DARUSSALAM (NAD)
LAPORAN
Oleh :
2017
A. Gambaran Umum Wilayah
Secara geografis daerah Aceh adalah Provinsi Aceh terletak di bagian barat
Indonesia tepatnya di bagian ujung Pulau Sumatera. Secara geografis Aceh terletak
antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan, dengan ketinggian rata-rata
125 meter diatas permukaan laut Secara kewilayahan, propinsi ini berbatasan dengan
daerah disekitarnya. Adapun batas- batas wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
antara lain meliputi :
Gempa dan gelombang tsunami yang melanda wilayah Aceh dan sekitarnya
bagaimana pun harus disikapi secara khusus. Baik masyarakat yang tinggal di
wilayah tsunami maupun pemerintah, instansi, badan dan masyarakat dunia lainnya
perlu sama-sama mempersiapkan diri menghadapi kejadian serupa di masa datang.
Perhatian khusus perlu diberikan mengingat Indonesia dan puluhan negara berada di
wilayah pertemuan lempeng tektonik yang rentan gempa dan tsunami.
- Kajian tingkat kerusakan, pemetaan daerah terkena tsunami dan kondisifisik dan
ekologis kawasan pesisir pasca bencana tsunami.
- Pemetaan kembali wilayah pesisir terutama akibat adanya penurunan daratan
kawasan pesisir
- Pembuatan zonasi kerentanan multibencana (gempa, tsunami, banjir, longsor dan
lain- lain).
- Aspek pendidikan bencana
Dalam penataan ruang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan
pemanfaatan ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk
pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu
berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengakomodasian kajian dan pemetaan zona kebencanaan sebagai salah satu dasar
dalam merumuskan struktur dan pola ruang dalam RT/RW. Tidak sekedar
menempatkan kawasan rawan bencana sebagai salah satu zona, tetapi juga
menempatkan kawasan budidaya dengan mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya bencana pada kawasan tersebut.
Pada dasarnya kebencanaan merupakan suatu aspek yang tidak dapat terpisahkan
dengan ilmu perencanaan wilayah dan kota sendiri. Bencana yang terjadi karena
adanya pertemuan antara Hazard dan Vulnerability, bukanlah sesuatu hal yang sama
sekali tidak dapat dihindari atau paling tidak diminalisir dampaknya. Resiko dari
terjadinya bencana pun akan semakin meningkat ketika tidak adanya kapasitas yang
dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut.
Upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi
pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan
adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana
dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana
sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan. Dalam hal ini,
dapat diintegrasikan dengan gagasan Penataan Ruang Istimewa.
Jadi penataan ruang istimewa bukan sekedar penataan ruang wilayah yang
mengakomodasi ruang-ruang keistimewaan, tetapi juga berbasis pada pengurangan
resiko bencana.
C. Konsep Penanganan Persoalan Pengembangan Wilayah Berbasis Mitigasi
Bencana
Pengurangan resiko bencana, atau lebih populer dengan mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Pengertian ini menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana bersifat preventif
dan harus diletakkan pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang
mengikat bagi pelaku pembangunan. Instrumen ini berperan sebagai guidence
pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi
pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana. Hal ini menunjukkan
bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat diletakkan melalui penataan
ruang.
Hingga kini terdapat berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan aspek
kebencanaan didalam perencanaan tata ruang. Tanpa kita sadari permukiman sudah
banyak terbangun di perbukitan yang rawan longsor ataupun banjir. Seperti bangun
dari tidur, pada akhirnya muncul berbagai program atau kegiatan mitigasi baik
struktural maupun non-struktural untuk menghadapi permasalahan tersebut. Karena
bukanlah hal yang mudah untuk merelokasi permukiman yang sudah terbangun di
suatu tempat ke area lain yang dianggap relatif lebih aman terhadap bencana.
Berbagai program atau kegiatan mitigasi bencana tersebut menjadi suatu pengungkit
tersendiri yang diharapkan mampu mengurangi kerentanan ataupun meningkatkan
kapasitas.
Ada beberapa mitigasi bencana yang dapat di lakukan dalam mengurangi
dampak yang ditimbulkan akibat bencana gempa bumi dan tsunami, yaitu :
a. Hazard Assessment (Mengadakan analisis bahaya yang akan ditimbulkan)
Gempa bumi berakibat langsung dan tak langsung. Akibat langsung adalah
getaran, bangunan rusak/roboh, gerakan tanah (tanah terbelah, bergeser), longsor,
liquification (berubah sifat menjadi cairan), tsunami dan lain-lain. Sedangkan
akibat tidak langsung adalah gejolak sosial, kelumpuhan ekonomi, wabah
penyakit, gangguan ekonomi, kebakaran dan lain-lain. Sebenarnya akibat gempa
ini tergantung dari kekuatan gempa dan lokasi kejadian. Lokasi kejadian apakah
di kota, di desa atau di hutan, tentunya tingkat bahaya akan lebih tinggi bila
terjadi di kota.
b. Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Untuk melaksanakan mitigasi bencana, salah satu tindakan adalah membuat
suatu sistem peringatan dini. Seperti kita ketahui bahwa gempabumi dan tsunami
yang terjadi di Aceh yang lalu telah menalan banyak korban dan keruskan di
berbagai negara dan Indonesia mengalami dampak paling parah.
Prinsip dasar pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah bahwa
ada selang/jeda waktu antara terjadinya gempabumi dengan tsunami. Jeda waktu
antara kejadian gempabumi dengan tsunami yang tiba dipantai terjadi karena
dalam pembentukan tsunami perlu proses dan adanya perbedaan kecepataan
antara gelombang gempaumi dengan tsunami. Kecepatan gelombang gempabumi
jauh lebih cepat dibandingkan dengan gelombang tsunami. Sehingga gelombang
gempabumi akan lebih dahulu sampai di pantai dibandingkan gelombang
tsunami.
Saat ini BMG telah mengoperasikan system TREMORS (Tsunami Risk
Evaluation Through Seismic Moment from a Real-time System) untuk
mendeteksi gempa bumi yang menimbulkan tsunami. Namun belum efektif,
karena informasi yang keluar lebih dari 30 menit setelah gempabumi terjadi. Hal
ini karena TREMORS bekerja berdasarkan pembacaan waktu tiba gelombang
primer, gelombang sekunder, gelombang permukaan dan amplitudo. Hal ini
menyebabkan sistem ini tidak efektif sebagai peringatan dini tsunami lokal
c. Educational Program (Program Pendidikan)
Pengetahuan dan pemahaman mengenai bencana alam sangat penting untuk
semua lapisan masyarakat, sehingga perlu dimasukan dalam program pendidikan
sejak usia dini atau sejak pendidikan dasar. Sebelum resmi masuk di dalam
kurikulum pendidikan maka BMG Wilayah I telah melakuakn sosialisasi tentang
peningkatan pemahaman masyarakat ini ke sekolah-sekolah di Sumatera Utara,
tujuannya adalah agar siswa paham bahwa di wilayah Indonesia khususnya
Sumatera Utara ini merupakan daerah yang rawan bencana alam. Sejak dini para
siswa diharapakan mampu mengantisipasi bila bencana datang agar dampak
bencana dapat diminimalkan.
d. Land Use Manajemen
Dalam penggunaan lahan juga sangat perlu diperhatikan kemungkinan
terjadi bencana. Misalnya: untuk mengurangi laju arus tsunami di pinggir pantai
perlu dipelihara/ditanam tanaman yang mampu mengurangi laju gelombanga
tsunami, mislanya mangrove harus tetap dipertahankan, menanam pohon-pohon
dengan skala luas di sekitar pantai dsb.
e. Building Code
Building Code pada prinsipnya membangun bangunan tahan gempa,
berdasarkan zonasi tingkat kerawanan gempa atau percepatan tanah. Dari zona-
zona kerawanan gempa tersebut bangunan akan dirancang bangunan bagaimana
yang harus tahan gempa.
Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262
orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami
diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia,
115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang,
diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara.
1
Gambar 2. Gangguan Kesehatan Lingkungan (Penyebab Polusi Dan Penyakit Pasca
Bencana)
Berikut adalah ciri ciri akan terjadi tsunami di daerah sekitar anda agar
diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya tsunami :
1. Kondisi air
Biasanya orang yeng letak daerahnya berada di sekitar pantai, memang di
lebih di waspadai dari pada yang ada di daratan. Pasalnya tsunami lebih mungkin
bisa terjadi di daerah yang sekitarnya lautan. sebelum terjadi tsunami, keadaan air
akan berbeda. Biasanya lebih surut secara tiba tiba.
Gelombang yang ada merupakan salah satu tanda tanda adanya tsunami
akan datang. Apalagi gelombang yang muncul merupakan gelombang yang di
nilai aneh dan tidak biasanya. Bisa saja gelombang yang memicu terjadinya
tsunami merupakan bagian dari renteten gelombang yang ada. Atau bisa juga
gelombang yang muncul di mulai dari gelombang yang kecil, kemudian
gelombang yang besar. Baru setelah itu muncul tsunami yang sisanya akan
mengakibatkan erosi tanah.
G. Upaya Penanggulangan
Kejadian tsunami mengakibatkan banyak kerugian dalam fasilitas infrastruktur
dan memakan banyak korban. Menurut Bappenas, kegiatan tanggap darurat yang
dilakukan seperti; evakuasi dan pemakaman jenazah korban, penanganan pengungsi,
pemberian bantuan darurat, pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih,
pembersihan kota dan membangun shelter sementara. Upaya penanggulangan
bencana Tsunami Aceh secara umum dapat dibedakan berdasarkan kategori instantsi
yang terlibat:
1. Pemerintahan
Tsunami Aceh telah mengundang berbagai negara untuk ikut serta
dalam menangulangi korban serta pembangunan kembali di berbagai
infrastruktur yang hancur. Berikut kontribusi pemerintahan baik dari Indonesia
maupun luar negeri dalam pembangunan kembali Aceh:
a) Indonesia
Dalam penanggulangan bencana tsunami Aceh negara Indonesia tidak
mampu menyelesaikan dengan sendirinya. Sehingga perlu adanya bantuan baik
dari pemerintahan maupun non pemerintahan. Pemerintahan Indonesia
membentuk BRR sebagai lembaga yang mengawasi aktivitas pembangunan di
Aceh dan Nias. BRR telah diberikan mandat sebagai memberdayakan dan
membangun kembali birokrasi serta aparat pemerintahan daerah di Aceh dan
Nias.
Selain itu sebagai kesempatan yang melahirkan peluang untuk menjadikan
proses rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai role model bagi upaya menegakkan
aparat pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance).
Selain itu BRR, bantuan yang diberikan terbanyak berasal dari donasi non
pemerintahan (individu, bisnis, yayasan dan lembaga donasi, berkonstribusi
hingga separuh dana total bantuan dari PBB).
b) Non Indonesia
Negara Jepang sebagai salah satu negara yang berada di wilayah Ring of
Fire, sehingga pernah mengalami peristiwa yang sama. Maka dari itu Jepang
memberikan bantuan dalam upaya penanggulangan bencana bentuk darurat
maupun jangka panjang. Melalui organisasi Japan International Cooperation
Agency (JICA). Lembaga bantuan pemerintah Jepang ini memberikan beberapa
program bantuan yang diantaranya; bantuan darurat (bantuan air bersih,
sanitasi, dan kesehatan), bantuan infrastruktur dasar, selain itu Jepang juga
memberikan bantuan dengan membuka konsultasi rehabilitasi membuka
lapangan pekerjaan dibidang perikanan, peternakan, pertanian hingga industri
rumah.
Menurut data Financial Tracking Service United Nations Office for The
Cordination of Humanitarian Affairs pada tahun 2005, sebagai tahun yang
banyak negara mulai memberikan bantuan pasca tsunami yang akan dijelaskan
di tabel berikut:
Tabel 1.1
10 Donasi Terbesar Bantuan Tsunami
Jumlah Dana
No Bentuk Organisasi / Pedonor
(US$)
1 Private Donations 3.129.000.000
2 Japan 502.000.000
DEC (Development Emergency Committee)
3 471.000.000
UK
4 UNICEF 282.000.000
5 European Commission 154.000.000
6 UK 137.000.000
7 US 134.000.000
8 Germany 126.000.000
9 Canada 117.000.000
10 Norway 83.000.000
Total $ 4.756.640.000
Sumber: The Guardian, Where Did Indian Ocean Tsunami Aid Money Go,
https://www.theguardian.com/global-development/2014/dec/25/where-did-indian
ocean-tsunami-aid-money-go diakses pada 13 Maret 2017
2. Non Pemerintahan
Lembaga Non Pemerintahan sebagai salah satu donatur terbesar dalam
penanggulangan tsunami Aceh. Karena kejadian ini merugikan sumber daya
Aceh dan telah menarik simpati berbagai pihak. Berikut salah satu LSM yang
berpartisipasi dalam penanggulangan tsunami Aceh:
a) Indonesia
The Wahid Institute, salah satu lembaga dari Indonesia yang memiliki
visi kemanusiaan KH Abdurrahman Wahid dalam memajukan pengembangan
masyarakat toleran, multikultural, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin, membangun demokrasi dan keadilan fundamental dan memperluas nilai
perdamaian dan non kekerasan baik di Indonesia maupun di seluruh negara.
Setelah kejadian Tsunami yang telah menghancurkan wilayah Aceh dan
disekitarnya, Wahid Institute mengirimkan relawan serta bantuan darurat
berupa 10 box berupa makanan bayi, pakaian wanita dan obat-obatan. Dalam
program pemulihan kembali kondisi para korban, The Wahid Institute lebih
fokus distribusi bantuannya kepada yatim piatu yang disalurkan ke panti asuhan
dan keluarga yang bersedia menerima.
b) Non Indonesia
ASEAN juga berpatisipasi dalam penanggulangan bencana, program
penanggulangan bencana di ASEAN diantaranya; dengan membentuk ASEAN
Humanitarian Assistance (AHA), pemanfataan aset sipil dan militer dalam
operasi bantuan bencana, pembentukan jaringan informasi dan komunikasi
antar negara anggota ASEAN pada permasalahan bencana. Persetujuan ini
ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane, Laos pada
26 Juli 2005. Tidak hanya di Pemerintahan yang berkontribusi dalam respon
pasca tsunami Aceh, UNICEF merespon dalam program operasi darurat
pemulihan dengan merestorasi fasilitas air dan sanitasi, membuka kembali
sekolah, membangun pusat bantuan anak-anak, mempertemukan kembali
korban dengan keluarganya yang terpisah, serta merekrut pekerja sosial dan
polisi khusus untuk memberikan layanan perlindungan anak yang terpisah
dengan keluarganya akibat dari tsunami. Selain itu juga UNICEF berperan
dalam mendukung pemulihan transisional, rekonstruksi dan pembangunan
jangka panjang. Pada program pemulihan pasca tsunami tahun, UNICEF
berfokus kepada perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan anggota
keluarga maupun pendidikan anak-anak.
World Vision sebagai salah satu NGO yang mengirimkan donasi yang
fokus utamanya pada program pembangunan tenda & infrastruktur, pemulihan
perekonomian, pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, perlindungan anak, dan
advokasi. Selain itu juga dalam cross cutting theme dalam keseteraaan gender,
World Vision juga lebih mengarahkan di setiap programnya untuk kaum
perempuan juga dapat berpartisipasi. Sehingga kaum perempuan juga dapat
memberikan kebebasan aspirasi dan membuka peluang bisnis serta menambah
kemampuan keterampilan.
Kesimpulan pada bab ini adalah kejadian tsunami Aceh 26 Desember 2004
telah merugikan baik secara fisik maupun psikis masyarakat Aceh. Dalam
upaya penanggulangan bencana ini maka negara Indonesia walaupun telah
memberikan fasilitas dalam tanggap darurat namun tidak mampu merehabilitasi
dengan sendirinya, selain itu juga memakan waktu yang lama jika Pemerintah
Indonesia sendiri yang menjalankan program pembangunan kembali di
Aceh. Sehingga perlu upaya bantuan dari luar negeri baik melalui
pemerintahan maupun lembaga bantuan.
DAFTAR PUSTAKA