Richter di lepas pantai Flores, Indonesia. Terjadi pada 12 Desember 1992 pada pukul
15:00 WITA. Gempa bumi ini menyebabkan tsunami setinggi 36 meter yang
menghancurkan rumah di pesisir pantai Flores, membunuh setidaknya 2.100 jiwa, 500
orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi.
Gempa ini sedikitnya menghancurkan 18.000 rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah, dan
lebih dari 65 tempat lainnya. Kabupaten yang terkena gempa ini ialah Kabupaten Sikka,
Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Flores Timur.
Kota yang paling parah ialah Maumere. Lebih dari 1.000 bangunan hancur dan rusak
berat.
Gempa Flores Desember 1992 Tanggal 12 Desember 1992 Kekuatan 7,5 SR Lokasi
Flores, Indonesia Korban
tewas 2.100 orang
--------------------------------------
KORBAN GEMPA FLORES, 1300 ORANG TEWAS.
--------------------------------------
Korban gempa di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sampai hari Minggu
malam sudah mencapai paling tidak 1.300 Orang. Jumlah Korban tewas
dipastikan akan terus bertambah, lebih-lebih karena banyak korban
cedera dalam keadaan kritis. Sementara operasi pencarian terhadap
korban hilang masih terus dilakukan, dan dikhawatirkan terjadi
gempa susulan yang lebih dasyat.
Jakarta, Sabtu
Wilayah Indonesia, seperti yang disampaikan oleh sejumlah ahli di bidang geologi dan
geografi, berlokasi di kawasan yang rawan gempa. Pasalnya, Indonesia terletak pada lajur
sumber gempa bumi yang membentang sepanjang tidak kurang dari 5.600 km mulai dari
Andaman sampai ke Busur Banda Timur.
Dari situs Badan Meteorologi dan Geofisika, Sabtu, sejak April 2006 hingga 27 Mei 2006
saja tercatat 30 kali terjadi gempa yang dirasakan oleh masyarakat.
Kekuatan gempa yang terjadi dalam jangka waktu kurang dari satu bulan itu rata-rata
antara 4,2 skala richter hingga 5,9 skala richter termasuk yang terjadi di sekitar
Yogyakarta dan Klaten pada Sabtu (27/5) pukul 05.53 WIB.
Gempa adalah sentakan asli pada kulit bumi sebagai gejala penggiringan dari aktifitas
tektonisme maupun vulkanisme dan kadang-kadang runtuhan bagian bumi secara lokal.
Yang dapat dirasakan pada saat gempa bumi terjadi adalah getaran bumi tempat kita
berada pada saat itu. Bumi bergoyang ke samping dan ke atas. Itulah gelombang gempa
yang sampai ke tempat kita. Pada waktu mengalami gempa kita tidak tahu dari mana
gempa itu datang, sehingga kita tidak tahu ke arah mana harus lari untuk menjauhi
sumber gempa.
Dosen Fakultas MIPA Jurusan Fisika Universitas Tanjungpura M Hajianto, dalam salah
satu artikel pada 9 Januari 2005, menjelaskan terdapat tiga gelombang gempa yaitu
Gelombang longitudinal, Gelombang Transversal dan Gelombang panjang atau
gelombang permukaan.
Gelombang longitudinal yaitu gelombang gempa yang merambat dari sumber gempa ke
segala arah dengan kecepatan 7 - 14 km per detik. Gelombang ini pertama dicatat dengan
seismograf dan yang pertama kali dirasakan orang di daerah gempa, sehingga dinamakan
gelombang primer.
Gelombang Transversal yaitu gelombang yang sejalan dengan gelombang primer dengan
kecepatan 4 - 7 km per detik, dinamakan juga gelombang sekunder.
Gelombang panjang atau gelombang permukaan, yaitu gelombang gempa yang merambat
di permukaan bumi dengan kecepatan sekitar 3,5 - 3,9 km per detik. Gelombang inilah
yang paling banyak menimbulkan kerusakan.
Dalam gempa bumi yang melanda kawasan Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya itu sempat
mencuat isu tentang terjadinya tsunami. Tsunami memang menjadi peristiwa yang begitu
traumatis bagi masyarakat Indonesia terutama sejak terjadinya peristiwa tersebut di Nias
dan Aceh pada 26 Desember 2004.
Dalam 100 tahun terakhir pada periode 1901 -2000, tidak kurang dari 75 tsunami terjadi
di Indonesia. Sebanyak 85 persen bencana tsunami itu atau 64 peristiwa terjadi di wilayah
timur Indonesia.
Sejak tahun 1965 hingga 2000, Tsunami telah melanda sejumlah daerah di Indonesia
yakni Seram, Maluku (1965); Tinambung, Sulawesi (1967); Tambu, Sulawesi (1968),
Majene, Sulawesi (1969): Sumba (1977): Larantuka (1982); Flores (1992); Banyuwangi
(1994); Palu (1996); Biak (1996); Taliabu, Maluku (1998); dan Banggai (2000).
Sedangkan gempa yang kuat atau memiliki besar lebih dari 5 SR sehingga dapat merusak
bangunan, rata-rata terjadi satu hingga dua kali dalam setahun.
Pusat gempa bumi yang ada di Indonesia pada umumnya berada di sepanjang barat Pulau
Sumatera, Selat Sunda, Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat-Timur, Maluku,
sisi utara dan barat Papua dan Sulawesi terutama Sulawesi Utara.
Sedangkan dampak kerusakan bangunan akibat gempa kuat ialah bangunan penduduk,
yaitu bangunan yang dibangun dengan metode konstruksi sederhana atau tradisional,
tanpa menggunakan teknologi konstruksi dan analisa struktur bangunan yang tahan
gempa.
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah
besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke
bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman
sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya
Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara
tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan kesetimbangan air yang berada di atasnya. Hal
ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi
gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempabumi juga banyak
terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng
benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat
mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Demikian pula
halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau
longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan
meter.
Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai
sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami.
Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru
dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui satelit.
Perekam tekanan dasar yang menggunakan buoy sebagai alat komunikasinya, dapat
digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia
pada laut dalam. Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan
peringatan awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawai pada tahun 1920-an.
Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami
besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific
Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan
peringatan internasional pada tahun 1965.
Salah satu sistem untuk menyediakan peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang
di pantai Barat Amerika Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific
Northwest Seismograph Network, serta oleh tiga jaringan seismik universitas.
Hingga kini, sistem prediksi tsunami masih merupakan ilmu yang tidak sempurna, dalam
arti belum dapat sepenuhnya mendeteksi kejadian tsunami. Episenter dari sebuah gempa
bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami
yang baik telah berhasil memperkitrakan seberapa besar perpindahan massa air yang
terjadi. Walaupun begitu, karena faktor alamiah yang sering tak termodelkan dan tak
terduga, sering terjadi peringatan palsu.
"Gempa, gempa!" teriakan menggema dari pengeras suara masjid dan dari
mulut ke mulut. Kepanikan menjalar ke jalan-jalan raya di mana ratusan
warga tampak berkumpul lalu berlarian ke satu arah.
Hanya saja tak ada wajah bersedih atau ketakutan di wajah orang-orang
itu. Sebaliknya, canda tawa terdengar di sana-sini. Ada pula yang
berlakon kesakitan diiringi gelak tawa yang lain. Di betis kirinya ada
noda obat merah.
Gempa pun disusul ombak tsunami yang menyapu kawasan pantai dan
memusnahkan kehidupan di pulau kecil, seperti Pulau Babi di timur laut
Maumere.
Bencana itu merenggut nyawa 1.346 orang berdasarkan data resmi. Namun
ada yang memperkirakan jumlah korban sesungguhnya mencapai 4.000 orang
karena masih banyak orang yang tak ditemukan alias hilang terseret
ombak ke lautan.
Kenangan tentang bencana itulah yang membuat pada siang itu masyarakat
antusias mengikuti simulasi. "Sangat membantu, kita jadi tahu mau lari
kemana," kata Hadi, didampingi Kartini, istrinya.
Maumere dan Flores pada umumnya adalah kawasan yang rentan terancam
gempa disusul tsunami. Kawasan ini dikepung biangnya gempa tektonik
(yang disebabkan pergerakan kulit bumi) di utara dan selatan.
Demikian pula dengan sesar naik Flores yang melintas di Pulau Pomana,
di utara lepas pantai Maumere. Sesar naik adalah papasan dua lempeng
kulit bumi dimana salah satunya seperti menaiki yang lain.
Pergerakan sesar naik ini melahirkan apa yang disebut Yugo sebagai
efek pegas. Pergesekan kedua lempeng menghasilkan tenaga pegas yang
akan melepaskan energinya bila salah satu lempeng tak kuat lagi
menahannya. "Gempa model inilah yang terjadi pada 1992," kata Yugo.
Gempa itu juga diperburuk kondisi Maumere yang berdiri di atas kawasan
tanah pasir yang lembek. Aliran gelombang gempa dari laut, kata Yugo,
seperti diperkuat (amplified) oleh tanah pasir. "Respon tanah pasir
sangat tinggi terhadap gempa, berbeda dengan batuan," katanya.
Mereka memang tak berharap bencana akan datang. Bila pun tiba, "Kami
tidak takut lagi, sudah ada bayangan mau berbuat apa bila ada gempa
seperti dulu, tidak kesana kemari," kata Efraim, 45 tahun, seorang ibu
yang berperan sebagai korban patah tulang leher dalam simulasi itu.
Siang pun semakin terik karena matahari tepat ada di atas kepala.
Ratusan orang itu pun berlalu satu per satu ke rumahnya masing-masing,
meninggalkan jejak-jejak di atas rerumputan berdebu.
DEDDY SINAGA