Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA DI NANGGROE ACEH

DARUSSALAM (NAD)

LAPORAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Penanggulangan Bencana

Oleh :

Vira Juliana P17333113413

Nurul Basyariah F P17333114409

Nur Fitri Kurniasih P17333114419

Rizan Rayi Wandeka P17333114428

Nadia Ayu Saputri P17333114437

PRODI DIV JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

POLTEKKES KEMENKES RI BANDUNG

2017
A. Gambaran Umum Wilayah
Secara geografis daerah Aceh adalah Provinsi Aceh terletak di bagian barat
Indonesia tepatnya di bagian ujung Pulau Sumatera. Secara geografis Aceh terletak
antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan, dengan ketinggian rata-rata
125 meter diatas permukaan laut Secara kewilayahan, propinsi ini berbatasan dengan
daerah disekitarnya. Adapun batas- batas wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
antara lain meliputi :

• Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

• Di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia

• Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka

• Di sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara

Gempa dan gelombang tsunami yang melanda wilayah Aceh dan sekitarnya
bagaimana pun harus disikapi secara khusus. Baik masyarakat yang tinggal di
wilayah tsunami maupun pemerintah, instansi, badan dan masyarakat dunia lainnya
perlu sama-sama mempersiapkan diri menghadapi kejadian serupa di masa datang.
Perhatian khusus perlu diberikan mengingat Indonesia dan puluhan negara berada di
wilayah pertemuan lempeng tektonik yang rentan gempa dan tsunami.

Tsunami ditimbulkan oleh gempabumi berkekuatan 9,3 SR yang berpusat di 3,3


LU - 95,98 BT Gempa tersebut telah menimbulkan getaran kuat dan patahan
sepanjang ± 1200 km yang membentang dari Aceh sampai ke Andaman India.
Tragedi tsunami akhir tahun 2004 tersebut telah meninggalkan kesedihan dan
penderitaan luar biasa bagi masyarakat Provinsi Aceh dan Sumatera Utara khususnya
dan bangsa Indonesia pada umumnya. Merujuk data dari BNPB, 173.741 jiwa
meninggal dan 116.368 orang dinyatakan hilang, sedangkan di Sumatera Utara 240
orang tewas.
B. Analisis Persoalan Pengembangan Wilayah dan Penyebab Tsunami
Proses patahan bumi yang pecah dan bergerak tiba-tiba pada waktu gempa besar
menimbulkan goncangan yang sangat keras di daerah sumber dan sekitarnya.
Goncangan ini tentunya dapat menimbulkan kurasakan pada lingkungan hidup
manusia. Apabila gempa bumi terjadi di bawah laut maka pengangkatan dasar laut
yang terjadi menyebabkan terjadinya tsunami. Tsunami berbeda dengan gelombang
laut biasa. Gelombang laut biasa terjadi karena tenaga arus angin di atas sehingga
hanya bagian atas dari badan air saja yang bergerak.

Gelombang tsunami menggerakan seluruh badan air dan dengankecepatan yang


sangat tinggi. Dilaut dalam kecepatan gelombang tsunami mencapai 700 km/jam.
Makin mendekat ke pantai, laut makin dangkal sehingga kecepatannya berkurang,
namun hal ini membuat amplitudo gelombang semakin besar. Oleh karena itu
tsunami bisa sangat berbahaya, walaupun dengan tingi gelombang yang hanya 1-3
meter sama seperti gelombang badai biasa tapi daya momentumnya jauh lebih besar.
Efek terjangan tsunami dapat menimbulkan kerusakan hebat pada lingkungan alam
dan lingkungan hidup manusia seperti yang terjadi tsunami Aceh tahun 2004.
Berdasarkan katalog gempa (1629 – 2002) di Indonesia pernah terjadi tsunami
sebanyak 109 kali, yakni 1 kali akibat longsoran (landslides), 9 kali akibat gunung
berapi dan 98 kali akibat gempa bumi tektonik. Gempa yang menimbulkan tsunami
sebagian besar berupa gempa yang mempunyai mekanisme fokus dengan komponen
dip-slip, yang terbanyak adalah tipe thrust (Flores, 1992) dan sebagian kecil tipe
normal (Sumba, 1977). Gempa dengan mekanisme fokus strike slip kecil sekali
kemungkinan untuk menimbulkan tsunami.

Berdasarkan pengamatan dan survai lapangan yang telah dilakukan, gelombang


tsunami telah masuk sejauh tidak kurang dari dua kilometer di banyak bagian yang
morfologinya relatif datar seperti kota~kota Banda Aceh dan Meulaboh. Aspek
morofologi yang relatif datar ini akan menjadi bagian penting bagi pertimbangan
pembangunan kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami.
Gambar 1. Sumber Gempa Bumi di Lepas Pantai Barat Sumatera

Bencana di Aceh memberikan pelajaran beberapa aspek penting yang perlu


dipelajari dan diperhatikan dalam pembangunan kembali Aceh pasca bencana
tsunami. Aspek penting tersebut adalah didasarkan atas:

- Kajian tingkat kerusakan, pemetaan daerah terkena tsunami dan kondisifisik dan
ekologis kawasan pesisir pasca bencana tsunami.
- Pemetaan kembali wilayah pesisir terutama akibat adanya penurunan daratan
kawasan pesisir
- Pembuatan zonasi kerentanan multibencana (gempa, tsunami, banjir, longsor dan
lain- lain).
- Aspek pendidikan bencana
Dalam penataan ruang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan
pemanfaatan ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk
pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu
berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengakomodasian kajian dan pemetaan zona kebencanaan sebagai salah satu dasar
dalam merumuskan struktur dan pola ruang dalam RT/RW. Tidak sekedar
menempatkan kawasan rawan bencana sebagai salah satu zona, tetapi juga
menempatkan kawasan budidaya dengan mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya bencana pada kawasan tersebut.

Pada dasarnya kebencanaan merupakan suatu aspek yang tidak dapat terpisahkan
dengan ilmu perencanaan wilayah dan kota sendiri. Bencana yang terjadi karena
adanya pertemuan antara Hazard dan Vulnerability, bukanlah sesuatu hal yang sama
sekali tidak dapat dihindari atau paling tidak diminalisir dampaknya. Resiko dari
terjadinya bencana pun akan semakin meningkat ketika tidak adanya kapasitas yang
dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut.
Upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi
pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan
adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana
dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana
sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan. Dalam hal ini,
dapat diintegrasikan dengan gagasan Penataan Ruang Istimewa.
Jadi penataan ruang istimewa bukan sekedar penataan ruang wilayah yang
mengakomodasi ruang-ruang keistimewaan, tetapi juga berbasis pada pengurangan
resiko bencana.
C. Konsep Penanganan Persoalan Pengembangan Wilayah Berbasis Mitigasi
Bencana
Pengurangan resiko bencana, atau lebih populer dengan mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Pengertian ini menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana bersifat preventif
dan harus diletakkan pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang
mengikat bagi pelaku pembangunan. Instrumen ini berperan sebagai guidence
pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi
pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana. Hal ini menunjukkan
bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat diletakkan melalui penataan
ruang.
Hingga kini terdapat berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan aspek
kebencanaan didalam perencanaan tata ruang. Tanpa kita sadari permukiman sudah
banyak terbangun di perbukitan yang rawan longsor ataupun banjir. Seperti bangun
dari tidur, pada akhirnya muncul berbagai program atau kegiatan mitigasi baik
struktural maupun non-struktural untuk menghadapi permasalahan tersebut. Karena
bukanlah hal yang mudah untuk merelokasi permukiman yang sudah terbangun di
suatu tempat ke area lain yang dianggap relatif lebih aman terhadap bencana.
Berbagai program atau kegiatan mitigasi bencana tersebut menjadi suatu pengungkit
tersendiri yang diharapkan mampu mengurangi kerentanan ataupun meningkatkan
kapasitas.
Ada beberapa mitigasi bencana yang dapat di lakukan dalam mengurangi
dampak yang ditimbulkan akibat bencana gempa bumi dan tsunami, yaitu :
a. Hazard Assessment (Mengadakan analisis bahaya yang akan ditimbulkan)
Gempa bumi berakibat langsung dan tak langsung. Akibat langsung adalah
getaran, bangunan rusak/roboh, gerakan tanah (tanah terbelah, bergeser), longsor,
liquification (berubah sifat menjadi cairan), tsunami dan lain-lain. Sedangkan
akibat tidak langsung adalah gejolak sosial, kelumpuhan ekonomi, wabah
penyakit, gangguan ekonomi, kebakaran dan lain-lain. Sebenarnya akibat gempa
ini tergantung dari kekuatan gempa dan lokasi kejadian. Lokasi kejadian apakah
di kota, di desa atau di hutan, tentunya tingkat bahaya akan lebih tinggi bila
terjadi di kota.
b. Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Untuk melaksanakan mitigasi bencana, salah satu tindakan adalah membuat
suatu sistem peringatan dini. Seperti kita ketahui bahwa gempabumi dan tsunami
yang terjadi di Aceh yang lalu telah menalan banyak korban dan keruskan di
berbagai negara dan Indonesia mengalami dampak paling parah.
Prinsip dasar pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah bahwa
ada selang/jeda waktu antara terjadinya gempabumi dengan tsunami. Jeda waktu
antara kejadian gempabumi dengan tsunami yang tiba dipantai terjadi karena
dalam pembentukan tsunami perlu proses dan adanya perbedaan kecepataan
antara gelombang gempaumi dengan tsunami. Kecepatan gelombang gempabumi
jauh lebih cepat dibandingkan dengan gelombang tsunami. Sehingga gelombang
gempabumi akan lebih dahulu sampai di pantai dibandingkan gelombang
tsunami.
Saat ini BMG telah mengoperasikan system TREMORS (Tsunami Risk
Evaluation Through Seismic Moment from a Real-time System) untuk
mendeteksi gempa bumi yang menimbulkan tsunami. Namun belum efektif,
karena informasi yang keluar lebih dari 30 menit setelah gempabumi terjadi. Hal
ini karena TREMORS bekerja berdasarkan pembacaan waktu tiba gelombang
primer, gelombang sekunder, gelombang permukaan dan amplitudo. Hal ini
menyebabkan sistem ini tidak efektif sebagai peringatan dini tsunami lokal
c. Educational Program (Program Pendidikan)
Pengetahuan dan pemahaman mengenai bencana alam sangat penting untuk
semua lapisan masyarakat, sehingga perlu dimasukan dalam program pendidikan
sejak usia dini atau sejak pendidikan dasar. Sebelum resmi masuk di dalam
kurikulum pendidikan maka BMG Wilayah I telah melakuakn sosialisasi tentang
peningkatan pemahaman masyarakat ini ke sekolah-sekolah di Sumatera Utara,
tujuannya adalah agar siswa paham bahwa di wilayah Indonesia khususnya
Sumatera Utara ini merupakan daerah yang rawan bencana alam. Sejak dini para
siswa diharapakan mampu mengantisipasi bila bencana datang agar dampak
bencana dapat diminimalkan.
d. Land Use Manajemen
Dalam penggunaan lahan juga sangat perlu diperhatikan kemungkinan
terjadi bencana. Misalnya: untuk mengurangi laju arus tsunami di pinggir pantai
perlu dipelihara/ditanam tanaman yang mampu mengurangi laju gelombanga
tsunami, mislanya mangrove harus tetap dipertahankan, menanam pohon-pohon
dengan skala luas di sekitar pantai dsb.
e. Building Code
Building Code pada prinsipnya membangun bangunan tahan gempa,
berdasarkan zonasi tingkat kerawanan gempa atau percepatan tanah. Dari zona-
zona kerawanan gempa tersebut bangunan akan dirancang bangunan bagaimana
yang harus tahan gempa.

D. Kasus Tsunami di Aceh


Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU
dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota
Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang
(Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan
Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.

Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan


Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1)
mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia
Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui,
diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari
korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan
kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.

Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262
orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami
diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia,
115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang,
diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.

E. Manajemen Penanggulangan Bencana Tsunami


Ketidakberdayaan atau menurunnya kapasitas merupakan gambaran umum yang
seringkali nampak di setiap wilayah ataupun setiap komunitas yang telah tertimpa
bencana. Gambaran itu pulalah yang nampak di NAD dan Sumut pasca bencana
gempa dan tsunami.. Trauma yang luar biasa, hilangnya aset-aset sosial yang dimiliki
komunitas, porak prandanya modal-modal fisik berupa infrastruktur dasar serta
hilangnya sumber mata pencaharian, secara akumulatif telah menimbulkan suasana
ketidakberdayaan yang sangat kompleks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
bencana gempa dan tsunami NAD dan Sumut telah menyebabkan hilangnya atau
menurunnya kapasitas penduduk untuk menjalankan fungsi keindividuannya dan
fungsi sosial mereka. Pemahaman akan kondisi ini menjadi hal penting yang
mendasar dalam penentuan manajemen bencana di NAD dan Sumut.
Pada hakekatnya manajemen bencana di NAD dan Sumut hendaklah
mendasarkan pada prinsip community based dan bersifat memberdayakan. Dengan
mendasarkan diri pada komunitas, maka berbagai tindakan manajemen dalam bentuk
kebijakan maupun aktivitas pengurangan resiko bencana haruslah dirancang oleh dan
untuk komunitas yang ada di wilayah NAD dan Sumut. Dengan prinsip ini pula maka
manajemen bencana dituntut untuk selalu menempatkan masyarakat sebagai subyek
yang aktif dan memiliki berbagai kemampuan atau kapasitas yang dapat
diberdayakan. Semua pihak baik pemerintah, masyarakat ataupun swasta haruslah
ditempatkan sebagai subyek yang setara. Semua harus berperan utama, bukan hanya
berperan serta. Berbagai tindakan manajemen bencana haruslah selalu diarahkan pada
capaian dampak jangka panjang berupa kondisi masyarakat NAD dan Sumut yang
berdaya baik dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga atau masyarakat dalam
rangka mengatasi tingkat kerentanan terhadap bencana terutama gempa dan tsunami.
Prinsip back to basic juga menjadi prinsip yang harus mendasari pola manajemen
bencana di kedua wilayah. Dengan pemahaman akan tingkat kerentanan di kedua
wilayah bencana ini, maka berbagai kebijakan maupun aksi pembangunan yang
dilakukan harus dapat menyesuaikan dengan alam, meningkatkan kapasitas manusia
dan tidak menghantarkan komunitas atau wilayah pada bencana. Prinsip demikian
menjadi penting untuk menghindarkan diri dari resiko bencana di kedua wilayah.
Dengan pertimbangan kondisi NAD dan Sumut saat ini, yang sedang berada
dalam suasana krisis, maka manajemen bencana di kedua wilayah lebih diarahkan
pada upaya untuk penanggulangan situasi krisis yang disebabkan oleh bencana. Hal
ini tentulah dilakukan dengan tidak mengabaikan upaya untuk menetapkan landasan
keberdayaan serta kesiapan bagi warga wilayah NAD dan Sumut untuk menghadapi
ancaman bencana, yang merupakan bagian dari tujuan manajemen bencana.
Berdasarkan pada ketiga prinsip yang telah dipaparkan di atas, maka model
manajemen bencana pada fase penanggulangan bencana haruslah menjadi pola
manajemen yang memfokuskan pada peningkatan kapasitas penduduk korban dalam
rangka mengatasi krisis yang mereka hadapi, membangun kesiapan diri terhadap
bencana dengan mendasarkan pada pilihan serta pertimbangan mereka yang
bersesuaian dengan kondisi alam dan tanpa bersifat paksaan. Pemahaman manajemen
bencana seperti ini hendaknya akan menempatkan penduduk NAD dan Sumut
sebagai subyek dalam manajemen bencana. Oleh karena itu kegiatan penanggulangan
bencana yang dilakukan hendaklah tidak bersifat reaktif tetapi lebih mendasarkan
pada analisis kebutuhan masyarakat NAD dan Sumut yang dilakukan secara seksama
dan komprehensif. Dengan pola semacam ini maka berbagai tindakan penanggulan
yang dilakukan akan lebih berorientasi pada pembangunan kapasitas baik kapasitas
untuk mengembangkan prilaku adaptif, rasional dan pro-sosial atau kapasitas dan
kesediaan untuk menjalin interaksi sosial dalam masyarakat dan bukan
mengutamakan pada pengerahan bantuan material atau fisik semata.
Sedangkan manajemen bencana yang berorientasi untuk menciptakan kesiapan
terhadap bencana dan menghindarkan atau meminimalkan dampak dapat dilakukan
dengan penyusunan kerangka kerja persiapan bencana yang bersifat komprehensif.
Kerangka tersebut dapat meliputi kegiatan pengkajian kerentanan, perencanaan,
kerangka kerja institusional, sistem informasi, basis sumber daya, sistem peringatan,
mekanisme respon, pendidikan, pelatihan dan penelitian serta gladi.
1) Pengkajian kerentanan
Kegiatan pengkajian kerentanan merupakan kegiatan strategis yang
dapat dilakukan dengan cara penelitian. Kajian kerentanan ini hendaknya
diarahkan pada korban gempa dan tsunami, objek wilayah, kondisi bangunan
dan infrastruktur serta korban gempa dan tsunami. Kegiatan ini pada akhirnya
diharapkan akan dapat menghasilkan informasi mengenai tingkat kerentanan
pada obyek yang beraneka. Kajian kerentanan yang diarahkan untuk
melakukan pemetaan zona-zona yang rentan bencana di wilayah NAD dan
Sumut, hendaknya dapat menghasilkan sebuah peta zonasi bencana hingga
pada unit yang paling rendah yakni dusun atau gampong untuk wilayah NAD
dan unit dusun di wilayah Sumut. Kajian kerentanan yang diarahkan pada
obyek bangunan dan infrastruktur di wilayah yang terkena gempa dan tsunami
hendaknya dapat memberikan informasi mengenai standar bangunan yang
tahan gempa dan tsunami.
Kegiatan ini dapat dilakukan pada bangunan dan infrastuktur yang
masih utuh atau bertahan pada saat gempa dan tsunami 26 Desember 2004
lalu. Kajian kerentanan lain yang perlu dilakukan adalah kajian pada korban
gempa dan tsunami. Melalui kajian ini diharapkan akan terdapat penegasan
informasi mengenai cara pengamanan diri dan tingkat kerentanan sebuah
wilayah untuk menjadi kawasan hunian. Seluruh kajian ini hendaknya
dilakukan secara berkelanjutan sehingga khusus terhadap kajian kerentanan
korban, dapat diidentifikasikan kelompok masyarakat yang rentan terhadap
bencana. Rentan dalam hal ini dikaitkan dengan kemampuan mereka untuk
memulihkan trauma akibat bencana. Hasil pengkajian ini tentunya dapat
meningkatkan pemahaman publik akan tingkat kerentanan lingkungan, hunian
dan diri mereka sendiri. Informasi ini akan sangat berguna dalam
merencanakan kesiapan bencana baik bagi dirinya, keluarganya maupun
masyarakat di sekelilingnya
2) Perencanaan
Kegiatan pengkajian yang telah dilakukan akan dapat menjadi
informasi dasar bagi kegiatan perencanaan. Perencanaan tersebut haruslah
memiliki serangkaian tujuan yang jelas bagi semua pihak serta merefleksikan
rangkaian kegiatan yang logis. Perencanaan ini juga harus juga menetapkan
tugas dan tanggungjawab dari setiap stakeholder yang terlibat. Sebuah
perencanaan yang komprehensif akan dapat menggambarkan daya dukung
implementasi, jika dilakukan dengan cara yang partisipatif.
Berbagai pertimbangan serta masukan dari setiap stakeholder yang ada
harus mendapatkan ruang pembahasan sehingga tingkat pemahaman
mengenai tujuan dan langkah-langkah aksi yang akan ditetapkan kemudian
sudah akan terbangun dengan baik sejak dari fase perencanaan ini.
Perencanaan ini pun haruslah memiliki dasar legal yang cukup agar mampu
memiliki daya gerak terhadap seluruh komponen masyarakat karena
diarahkan untuk mengendalikan berbagai pilihan aksi pembangunan individu
maupun kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
3) Kerangka kerja institutional
Implementasi perencanaan yang partisipatif akan memiliki daya
dukung implementasi yang lebih besar jika perencanaan tersebut mendasarkan
pada sistem dan struktur yang telah ada dan berjalan dengan baik, sehingga
tidak menuntut perubahan dan adaptasi yang terlalu mendasar dari aspek
kelembagaan. Lembaga yang dibentuk ini haruslah kuat serta memiliki
kapabilitas serta kekuatan yang cukup untuk mengimplementasikan
perencanaan mitigasi. Oleh karena itu identifikasi mengenai peran dan
tanggungjawab dari setiap unit yang ada dalam lembaga tersebut haruslah
dipastikan sehingga dapat ditindaklanjuti dengan penempatan individu-
individu ataupun unit yang cocok dalam menjalankan peran dan
tanggungjawab yang ada.
4) Sistem informasi
Kerangka kesiapan bencana akan dapat dijalankan secara optimal jika
seluruh stakeholder yang ada paham akan berbagai informasi berkenaan
dengan tingkat kerentanan yang dihadapinya. Oleh karena itu, peran sistem
informasi menjadi sangat penting untuk menciptakan kesiapan tersebut.
Seluruh pihak perlu memahami informasi ancaman bahaya sepanjang waktu.
Jaminan distribusi informasi yang berkelanjutan dan valid ini menjadi tugas
dari institusi fungsional yang resmi seperti Badan Meteorologi dan Geofisika.
Namun demikian akurasi dan kontinuitas informasi bukanlah merupakan
jaminan kondisi kesiapan publik.
Lembaga fungsional yang berwenang tadi juga harus menjamin agar
informasi yang tepat, sampai pada orang yang tepat, dengan cara yang tepat
pula. Oleh karena itu, penggunaan cara-cara informatif yang sesuai dengan
kondisi penerima informasi harus mendapat perhatian yang cukup. Informasi
ini juga diharapkan akan menjadi sebuah bentuk peringatan dini bagi pihak-
pihak yang terkait, sehingga masing-masing pihak akan mampu menentukan
tindak lanjut dari informasi tersebut secara tepat.
5) Basis sumber daya
Penyusunan kelembagaan tentulah harus didukung dengan kesiapan
dana manajemen bencana yang mampu membiayai langkah-langkah
pelaksanaan program secara berarti sehingga efektif dalam rangka pencapaian
tujuan. Mekanisme koordinasi bantuan juga hendaknya didesain dengan tepat
termasuk mekanisme penyimpanan bantuan serta distribusinya.
6) Sistem peringatan
Upaya untuk menciptakan kesiapan bencana pada publik juga
hendaknya dilengkapi dengan sistem peringatan yang efektif bagi masyarakat,
dalam arti dijamin akan dipatuhi oleh masyarakat. Sistem peringatan ini pun
hendaknya harus diciptakan dengan asumsi bahwa sistem komunikasi tidak
berfungsi pada saat bencana terjadi, sehingga dimungkinkan untuk
menciptakan sistem peringatan alternatif. Cara-cara peringatan yang
diarahkan untuk menjaga ingatan publik juga hendaknya diciptakan sebagai
cara untuk tetap mengendalikan berbagai prilaku masyarakat serta
menciptakan kewaspadaan diri.
Penetapan tanggal 26 Desember sebagai hari peringatan bencana
nasional merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan. Penempatan
tanda-tanda khusus di lokasi-lokasi bekas bencana yang juga
menginformasikan mengenai bentuk bencana, tahun bencana dan korban
bencana juga dapat diterapkan dalam rangka membangun kewaspadaan
publik. Selain itu menjaga berbagai macam bentuk kearifan lokal yang sudah
dipraktekan dalam rangka mitigasi bencana juga tetap dapat dipertahankan,
seperti mitos masyarakat tentang smoong yang berlaku di Pulau Simeuleu
yang ternyata masih efektif dipercaya masyarakat setempat dan mampu
menyelamatkan warga masyarakat dari bencana gempa dan tsunami.
7) Mekanisme respon
Perencanaan mekanisme respon terhadap bencana haruslah ditetapkan
dengan matang dan komprehensif. Prosedur evakuasi dan SAR, keadaan
daerah yang terkena bencana, tim penilai, mekanisme aktivasi instalasi dan
prasarana khusus, penyiapan distribusi bantuan, tempat perlindungan serta
perencanaan pengaktifan program emergensi untuk bandara, pelabuhan dan
transportasi darat merupakan hal-hal minimal yang harus tercover dalam
mekanisme respon bencana.
8) Pendidikan, pelatihan dan penelitian
Sehubungan dengan masih rendahnya pemahaman seluruh stakeholder
tentang bencana dan manajemen bencana, maka program pendidikan yang
diarahkan untuk memberikan informasi serta menumbuhkan pemahaman akan
bencana haruslah ditanamkan sejak awal. Upaya pendidikan kebencanaan
yang dimasukkan sebagai kurikulum baku, pelatihan khusus melalui
lokakarya merupakan alternatif yang dapat ditempuh dalam rangka
pendidikan dan pelatihan.
Upaya penelitian berkaitan dengan bencana juga harus dilakukan
dengan dukungan dana dan fasilitas yang memadai. Pelatihan-pelatihan juga
dapat dilakukan ke seluruh kelompok masyarakat dengan cara-cara yang tepat
sesuai dengan karakter target group. Pelatihan hendaknya diarahkan untuk
memahami tata cara penyelamatan diri. Media-media cetak dan elektronik
dapat digunakan secara optimal untuk menjangkau seluruh elemen publik.
Sosialisasi mengenai bencana dan manajemen bencana juga dapat
menggunakan media poster-poster yang sangat mudah untuk dicerna
masyarakat.
9) Gladi
Pemberian informasi serta pengetahuan akan lebih bermakna dan
mampu menggerakkan pemahaman target group bila disampaikan dengan
metode praktis misalkan dalam bentuk gladi yang merupakan simulasi dengan
skenario yang tepat. Pola gladi atau pelatihan ini merupakan salah satu fungsi
kontrol dalam manajemen bencana berbasis masyarakat. Gladi ini haruslah
dikemas dalam pola yang serius, dilaksanakan secara rutin dan luas dalam arti
diarahkan pada seluruh masyarakat, sehingga benar-benar akan mampu
menciptakan pemahaman dan kesiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Dalam rangka ini berbagai modul pelatihan yang mudah diserap
harus disiapkan dalam rangka memudahkan pelaksanaan gladi.

F. Ancaman dan Risiko Bahaya Bencana Tsunami

a) Berbagai permasalah pada kesehatan lingkungan pasca tsunami


Peristiwa besar yang dialami daerah Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 26
Desember 2004 lalu, tetutama dalam permasalahan kesehatan. Permasalahan
yang ada sangatlah beragam, seperti terganggunya kesehatan masyarakat Aceh
maupun kesehatan lingkungan setelah terjadinya tsunami. Dalam hal ini akan
lebih banyak pembahasan mengenai kesehatan lingkungan, karena faktor
penyebab yang paling banyak mempengaruhi kesehatan korban ialah adanya
gangguan lingkungan yang diakibatkan oleh gelombang besar tsunami. Selain
itu, lingkungan sekitar harus segera di perbaikan darurat (sementara) untuk
pengungsian, pelayanan kesehatan maupun kegiatan lainnya yang dibutuhkan
bagi para korban. Gangguan kesehatan lingkungan serta dampaknya.
a. Jenazah dan bangkai hewan
Menurut buku terbitan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO),
Environmental Health in Emergencies and Disaster: a Practical Guide,
menggungkapkan bahwa jenazah umumnya tidak menimbulkan gangguan
kesehatan serius, kecuali jika mencemari sumber air minum dengan tinja atau
terinfeksi oleh tifus atau pes yang bisa disebarkan lalat atau kutu
Jenazah tidak menimbulkan ancaman kesehatan jika ditangani secara
benar, dikarenakan kuman penyakit tidak bertahan lama dalam tubuh manusia
yang telah mati, kecuali HIV yang bisa bertahan sampai enam hari. Selain itu,
petugas yang menangani jenazah berisiko tertulartuberkulosis, penyakit yang
menular lewat darah (hepatitis B dan C serta HIV) serta infeksi pencernaan.
Tuberkilosis bisa menular melalui udara jika kuman terbang ke udara dari sisa
udara di paru jenazah, paparan penyakit melalui darah terjadi jika ada kontak
langsung dengan cairan tubuh atau darah korban.
Sedangkan infeksi pencernaan terjadi karena pada umumnya jenazah
mengekuarkan tinja. Penularan kuman bisa terjadi jika petugas tidak mencuci
tangan dengan sabun secara bersih. Mayat yang mencemari sumber air juga bisa
menyebabkan infeksi pencernaan.
b. Kondisi tempat pengungsian
Terbatasnya tempat pengungsian terutama dalam hal daya tampung korban,
menjadikan banyaknya orang berkumpul dipenampungan, keadaan yang lelah,
stress ditambah cuaca dingin, berangin, dan hujan akan memudahkan terjadinya
wabah infeksi saluran pernapasan, mulai dari pilek, bronchitis, sampai
pneumonia (radang paru). Masalah tuberkolusis juga bisa bertambah dalam
jumlah dan keparahan.
c. Sanitasi air
Adanya genangan air dan kotoran sisa bencana serta kekurangan pasokan
air bersih merupakan beberapa pencemaran air yang terjadi pasca bencana
tsunami. Selain itu menurunnya kualitas kebersihan akan menimbulkan berbagai
penyakit kulit.
Menurut salah satu pengajar di Department Kedokteran Komunitas FKUI,
gelombang laut yang membanjiri dan menyapu berbagai kotoran berpotensi
mencemari sumber air bersih. Karena itu, perlu diwaspadai penyakit yang
ditimbulkanoleh tercemarnya air (waterborne disease), seperti diare atau
muntaber dan kolera.
d. Pencemaran makanan dan minuman
Menurut sebuah artikel mengenai dampak tsunami terhadap hygiene
sanitasi makanan dan air, terbitan media Media Litbang Kesehatan. Terdapat
laporan Kejadian Luar Biasa (KLB), kasus keracunan makanan diderah Tanah
Pasir yang menyebabkan 274 penderita mengalami keracunan makanan. Jumlah
penderita yang dirawat sebanyak 38 orang dengan tanda-tanda pusing, dan
muntah. Dari hasil penelitian dampak tsunami terhadap higiene dan sanitasi
tempat pengolahan makanan di beberapa Barak pengungsi Nanggroe Aceh
Darussalam antara lain, 166 spesimen diperiksa ternyata 35,5% terkontaminasi
kuman pathogen. Perilaku penjamah 55,1% belum melakukan higiene sanitasi
dengan benar, kemungkinan disebabkan kondisi rumah/tempat tinggal (barok)
masih dalam keadaan darurat. kondisi barak satu dengan barak lain hanya
dibatasi oleh dinding, 5-12 keluarga menggunakan dapur bersama-sama,
sehingga kemungkinan terjadi pertukaran/pinjam meminjam alat masak.
Kemudian dari hasil pemeriksa laboratorium, penyebab keracunan makanan
tersebut adalah kuman Staphylococcus aureus dan keracunan zat kimia nitrit.1
Terjadinya keracunan dapat disebabkan oleh tercemarnya air yang
digunakan untuk mengolah ataupun mencuci bahan dan peralatan
makanan/masak atau oleh faktor lain, seperti sarana dan prasarana tempat
pengolahan makanan, pemilihan bahan, serta cara penyajian yang tidak higienis.

1
Gambar 2. Gangguan Kesehatan Lingkungan (Penyebab Polusi Dan Penyakit Pasca
Bencana)

Berikut adalah ciri ciri akan terjadi tsunami di daerah sekitar anda agar
diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya tsunami :

1. Kondisi air
Biasanya orang yeng letak daerahnya berada di sekitar pantai, memang di
lebih di waspadai dari pada yang ada di daratan. Pasalnya tsunami lebih mungkin
bisa terjadi di daerah yang sekitarnya lautan. sebelum terjadi tsunami, keadaan air
akan berbeda. Biasanya lebih surut secara tiba tiba.

2. Terdengar suara gemuruh


Bukan hanya soal keadaan air dan luat, ada pula di tandai dengan bentuk
lain. Salah satunya adalah terdengar suara gemuruh yang besar dari kejauhan.
Suara ini terdengar besar dan keras.

3. Keberadaan hewan hewan lain


Selain itu juga bisa di deteksi dengan hewan lain. Salah satunya adalah
keberadaan burung burung. Sebelum terjadi gejala tsunami, ada beberapa hal
yang aneh. Misalnya keberadaan burung yang tiba tiba berpindah pindah dari
keadaan pulau kecil. Biasanya mereka akan pergi menuju ke tengah lautan.

4. Terdapat gempa pengiring


Tsunami tidak bisa tiba tiba datang begitu saja. Pasti sudah ada gempa
yang mengawali terlebih dahulu. Salah satunya adalah gempa tektonik dan gempa
vulkanik. Maka jika di daerah anda tiba tiba ada gempa, anda perlu sedikit
waspada. Gempa yang baru saja terjadi adalah gempa yang memiliki kekuatan
tinggi atau tidak. Jika masih memasuki kekuatan rendah, maka anda bisa
tersenyum lega. Tapi jika sudah masuk dalam kategori tinggi, maka ada resiko
adanya gempa susulan bahkan sampai mencapai tsunami.

5. Adanya gelombang yang tidak biasanya

Gelombang yang ada merupakan salah satu tanda tanda adanya tsunami
akan datang. Apalagi gelombang yang muncul merupakan gelombang yang di
nilai aneh dan tidak biasanya. Bisa saja gelombang yang memicu terjadinya
tsunami merupakan bagian dari renteten gelombang yang ada. Atau bisa juga
gelombang yang muncul di mulai dari gelombang yang kecil, kemudian
gelombang yang besar. Baru setelah itu muncul tsunami yang sisanya akan
mengakibatkan erosi tanah.

6. Ada suara gemuruh yang menggelegar


Bukan hanya itu, terjadinya tsunami juga bisa timbul karena adanya suara
gemuruh yang menggelegar. Hal ini di sebabkan karena air yang ada menghantam
lautan. Jika anda mendengar ini maka ada baiknya anda khawatir akan timbul
tsunami. Kemungkinan suara ini muncul karena lempengan yang patah tadi
menabrak air lautan. Sehingga menghasilkan suara yang keras.

7. Keadaan awan langit


Tanda tanda alam lainnya sebelum terjadi tsunami akan berubah. Salah
satunya adalah keadaan awan yang berbentuk lebih gelap dan mendung. Bahkan
tak jarang di jumpai tornado atau angin serupa yang lainnya. Hal ini semua bisa
terjadi karena adanya gelombang elektromagnetis dari dasar lapisan atmosfer
bumi. Ini menyebabkan daya listrik di awan tertelan oleh gelombang gelombang
lainnya.

G. Upaya Penanggulangan
Kejadian tsunami mengakibatkan banyak kerugian dalam fasilitas infrastruktur
dan memakan banyak korban. Menurut Bappenas, kegiatan tanggap darurat yang
dilakukan seperti; evakuasi dan pemakaman jenazah korban, penanganan pengungsi,
pemberian bantuan darurat, pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih,
pembersihan kota dan membangun shelter sementara. Upaya penanggulangan
bencana Tsunami Aceh secara umum dapat dibedakan berdasarkan kategori instantsi
yang terlibat:
1. Pemerintahan
Tsunami Aceh telah mengundang berbagai negara untuk ikut serta
dalam menangulangi korban serta pembangunan kembali di berbagai
infrastruktur yang hancur. Berikut kontribusi pemerintahan baik dari Indonesia
maupun luar negeri dalam pembangunan kembali Aceh:
a) Indonesia
Dalam penanggulangan bencana tsunami Aceh negara Indonesia tidak
mampu menyelesaikan dengan sendirinya. Sehingga perlu adanya bantuan baik
dari pemerintahan maupun non pemerintahan. Pemerintahan Indonesia
membentuk BRR sebagai lembaga yang mengawasi aktivitas pembangunan di
Aceh dan Nias. BRR telah diberikan mandat sebagai memberdayakan dan
membangun kembali birokrasi serta aparat pemerintahan daerah di Aceh dan
Nias.
Selain itu sebagai kesempatan yang melahirkan peluang untuk menjadikan
proses rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai role model bagi upaya menegakkan
aparat pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance).
Selain itu BRR, bantuan yang diberikan terbanyak berasal dari donasi non
pemerintahan (individu, bisnis, yayasan dan lembaga donasi, berkonstribusi
hingga separuh dana total bantuan dari PBB).

b) Non Indonesia
Negara Jepang sebagai salah satu negara yang berada di wilayah Ring of
Fire, sehingga pernah mengalami peristiwa yang sama. Maka dari itu Jepang
memberikan bantuan dalam upaya penanggulangan bencana bentuk darurat
maupun jangka panjang. Melalui organisasi Japan International Cooperation
Agency (JICA). Lembaga bantuan pemerintah Jepang ini memberikan beberapa
program bantuan yang diantaranya; bantuan darurat (bantuan air bersih,
sanitasi, dan kesehatan), bantuan infrastruktur dasar, selain itu Jepang juga
memberikan bantuan dengan membuka konsultasi rehabilitasi membuka
lapangan pekerjaan dibidang perikanan, peternakan, pertanian hingga industri
rumah.

Selain itu JICA juga melakukan kerjasama lembaga pemerintahan


Indonesia dengan strateginya “Penguatan kapasitas tata pemerintahan untuk
melaksnakan otonomi daerah khusus”. Program ini dirancang untuk
membangun kembali permasalahan kurangnya SDM karena Tsunami dan untuk
memperkuat kapasitas pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan
kecamatan dalam melaksanakan otonomi khusus. Misalnya dengan melakukan
Pelatihan Camat, Pegawai Pemerintahan Lokal, dan Pilkada.

Lembaga internasional juga ikut merespon bantuan darurat 24 jam setelah


kejadian Tsunami misalnya CIDA sebagai lembaga bantuan dari pemerintahan
Kanada dalam bentuk kesehatan, fasilitas air bersih dan sanitasi, bekerjasama
dengan beberapa NGO seperti World Renew dan Palang Merah

Internasional/International Red Cross. Fokus program CIDA di Aceh


berupa; tata kelola pemerintahan, kehidupan berkelanjutan, perumahan dan
memperkuat perdamaian.

Menurut data Financial Tracking Service United Nations Office for The
Cordination of Humanitarian Affairs pada tahun 2005, sebagai tahun yang
banyak negara mulai memberikan bantuan pasca tsunami yang akan dijelaskan
di tabel berikut:

Tabel 1.1
10 Donasi Terbesar Bantuan Tsunami
Jumlah Dana
No Bentuk Organisasi / Pedonor
(US$)
1 Private Donations 3.129.000.000
2 Japan 502.000.000
DEC (Development Emergency Committee)
3 471.000.000
UK
4 UNICEF 282.000.000
5 European Commission 154.000.000
6 UK 137.000.000
7 US 134.000.000
8 Germany 126.000.000
9 Canada 117.000.000
10 Norway 83.000.000
Total $ 4.756.640.000

Sumber: The Guardian, Where Did Indian Ocean Tsunami Aid Money Go,
https://www.theguardian.com/global-development/2014/dec/25/where-did-indian
ocean-tsunami-aid-money-go diakses pada 13 Maret 2017
2. Non Pemerintahan
Lembaga Non Pemerintahan sebagai salah satu donatur terbesar dalam
penanggulangan tsunami Aceh. Karena kejadian ini merugikan sumber daya
Aceh dan telah menarik simpati berbagai pihak. Berikut salah satu LSM yang
berpartisipasi dalam penanggulangan tsunami Aceh:

a) Indonesia
The Wahid Institute, salah satu lembaga dari Indonesia yang memiliki
visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid dalam memajukan pengembangan
masyarakat toleran, multikultural, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin, membangun demokrasi dan keadilan fundamental dan memperluas nilai
perdamaian dan non kekerasan baik di Indonesia maupun di seluruh negara.
Setelah kejadian Tsunami yang telah menghancurkan wilayah Aceh dan
disekitarnya, Wahid Institute mengirimkan relawan serta bantuan darurat
berupa 10 box berupa makanan bayi, pakaian wanita dan obat-obatan. Dalam
program pemulihan kembali kondisi para korban, The Wahid Institute lebih
fokus distribusi bantuannya kepada yatim piatu yang disalurkan ke panti asuhan
dan keluarga yang bersedia menerima.

Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai lembaga dalam kesehatan juga


memberikan bantuan kemanusian yang merespon pada dua hari setelah kejadian
dengan mendistribusikan 1000 terpal sebagai tempat tinggal sementara, dan
perlengkapan rumah tangga untuk 9000 pengungsi yang terdiri dari kebutuhan
dasar, pakaian, perlengkapan kebersihan dan alat masak. Selain itu program
yang dilakukan diantaranya: evakuasi jenazah korban, bantuan medis, air
sanitasi, dan pemulihan keluarga dengan menemukan anggota keluarganya
melalui website International Commitee Red Cressant (ICRC).

b) Non Indonesia
ASEAN juga berpatisipasi dalam penanggulangan bencana, program
penanggulangan bencana di ASEAN diantaranya; dengan membentuk ASEAN
Humanitarian Assistance (AHA), pemanfataan aset sipil dan militer dalam
operasi bantuan bencana, pembentukan jaringan informasi dan komunikasi
antar negara anggota ASEAN pada permasalahan bencana. Persetujuan ini
ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane, Laos pada
26 Juli 2005. Tidak hanya di Pemerintahan yang berkontribusi dalam respon
pasca tsunami Aceh, UNICEF merespon dalam program operasi darurat
pemulihan dengan merestorasi fasilitas air dan sanitasi, membuka kembali
sekolah, membangun pusat bantuan anak-anak, mempertemukan kembali
korban dengan keluarganya yang terpisah, serta merekrut pekerja sosial dan
polisi khusus untuk memberikan layanan perlindungan anak yang terpisah
dengan keluarganya akibat dari tsunami. Selain itu juga UNICEF berperan
dalam mendukung pemulihan transisional, rekonstruksi dan pembangunan
jangka panjang. Pada program pemulihan pasca tsunami tahun, UNICEF
berfokus kepada perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan anggota
keluarga maupun pendidikan anak-anak.

World Vision sebagai salah satu NGO yang mengirimkan donasi yang
fokus utamanya pada program pembangunan tenda & infrastruktur, pemulihan
perekonomian, pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, perlindungan anak, dan
advokasi. Selain itu juga dalam cross cutting theme dalam keseteraaan gender,
World Vision juga lebih mengarahkan di setiap programnya untuk kaum
perempuan juga dapat berpartisipasi. Sehingga kaum perempuan juga dapat
memberikan kebebasan aspirasi dan membuka peluang bisnis serta menambah
kemampuan keterampilan.

Kesimpulan pada bab ini adalah kejadian tsunami Aceh 26 Desember 2004
telah merugikan baik secara fisik maupun psikis masyarakat Aceh. Dalam
upaya penanggulangan bencana ini maka negara Indonesia walaupun telah
memberikan fasilitas dalam tanggap darurat namun tidak mampu merehabilitasi
dengan sendirinya, selain itu juga memakan waktu yang lama jika Pemerintah
Indonesia sendiri yang menjalankan program pembangunan kembali di
Aceh. Sehingga perlu upaya bantuan dari luar negeri baik melalui
pemerintahan maupun lembaga bantuan.

Kerugian pasca tsunami juga telah menyebabkan angka kemiskinan yang


tinggi, sehingga perlu adanya bantuan dari luar negeri maupun LSM untuk ikut
berperan dalam membantu perekonomian agar pembangunan di Aceh agar
berkembang dengan pesat. Sebagian organisasi baik NGO dan pemerintahan
pada tahun pertama memberi bantuan berupa darurat misalnya kesehatan,
shelter, air bersih dan lainnya. Namun hingga tahun selanjutnya mulai LSM dan
lembaga pemerintahan mulai membuat program tertentu.

Bantuan yang berasal dari pemerintahan Indonesia yaitu pembentukan


BRR untuk memantau lembaga yang ikut berpatisipasi dalam kegiatan
pembangunan di Aceh pasca Tsunami. Selain itu bantuan lembaga masyarakat
dari Indonesia dengan PMI bantuan fasilitas medis, pemulihan korban serta
bantuan kebutuhan dasar. Wahid Institute juga berpatisipasi dalam bantuan ini
dengan mengirimkan bantuan kebutuhan rumah tangga bagi yatim piatu dengan
beberapa anggota keluarga.

Lembaga masyarakat internasional seperti UNICEF yang fokus utama pada


perlindungan anak, World Renew yang fokus utama pada pemulihan
perekonomian di Aceh. Sedangkan dalam lembaga pemerintahan yang berperan
dengan pemanfaatan sumber daya manusia serta pencegahan dan mitigasi
hingga rehabilitasi oleh ASEAN, membantu pembangunan kembali di
masyarakat Aceh seperti JICA. CIDA sebagai agen saluran bantuan dari
Pemerintahan Kanada kejadian Tsunami Aceh ini, menggunakan strategi
Aid Effectiveness sebagai strategi bantuan pembangunan kembali di Aceh.
Hal ini akan dibahas di bab selanjutnya, mengenai program yang direalisasikan
dalam pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami.

DAFTAR PUSTAKA

Sobirin, Supardiono, dkk. “Manajemen Gempa Dan Tsunami”. [Online]. Tersedia :


https://www.academia.edu/5839785/Manajemen_Bencana_Gempa_dan_Tsunam
i. [07 September 2017]
Amalin, Rofiqoh Etika. 2015. “Pengembangan Wilayah dengan Pengembangan
KonsepMitigasi Bencana”. [Online]. Tersedia :
https://www.academia.edu/12680208/Pegembangan_Wilayah_Dengan_Mempert
imbangkan_Konsep_Mitigasi_Bencana_Studi_Kasus_Bencana_Tsunami_Di_Ac
eh. [07 September 2017]
Tanpa Nama. “Bencana Gempa Dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, Kisah
Kelam Di Ujung Tahun 2004”. [Online]. Tersedia :
https://mymoen.wordpress.com/2009/12/26/bencana-tsunami-aceh-26-desember-
2004-kisah-kelam-di-ujung-tahun/. [07 September 2017]

Anda mungkin juga menyukai