PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang rawan mengalami bencana alam. Bencana yang
sering terjadi antara lain letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir tanah
longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia
beresiko tinggi mengalami bencana alam, diantaranya adalah kondisi alam dan adanya
keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia. Pada umumnya resiko bencana
diakibatkan faktor geologi, akibat hydrometereorologi, faktor bilologi serta kegagalan
teknologi.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dari segi iklim, Indonesia berada di
daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya
perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Ketiga, Indonesia adalah
negara yang merupakan wilayah yang dilintasi rangkaian gunung berapi aktif (ring of
fire) yang sewaktu-waktu dapat meletus. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan
Indonesia termasuk negara rawan bencana alam.
Selain bencana alam, di Indonesia juga potensial terjadi bencana non-alam. Di
antara faktor penyebabnya adalah fakta bahwa, pertama, secara demografis, jumlah
penduduk Indonesia cukup besar. Menurut data BPS, tahun 2010 penduduk Indonesia
berjumlah 237.641.326 jiwa. Kedua, secara sosial-budaya, penduduk Indonesia terdiri
dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Ketiga, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Faktor-faktor ini, di satu sisi merupakan social capital yang
berharga. Tapi di sisi lain jika tidak tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik,
dapat menyebabkan bencana.
Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang tingkat rawan bencananya cukup
tinggi. Di Jawa Barat terdapat tujuh gunung berapi yang masih aktif, antara lain Gunung
Salak, Galunggung, Gede-Pangrango, Tangkuban Parahu, Papandayan dan Guntur. Di
Jawa Barat pula, menurut data BPLHD Jawa Barat, terdapat 40 Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang jika tidak dikelola dengan baik sewaktu-waktu dapat mengancam sebagai
bencana.
Salah satu wilayah di Jawa Barat yang rawan terhadap bencana adalah
Pangandaran. Bencana yang sering terjadi di daerah Pangandaran adalah tsunami,
banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung, gempa bumi dan gelombang
pasang. Data daerah rawan bencana yang diperoleh dari situs BPBD Kabupaten
Pangandaran adalah sebagai berikut: Tsunami (Kecamatan Kalipucang, Pangandaran,
Siamulih, Parigi, Cijulang dan Cimerak) Banjir (Kecamatan Mangunjaya, Padaherang,
Kalipucang, Pangandaran dan Cijulang); gelombang pasang (Kecamatan Cimerak,
Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang; dan tanah longsor,
kekeringan, angin puting beliung serta gempa bumi dapat terjadi di seluruh kecamatan
di Pangandaran.
Bencana besar yang pernah terjadi di Pangandaran adalah tsunami pada 17 Juli
2006 lalu. Tsunami ini dianggap besar karena menelan korban yang banyak, yakni
korban meninggal 668 jiwa, korban luka 9.299 jiwa dan korban hilang sebanyak 65 jiwa
(WHO, 2007). Selain itu daerah yang terdampak pun cukup luas meliputi Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai infrastruktur dan fasilitas
umum mengalami kerusakan yang cukup parah.Kompleksitas dari permasalahan bencana
tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam
penanggulangannya,sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu.Penanggulangan
yang dilakukan selama ini belum didasarkan padalangkah-langkah yang sistematis dan
terencana, sehingga seringkaliterjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya
yangpenting tidak tertangani.
Penanganan bencana (disaster management) merupakan proses yang dinamis,
terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan serangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan (preventive),
mitigasi, kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat, evakuasi, rehabilitasi dan
pembangunan kembali (reconstruction). Sedangkan mitigasi adalah merupakan
tindakan-tindakan untuk mengurangi atau meminimalkan potensi dampak negatif dari
suatu bencana. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus
ditangani secara serius. Sejak terjadinya gempa bumi dan tsunami yang menerjang
Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 lalu, upaya penanggulangan bencana dirasakan
masih sangat kurang.
Dalam penanganan bencana tsunami Pangandaran, pemerintah dan
masyarakat telah melakukan upaya yang cukup optimal. Selain upaya evakuasi korban,
layanan kesehatan berjenjang telah dilakukan mulai dari pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan di Poskes, Puskesmas hingga Rumah Sakit. Untuk layanan kesehatan
tersebut, telah dikirim 1.455 tenaga kesehatan (18 dokter spesialis, 269 dokter umum,
625 perawat dan 543 tenaga lainnya). Logistik berupa 75 ambulans, obat-obatan dan
makanan juga telah dikirim oleh berbagai instansi ke lokasi bencana. (Pusat
Penanggulangan Krisis Depkes RI, 2007). Dalam bidang pekerjaan umum, penanganan
tanggap darurat bencana yang telah dilakukan berupa: penyediaan Hidran Umum (HU),
penyediaan MCK untuk pengungsi, penyediaan mobil tangki, bradder kapasitas 5000 lt,
dan IPA mobile yang telah dioperasikan (Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum, 2006).
Upaya penanggulangan pasca bencana yang lain adalah berupa rehabilitasi
sarana dan pra sarana. Akan tetapi, Pembangunan infrastruktur pascabencana di
kawasan Pangandaran dilakukan persis di lokasi yang sama dengan kondisi sebelum
bencana. Hal ini harus menjadi perhatian karena potensi gempa yang mampu
membangkitkan tsunami di selatan jawa masih sangat tinggi. Adanya kondisi tersebut,
menunjukan bahwa upaya penanggulangan pasca bencana bencana di Pangandaran
juga belum maksimal.
Penanggulangan pra bencana merupakan upaya yang tidak kalah pentingnya
dalam pencegahan bencana dan mengurangi resiko bencana. Tsunami Early Waring
System merupakan upaya peringatan dini terhadap bencana yang bertujuan untuk
mengurangi resiko bencana. Akan tetapi, pada bebrapa sumber disebutkan bahwa
kesadaran masyarakat Pangandaran terhadap upaya mengurangi resiko bencana
masih rendah.Penanggulangan kebencanaan hanya disadari masyarakat saat musibah
terjadi dan bantuan datang. Penyebabnya antara lain dikarenakan jumlah ketersediaan
Tsunami Early Waring System yang tidak sesuai dengan luas wilayah pesisir pantai,
adanya beberapa system yang rusak, serta kurangnya media edukasi, seperti papan
informasi tentang tsnumai di ruang-ruang publik.
Berdasarkan permasalahan di atas, kelompok kami tertarik untuk melakukan
pengkajian dan analisa kasus terhadap upaya penanganan bencana tsunami
Pangandaran berdasarkan studi literatur.
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisa penanganan bencana tsunami
Pangandaran, yang meliputi:
1. Analisa terhadap aspek epidemis dan geografis pada tsunami pangandaran
2. Analisa terhadap masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat bencana
3. Analisa terhadap manajemen penanganan bencana tsunami Pangandaran
a. Pra-bencana (upaya pencegahan, mitigasi dan upaya kesiapsiagaan)
b. Intra-bencana (upaya tanggap darurat)
c. Pasca-bencana (upaya pemulihan dan rekontruksi)
C. Manfaat Penulisan Makalah
1. Secara Akademis
Makalah ini dapat menjadi referensi untuk kajian lebih jauh terkait tsunami di
Pangandaran
2. Secara Praktis
Menjadi referensi dan panduan praktis dalam manajemen penanggulangan bencana
yang sejenis
BAB III
KAJIAN KASUS
2. Risk Mapping
Gambar 3.3 Peta Resiko Bencana Tsunami di Kawasan Pangandaran
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007
Gambar 3.3 menunukan resiko tsunami pada setiap wilayah yang ada di
Kawasan Pangandaran. Tergambar diatas bahwa beberapa desa di
Pangandaran beresiko tinggi terkena tsunami. Desa yang berwarna hijau adalah
daerah dengan tingkat ancaman bencana tsunami rendah, warna kuning dengan
tingkat ancaman bencana tsunami sedang. Secara keseluruhan bahwa
Pangandaran termasuk kedalam wilayah yang berpotensi terjadinya bencana
tsunami.
Dilansir dari sura merdeka: Gempa bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan
terjadinya gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun,
Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur
dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen,
Jawa Tengah, serta pantai selatan Kab. Bantul, Yogyakarta. Ratusan rumah mulai dari
sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur. Demikian
pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata pantai barat Pangandaran
3. Vulnaribility
Berkut keadaan atau sifat/perilaku masyarakat yang dapat
mempengaruhi ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan yang dibahas meliputi: kerentanan fisik, ekonomi, sosial
dan lingkungan.
a. Jumlah Penduduk (Fisik), Ekonomi dan Linkungan
Jumlah dan kepadatan penduduk kabupaten pangandaran tahun 2014
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Jumlah Dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Pangandaran Tahun 2014
B. Masalah Kesehatan
Tsunami merupakan bencana penyerta dari bencana sebelumnya, seperti:
gempa bumi, longsor didasar laut dan gunung meletus yang ada dilaut. Proses
terjadinya tsunami dimulai saat terjadinya bencana pemicu tsunami. Dikatakan
tsunami terjadi dalam 30 menit setelah bencana pemicu terjadi, sehingga dampak
besar akan terjadi. Beberapa masalah yang muncul segera pada saat bencana
tsunami, diantaranya:
1. Korban meningal dengan jumlah yang banyak
2. Trauma fisik akibat reruntuhan dan hantaman arus air (patah tulang, luka-luka,
trauma dan kecacatan) dalam jumlah besar
3. Kerusakan infrastruktur (jalan, pelayanan kesehatan)
4. Terputusnya akses jalan (transportasi)
5. Alat komunikasi tidak bisa digunakan
6. Trauma psikologis akibat kehilangan keluarga dan materi
Selain itu maslah kesehatan yang segera timbul setelah tsunami adalah
sebagai berikut:
1. Setelah korban diselamatkan, masalah kesehatan utama adalah ketersediaan air
bersih, makanan, tempat tinggal dan perawatan medis (peralatan dan tempat)
untuk korban bencana.
2. Rusaknya sanitasi akibat tsunami menimbulkan penyakit menular mudah
menyebar. Jenis penyakit yang biasanya muncul antara lain infeksi, campak,
diare, ISPA.
3. Air tsunami dapat menimbulkan resiko munculnya masalah kesehatan atau
penyakit akibat terkontaminasinya air bersih dan makanan.
4. Rusak atauhilangnya tempat tinggal menyebabkan korban sangat rentan
terhadap paparan panas, hujan, bakteri, serangga dan bahaya lingkungan
lainnya
5. Kepadatan di area pengungsian, ini dikarenakan rusaknya rumah-rumah mereka
dan ancaman bahaya apabila tetap berada di lokasi.
6. Sebagian besar kematian yang diakibatkan oleh tsunami berhubungan dengan
tenggelam, namun korban luka akibat cidera juga merupakan masalah utama.
Cidera ini dapat berupa patah kaki dan cidera kepala yang disebabkan adanya
benturan fisik pada korban hanyut dengan reruntuhan rumah, pohon, dan bnda
tidak bergerak lainnya. Pada saat proses surutnya kembali air laut, puing-puing
rumah dan pepohonan akan kebali terbawa oleh air laut sehingga menimbulkan
benturan dengan masyarakat yang dilaluinya. Selain itu juga dapat menimbulkan
kerusakan lebih parah pada bangunan-bangunan.
7. Kesulitan akses menuju tempat kejadian yang mengakibatkan pertolongan cepat
kesulitan untuk dilakukan.
Dampak sekunder yang diakibatkan oleh tsunami juga dapat terjadi. Selain
timbulnya penyakit infeksi akibat tsunami, persediaan air dan makanan
terkontaminasi dan kurangnya tempat tinggal serta peralatan medis dapat
memberikan efek sekunder dengan memperburuk penyakit-penyakit yang sudah ada
pada daerah yang terkena. Korban meninggal (mayat) yang membusuk
menimbulkan resiko terjadinya wabah penyakit. Tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat sekita, tetapi petugas yang menangani secara langsung mayat tersebut
atau bahkan petugas yang mempersiapkan mayat-mayat tersebut untuk dikubur.
Dampak dari sebuah bencana bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Tsunami merupakan salah satu bencana yang tergolong besar dan menakutkan bagi
masyarakat karena melihat dampak yang timbulkannya. Kebutuhan yang makin
besar akan bantuan finansial dan material adalah dalam bulan-bulan bahkan
bertahun-tahun setelah bencana terjadi.
Tidak jarang tsunami dapat menimbulkan trauma psikologis, terutama pada
anak-anak. Setelah terjadinya tsunami, anak-anak akan merasakan tekanan
psikologis, seperti perasaan takut berpisah, merasa takut pada orang lain, takut pada
hewan-hewan tertentu, sulit tidur, tidak nafsu makan, perut merasa mual dan sering
menangis.
2) Rumah Sakit
a) Membentuk tim kesehatan untuk menangani kondisi pasien di RS
lebih lanjut
b) Mempersiapkan sarana dan prasarana untuk melakukan tindakan
operasi atau tindakan intensif lainnya yang diperlukan.
e. Melakukan pengecekan tentang pemenuhan kebutuhan dasar korban
bencana. Jika diperlukan koordinasi dengan tim logistik untuk pendirian
tenda tempat pengungsian, dapur umum dan MCK.
f. Membrikan perlindungan kelompok rentan sepert: bayi, balita, ank-anak, ibu
hamil dan menyusui serta lansia dan penyandang disablitas dengan
pengelompokan tenda berdasarkan jenis pengungsi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana tsunami masih berpotensial terjadi di sepanjang Pantai Pangandaran.
Hal ini dikarenakan faktor geologi dari Indonesia, Pangandaran yang merupakan
pertemuan lempeng Samudra Hindia – Australia. Selain itu, posisi Pulau Jawa –
Pangandaran di apit oleh 2 lempeng besar dunia yaitu Eurasia dan Lempeng Samudra
Hindia – Australia. perlu adanya =manajemen bencana yang komprehensif yang harus
dilakukan pemerintah dan masyarakat Pangandaran. Berikut ini kesimpulan hasil dari
analisa tsunami Pangandaran, diantaranya:
1. Pra-bencana
Belum lengkapnya mengenai geomedic map di Pagandaran. Peta geomedik
yang belum lengkap: resource map, riisk map, vulnerabiliy dan community and
environment. Upaya pencegahan di Pangandaran dapat dilakukan secara strukturan
maupun non-struktul. Namun hal ini harus disesuaikan dengan karakteristik
masyarakat Pangandaran dimana sebagian besar masyarakat di sana
berpendidiakan rendah. Pencegahan dan mitigasi dalam hal struktural akan
mendapatkan kesulitan, karena karakteristik perekonomian masyarakat
Pangandaran terpusat di sepanjang pesisir Pantai Pangandaran.
2. Intrabencana
Jika dilihat dari sumber daya yang ada di Pangandaran, penanganan tanggap
darurat akan mendapatkan hambatan yang berarti. Dimulai dai akses jalan darat
yang cukup jauh dan keterbatasan jalan alternatif yang dapat dilalui. Kemudian jika
dilihat dari ketersediaan pelayanan kesehatan, Pangandaran belum mempunyai
rumah sakit daerah dan hanya mempunyai puskesmas dengan jumlah 1 di masing-
masing kecamatannya. Jarak rumah sakit terdekat dari pangandaran adalah RS
yang ada di Kota Banjar dan Kab Ciamis yang dapat ditempuh 3-4 jam perjalanan
darat.
3. Pasca-bencana
Tindakan rehabilitasi korban sudah dilakuakan dalam bentuk trauma healing.
Kegiatan ini dilakukan mengingat korban meninggal dengan jumlah banyak yang
membuat keluarga yang ditinggalkan mengalami tekanan psikis. Selain itu hilang dan
hancurnya tempat tinggal, tempat usaha meningkatkan tekanan psikis yang mereka
rasakan. Program rekontruksi pembangunan sarana prasaran telah gagal dilakukan.
Ini terlihat masih banyaknyawarga membangun rumah dan tempat usaha dengan
jarak sangat dekat dengan bibir pantai.
B. Rekomendasi
1. Melengkapi peta geomedik kusus untuk wilayah Kab Pangandaran.
2. Melakukan pendidikan mengenai penanggulangan bencana ayang disesuaikan
dengan tingkat pendidikan masyarakat Pangandaran.
3. Mengadakan simulasi yang rutin mengenai bencana tsunami atau bencana lainnya
yang bertujuan untuk membiasakan masyarakat Pangandaran dalam keadaan
bencana.
4. Memperluas informasi mengenai peringatan dini gempa tsunami, dalam bentuk
serine yang mencakup sekolah, pelayanan masyarakat dan sepanjang pantai yang
sering dijadikan tempat wisata.
5. Membuat tempat evakuasi yang tersebar di berbagai lokasi yang dilengkapi dengan
arah evakuasi yang jelas.
6. Mengajukan pendirian rumah sakit daerah dengan jarak yang jauh dari pinggir
pantai serta berada di dataran tinggi.
7. Meningkatkan sumber daya manusia dibidang kesehatan, seperti: dokter, perawat,
dll.
DAFTAR PUSTAKA