Anda di halaman 1dari 19

Model Komunikasi Stimulus Organisme Respon (SOR)

dalam Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Bencana Tsunami

JURNAL KOMUNIKATOR
Damayanti Wardyaningrum
Universitas Al Azhar Indonesia
email : damayanti@uai.ac.id

Abstract

key words :

Abstrak
Adanya informasi tentang potensi tsunami Selatan Jawa menjadikan masyarakat di wilayah
pesisir pantai Selatan Jawa Kabupaten Kebumen Jawa Tengah harus memiliki kesiapsiagaan
yang memadai. Penelitian ini selain bertujuan untuk mengidentifikasi tentang kesiapsiagaan
masyarakat terhadap potensi bencana tsunami juga untuk menemukan permasalahan apa saja
yang terdapat dalam proses kesiapsiagaan bencana. Penelitian dikaji dengan model komunikasi
stimulus organisme respon (SOR) dengan data yang diperoleh melalui wawancara kepada
sejumlah informan yang terdiri dari pedagang, wisatawan lokal dan konfirmasi dilakukan dengan
wawancara kepada petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta pengamatan langsung
ke wilayah objek kajian. Hasil penelitian menemukan bahwa pada unsur stimulus ditemukan
sejumlah elemen seperti papan petunjuk arah evakuasi berwarna disejumlah titik sepanjang
pantai, pendopo tempat evakuasi, kehadiran petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah
sebagai pelaksana sosialisasi evakuasi, bunyi sirine saat latihan evakuasi dan materi sosialisasi
mitigasi bencana. Pada unsur organisme elemen yang ditemukan terdiri dari penduduk lokal,
wisatawan lokal, pedagang makanan di sepanjang pantai. Pada unsur respon terdapat tanggapan
terkait pengetahuan yang diperoleh terkait ancaman tsunami di wilayahnya, ingatan tentang
peristiwa tsunami dimasa lalu, pengetahuan tentang cara dan arah evakuasi, serta pengetahuan
tentang pihak-pihak yang bisa memberikan pertolongan saat terjadi tsunami. Belum terdapat
respon tentang adanya informasi bagaimana cara penyelamatan kelompok warga yang rentan
terdampak sebagai prioritas evakuasi.
Kata kunci : tsunami, kesiapsiagaan, model stimulus organisme respon

1
Pendahuluan
Kabuputen Kebumen merupakan wilayah di Selatan Pulau Jawa yang memiliki
kerentanan beberapa jenis bencana alam. Bencana longsor, karena sebagian wilayahnya
merupakan perbukitan dan bencana dampak dari erupsi dua gunung aktif Merapi dan gunung
Slamet saat erupsi. Wilayah ini juga memiliki potensi ancaman bencana tsunami karena dekat
dengan pantai Selatan. Kabupaten Kebumen memiliki sejumlah pantai dan terkenal sebagai
pusat beberapa objek wisata pantai. Saat ini telah dibangun jalur jalan raya sepanjang pantai
selatan di kabupaten Kebuman yang juga merupakan alternatif jalur antar propinsi Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Adanya potensi tsunami di pantai selatan Jawa yang dimuat pada sejumlah
publikasi dan media akhir-akhir ini semakin meyakinkan seluruh pemangku kepentingan bahwa
mitigasi bencana potensi tsunami perlu dilaksanakan dengan cermat guna meminimalkan risiko.
Setelah peristiwa bencana tsunami di Aceh (Desember 2006), Padang dan Pangandaran
(2009), tsunami di Palu Sulawesi bersamaan dengan lekuefeksi (Juli 2018) dan tsunami
Pandeglang (Desember 2018) maka semua peristiwa ini menjadi catatan bagi warga pesisir
pantai untuk lebih waspada menghadapi potensi bencana tsunami. Secara tektonik sebagian
wilayah pesisir seperti pantai Barat Sumatera, Selat Sunda dan Selatan Jawa merupakan
kawasan seismik aktif dan kompleks.
Sejumlah hasil riset tentang adanya potensi tsunami selatan pulai Jawa telah banyak
dipublikasikan. Kajian Adventari dkk menjelaskan bahwa dari hasil relokasi kejadian gempa
yang tercatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan inversi data
Global Positioning System (GPS) menunjukkan bahwa terdapat celah seismik (seismic gaps) di
selatan Jawa, yaitu wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar
atau selama lebih dari 30 tahun. Pada zona tersebut diperkirakan terjadi penguncian (locked)
terhadap pergeseran lempeng (slip deficit) yang berakibat pada akumulasi pengumpulan energi
dan berpotensi menimbulkan gempa megathrust yang bersifat tsunamigenik (Adventari,dkk,
2021)
Dari hasil pemetaan A National Tsunami Hazard Assessment for Indonesia, pada tahun 2013
terdapat duaratus tujuh puluhtiga kabupaten yang memiliki resiko tsunami berikut dengan
perhitungan ketinggian tsunami, kecepatan air laut hingga sampai kedaratan dan periode
pengulangan tsunami. The west coast of Sumatra, south coast of Java and Nusa Tenggara Barat
havethe highest tsunami hazard for a 100-year return period and would expect tsunami with a
height between 5-10 m over this time period. Eastern Indonesia has a slightly lower tsunami
hazard and can expect to have tsunami withheights between 2-3 m over a 100-year period
(Hoorspool, dkk, 2013).
Pemetaan tersebut didukung oleh hasil simulasi zona subduksi di selatan Jawa yang merupakan
wilayah yang berpotensi terjadi gempa bumi yang dapat menyebabkan terjadinya diwilayah
pesisir Lebak. Jika terjadi gempabumi di celah kegempaan sekitar Palung Jawa pada umumnya
terdapat pada kategori sangat berbahaya mengingat tinggi run-up dapat mencapai lebih dari 3
meter dari permukaan dan jarak maksimum rendaman mencapai 1,7 km dari garis pantai, dengan
luas genangan 1271,34 ha (Sugianto dkk, 2017)

2
Data lain berdasarkan katalog Tsunami BMKG, sepanjang tahun 1802 hingga 2018 telah terjadi
219 tsunami di Indonesia. Model Cox Proportional Hazard (Cox PH) menunjukkan bahwa
tsunami di wilayah selatan garis khatulistiwa cenderung 50,5% lebih cepat terjadi dibandingkan
dengan wilayah utara. Hal ini disebabkan karena wilayah selatan berpotensi lebih besar akan
terjadinya kejadian tsunamigenik termasuk gempa bumi, erupsi gunungapi dan penyebab lainnya
dari pada wilayah utara (Anwar, 2020)
The results of tsunami modelling show that the highest impact is generated in the Sunda
Straits & West Java - Central Java Megathrust Scenarios with highest tsunami inundation and
the fastest travel time occurred in Cianjur Regency with 26,7 meters height and estimated arrival
time of tsunami wave approximately 10 minutes after the mainshock, while the farthest
inundation distance is estimated in Sukabumi Regency about 5.8 kilometers from the coast due
to existence of river (Windupranata, dkk, 2020).

We show that the maximum tsunami height could be up to 34 m along the west coast of
southernmost Sumatra and along the south coast of Java near the Ujung Kulon Peninsula. This
estimate is comparable with the maximum tsunami height predicted by a previous study of
southern Java in which earth-quake sources were derived from the inversion of GPS data.
However, the present studyextends the analysis to southeast Sumatra and demonstrates that
estimating rupture from seismic gaps can lead to reliable tsunami hazard assessment in the
absence of GPS data (Supendi, dkk, 2022)

Penelitian Kasman dan Erwin tentang peluang tsunami ditemukan juga diwilayah
Pesisir Kabupaten Garut yang terletak dipantai selatan Jawa Barat yang berhadapan langsung
dengan pertemuan lempeng Indo Australia dan Megathrust Selat Sunda dan Jawa bagian
selatan sehingga memiliki peluang terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami yang tinggi.
Tingkat risiko bencana tsunami tinggi di desa-desa pesisir yaitu seluas ±6.734,66 Ha (sekitar
17,02% dari total luas desa-desa pesisir), tingkat risiko bencana tsunami sedang
seluas±4.137,32 Ha (sekitar 10,45% dari total luas desa -desa pesisir) dan tingkat risiko
bencana tsunami rendah, seluas 28.704,99 (sekitar 72,53% dari total luas desa-desa pesisir).
(Kasman dan Erwin, 2021)

Dari studi-studi diatas maka dapat dipahami bahwa untuk membentuk masyarakat yang
tangguh terhadap bencana penanganan bencana bukan hanya berfokus pada saat tanggap darurat
bencana namun sejak fase kesiapsiagaan. Sebagai negara dengan wilayah rawan bencana yang
tinggi maka setiap fenomena alam dapat diperkirakan dan selanjutnya dilakukan berbagai upaya
mitigasi pada fase kesiapsiagaan. Berbagai aspek dan pihak yang terkait untuk kesiapsiagaan
bencana perlu diikutsertakan.
Terkait dengan potensi bencana tsunami yang dikemukakan oleh para ahli maka
diperlukan kesiapsiagaan semua pemangku kepentingan. Salah satu kajian komunikasi bencana
menekankan bahwa peningkatan kapasitas atau kemampuan masyarakat perlu diberikan agar
masyarakat memahami, siap dalam menghadapi bencana. Masyarakat juga diketahui memiliki
pengetahuan yang sangat rendah tentang bencana, maka dari itu peran dan kinerja dari seorang
opinion leader penting untuk bisa memberikan pengetahuan, penyuluhan, informasi, pendekatan
kepada masyarakat yang terdampak bencana (Sahara, 2021).

3
Salah satu upaya penanggulangan bencana yaitu dengan mengurangi risi-
ko bencana. Saat ini, paradigma pengurangan risiko bencana berorientasi pada masyarakat
sebagai subjek, bukan sebagai objek (Kurniawati, 2015: 100). Amran(2016) mengungkapkan
bahwa pengurangan risiko bencana merupakan suatu pendekatan yang pada dasarnya.
Dalam kaitan kesiapsiagaan menghadapi potensi tsunami maka siaga bencana bukan
berarti masyarakat harus selalu menjauh dari laut. Namun perlu disiapkan rencana evakuasi jika
terjadi bencana. Karena banyak wilayah pantai yang memiliki potensi ekonomi untuk
menghidupi masyarakat sekitarnya seperti bidang perikanan dan pariwisata.
Jika mengambil pelajaran dari bencana kebakaran misalnya salah satu hasil penelitian
menemukan bahwa kasus kebakaran dapat dikurangi dan diminimalisir dampaknya dengan
adanya pengetahuan setiap individu dan masyarakat tentang kebakaran dan bagaimana cara
mencegah, menghadapi dan menanggulangi adanya kebakaran melalui kegiatan sosialisasi
(Miranti, 2021).
Strategi komunikasi yang baik harus mencapai keseimbangan antara mencapai
opimtisme, tanpa menimbulkan rasa cemas dan takut yang berlebihan. Selain memahami respon
warga, kita perlu memahami persepsi resiko. Persepsi ini dipengaruhi oleh informasi dan
pengetahuan ancaman dan resikonya bagi keselamatan dan kehidupan individu dan kelompok.
Sebuah studi menunjukkan bahwa modal sosial yang didalamnya meliputi kepercayaan, norma
dan jaringan dapat membantu masyarakat mengatasi situasi darurat. (wardyaningrum….).
Artinya modal sosial yang dimiilki warga dapat meminimalkan risiko bencana
Permasalahan komunikasi bencana juga ditemukan dari studi oleh Saptadi dan Djamal di
Kabupaten Purworejo yang memiliki kerawanan bencana tingkat tinggi dalam tsunami dan
gempa. Pelaksanaan manajemen risiko bencana yang dilaksanakan oleh Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purworejo belum maksimal karena masih ditemukan
kendala dalam beberapa kegiatannya pelatihan dan pendidikan serta sistem komunikasi. Saat
baru saja wilayahnya terjadi bencana warga cenderung sangat siaga ketika ada ancaman. Namun
seiring dengan lamanya waktu periode bencana, kesiapsiagaan mengendur, bahkan dilupakan.
Terlebih jika periode bencananya melampui sejumlah generasi dan tidak terdapat catatan tertulis
sebelumnya maupun penuturan lisan dalam bentuk dongeng atau narasi lainnya (Saptadi dan
Djamal 2012).
Dari segi resiko yang akan dihadapi dalam peristiwa bencana alam hasil penelitian di
Kabupaten Karo yang menghadapi erupsi gunung Sinabung ditemukan model komunikasi dan
informasi terpadu dalam pengolaan bencana. Rekomendasi penelitian adalah model komunikasi
dan informasi terpadu dalam pengelolaan bencana melalui website dan terdapat temuan baru
secara teoritis yaitu menambahkan unsur berpikir kritis (critical thinking) dalam Teori Source-
Message-Channel-Receiver-Critical Thinking-Effective untuk menghadapi masalah kebencanaan
(Lestari dkk, 2021). Sementara untuk resiko bencana alam gempa bumi, terdapat kajian lain yang
sejalan menemukan bahwa tingkat kesiapsiagaan stakeholder yang terdiri dari komunitas
pemerintah, masyarakat dan sekolah harus terus ditingkatkan sampai level sangat siap dalam
menghadapi bencana agar risiko bencana alam seperti jatuhnya korban jiwa, kerugian harta
benda dan gangguan psikologis dapat dikurangi dengan signifikan (Hadi, 2019)
To shape the resilient society, the disaster handling not only focus during emergency
response but also from the phase of preparedness. As a country with disaster prone areas and has

4
a long history of natural disaster, every natural phenomenon should have been better predicted
and anticipated. Mitigation efforts are required on the preparedness phase including the early
warning method in order to minimize the risk of casualty and the loss of propertyduring disaster
(Agustina et al., 2020). Readiness and preparedness of every area in handling natural disaster
would be different. There are areas that changed drastically post disaster, but there are also some
who create preventive actions. The delay in doing proactive actions in the prone disaster area
would result in society who find it hard to survive during disaster. Other than that the
development of communication system, from the aspect of early warning system,
communication method and technique, socialization until education are crucial aspects in the
event of disaster. In disaster communication problem happened on every aspect, and researchers
has shown those problems from the internal side especially on the emergency response aspect
and external side between victims and public in wider scope. (Moorthy et al., 2018).
Kesiapsiagaan menghadapi bencana terutama dapat dipelajari dari negara Jepang yang
memiliki teknologi dan kajian kegempaan terdepan yang tidak hanya mengandalkan sistem
prediksi gempa yang menjadi misteri ilmu pengetahuan. Mereka menguatkan konstruksi
bangunan dan kesiapsiagaan warga menghadapi gempa, termasuk pendidikan dan simulasi rutin
(Savitri, dkk, 2021).
Salah satu perspektif penting dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah dari
kajian komunikasi yang bencana menemukan bentuk komunikasi langsung yang digunakan
dalam proses implementasi kebijakan mitigasi yang ditemukan di Bantul Jawa Tengah sebagai
salah satu wilayah rawan bencana. Pertama, Forum Musrenbang (Musyawarah Perencanaan dan
Pembangunan) yang dilaksanakan mulai dari tingkat desa sampai kabupaten. Kedua, dialog atau
diskusi terbatas di tingkat desa hingga kabupaten yang dilaksanakan bersama BPBD maupun
LSM kebencanaan. Diskusi terbatas sebagaimana dimaksud yaitu dilakukan melalui Focus
Groups Discussion (FGD), pertemuan RT, RW, pertemuan Dasawisma, serta beberapa forum
kebencanaan yang terdapat di tingkat desa hingga kecamatan. Komunikasi langsung yang
digunakan dalam proses implementasi kebijakan juga berimbas pada munculnya kepercayaan
dan dukungan dari masyarakat terhadap pemerintah, bertambahnya tingkat pemahaman
masyarakat terhadap penanggulangan bencana alam pesisir khususnya untuk menghadapi fase
tanggap darurat (Kuncoro dan Indrawati, 2019). Selain itu diperlukan juga strategi dalam
memilih komunikator dalam menghadapi potensi bencana yang indikatornya dapat dilihat dari
segi kredibilitas, daya tarik dan kekuatan yang dimiliki komunikator yakni kredibilitas pada
narasumber seperti pengetahuan yang luas terkait bencana, sikap dan kepribadian yang
disenangi (Ginting, dkk 2019)

Sementara di wilayah DKI terkait kesiapsiagaan bencana dikalangan remaja diperoleh


uraian bahwa media online belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber
informasi untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana (Nefianto dkk, 2018).
Selain itu dalam Misi Sistem Nasional Penanggulangan Bencana (selanjutnya disingkat
menjadi SN-PB) di Indonesia maka membangun bangsa yang tangguh terhadap bencana
merupakan misi dari pembangunan SN-PB di Indonesia. Hal tersebut juga sesuai dengan
Kerangka Aksi Hyogo, Tahun 2005-2012 yaitu Building the Resilience of Nations and
Community Disaster.

5
Upaya mitigasi bencana di Kota Semarang dalam menghadapi bencana banjir dapat
dicontoh dengan adanya Kelompok Siaga Bencana (KSB). Pembentukan dan penguatan serta
manfaat terbentuknya KSB mengalami peningkatan sebesar 37% karena masyarakat telah
mendapat pelatihan kesiapsiagaan bencana (Yesiana, 2018).
Kajian tentang kesiapsiagaan bencana dari aspek structural juga dapat dipelajari seperti
di kota Semarang bahwa kerusakan tambak dan hutan mangrove akibat abrasi dan kenaikan
muka air laut secara terus menerus menjadi contoh bagaimana dampak perubahan iklim yang
siginifikan diperparah dengan rendahnya pengetahuan masyarakat terkait ancaman perubahan
iklim. Kondisi ini akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan petani dari hasil tambak yang terus
menerus menurun. Berdasarkan hasil penelitian pembangunan alat pemecah ombak banyak
memberikan dampak positif. Masyarakat secara sadar melakukan perawatan secara mandiri agar
dampak positif yang mereka terima dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama (Yesiana,
2016).
Dari sejumlah penelitian terdahulu diatas, maka peneliti menawarkan kajian komunikasi
tentang kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana seperti tsunami melalui konsep
stimulus organisme respone (SOR). Model ini dipengaruhi oleh disiplin psikologi dari aliran
behavioristic. yang menunjukkan komunikasi sebagai proses aksi reaksi yang sangat sederhana.
Model SOR memberikan gambaran tentang tiga(3) elemen penting:

 Stimulus (S), yakni pesan


 Organisme (0), dalam hal ini pihak penerima (receiver); dan
 Response ® yakni akibat atau pengaruh yang terjadi.

Meskipun ada tahap selanjutnya terdapat penyederhanaan konsep menjadi model S-R.
Konsep ini mengasumsikan bahwa kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-
gambar, dan tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan
cara tertentu. Proses ini bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek.

Model S-R ini ada kaitannya dengan asumsi dan model “jarum suntik" yang berpandangan
bahwa media massa mempunyai pengaruh langsung kepada khalayaknya. Isi media massa
diibaratkan sebagai jarum yang disuntikkan ke tubuh khalayak sehingga menghasilkan pengaruh
yang sesuai dengan isinya. Dalam dunia kedokteran kita mengetahui bahwa apabila seorang
pasien disuntik obat tidur, ia akan tidur.Asumsi mengenai kekuatan pengaruh dari media massa
ini didasarkan atas pemikiran bahwa masyarakat, ibarat atom-atom sosial merupakan
sekumpulan individu-individu yang terpisah-pisah dan bertingkah laku sesuai keinginannya
masing-masing. Dalam masyarakat yang atomatis demikian, kendala-kendala sosial jarang
terjadi dan pengaruh dan ikatan- ikatan sosial sangat kecil. Model S-R ini kemudian banyak
dikritik karena masyarakat dalam menerima pesan dan media massa dipandang tidak bersikap
dan bertindak pasif, melainkan aktif dan selektif. Atas dasar hal tersebut DeFleur kemudian
melakukan modifikasi terhadap model S-R.

Menurut DeFleur, penerimaan khalayak atas berbagai stimulus yang disampaikan melalui media
massa berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Karena, setiap orang mempunyai
karakteristik personalitas sendiri-sendiri.

6
Hal ini berarti, bahwa pengaruh yang terjadi, tidak semata-mata diakibatkan oleh adanya
stimulus, (tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor personalitas. Dengan kata lain, meskipun
pesan (stimulus) yang disampaikan media massa sama, namun akibat yang terjadi di kalangan
khalayak akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.

Peneliti mengasumsikan bahwa model SOR dapat diimplementasikan pada masyarakat yang
memperoleh terpaan berupa stimulus terkait kesiapsiagaan dalam meghadapi potensi bencana
dan selanjutnya dapat menghasilkan respon tertentu untuk dapat selamat dari bencana jika
sewaktu waktu terjadi.

stimulus–response theory has had to be modified to take


account of selective attention, interpretation, response and
recall. The model, in whatever form, is highly pragmatic: it
predicts, other things being equal, the occurrence of a
response (a verbal or behavioural act) according to the
presence or absence of an appropriate stimulus (message). It
presumes a more or less direct behavioural effect in line with
the intention of the initiator and consistent with some overt
stimulus to act in a certain way that is built into the message.

Penelitian ini menggunakan Model Teori S-O-R yang ditemukan oleh Hovland pada tahun 1953.
Titik penekanan dalam model komunikasi ini lebih kepada pesan yang disampaikan
mampu menumbuhkan motivasi, menumbuhkan gairah kepada komunikan sehingga
komunikan cepat menerima pesan yang diterima dan selanjutnya terjadi perubahan sikap
perilaku. Onong Uchjana Efendy (2003) menjelaskan unsur penting dalam model komunikasi S-
O-R itu ada tiga yaitu : Pesan ( Stimulus, S), Komunikan (Organims, O) dan Efek (Response,R).
Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Response) merupakan proses komunikasi yang menimbulkan
reaksi khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara
pesan dan reaksi
komunikan. Unsur-unsur pada model ini adalah pesan (Stimulus), komunikan (Organism), dan
efek (Response) (Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, 2003).

Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif; misalnya jika orang tersenyum akan
dibalas tersenyum ini merupakan reaksi positif, namun jika tersenyum dibalas dengan palingan
muka maka ini merupakan reaksi negatif.

Gambar 1.1 Model S-O-R Sumber: Hovland, Janis dan Kelley dalam (Mar'at, 1982). Dalam
teori S-O-R menurut Hovland (Mar'at, 1982), tiga variabel
yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap yaitu perhatian, pengertian,

7
dan penerimaan. Adapun tahap-tahap respon adalah:a. Tahap Kognitif, yaitu meliputi
ingatan terhadap pesan,kesadaran/ pengenalan terhadap pesan dan pengetahuan terhadap
pesan tersebut. b. Tahap Afektif, meliputi kesediaan untuk mencari lebih banyak lagi
informasi, evaluasi terhadap pesan, dan minta untuk mencoba.

Sebuah studi dari Abidin menemukan bahwa komunikasi model stimulus organism response
sangat penting diterapkan oleh guru karena komunikasi ini merupakan proses aksi-reaksi
sehingga kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang
komunikan (peserta didik) memberikan respon dengan cara tertentu. Dengan menerapkan
komunikasi ini, pesan yang disampaikan oleh guru dapat menumbuhkan gairah kepada
komunikan sehingga komunikan cepat menerima pesan yang diterima dan selanjutnya terjadi
perubahanpengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior) sehingga hal inilah
yang menjadi indikator adanya peningkatan kualitas dalam pembelajaran (Abidin dan Abidin,
2021)

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh foto peristiwa terorisme terhadap kecemasan sosial
mempunyai pengaruh sebesar 38,4%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
(Sukmawati dan Rafi’I, 2020)

Terdapat pengaruh social media marketing Twitter terhadap terbentuknya brand image Restoran
Burger Gaboh Pekanbaru. Setelah melakukan uji determinasi diperoleh nilai R square 7,14 ,
artinya terdapatpengaruh yang sangat kuat (7,14%) dari social media marketing twitter pada
restoran BurgerGaboh terhadap terbentuknya brand image -nya di benak konsumen (Rizal dan
Lubis, 2014)

Hasil dari sebuah penelitian yang menggunakan teori S-O-R (stimulus–organism–response)


menunjukan bahwa pengaruh terpaan dan celebrity endorser Amanda Manopo dan Arya Saloka
pada iklan Luwak White Koffie versi Lesss Sugar dan kopi hitam terhadap keputusan membeli
sangat lemah yaitu sebesar 16,4% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Dapat
disimpulkan dari penelitin ini bahwa pengaruh terpaan dan celebrity endorser Amanda Manopo
dan Arya Saloka pada iklan Luwak White Koffie versi Less Sugar dan kopi hitam berpengaruh
positif terhadap keputusan membeli (Virginia dan Nanda, 2022)

Dalam teori komunikasi S-O-R, pesan yang disampaikan melalui media tertentu dapat menjadi
stimulus yang membentuk persepsi yang pada akhirnya membentuk citra. Masyarakat
Yogyakarta sebagai pelaku kebudayaan dan juga yang berperan penting dalam pembentukan
citra kota Yogyakarta menjadi objek dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan metode
survei kuantitatif. Survei dilakukan dengan kuesioner mengenai pengaruh yang diberikan oleh
website dengan kualitas tertentu terhadap pembentukan citra. Indikator yang digunakan untuk
kualitas website sebagai variabel independen adalah usability quality, information quality dan
design quality. Sedangkan indikator yang digunakan pada pembentukan citra sebagai variabel
dependen adalah persepsi dan sikap yang berkaitan dengan citra kota dalam aspek budaya (Juliati
dkk, 2020)

Sebuah penelitian lain yang menerapkan model SOR dalam pemasaran kampanye kecantikan
produk personal care oleh Hardianto bertujuan untuk menganalisis efektivitas suatu rangsangan

8
agar menghasilkan respon yang diinginkan oleh pemasar, dan memahami bagaimana penerapan
SOR model dalam pemasaran menemukan bahwa kampanye kecantikan yang dilakukan selama
selama sepuluh tahun efektif untuk mencapai tujuan pemasaran (Hardianto, 2019).

Selain rangsangan, komponen lain dalam model SOR adalah organism. Organisme secara lebih
dalam diartikan sebagai kondisi perasaan dan kognitif seseorang yang mempengaruhi hubungan
antara rangsangan dengan respon (Eroglu, et al., 2001). Menurut Bagozzi (1986) dalam Chang,
et. al. (2011), organisme di sini merujuk pada proses internal yang terjadi dalam diri seseorang,
yang terdiri dari aktivitas mempersepsikan, merasakan, dan berpikir. Ketika suatu rangsangan
ditangkap oleh panca indera seorang konsumen, maka ia akan mempersepsikan rangsang tersebut
dengan melibatkan perasaan dan pikirannya, sehingga menentukan respon terhadap rangsangan
tersebut. Persepsi sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses yang dimulai dari pemaparan
rangsangan (exposure) terhadap konsumen, munculnya perhatian (attention) terhadap
rangsangantersebut, dan diakhiri dengan interpretasi (interpretation) yang dilakukan oleh
konsumen terhadap rangsangan tersebut (Hawkins, et al., 2013). Agar terjadi paparan terhadap
konsumen, maka rangsangan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh
panca indera konsumen. Walaupun demikian, konsumen dapat memilih sendiri rangsangan mana
yang akan ditanggapi oleh konsumen dan mana yang tidak (selective exposure). Rangsangan
yang baik tentunya akan membuat konsumen memilih untuk menanggapi rangsangan tersebut.
Oleh karena itu, sebaiknya pemasar memperhatikan faktor-faktor rangsangan seperti (Hawkins,
et al., 2013):

a. Ukuranb. Intensitasc. Tampilan yang menarik d. Warna dan pergerakane. Posisif. Penempatan
g. Format h. Kontras dan ekspektasi i. Daya tarikj. Kualitas informasi

Setelah rangsangan diterima oleh panca indera konsumen, selanjutnya konsumen akan
menerjemahkan rangsangan tersebut ke dalam suatu arti. Proses penerjemahan ini dapat
dilakukan oleh konsumen secara kognitif atau emosional. Dalam proses penerjemahan ini
terdapat beberapafaktor yang mempengaruhi, yaitu (Kotler & Keller, 2016): a.Motivasi berkaitan
dengan kebutuhan seseorang yang mana dapat berubah dan menjadi dorongan untuk melakukan
suatu perbutana tertentu (motif).b. Persepsi, berkaitan dengan bagaimana seseorang memilih,
mengurutkan, dan menginterpretasikan suatu informasi menjadi suatu gambaran yang
memilikimakna. Persepsi tidak hanya dipengaruhi oleh bentuk fisik rangsangan, tetapi
jugakondisi lingkungan sekitar dan kondisi di dalam diri masing-masing orang. c.
PembelajaranPembelajaran berkaitan dengan informasi yang diperoleh dari pengalaman di
masalalu.d. IngatanIngatan berkaitan dengan informasi-informasi dari masa lalu yang tersimpan
didalam ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term
memory). Rangsangan yang diterima oleh konsumen dapat memicuinformasi-informasi yang
tersimpan di dalam ingatan konsumen.e. Budaya Budaya menjadi penentu yang penting terhadap
keinginan dan perilaku seseorang.Budaya meliputi nilai-nilai yang diajarkan kepada seseorang
dan diturunkankepada generasi berikutnya.f. Sosial Sosial meliputi pengaruh dari kelompok
dimana seseorang terlibat di dalamnya dan memiliki relasi yang cukup kuat dengan kelompok
tersebut, sehingga apa yangdikatakan oleh orang-orang di dalam kelompok tersebut dijadikan
suatu acuan (reference group). Selain itu, faktor sosial juga berbicara mengenai pengaruh
darikeluarga dan bagaimana seseorang melihat peran dan statusnya di masyarakat.g. Personal
Faktor ini berkaitan dengan usia, gaya hidup, nilai-nilai pribadi yang dipegang,pekerjaan, kondisi

9
keuangan pribadi, kepribadian,dan konsep diri.

Respon komponen ketiga dalam model SOR adalah respon. Menurut Donovan dan Bitter (1982)
serta Sherman, et. al. (1997) dalam Eroglu, et. al. (2001), respon hasil akhir dari proses internal
yang terjadi di dalam diri konsumen dan merupakan keputusan akhir konsumen. Dalam kontek
pemasaran maka konsumen yang memperoleh stimulus iklan dan lainnya bisa saja melakukan
pembelian, menunda pembelian, membatalkan pembelian, atau bahkan menghindari pembelian.
Model SOR ini banyak digunakan oleh pemasar untuk mengetahui bagaimana hubungan antara
rangsangan yang diberikan kepada konsumen dan reaksi konsumen atas rangsangan tersebut
melalui kegiatan membeli, mengkonsumsi, dan menghabiskan. Dengan mempelajari model ini
pemasar diharapkan mampu membuat informasi sebagai rangsangan (stimulus) yang menarik
agar dapat diekspos oleh konsumen, yang meliputi informasi mengenai produk, harga, tempat
penjualan, dan promosi yang menarik, misalnya dengan menyelipkan pesang-pesan edukatif
dalam promosi. Dengan menciptakan stimulus yang menarik, diharapkan konsumen dapat
memberikan reaksi yang sesuai dengan yang diharapkan oleh pemasar.

Teori digunakan untuk memperjelas suatu masalah yang akan diteliti dan membantu serta
membimbing peneliti dalam melakukan penelitiannya. Teori-teori yang relevan dengan
permasalahan penelitian mampu membantu dalam memecahkan permasalahan tersebut secara
jelas, sistematis, dan terarah. Teori S-O-R oleh Hovland, et al (1953) sebagai singkatan dari
Stimulus-Organism-Response. Asumsi dasar dari teori ini adalah komunikasi merupakan proses
aksi-reaksi. Artinya teori ini mengasumsi bahwa kata-kata verbal, isyarat
non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respondengan cara
tertentu (Effendy, 2003:253-254).

adanya hubungan yang cukup tinggi antara keseringan menonton tayangan sinetron kekerasan
dengan perubahan perilaku agresif. Adapun beberapa studi literatur juga menyebutkan bahwa
akan adanya pengaruh yang signifikan ketika seseorang menonton adegan atau tayangan
kekerasan secara terus menerus. Dan kuesioner yang telah di sebar siswa yang memilih menjadi
penggemar lebih banyak dari pada yang tidak menjadi penggemar (Indria dan Prasetio, 2017)

Beberapa kajian tentang penanggulangan bencana di Indonesia menunjukkan betapa


kompleksnya masalah yang terdapat dalam setiap peristiwa bencana bukan saja pada fase
tanggap darurat bahkan dari sejak fase kesiapsiagaan. Dengan demikian dapat meminimalisir
risiko hilangnya korban jiwa dan kehilangan harta benda saat terjadi bencana. Kesiapan dan
persiapan setiap wilayah dalam menghadapi bencana alam akan berbeda-beda. Ada wilayah yang
melakukan perubahan drastis setelah terjadi bencana alam namun ada juga yang merancang
tindakan preventif. Namun demikian, keterlambatan dalam melakukan tindakan proaktif pada
wilayah yang memiliki potensi kerawanan bencana akan membuat masyarakat sulit bertahan
ketika peristiwa bencana terjadi.
Dari sejumlah kajian yang telah dipublikasikan hingga saat ini tentang kesiapsiagaan
menghadapi potensi bencana dari perspektif komunikasi bencana alam kesiapsiagaan
masyarakat umumnya dikaji dari segi kegiatan dalam desminasi pesan tentang potensi
bencana dan hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat. Sehingga kajian ini memiliki
kebaruan dalam hal mengidentifikasi proses desiminasi pesan yang prosesnya diterima

10
oleh komunikan yaitu masyarakat dan respon yang dihasilkan dari penerimaan pesan
tentang kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana.
Mengidentifikasi elemen dari teori SOR dalam komunikasi untuk kesiapsiagaan
masyarakat meghadapi potensi bencana tsunami khususnya di wilayah pantai Selatan
pulau Jawa.
Rawannya Laut Flores terhadap ancaman gempa dan tsunami menyebabkan mendesak
untuk menyiapkan langkah mitigasi secara tepat, agar dapat terwujud zero victims jika
terjadi gempa dan tsunami. Pemodelan tsunami akibat gempa manitudeo maksimum dari
sumber gempa Laut Flores dibuat untuk mengetahui scenario terburuknya. Pemodelan ini
penting dalam mengestimasi tinggi tsunami dan waku tibanya untuk acuan mitigasi.
Landaan tsunami kedaratan hasil pemodelan bermanfaat untuk perencanaan tata ruang
berbasis risiko tsunami.
Metode
Penelitian dilakukan pada tahun 2021 hingga 2022. Data penelitian diperoleh melalui wawancara
kepada lima orang orang yang terdiri dari pedagang, wisatawan lokal. Konfirmasi wawancara
utama dilakukan pada petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk mendapatkan
penegasan atas hasil wawancara dari informan utama. Selain itu dilakukan pengamatan langsung
ke lokasi pantai sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang proses komunikasi untuk
kesiapsiagaan bencana dan situasi yang dihadapi oleh warga.

Pembahasan dan Diskusi


STIMULUS ORGANISME RESPON

1. Papan petunjuk arah 1. Penduduk Lokal


1. Adanya pengetahuan
evakuasi berwarna oranye 2. Wisatawan Lokal
pada sejumlah titik 3. Pedagang Makanan di tentang ancaman tsunami
disepanjang pantai. Sepanjang Pantai di wilayahnya.
2. Pendopo tempat evakuasi. 4. Pengelola tempat 2. Adanya ingatan tentang
3. Petugas BPBD yang wisata. peristiwa tsunami dimasa
melaksanakan sosialisasi lalu.
evakuasi. 3. Respon tentang cara dan
4. Bunyi sirine saat latihan arah evakuasi.
evakuasi.
4. Respon tentang pihak-
5. Materi sosialisasi mitigai
bencana. pihak yang bisa
6. Cerita tentang peristiwa memberikan pertolongan
tsunami diwilayah lain saat terjadi tsunami.

11
Dari hasil pengamatan terhadap wilayah di jalur pantai Selatan pada sejumlah tempat wisata
seperti pantai Parang Tritis, pantai Mrecong, pantai Petanahan, pantai Ayah dan sebagainya
sangat minim wilayah pantai yang memiliki bukit untuk penyelamatan saat terjadi tsunami.
Sementara warga di pesisir pantai Selatan umumnya hanya mengenal tentang evakuasi dengan
berlari kearah jalur evakuasi untuk menuju titik kumpul. Wilayah pantai Selatan di bawah
naungan BPBD Kebumen umunya bukan wilayah temat hunian penduduk yang padat. Karena
ombak lautnya yang cukup tinggi dan tidak bisa digunakan untuk berlayar mencari ikan sehingga
tidak digunakan sebagai andalan ekonomi warga dalam memperoleh hasil laut. Situasi ini
berbeda dengan wilayah pantai selatan di Pangandaran yang ramai dengan hunian penduduk
karena lautnya memiliki potensi ekonomi tinggi penghasil berbagai jenis makanan laut, tempat
wisata terumbu karang, wisata susur sungai, dan terdapat hutan lindung sebagai objek wisata
dan riset. Dengan demikian akomodasi untuk para wisatawan seperti bangunan villa untuk
wisatawan cukup padat sepanjang pantai Pangandaran.
Gambaran tentang informan di pantai Selatan wilayah Kebumen dapat peneliti deskripsikan
sebagai berikut. Semua informan utama sebanyak lima orang yang diwawancarai adalah warga
yang lebih banyak menghabiskan waktu dipantai Selatan (pantai Mrecong, pantai Petanahan dan
pantai Ayah) . Wilayah tersebut merupakan sebagian dari sejumlah tempat wisata sepanjang
pantai Selatan. Para informan memanfaatkan pantai sejak hampir lebih lima belas tahun yang
lalu karena menjadi andalan ekonomi sebagai pedagang makanan. Seringkali mereka bermalam
selama beberapa hari di pantai saat kunjungan wisatawan tinggi pada hari libur besar. Satu orang
informan berikutnya adalah penduduk di wilayah Kebumen kota yang sering berkunjung ke
pantai bersama sejumlah teman. Sedangkan dua informan pendukung lainnya adalah dari pihak
BPBD yang mengoperasikan alat pemantau tsunami dari kantor pusat dan berwenang mengirim
informasi ke lapangan sebagai tanda bahaya saat terjadi gempa.

Stimulus

Hasil penelitian menemukan bahwa pada unsur stimulus terdapat sejumlah elemen berupa
papan petunjuk arah evakuasi berwarna oranye pada sejumlah titik disepanjang pantai, pendopo
tempat evakuasi, petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang melaksanakan
sosialisasi evakuasi, bunyi sirine saat latihan evakuasi, materi sosialisasi mitigasi bencana hingga
sejumlah informasi tentang peritiwa tsunami masa lalu disepanjang panta selatan seperti
Pangandaran, dan wilayah lain seperti Pandeglang Banten.

Papan peringatan dini bencana tsnami dan papan petunjuk evakuasi berwarna orange terdapat di
sejulah titik sepanjang pantai. Namun tulisan tidak dapat terbaca dari jarak jauh dan terlebih jika
pada malam hari selain karena warna papan dan tulisan sudah memudar. Unsur komunikasi
verbal yang terdapat dalam papan arah evakuasi belum optimal karena tidak dapat membantu
warga maupun wisatawan memberikan petunjuk yang jelas. Hal ini akan mempengaruhi proses
pengolahan informasi dalam otak penerima pesan karena pesan tidak mudah tersimpan karena
komponen stimulusnya belum maksimal. Seperti misalnya

Ibu SR (padagang) :

12
Ya ada kok itu setiap tanggal berapa peringatan nanti alatnya dibunyikan trus
kitaya musti lari kesana (menunjuk arah evakuasi)… wong sudah biasa kita
pernah latihan nanti bisa sama sama kesana…ya sudah dikasih tau yang dibawa
itu surat-surat penting….. tapi saya kok juga pernah denger kalua ada tsunami
malah suruh lari ke laut karena disana lebih landai… tapi ndak tau itu dari mana
ya yang kasih tau.
Organism
Pada unsur organisme elemennya terdiri dari penduduk lokal, wisatawan lokal, pedagang
makanan di sepanjang pantai.

Selain rangsangan, komponen lain dalam model SOR adalah organism. Organisme secara lebih
dalam diartikan sebagai kondisi perasaan dan kognitif seseorang yang mempengaruhi hubungan
antara rangsangan dengan respon (Eroglu, et al., 2001). Menurut Bagozzi (1986) dalam Chang,
et. al. (2011), organisme di sini merujuk pada proses internal yang terjadi dalam diri seseorang,
yang terdiri dari aktivitas mempersepsikan, merasakan, dan berpikir. Ketika suatu rangsangan
ditangkap oleh panca indera seorang konsumen, maka ia akan mempersepsikan rangsang tersebut
dengan melibatkan perasaan dan pikirannya, sehingga menentukan respon terhadap rangsangan
tersebut. Persepsi sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses yang dimulai dari pemaparan
rangsangan (exposure) terhadap konsumen, munculnya perhatian (attention) terhadap
rangsangantersebut, dan diakhiri dengan interpretasi (interpretation) yang dilakukan oleh
konsumen terhadap rangsangan tersebut (Hawkins, et al., 2013). Agar terjadi paparan terhadap
konsumen, maka rangsangan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh
panca indera konsumen. Walaupun demikian, konsumen dapat memilih sendiri rangsangan mana
yang akan ditanggapi oleh konsumen dan mana yang tidak (selective exposure). Rangsangan
yang baik tentunya akan membuat konsumen memilih untuk menanggapi rangsangan tersebut.
Oleh karena itu, sebaiknya pemasar memperhatikan faktor-faktor rangsangan seperti (Hawkins,
et al., 2013):

a. Ukuran b. Intensitas c. Tampilan yang menarik d. Warna dan pergerakane. Posisi f.


Penempatan g. Format h. Kontras dan ekspektasi i. Daya tarik. Kualitas informasi

Respons

Seperti dikemukakan oleh McQuails pada teori SOR bahwa respon sesorang dapat dilihat dari
ada atau tidaknya sitimulus (McQuails, 2020) pada proses berikutnya ketika seseorang telah
mendapatkan stimulus maka Menurut Donovan dan Bitter (1982) serta Sherman, et. al. (1997)
dalam Eroglu, et. al. (2001), respon hasil akhir dari proses internal yang terjadi di dalam diri
konsumen dan merupakan keputusan akhir konsumen. Konsumen bisa saja melakukan
pembelian, menunda pembelian, membatalkan pembelian, atau bahkan menghindari pembelian.
Model SOR ini banyak digunakan oleh pemasar untuk mengetahui bagaimana hubungan antara
rangsangan yang diberikan kepada konsumen dan reaksi konsumen atas rangsangan tersebut
melalui kegiatan membeli, mengkonsumsi, dan menghabiskan. Dengan mempelajari model ini
pemasar diharapkan mampu membuat informasi sebagai rangsangan (stimulus) yang menarik
agar dapat diekspos oleh konsumen, yang meliputi informasi mengenai produk, harga, tempat
penjualan, dan promosi yang menarik, misalnya dengan menyelipkan pesang-pesan edukatif

13
dalam promosi. Dengan menciptakan stimulus yang menarik, diharapkan konsumen dapat
memberikan reaksi yang sesuai dengan yang diharapkan oleh pemasar.

Unsur respon yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berupa sejumlah tanggapan terhadap
stimulus yang diperoleh oleh para responden atau komunikan sebagai unsur organisme. Respon
yang ditemukan diantaranya adalah pengetahuan tentang ancaman tsunami di wilayahnya,
pengetahuan tentang peristiwa tsunami dimasa lalu di wilayah pantai selatan yang lain, respon
tentang cara dan arah evakuasi, ingatan tentang adanya sirine saat dilakukan latihan mitigasi
bencana, informasi yang dipahami tentang pihak-pihak yang bisa memberikan pertolongan saat
terjadi tsunami.

Berikut sebagian dari kutipan wawancara informan terkait respon yang diperoleh dari sejumlah
stimulus yang pernah diterima :

Informan HT (wisatawan lokal)


Saya sering kepantai di Mrecong sekarang dengan teman-teman menyusuri
pantai Manganti pakai wisata of road. Ndak terlalu paham dengan informasi
potensi tsunami ya, saya juga ndak terlalu perhatikan ada rambu-rambu evakuasi
desekitar pantai. Kalau tsunami yang saya agak takut malah di Pangandaran
karena di Pangandaran kan kemarin sudah pernah ada peristiwanya. Kalau
disini saya malah belum pernah dengar ada tsunami dari dulu. Memang lebih
sepi pantainya di sekitar Kebumen ini. Selain Mrecong ada pantai Bocor, pantai
Ayah, pantai Suwuk, tadi juga mampir ke Setro Jenar.

Bapak WN (pedagang)
Untuk sosialisasi tentang tsunami disini sudah sering kok, setiap berapa bulan
sekali ada itu percobaan peringatan dini… ada itu suara sirinenya kita bisa
dengar dari sini… ditaruhnya itu sirine didepan pendopo sebelah sana (menunjuk
kearah belakang pantai)…. Kedengeran jelas kok dari sini tempat saya jualan…
nah itu kan kita udah dilatih kalau ada tsunami nanti lewatnya jalur evakuasi
kesana…. ya kita disuruh lari saja kearah evakuasi…. itu kan tsunami mendadak
ya datangnya
Dulu saya ingat kan disini pernah kena tsunami juga waktu jaman tsunami
Pangandaran… tahun 2006 apa yaa…. , tapi ya alhamdulilah ombaknya kalau
disni hanya sampai sini (lokasi para pedagang dipantai sekitar 20 meter dari
laut) …. airnya sudah ndak tinggi lagi … ndak ada yang sampai mati tapi cuma
ada yang jatuh kecemplung sumur karena mungkin lari-lari karena panik
ya..he..he…
Berikut hasil wawancara dengan sejumlah informan terkait tentang sosialisasi evakuasi saat ada
gempa yang berpotensi tsunami. Disepanjang pantai bagian luar (berjarak sekitar seratus meter
dari bibir pantai terdapat tanda-tanda jalur evakuasi berwarna orange dengan tulisan putih dan
14
teradapat lambang gelombang air laut. Tulisan “jalur evakuasi” sebagian mulai memudar yang
mengarahkan orang untuk menuju kesuatu tempat).

Adapun hasil wawancara dengan informan pedagang dan wisatawan lokal diatas dikonfirmasi
dengan pihak BPBD. Berikut sebagian dari kutipan wawancaranya:
Informan Budhis (BPBD):
Kalau bukit-bukit untuk evakuasi kan disini ndak ada ya, memang ini kalau kita
lihat dari peta di sepanjang wilayah Kebumen pantainya yang ada bukit ya
dipantai Ayah. Memang ada penduduk yang tinggal diatas bukit-bukit itu…. Ini
insya Allah bisa aman kalau ada tsunami ya. Tapi kalau penduduk yang ada
di bagian bawah bukit ini yang harus segera evakuasi.
Disini ini masyarakatnya yang di pesisir sudah banyak yang sudah tau untuk
peringatan dini… lumayan manut kok masyarakatnya disini. Ndak ada yang
menentang siy selama ini kalau ada sosialisasi.

Informan Rm (wisatawan lokal)


Saya sering kepantai Petanahan kalau hari libur sabtu minggu. Cuma duduk-
duduk sama teman-teman ya kebanyakan anak-anak muda yang tinggal sekitar
Kebumen cari sarapan…. nasi begananya enak. Saya ngga pernah kelaut..
disekitar sini aja sudah enak sambal menikmati mendoan sama kelapa muda.
Disini ombaknya sering besar dan saya takut ya keseret ombak jadi ndak pernah
dekat-dekat kelaut. Keliatannya di Petanahan ini ombaknya paling tinggi
dibanding pantai lain kaya Mrecong, Bocor, atau pantai Ayah.
Saya sih pernah denger ya ancaman tsunami di Selatn jawa. Tapi itu mungkin
karena ngga pernah denger sejarah disini ada tsunami jadi saya ndak takut.
Waktu lewat pantai Anyer malah saya agak takut soalnya kan disana pernah ada
peristiwa tsunami.
Kalau tadi disekitar menuju kesini tadi dijalan-jalan saya liat ya ada plang-plang
arah evakuasi, warna oranye itu kan. Tapi agak kekecilan kalau dari jauh kurang
kebaca. Untuk titik kumpul saya malah belum tau dimana lokasinya. Belum
pernah saya kesini denger ada latihan peringatan tsunami. Mungkin siang ya
latiannya, saya kalau kesini kan pagi.
Informan SG (BPBD) :
Memang selama korona ini kami bagian kesiapsiagaan BPBD lebih fokus pada
penanganan covid 19. Kami berkordinasi dengan berbagai pihak untuk
penyediaan akomodasi covid 19. Bayangkan saja pernah dalam satu hari ada
lima belas jenasah yang harus dimakamkan. Sosialisasi tentang covid 19 juga
terus kami lakukan ke masyarakat disekitar pantai. Memang ini ancaman
bencana jadi double-double ya. Satu sisi ada ancaman potensi tsunami tapi
covid ini juga sangat tinggi jumlahnya yang terkena. Hampir setiap hari kami
harus kelapangan berkordinasi dalam penanganan covid.

15
Dengan adanya wabah covid 19 sejak tahun 2020 maka hal ini menjadi tambahan tugas bagi
bidang kesiapsiagaan BPBD. Karena wabah covid 19 juga termasuk bencana yang kompleks
maka bidang kesiapsiagaan bekerjasama dengan bidang rehabilitasi dan rekonstruksi menangani
covid 19 yang juga melanda sebagian warga kabupaten Kebumen dalam dua tahun terakhir.
Dengan demikian kegiatan sosialisasi bencana alam termasuk pelatihan kepada warga dari
berbagai komunitas seperti sekolah, kelompok difabel dan sebagainya sempat tertunda selama
beberaapa waktu. Termasuk porsi anggaran untuk sosialisasi juga digunakan untuk penanganan
covid 19.
Dari hasil wawancara kepada warga tentang sosialisasi evakuasi tsunami, nampak semua warga
yang menjadi informan pedagang dan wisatawan lokal menjawab bahwa sosialisasi evakuasi
tsunami sudah sering mereka terima namun pada masa korona, sosilisasi jarang dilakukan rutin
seperti sebelmnya. Namun demikian pengetahuan warga tentang wilayahnya yang memiliki
kerawanan bencana dan berpotensi tsunami sudah dipahami. Pada tahap sosilisasi dan pelatihan
warga juga memahami arah kemana untuk evakuasi serta dimana titik kumpul nampak sudah
cukup jelas. Hanya saja masih ditemukan distorsi komunikasi karena ada seorang warga yang
memperoleh informasi bahwa jika ada gempa sebaiknya mereka justru disarankan lari ke pantai
karena tempat tersebut lebih landai.

Beberapa peristiwa tsunami pada masa terutama yang terjadi di sepanjang pantai Selatan rupanya
menjadi catatan dalam ingatan warga sehingga merasa waspada dengan ancaman tsunami
berikutnya. Selain itu warga juga sudah menerima informasi berupa sosialisasi yang
disampaikan pemerintah dan BPBD setempat. Warga bahkan menginginkan bagaimana
sosialisasi secara rutin disampaikan namun selama korona sosilisasi mulai jarang dilakukan.
Waktu menjadi catatan utama dalam rangkaian kesiapsiagaan. Saat baru saja wilayahnya atau
wilayah lain yang berdekatan terjadi bencana warga cenderung sangat siaga ketika ada ancaman.
Namun seiring dengan lamanya waktu periode bencana, kesiapsiagaan mengendur, bahkan
dilupakan. Terlebih jika periode bencananya melampui sejumlah generasi dan tidak terdapat
catatan tertulis sebelumnya maupun penuturan lisan dalam bentuk dongeng atau narasi lainnya.
(jurnal ….. )
Diskusi

Persoalan penting dalam evakuasi adalah bagaimana masyarakat dapat memaknai pesan tentang
informasi potensi tsunami dari alat peringatan dini sesuai dengan yang diharapkan. Ada beberapa
kemungkinan respon masyarakat: menyimak dan mengikuti arahan untuk segera mengungsi,
mendengar tapi tidak menghiraukan arahan untuk mengungsi, atau ada yang tidak memahami
sama sekali adanya peringatan dini untuk segera melakukan evakuasi (jurnal sosialisasi bencana
dan jurnal destana).
Warga telah disadarkan bahwa bencana seringkali tidak dapat diprediksi sehingga warga juga
berkenan segera mengungsi tanpa dipaksa.
Beberapa warga belajar dari kasus yang pernah terjadi di sepanjang pantai Selatan seperti
peristiwa Pangandaran tahun 2008 dan Pandeglang 2018. Karena sejumlah warga di wilayah ini
tidak memiliki kearifan lokal masa lalu yang bisa menjadi pelajaran maka sosialisasi tentang
potensi tsunami perlu dilakukan secara berkesinambungan. Proses komunikasi ini merupakan
bagian dari komunikasi transaksional karena warga juga perlu disadarkan terus menerus tentang
16
keterlibatan mereka untuk memantau kondisi pantai dari alat yang telah disediakan pemerintah.
Sehingga untuk mendukung komunikasi yang mencapai tingkat efektif dalam sosialisasi
kesiapsiagaan bencana maka pada tingkatan selanjutnya dapat dilakukan komunikasi
transaksional yang menekankan pada kesinambungan komunikasi. Selain sosialisasi
dilakukan secara terus- menerus dari pihak yang berwenang tentang kesiapsiagaan
bencana, masyarakat juga berkesempatan untuk melakukan dialog guna menyampaikan
pertanyaan, menyampaikan permasalahan yang dihadapi, hingga berbagi pengalaman
tentang upaya kesiapsiagaan bencana di berbagai wilayah di Indonesia. Poses komunikasi
transaksional dapat dipelajari dari kajian yang terjadi seperti pada wilayah desa di Garut yang
memiliki potensi bencana kekeringan dan longsor (Wardyaningrum, 2022). Selain itu warga di
peseisir pantai juga perlu senantiasa diingatkan kembali tentang ancaman bencana. Meskipun
seringkali hasil kajian menemukan bahwa masyarakat dinilai cukup paham mengenai
penanggulangan dan pencegahan bencana namun terkadang harus diingatkan kembali agar dapat
lebih memahami (Sumaryana, 2018).
Kewaspadaan tsunami juga dapat dipelajari dari peristiwa tsunami Aceh di wilayah Simelue
yang menggunakan komunikasi tentang kearifan lokal tentang syair Smong yang berisi
peringatan atas peristiwa tsunami di masa lalu. Pengetahuan yang diperoleh masyarakat hingga
saat ini tentang Smong ternyata telah menyelamatkan banyak nyawa pada tsunami Aceh tahun
2004 (Sari dkk, 2018). Dari kearifan lokal lainnya tentang gempa masyarakat Rote Ndao dapat
dipelajari juga bahwa masyarakat setempat tidak memiliki pengetahuan tentang
gempabumi, mereka hanya memiliki mitos tentang gempa bumi. Mitos bagi mereka adalah
untuk mendekatkan warga masyarakat pada inti kehidupannya atau pada jati dirinya yang
sejati; berkat mitos, setiap warga akan dapat bertemu, dengan dirinya sendiri yang
khas, sekaligus pada saat yang sama pula mereka akan berjumpa dengan manusia sesama
juga alam semesta, dan Yang Ilahi. Mitos memberi inspirasi kepada manusia untuk
memelihara serta mengembangkan sebuah keserasian hidup bersama dalam tatanan
masyarakat: antara makro-kosmos, mikro-kosmos dan Yang Tak Kelihatan. Kedua,
pengalaman masyarakat Rote Ndao dalam menghadapi bencana gempabumi, mereka
menggunakan kearifan lokal, berteriak ketika berlangsung gempa “ ami nai ia o... “ Mereka
gembira karena adanya keyakinan bahwa tahun yang sedang berjalan akan mendatangkan
kesuburan tanah dan panen pertanian akan melimpah. Perasaan senasiblah yang
menggerakkan manusia untuk sadar akan makna kolektivitasnya sebagai makhluk sosial.
Gempa yang meluluhlantakan kehidupan masyarakat silam justru telah menyemaikan
benih solidaritas dan kesetiakawanan (Thene, 2016).
Minimal terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan mitigasi bencana
tsunami. Pertama, adalah dengan melakukan upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan,
infrastruktur dan lingkungan pesisir. Kedua adalah dengan meningkatkan pemahaman dan peran
serta masyarakat pesisir terhadap kegiatan mitigasi bencana gelombang pasang. Ketiga adalah
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Keempat, adalah meningkatkan
koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi bencana. Kelima adalah menyusun payung
hukum yang efektif dalam upaya mewujudkan upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan jalan
penyusunan produk hukum yang mengatur pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan peraturan

17
dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan bangunan penahan bencana, serta pelaksanaan
peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi. Sedangkan kebijakan yang ke enam adalah
mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir
melalui melakukan kegiatan mitigasi yang mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan,
meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan perekonomian
(Winarno, 2011).
Penelitian dilakukan pada April 2018 dengan hasil penelitian didapatkan kesiapsiagaan taruna
86,97 dikategorikan sangat siap, dengan nilai rata- rata tiap parameter sebagai berikut;
pengetahuan dan sikap taruna (90%) sebesar 87,45 dikategorikan sangat siap, rencana untuk
keadaan darurat bencana pada taruna (84%) sebesar 88,15 dikategorikan sangat siap, sistem
peringatan bencana pada taruna (92%) sebesar 89,70 dikategorikan sangat siap, mobilisasi
sumber daya pada taruna (98%) sebesar 93,50 dikategorikan sangat siap. Dari hasil penelitian ini
diharapkan pelatihan kesiapsiagaan bencana tsunami lebih intens diberikan pada taruna (Tirtana
dkk, 2018)
Berdasarkan hasil penelitian Nahak dan kawan-kawan di pantai selatan pulau Timor dan pulau
Semau diketahui bahwa: waktu datang gelombang tsunami adalah 13,45 menit setelah terjadi
dislokasi.; Lokasi pemasangan alat detector peringatan dini, yaitu pada jarak 31,6 km dari garis
pantai, sehingga memberikan waktu sekitar 12 menit bagi wisatawan untuk menyelamatkan diri.;
Tinggi gelombang pada saat mencapai pantai adalah 18 m, sehingga tinggi run up gelombangnya
adalah 40,7 m.; Daerah yang terkena gelombang tsunami secara langsung adalah daerah di pantai
selatan pulau Timor dan pulau Semau yang memiliki elevasi di bawah 40,7 m.; Pantai wisata
Tablolong hanya akan terkena dampak tsunami berupa refleksi dari gelombang tsunami terhadap
pulau Semau (Nahak dkk, 2017) dan di pantai Makasar dengan pemodelan penjalaran tsunami
menggunakan SiTProSVer. 1.5, didapatkan bahwa tsunami dapat mencapai Pantai Losari
Makassar sekitar 6.07 menit setelah gempa pertama dan dapat mencapai 9.0 meter run-up. Hal
ini menjadi dasar pembuatan peta evakuasi sebagai alternatif terbaik mitigasi tsunami di Pantai
Losari Makassar (Baeda dkk, 2016).
Bagi warga tidak segera merespon maka diperlukan pihak lain yang mendorong agar dapat
mendukung terlaksananya evakuasi segera. Hal ini utamanya bagi kelompok rentan terdampak
seperti kelompok lansia, anak-anak, ibu hamil, dan kelompok difabel.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, salah satu pekerjaan
rumah pemerintah daerah yaitu membangun infrastruktur mitigasi yang memadai dikawasan
rawan bencana, seperti misalnya rambu penujuk jalur evakuasi yang terbaca jelas termasuk pada
malam hari, jalan yang memadai untuk dapat dilalui warga saat harus berlari, dan terdapat
gedung penyelamatan. Hal ini tentu harus disosoalisasikan kepada warga secara rutin dan warga
diminta secara bersama-sama untuk merawat fasilitas mitigasi bencana agar memiliki rasa
tanggungjawab bersama bahwa kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana juga untuk
kepentingan mereka.

18
Salah satu upaya agar sistem peringatan dini bencana dapat berjalan efektif adalah dengan
memperbaiki sistim peringatan dini bencana secara terus menerus di wilayahnya. Jika tetap
memilih untuk tinggal diwilayah rawan bencana maka bekal untuk meminimalisir risiko bencana
juga harus dimiliki. Masyarakat tentu tidak dapat selamanya bergantung pada pemerintah, namun
perlu membangun partisipasi masyarakat dalam bentuk pengembangan kesadaran sosial dan
membangun budaya selamat bencana serta evakuasi mandiri.
Informasi untuk para wisatawan lokal yang sering datang berkinjung pada waktu-waktu tertentu
dapat dilakukan dengan menggunakan flyer selain ketersedianan informasi di sosial media.
Karena belum tentu pada saat sosilisasi wisatwan lokal sedang berada di pantai dan mengetahui
adanya latihan evakuasi tsunami.

Respon warga lokal tentang kesiapsiagaan menghadapi tsunami masih sangat minim, stimulus
yang diperoleh baru sampai pada pengetahuan tentang evakuasi saat gelombang tsunami tiba.
Padahal kesiapsiagaan menghadapi potensi tsunami unsurnya masih sangat banyak antara lain
seperti kesiapsiagaan evakuasi pada level anggota keluarga (siapa yang harus didahulukan untuk
ditolong, surat-surat berharga apa saja yang harus diamankan, kendaraan apa saja yang dapat
digunakan untuk evakuasi, bagaimana menolong anggota keluarga yang rentan seperti difabel,
ibu hamil, lansia dan sebagainya). Warga juga harus memiliki informasi siapa saja sanak famili
diluar kota terdekat yang dapat dijadikan tempat mengungsi dalam beberapa waktu. Selain itu
warga juga belum memperoleh informasi tentang mitigasi struktural bahwa diwilayah tersebut
harus dibuat berbagai jenis bangunan seperti pemecah gelombang, tanggul atau perbukitan untuk
menahan gelombang tsunami yang menuju kedaratan.

Rekomendasi
Optimalisasi pada unsur-unsur stimulus agar proses organisme mengolah stimulus dapat optimal
sehingga dapat menimbulkan respon yang sesuai dengan tujuan komunikasi.
Perlu dibuat assestment untuk memperoleh data tingkat kapasitas masyarakat seperti
kepemilikan alat komunikasi (radio, tv, handphone, kentongan dsb) hal ini diperlukan untuk
mengukur kecepatan akses informasi saat terjadi bencana.
Perlu dibuat pemetaan indeks kesiapansiagaan warga dalam menghadapi bencana sehingga dapat
ditentukan wilayah mana saja yang paling diprioritaskan untuk memperoleh sosialisasi yang
lebih dalam atau memerlukan pengulangan. Jika monitoring terhadap kesiapsiagaan warga
dalam evakuasi dapat dipetakan dengan baik maka akan memudahkan dalam pengambilan
keputusan saat tindakan lapangan dilakukan.

Daftar Pustaka

19

Anda mungkin juga menyukai