Adapun potensi bencana yang dapat terjadi di laut, antara lain sebagai berikut:
1. Tsunami. Tsunami berasal dari bahasa jepang yaitu tsu = gelombang, dan
name = pelabuhan. Secara harfiah tsunami berarti gelombang/pasang laut besar
dipelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal dan baku secara umum.
Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium
laut.
2. Gelombang Badai Yaitu Gelombang yang terbentuk oleh angin yang sangat kuat
Dengan Kecepatan angin lebih dari 91 Km/jam, Tinggi gelombang 7 meter – 30
meter, Berbahaya bagi pelayaran dan pemukiman /bangunan di pantai serta Dapat
menyebabkan abrasi pantai. Contoh : Badai, typhoon / hurricane, La Nina, El nino
3. Kenaikan Permukaan Laut adalah suatu peristiwa yang menimbulkan naiknya
permukaan air laut ke pesisir pantai kerena beberapa faktor.
4. El Nino dan La Nina. El-Nino adalah fenomena dimana terjadi peningkatan suhu
permukaan laut yang biasanya dingin yang menyebabkan upwelling dan biasaya kita
indikasikasikan dengan kekeringan pada daerah tersebut, sedangkan La-Nina adalah
fenomena dimana terjadi pendingginan suhu permukaan laut akibat menguatnya
upwellig dan biasanya kita indikasikan dengan banjir pada daerah tersebut.
5. Abrasi Pantai yaitu Pengikisan (erosi) pantai oleh pukulan gelombang laut yang terus
menerus terhadap dinding pantai. Hingga saat ini luas areal yang hilang dari Brebes
hingga Rembang mencapai lebih 4.000 (ha). Rata-rata daratan yang terseret arus laut
5-30 meter per tahun. Abrasi itu mengakibatkan rusak dan hilangnya hutan bakau
(mangrove), perkebunan rakyat, areal pertambakan, dan permukiman penduduk yang
berada di bibir pantai (WWF).
2. Mitigasi bencana
Mitigasi bencana dapat diartikan sebagai upaya sistemik untuk mengurangi risiko
bencana baik secara struktural maupun non struktural (Coburn, et al. 1994). Mitigasi
struktural meliputi upaya fisik yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, antara lain
sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi
(groin), pembangunan pemukiman panggung, relokasi permukiman dan remangrovisasi.
Mitigasi non struktural meliputi upaya non fisik untuk mengurangi risiko bencana, seperti
pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM), dan
sosialisasi upaya mitigasi bencana serta menyusun standard operational procedure (SOP)
penyelamatan diri maupun massal (Bappenas, 2006). Upaya mitigasi bencana alam sangat
ditentukan oleh kemampuan SDM aparat dan masyarakat setempat, teknologi, prasarana,
sarana, biaya serta kombinasi antar instansi terkait. Penyiapan upaya mitigasi tersebut juga
terkait dengan political will atau persepsi pemerintah daerah menyikapi penting tidaknya
memperhitungkan risiko bencana, terutama sebelum bencana alam terjadi.
Bentuk dan tingkat efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan tidak
sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, satu wilayah dengan wilayah lain,
tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi (Subandono, 2007).
Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam
di suatu daerah seringkali sulit dilakukan karena bencana alam seringkali sulit diprediksi
(Latief, 2005). Oleh karena itu, kajian efektivitas mitigasi bencana alam suatu daerah dapat
dilakukan dengan membandingkan sistem yang sama yang telah dilakukan dalam
penanggulangan bencana sejenis di tempat lain.
Penanganan bencana (disaster management) merupakan proses yang dinamis,
terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan serangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive), mitigasi,
kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat, evakuasi, rehabilitasi dan pembangunan
kembali (reconstruction). Sedangkan mitigasi adalah merupakan tindakan-tindakan untuk
mengurangi atau meminimalkan potensi dampak negatif dari suatu bencana. Penanganan
bencana menjadi penting dan mendesak untuk dilaksanakan secara efektif dan efisien .
Sedangkan kegiatan mitigasi merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanganan
bencana yang difokuskan untuk mengurangi potensi dampak yang mungkin ditimbulkan
oleh bencana yang diprediksikan akan terjadi di masa datang..
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : 1) tersedia informasi dan peta
kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di
daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta
mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan
kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
b) Gelombang Badai
Gelombang badai terjadi menyusul terjadinya badai atau tiupan angin yang
sangat kencang di lautan (fenomena meteorologi), tinggi gelombangnya dapat
mencapai belasan meter di daerah dekat sumber angin, dan gelombang terus
berlangsung selama angin bertiup dan reda bersama dengan redanya tiupan angin.
Berkaitan dengan mekanisme pencetusannya, fenomena gelombang badai ini hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu yang berkaitan dengan musim angin tertentu, dan
hanya akan melanda lokasi-lokasi tertentu pula.
Fenomena gelombang badai muncul berkaitan dengan fenomena meteorologi
berupa tiupan angin yang kemungkinan waktu terjadinya relatif teratur sepanjang
tahun sesuai dengan perubahan musim. Dengan demikian, prediksi atau peringatan
dini akan terjadinya gelombang badai lebih mudah dilakukan dari pada prediksi atau
peringatan dini tsunami.
Pemompaan Air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan air minum
di wilayah pesisir akan menyebabkan penurunan tanah terutama jika komposisi
tanah pantai sebagian besar terdiri dari lempung/lumpur karena sifat-sifat fisik
lumpur /lepung yang mudah berubah akibat perubahan kadar air. Akibat
penurunan air tanah adalah berkurangnya tekanan air pori. Hal ini
mengakibatkan penggenangan dan pada gilirannya meningkatkan erosi dan
abrasi pantai. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penurunan tanah cukup besar
dan memberikan kontribusi terhadap genangan (rob) pada saat air laut pasang.
b. Kerusakan Hutan Mangrove
Orientasi pantai yang relatif tegak lurus atau sejajar dengan puncak gelombang
dominan. Hal ini memberikan informasi bahwa pantai dalam kondisi seimbang
dinamik. Kondisi gelombang yang semula lurus akan membelok akibat proses
refrksi/difraksi dan shoaling. Pantai akan menanggai dengan mengorientasikan
dirinya sedemikian rupa sehingga tegak lurus arah gelombang atau dengan kata
lain terjadi erosi dan deposisi sedimen sampai terjadi keseimbangan dan proses
selanjutnya yang terjadi hanya angkutan tegak lurus pantai (cros shore transport)
d. Kerusakan akibat sebab alam lain
Perubahan iklim global dan kejadian ekstrim misal terjadi siklon tropis. Faktor
lain adalah kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global (efek rumah
kaca) yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang
e. Kerusakan akibat kegiatan manusia yang lain
• Penambangan Pasir di perairan pantai
• Pembuatan Bangunan yang menjorok ke arah laut
• Pembukaan tambak yang tidak memperhitungkan keadaan kondisi dan lokasi
1. KEBIJAKAN
Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain : a. Dalam
setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi semua pihak baik
jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang ketentuan langkahnya
diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan
oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing.
Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara yang mempunyai potensial dan andil
besar dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu Negara. Sektor pariwisata di
Indonesia hal yang sangat mudah dikembangkan dengan melakukan perbaikan infrastuktur,
keamanan dan management yang baik agar mampu menciptakan sector pariwisata yang
diminati wisatawan local maupun asing dengan rasa kepuasan yang baik. Dalam hal ini maka
akan menciptakan rasa yang ingin berwisata kembali, dengan kata lain akan menciptakan
dampak positif bagi masyarakat dan Negara. Peningkatkan pada sektor kepariwisataan juga
mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, antara lain lapangan kerja, pendapatan masyarakat,
pendapatan daerah, dan penerimaan devisa negara dapat meningkat melalui upaya
pengembangan berbagai potensi kepariwisataan Nasional. Pembangunan di bidang
kepariwisataan merupakan salah satu terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
negara. Sektor kepariwistaan akan disejajarkan kedudukanya dengan sektor lain dalam usaha
meningkatkan pendapatan negara, maka kepariwisataan dapat disebut sektor Industri
pariwisata (Widodo, 2013). Kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata
sangat penting perananya dalam menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata nasional.
Perkembangan dan pertumbuhan pariwisata perlu diantisipasi agar perkembanganya tetap
pada jalurnya dan daya dukunganya. Pembangunan dalam wilayah objek wisata akan
memberikan sumbangan yang sangat besar apabila dikelola secara profesional, karena
sumbangan bagi daerah yang bersangkutan, pariwisata dapat memacu pertumbuhan kawasan
sekitar objek wisata tersebut
untuk mengelola sumber daya yang ada pada daerah tersebut, misalnya pengembangan
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Perencanaan pengembangan dapat dimulai
dengan mengenali wilayah yang akan dijadikan sebagai lokasi pengembangan
kepariwisataan. Hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan
masyarakat seluas-luasnya serta penyiapan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
tinggi di bidang pelayanan jasa kepariwisataan juga menjadi hal yang perlu dilakukan serta
perlu pula dilengkapi dengan kemampuan teknis, operasional dan manajerial dalam
penyediaan barang dasa kepariwisataan.
DAFTAR PUSTAKA
Jokowinarno, Dwi. 2011. Mitigasi Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Lampung. Jurnal
Rekayasa Vol. 15 No. 1, April 2011
Amin, Dwi Nur, Henky Irawan, and Andi Zulfikar. 2015. “Hubungan Jenis Substrat Dengan
Kerapatan Vegetasi Rhizophora Sp. Di Hutan Mangrove Sungai Nyirih Kecamatan
Tanjungpinang Kota Kota Tanjungpinang Dwi.” Repository UMRAH.
[BAPPENAS dan BAKORNAS PB] Badan Perencaanan Nasional dan Badan Koordinasi
Nasional Penanggulang Bencana. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko
Bencana 2006-2009.
Coburn, A.W., R.J. S. Spence, and A. Pomonis. 1994. Mitigasi Bencana (Edisi Kedua). Program
Pelatihan Manajemen Bencana. UNDP. Cambrid Architectural Research. Limited.
United Kingdom.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Eryatno dan Sofyar. 2007. Riset Kebijakan; Metode Penelitian Untuk Pasca Sarjana. IPB
Press. Bogor.
Latief, H. 2005. Rancangan Pedoman Penanggulangan Dampak Kerusakan Wilayah Pesisir
Akibat Bencana Gelombang Pasang Berbasis Ekosistem. Pusat Kajian Tsunami ITB.
Bandung
Ma’arif, S. dan Tanjung, H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Grasindo. Jakarta
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Graznido.
Jakarta
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MBPI). 2006. Kerangka Aksi Hyogo –
Pengurangan Resiko Bencana 2005-2015. Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas
Terhadap Bencana.
Ahya, Indriyana. 2013. Biologi laut Dalam. Diunduh dari
http://ayhaduck.blogspot.com/2013/04/biologi-laut-dalam.html
Anwar, Anas. 2013. Ekosistem Laut. Diunduh dari http://ekosistem-air-
laut.blogspot.com/2013/12/makalah-ekosistem-air-laut.html