Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DI DUNIA DAN INDONESIA

Definisi keperawatan masih variatif. International Council of Nursing (ICN) pada tahun 2002
mendefinisikan keperawatan sebagai “ keperawatan meliputi asuhan yang mandiri dan kolaboratif pada
individu di semua level umur, keluarga, kelompok dan komunitas, sakit ataupun sehat dan pada semua
setting”. Virginia Henderson (1996) mendefinisikan keperawatan sebagai “membantu orang , sehat atau
sakit, dalam melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan dasarnya (14 komponen kebutuhan dasar) dan
membantu orang untuk mencapai kemandirian secepat mungkin”. Undang-Undang no 38 Tahun 2014
tentang keperawatan Mendefinisikan keperawatan sebagai “ kegiatan pemberian ashuan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat” (Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, 2014). Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa
keperawatan merupakan suatu pelayanan profesional yang diberikan kepada kliennya (individu,
kelompok, keluarga dan komunitas) dengan berdasarkan ilmu dan kiat yang dipelajarinya. Dari definisi
ini dapat dilihat bahwa keperawatan memiliki 2 (dua) aspek yang utama yaitu teori (ilmu) dan praktek
keperawatan. Teori dan praktek keperawatan ini telah mengalami proses perkembangan sejak zaman
dahulu.

Undang-Undang no 38 tahun 2014 tentang keperawatan mendefinisikan pelayanan keperawatan sebagai “


suatu bentuk pelayanan professional sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat baik
sehat maupun sakit” (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2014). Memahami sejarah
perkembangan ilmu dan praktek keperawatan baik di dunia maupun di Indonesia akan membuat kita lebih
mengerti esensi keperawatan, trend dan isu dalam keperawatan, hal-hal yang masih perlu dikembangkan
dan memprediksi perkembangan keperawatan di masa mendatang. Berikut akan dipaparkan secara
ringkas mengenai perkembangan teori dan praktek keperawatan di dunia dan di Indonesia.

1. Perkembangan Teori dan Praktek Keperawatan di Dunia

Sejarah perkembangan keperawatan dimulai sejak keberadaan manusia dimuka bumi yang diawali dengan
adanya mother insting. Pada masyarakat primitif, keputusan apakah seseorang akan menjadi pemberi
asuhan atau tidak sering dibuat sebelum orang tersebut dewasa. Misalnya pada masyarakat Zuni, bila
seorang bayi lahir dengan wajah tertutup plasenta maka ini menjadi pertanda bahwa dia harus menjadi
seorang caregiver (Henri & Monas, 2007 dalam Egenes, 2009). Pada masyarakat primitif yang lain, tugas
merawat anggota keluarga sering secara otomatis dibebankan kepada wanita karena mereka mampu
merawat anak-anaknya sehingga dianggap mampu merawat orang yang sakit. pada masa ini tidak
diperlukan pendidikan formal untuk menjadi seorang pemberi asuhan. Ilmu yang dimiliki seorang
caregiver hanya berdasarkan trial and error (Egenes, 2009)

Florence Nightingale (1820-1910) merupakan tokoh yang pertama kali memformulasikan teori
keperawatan. Nightingale adalah seorang perempuan dari keluarga Inggris yang cukup berada dan
mendapatkan pendidikan formal yang baik dalam bidang Matematika, Biologi dan Bahasa. Pada masa itu,
menjadi seorang perawat bukan pilihan yang prestisius bagi wanita-wanita di Eropa sehingga keputusan
Nightingale menjadi perawat tidak mendapat respon positif dari keluarganya. Tetapi Nightingale tetap
pada keputusannya menjadi seorang perawat militer. Latar belakang pendidikan yang baik dan bidang
pekerjaan (menjadi perawat di medan perang) memberikan sudut pandang yang mendasar bagi
Nightingale dalam mendefiniskan keperawatan. Nightingale juga meletakkan dasar profesionalisme
keperawatan dan menyatakan bahwa perawat berbeda dengan medis. Florence Nightingale telah
meletakkan dasar-dasar teori keperawatan dengan metaparadigma yang jelas mengenai manusia,
kesehatan, lingkungan dan keperawatan. Nightingale menitikberatkan pada aspek lingkungan dan
memandang peran penting perawat dalam memelihara dan memodifikasi lingkungan pasien. Nightingale
juga meletakkan dasar pendidikan keperawatan yang semula hanya berupa pendidikan yang lebih banyak
bersifat magang di rumah sakit menjadi pendidikan akademik (Olah, 2012 ; Egenes, 2009)

Perkembangan teori keperawatan sangat pesat pada abad ke 19. Banyak ahli-ahli keperawatan yang
memformulasiakn berbagai model konseptual, grand theories dan middle range theories. Diantaranya
adalah Virginia Henderson (1897-1996) dengan teori 14 komponen kebutuhan dasar, Dorothea Orem
( 1914-2007) dengan teori self care, self care deficit dan nursing system, Callista Roy (1939-) dengan
teori adaptasi keperawatan dan berbagai teori lainnya (Olah, 2012). Teori keperawatan yang digagas oleh
seorang ahli sangat dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, pendidikan maupun pekerjaannya. Misalnya,
teori self care yang dikembangkan oleh D.E Orem dipengaruhi oleh pekerjaan Orem sebagai perawat di
kamar bedah dan Instalasi gawat darurat. Orem memandang peran penting seorang perawat adalah
membantu pasien memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dikarenakan keterbatasan kondisi kesehatan
pasien tersebut (Masters, 2009)

Teori keperawatan yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 tidak terlepas dari praktek
keperawatan. Praktek keperawatan yang semula bersifat rutin dilakukan dalam 24 jam perawatan pasien,
dalam perkembangannya ternyata membutuhkan dasar –dasar teori dan evidence based yang ilmiah.
Kebutuhan yang dirasakan oleh para praktisi inilah yang di kembangkan menjadi teori dan penelitian-
penelitian oleh akademisi di pendidikan tinggi keperawatan (Reed & Shearer, 2009). Diakui oleh banyak
ahli bahwa beberapa teori dan model konseptual tersebut kadang tidak aplikatif. Pendekatan riset-riset
terkini yang lebih dibutuhkan untuk menunjang praktek keperawatan adalah riset yang berbasis klinik dan
aplikatif (Reed & Shearer, 2009).

Riset berbasis klinik dan aplikatif sangat penting untuk menjadi Evidence-Based Practice (EBP) bagi
perawat. Sacket et al (1996) dalam Shearer& Reed (2009) mendefinisikan EBP sebagai “suatu
penggunaan yang teliti, jelas dan bijaksana dari bukti yang terbaik dan terbaru dalam membuat keputusan
tentang perawatan pasien. Mengintegrasikan pengalaman klinis personal dengan bukti eksternal terbaik
yang ada berdasarkan review yang sistematis”. Seringkali praktisi mengalami kesulitan dalam
mengintegrasikan pengalaman empirik personal dengan bukti ilmiah penelitian. Hal ini tentu
membutuhkan keahlian tersendiri (Shearear & reed, 2009). Kesulitan ini selain berkaitan dengan tingkat
pendidikan, juga berkaitan dengan fasilitas dan resistensi dari perawat itu sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Melynk, Overholt, Ford dan Kaplan pada tahun 2012 bertujuan untuk
mengetahui penggunaan evidence based practice oleh perawat Amerika. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jumlah sampel 1015 Registered Nurse (RN). Hasil yang
didapatkan adalah, 56% responden (561) berpendidikan Magister, dan 44% ( 449) responden
berpendidikan Sarjana dan Diploma keperawatan. 46,4% ( 471) responden menyatakan bahwa mereka
secara rutin menggunakan hasil-hasil riset untuk diimplementasikan pada praktek keperawatan. 76,2%
( 773) responden menyatakan bahwa pendidikan dan keterampilan dalam menggunakan EBP sangat
dibutuhkan. Perawat dengan pendidikan magister memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mengenai
langkah-langkah dalam EBP dibandingkan perawat berpendidikan sarjana atau diploma (p < 0.001).
Begitupun dalam hal kepercayaan diri untuk mengimplementasikan EBP, perawat berpendidikan magister
lebih percaya diri dibandingkan perawat berpendidikan sarjana atau diploma (p < 0.001). Terdapat
korelasi yang negatif antara lama waktu bekerja dengan keinginan untuk meningkatakan pengetahuan dan
keterampilan mengenai EBP (r= -0,10, p < 0,010. Hal ini bermakna bahwa, semakin lama responden
bekerja sebagai praktisi, semakin rendah ketertarikan mereka untuk mendapatkan pengetahuan mengenai
EBP ( Melynk, Overholt, Ford & Kaplan, 2012).

Penelitian Cross Sectional yang dilakukan oleh Blegen, Goode, Park, Vaughen & Spetz pada tahun 2005
bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan perawat terhadap outcome pada pasien.
Penelitian ini dilakukan pada 21 Rumah Sakit Pendidikan yang berada di bawah University Health
System Consortium Hospital. Hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah perawat teregistrasi dengan
pendidikan minimal Bachelor degree pada suatu rumah sakit berpengaruh secara signifikan terhadap
penurunan angka CHF (Chronic Heart Failure) Mortality (person r = -0,240), penurunan HAPUs
(Hospitality Acquired Pressure Ulcers) dengan person r = - 0,500, penurunan kejadian DVT/PE (Deep
Venous Trombosis/Pulmonary Emboli) dengan r = -0,289, penurunan LOS (Length of Stay) > Expected
dengan r = - 0,333 (Blegen, Goode, Park, Vaughen & Spetz, 2013).

Hasil penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan keperawatan


memberikan kontribusi yang positif terhadap kualitas asuhan yang diberikan dan kemampuan perawat
dalam menggunakan EBP. Pendidikan keperawatan berkelanjutan perlu terus dikembangkan untuk
memperbaiki pelayanan. Dapat disimpulkan bahwa, perkembangan teori, pendidikan dan praktek
keperawatan di dunia terutama di negara-negara maju saling terkait satu sama lain

2. Perkembangan Pendidikan dan Praktek Keperawatan di Indonesia

Perkembangan pendidikan dan praktek keperawatan di Indonesia cukup jauh tertinggal dibandingkan
dengan perkembangan keperawatan di negara-negara maju. Ketertinggalan ini termasuk dalam
pencapaian kualitas maupun kuantitas. Bila pendidikan Bachelor degree keperawatan di Eropa telah
dimulai pada abad ke tahun 1937 di Yale University, maka pendidikan formal Sarjana di Indonesia baru
dimulai pada tahun 1985 di Universitas Indonesia (Carter, 2009 ; Fakultas Ilmu Keperawatan universitas
Indonesia, 2015) . Pendidikan doktor keperawatan pertama di Amerika dimulai pada tahun 1950an di
New York University (Carter, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa kita tertinggal baik dari segi waktu
mapun kuantitas. ketertinggalan dalam aspek pendidikan keperawatan ini berpengaruh terhadap
pelayanan (praktek) keperawatan.

Perkembangan keperawatan di Indonesia, baik dalam aspek pendidikan maupun praktek, sangat terkait
dengan sejarah keperawatan di Indonesia. Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia dilalui dalam
6 fase yaitu; a) zaman VOC ( 1602-1779), pada masa ini perawat hanya berasal dari pribumi dan dikenal
dengan sebutan Pembantu Oerang Sakit (POS), b) Zaman Penjajahan belanda I (1799-1811), pada masa
ini sama seperti zaman VOC, c) Zaman Penjajahan Inggris ( 1811-1816), mulai adanya vaksinasi,
perawatan kesehatan jiwa dan perawatan kesehatan tahanan, d) Zaman Penjajahan Belanda II ( 1816-
1942), pada masa ini mulai dibangunnya rumah sakit pertama di Salemba, didirikannya sekolah
pendidikan keperawatan pertama di Rumah Sakit Cikini, e) Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945),
keperawatan di Indonesia mengalami kemunduran, f) Zaman Kemerdekaan sampai sekarang (1945-
sekarang), pada awal kemerdekaan, pendidikan perawat masih setingkat pendidikan menengah dan
barulah pada tahun 1985, pendidikan keperawatan setingkat sarjana di buka di Universitas Indonesia
( Asmadi, 2005).

Perkembangan keperawatan di Indonesia mencapai kondisi yang menggembirakan dengan disahkannya


Undang-Undang Keperawatan pada tahun 2014. Dengan adanya undang keperawatan ini, maka regulasi
pendidikan maupun praktek dan pelayanan keperawatan menjadi lebih jelas Meskipun demikian,
perkembangan praktek keperawatan di Indonesiamasih jauh tertinggal dibandingkan dengan
perkembangan praktek keperawatan di Negara maju (amerika). Bila lisensi (registrasi) perawat di
Amerika dimulai pada tahun 1903 di North Carolina, maka proses registrasi perawat di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 2001 dengan adanya Keputuran Menteri kesehatan nomor 1239 tahun 2001
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2001 ; Egenes, 2009).

Praktek dan Pendidikan keperawatan dewasa ini mengalami banyak tantangan. Diantaranya adalah belum
seragamnya tingkat pendidikan keperawatan, banyaknya lulusan yang belum teregistrasi dan belum
terserap di dunia kerja, serta persaingan global Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Hal ini ditambah
dengan masih rendahnya tingkat kesejahteraan perawat bila dibandingkan dengan profesi lain.
Perkembangan ilmu dan pendidikan keperawatan belum dirasakan dampaknya secara signifikan terhadap
perkembangan pelayanan keperawatan. Untuk itu diperlukan kerjasama antara para akademisi, praktisi
dan pemerintah untuk mendukung perkembangan keperawatan kea rah yang lebih baik

Anda mungkin juga menyukai