Anda di halaman 1dari 8

KEPERAWATAN BENCANA

MENYUSUN MITIGASI BENCANA ALAM


“TSUNAMI”

DOSEN FASILITATOR :
MERINA WIDYASTUTI,S.KEP.,NS.,M.KEP

OLEH :
TEDI NOVAN MAULANA
S1-4B
1810102

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
TAHUN AJARAN 2021/2022
A. Pengertian Tsunami
Istilah tsunami merupakan adopsi dari bahasa Jepang. Tsunami menurut
Beni (2006), adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang sekarang
sudah menjadi istilah yang biasa dipakai di seluruh penjuru dunia. Tsunami
berasal dari kata tsu yang berarti pelabuhan dan nami memiliki arti ombak.
Masyarakat Jepang biasanya setelah terjadi bencana tsunami akan pergi ke
pelabuhan untuk melihat seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan, sehingga
dipakailah istilah tsunami (Sutowijoyo 2005).
Tsunami merupakan salah satu Bencana Alam yang sering terjadi di
Indonesia. Tsunami adalah gelombang besar yang dihasilkan oleh gempa bumi
di dasar samudera, Gunung Meletus, atau longsoran masa batuan di sekitar
basin samudera (Djunire 2009). Simandjuntak (1994) mengartikan tsunami
sebagai salah satu kejadian alam yang dicirikan oleh terjadinya pasang naik yang
besar secara mendadak yang biasanya terjadi sesaat setelah terjadi
guncangan Gempa Bumi tektonik. Gelombang yang dihasilkan oleh bencana
alam ini dapat menghancurkan daerah pemukiman yang berada di dekat pantai.
Berdasarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) (2006),
tsunami adalah gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan tinggi
hingga lebih dari 900 km/jam, gelombang ini disebabkan oleh gempa bumi yang
terjadi di dasar laut.
Tsunami sendiri sangat berkaitan dengan perubahan bentuk dasar laut
dengan cepat karena adanya faktor-faktor geologi, seperti letusan gunung berapi
ataupun gempa bumi (Sudrajat 1994).

B. Karakteristik Tsunami
Karakteristik umum dari tsunami pada dasarnya berbeda dengan
karakteristik ombak pada biasanya. Ombak merupakan gelombang air yang
dihasilkan dari tiupan angin, sedangkan tsunami merupakan gelombang yang
dibentuk akibat adanya kegiatan geologi bumi. Tsunami merupakan gelombang
yang dapat mencapai panjang gelombang lebih dari 150 km, serta memiliki
kecepatan gelombang seperti pesawat jet, yaitu sekitar 800 km/jam (King 1972).
Menurut PVMBG (2006), kecepatan gelombang tsunami bergantung pada
kedalamanlaut.
Tsunami memiliki panjang gelombang antara dua puncaknya lebih dari 100
km di laut lepas dan selisih waktu antara kedua puncak tersebut diperkirakan
antara 10 menit sampai 1 jam. Pada saat mencapai pantai yang dangkal, teluk,
atau muara sungai, gelombang ini kemudian akan menurun kecepatannya,
namun tinggi gelombang akan meningkat sehingga sangat bersifat merusak
benda-benda yang berada di sekitar pantai.
Pada laut dalam, tsunami akan bergerak dengan kecepatan yang sangat
tinggi, yaitu 500 sampai dengan 1000 km/jam. Siklus terjadinya gelombang
kembali berkisar antara hitungan menit sampai satu jam. Saat mendekati pantai
gelombang akan melambat dan ketinggian gelombang akan meninggi. Tinggi
gelombang ini dapat berubah karena adanya konversi energi dari bentuk energi
kinetik menjadi energi potensial. Berkurangnya kecepatan gelombang yang
artinya ada perpindahan energi menjadi energi potensial yang menyebabkan
bertambah tingginya gelombang (Diposaptono dan Budiman 2006).

C. Sejarah Tsunami
Istilah tsunami mulai tersebar luas di belahan dunia setelah terjadinya
gempa besar di Jepang yang menyebabkan tsunami sehingga menewaskan
sekitar 22 000 orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 km.
Kejadian tersebut terjadi pada 15 Juni 1896 (Badan Meteorologi dan Geofisika
2010). Di Indonesia, tsunami diperkirakan terjadi pertama kali pada tahun 1618 di
Nusa Tenggara Barat. Dalam kurun waktu tahun 1600 sampai 2006, Indonesia
telah mengalami 108 kali kejadian tsunami. Sekitar 90% tsunami di Indonesia
disebabkan gempa tektonik, 9% akibat letusan gunung api, dan hanya 1% dipicu
oleh tanah longsor.

D. Jenis-Jenis Tsunami
Klasifikasi tsunami berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi
tsunami vulkanik dan tsunami tektonik. Jenis tsunami vulkanik adalah jenis
tsunami yang disebabkan gempa yang berasal dari kegiatan vulkanik bumi,
sedangkan tsunami tektonik disebabkan karena adanya gempa yang terjadi
akibat aktivitas tektonik bumi.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009,
berdasarkan karakteristiknya tsunami dibedakan menjadi tsunami lokal dan
tsunami berjarak.
1. Tsunami Lokal
Tsunami lokal berhubungan dengan episentrum gempa di sekitar pantai
sehingga waktu tempuh dari sumber kejadian sampai ke bibir pantai berkisar
antara lima sampai tiga puluh menit. Biasanya dampak dari tsunami ini cukup
besar karena kekuatan dari gelombang masih sangat terasa ketika sudah
mencapai daratan.
2. Tsunami Berjarak
Tsunami berjarak adalah jenis tsunami yang paling umum terjadi di pantai-
pantai yang bertemu langsung dengan Samudera Pasifik. Jenis tsunami ini
memiliki sumber penyebab yang jauh dari bibir pantai sehingga kekuatan
gelombang yang dihasilkan tidak sebesar tsunami lokal. Waktu tempuh pada
saat gempa sampai terjadinya tsunami di daratan berkisar antara 5.5 jam sampai
18 jam.

E. Penyebab Terjadi Tsunami


Tsunami menurut PVBMG (2006), dapat terjadi dari gempa tektonik
maupun vulkanik apabila memenuhi syarat berikut:
1. pusat gempa terjadi di dasar laut;
2. kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km;
3. magnitude lebih besar dari 6.0 skala Richter;
4.  jenis patahan tergolong sesar naik atau sesar turun.
Sedangkan menurut King (1972) dan Anhert (1996), faktor-faktor yang
dapat menyebabkan tsunami adalah sebagai berikut:
1. ada retakan di dasar laut yang disertai dengan suatu gempa bumi;
retakan di sini maksudnya adalah suatu zona planar yang lemah yang
melewati daerah kerak bumi;
2. ada tanah longsor, baik yang terjadi di bawah air atau yang berasal
dari atas lautan yang kemudian menghujam ke dalam air;
3. ada aktivitas gunung berapi yang terletak di dekat pantai atau di bawah
air yang sewaktu-waktu dapat terangkat atau tertekan seperti gerakan
yang terjadi pada retakan;
4. berbeda halnya dengan badan meteorologi dan geofisika (2010),
menurut lembaga ini tsunami akan terjadi jika kekuatan gempa lebih
dari 7.0 sr, lokasi pusat gempa di laut dengan kedalaman kurang dari
70 km, serta terjadi deformasi vertikal dasar laut;
5. gelombang tsunami paling sering disebabkan oleh gempa tektonik
dangkal di perairan samudera Pasifik.

F. Mitigasi Bencana Alam Tsunami


Mitigasi adalah suatu aktivitas untuk mengurangi dampak kerusakan atau
kehilangan nyawa. Aktivitas mitigasi bencana alam diperoleh melalui berbagai
tindakan analisis risiko untuk menghasilkan berbagai informasi perencanaan
mitigasi (FEMA 2008). Menurut Ihsan (2017), mitigasi bencana adalah istilah
yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi
dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum suatu bencana
terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka
panjang. Mitigasi bencana tsunami dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu
pendekatan non-fisik dan pendekatan fisik.
1. Pendekatan Mitigasi Non-Fisik
Mitigasi bencana tsunami dengan pendekatan non fisik biasanya dilakukan
dengan memetakan tingkat kerawanan daerah tertentu terhadap bencana
tsunami selanjutnya diadakan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat terkait
dengan berbagai hal yang berkaitan dengan tsunami. Hal-hal yang
disosialisasikan kepada masyarakat biasanya mengenai:
 pengertian tsunami;
 penyebab terjadinya tsunami;
 ciri-ciri akan terjadinya tsunami;
 dampak bencana alam tsunami;
 cara penyelamatan diri dan evakuasi jika terjadi bencana.
Sosialisasi ini penting agar masyarakat nantinya paham dan mengerti
bagaimana cara mereka untuk menyelamatkan diri, andai kata terjadi bencana
alam ini. Selain dengan sosialisasi, perlu diadakan juga simulasi aksi bencana
tsunami. Simulasi ini dimaksudkan agar masyarakat tidak panik saat memperoleh
informasi ketika akan terjadi bencana alam tsunami. Dengan adanya simulasi ini
juga, masyarakat akan terbiasa dengan keadaan yang genting sehingga ketika
saat terjadi bencana masyarakat sudah mengerti apa yang harus mereka
lakukan.
2. Pendekatan Mitigasi Fisik
Mitigasi bencana dengan pendekatan fisik dapat dilakukan dengan upaya
struktural, non-struktural, maupun gabungan antar keduanya. Pemilihan upaya
mitigasi fisik ini bergantung pada kondisi fisik pantai, tata ruang, tata guna lahan,
serta modal yang tersedia. Mitigasi fisik tsunami dapat dilakukan dengan
beberapa cara, di antaranya adalah:
a. Pendekatan Non-Struktural dengan Sabuk Hijau (Green Belt)
Pendekatan non-struktural dengan sabuk hijau misalnya perlindungan
daerah pantai dari bencana tsunami dengan menggunakan vegetasi, seperti
cemara laut (Casuarina equisetifolia), bakau, pohon api-api, nipah, dan vegetasi
lainnya yang berhabitat di pantai. Mitigasi dengan cara ini harus memenuhi
persyaratan teknis dari vegetasi tersebut dalam meredam gelombang. Salah satu
parameter yang paling penting adalah nisbah dari lebar hutan bakau dari pantai
sampai ujung hutan mangrove yang menghadap langsung ke laut (B) dengan
panjang gelombang tsunami (L), atau dapat dirumuskan dengan B/L. Semakin
besar nilai B/L maka semakin efektif metode mitigasi bencana tsunami dengan
sabuk hijau. Hutan mangrove atau hutan bakau juga sangat efektif dalam
meredam gelombang air laut atau ombak. Hutan mangrove ini dapat mencegah
terjadinya abrasi juga.
b. Pendekatan Struktural dengan Peringatan Dini
Salah satu upaya struktural dalam mitigasi bencana ini adalah
pemberitahuan dini terjadinya tsunami. Penyampaian informasi ini dapat
menggunakan sirene, lonceng, bel, dan sebagainya. Pemasangan alat
pendeteksi dini mutlak harus dilakukan pada metode ini. Sistem peringatan dini
menggunakan alat sensor kenaikan tinggi muka air laut, satelit buatan, dan
receiver gelombang yang langsung terhubung dengan alat pemberi tahu bahaya
bencana tsunami.
c. Bangunan Sipil Penahan Tsunami
Bangunan sipil yang dikhususkan untuk menahan bencana tsunami di
Indonesia belum pernah dibangun. Bangunan sipil ini dapat kita temui di negara
Jepang. Meskipun sangat efektif dalam meredam terjangan gelombang air,
bangunan ini dinilai merusak nilai estetik dari suatu lanskap di pantai.
d. Bangunan Sipil untuk Evakuasi
Lokasi evakuasi harus mudah dijangkau apabila bencana tsunami benar-
benar terjadi. Lokasi evakuasi dapat berupa lahan yang memiliki ketinggian
tertentu dan bangunan tinggi yang tahan terhadap gelombang dan getaran
gempa. Apabila suatu pemukiman jauh dari dataran yang memiliki elevasi yang
tinggi maka perlu dibuat suatu bangunan sipil yang dikhususkan untuk evakuasi.
Bangunan ini sangat penting untuk mengurangi jumlah korban akibat dari
lambatnya proses evakuasi ke daerah yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Anhert, F. 1996. Introduction to Geomorphology. London: Arnold.

Beni S., Ambarjaya. 2006. Tsunami Sang Gelombang Pembunuh. Jakarta: CV.


Karya Mandiri Pratama.

Diposaptono S., Budiman. 2006. Tsunami. Bogor: Buku Ilmiah Populer.

Diposaptono S., Budiman. 2008. Hidup Akran dengan Gempa dan Tsunami.


Bogor: PT. Sarana Komunika Utama.

Pribadi S, Fachrizal, I Gunawan, I Hermawan, Y Tsuji, SS Han. 2006. Gempa


Bumi dan Tsunami Selatan Jawa Barat 17 Juli 2006. Jakarta: Badan
Meteorologi dan Geofisika.

Yulianto E., F. Kusmayanto, N. Supriyatnam Dirhamsyah. 2008. Selamat dari


Bencana Tsunami, Pembelajaran dari Tsunami Aceh dan Pangandaran.
Jakarta: UNESCO.

Zaitunah A. 2012. Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan Akibat Tsunami


Pantai Ciamis Jawa Barat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai