Anda di halaman 1dari 12

UPAYA PERLINDUNGAN PANTAI DARI TERJANGAN TSUNAMI

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH

OSEANOGRAFI FISIKA

DISUSUN OLEH :

NAMA : RATI

NIM : L011181008

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagian besar dari bumi adalah samudra atau lautan yang dapat mendukung
kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup di bumi, diantara pulau-pulau yang
terpisah satu dengan yang lainnya pasti dikelilingi oleh air. Oleh karenanya
pengetahuan mengenai ilmu geologi dan oceanografis tentang samudra dan laut
dianggap sangat vital guna kelangsungan hidup penghuninya termasuk manusia.
 Perubahan permukaan laut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat
di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau
hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah.
Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi
ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat
dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang.
Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju
gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika
mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per
jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter.
Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai.
Salah satu bencana geologi ini sering terjadi di negara-negara yang termasuk
ke dalam daerah Cincin Api Pasifik (ring of fire). Daerah cincin api pasifik ini sangat
rentan terjadi gempa vulkanik maupun tektonik sehingga sangat berpotensi juga untuk
terjadi tsunami. Negara-negara yang rawan terkena bencana ini di antaranya adalah
Indonesia, Jepang, Filipina, Papua Nugini, India, Bangladesh, Maladewa, dan
Australia.
Bencana alam tsunami dapat memporak – porandakkan suatu wilayah yang
diterjangnya. Tinggi ombak dapat mencapai 15 meter dengan kecepatan yang sangat
tinggi ketika berada di daratan. Banyaknya dapak negatif yang ditimbulkan pasca
tsunami seperti rusaknya tatanan kehidupan masyarakat, banyaknya korban jiwa,
tinginya kadar salinitas tanah dan lain sebagainya. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang diperlukan upaya perlindungan pantai dari terjangan tsunami.
Menyadari dahsyatnya bencana yang diakibatkan oleh tsunami, dan potensi
kemungkinan terjadinya tsunami di pantai pantai Indonesia cukup besar maka upaya
perlindungan pantai dari bencana tsunami sudah mendesak untuk diupayakan.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk dapat memahami upaya perlindungan pantai dari
terjangan bencana alam tsunami dengan menggunakan beberapa metode
perlindungan pantai seperti mitigasi non-struktural dan metode struktural.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penertian Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang: Tsu yang berarti pelabuhan, Nami yang
berarti gelombang, secara harafiah berarti “ombak besar di pelabuhan” yang artinya
adalah perpindahan badan air atau gelombang laut yang terjadi karena adanya
gangguan impulsif. Gangguan impulsif tersebut terjadi akibat adanya perubahan
bentuk dasar laut yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal
dengan tiba-tiba atau dalam arah horizontal.
Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang
berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau
atau hantaman meteor dilaut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah.
Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi
ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat
dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang.
Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju
gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika
mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per
jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter.
Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai.
Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena
hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Dampak
negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya.bangunan,
tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan
genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Sejarawan
Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami
dengan gempa bawah laut. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai
penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk
memahami penyebab tsunami. Geologi, geografi, dan oseanografi pada masa lalu
menyebut tsunami sebagai “gelombang lautseismik”.
Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan
gelombang badai yang disebut sebagai meteor Tsunami yang ketinggiannya beberapa
meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai daratan, bentuknya
bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya bisa
menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar)
pada Mei 2008
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre
(PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah
ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami
Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia. Bukti-bukti historis
menunjukkan bahwa megatsunami mungkin saja terjadi, yang menyebabkan beberapa
pulau dapat tenggelam.

B. Penyebab Terjadinya Tsunami

Tsunami dapat terjadi jika terjadinya gangguan yang menyebabkan


perpindahan sejumlah besar air atau ombak raksasa, letusan gunung api, gempa
bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat
gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh
gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau
turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada
di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai
di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut dimana gelombang
terjadi, yang kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami
mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya
sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya.
Di tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa
meter, namun saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan
meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan
merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa
ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer. Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada
patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi,
dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua. Tanah longsor yang
terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan
air laut yang dapat menghasilkan tsunami.
Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya,
dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di
atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang
jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi
megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan terjadinya tsunami. Faktor
penyebab terjadinya tsunami itu adalah
1. Gempa bumi yang berpusat dibawah laut, Meskipun demikian tidak semua gempa
bumi dibawah laut berpotensi menimbulkan tsunami. Gempa bumi dibawah laut yang
dapat menyebabkan terjadinya tsunami adalah gempa bumi dengan kriteria sebagai
berikut
Gempa bumi yang terjadi di dasar laut.
Pusat gempa kurang dari 30 km dari permukaan laut.
Magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 SR
Jenis pensesaran gempa tergolong sesar vertikal (sesar naik atau turun).
Tsunami besar yang terjadi padatahun 1883 adalah akibat meletusnya Gunung
Krakatau yang berada di Selat Sunda. Meletusnya Gunung Tambora di Nusa
Tenggara Barat pada tanggal 10-11 April 1815 juga memicu terjadinya tsunami yang
melanda Jawa Timur dan Maluku. Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada
di wilayah ring of fire (sabuk berapi) dunia tentu harus mewaspadai ancaman ini.
2. Longsor bawah laut, longsor bawah laut ini terjadi akibat adanya tabrakan antara
lempeng samudera dan lempeng benua. Proses ini mengakibatkan terjadinya palung
laut dan pegunungan. Tsunami karena longsoran bawah laut ini dikenal dengan nama
tsunamic submarine landslide.
3. Hambatan meteor laut, jatuhnya meteor yang berukuran besar di laut juga
merupakan penyebab terjadinya tsunami.
4. Rambatan Tsunami Kecepatan rambat gelombang tsunami berbeda-beda,
tergantung pada kedalaman laut. Di laut dalam, kecepatan rambat tsunami mencapai
500 – 1000km per jam atau setara dengan kecepatan pesawat terbang namun
ketinggiangelombangnya hanya sekitar 1 meter.Ketika gelombang tsunami ini sudah
mendekati pantai, kecepatan rambatnya hanya sekitar 30 km per jam, namun
ketinggian gelombangnya bisa mencapai puluhan meter. Ini sebabnya banyak orang
yang sedang berlayar di laut dalam tak menyadari adanya tsunami. Mereka baru
mengetahui tsunami telah terjadi ketikatiba di daratan dan menyaksikan kehancuran
mengerikan yang disebabkan oleh tsunami.

C. Upaya Perlindungan Pantai dari Terjangan Tsunami

Kota yang terletak pada kawasan teluk, memiliki dampak risiko yang lebih tinggi
terhadap bahaya tsunami bila dibandingkan dengan kota pantai di pesisir lainnya.
Kedahsyatan tsunami mampu memporak porandakan sebuah kota pantai, sehingga
dibutuhkan kebijakan pemerintah pada periode waktu mendatang untuk menyusun
evaluasi dan strategi terhadap tata ruang kota pantai yang ada. Terdapat 3 tahap
dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Strategis.
Pertama, melakukan pemetaan wilayah bahaya limpasan tsunami (tsunami
hazard/ inundation mapping) pada wilayah yang bersangkutan yang dilakukan oleh
para ahli yang berkompetensi terhadap bencana alam (natural hazard)
gempa/tsunami.
Kedua, berdasarkan peta tersebut dilakukan evaluasi dan penyusunan rencana
strategis tata ruang. Rencana strategis ini mencakup relokasi dan pembangunan
kembali kawasan yang terlanda bencana, termasuk infrastruktur yang diperlukan oleh
wilayah yang bersangkutan, seperti jalur-jalur evakuasi, rambu penunjuk lokasi
perlindungan, stasiun pemantau, dan instalasi peringatan dini.
Ketiga, penyusunan prosedur dan skenario evakuasi bila terjadi
bencana.Langkah langkah tersebut merupakan langkah tindak untuk mitigasi bencana
non struktural. Secara umum, praktek upaya mitigasi bencana alam dapat dibagi
menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan non struktural. Mitigasi struktural
berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, seperti membuat
desain rekayasa, konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur, membangun
struktur bangunan penahan gelombang, penahan dinding pantai.Mitigasi non-
struktural berkaitan dengan kegiatan peran serta masyarakat, perencanaan tata ruang
yang disesuaikan dengan kerentanan wilayah, seperti menghindari wilayah bencana
yaitu dengan tidak membangun pada kawasan rendaman. Sehubungan dengan hal
itu, maka upaya untuk memberdayakan masyarakat pantai dan institusi pemerintah di
daerah, perlu ditekankan untuk tidak mengubah lingkungan alam yang dapat
melindungi terhadap tekanan tsunami seperti bentang karang laut, bukit pasir pantai,
danau, hutan bakau dan lahan vegetatif pantai, dan unsur geologi lainnya, dapat
meredam dan mengurangi dampak bencana tsunami dengan memberlakukan
Pada prinsipnya setiap kota pantai membutuhkan perlindungan khusus
terhadap bahaya bencana, terutama tsunami. Mitigasi non structural untuk bencana
tsunami, dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah membangun sistem
pertahanan pantai secara alamiah terhadap tsunami. Hal ini dipertimbangkan dengan
adanya fakta (1) kehadiran tebing tinggi pantai (sea cliff), (2) rataan depan pantai
(shore platform), dan (3) sabuk vegetasi pantai seperti nipah dan mangrove di
sepanjang pantai. Dalam situasi normalpun dibutuhkan perlindungan pantai, dari
terjadinya proses abrasi, gempa angin puting beliung (tornado) dan angin topan. Tidak
semua sistem perlindungan dan pertahanan pantai dapat menjamin pantai bebas dari
amukan bencana, akan tetapi upaya sebagai bentuk pengurangan risiko tetap harus
dilaksanakan. Beberapa bentuk system pertahanan secara fisik menjadi bagian utama
sebagai tindakan pengurangan risiko bencana dalam mitigasi struktural.

1. Mitigasi Non Struktural

Mitigasi non struktural menjadi salah satu alternative untuk pengurangan risiko
bencana. Yang termasuk dalam mitigasi non structural adalah perlindungan pantai
dengan konservasi serta pengembangan area vegetasi pantai, dan penataan ruang
pantai melalui evaluasi struktur dan pola ruang kotanya. Sistim pertahanan pantai
melalui konservasi dan pengembangan area bakau, menjadi upaya perlindungan yang
dikategorikan sebagai langkah yang layak dipertimbangkan keberadaannya dan satu
cara untuk merealisasikan yang relative mudah dan murah.
pengurangan risiko bencana di kawasan pantainya dengan memanfaatkan
vegetasi pantai yang tahan terhadap air asin. Kelompok vegetasi ini menjadi hutan
kontrol tsunami yang terletak antara pantai dan bagian kota. Pohon yang mampu
bertahan pada kondisi lahan dan pantai yang asin, dapat bertindak sebagai
penyangga, membantu untuk menangkal energi gelombang dan mengurangi
kecepatan limpasan. Ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami
dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi,
Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi
tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) =
19635,26 joule).
Di Indonesia beberapa jenis tanaman yang umumnya tumbuh dan
berkembang di kawasan pantai adalah jenis bakau, kelapa, waru, ketapang dan
cemara. Vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan laut ini menjadi alasan
utama untuk dipilih dan digunakan sebagai counter tsunami. Di kawasan pesisir pantai
pada umumnya ditemukan jenis vegetasi bakau dan vegetasi tanaman pantai. Hutan
bakau dikenal memiliki multifungsi yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem pantai.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan hutan
bakau adalah dengan menunjuk kawasan hutan bakau sebagai kawasan lindung, baik
itu sebagai kawasan konservasi atau sabuk hijau di sempadan pantai dan sungai.
Hutan bakau selain berfungsi sebagai pelindung dari berbagai bencana alam seperti
tsunami, juga menjadi pelindung dari serangan abrasi, intrusi, pencemaran, dan
penyebaran penyakit. Keberadaan habitat bakau di kawasan pantai sangat diperlukan,
selain sebagai benteng pertahanan dari berbagai bencana alam, juga menjadi tempat
perlindungan dan berpijahnya ikan laut serta udang. Penghijauan hutan bakau
membutuhkan teknik tersendiri. Untuk itu, harus diketahui formasi vegetasi, yaitu unit
vegetasi yang terbentuk karena habitatnya, yang merupakan cakupan dari jenis
tumbuh-tumbuhan yang membentuk hutan bakau itu sendiri. Tidak seluruh pantai di
Indonesia cocok untuk vegetasi bakau. Pada beberapa daerah akan lebih cocok untuk
vegetasi non bakau.
Berdasarkan susunan vegetasinya, terdapat dua bentuk formasi, yaitu formasi
Pres-Caprae dan formasi Baringtonia.Yang termasuk dalam barisan Pres- Caprae
adalah Spinifex littoreus, Crinum asiaticu, Vigna, dan Pandanus tectorius. Yang
termasuk dalam barisan Baringtonia adalah Waru Laut (Hibiscus tiliaceus), Terminalia
catapa Callophylum inophylum. Formasi vegetasi hutan bakau ini berkaitan dengan
lumpur dan kadar garam pada air laut. Beberapa formasi vegetasi darihutan bakau
adalah formasi Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, atau Bruguiera.Formasi Avicennia
dan Sonneratia merupakan dominasi tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dengan
genangan air laut yang tinggi. Di belakang zonasi ini terdapat formasi Bruguiera yang
kadang-kadang bercampur dengan formasi Rhizophora, Xylocarpus, Lumnitiera, dan
Intsia.Jenis vegetasi non bakau yang tumbuh di daerah pantai dan menyusun
ekosistem hutan pantai adalah Casuarina equisetifolia, Pandanus tectorius, Ximenia
Americana, Nephrolepis bisserata, Desmodiu umbellatum.keben (Baringtonia
asiatica), nyamplung (Callophyllum innophylum), waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang
(Terminalia catappa) dan kelapa (Cocos nucifera), serta vegetasi pionir cemara
(Casuarina sp) Perlindungan pantai berbasis vegetasi pantai perlu mempertimbangkan
tingkat „ketebalan‟ dari vegetasi pantainya. Pada prinsipnya semakin tebal sabuk yang
diciptakan akan semakin baik karena memiliki efek mereduksi arus limpasan tsunami
yang terjadi. Kondisi minimum untuk sabuk pantai diperhitungkan selebar 20 meter
dengan jenis vegetasi tertentu. Sebagai contoh, area sabuk dengan ketebalan 20
meter yang berada pada daratan pantai dan terdiri dari pohon pinus mercusii dengan
diameter 13 cm dan interval antar batangnya 1,6 meter mampu untuk mengurangi
desakan puing kearah darat, namun tidak terdapat efek mereduksi tsunami.

2. Mitigasi Struktural

Kerusakan yang terjadi di kawasan pesisir yang dilanda tsunami dapat berupa
kerusakan pada bangunan di sepanjang pantai maupun kematian.Besarnya intensitas
kerusakan di wilayah pesisir karena tsunami itu ditentukan oleh (1) posisi garis pantai
terhadap sumber gelombang; (2) kondisi morfologi wilayah pesisir, dan (3) pola
khusus bentuk datar dari pola morfologi.
Pada saat ini penanggulangan tsunami dilakukan dengan membangun
konstruksi struktur pemecah gelombang tsunami di pantai. Pemecah gelombang
khusus untuk pertahanan tsunami pertama kali dibangun di Jepang Sejak tahun 1970-
an, simulasi numerik tsunami telah dikembangkan di Jepang dan disempurnakan
untuk menjadi skema UNESCO standar untuk 22 negara yang berbeda.
Beberapa sistem penangkal tsunami yang telah dikembangkan adalah Break
Water Pemecah gelombang tsunami adalah struktur lepas pantai yang membatasi
masuknya gelombang tsunami dan badai ke pelabuhan dengan mempersempit pintu
masuk. Seperti pemecah gelombang yang dapat ditemukan di Oofunato Bay Pantai
Sanriku, Jepang . Pemecah gelombang ini dibangun setelah bencana tsunami Chile
1960. Konstruksi pemecah gelombang tsunami berlangsung selama 3 tahun (1963-
1966) tepat di depan pintu masuk teluk Oofunato. Tinggi bangunan in dari dasar
hingga permukaan mencapai 36 m. Pemecah gelombang dibangun sebagai tanggul
bawah air untuk menghilangkan energi gelombang datang.
Tanggul adalah tanah tinggi buatan, namun dapat dibangun dengan membuat
konstruksi beton yang memanjang sejajar dengan garis pantai. Sebagai contoh
tanggul semcam ini dibangun di kota Padang. Pintu air ini digunakan untuk melindungi
lokasi tertentu terhadap gelombang tsunami. Pintu airini akanmenutup secara otomatis
dalam hitungan detik, setelah gempa memicu sensor seismiknya. Sistem pertahanan
structural juga dibangun untuk membatasi ruang antara laut dan pemukiman dengan
ketinggian tertentu. Sebagai contoh di Numazu, Jepang dibangun tembok setinggi 3,6
meter (6 meter dari permukaan laut) untuk mencegah Tsunami.
Tetrapod merupakan unit perlindungan terhadap tekanan gelombang pantai
yang terbuat dari beton dengan empat kaki.Yang perlu diusahakan adalah teknik
menyusunan unit ini di garis pantai, sehingga akibat gelombang tsunami yang besar
tidak terjadi pergeseran yang terlalu besar terhadap tetrapod tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tsunami berasal dari bahasa Jepang: Tsu yang berarti pelabuhan, Nami yang
berarti gelombang, secara harafiah berarti “ombak besar di pelabuhan” yang artinya
adalah perpindahan badan air atau gelombang laut yang terjadi karena adanya
gangguan impulsif.
2. Tsunami dapat terjadi jika terjadinya gangguan yang menyebabkan perpindahan
sejumlah besar air atau ombak raksasa, letusan gunung api, gempa bumi, longsor
maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa
bumi bawah laut.
3. Upaya perlindungan pantai dari terjangan tsunami dilakukan dengan beberapa
metode seperti mitigasi non-struktural yang memanfaatkan kerapat vegetasi pantai
dengan tujuan untuk memnimalisir terjangan tsunami. Selain itu terdapat juga
metode mitigasi struktural yaitu dengan membangun pemecah gelombang, tanggul,
pintu air, tetrapod dan lain sebagainya guna meminimalisir kerusakan akibat
tsunami.
DAFTAR PUSTAKA

Pratikto, W, A. 2004. Mitigasi Bencana Tsunami, Artikel Republika, 31 Desember


2004.

Rachmat, A, 2005. Manajemen dan Mitigasi Bencana‟ Badan Pengendalian


Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Barat.

CB. H. Edyanto. 2015. Sistem Pertahanan Kombinasi Untuk Melindungi Kota Pantai
Dari Bahaya Tsunami. Peneliti Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan Wilayah dan
Mitigasi Bencana Deputi Bidang Pengembangan Alam BPPT. Vol.17.No 2

Anda mungkin juga menyukai