Anda di halaman 1dari 10

MANAJEMEN RESIKO BENCANA KOTA PALU

(studi kasus bencana alam 28 September 2018)

Muhammad Ahsan Samad, Yulizar Pramudika Tawil, M. Kafrawi Al


Kaf
Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Tadulako, Palu, Indonesia
Email: ahsansamademail@gmail.com

Abstrak

Kota Palu adalah salah satu ibukota Propinsi di Indonesia yang berada tepat di garis
Khatulistiwa. Selain itu kota ini adalah salah satu dari sekian banyak wilayah di
bagian timur Indonesia yang menyimpan potensi bencana alam yang cukup besar.
Bencana alam yang terjadi di kota Palu pada tanggal 28 September 2018 terdiri
dalam tiga jenis bencana, pertama adalah gempa bumi, kedua tsunami dan terakhir
adalah likuifasi. Bencana alam ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
infrastruktur penunjang serta ribuan penduduk meninggal dunia. Banyaknya korban
jiwa menggambarkan bahwa persiapan dan kesiapsiagaan masyarakat dan otoritas
pemerintah setempat masih rendah, terutama dikarenakan kurangnya pengetahuan
dan kepedulian akan fenomena alam ini dan akibat yang ditimbulkannya. Bencana
gempa dan tsunami yang terjadi di kota Palu Sigi dan Donggala merupakan
momentum untuk merubah paradigma pengelolaan bencana dengan cara
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Riset ini menceritakan tentang fenomena
tiga bencana alam tersebut, juga mencoba menjelaskan tentang langkah dan
perancangan mitigasi bencana. Mitigasi Bencana harus diimplementasikan untuk
mengurangi resiko bencana alam. Kebijakan Publik tentang kesiapsiagaan
masyarakat terhadap manajemen kebencanaan sangatlah penting dan urgent untuk
dilakukan agar dapat mengurangi risiko bencana. Kasus bencana di Kota Palu
sebagai studi kasus dianggap relevan untuk implementasi sistem manajemen
kebencanaan.

Kata kunci:, Manajemen bencana, pengurangan resiko, kesiapsiagaan


masyarakat

1
PENDAHULUAN

Kota Palu adalah Ibu kota Propinsi Sulawesi Tengah dengan letak geografis
terletak pada Koordinatnya adalah 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Kota
Palu merupakan kota lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai,
pegunungan, dan teluk. Kota Palu adalah salah satu ibukota Propinsi di
Indonesia yang berada tepat di garis Khatulistiwa. Salah satu dari sekian
banyak wilayah di bagian timur Indonesia yang menyimpan potensi tsunami
yang cukup besar adalah Kota Palu dan sekitarnya. Tercatat telah terjadi tiga
kali kejadian di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun 1927, 1968 dan 1996,
sementara sekitar Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6 kejadian [1].
Gempa terjadi di Indonesia dalam rentang dua tahun yaitu pada 2017 dan
2018. Gempa tersebut dikaitkan dengan fakta bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan yang meliputi banyak gunung berapi, patahan, dan titik
pertemuan antara lempeng Australia dan lempeng Asia di sepanjang selatan.
wilayah pesisir Indonesia hingga wilayah pesisir barat Indonesia [2]. Kejadian
bencana alam yang terjadi di kota Palu pada tanggal 28 September 2018
memperlihtakan pola koordinasi pemerintah seakan tak berdaya. Ketika
terjadi tsunami, hampir seluruh instansi pemerintah yang berwenang
mengatur dan memberikan bantuan terhadap korban di Aceh 'lumpuh'.
Sebagian kecil aparat pemerintah menjadi korban, sedangkan aparat yang
masih hidup, sibuk menyelamatkan diri dan anggota keluarganya [3].

Bencana alam yang terjadi di kota Palu terjadi dalam tiga jenis bencana,
pertama adalah gempa bumi, kedua tsunami dan terakhir adalah likuifasi.
Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat
getaran gempa[4]. Gempabumi tektonik telah terjadi di Kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah pada hari Jumat, 28 September 2018, jam
17.02.44 WIB dengan M 7.7 Lokasi 0.18 LS dan 119.85BT dan jarak 26 km
dari Utara Donggala Sulawesi Tengah, dengan kedalaman 10 km [5].
Bencana alam yang terjadi di kota Palu terjadi dalam tiga jenis bencana,
pertama adalah gempa bumi, kedua tsunami dan terakhir adalah likuifasi.
Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat
getaran gempa[4]. Getaran-getaran kecil terjadi sepanjang hari, namun
gempa 7,4 pada skala Richter berlangsung saat Patahan Palu Koro yang
melintasi Kota Palu, bergeser sekitar 10 kilometer di bawah permukaan
tanah. Sejak saat itu, ada sedikitnya 500 gempa susulan di Palu, yang
sebagian besar di antaranya tidak dirasakan warga. [5]

2
Sumber ; BMKG 28 September 2018

Melihat posisi geografis Kota Palu yang berada pada salah satu sesar aktif di
Sulawesi yaitu sesar Palu Koro yang memanjang kurang lebih 240 km dari
utara (Kota Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk Bone. Sesar ini merupakan
sesar sinistral aktif dengan kecepatan pergeseran sekitar 25 - 30 mm/tahun
[6]. Sehingga dibutuhkan tingkat tindakan mitigasi yang terintegrasi. Selain
itu, pemahaman akan karakteristik sumber bencana juga sangat penting
dilakukan dalam rangka untuk mengestimasi potensi bencana yang mungkin
ditimbulkan serta untuk mengurangi dampak bencana terhadap kehidupan
disekitarnya dan fasilitas publik yang ada disekitar lokasi tersebut. [7].
Namun, seperti halnya bencana lainnya, bencana ini mendapat perhatian
penuh dari pemerintah. Masyarakat setempat juga tidak tinggal diam .
Masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam mengambil bagian dan bekerja
sama sesuai dengan kemampuan mereka dalam pemulihan
pascabencana[8]. Salah satu yang perlu diperhatikan masyarakat dalam
proses mitigasi bencana adalah mengetahui rute evakuasi. Mengenai rute
evakuasi, rute dengan indeks tinggi korban tsunami harus dijaga bebas dari
evakuasi sebelum tsunami mencapai. Ini juga mungkin dilakukan dengan
menggunakan gedung-gedung tinggi yang terletak di dalam wilayah
genangan tsunami. Di sisi lain, wilayah pesisir yang mengandung material
berpasir dan berlumpur cenderung memiliki risiko tsunami yang lebih tinggi
[9]. Peristiwa berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia dan berbagai
negara lain di dunia, telah menimbulkan sebuah pengalaman tentang upaya
respon dan pemulihan bencana. Upaya respon dan pemulihan bencana
melibatkan hubungan antara pemerintah dan organisasi – organisasi
pemberi bantuan, serta masyarakat.[10] Manajemen penanggulangan
bencana sebagai pengelolaan berbagai upaya dan tindakan yang dilakukan
untuk pencegahan bencana, penjinakan atau mitigasi, penyelamatan,
rehabilitasi dan komunikasi, baik sebelum, pada saat, maupun setelah
kejadian bencana.[11] Tujuan utama perlindungan masyarakat adalah untuk
mengurangi korban jiwa, korban luka-luka, kehilangan harta benda,
kerusakan lingkungan, gangguan sosial dan ekonomi sebagai akibat bencana
alam[12]

Sebaran gempa bumi di sekitar sesar Palu Koro[6]

METODE
Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berbagai
fenomenologi. Diskusi dalam artikel ini juga akan mencoba memaparkan

3
tentang proses manajemen mitigasi bencana yang dilaksanakan pada saat
terjadi bencana. Selain itu, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,
diskusi kelompok fokus (FGD) bersama dengan temuan ilmiah, sehingga hasil
penelitian menjadi lebih akurat dan sistematis.

TEMUAN
Pada saat terjadi bencana, masyarakat kota Palu seakan panik dengan
kondisi yang baru kali ini mereka hadapi, dalam kehidupan keseharian
mereka, gempa bumi sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Amirullah salah
satu warga kota yang telah 30 tahun bermukim di lembah kota Palu
menceritakan bahwa hampir tiap saat gempa dan getaran memang sering ia
rasakan, dan itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi dia begitupula
masyarakt kota Palu lainya. Hal senada juga disampaikan oleh Sri Wahyuni,
seorang pendatang yang menetap di kota sekitar 5 tahun silam, ia juga
merasakan getaran getaran kecil selama berada di Kota Palu, namun seperti
warga lainnya, dia tidak berharap akan terjadi kejadian luar biasa seperti
pada tanggal 28 September lalu.

Salah satu saksi sekaligus korban bencana, Nur Alam bercerita bahwa saat
kejadian dia berada di salah satu bangunan kafe lantai dua dekat pantai
Talise. Ia merasakan dahsyatnya getaran saat terjadi gempa pertama, ia dan
pengunjung kafe tersebut berlarian menuju ke lantai dasar, walaupun harus
terjatuh beberapa kali, namun akhirnya dapat menyelamatkan diri keluar
dari gedung, sebelum gedung itu hancur dihantam gempa susulan yang
lebih dahsyat.

Amran, penduduk kota Palu saat kejadian berada di depan tokonya, ia


menceritakan bagaimana kepanikan warga saat gempa terjadi, masyarakat
seakan lari tak tentu arah, ada yang berlarian menuju ke tanah lapang,
beberapa kelompok warga ada yang berlari menuju ke arah pegunungan,
adapula yang mengambil kendaraan dan berusaha untuk menghindar sejauh
mugkin dari pusat kota. Lebih lanjut Amran bercerita bahwa warga yang
mengendarai kendaraan bermotor pada saat terjadi getaran gempa hampir
semua terjatuh dari kendaraannya, ini juga salah satu yang mengakibatkan
korban luka selain terkena reruntuhan bangunan/benda lainnya.

Kepanikan terjadi di setiap sudut kota, apalagi saat itu bencana terjadi pada
pukul Pada pukul 18.02 WITA, menjelang malam. Sesaat setelah getaran
gempa terjadi, jaringan listrik terputus, seperti halnya jaringan
telekomunikasi dan selluer juga terputus, sehingga menambah kepanikan
warga. Gempa berkekuatan 7,7 pada skala Richter saat itu terasa seperti
kiamat bagi warga yang merasakannya. Gempa ini bukanlah yang pertama,
tapi inilah yang terkuat yang pernah dirasakan oleh warga. Semua korban
bencana kota Palu yang ditemui, bercerita tentang kondisi tersebut.

Gambar kepanikan warga saat Gempa terjadi


(sumber: informan)

4
Sementara itu Kondisi listrik padam menyebabkan jaringan komunikasi di
Donggala dan sekitarnya tidak dapat beroperasi karena pasokan listrik PLN
putus. Menurut informasi dari website BNPB Terdapat 276 base station yang
tidak dapat dapat digunakan. Operator komunikasi terus berusaha
memulihkan pasokan listrik secara darurat. Kemkominfo telah melakukan
langkah-langkah penanganan untuk memulihkan komunikasi yang putus
tersebut. Kepala BNPB bersama pejabat BNPB berangkat ke Palu pada malam
ini melalui Makassar kemudian melanjutkan ke Kota Palu dan Donggala
menggunakan helicopter. Bandar Udara Mutiara Sis Al Jufri Palu ditutup dari
28/9/2018 pukul 19.26 WITA hingga 29/9/2018 pukul 19.20 WITA. Sementara
itu, Tim Reaksi Cepat BNPB juga telah bergerak menuju Donggala melalui
Balikpapan. Dari Balikpapan, Tim Reaksi Cepat BNPB terbang ke Donggala
menggunakan helicopter water bombing yang ada di Balikpapan. Tim ini
membawa peralatan komunikasi satelit dan peralatan lainnya. TNI akan
mengerahkan pasukan untuk membantu penanganan dampak gempa dan
tsunami di Kota Palu dan Doggala. TNI menggerakan 7 SSK dari Yonkes,
Yonzipur, Yonif, dan Yonzikon menggunakan 2 pesawat Hercules C-130.
Basarnas akan menggerakan 30 personil bererta peralatan menggunakan
pesawat Hercules. Polri juga akan menggerakkan personil dan peralatan
untuk memberikan dukungan penanganan darurat. Komunikasi yang lumpuh
saat ini menyebabkan kesulitan untuk koordinasi dan pelaporan dengan
daerah. Kondisi listrik padam juga menyebabkan gelap gulita di Palu dan
Donggala. Gempa susulan masih terus berlangsung.[13]
Informasi terbaru yang diberitakan Tribun News Palu Jumat, 1 Maret 2019
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu, Arfan
mengatakan, pihaknya sudah menetapkan jumlah korban jiwa maupun
rumah rusak akibat bencana alam 28 September 2018. Dalam penetapan
tahap 2, jumlah korban jiwa dan rumah rusak mengalami peningkatan. Yaitu
untuk rumah rusak, ini bertambah dari sebelumnya 42.864 menjadi 55.102
rumah. Total rumah rusak di tahap 2 mengalami peningkatan sebesar 12.238
rumah yang terbagi atas 2.422 rusak berat, 3.200 rusak sedang, 3.785
rusak ringan, dan 2.831 hilang, Sedangkan untuk korban jiwa tahap 2
lanjutnya, ada ketambahan 515 orang. Yaitu meninggal dunia bertambah
476 orang, hilang bertambah 39 orang. Pada tahap 1, jumlah korban jiwa
sebanyak 3.679 orang, terbagi atas meninggal dunia 2.132 orang dan hilang
531 orang. Serta yang dikebumikan tidak terindentikasi 1.016 orang.
Dikaebumikan di TPU Poboya dan TPU Pantoloan Boya.

Data Korban bencana Kota Palu


update 1 Maret 2019
3000

2500 2608
2000 Series 1

1500

1000
1016
500
570
0
Meninggal Hilang Tidak Teridentifikasi

Sumber: Tribun News Palu Jumat, 1 Maret 2019

Warga kota yang selamat dari musibah menceritakan bahwa jumlah korban
untuk tiap bencana berbeda. Jumlah paling banyak menurut penturan warga

5
terdapat pada musibah likuifasi, kemudian disusul tsunami dan terakhir
adalah korban gempa bumi.
Penuturan Andri remaja yang selamat dari korban likuifasi, bercerita
bagaimana para korban likuifasi tidak mengetahui ke arah mana mereka
harus berlari, karena tanah bergerak kesegala penjuru arah. Bahkan salah
satu video pada salah satu sosial media memperlihatkan bagaimana rumah
penduduk, tiang listrik dan pepohonan bergerak kesana kemari seperti air
mengalir. Sehingga dapat dipastikan para korban likuifasi tak lagi mampu
menyelamatkan diri pada saat terjadi musibah.
Sedangkan Enong, korban selamat yang berada di tepi pantai Talise
menuturkan bagaimana para pengunjung pantai berlarian menjauhi pantai
karena telah melihat gelombang air serta suara air laut bergemuruh,
berbeda halnya dengan korban likuifasi, Enong dan beberapa warga di tepi
pantai, mengetahui kemana arah mereka harus berlari, menjauh dari bibir
pantai.
Begitupula penuturan Nur Alam, saat terjadi gempa bumi dan beberapa
bangunan disekitar mereka sudah berjatuhan, mereka segera keluar dari
bangunan dan berkumpul di area tanah lapang yang jauh dari bangunan.
Pada malam hari pasca bencana terjadi, semua warga berkumpul di tempat
yang lebih aman, banyak diantara mereka berkumpul di tanah lapang
terdekat. Salah satu tempat berkumpul warga korban bencana adalah
lapangan Vatulemo. Lapangan tersebut adalah alun-alun kota Palu. Tepat di
depan lapangan Vatulemo itulah kantor Walikota dan beberapa kantor
Pemerintah kota Palu berdiri.

Sementara itu, semua warga yang menjadi informan dalam riset ini
mengatakan bahwa sampai beberapa hari mereka di lokasi pengungsian
mereka tidak melihat adanya aktifitas dari otoritas pemerintahan setempat
yang memberikan perhatian dalam hal ini pemerintah kota Palu. Hanya para
relawan dari beberapa organisasi kemanusiaan dan keagamaan lah yang
paling cepat memberikan bantuan kepada mereka. Bahkan bantuan logistik
dari beberapa Kota/Kabupaten tetangga tidak terdistribusi secara maksimal
kepada para pengungsi.
Kesimpangsiuran data antara posko relawan dan pemerintah daerah pun
terjadi. Masing-masing mempertanyakan data dari organisasi-organisasi
pemberi bantuan. Sementara itu otoritas pemerintah setempat tak dapat
menjelaskan dengan baik ketika masyarakat bertanya tentang data warga
yang berhak menerima bantuan. Terlihat pula pasca bencana bagaimana
Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala terkesan bingung dan tidak

6
terjalinnya komunikasi antar lembaga, ini disebabkan karena para aparatur
pemerintah setempat tidak pernah dibekali pengetahuan terkait mitigasi
bencana. Padahal secara geografis kota Palu dan beberpa kabupaten
tetangga berada diatas sesar paling aktif di dunia.

Media elektronik juga menuliskan bagaimana kondisi terkait regulasi


pemerintah ketika terjadi bencana. Walaupun secara regulasi sudah ada
ketentuannya, tetapi pemerintah daerah kelihatannya mencari aman dengan
tidak merelokasi dana APBD untuk dana tanggap darurat. Dari informasi
yang didapat, hanya Kabupaten Sigi yang dengan cepat mengeluarkan dana
tanggap darurat untuk bencana di daerahnya. Adapun di Kota Palu dan
Kabupaten Donggala, pemerintah daerah setempat menunggu bantuan yang
masuk dari luar.[14]

DISKUSI
Manajemen bencana merupakan proses dinamis tentang bekerjanya fungsi-
fungsi manajemen yang kita kenal selama ini misalnya fungsi planning,
organizing, actuating, dan controling. Cara bekerja manajemen bencana
adalah melalui kegiatan-kegiatan yang ada pada tiap kuadran atau siklus
atau bidang kerja yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, tanggap
darurat, serta pemulihan. Sedangkan tujuannya secra umum antara lain
untuk melindungi masyarakat beserta harta bendanya dari ancaman
bencana.[15].

Manajemen operasi dalam konteks bencana dipandang sebagai pengelolaan


semua aktifitas dalam proses operasional bantuan bencana secara efektif.
Efektif berarti melakukan tindakan yang benar untuk menciptakan nilai yang
terbaik dalam empat tahapan disasters management seperti yang dikutip
oleh Kiefer dan Montjoy dari Waugh (2000), yaitu tahapan peringatan
(prevention), perencanaan dan persiapan (planning and preparedness),
tanggapan (response) dan pemulihan (recovery). Peristiwa bencana memiliki
karakteristik yang berbeda, namun pada hakekatnya mempunyai konsep
siklus bantuan bencana yang sama dalam manajemen bencana. Siklus
manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan bencana yang
pada intinya merupakan tindakan pra bencana , menjelang bencana, saat
bencana dan pasca bencana.[10]

Diagram Siklus Manajemen Bencana

Seperti penuturan para korban dan saksi mata memperlihatkan bahwa


bencana yang terjadi membuat warga panik dan tidak memiliki pengetahuan
jika terjadi bencana. Secara teori ini yang dimaksud dengan mitigasi
bencana. Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau

7
buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(Pasal 1 PP No 64 tahun 2010) [16]. Banyaknya korban jiwa pada bencana
kali ini memperlihatkan bahwa ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana, serta peranan pemerintah yang kurang maksimal dalam
melaksanakan sosialisasi tentang mitigasi bencana kepada warganya. Hal ini
sesuai dengan temuan bahwa sampai sepekan sejak musibah terjadi masih
banyak masyarakat yang mengeluhkan lambannya penanganan dari
pemerintah. Minimal terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam
melakukan mitigasi bencana tsunami[17]:
1. Melakukan upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur
dan lingkungan pesisir. Pengembangan sistem peringatan dini (early
warning system) dan pembuatan bangunan pelindung merupakan
contoh upaya perlindungan yang bisa dikembangkan.
2. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat pesisir
terhadap kegiatan mitigasi bencana gelombang pasang.
3. Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Kebijakan
ini bisa diimplementasikan dalam hal-hal sebagai berikut:
pengembangan sistem yang menunjang komunikasi untuk peringatan
dini dan keadaan darurat, menyelenggarakan latihan dan simulasi
tanggapan terhadap bencana dan kerusakan yang ditimbulkan, serta
penyebarluasan informasi tahapan bencana dan tanda-tanda yang
mengiringi terjadinya bencana.
4. Meningkatkan koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi
bencana. Implementasi dari kebijakan ke empat ini antara lain
peningkatan peran serta kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak.
5. Menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya mewujudkan
upaya-upaya mitigasi bencana yaitu dengan jalan penyusunan produk
hukum yang mengatur pelaksanaan upaya mitigasi, pengembangan
peraturan dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan bangunan
penahan bencana, serta pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum
terkait mitigasi.
6. Mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir melalui melakukan kegiatan mitigasi
yang mampu meningkatkan nilai ekonomi kawasan, meningkatkan
keamanan dan kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan
perekonomian.
Bencana yang melanda kota Palu dan beberapa wilayah Sulawesi Tengah
lainnya memperlihatkan bahwa otoritas pemerintah setempat juga tidak
sepenuhnya memahami alur dan prosedur pengangan bencana dengan
cepat. Ketika terjadi bencana, baik pemerintah dan masyarakat sama-sama
tidak siap. Hal ini terlihat dari hasil pantauan tim Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan di Posko Gabungan Karajalemba (Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Kemanusiaan) pada kurun waktu 10-19 Oktober 2018. Pada awal masa
pantuan, bantuan yang datang dari kementerian/lembaga negara dan
organisasi non-pemerintah datang bertubi-tubi dan hanya terkonsentrasi di
halaman kantor pemerintah daerah Kota Palu.[14] Pola distribusi bantuan
juga terkesan tidak profesional, ini terlihat dari pengakuan warga korban
bencana menjelaskan bahwa mereka belum mendapatkan distribusi bantuan
sampai tiga hari pasca bencana.

Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk


mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka
untuk mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Karena itu
seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau
bagian/elemen dari ancaman. Beberapa hal untuk rencana mitigasi
(mitigation plan) pada masa depan dapat dilakukan sebagai berikut[18] :

8
1. Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan
penduduk
2. Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan
(code) disain yang sesuai.
3. Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi
kedaerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi
4. Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan
lingkungan dengan maksud menyerap energi dari gelombang Tsunami
(misalnya dengan melakukan penanaman mangrove sepanjang pantai)
5. Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk
didaerah area yang rawan Tsunami
6. Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan
yang rawan Tsunami

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, proses FGD dengan beberapa fihak


terkait, serta studi literatur tentang bencana di kota Palu dan sekitarnya
memberikan beberapa informasi penting bahwa ternyata masyarakat belum
memiliki pengetahuan yang cukup perihal mitigasi dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana. Selain itu, otoritas pemerintah juga terkesan panik
saat musibah terjadi sehingga kurang maksimal dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat korban bencana. Jumlah korban yang sangat
besar adalah indikasi ketidaksiapan warga dan pemerintah dalam
menghadapi bencana. Kebijakan mitigasi bencana semestinya harus
memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh
dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi
bencana yang lebih besar dikemudian hari.

REFERENSI

[1] R. A. Pratomo and I. Rudiarto, “Permodelan Tsunami dan Implikasinya


Terhadap Mitigasi Bencana di Kota Palu,” vol. 9, no. 2, pp. 174–182,
2013.
[2] D. Mardiatno, M. N. Malawani, D. N. Annisa, and D. Wacano, “Review on
Tsunami Risk Reduction in Indonesia Based on Coastal and Settlement
Typology,” vol. 9521, no. 2, 2017.
[3] D. Hidayatr, “PARADIGMA BARU PENGELOLAAN BENCANA ALAM DI
INDONESIA,” vol. III, no. I, pp. 69–84.

9
[4] K. Prambanan, D. A. N. Kecamatan, and G. Kabupaten, “Kata Kunci:
Ground Shear Strain, likuifaksi, mikrotremor.,” pp. 23–28.
[5] “Gempa, tsunami dan likuifaksi_ Rangkaian bencana di Palu yang perlu
Anda ketahui - BBC News Indonesia.” .
[6] J. Lingkungan and D. A. N. Bencana, “Analisis Kegempaan di Zona Sesar
Palu Koro, Sulawesi Tengah,” vol. 6, no. 3, pp. 253–264, 2015.
[7] P. Pengkajian and T. Keselamatan, “MANAJEMEN RESIKO BENCANA
GEMPA BUMI,” pp. 25–26, 2008.
[8] I. S. Wekke, Z. Sabara, M. A. Samad, A. Yani, R. Umam, and M. U. Palu,
“EARTHQUAKE , TSUNAMI , AND SOCIETY COOPERATION : EARLY
FINDINGS IN PALU POST OF INDONESIA DISASTER.”
[9] I. S. Wekke, R. Rajindra, D. Pushpalal, M. A. Samad, A. Yani, R. Umam,
and P. Presented, “Educational Institution on Responding Disasters in
Palu of Indonesia.”
[10] “Peran Pemerintah, Organisasi Kemanusiaan dan Grassroot dalam
Manajemen Bencana Hadi Purnomo (Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Immanuel Yogyakarta, Indonesia),” pp. 43–53.
[11] “menuju perbaikan bencana di Indonesia.pdf.” .
[12] R. Wikantiyoso, S. Utara, and S. Barat, “Mitigasi Bencana Di Perkotaan ;
Adaptasi Atau Antisipasi Perencanaan Dan Perancangan Kota ? ( Potensi
Kearifan Lokal Dalam Perencanaan Dan Perancangan Kota Untuk Upaya
Mitigasi Bencana ),” pp. 18–29, 2010.
[13] “Tsunami Terjang Pantai Palu, Penanganan Darurat Terus Dilakukan -
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.” .
[14] “Apa yang Terjadi dengan Bantuan Kemanusiaan di Palu dan Donggala_
Halaman all - Kompas.” .
[15] A. S. Fillah and M. Fedryansyah, “PROGRAM PENANGGULANGAN
BENCANA OLEH DISASTER MANAGEMENT CENTER ( DMC ) DOMPET
DHUAFA.”
[16] D. Santoro, M. Yamin, and M. Mahrus, “Jurnal Pengabdian Magister
Pendidikan IPA Penyuluhan Tentang Mitigasi Bencana Tsunami Berbasis
Hutan Mangrove Di Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak Lombok
Timur,” no. 1982, 2019.
[17] D. Jokowinarno, “Mitigasi bencana tsunami di wilayah pesisir lampung,”
no. 1.
[18] T. Ilyas, “Tommy Ilyas Guru Besar Geotechnic Fakultas Teknik
Universitas Indonesia Abstrak Pendahuluan Gempa bumi,” pp. 1–23,
2006.

10

Anda mungkin juga menyukai