Anda di halaman 1dari 6

Mitigasi Bencana Tsunami

Studi Kasus Tsunami Aceh


1. Gambaran Umum Wilayah

Secara geografis daerah Aceh adalah Provinsi Aceh terletak di bagian barat Indonesia
tepatnya di bagian ujung Pulau Sumatera. Secara geografis Aceh terletak antara 2° - 6°
lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan, dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas
permukaan laut Secara kewilayahan, propinsi ini berbatasan dengan daerah disekitarnya.
Adapun batas- batas wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam antara lain meliputi :

• Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

• Di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia

• Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka

• Di sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara

Gempa dan gelombang tsunami yang melanda wilayah Aceh dan sekitarnya bagaimana
pun harus disikapi secara khusus. Baik masyarakat yang tinggal di wilayah tsunami maupun
pemerintah, instansi, badan dan masyarakat dunia lainnya perlu sama-sama mempersiapkan
diri menghadapi kejadian serupa di masa datang. Perhatian khusus perlu diberikan mengingat
Indonesia dan puluhan negara berada di wilayah pertemuan lempeng tektonik yang rentan
gempa dan tsunami. sunami ditimbulkan oleh gempabumi berkekuatan 9,3 SR yang berpusat
di 3,3 LU - 95,98 BT Gempa tersebut telah menimbulkan getaran kuat dan patahan sepanjang
± 1200 km yang membentang dari Aceh sampai ke Andaman India. Tragedi tsunami akhir
tahun 2004 tersebut telah meninggalkan kesedihan dan penderitaan luar biasa bagi
masyarakat Provinsi Aceh dan Sumatera Utara khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya. Merujuk data dari BNPB, 173.741 jiwa meninggal dan 116.368 orang dinyatakan
hilang, sedangkan di Sumatera Utara 240 orang tewas.

2. Analisis Persoalan Pengembangan Wilayah

Proses patahan bumi yang pecah dan bergerak tiba-tiba pada waktu gempa besar
menimbulkan goncangan yang sangat keras di daerah sumber dan sekitarnya. Goncangan ini
tentunya dapat menimbulkan kurasakan padalingkungan hidup manusia. Apabila gempa bumi
terjadi di bawah laut maka pengangkatan dasar laut yang terjadi menyebabkan terjadinya
tsunami. Tsunami berbeda dengan gelombang laut biasa. Gelombang laut biasa terjadi karena
tenaga arus angin di atas sehingga hanya bagian atas dari badan air saja yang bergerak.
Gelombang tsunami menggerakan seluruh badan air dan dengankecepatan yang sangat tinggi.
Dilaut dalam kecpatan gelombang tsunami mencapai 700 km/jam. Makin mendekat ke pantai,
laut makin dangkal sehingga kecepatannya berkurang, namun hal ini membuat amplitudo
gelombang semakin besar. Oleh karena itu tsunami bisa sangat berbahaya, walaupun dengan
tingi gelombang yang hanya 1-3 meter sama seperti gelombang badai biasa tapi daya
momentumnya jauh lebih besar. Efek terjangan tsunami dapat menimbulkan kerusakan hebat
pada lingkungan alam dan lingkungan hidup manusia seperti yang terjadi tsunami Aceh tahun
2004. Berdasarkan katalog gempa (1629 – 2002) di Indonesia pernah terjadi tsunami
sebanyak 109 kali, yakni 1 kali akibat longsoran (landslides), 9 kali akibat gunung berapi dan
98 kali akibat gempa bumi tektonik. Gempa yang menimbulkan tsunami sebagian besar
berupa gempa yang mempunyai mekanisme fokus dengan komponen dip-slip, yang terbanyak
adalah tipe thrust (Flores, 1992) dan sebagian kecil tipe normal (Sumba, 1977). Gempa
dengan mekanisme fokus strike slip kecil sekali kemungkinan untuk menimbulkan tsunami.

Berdasarkan pengamatan dan survai lapangan yang telah dilakukan, gelombang


tsunami telah masuk sejauh tidak kurang dari dua kilometer di banyak bagian yang
morfologinya relatif datar seperti kota~kota Banda Aceh dan Meulaboh. Aspek morofologi
yang relatif datar ini akan menjadi bagian penting bagi pertimbangan pembangunan kembali
Aceh pasca bencana gempa dan tsunami.

Gambar 1. Sumber Gempa Bumi di Lepas Pantai Barat Sumatera


Bencana di Aceh memberikan pelajaran beberapa aspek penting yang perlu dipelajari
dan diperhatikan dalam pembangunan kembali Aceh pasca bencana tsunami. Aspek penting
tersebut adalah didasarkan atas:

- Kajian tingkat kerusakan, pemetaan daerah terkena tsunami dan kondisifisik dan
ekologis kawasan pesisir pasca bencana tsunami.
- Pemetaan kembali wilayah pesisir terutama akibat adanya penurunan daratan kawasan
pesisir
- Pembuatan zonasi kerentanan multibencana (gempa, tsunami, banjir, longsor dan lain-
lain).
- Aspek pendidikan bencana
Dalam penataan ruang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan
ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk pengendalian terhadap
kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu berkontribusi dalam pengurangan resiko
bencana. Hal ini dapat dilakukan melalui pengakomodasian kajian dan pemetaan zona
kebencanaan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan struktur dan pola ruang dalam
RTRW. Tidak sekedar menempatkan kawasan rawan bencana sebagai salah satu zona, tetapi
juga menempatkan kawasan budidaya dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
bencana pada kawasan tersebut.
Pada dasarnya kebencanaan merupakan suatu aspek yang tidak dapat terpisahkan
dengan ilmu perencanaan wilayah dan kota sendiri. Bencana yang terjadi karena adanya
pertemuan antara Hazard dan Vulnerability, bukanlah sesuatu hal yang sama sekali tidak
dapat dihindari atau paling tidak diminalisir dampaknya. Resiko dari terjadinya bencana pun
akan semakin meningkat ketika tidak adanya kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat di

Risk= Hazard X Vulnerability

Capacity

daerah tersebut.
Upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan
dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan
substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana dimaksudkan sebagai penataan ruang yang
memuat pengurangan resiko bencana sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi
pembangunan. Dalam hal ini, dapat diintegrasikan dengan gagasan Penataan Ruang
Istimewa.
Jadi penataan ruang istimewa bukan sekedar penataan ruang wilayah yang mengakomodasi
ruang-ruang keistimewaan, tetapi juga berbasis pada pengurangan resiko bencana.

3. Konsep penanganan persoalan pengembangan wilayah Berbasis Mitigasi Bencana

Pengurangan resiko bencana, atau lebih populer dengan mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Pengertian
ini menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana bersifat preventif dan harus diletakkan
pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang mengikat bagi pelaku
pembangunan. Instrumen ini berperan sebagai guidence pembangunan sekaligus memastikan
bahwa secara substansial memuat rekomendasi pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi
resiko bencana. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat
diletakkan melalui penataan ruang.

Hingga kini terdapat berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan aspek kebencanaan


didalam perencanaan tata ruang. Tanpa kita sadari permukiman sudah banyak terbangun di
perbukitan yang rawan longsor ataupun banjir. Seperti bangun dari tidur, pada akhirnya
muncul berbagai program atau kegiatan mitigasi baik struktural maupun non-struktural untuk
menghadapi permasalahan tersebut. Karena bukanlah hal yang mudah untuk merelokasi
permukiman yang sudah terbangun di suatu tempat ke area lain yang dianggap relatif lebih
aman terhadap bencana. Berbagai program atau kegiatan mitigasi bencana tersebut menjadi
suatu pengungkit tersendiri yang diharapkan mampu mengurangi kerentanan ataupun
meningkatkan kapasitas.

Ada beberapa mitigasi bencana yang dapat di lakukan dalam mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat bencana gempabumi dan tsunami, yaitu :

a. Hazard Assessment (Mengadakan analisis bahaya yang akan ditimbulkan)

Gempa bumi berakibat langsung dan tak langsung. Akibat langsung adalah getaran,
bangunan rusak/roboh, gerakan tanah (tanah terbelah, bergeser), longsor, liquification
(berubah sifat menjadi cairan), tsunami dan lain-lain. Sedangkan akibat tidak langsung adalah
gejolak sosial, kelumpuhan ekonomi, wabah penyakit, gangguan ekonomi, kebakaran dan
lain-lain. Sebenarnya akibat gempa ini tergantung dari kekuatan gempa dan lokasi kejadian.
Lokasi kejadian apakah di kota, di desa atau di hutan, tentunya tingkat bahaya akan lebih
tinggi bila terjadi di kota.

b. Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia


Untuk melaksanakan mitigasi bencana , salah satu tindakan adalah membuat suatu
sistem peringatan dini. Seperti kita ketahui bahwa gempabumi dan tsunami yang terjadi di
Aceh yang lalu telah menalan banyak korban dan keruskan di berbagai negara dan Indonesia
mengalami dampak paling parah.

Prinsip dasar pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah bahwa ada
selang/jeda waktu antara terjadinya gempabumi dengan tsunami. Jeda waktu antara kejadian
gempabumi dengan tsunami yang tiba dipantai terjadi karena dalam pembentukan tsunami
perlu proses dan adanya perbedaan kecepataan antara gelombang gempaumi dengan tsunami.
Kecepatan gelombang gempabumi jauh lebih cepat dibandingkan dengan gelombang
tsunami. Sehingga gelombang gempabumi akan lebih dahulu sampai di pantai dibandingkan
gelombang tsunami.

Saat ini BMG telah mengoperasikan system TREMORS (Tsunami Risk Evaluation
Through Seismic Moment from a Real-time System) untuk mendeteksi gempa bumi yang
menimbulkan tsunami . Namun belum efektif, karena informasi yang keluar lebih dari 30
menit setelah gempabumi terjadi. Hal ini karena TREMORS bekerja berdasarkan pembacaan
waktu tiba gelombang primer, gelombang sekunder, gelombang permukaan dan amplitudo.
Hal ini menyebabkan sistem ini tidak efektif sebagai peringatan dini tsunami lokal

c. Educational Program (Program Pendidikan)

Pengetahuan dan pemahaman mengenai bencana alam sangat penting untuk semua
lapisan masyarakat, sehingga perlu dimasukan dalam program pendidikan sejak usia dini atau
sejak pendidikan dasar. Sebelum resmi masuk di dalam kurikulum pendidikan maka BMG
Wilayah I telah melakuakn sosialisasi tentang peningkatan pemahaman masyarakat ini ke
sekolah-sekolah di Sumatera Utara, tujuannya adalah agar siswa paham bahwa di wilayah
Indonesia khususnya Sumatera Utara ini merupakan daerah yang rawan bencana alam. Sejak
dini para siswa diharapakan mampu mengantisipasi bila bencana datang agar dampak
bencana dapat diminimalkan.
d. Land Use Manajemen

Dalam penggunaan lahan juga sangat perlu diperhatikan kemungkinan terjadi bencana.
Misalnya: untuk mengurangi laju arus tsunami di pinggir pantai perlu dipelihara/ditanam
tanaman yang mampu mengurangi laju gelombanga tsunami, mislanya mangrove harus tetap
dipertahankan, menanam pohon-pohon dengan skala luas di sekitar pantai dsb.

Anda mungkin juga menyukai