Anda di halaman 1dari 15

POTENSI DAN MITIGASI BENCANA LAUT

1. Potensi bencana dilaut


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia selain memiliki kekayaan sumber
daya alam pesisir yang melimpah, juga memiliki potensi bencana alam yang sangat tinggi
(Dahuri, 1996). Seluruh bencana alam tersebut mengancam masyarakat yang bermukim
dan menggantungkan hidupnya di pesisir, dan berdampak buruk bagi ekosistem pesisir.
a. Definisi Bencana
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Berdasarkan definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa yang disebabkan oleh factor alam
maupun factor non alam yang dapat mengancam jiwa manusia serta kerusakan
lingkungan.
b. Jenis – jenis Bencana
Jenis -jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara lain :
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror ( UU RI, 2007).

Berdasarkan penyebabnya bencana alam terbagi tiga (3), yaitu :


1. Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari
dalam bumi. Contohnya Gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi,
longsor/gerakan tanah, abrasi
2. Bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh perubahan
iklim, suhu atau cuaca. Contohnya Banjir, banjir bandang, angin puting beliung,
kekeringan.
3. Bencana alam ekstra-terestrial, yaitu bencana alam yang disebabkan oleh gaya atau
energi dari luar bumi. Contohnya infek/ hantaman/ benda dari luar angkasa.

C. Potensi Bencana di Laut

Adapun potensi bencana yang dapat terjadi di laut, antara lain sebagai berikut:
1. Tsunami. Tsunami berasal dari bahasa jepang yaitu tsu = gelombang, dan
name = pelabuhan. Secara harfiah tsunami berarti gelombang/pasang laut besar
dipelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal dan baku secara umum.
Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium
laut.
2. Gelombang Badai Yaitu Gelombang yang terbentuk oleh angin yang sangat kuat
Dengan Kecepatan angin lebih dari 91 Km/jam, Tinggi gelombang 7 meter – 30
meter, Berbahaya bagi pelayaran dan pemukiman /bangunan di pantai serta Dapat
menyebabkan abrasi pantai. Contoh : Badai, typhoon / hurricane, La Nina, El nino
3. Kenaikan Permukaan Laut adalah suatu peristiwa yang menimbulkan naiknya
permukaan air laut ke pesisir pantai kerena beberapa faktor.
4. El Nino dan La Nina. El-Nino adalah fenomena dimana terjadi peningkatan suhu
permukaan laut yang biasanya dingin yang menyebabkan upwelling dan biasaya kita
indikasikasikan dengan kekeringan pada daerah tersebut, sedangkan La-Nina adalah
fenomena dimana terjadi pendingginan suhu permukaan laut akibat menguatnya
upwellig dan biasanya kita indikasikan dengan banjir pada daerah tersebut.
5. Abrasi Pantai yaitu Pengikisan (erosi) pantai oleh pukulan gelombang laut yang terus
menerus terhadap dinding pantai. Hingga saat ini luas areal yang hilang dari Brebes
hingga Rembang mencapai lebih 4.000 (ha). Rata-rata daratan yang terseret arus laut
5-30 meter per tahun. Abrasi itu mengakibatkan rusak dan hilangnya hutan bakau
(mangrove), perkebunan rakyat, areal pertambakan, dan permukiman penduduk yang
berada di bibir pantai (WWF).

2. Mitigasi bencana
Mitigasi bencana dapat diartikan sebagai upaya sistemik untuk mengurangi risiko
bencana baik secara struktural maupun non struktural (Coburn, et al. 1994). Mitigasi
struktural meliputi upaya fisik yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, antara lain
sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi
(groin), pembangunan pemukiman panggung, relokasi permukiman dan remangrovisasi.
Mitigasi non struktural meliputi upaya non fisik untuk mengurangi risiko bencana, seperti
pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual (NSPM), dan
sosialisasi upaya mitigasi bencana serta menyusun standard operational procedure (SOP)
penyelamatan diri maupun massal (Bappenas, 2006). Upaya mitigasi bencana alam sangat
ditentukan oleh kemampuan SDM aparat dan masyarakat setempat, teknologi, prasarana,
sarana, biaya serta kombinasi antar instansi terkait. Penyiapan upaya mitigasi tersebut juga
terkait dengan political will atau persepsi pemerintah daerah menyikapi penting tidaknya
memperhitungkan risiko bencana, terutama sebelum bencana alam terjadi.
Bentuk dan tingkat efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan tidak
sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, satu wilayah dengan wilayah lain,
tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi (Subandono, 2007).
Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam
di suatu daerah seringkali sulit dilakukan karena bencana alam seringkali sulit diprediksi
(Latief, 2005). Oleh karena itu, kajian efektivitas mitigasi bencana alam suatu daerah dapat
dilakukan dengan membandingkan sistem yang sama yang telah dilakukan dalam
penanggulangan bencana sejenis di tempat lain.
Penanganan bencana (disaster management) merupakan proses yang dinamis,
terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan serangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive), mitigasi,
kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat, evakuasi, rehabilitasi dan pembangunan
kembali (reconstruction). Sedangkan mitigasi adalah merupakan tindakan-tindakan untuk
mengurangi atau meminimalkan potensi dampak negatif dari suatu bencana. Penanganan
bencana menjadi penting dan mendesak untuk dilaksanakan secara efektif dan efisien .
Sedangkan kegiatan mitigasi merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanganan
bencana yang difokuskan untuk mengurangi potensi dampak yang mungkin ditimbulkan
oleh bencana yang diprediksikan akan terjadi di masa datang..

Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : 1) tersedia informasi dan peta
kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di
daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta
mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan
kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.

a. Jenis – Jenis Mitigasi Bencana di Laut


1) Mitigasi Tsunami
Indonesia terletak pada zona batas empat lempeng bumi yang sangat aktif
sehingga memiliki aktivitas tektonik dan vulkanik yang sangat tinggi, oleh karena itu
Indonesia mempunyai banyak zona-zona patahan aktif dan sebaran gunung api.
Sebagian patahan dan gunung api berada di bawah laut sehingga kejadian gempa dan
letusan gunung apinya berpotensi membangkitkan tsunami. Selain dua sumber utama
tsunami ini, peristiwa longsoran bawah laut yang sering dipicu oleh kejadian gempa
dan letusan gunung api juga dapat menimbulkan tsunami.
Berdasarkan sumber dan jarak pembangkitannya tsunami dapat dibagi menjadi
tsunami jarak jauh (far-field tsunami) yang posisi sumbernya berjarak lebih dari 1000
km dan melewati pinggiran paparan benua, tsunami regional (regional tsunami)
dengan sumber berjarak antara 100 km sampai dengan 1000 km dan tsunami lokal
(near field tsunami) yang dibangkitkan di dalam paparan benua dengan jarak sumber
kurang dari 100 km.. Bahaya tsunami dan kerusakan yang ditimbulkan tergantung
pada kondisi morfologi pantai yang didatanginya. Elevasi maksimum rayapan
bergantung pada paras muka laut (pasut) saat waktu tsunami mencapai pantai,
tsunami kecil yang terjadi pada saat pasang tinggi dapat menjangkau elevasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tsunami yang lebih besar yang tiba pada saat surut
terendah. Kondisi pasut sangat penting untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam
menganalisis tinggi jangkauan rayapan tsunami di suatu daerah.
Untuk menghindari bencana tsunami perlu upaya untuk tidak mempertemukan
unsur bahaya dan kerentanan dengan cara: (i) Menjauhkan kerentanan terhadap
bahaya, misalnya memindahkan penduduk ke tempat yang aman dari bahaya; (ii)
Mereduksi bahaya sampai sekecil mungkin, sehingga bahaya tidak menerjang suatu
kerentanan, misalnya pembangunan tembok penahan tsunami. Kedua opsi ini
terkadang sangat sulit untuk dilakukan karena menimbulkan permasalahan sosial serta
memerlukan biaya tinggi; kemudian (iii) Mereduksi bahaya serta menaikan kapasitas
dari suatu kerentanan dengan cara adaptif atau akomodatif menggunakan menejemen
risiko bencana.
Menejemen risiko bencana ini mengkaji seluruh aktivitas baik dalam penanganan
struktural (structural measures) maupun non-struktural (nonstructural measures) untuk
menghindarkan (preventif) atau untuk mengurangi (mitigasi dan preparedness) efek
yang ditimbulkan oleh bahaya tsunami.
Penanganan struktural untuk tsunami meliputi sistem perlindungan pantai dengan
membangun tembok penahan ombak berupa breakwater, seawall, dan pintu air yang
dikenal sebagai hard protection, dan perlindungan dengan menggunakan vegetasi
pantai (mangrove dan coastal forest), sand dune dan terumbu karang atau dikenal
sebagi soft protection.
Penanganan non-struktural meliputi: undang-undang dan peraturan pemerinatah;
penegakan hukum; organisasi pemerintah dan non pemerintah yang terkait dengan
penanganan bencana (PMI, ambulans dan tenaga medis, pemadam kebakaran, Karang
Taruna dan lain lain); penyediaan peta bahaya dan risiko tsunami, serta peta jalur
evakuasi; konsep penataan ruang yang akrab bencana tsunami, sistem peringatan dini
(TEWS), pendidikan masyarakat, serta penyiapan fasilitas-fasilitas penyangga hidup
(life line).
Dengan uraian dan penjelasan tentang tingginya frekuensi tsunami menerjang
pesisir Indonesia serta besarnya kerugian yang ditimbulkan baik jiwa manusia
maupun harta benda, serta tata cara kajian risiko dan mitigasinya, maka diharapkan
kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan industri dan masyarakat
umum, secara sistimatis, komprehensif, terarah dan lebih terpadu dapat:
a. Meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko bahaya tsunami di tingkat
masyarakat dan serta memperkenalkan tindakan lokal yang perlu diambil
untuk mengurangi risiko yang ditimbulkannya.
b. Merangsang kewaspadaan para perencana baik di tingkat nasional dan maupun
lokal untuk mengimplementasikan perencanaan pembangunan nasional yang
akrab bencana tsunami, khususnya di daerah-daearah rawan bencana tsunami.
c. Membantu politisi, pemerintah, serta penentu kebijakan untuk memahami sifat
dari jenis risiko yang dihadapi oleh komunitas serta membantu memahami
dampak yang ditimbulkannya.
d. Mendemonstrasikan cara dan arti dalam mengurangi risiko-risiko tersebut,
pada lingkup nasional dan lokal, melalui keputusan serta perencanaan yang
tepat.

b) Gelombang Badai
Gelombang badai terjadi menyusul terjadinya badai atau tiupan angin yang
sangat kencang di lautan (fenomena meteorologi), tinggi gelombangnya dapat
mencapai belasan meter di daerah dekat sumber angin, dan gelombang terus
berlangsung selama angin bertiup dan reda bersama dengan redanya tiupan angin.
Berkaitan dengan mekanisme pencetusannya, fenomena gelombang badai ini hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu yang berkaitan dengan musim angin tertentu, dan
hanya akan melanda lokasi-lokasi tertentu pula.
Fenomena gelombang badai muncul berkaitan dengan fenomena meteorologi
berupa tiupan angin yang kemungkinan waktu terjadinya relatif teratur sepanjang
tahun sesuai dengan perubahan musim. Dengan demikian, prediksi atau peringatan
dini akan terjadinya gelombang badai lebih mudah dilakukan dari pada prediksi atau
peringatan dini tsunami.

c) Kenaikan Permukaan Laut


Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dinitrooksida (N2O) dan chlorofluorokarbon (CFC) ke atmosmer bumi telah
menimbulkan efek rumah kaca (green house effect) yang menyebabkan
terperangkapnya radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi di dalam
atmosfer, mengakibatkan temperatur permukaan bumi dan atmosfer terus bertambah
sampai mencapai keseimbangan baru. Jumlah panas yang masuk dan keluar
atmosfer tidak berubah, tetapi jumlah panas yang tersimpan di bumi dan atmosfer
semakin meningkat sehingga menaikkan temperatur permukaan bumi dan atmosfer.
Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh yang signifikan pada
kenaikan muka air laut di abad ke-20 ini. Dampak fisis akibat kenaikan permukaan
laut antara lain meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir karena efek
pembendungan oleh adanya kenaikan permukaan laut. Pembendungan ini
mengakibatkan kecepatan aliran sungai di muara semakin berkurang dan laju
sedimentasi di muara akan bertambah yang akan mengakibatkan pendangkalan di
muara. Pendangkalan muara dan naiknya permukaan laut akan meningkatkan
frekuensi dan intensitas banjir di daerah di sekitar muara sungai. Naiknya
permukaan laut akan mengakibatkan mundurnya garis pantai akibat tergenangnya
wilayah pesisir yang landai, hilangnya daerah rawa dan meningkatnya erosi pantai.
Erosi wilayah pesisir akan diperbesar karena gelombang dapat masuk jauh ke arah
darat akibat naiknya permukaan laut. Kenaikan permukaan laut bahkan dapat
menenggelamkan pulau-pulau kecil. Intrusi air laut ke darat juga merupakan
masalah serius bagi daerah pesisir. Adanya pemanfaatan air tanah yang tidak
memperhitungkan keseimbangan mengakibatkan turunnya permukaan air tanah yang
akan memudahkan terjadinya intrusi air laut kedalam air tanah. Kenaikan permukaan
laut juga mengakibatkan volume air laut yang mendesak masuk ke dalam sungai
akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke darat melalui sungai ini
merupakan masalah bagi wilayah pesisir yang menggantungkan air bakunya dari
sungai. Terjadinya kenaikan paras muka laut juga berdampak terhadap keamanan
bangunan pantai yang ada. Kenaikan paras muka laut meningkatkan tinggi
gelombang dan akan memperbesar frekuensi overtopping bangunan pantai sehingga
tingkat keamanan bangunan pantai menjadi berkurang. Kenaikan permukaan laut
juga berdampak pada ekosistem pantai akibat kenaikan salinitasr air laut. Kenaikan
salinitas air laut yang terjadi akibat kenaikan permukaan laut akan mengakibatkan
mangrove bermigrasi ke arah darat ke daerah yang kurang asin. Spesies yang tidak
tahan akan salinitas yang tinggi akan mati. Untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana alam termasuk naiknya permukaan laut perlu dilakukan
upaya mitigasi. Mitigasi dapat dilakukan baik secara fisik (struktural) maupun secara
non-fisik (nonstruktural). Pendekatan fisik dilakukan melalui upaya teknis, baik
buatan maupun alami, sedangkan pendekatan non-fisik menyangkut penyesuaian
dan pengaturan kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi baik
fisik maupun upaya lainnya.
Dalam usaha untuk memperkecil dampak dari kenaikan permukaan laut terdapat
tiga strategi adaptif yaitu: retreat (mundur), accomodation (akomodasi) dan
protection (proteksi). Strategi mundur adalah meninggalkan daerah yang rentan
genangan akibat kenaikan permukaan laut dan melakukan kembali penataan ruang,
strategi akomodasi adalah melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan
akibat genangan misalnya dengan membuat rumah panggung, memodifikasi
drainase dan lain lain, sementara strategi proteksi adalah tindakan defensif untuk
melindungi daerah pesisir terhadap rendaman, intrusi air laut dan hilangnya sumber
daya alam akibat naiknya permukaan air laut. Strategi proteksi dilakukan dengan
membangun tanggul (dikes) atau dinding pelindung pantai (seawall)

d) El-Nino dan La-Nina


El-Nino, menurut sejarahnya adalah sebuah fenomena yang teramati oleh para
penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudera
Pasifik bagian timur menjelang hari natal (Desember). Fenomena yang teramati
adalah meningkatnya suhu permukaan laut yang biasanya dingin. Fenomena ini
mengakibatkan perairan yang tadinya subur dan kaya akan ikan (akibat adanya
upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrien dari dasar)
menjadi sebaliknya.. Di kemudian hari para ahli juga menemukan bahwa selain
fenomena menghangatnya suhu permukaan laut, terjadi pula fenomena sebaliknya
yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat menguatnya upwelling. Kebalikan
dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La-Nina.
Fenomena ini memiliki periode 2-7 tahun. Jadi berdasarkan hal diatas dapat kita
memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan El-Nino adalah fenomena
dimana terjadi peningkatan suhu permukaan laut yang biasanya dingin yang
menyebabkan upwelling dan biasaya kita indikasikasikan dengan kekeringan pada
daerah tersebut dan La-Nina adalah fenomena dimanaterjadi pendingginan suhu
permukaan laut akibat menguatnya upwellig dan biasanya kita indikasikan dengan
banjir pada daerah tersebut.
Dampak yang paling nyata dari fenomena El Nino adalah kekeringan di
Indonesia yang menyebabkan langkanya air di sejumlah daerah dan kemudian
berakibat pada penurunan produksi pertanian karena tertundanya masa tanam. Selain
itu, meluasnya kebakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan dan
Sumatera juga diindikasikan sebagai salah satu dampak dari fenomena El Nino
tersebut. Untuk La Nina, dampak yang paling terasa adalah hujan deras yang juga
menyebabkan gagal panen pada pertanian karena sawah tergenang.
Ada juga keuntungan dari El Nino, yaitu bergerak masuknya ikan tuna yang
berada di Samudera Hindia ke selatan Indonesia. Hal itu terjadi karena perairan di
timur samudera mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan
Jawa menghangat. Akibat proses ini, Indonesia mendapat banyak ikan tuna, sebuah
berkah yang perlu dimanfaatkan.
Adapun ara Penanggulangan atau mitigasi El-Nino dan La-Nina. Seperti yang
kita ketahui bahwa El-Nino bukan gejala yang disebabkan oleh ulah manusia El-
Nino adalah peristiwa alam. Oleh sebab itu El-Nino tidak bisa dicegah maupun
dihentikan, maka kita hanya bisa mencoba mengurangi dampak yang dihasilkan oleh
El-Nino. Oleh sebab itu, tindakan yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan
El-Nino adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat
dari jauh-jauh hari. Selain itu pemerintah juga harus mempersiapkan segala upaya
untuk mencegah besarnya akibat yang dihasilkan oleh El-Nino, seperti membuat
gerakan hemat air karena El-Nino bisa membuat kemarau yang berkepanjangan,
mengatur tata penggunaan air, irigasi, termasuk ketersediaan air di waduk-waduk,
dll.El-Nino juga bisa mengancam kehidupan nelayan tradisional di Indonesia.
Menurut yang saya baca dari beberapa situs internet mengatakan bahwa para
nelayan hanya bisa pasrah dan menunggu El-Nino berlalu karena mereka tidak
mempunyai alat yang memadai untuk menangkap ikan.
Untuk menggulangi La-Nina hal yang harus dilakukan adalah pembuatan
waduk, restorasi / reboisasi hutan yang gundul untuk memperluas resapan air, dan
penertiban pembuangan sampah di daerah sungai
e) Abrasi pantai
Secara detail penyebab abrasi pantai dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penurunan Permukaan Tanah. (Land Subsidence)

Pemompaan Air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan air minum
di wilayah pesisir akan menyebabkan penurunan tanah terutama jika komposisi
tanah pantai sebagian besar terdiri dari lempung/lumpur karena sifat-sifat fisik
lumpur /lepung yang mudah berubah akibat perubahan kadar air. Akibat
penurunan air tanah adalah berkurangnya tekanan air pori. Hal ini
mengakibatkan penggenangan dan pada gilirannya meningkatkan erosi dan
abrasi pantai. Hal ini menunjukkan bahwa potensi penurunan tanah cukup besar
dan memberikan kontribusi terhadap genangan (rob) pada saat air laut pasang.
b. Kerusakan Hutan Mangrove

Hutan Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat pulih (sustaianable


resources) dan pembentuk ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting
di wilayah pesisir. Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung alami
pantai karena memiliki perakaran yang kokoh sehingga dapat meredam
gelombang dan menahan sedimen. Ini artinya dapat bertindak sebagai
pembentuk lahan (land cruiser). Sayangnya keberadaan hutan mangrove ini
sekarang sudah semakin punah karena keberadaan manusia yang memanfaatkan
kayunya sebagai bahan bakar dan bahan bangunan.
c. Kerusakan akibat gaya-gaya hidrodinamika gelombang

Orientasi pantai yang relatif tegak lurus atau sejajar dengan puncak gelombang
dominan. Hal ini memberikan informasi bahwa pantai dalam kondisi seimbang
dinamik. Kondisi gelombang yang semula lurus akan membelok akibat proses
refrksi/difraksi dan shoaling. Pantai akan menanggai dengan mengorientasikan
dirinya sedemikian rupa sehingga tegak lurus arah gelombang atau dengan kata
lain terjadi erosi dan deposisi sedimen sampai terjadi keseimbangan dan proses
selanjutnya yang terjadi hanya angkutan tegak lurus pantai (cros shore transport)
d. Kerusakan akibat sebab alam lain

Perubahan iklim global dan kejadian ekstrim misal terjadi siklon tropis. Faktor
lain adalah kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global (efek rumah
kaca) yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang
e. Kerusakan akibat kegiatan manusia yang lain
• Penambangan Pasir di perairan pantai
• Pembuatan Bangunan yang menjorok ke arah laut
• Pembukaan tambak yang tidak memperhitungkan keadaan kondisi dan lokasi

Untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya abrasi pantai yaitu :


1) Pelestarian terumbu karang
Terumbu karang juga dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang
yang sampai ke pantai. oleh karena itu perlu pelestarian terumbu karang
dengan membuat peraturan untuk melindungi habitatnya. ekosistem
terumbu karang, padang lamun, mangrove dan vegetasi pantai lainnya
merupakan pertahanan alami yang efektif mereduksi kecepatan dan energi
gelombang laut sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. jika
abrasi pantai terjadi pada pulau-pulau kecil yang berada di laut terbuka,
maka proses penenggelaman pulau akan berlangsung lebih cepat.
2) Melestarikan tanaman bakau/mangrove
Fungsi dari tanaman bakau yaitu untuk memecah gelombang yang
menerjang pantai dan memperkokoh daratan pantai, selain untuk
mempertahnakan pantai, mangrove juga berfungsi sebagai tempat
berkembangbiakan ikan dan kepiting.
3) Melarang penggalian pasir pantai
Pasir pantai yang terus menerus diambil akan mengurangi kekuatan
pantai.
4) Sedangkan pada pantai yang telah atau akan mengalami abrasi, akan
dibuatkan pemecah ombak atau talud untuk mengurangi dampak dari
terjangan ombak, tindakan ini sering juga disebut tindakan pencegahan
secara teknis.

Upaya Pemerintah dalam Mengantisipasi Bencana terutama Bencana di Laut

1. KEBIJAKAN
Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain : a. Dalam
setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi semua pihak baik
jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang ketentuan langkahnya
diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan
oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing.

Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu terkoordinir yang melibatkan


seluruh potensi pemerintah dan masyarakat. c. Upaya preventif harus diutamakan agar
kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan. d. Penggalangan kekuatan melalui kerjasama
dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye. 2. STRATEGI
Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut: a.
Pemetaan. Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan
bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan
bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama dalam antisipasi
kejadian bencana alam. Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum
dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1) Belum seluruh
wilayah di Indonesia telah dipetakan 2) Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik
3) Peta bencana belum terintegrasi 4) Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang
berbeda beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya.
. Pemantauan. Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan
antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan
penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di
beberapa kawasan rawan bencana. c. Penyebaran informasi Penyebaran informasi dilakukan
antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah
dan penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan etektronik tentang
kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan
kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah
daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas. d.
Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan
kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan
kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting
yang perlu diketahui masyarakat dan Pemerintah Daerah ialah mengenai hidup harmonis
dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu ditakukan dan dihindarkan di daerah rawan
bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan
jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi dari petugas
lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat
pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan
tinggi menghadapi bencana akan terbentuk. f. Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan
untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinyu di suatu daerah
rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika
sewaktu-- waktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat
melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam
menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah rawan
bencana berupa saran teknis dapat berupa antana lain pengalihan jalur jalan (sementara atau
seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.
Contoh Mitigasi bencana dilaut Secara lebih rinci upaya pengurangan bencananya antara lain:
a. Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan tenhadap bahaya tsunami. b. Pendidikan
kepada masyarakat tentang karakteristik dan pengenalan bahaya tsunami. c. Pembangunan
tsunami Early Warning System. d. Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai
yang beresiko. e. Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai
meredam gaya air tsunami. f. Pembangunan tempat-tempat evakuasi yang aman di sekitar
daerah pemukiman. Tempat/ bangunan ini harus cukup tinggi dan mudah diakses untuk
menghidari ketinggian tsunami. g. Pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami, khususnya
di Indonesia.
Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami. i. Mengenali karakteristik dan
tanda-tanda bahaya tsunami di lokasi sekitarnya. j. Memahami cara penyelamatan jika terlihat
tanda-tanda tsunami. k. Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi
tsunami. l. Memberikan laporan sesegera mungkin jika mengetahui tanda-tanda akan
terjadinya tsunami kepada petugas yang berwenang : Kepala Desa, Polisi, Stasiun radio,
SATLAK PB dan lain-lain. m. Melengkapi diri dengan alat komunikasi.
Prosedur yang dilakukan Pemerintah Khusus di Tempat Wisata

Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara yang mempunyai potensial dan andil
besar dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu Negara. Sektor pariwisata di
Indonesia hal yang sangat mudah dikembangkan dengan melakukan perbaikan infrastuktur,
keamanan dan management yang baik agar mampu menciptakan sector pariwisata yang
diminati wisatawan local maupun asing dengan rasa kepuasan yang baik. Dalam hal ini maka
akan menciptakan rasa yang ingin berwisata kembali, dengan kata lain akan menciptakan
dampak positif bagi masyarakat dan Negara. Peningkatkan pada sektor kepariwisataan juga
mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, antara lain lapangan kerja, pendapatan masyarakat,
pendapatan daerah, dan penerimaan devisa negara dapat meningkat melalui upaya
pengembangan berbagai potensi kepariwisataan Nasional. Pembangunan di bidang
kepariwisataan merupakan salah satu terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
negara. Sektor kepariwistaan akan disejajarkan kedudukanya dengan sektor lain dalam usaha
meningkatkan pendapatan negara, maka kepariwisataan dapat disebut sektor Industri
pariwisata (Widodo, 2013). Kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata
sangat penting perananya dalam menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata nasional.
Perkembangan dan pertumbuhan pariwisata perlu diantisipasi agar perkembanganya tetap
pada jalurnya dan daya dukunganya. Pembangunan dalam wilayah objek wisata akan
memberikan sumbangan yang sangat besar apabila dikelola secara profesional, karena
sumbangan bagi daerah yang bersangkutan, pariwisata dapat memacu pertumbuhan kawasan
sekitar objek wisata tersebut
untuk mengelola sumber daya yang ada pada daerah tersebut, misalnya pengembangan
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Perencanaan pengembangan dapat dimulai
dengan mengenali wilayah yang akan dijadikan sebagai lokasi pengembangan
kepariwisataan. Hal tersebut ditujukan untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan
masyarakat seluas-luasnya serta penyiapan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
tinggi di bidang pelayanan jasa kepariwisataan juga menjadi hal yang perlu dilakukan serta
perlu pula dilengkapi dengan kemampuan teknis, operasional dan manajerial dalam
penyediaan barang dasa kepariwisataan.

DAFTAR PUSTAKA

Jokowinarno, Dwi. 2011. Mitigasi Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Lampung. Jurnal
Rekayasa Vol. 15 No. 1, April 2011
Amin, Dwi Nur, Henky Irawan, and Andi Zulfikar. 2015. “Hubungan Jenis Substrat Dengan
Kerapatan Vegetasi Rhizophora Sp. Di Hutan Mangrove Sungai Nyirih Kecamatan
Tanjungpinang Kota Kota Tanjungpinang Dwi.” Repository UMRAH.
[BAPPENAS dan BAKORNAS PB] Badan Perencaanan Nasional dan Badan Koordinasi
Nasional Penanggulang Bencana. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko
Bencana 2006-2009.
Coburn, A.W., R.J. S. Spence, and A. Pomonis. 1994. Mitigasi Bencana (Edisi Kedua). Program
Pelatihan Manajemen Bencana. UNDP. Cambrid Architectural Research. Limited.
United Kingdom.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Eryatno dan Sofyar. 2007. Riset Kebijakan; Metode Penelitian Untuk Pasca Sarjana. IPB
Press. Bogor.
Latief, H. 2005. Rancangan Pedoman Penanggulangan Dampak Kerusakan Wilayah Pesisir
Akibat Bencana Gelombang Pasang Berbasis Ekosistem. Pusat Kajian Tsunami ITB.
Bandung
Ma’arif, S. dan Tanjung, H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Grasindo. Jakarta
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Graznido.
Jakarta
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MBPI). 2006. Kerangka Aksi Hyogo –
Pengurangan Resiko Bencana 2005-2015. Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas
Terhadap Bencana.
Ahya, Indriyana. 2013. Biologi laut Dalam. Diunduh dari
http://ayhaduck.blogspot.com/2013/04/biologi-laut-dalam.html
Anwar, Anas. 2013. Ekosistem Laut. Diunduh dari http://ekosistem-air-
laut.blogspot.com/2013/12/makalah-ekosistem-air-laut.html

Anda mungkin juga menyukai