Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana merupakan kejadian luar biasa yang menyebabkan kerugian
besar bagi manusia dan lingkungan dimana hal itu berada diluar kemampuan
manusia untuk dapat mengendalikannya. Bencana merupakaan suatu
keadaanyang tiba-tiba mengancam kehidupan masyarakat karena faktor alam
dan non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibtakan korban jiwa
dan kerusakan lingkungan. Pada awal tahun 2010 setelah letusan Gunung
Merapi mereda, tanah air Indonesia kembali diguncang bencana alam besar:
Tsunami dan gempa bumi di Yogyakarta di kawasan selatan Jawa Barat dan
sebagian Jawa Tengah. Sementara itu, bencana yang berkaitan dengan
fenomena geologi, seperti semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, belum
juga berhenti. Kemudian pada akhir tahun 2010 merapi kembali menyala
yang lebih ganas, diikuti oleh Tsunami Mentawai dan banjir bandang di
beberapa wilayah seperti di Wasior Irian Jaya (BNPB 2010).
Indonesia merupakan negara yang menerima dampak tsunami terbesar
pada tahun 2004. Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang
menerima dampak tersebut. Dampak tsunami 2004 terparah dilaporkan terjadi
di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Tsunami 2004
ini juga menerjang beberapa wilayah lain yang berada di sebelah timur Aceh
seperti Pidie, Bireuen dan Lhokseumawe. Kawasan pantai timur Aceh
tersebut menerima dampak tsunami yang lebih kecil dibandingkan dengan
kawasan di Banda Aceh dan Pantai Barat-Selatan Aceh (Mudhari. 2016).
Salah satu syarat sukses dalam management bencana adalah tenaga
kesehatan. Ketiadaan atau kelemahan ketenaga kesehatan adalah
kebingungan, kehancuran, kerugian, dan malapetaka. Namun justru hal inilah
yang biasanya menjadi titik lemah penanganan bencana di Indonesia,
termasuk kasus penanganan gempa dan tsunami di NAD khususnya pada
saat-saat awal kejadian bencana, dimana untuk tenaga kesehatan perannya
sangat diperlukan (Mudhari. 2016).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Bencana Tsunami ?
2. Apa Saja Klasifikasi Bencana Tsunami ?
3. Apa Penyebab Terjadinya Bencana Tsunami ?
4. Apa Saja Faktor-Faktor Terjadinya Bencana Tsunami ?
5. Apa Saja Tanda-Tanda Bencana Tsunami ?
6. Bagaimana Dampak Terjadinya Bencana Tsunami ?
7. Apa Saja Siklus Bencana ?
8. Bagaimana Pencegahan dan Penangglangan Bencana Tsunami ?
9. Peran Perawat Dalam Bencana Tsunami ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu Memahami Apa Definisi dari Bencana Tsunami
2. Mahasiswa mampu Memahami Apa Saja Klasifikasi Bencana Tsunami
3. Mahasiswa mampu Memahami Apa Penyebab Terjadinya Bencana
Tsunami
4. Mahasiswa mampu Memahami Apa Saja Faktor-Faktor Terjadinya
Bencana Tsunami
5. Mahasiswa mampu Memahami Apa Saja Tanda-Tanda Bencana Tsunami
6. Mahasiswa mampu Memahami Bagaimana Dampak Terjadinya Bencana
Tsunami
7. Mahasiswa mampu Memahami Apa Saja Siklus Bencana
8. Mahasiswa mampu Memahami Bagaimana Pencegahan dan
Penangglangan Bencana Tsunami
9. Mahasiswa mampu Memahami Peran Perawat Dalam Bencana Tsunami

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bencana Tsunami


Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan “tsu” berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak. Tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya
pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami dapat diartikan sebagai
gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan
impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsive tersebut bisa berupa gempabumi
tektonik, erupsi vulkanik atau longsoran (BNPB No.8 Tahun 2011).
Kecepatan tsunami bergantung pada kedalaman perairan, akibatnya
gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai dengan
bertambah atau berkurangnya kedalaman perairan, dengan proses ini arah
pergerakan arah gelombang juga berubah dan energi gelombang bias menjadi
terfokus atau juga menyebar. Di perairan dalam tsunami mampu bergerak
dengan kecepatan 500 sampai 1000 kilometer per jam sedangkan di perairan
dangkal kecepatannya melambat hingga beberapa puluh kilometer per jam,
demikian juga ketinggian tsunami juga bergantung pada kedalaman perairan.
Amplitudo tsunami yang hanya memiliki ketinggian satu meter di perairan
dalam bias meninggi hingga puluhan meter di garis pantai (Puspito, 2010).
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007,
Bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Puspito, 2010).
Bencana dapat terjadi karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa
atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) masyarakat. Hubungan keduanya dapat digambarkan bila
gangguan atau ancaman tersebut muncul kepermukaan tetapi masyarakat
tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang
mengganggu tersebut, sementara bila kondisi masyarakat rentan tetapi tidak

3
terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana (Puspito,
2010).
2.2 Klasifikasi Bencana Tsunami
Menurut Pedoman Indonesia Tsunami Early Warning System
(InaTEWS), tsunami diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Tsunami jarak dekat/lokal (near field/local field tsunami)
Tsunami jarak dekat adalah tsunami yang terjadi di sekitar jarak 200
km dari episenter gempabumi. Tsunami lokal dapat disebabkan oleh
gempabumi, longsor, atau letusan gunung berapi.
2. Tsunami jarak jauh (far field tsunami)
Tsunami jarak jauh adalah tsunami yang terjadi di daerah pantai
yang berjarak ratusan hingga ribuan kilometer dari sumber gempa bumi.
Awalnya merupakan tsunami jarak dekat dengan kerusakan yang luas di
daerah dekat sumber gempa bumi, kemudian tsunami tersebut terus
menjalar melintasi seluruh cekungan laut dengan energi yang cukup besar
dan menimbulkan banyak korban serta kerusakan di pantai yang berjarak
lebih dari 1000 km dari sumber gempa bumi. Waktu tiba tsunami yang
terjadi di Indonesia pada umumnya antara 10-60 menit, hal ini
menunjukkan bahwa tsunami-tsunami yang terjadi di Indonesia adalah
tsunami lokal.
2.3 Penyebab Bencana Stunami
Tsunami dapat terjadi karena adanya gangguan besar di bawah laut
seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, longsor, maupun meteor yang
jatuh ke bumi yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air.
Perpindahan air ini mengakibatkan air laut surut tiba-tiba, kemudian tidak
beberapa lama, air laut yang menyeruak masuk tersebut akan keluar dan
menggulung hebat menjadi gelombang raksaksa yang tingginya bisa lebih
dari belasan meter. Tsunami 90% adalah akibat gempa bumi bawah laut.
Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus,
misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau (BMKG. 2012).
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik
atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air

4
yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air
laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang
mengakibatkan terjadinya tsunami (BMKG. 2012).
Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut dimana
gelombang terjadi, yang kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per
jam. Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih
50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di
tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa
meter, namun saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai
puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai
tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan
mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer. Gerakan
vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga
banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke
bawah lempeng benua (BMKG. 2012).
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga
dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami.
Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya,
dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang
berada di atasnya terganggu. Demikian juga dengan benda kosmis atau
meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar,
dapat terjadi tsunami yang tingginya mencapai ratusan meter (BMKG. 2012).
2.4 Faktor-Faktor Terjadinya Tsunami
1. Gempa Bumi Dibawah Laut
Pada umumnya, tsunami yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
gempa bumi tektonik. Hal ini dikarenakan secara geologis, Indonesia
terletak di antara tiga lempeng besar yakni Lempeng Eurasia, Indo-
Australia, dan Pasifik yang masing-masing bergerak relatif saling
mendekat. Tumbukan yang terjadi antara lempeng-lempeng tektonik ini
menyebabkan terakumulasinya energi yang cukup besar. Jika sebagian
lempeng tersebut patah, maka terlepaslah energi yang sangat besar. Energi
ini yang dirasakan sebagai gempa. Mengingat posisi Indonesia yang

5
sebagian besar wilayahnya adalah perairan, maka besar kemungkinan
untuk gempa bumi terjadi di dasar laut, sehingga potensi untuk terjadinya
tsunami juga menjadi cukup besar. Namun, tidak semua gempa bumi
tektonik dapat berpotensi tsunami. Gempa bumi tektonik bisa berpotensi
tsunami, bila:
a. Gempa bumi dengan kekuatan di atas 6,5 Skala Richter.
b. Kedalaman gempa kurang dari 70 km di bawah permukaan laut.
c. Pola gempa adalah pola sesar naik atau sesar turun.
Gempa bumi di bawah laut dengan karakteristik tersebut dapat
berpotensi terjadinya tsunami. Tsunami akibat gempa bumi di bawah laut
ini berawal dari adanya gerakan vertikal pada lempeng di dasar laut yang
berupa patahan (sesar), patahan di dasar laut tersebut menyebabkan dasar
laut naik dan mendorong volume air ke atas, kemudian gelombang dari
bawah laut bergerak dengan kecepatan tinggi dan air laut terhisap dari
bibir pantai, sehingga mengakibatkan munculnya gelombang raksaksa
yang bergerak menuju pantai. Gelombang yang terbentuk akan merambat
dengan kecepatan bisa mencapai ratusan kilometer per jam dari tengah
samudra atau lautan, hingga akhirnya mendekat ke pesisir dan berubah
menjadi gelombang tinggi berkecepatan rendah namun dengan daya rusak
yang dahsyat, dapat menghantam dan menghancukan bangunan, tanaman,
dan apapun yang ada di depannya (Mudhari. 2016).
2. Letusan Gunung Berapi
Kawasan Indonesia menjadi area benturan antara Lempeng Indo-
Australia yang bergerak ke utara dan Lempeng Pasifik yang relatif kearah
barat. Itulah yang menyebabkan kepulauan Indonesia dihimpit oleh dua
pergerakan, masing-masing ke arah utara dan ke arah barat. Kecepatan
pergerakan itu mencapai 4-6 cm pertahun, maka lempeng yang
bertabrakan tersebut menunjam tepat di tengah Kepulauan Indonesia dan
memberikan kesempatan pada magma untuk naik persis di atas nusantara
dan membentuk banyak pulau yang dikelilingi lautan. Sementara di utara
ada lempeng ketiga, yaitu Lempeng Eurasia yang menahan himpitan
tersebut, sehingga membuat Indonesia berada dalam pertarungan tiga

6
lempeng besar dunia. Akibat benturan ketiga lempeng tersebut, membuat
retaknya beberapa bagian pada kerak bumi, selain menimbulkan panas,
juga memproduksi batuan cair (magma). Melalui retakan-retakan tersebut
yang bisa dikatakan sebagai bidang lemah, magma cair tersebut terdorong
naik ke permukaan bumi dan membentuk kerucut-kerucut gunung api, hal
itu yang disebut zona subduksi. Karena Indonesia dikelilingi oleh gunung
berapi di sepanjang zona subduksi, membuat Indonesia berpotensi besar
untuk mengalami bencana tsunami yang disebabkan oleh letusan vulkanik
gunung berapi. Letusan gunung berapi di bawah laut maupun di atas laut
dapat menjadi penyebab tsunami. Hal ini yang menyebabkan terjadinya
tsunami di Selat Sunda pada bulan Desember 2018 lalu, erupsi dari
Gunung Anak Krakatau diduga menjadi penyebab air laut naik, sehingga
terjadi tsunami (Mudhari. 2016).
3. Longsor Dibawah Laut
Di dasar laut, terdapat struktur permukaan bumi yang mirip dengan
di daratan seperti bukit, lembah, dan cekungan yang bisa longsor. Longsor
di bawah laut ini bisa disebabkan oleh gempa bumi tektonik atau letusan
gunung di bawah laut. Getaran kuat yang ditimbulkan oleh longsor
kemudian bisa menyebabkan terjadinya tsunami.

Gambar Tsunami Akibar Longsor Bawah Laut


Sumber: Ruang guru.com

7
4. Hantaman Meteor
Tsunami yang disebabkan oleh hantaman meteor memang jarang
sekali terjadi, bahkan belum ada dokumentasi yang menyebutkan adanya
tsunami akibat hantaman meteor. Namun, berdasarkan penelitian, hal ini
mungkin saja terjadi karena ada simulasi yang menampilkan bahwa
apabila ada meteor besar dengan diameter lebih dari 1 km mendarat di
lautan, maka akan menimbulkan tsunami yang dahsyat.

Gambar Tsunami Akibar Hantaman Meteor


Sumber: Ruang guru.com

2.5 Tanda-Tanda Terjadinya Bencana Tsunami


Tanda-tanda akan datangnya tsunami di daerah pinggir pantai adalah :
1. Air laut yang surut secara tiba-tiba.
2. Bau asin yang sangat menyengat.
3. Dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang
sangatkeras (BMKS. 2012).
2.6 Dampak Terjadinya Tsunami
Adapaun dampak akibat terjadinya bencana tsunami antara lain :
1. Jumlah korban akibat tsunami banyak (massal), ada yang mengalami luka-
luka, kecacatan dan bahkan kematian
2. Bencana tsunami mengakibatkan kerusakan pada sarana prasarana
kesehatan salah satunya yaitu pelayanan kesehatan Rumah Sakit,

8
Puskesmas, Klinik, alat kesehatan dan obat-obatan juga mengalami
kerusakan atau menghilang akibat terjadinya bencana tsunami.
3. Korban yang selamat sementara tinggal di pengungsian dimana kondisi
tersebut mengakibatkan angka kesakitan dan kematian meningkat,
kekurangan gizi karena keterbatasan ketersedian konsumsi yang layak dan
cukup terutama untuk balita.
4. Gangguan kejiwaan, biasanya korban yang menghadapi tsunami
khususnya anakkecil mengalami trauma yang membutuhkan terapi untuk
menyembuhkannya (Tyas. 2016).
2.7 Siklus Bencana
1. Pra Bencana (Pra Disaster)
a. Pencegahan Terjadinya Bencana ialah langkah-langkah yang dilakukan
untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi secara drastis
akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik
dan lingkungan. Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk menekan
penyebab ancaman dengan cara mengurangi tekanan, mengatur dan
menyebarkan energi atau material ke wilayah yang lebih luas atau
melalui waktu yang lebih panjang (Smith,1992). Cuny (1983)
menyatakan bahwa pencegahan bencana pada masa lalu cenderung
didorong oleh kepercayaan diri yang berlebihan pada ilmu dan
teknologi pada tahun enam puluhan; dan oleh karenanya cenderung
menuntut ketersediaan modal dan teknologi. Pendekatan ini semakin
berkurang peminatnya dan kalaupun masih dilakukan, maka kegiatan
pencegahan ini diserap pada kegiatan pembangunan pada arus utama
(Tyas. 2016).
b. Mitigasi ialah tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada
pengurangan dampak dari ancaman, sehingga dengan demikian
mengurangi kemungkinan dampak negatif pencegahan ialah langkah-
langkah yang dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau
mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian
dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan. Tindakan-tindakan ini
bertujuan untuk menekan penyebab ancaman dengan cara mengurangi

9
tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau material ke wilayah
yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang (Smith,1992).
Kejadian bencana terhadap kehidupan dengan cara-cara alternatif yang
lebih dapat diterima secara ekologi (Carter, 1991). Kegiatan-kegiatan
mitigasi termasuk tindakantindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya
peraturan dan pengaturan, pemberian sangsi dan penghargaan untuk
mendorong perilaku yang lebih tepat, dan upaya-upaya penyuluhan
dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang mengambil
keputusan yang berkesadaran. Upaya-upaya rekayasa termasuk
pananaman modal untuk bangunan struktur tahan ancaman bencana
dan/atau perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan
ancaman bencana (Smith, 1992).
c. Kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalisir kerugian
yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana dan menyusun
perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta
perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap
bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu
1) Pengkajian terhadap kerentanan
2) Membuat perencanaan (pencegahan bencana)
3) Pengorganisasian
4) Sistem informasi
5) Pengumpulan sumber daya
6) Sistem alarm
7) Mekanisme tindakan
8) Pendidikan dan pelatihan penduduk
9) Gladi resik.
2. Bencana (Impact Phase)
Saat bencana disebut juga sebagai tanggap darurat. Fase tanggap
darurat atau tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat
yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas yang
dilakukan secara kongkret yaitu:

10
a. Instruksi pengungsian
b. pencarian dan penyelamatan korban
c. menjamin keamanan di lokasi bencana
d. pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat
f. pengiriman dan penyerahan barang material, dan
g. menyediakan tempat pengungsian, dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi
dengan membaginya menjadi “Fase Akut” dan “Fase Sub Akut”. Dalam
Fase Akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut “fase
penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”. Pada fase ini
dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan medis darurat
terhadap orang-orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu minggu
sejak terjadinya bencana disebut dengan “Fase Akut”. Dalam fase ini,
selain tindakan “penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”,
dilakukan juga perawatan terhadap orang-orang yang terluka pada saat
mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap
munculnya permasalahan kesehatan selama dalam pengungsian (Tyas.
2016)..
3. Pasca Bencana
a. Fase Pemulihan
Fase Pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai
kapan, tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti
sedia kala (sebelum terjadi bencana). Orang-orang melakukan
perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah sementara, mulai
masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan
tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga
mulai memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai
menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus
memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga

11
hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan
fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain,
fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi
tenang (Tyas. 2016).
b. Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi
Jangka waktu Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
berusaha mengembalikan fungsifungsinya seperti sebelum bencana dan
merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi,
seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang
sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan
menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu
serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif
(Tyas. 2016).
2.8 Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Tsunami
1. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi jatuhnya korban
akibat bencana tsunami adalah sebagai berikut:
a. Perlindungan Garis Pantai Perlindungan garis pantai dilakukan dengan
cara sebagai berikut
1) Penetapan peraturan tentang pembangunan wilayah pantai.
2) Membangun tembok- tembok penahan dan pemecah air laut.
3) Melestarikan hutan mangrove, menanamnya di pesisir dengan baik,
dan tidak menebang sembarangan, atau tidak mengubah lahan
mangrove menjadi tambak.
4) Tidak mencemari sungai dengan limbah karena akan merusak
lautSistem
b. Peringatan Dini Sistem
peringatan dini perlu dibangun untuk mendeteksi, menentukan
lokasi, dan besaran potensi tsunami yang muncul sebagai akibat gempa
bumi atau getaran-getaran lainnya. Sistem ini selanjutnya memberikan
informasi dan peringatan kepada pihak-pihak yang terkait dan
kemudian kepada penanggung jawab di tingkat lapangan atau

12
masyarakat yang mungkin terkena bencana. Informasi ini
disebarluaskan lewat radio dan televisi.
1) Struktur Pantai (Coastal Structures)
2) Penatataan Wilayah (City Planning)
3) Sistem yang terpadu (Tsunami Prevention System)
c. Pendidikan dan Pembelajaran
Mempelajari dan memahami tsunami, baik penyebab, tanda-
tanda, maupun sifat tsunami, dapat dilakukan dengan penyuluhan
terhadap warga melalui pertemuan RT, mencari, memperoleh, dan
berbagi informasi dari berbagai sumber, termasuk kisah korban
tsunami, buku, media elektronik, dan lain-lain (BMKG. 2012).
2. Penanggulangan Bencana Tsunami
a. Penataan kembali (relocation) lahah pantai.
Pada tempat-tempat potensial terjadi tsunami, penataan kembali
lahan pantai harus dilakukan. Pembangunan pemukiman yang terletak
terlalu dekat dengan garis pantai harus dihindari. Daerah di sepanjang
garis pantai setebal 200 meter perlu dihijaukan kembali dengan hutan
mangrove dan pohon-pohon besar lainnya seperti pohon kelapa yang
berlapis-lapis. Batu-batu karang perlu dibiarkan tumbuh karena dapat
berfungsi sebagai pemecah gelombnag alam (BMKG. 2012).
b. Melestarika hutan Mangrove.
Hutan mangrove, yang secara alami hanya dijumpai di pantai-
pantai daerah tropik, pada umumnya terbentuk oleh pepohonan halofit
yaitu pohon-pohon yang dapat bertaha hidup pada kondisi tanah yang
tergenag terus menerus dengan tingkat salinitas (kadar garam) yang
tinggi seperti pohon bakau (Rhizophora mucronata), phon tanjang
(Bruguiera cylindrica), dan pohon nipah. Hutan mangrove mempunyai
tajuk yang rata dan rapat, memiliki sistem perakaran ynag kuat dan
istimewa, dan selalu berdaun lebat sepanjnag waktu (Munir, 1992).
Hutan mangrove dapat mencapai ketebalan sampai 200 meter di garis
pantai dan ketinggian pohon sampai 300 meter. Dengan kondisi seperti
itu hutan mangrove dapat berfungsi ideal sebagai (Perisai Alam),

13
pelindng pantai dari ancaman gelombang tsunsmi, angin kencang,
maupun erosi (BMKG. 2012).
c. Pembuatan pemecah gelombang atau overtopping seawall.
Salah satu metode untuk melindungi suatu daerah di tepi pantai dari
gelombnag tsunami adalah dengan membuat pemecah gelombang
(break water) di laut. Kedua struktur tersebut harus cukup kuat dan
stabil untuk menahan gaya hidrodinamik gelombang dan gaya-gaya lain
yang timbul (BMKG. 2012).
2.9 Peran Perawat dalam Bencana
1. Peran tenaga kesehatan dalam fase Pra Disaster adalah:
a. Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang
berhubungan dengan penanggulangan ancaman bencana untuk tiap
fasenya.
b. Tenaga kesehatan ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintah,
organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun
lembagalembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan
simulasi persiapan menghadapi bencana kepada masyarakat
c. Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
meliputi hal-hal berikut ini:
1) Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana
2) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain
3) Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulance.
2. Peran tenaga kesehatan pada fase Impact adalah :
a. Bertindak cepat
b. Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak menjanjikan apapun
secara pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada
korban selamat
c. Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan

14
d. Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan untuk setiap kelompok
yang menanggulangi terjadinya bencana.
3. Peran tenaga kesehatan ketika fase emergency atau pasca bencana adalah :
a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan ketenaga kesehatan harian
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,
depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi
diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia,
fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog
dan psikiater
j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
4. Peran tenaga kesehatan pada fase rekonstruksi adalah:
a. tenaga kesehatanan pada pasien post traumatic stress disorder(PTSD)
b. tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan
masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
(Recovery) menuju keadaan sehat dan aman.

15
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2019). Buku Saku Mengenal


Gempa Bumi & Tsunami. Jakarta, Indonesia: Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2012). Pedoman Pelayanan
Peringatan Dini Tsunami InaTEWS (edisi kedua). Jakarta, Indonesia:
Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Kedeputian Bidang Geofisika BMKG.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2019). Katalog Desa/Kelurahan
Rawan Tsunami (kelas bahaya tinggi dan sedang). Jakarta, Indonesia:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2012). Masterplan Pengurangan
Resiko Bencana Tsunami. Jakarta, Indonesia: Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
BNPB (2010). Buku Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya
Mitigasi-nya di Indonesia.
Pusito, Nanang. (2010). Mengeola resiko bencana di daerah maritim. Bandung:
Jurusan geofisika dan meterologi ITB
Badan Penanggulangan Bencana. (2011). Indeks rawan indonesia. BNPB
Kurniyanti, M. A. (2012). Peran Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan
Manajemen Bencana ( Disaster Management). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Media Husada, 1(1), 85–92. https://doi.org/10.33475/jikmh.v1i1.87
Mudhari, Marga Surya. 2016. Pengintegrasian Pengurangan Resiko Tsunami.
Jakarta : Safer Cammunities Through Disaster Risk Reduction
(SCTDRR)
Tyas Maria Diah Ciptaning. 2016. Modul Keperawatan Kegawatdaruratan &
manajemen Bencana.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tetang penanggulangan bencana (2007).

17

Anda mungkin juga menyukai