Anda di halaman 1dari 9

PROPOSAL KEPERAWATAN BENCANA

TSUNAMI

Disusun Oleh :
Caca Rohali Sinaga (190204025)

Dosen Pengajar : Ns. Edriyani Yonlafado,M.Kep

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
KEPERAWATAN
2020/2021
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang sangat ditakuti di Indonesia. Pada
saat 2004 silam saja, bencana alam ini merenggut ratusan ribu jiwa warga Aceh. Bahkan,
masyarakat sekitar pantai apabila merasakan gempa yang cukup besar akan melakukan
evakuasi diri menuju tempat yang lebih tinggi karena khawatir akan terjadi bencana tsunami.
Salah satu bencana geologi ini sering terjadi di negara-negara yang termasuk ke dalam
daerah Cincin Api Pasifik (ring of fire). Daerah cincin api pasifik ini sangat rentan terjadi
gempa vulkanik maupun tektonik sehingga sangat berpotensi juga untuk terjadi tsunami andai
kata pusat gempa berada di lautan. Negara-negara yang rawan terkena bencana ini di
antaranya adalah Indonesia, Jepang, Filipina, Papua Nugini, India, Bangladesh, Maladewa,
dan Australia.

B. Tujuan
1. Apa pengertian tsunami?
2. Bagaimana karakteristik tsunami?
3. Bagaimana sejarah tsunami?
4. Apa saja jenis-jenis tsunami?
5. Apa penyebab terjadinya tsunami?
6. Bagaimana mitigasi bencana tsunami?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tsunami
Istilah tsunami merupakan adopsi dari bahasa Jepang. Tsunami menurut
Beni (2006), adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang sekarang

sudah menjadi istilah yang biasa dipakai di seluruh penjuru dunia. Tsunami
berasal dari kata tsu yang berarti pelabuhan dan nami memiliki arti ombak.
Masyarakat Jepang biasanya setelah terjadi bencana tsunami akan pergi ke

pelabuhan untuk melihat seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan,


sehingga dipakailah istilah tsunami (Sutowijoyo 2005).

Tsunami merupakan salah satu Bencana Alam yang sering terjadi di


Indonesia. Tsunami adalah gelombang besar yang dihasilkan oleh gempa

bumi di dasar samudera, Gunung Meletus, atau longsoran masa batuan di


sekitar basin samudera (Djunire 2009). Simandjuntak (1994) mengartikan

tsunami sebagai salah satu kejadian alam yang dicirikan oleh terjadinya
pasang naik yang besar secara mendadak yang biasanya terjadi sesaat setelah

terjadi guncangan Gempa Bumi tektonik. Gelombang yang dihasilkan oleh


bencana alam ini dapat menghancurkan daerah pemukiman yang berada di

dekat pantai.
Berdasarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)

(2006), tsunami adalah gelombang laut yang mampu menjalar dengan


kecepatan tinggi hingga lebih dari 900 km/jam, gelombang ini disebabkan

oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut.


Tsunami sendiri sangat berkaitan dengan perubahan bentuk dasar laut dengan

cepat karena adanya faktor-faktor geologi, seperti letusan gunung berapi


ataupun gempa bumi (Sudrajat 1994).

B. Karakteristik Tsunami
Karakteristik umum dari tsunami pada dasarnya berbeda dengan
karakteristik ombak pada biasanya. Ombak merupakan gelombang air yang

dihasilkan dari tiupan angin, sedangkan tsunami merupakan gelombang yang


dibentuk akibat adanya kegiatan geologi bumi. Tsunami merupakan

gelombang yang dapat mencapai panjang gelombang lebih dari 150 km, serta
memiliki kecepatan gelombang seperti pesawat jet, yaitu sekitar 800 km/jam
(King 1972).

Menurut PVMBG (2006), kecepatan gelombang tsunami bergantung


pada kedalaman laut.

Pada laut dalam, tsunami akan bergerak dengan kecepatan yang sangat
tinggi, yaitu 500 sampai dengan 1000 km/jam. Siklus terjadinya gelombang

kembali berkisar antara hitungan menit sampai satu jam. Saat mendekati
pantai gelombang akan melambat dan ketinggian gelombang akan meninggi.

Tinggi gelombang ini dapat berubah karena adanya konversi energi dari
bentuk energi kinetik menjadi energi potensial. Berkurangnya kecepatan

gelombang yang artinya ada perpindahan energi menjadi energi potensial


yang menyebabkan bertambah tingginya gelombang (Diposaptono dan

Budiman 2006).

C. Sejarah Tsunami
Istilah tsunami mulai tersebar luas di belahan dunia setelah terjadinya

gempa besar di Jepang yang menyebabkan tsunami sehingga menewaskan


sekitar 22 000 orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 km.

Kejadian tersebut terjadi pada 15 Juni 1896 (Badan Meteorologi dan Geofisika
2010). Di Indonesia, tsunami diperkirakan terjadi pertama kali pada tahun 1618

di Nusa Tenggara Barat. Dalam kurun waktu tahun 1600 sampai 2006,
Indonesia telah mengalami 108 kali kejadian tsunami. Sekitar 90% tsunami di

Indonesia disebabkan gempa tektonik, 9% akibat letusan gunung api, dan


hanya 1% dipicu oleh tanah longsor.
D. Jenis-Jenis Tsunami
Klasifikasi tsunami berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi
tsunami vulkanik dan tsunami tektonik. Jenis tsunami vulkanik adalah jenis

tsunami yang disebabkan gempa yang berasal dari kegiatan vulkanik bumi,
sedangkan tsunami tektonik disebabkan karena adanya gempa yang terjadi

akibat aktivitas tektonik bumi.


Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009,

berdasarkan karakteristiknya tsunami dibedakan menjadi tsunami lokal dan


tsunami berjarak.

1. Tsunami Lokal
Tsunami lokal berhubungan dengan episentrum gempa di sekitar pantai

sehingga waktu tempuh dari sumber kejadian sampai ke bibir pantai berkisar
antara lima sampai tiga puluh menit. Biasanya dampak dari tsunami ini cukup

besar karena kekuatan dari gelombang masih sangat terasa ketika sudah
mencapai daratan.

2. Tsunami Berjarak
Tsunami berjarak adalah jenis tsunami yang paling umum terjadi di
pantai-pantai yang bertemu langsung dengan Samudera Pasifik. Jenis tsunami
ini memiliki sumber penyebab yang jauh dari bibir pantai sehingga kekuatan

gelombang yang dihasilkan tidak sebesar tsunami lokal. Waktu tempuh pada


saat gempa sampai terjadinya tsunami di daratan berkisar antara 5.5 jam

sampai 18 jam.

E. Penyebab Terjadi Tsunami


Tsunami menurut PVBMG (2006), dapat terjadi dari gempa tektonik

maupun vulkanik apabila memenuhi syarat berikut:


1. pusat gempa terjadi di dasar laut;
2. kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km;
3. magnitude lebih besar dari 6.0 skala Richter;

4.  jenis patahan tergolong sesar naik atau sesar turun.


Sedangkan menurut King (1972) dan Anhert (1996), faktor-faktor yang

dapat menyebabkan tsunami adalah sebagai berikut:


1. ada retakan di dasar laut yang disertai dengan suatu gempa bumi;

retakan di sini maksudnya adalah suatu zona planar yang lemah yang
melewati daerah kerak bumi;

2. ada tanah longsor, baik yang terjadi di bawah air atau yang berasal
dari atas lautan yang kemudian menghujam ke dalam air;

3. ada aktivitas gunung berapi yang terletak di dekat pantai atau di


bawah air yang sewaktu-waktu dapat terangkat atau tertekan seperti

gerakan yang terjadi pada retakan;


4. berbeda halnya dengan badan meteorologi dan geofisika (2010),

menurut lembaga ini tsunami akan terjadi jika kekuatan gempa lebih
dari 7.0 sr, lokasi pusat gempa di laut dengan kedalaman kurang dari

70 km, serta terjadi deformasi vertikal dasar laut;


5. gelombang tsunami paling sering disebabkan oleh gempa tektonik

dangkal di perairan samudera Pasifik.

F. Mitigasi Bencana Alam Tsunami


Mitigasi adalah suatu aktivitas untuk mengurangi dampak kerusakan atau

kehilangan nyawa. Aktivitas mitigasi bencana alam diperoleh melalui berbagai


tindakan analisis risiko untuk menghasilkan berbagai informasi perencanaan

mitigasi (FEMA 2008). Menurut Ihsan (2017), mitigasi bencana adalah istilah
yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi

dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum suatu bencana
terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka
panjang. Mitigasi bencana tsunami dapat didekati dengan dua pendekatan,

yaitu pendekatan non-fisik dan pendekatan fisik.


1. Pendekatan Mitigasi Non-Fisik

Mitigasi bencana tsunami dengan pendekatan non fisik biasanya


dilakukan dengan memetakan tingkat kerawanan daerah tertentu terhadap

bencana tsunami selanjutnya diadakan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat


terkait dengan berbagai hal yang berkaitan dengan tsunami. Hal-hal yang

disosialisasikan kepada masyarakat biasanya mengenai:


 pengertian tsunami;

 penyebab terjadinya tsunami;


 ciri-ciri akan terjadinya tsunami;

 dampak bencana alam tsunami;


 cara penyelamatan diri dan evakuasi jika terjadi bencana.

Sosialisasi ini penting agar masyarakat nantinya paham dan mengerti


2. Pendekatan Mitigasi Fisik

Mitigasi bencana dengan pendekatan fisik dapat dilakukan dengan


upaya struktural, non-struktural, maupun gabungan antar keduanya. Pemilihan

upaya mitigasi fisik ini bergantung pada kondisi fisik pantai, tata ruang, tata
guna lahan, serta modal yang tersedia. Mitigasi fisik tsunami dapat dilakukan

dengan beberapa cara, di antaranya adalah:


Pendekatan Non-Struktural dengan Sabuk Hijau (Green Belt

a. Pendekatan non-struktural dengan sabuk hijau misalnya perlindungan

daerah pantai dari bencana tsunami dengan menggunakan vegetasi, seperti


cemara laut (Casuarina equisetifolia), bakau, pohon api-api, nipah, dan

vegetasi lainnya yang berhabitat di pantai. Mitigasi dengan cara ini harus
memenuhi persyaratan teknis dari vegetasi tersebut dalam meredam
gelombang. Salah satu parameter yang paling penting adalah nisbah dari
lebar hutan bakau dari pantai sampai ujung hutan mangrove yang

menghadap langsung ke laut (B) dengan panjang gelombang tsunami (L), atau
dapat dirumuskan dengan B/L. Semakin besar nilai B/L maka semakin efektif

metode mitigasi bencana tsunami dengan sabuk hijau. Hutan mangrove atau
hutan bakau juga sangat efektif dalam meredam gelombang air laut atau

ombak. Hutan mangrove ini dapat mencegah terjadinya abrasi juga.


b. Pendekatan Struktural dengan Peringatan Dini

Salah satu upaya struktural dalam mitigasi bencana ini adalah


pemberitahuan dini terjadinya tsunami. Penyampaian informasi ini dapat

menggunakan sirene, lonceng, bel, dan sebagainya. Pemasangan alat


pendeteksi dini mutlak harus dilakukan pada metode ini. Sistem peringatan

dini menggunakan alat sensor kenaikan tinggi muka air laut, satelit buatan,
dan receiver gelombang yang langsung terhubung dengan alat pemberi tahu

bahaya bencana tsunami.


c. Bangunan Sipil Penahan Tsunami

Bangunan sipil yang dikhususkan untuk menahan bencana tsunami di


Indonesia belum pernah dibangun. Bangunan sipil ini dapat kita temui di

negara Jepang. Meskipun sangat efektif dalam meredam terjangan


gelombang air, bangunan ini dinilai merusak nilai estetik dari suatu lanskap di

pantai.
d. Bangunan Sipil untuk Evakuasi

Lokasi evakuasi harus mudah dijangkau apabila bencana tsunami benar-


benar terjadi. Lokasi evakuasi dapat berupa lahan yang memiliki ketinggian

tertentu dan bangunan tinggi yang tahan terhadap gelombang dan getaran
gempa. Apabila suatu pemukiman jauh dari dataran yang memiliki elevasi

yang tinggi maka perlu dibuat suatu bangunan sipil yang dikhususkan untuk
evakuasi. Bangunan ini sangat penting untuk mengurangi jumlah korban
akibat dari lambatnya proses evakuasi ke daerah yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai