah terdapat di dalam

al-Qur’an, termasuk kejadian gempa bumi sendiri. Kejadian gempa bumi telah

banyak terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an, contohnya adalah pada QS al-A’raf:7,91,

lalu ditemukan pada ayat QS al-‘Ankabuut:29,37 (Gofar, 2008), lalu juga dapat

ditemukan pada QS al-Zalzalah:99,1-3 (Lira, 2017).

2.11.1. QS al-A’raf ayat 91

Artinya: “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan

didalam reruntuhan rumah mereka” (Qur'an.com, 2018)

Adapun maksud dari ayat tersebut adalah terdapat pada kisah Nabi Syuaib ini,

di mana sifat mereka yang ingkar kepada Allah dan menghalagi umat manusia

untuk menganut agama Allah, di mana itu merupakan suatu kejahatan besar. Maka

Allah menimpalkan kepada orang-orang itu azab yang berat, di mana terjadinya

gempa bumi dan petir yang mampu membinasakan mereka. Gempa bumi yang

terjadi tersebut membuat mereka mati bergelimpangan didalam reruntuhan rumah,

dan dan rata dengan tanah. Sehingga mereka yang memiliki sifat ingat seolah-olah

tidak pernah tinggal di negeri tersebut. (Kementrian Agama, 2018)

2.11.2. QS al-‘Ankabuut ayat 37

35
Artinya: “Mereka mendustakannya (Syuaib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat,

lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat mereka”

(Qur'an.com, 2018)

Adapun maksud dari ayat di atas adalah sama seperti pada QS al-A’raf ayat

91 yaitu mengenai Nabi Syuaib. Di mana pada ayat ini sama seperti kaum Nabi

Luth, umat Nabi Syuaib durhaka kepada Allah dan acuh kepada nasihat Nabi

Syuaib. Sehingga berlaku nya sunah Allah, karena mereka (umat Nabi Syuaib) terus

menerus berbuat ingkar kepada Nabi Syuaib secara terang-terangan setelah diberi

peringatan berulang-ulang, maka akhirnya Allah mengazab mereka. Allah

mengazab mereka dengan mengguncangkan bumi di mana mereka tinggal yang

menggetarkan dan menghancurkan tanah maupun bangunan tempat mereka tinggal.

Mereka dijungkir balikan dan ditelan bumi membuat mereka mati, tanpa bergerak

lagi. (Kementrian Agama, 2018)

Menurut pendapat al-Biqa’i bahwa maksud dari ayat ini adalah mengenai

binasanya para pendurhaka, dan juga salah satu cobaan bagi orang saleh yang tidak

mempunyai pendamping dan penolong di dunia, baik itu merasa terasingkan disuatu

tempat (setelah hijrah) di mana waktu itu hanya sedikit umat yang mengikuti ajaran

Nabi Syuaib. (Shihab, 2002; (Gofar, 2008))

2.11.3 QS al-Zalzalah ayat 1-3

Artinya: “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Dan bumi telah

mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandungnya). Dan manusia bertanya, “Apa

yang terjadi pada bumi ini?”” (Qur'an.com, 2018)

36
Maksud ayat ini adalah di mana bumi diguncangkan dengan guncangan dari

bawah, di mana akan terjadinya guncangan yang dahsyat. Di mana diterangkan

dalam QS al-Hajj:22,1 yang berisi “Wahai manusia! Bertakwalah kepada

Tuhanmu, sungguh guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat

besar” (Kementrian Agama, 2018). Dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa

ayat ini menceritakan awal terjadinya hari itu (hari kiamat) (Lira, 2017). Ayat ini

dimaksudkan untuk memperingati orang-orang kafir agar dapat merenungkan dan

memikirkan, seolah-olah berkata kepada mereka bahwa bumi sebagai benda padat

dapat terguncang dengan dahsyat pada hari itu. Kenapa orang-orang kafir tidak mau

sadar dan meninggalkan kekafirannya.

37
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

Wilayah II Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. H. Abdul Ghani No. 5,

Kampung Utan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Penelitian ini dimulai dari bulan

Mei hingga November 2018. Penelitian ini mengambil data gabungan yang

bersumber dari USGS dan BMKG, dengan ketentuan magnitudo minimum yaitu

sekitar 4 SR, kedalaman 0-300 km.

3.2 Pengumpulan Data

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengambil data

gabungan gempa bumi dari USGS dan repository BMKG, di mana data yang

diperoleh berupa besar magnitudo, kedalaman dan periode gempa sesuai dengan

batasan masalah penelitian. Periode gempa bumi yang diambil pada penelitian ini

selama 60 tahun dimulai dari 1 Januari 1958 hingga 1 Juni 2018 di mana data gempa

yang diperoleh yaitu sebanyak 719 event gempa. Data tersebut diolah menggunakan

software Microsoft Excel dengan mensortir data sesuai dengan batasan penelitian,

lalu menghitung dan melakukan pemetaan nilai a dan b menggunakan Software Z-

MAP.

38
3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain Software Z-MAP untuk

pemetaan nilai a dan b, ArcGIS 10.2 digunakan untuk melakukan pemetaan sebaran

seismisitas gempa bumi, alat tulis digunakan mencatat baik koordinat maupun

daerah penelitian, Microsoft Excel yang berguna untuk perhitungan nilai indeks

seismisitas, periode ulang rata-rata dan probabilitas.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah data gempa dengan periode 1958-

2018 selama kurun waktu 60 tahun dan berdasarkan kriteria magnitudo ≥4 SR,

kedalaman 0-300 km berada pada koordinat lokasi penelitian yang ditentukan pada

daerah selatan Jawa Barat dan Banten. Sumber data gempa bumi diambil dari data

gabungan USGS dan BMKG sesuai dengan batasan masalah.

3.4 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data gempa ini, untuk mencari nilai b ada beberapa

parameter yang perlu diperhatikan. Parameter-parameter tersebut diperhatikan

sesuai dengan batasan lingkup penelitian seperti garis koordinat, besar kekuatan

gempa, kedalaman, dan magnitude.

Setelah parameter kita tentukan, data tersebut diolah dengan menggunakan

rumus empiris yaitu menggunakan metode maximum likelihood. Pengolahan data

secara manual ini, yaitu dengan melakukan penyeragaman skala magnitude dan

mengolah data menggunakan rumus empiris pada program Microsoft Excel.

39
Langkah-langkah dalam mengolah data gempa antara lain:

1. Adanya studi literature mengenai penelitian ini;

2. Pengambilan data sekunder daerah Selatan Jawa Barat dan Banten dengan batas

wilayah -6.948o s/d -8.135o LS dan 104.996o s/d 108.721o, meliputi waktu

kejadian, kedalaman dan magnitude gempa bumi. Data tersebut diambil dari

situs United States Geological Survey (USGS) dan repository BMKG dengan

periode waktu dari 1 Januari 1958 sampai dengan 1 Juni 2018;

3. Pengolahan data gempa berupa konversi skala magnitude menjadi Mw. Adapun

konversi magnitudenya sebagai berikut (Pawirodikromo, 2012):

𝑀𝑤 = 0.143 (𝑀𝑆 )2 − 1.051 (𝑀𝑆 ) + 7.285

𝑀𝑤 = 0.114 (𝑀𝐵 )2 − 0.556 (𝑀𝐵 ) + 5.560

𝑀𝑤 = 0.787 (𝑀𝐸 )2 − 1.537

𝑀𝐵 = 0.125 (𝑀𝐿 )2 − 0.389 (𝑀𝑙 ) + 3.513

Keterangan:

𝑀𝑤 : Magnitude Momen

𝑀𝑆 : Magnitude Surface

𝑀𝐵 : Magnitude Body

𝑀𝐸 : Magnitude Energy

𝑀𝐿 : Magnitude Local

4. Menghitung dan membuat pemetaan nilai a dan b menggunakan software Z-

Map menggunakan metode maximum likelihood yang memberikan hasil lebih

stabil dikarenakan memodelkan kemiringan garis yaitu dari kemiringan nilai

tengah magnitude fungsi distribusi.

40
5. Membuat pemetaan seismisitas ke dalam software ArcGIS 10.2 untuk

mengetahui tingkat seismisitas daerah penelitian;

6. Menghitung indeks seismisitas, periode ulang dan probabilitas kejadian gempa

bumi di daerah penelitian berdasarkan rumus menggunakan Microsoft Excel

dan hasil perhitungan dibuat dalam bentuk table. Di mana rumus masing-

masing yaitu:

6.1 Indeks Seismisitas

N1 (M) = 10(a1’-bM)……………………………………………………...(4.3)

6.2 Probabilitas Kejadian Gempa bumi

P(M,T) = 1-e-N(M).T……..……………………………………………………(4.4)

Kemungkinan waktu terjadinya periode pengulangan gempa bumi di daerah

tersebut dengan magnitude M adalah:

1
𝜃= (𝑀) ………..………………………………………………(4.5)
𝑁1

3.5 Diagram Alur Penelitian

Dibawah ini merupakan hasil diagram alur dalam proses pengolahan data

analisis seismisitas.

41
MULAI

MENYIAPKAN

PERANGKAT

YANG DIGUNAKAN

MENGUNDUH DATA GEMPA


DARI SITUS USGS DAN
BMKG DAN MENYORTIR
DATA GEMPA SESUAI
KETENTUAN

KONVERSI MAGNITUDE KE
DALAM MAGNITUDE
MOMEN (Mw)

NILAI MAGNITUDE MOMEN


(Mw)

MENGITUNG DAN
MEMBUAT PEMETAAN NILAI
A DAN B DENGAN Z-MAP

NILAI A-B DAN PEMETAAN

MENGHITUNG NILAI MENGHITUNG NILAI HITUNG PROBABILITAS


INDEKS SEISMISITAS FREKUENSI DAN PERIODE ULANG

NILAI INDEKS NILAI PROBABLITAS,


NILAI FREKUENSI PERIODE ULANG
SEISMISITAS

ANALISIS SELESAI

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

42
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan Penelitian

Daerah Jawa Barat dan Banten khususnya di wilayah Selatan merupakan salah

satu daerah yang mempunyai tingkat keaktifan gempa bumi yang tinggi karena

dilalui oleh jalur cincin api dan adanya patahan yang aktif sehingga menjadikan

daerah ini rawan terjadinya gempa bumi. Banyaknya data gabungan yang

didapatkan dari situs USGS dan BMKG yaitu sekitar 719 event gempa dengan

besaran magnitude M≥4 SR. Data tersebut kemudian diinput ke dalam software

ArcGIS sehingga didapatkan hasil yaitu peta persebaran seismisitas gempa bumi.

Gambar 4.1 Peta Penelitian Daerah Selatan Jawa Bagian Barat

43
Pada katalog gempa bumi daerah Selatan Jawa Barat ini, daerah tersebut

memiliki intensitas gempa bumi yang cukup tinggi dilihat dari titik-titik yang

terdapat dalam peta gempa bumi. Nilai persebaran gempa bumi cukup beragam di

mana pada daerah Selatan Jawa Barat dan Banten ini didominasi oleh gempa

dengan magnitude 5.2-6 SR apabila dilihat dari titik-titik gempa berwarna kuning,

sementara distribusi gempa bumi terhadap kedalaman dominan oleh gempa bumi

dengan kedalaman <100 km.

Untuk mengetahui distribusi frekuensi dan magnitude dari daerah penelitian

maka dilakukan peng-input-an data ke dalam software MatLab dan Z-map V6 maka

akan didapatkan peta persebaran dan grafik hubungan antara magnitude dan

frekuensi kejadian gempa, didalam grafik terdapat b-value dan a-value. Distribusi

frekuensi dan magnitude menggambarkan hubungan antara jumlah gempa yang

terjadi dalam suatu wilayah tersebut dengan magnitude. Distribusi frekuensi

magnitude gempa bumi untuk wilayah Jawa Barat dan Banten ditunjukan oleh

gambar 4.2. Dengan menggunakan metode maximum likelihood, didapatkan hasil

b-value sebesar 1.1, untuk hasil perhitungan a-value sebesar 7.47, Magnitudo of

Completeness sebesar 4.6.

44
(a)

(b) (c)

Gambar 4.2. (a) Hubungan Frekuensi-Magnitudo Wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten

; (b) Histogram Magnitude Wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten. ; (c) Histogram

Kedalaman Wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten.

4.1.1 Variasi Spasial a-value dan b-value

Setelah dilakukan penelitian, didapatkan hasil perhitungan variasi spasial a-

value dan b-value berupa pemetaan wilayah penelitian sebagai berikut:

45
(a)

(b)
Gambar 4.3 (a) Variasi Spasial a-value; (b) Variasi Spasial b-value;

Variasi spasial a-value dan b-value wilayah penelitian ditunjukan dalam

Gambar 4.3. Variasi spasial b-value dalam penelitian ini berkisar diantara 0.95

sampai 1.45, di mana b-value secara teori merupakan suatu parameter keadaan

tektonik dalam suatu daerah penelitian di mana tergantung dari sifat batuan

46
setempat maupun berdasarkan hasil penelitian para ahli-ahli yang meneliti daerah

tersebut sebelumnya (Scholz, 1968).

Menurut pendapat Scholz (1968) bahwa nilai parameter seismoteknik apabila

nilainya rendah berhubungan dengan tingkat stress yang tinggi, sedangkan apabila

parameter seismoteknik bernilai tinggi maka tingkat stress yang rendah.

Nilai parameter seismoteknik apabila dihubungkan dengan magnitude gempa

suatu wilayah maka akan menyatakan tingkat kerapuhan batuan wilayah tersebut.

Nilai parameter seismoteknik yaitu b-value apabila nilainya rendah menandakan

bahwa pada daerah tersebut memiliki tingkat kerapuhan batuan yang rendah dan

daya tahan batuan terhadap tekanan yang besar. Sedangkan b-value yang tinggi

menunjukan bahwa daerah tersebut mempunyai tingkat kerapuhan batuan yang

tinggi dan daya tahan batuan terhadap tekanan yang kecil (Mogi, 1962). Beberapa

ahli mengatakan bahwa nilai parameter seismoteknik konstan dan memiliki nilai

dikisaran 1, meskipun pada akhirnya ditemukan perbedaan dikarenakan adanya

perbedaan nilai data maupun metode perhitungan yang dipakai dalam penelitian

tersebut.

Dari hasil perhitungan data diperoleh nilai parameter seismoteknik terendah

pada Gambar 4.3 dapat dilihat pada daerah Tasikmalaya dengan nilai b berkisar

antara 0.95-1.05 (biru sampai biru muda), sedangkan nilai parameter seismoteknik

tertinggi dapat dilihat pada wilayah di daerah wilayah Laut pada Selatan Kabupaten

Pandeglang (merah sampai merah tua), nilai b di daerah tersebut berkisar antara

1.35-1.45. Secara keseluruhan dari pemetaan dapat dilihat bahwa pada bagian

kanan peta didominasi oleh warna biru tua sampai warna kuning, ini berarti bahwa

47
daerah tersebut kemungkinan yang lebih tinggi untuk terjadinya dominasi gempa

bumi dengan magnitude yang besar dari pada gempa bumi di bagian kiri peta, ini

disebabkan karena tingkat stress di daerah ini yang terhitung cukup tinggi.

Penelitian ini menghasilkan a-value dalam perhitungannya (a-value sendiri

merupakan nilai yang menunjukan tingkat keaktifan seismik dalam suatu daerah

penelitian). Didapatkan dari hasil perhitungan dapat dilihat kemiripan antara

persebaran nilai a dengan nilai b, dengan variasi spasial nilai a direntang angka 6.5-

9. Nilai parameter seismoteknik terendah terdapat didaerah Tasikmalaya dengan

nilai a berkisar antara 6.5-7, sedangkan nilai parameter seismoteknik tertinggi dapat

dilihat pada wilayah di daerah Selatan Kabupaten Pandeglang, nilai a di daerah

tersebut berkisar antara 8.5-9 sehingga daerah ini memiliki aktivitas kegempaan

daerah yang relative lebih tinggi dibandingkan daerah yang lain, namun potensi

besaran gempa besar relative lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang

memiliki nilai a yang rendah.

Dalam analisis ini berarti bahwa pada data gempa bumi periode 1958-2018

semakin tinggi kerapuhan batuan maka semakin tinggi pula keaktifan seismik

daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut terdapat patahan

Cimandiri yang bergeser ke kiri dengan pergerakan antara 4-6 mm per tahun dan

sejarah kebencanaan gempa bumi yang tercatat sejak abad ke 19 menunjukan

bahwa sesar Cimandiri berperan besar atas gempa bumi di Pelabuhan Ratu (1900),

Cibadak (1973), Gandasoli (1982), Padalarang (1910), Sukabumi (2011) (Rohadi,

et al., Juli 2007) (Rohadi, et al., Juli 2007). Selain itu tingkat seismisitas suatu

daerah biasanya dipengaruhi oleh umur batuan yang ada pada wilayah tersebut,

48
apakah batuan tersebut termasuk batuan muka ataupun tua. Apabila umur batuan

semakin tua maka aktifitas seismik yang terjadi akan semakin besar. Untuk daerah

Pulau Jawa, batuan dasar/ basement disusun oleh batuan malihan/ metamorfik dan

juga batuan beku. Batuan dasar pada daerah Jawa Barat khususnya berumur lebih

tua jika dibandingkan dengan batuan yang berada di Jawa Tengah dan Timur,

karena batuan dasar di Jawa Timur terbentuk pada tahap akhir (yang bisa dimaksud

bahwa batuan dasar di Jawa Barat terbentuk pada tahap awal) setelah ditumbuk oleh

lempeng Indo-Australia dan akhirnya menumpuk membentuk batuan dasar di Jawa

Timur (Juanita, 2011; Mutiarani, 2013). Sedangkan nilai a berbanding lurus dengan

keaktifan seismik, dimana nilai b berbanding terbalik dengan tingkat kerapuhan

batuan. Namun pada hasil seismisitas maupun variasi spasial terdapat perbedaan

terhadap parameter a dan b, dikarenakan hasil a dan b ini hanya melihat dari data

gempa bumi saja tidak melihat dari kondisi keaktifan seismik, kondisi geologi,

stratigrafi maupun fisiografis daerah tersebut.

4.1.2 Indeks Seismisitas, Probabilitas dan Periode Ulang

Untuk mengetahui tingkat indeks seismisitas, probabilitas dan periode ulang

pada data gempa bumi, dapat menggunakan perhitungan menggunakan Microsoft

Excel maupun menggunakan software Z-Map V.6. Secara perhitungan dihasilkan

nilai sebagai berikut yang berada pada table dibawah ini:

Tabel 4.1 Nilai Indeks Seismisitas, Probabilitas dan Periode Ulang Wilayah Penelitian

Indeks Seismisitas IndeksSeism Periode


Probabilitas
a’ a1 a1’
(dalam tahun)
(M≥4) isitas N1(7 SR) Ulang
20 40 60
0.632 7.067 4.201 3.974 0.004 250 thn 15
8% 21%
%

49
Indeks seismisitas sendiri adalah normalisasi dari banyaknya gempa bumi

dalam periode satu tahun. Pada daerah dengan indeks seismisitas tinggi atau periode

ulang yang rendah dapat dikatakan sebagai daerah paling rawan untuk terjadinya

bencana alam. Hasil perhitungan data penelitian indeks seismisitas dalam satu tahun

untuk daerah Selatan dan Jawa Barat dengan M ≥ 4 SR sebesar 0.632 dan indeks

seismisitas gempa merusak dengan gempa terbesar M ≥ 7 SR adalah 0.004. Itu

berarti daerah Selatan Jawa Barat dan Banten merupakan daerah yang termasuk

kedalam wilayah rawan bencana, namun karena pada perhitungan indeks

seismisitas gempa merusak hasil yang didapatkan nilainya sangat kecil, probabilitas

kejadian gempa bumi akan semakin kecil dan periode ulang akan semakin lama. Di

mana probabilitas kejadian gempa bumi yang merusak di wilayah penelitian dibagi

dalam rentang 20 tahun, yaitu 20, 40 dan 60. Dengan hasil probabilitas pada P (7,

20)= 8%, P (7, 40)= 15%, P (7, 60)= 21%, sedangkan periode ulang gempa yang

merusak pada gempa maksimum yaitu 7 SR sekitar 250 tahun. Adapun parameter

yang dihitung sebagai indeks seismisitasnya dapat memberi kemudahan bagi

peneliti untuk mengetahui adanya kemungkinan terjadi berapa kali gempa besar

yang merusak disuatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Pendeknya periode

ulang yang terjadi biasanya berhubungan dengan aktivitas gempa bumi yang

relative tinggi dalam suatu daerah penelitian tersebut.

Pada perhitungan periode ulang menggunakan software Z-Map didapatkan

variasi magnitudo gempa bumi yaitu 5 SR, 6 SR dan 7 SR. Hal ini bertujuan agar

dapat diketahui perbedaan jangka waktu gempa yang merusak berdasarkan

magnitude sehingga dapat dijadikan bahan referensi. Periode ulang terjadinya

50
gempa bumi dengan magnitude 5 SR, 6 SR sampai 7 SR ditunjukan pada gambar

4.4 (a), (b), dan (c).

(a)

(b)

51
(c)

Gambar 4.4 (a) Periode Ulang Gempa 5 SR; (b) Periode Ulang Gempa 6 SR; (c) Periode

Ulang Gempa 7 SR.

Secara umum periode ulang gempa bumi berbeda-beda tergantung dari

magnitude yang terjadi dalam suatu daerah. Pada gempa bumi dengan magnitude 5

SR terjadi periode ulang berkisar antara 1 sampai 4 tahun pada gambar 4.4 (a). Di

mana daerah yang memiliki waktu periode ulang lebih cepat yaitu sepanjang daerah

Kabupaten Lebak sampai Kabupaten Tasikmalaya dengan waktu periode ulang

berkisar 1-2 tahun, sedangkan daerah Laut di Selatan Ujung Kulon memiliki waktu

periode ulang sekitar 3.5-4 tahun.

Periode ulang gempa bumi dengan magnitude 6 SR berkisar antara 15 sampai

55 tahun pada gambar 4.4 (b). Daerah yang memiliki waktu periode ulang lebih

cepat yaitu sepanjang daerah Kabupaten Tasikmalaya dengan waktu periode ulang

berkisar 15-20 tahun, sedangkan daerah Laut di Selatan Kabupaten Pandeglang

52
memiliki waktu periode ulang sekitar 50-55 tahun. Periode ulang gempa bumi

dengan magnitude terbesar yaitu 7 SR berkisar antara 150 sampai 550 tahun pada

gambar 4.4 (c). Daerah yang memiliki waktu periode ulang lebih cepat yaitu

Kabupaten Tasikmalaya dengan waktu periode ulang berkisar 150-175 tahun,

sedangkan daerah Laut di Selatan Kabupaten Pandeglang dekat meliputi Pulau

Tinjil memiliki waktu periode ulang sekitar 500-550 tahun. Nilai periode ulang

gempa bumi dapat ditentukan yaitu nilai yang besar maka gempa bumi yang terjadi

sedikit atau bisa dikatakan daerah ini merupakan wilayah yang lebih aman

dibandingkan wilayah lain.

4.1.3 Perbandingan dengan Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelitian dari data gempa periode 1958-2018 di daerah Selatan

Jawa Barat dan Banten diperoleh hasil b-value sebesar 1.1 dan a-value sebesar 7.47

menggunakan metode maximum likelihood, di mana saat perhitungan menggunakan

metode lainnya yaitu least square didapatkan nilai a 7.8887 dan b 1.0839, dengan

nilai r sebesar -0.9276 (koefisien relasi negative yang tinggi).

Least Square Solution


4
Log N (M)-Cummulative

3.5
3
2.5
2
1.5
1 y = -1.0839x + 7.8887
0.5 r = -0.9276; R² = 0.8604
0
0 2 4 6 8
Magnitude

Gambar 4.5 Hubungan Magnitde Frekuensi Menggunakan Least Square

53
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tati Zera dengan

menggunakan data gempa bumi 1910-2010, di mana pada penelitiannya didapat

nilai b-value yang bervariasi, namun pada wilayah penelitian yang sama didapat

nilai b sebesar 1.19 dan 1.18, dan nilai a yaitu 7.22 dan 7.86 pada wilayah 4 dan 5

(Zera, Mei 2014). Hal ini karena pada penelitian Tati Zera menggunakan waktu

yang lebih lama dan juga adanya pembagian cluster, selain itu ketentuan magnitudo

yang digunakan juga berbeda. Tetapi antara penelitian ini dengan hasil periode

ulang didapati adanya kesamaan yaitu 250 tahun (pada penelitian Tati Zera di

wilayah 4 dan 5). Dalam hasil analisis adanya kesamaan lain bahwa semakin tinggi

nilai b maka nilai a akan semakin tinggi juga pada daerah tersebut. Dari hasil

perhitungan b-value didapatkan juga beberapa hasil dari peneliti lain dengan

lingkup daerah yang hampir sama yaitu pada daerah Jawa Barat didapatkan hasil

sebagai berikut:

Tabel 4.2 Perbandingan Nilai a dan b dari Berbagai Sumber

No Hasil Metode a b

1 (Tati Zera, 2014) Max. Likelihood 7.22-7.86


1.18-1.19
2 (Rohadi, et al., Juli 2007) Max. Likelihood 6-9
1-1.5
3 (Suwandi, et al., 2017) Max. Likelihood 3.9-4.42
0.56-0.7
4 (Mutiarani, et al., 2013) Least Square 8.5
1.21
5 (Hidayani & Lestari, April 2014) Least Square n/a 0-1.94

6 (Ilman Luthfi, 2018) Least Square 7.8887 1.0839

7 (Ilman Luthfi, 2018) Max. Likelihood 7.47 1.1

54
43
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai

berikut:

a. Untuk mendapatkan nilai b digunakan Metode Empiris yaitu Metode

Maximum Likelihood, di mana data gempa bumi dilakukan

penyeragaman skala magnitude menjadi Mw. Hasil data gempa bumi

diinput kedalam Software Z-Map dan didapatkan nilai b-value, a-value,

dan Magnitudo of Completeness (Mc). Didapatkan nilai b-value berkisar

antara 0.95-1.45 dengan nilai tertinggi pada daerah laut pada Selatan

Kabupaten Pandeglang yaitu 1.35-1.45 dan nilai terendah pada daerah

Tasikmalaya yaitu 0.95-1.05. Nilai a-value berkisar antara 6.5-9 dengan

nilai tertinggi pada daerah laut pada Selatan Kabupaten Pandeglang yaitu

8.5-9 dan nilai terendah pada daerah Tasikmalaya yaitu 6.5-7. Sedangkan

nilai Magnitudo of Completeness (Mc) sekitar 4.6.

b. Dalam waktu 60 tahun telah adanya gempa bumi sebanyak 719 kejadian

di wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten dengan magnitude berkisar

antara 4-7 SR. Pada katalog gempa bumi wilayah Selatan Jawa Barat dan

Banten didominasi oleh gempa dengan magnitude sekitar 5.2-6 SR,

57
sementara distribusi gempa bumi terhadap kedalaman didominasi oleh

gempa dengan kedalaman <100 km.

c. Nilai indeks seismisitas sebesar 0.63 dan indeks seismisitas gempa

merusak 0.004, probabilitas untuk P (7, 20)=8%, P (7, 40)=15%, P (7,

60)=21% dan periode ulang untuk gempa terbesar yaitu M 7 SR selama

250 tahun pada perhitungan Microsoft Excel. Sedangkan periode ulang

yang menggunakan variasi Magnitude 5 SR berkisar antara 1-4 tahun,

variasi Magnitude 6 SR berkisar antara 15-55 tahun dan Magnitude 7 SR

berkisar antara 150-550 tahun.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya adanya metode lain yang

digunakan untuk perhitungan agar dapat dijadikan sebagai perbandingan dari

metode ini. Saran lainnya adalah digunakan pengambilan wilayah yang lebih luas

agar hasil yang didapat semakin akurat.

58
DAFTAR PUSTAKA

Adzkia, M., 2010. Perhitungan b-Value Menggunakan Metode Maximum


Likelihood untuk Daerah Sumatera dan Sekitarnya (3 Juni 1909-23 Desember
2009). 1 ed. Tangerang Selatan: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi.
Agustiawati, A. & Hari, I. B. M. M., 2018. Studi B-Value untuk Analisis
Seismisitas Berdasarkan Data Gempabumi Periode 1904-2014 (Studi Kasus:
Gorontalo). Jurnal Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, p. 2.
Firmansyah, Y., Gani, R. M. G., Setiadi, D. D. & A., 2017. Peranan Aspek
Stratigrafi dan Geologi dalam Mengkaji Potensi Gerakan Tanah di Kecamatan
Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Bulletin of Scientific Contribution Volume
15 No. 1, p. 2.
Fulki, A., 2011. Analisis Parameter Gempa, b-Value, PGA di Daerah Papua.
Tangerang Selatan: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Gofar, M., 2008. Gempabumi dalam Perspektif al-Qur'an. Yogyakarta: Skripsi S1
Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Guntur, P., Seni, H. J. T. & Vienda, G. L., 2015. Jurnal Ilmiah Sains Vol. 15 No. 2.
ANALISIS TINGKAT SEISMISITAS DAN TINGKAT KERAPUHAN BATUAN DI
MALUKU UTARA, p. 3.
Haryanto, I., 2006. Bulletin of Scientific Contribution, Vol. 4 No. 1. Struktur
Geologi Paleogen dan Neogen di Jawa Barat, pp. 88-95.
Hidayani, S. & Lestari, D., April 2014. Jurnal Fisika al-Fiziya Volume VII, No. 2.
Analisis Periode Ulang dan Aktivitas Kegempaan pada Daerah Jawa dan
Sekitarnya, pp. 16-22.
Ir. Soetoto, S. U., 2013. Geologi Dasar. Yogyakarta: Ombak.
Kementrian Agama, 2018. Tafsir al-Qur'an. [Online]
Available at: https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/2/99/1-3;
https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/2/7/91;
https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/2/29/37
Lira, N., 2017. Analisis Parameter Seismik Gempabumi Wilayah Lengan Timur
Sulawesi dengan Metode Empiris. Makassar: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar.
Misyalam, M. O., 2014. Cilacap, Analisis Perbandingan Nilai Percepatan Tanah
Berdasarkan Metode Kawashumi dan Pengukuran Sensor Accelerograph Stasiun.

59
Tangerang Selatan: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Mogi, K., 1962. Magnitude-Frequency Relationship for Elastic Shocks
Accompanying Fractures of Various Materials and Some Related Problems in
Earthquakes. Bull. Earthquake Res. Inst..
Mutiarani, A., M. & Prastowo, T., 2013. Jurnal Fisika Vol. 2 No. 2. Studi b-Value
untuk Pengamatan Seismisitas Wilayah Pulau Jawa Periode 1964-2012, p. 1.
Pawirodikromo, W., 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pertiwi, C. P., 2010. Analisis Peluang Terjadinya Gempa Bumi Menggunakan
Metode Maximum Likelihood untuk Daerah Papua dan Sekitarnya. Skripsi
Program Studi Fisika ed. Tangerang Selatan: Fakultas Sains dan Teknologi.
Priadi, R. & Arifin, J., 2017. Penentuan Nilai b-Value untuk Identifikasi Kerentanan
Batuan dengan Mempertimbangkan Nilai Slowness pada Wilayah Pidie Jaya.
Jurnal Fisika Universitas Negeri Semarang Vol. 7, No. 1, pp. 1-6.
Qur'an.com, 2018. Qur'an.com. [Online]
Available at: https://quran.com/99; https://quran.com/7; https://quran.com/29
Ririn, 2013. SlideShare. [Online]
Available at: https://www.slideshare.net/ririn12/metode-maximum-likelihood
[Accessed 30 12 2018].
Rohadi, S., Grandis, H. & Ratag, M. A., Juli 2007. Studi Variasi Spasial Seismisitas
Zona Subduksi Jawa. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol.8 No. 1, pp. 42-47.
Sarmili, L. & Setiady, D., 2015. Pembentukan Prisma Akresi di Teluk Ciletuh
Kaitannya dengan Sesar Cimandiri, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan, 3(3), p.
1.
Scholz, C. H., 1968. Bull. Seismol. Soc. Am.. The Frequency Magnitude Relation
of Microfactoring in Rock and it's Relation to Earthquakes, p. 58.
Sudradjat M.Sc, P. D. I. A., Syafri, DEA, D. I. I., Sulaksana, MSP, I. N. & Sukiyah,
MT, D. I. E., 2009. Karakteristik Sumberdaya Geologi di Kawasan Jawa Barat
Bagian Selatan sebagai Referensi Pengembangan Sumber Energi Alternatif,
Kabupaten Sumedang: Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran.
Sulaiman, I., 1989. Pendahuluan Seismologi Jilid IA. Jakarta: Departemen
Perhubungan.
Sunardi, B., Istikomah, M. U. & S., 2017. Jurnal Riset Geofisika Indonesia. Analisis
Seismoteknik dan Periode Ulang Gempabumi Wilayah Nusa Tenggara Barat,
Tahun 1973-2015, pp. 23-28.

60
Suwandi, E. A., Sari, I. L. & W., 2017. Wahana Fisika, 2(2). Analisis Percepatan
Tanah Maksimum, Intensitas Maksimum dan Periode Ulang Gempa untuk
Menentukan Tingkat Kerentanan Seismik di Jawa Barat (Periode Data Gempa
Tahun 1974-2016), pp. 12-30.
Syafriani, S., 2018. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering 335.
An Investigation of Seismicity for the West Sumatera Region Indonesia, p. 2.
Walpole, e. R., 2006. Pengantar Statistika. 3 ed. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Yonathan, T., 2018. BAB II: Geologi Regional. [Online]
Available at: http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/453/jbptitbpp-gdl-togiyonath-
22636-3-2009ta-2.pdf
Zera, T., 2007. Geologi: Langkah Awal Mengenal Bumi. Jakarta: Program Studi
Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Zera, T., Mei 2014. Menentukan Peluang dan Periode Ulang Gempa dengan
Magnitude Tertentu Berdasarkan Model Guttenberg-Ritcher. Spektra: Jurnal
Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 1, pp. 44-48.

61
40

Anda mungkin juga menyukai