Anda di halaman 1dari 5

Resume Jurnal

Disaster Management di Indonesia dan Luar Negeri

TUTORIAL 12

Kurnia Utaminingsih (20160310009)

R. Satriawan Wedniyanto (20160310020)

Aditya Rahmat Z. (20160310026)

Ema Novita Rini (20160310027)

Septia Ika Wahyu A. (20160310033)

Bettania Siwi G. (20160310080)

Rizki Andarista Pramesti (20160310092)

Ariev Gustav Verdito (20160310120)

Dieny Rizka Nugrahanti (20160310122)

Muhammad Hafizh S. (20160310160)

Mirroh Nashih Mufidah (20160310179)


Lost In Transition: Principles, Practice And Lessons From Haiti for Urban
Post-Disaster Shelter Recovery Programs

Setelah gempa bumi tahun 2010 yang menghancurkan di Haiti, lembaga-lembaga


bantuan besar dari seluruh dunia memberikan tanggapannya yaitu dengan membangun shelter
satu lantai yang dibangun dari kayu atau kerangka baja oleh masyarakat secara mandiri. Ini
dikenal secara luas sebagai shelter transision atau T-shelter yang disediakan oleh berbagai
lembaga sebagai 'stop-gap' antara sementara dan jangka waktu lama selama pergantian tahun.

T-shelter telah diterapkan sejak 2004, populer di kalangan lembaga dan donor. Menurut
mereka, T-shelter adalah program yang sangat baik bila diberlakukan serta dapat mengalihkan
perhatian dari pemulihan jangka panjang bagi korban menjadi pemulihan yang lebih singkat.

Tempat berlindung setelah bencana adalah perumahan. Tinjauan Tanggap Darurat


Kemanusiaan UK 2011 (HERR) 2011 mengatakan bahwa “Menyediakan tempat penampungan
yang memadai (setelah bencana) tetap menjadi salah satu kewajiban yang merupakan bentuk dari
menanggapi respons kemanusiaan internasional ’.

Situasi ini lebih kompleks terjadi di daerah perkotaan, di mana berbagai bentuk
kehidupan yang lebih beragam terjadi. Pengaplikasian bentuk T-shelters yang lebih mudah
dilakukan di pedesaan juga dapat didapat diaplikasikan dalam perumahan di kota, contohnya di
Port-au-Prince.

Mereka mulai membangun shelter di Port-au-prince sejak 2010 pasca gempa dan selesai
pada tahun 2011. Pemulihan menggunakan shelter pasca bencana di perkotaan dibagi menjadi 3
tahapan proses yang berbeda tapi saling berhubungan dan berketergantungan.

Pertama adalah proses penerimaan yaitu proses dimana warga pasca bencana hidup di
tenda kemudian dipindahkan ke T-shelter lalu ke rumah permanen. Pada proses ini fokus kepada
kebutuhan akan tempat tinggal.

Kedua adalah proses pengalaman yaitu proses dimana saat warga masih tinggal di tenda,
pemerintah sudah menganalisis apa yang menyebabkan bencana dan bagaimana tata kota
selanjutnya agar tidak kembali terjadi bencana. Hal-hal yang dikaji meliputi kepemilikan tanah,
peraturan pemerintah dalam menghadapi bencana serupa di kemudian hari, pemasukan negara
pasca bencana, pengkajian kontraktor untuk menata kota kembali dan proses pemulihan kota.

Ketiga adalah proses pembelajaran yang berfokus selama warga berada di T-shelter
contohnya memperbaiki fasilitas umum, memberikan pengetahuan dan pembelajaran
penanganan pasca trauma untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat pasca
bencana.

Makalah ini menegaskan perlunya mengklarifikasi terminologi dan prinsip-prinsip hunian


pasca bencana, dan pembelajaran untuk meningkatkan respon hunian dalam bencana perkotaan
di masa depan: memperluas pilihan hunian transisional di luar hunian melalui fasilitasi
perumahan jangka panjang dan penerapan prinsip-prinsip perencanaan kota dalam pemulihan
pasca bencana serta pembangunan kembali lingkungan yang lebih komprehensif dan
pengebangan pengetahuan, keterampilan dan kapasitas bagi warga pasca bencana.

Community Based Disaster Management: Indonesian Experience

Bencana alam alam merupakan peristiwa yang tak lagi asing bagi Indonesia. Setiap
bencana alam datang bergantian setiap tahun mulai dari gempa bumi, gunung berapi, tsunami,
banjir, Anging tornado, tanah longsor, kebakaran hutan, konflik sosial dan seterusnya dan
meliputi seluruh wilayah Indonesia. Bencana dapat dikategorikan murni untuk bencana yang
disebabkan oleh faktor alam dan bencana yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas manusia.
Gempa bumi, letusan gunung berapi, tornado dan tsunami dapat diklasifikasikan menjadi
bencana dalam kategori pertama, sementara tanah longsor, banjir, kebakaran hutan adalah
bencana dapat diklasifikasikan ke dalam kategori kedua adalah hasil dari aktivitas manusia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana antara 1815 dan
2014. Selama periode itu bencana terbesar yang terjadi adalah 5,204 kali banjir menewaskan 18
860 orang, diikuti oleh badai dari 2.879 kali dengan 292 korban, 2254 tanah longsor kali dengan
2.035 korban dan kekeringan dari 1.692 kali bahkan hanya 2 korban orang.
Gempa dan Tsunami di Aceh, yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 adalah salah satu
bencana alam terburuk dalam sejarah. Gempa 9,1 skala Richter berpusat di Samudera Hindia
menyebabkan tsunami yang melanda seluruh Samudera Hindia dan mengakibatkan kematian dan
kehancuran di seluruh Asia Selatan termasuk Thailand, Bangladesh, Sri Lanka, dan India ke
Afrika Timur. Letusan gunung berapi Merapi di Jawa Tengah adalah salah satu letusan terbesar
dan membawa banyak korban. Letusan terakhir adalah pada bulan Oktober dan November 2010
dianggap sebagai letusan terbesar sejak letusan pada tahun 1872 dan menewaskan 273 orang.
Banjir adalah bencana alam yang akrab bagi masyarakat Indonesia dan yang paling umum adalah
ketika musim hujan tiba. Banjir.
umumnya disebabkan oleh meluapnya air sungai ke lingkungan sekitarnya sebagai akibat dari
hujan deras. Selain itu, di daerah perkotaan juga disebabkan oleh kurangnya daerah resapan
sebagai hasil pembangunan secara luas.
Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat di Indonesia dan juga di beberapa
negara adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mempersiapkan dan
mengatasi dengan hasil bencana. Hal ini karena pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya
termasuk sumber daya manusia, dana, peralatan dan logistik. Karena itu manajemen bencana
harus menjadi universalitas, yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk
pemerintah, swasta dan masyarakat. Ketiga komponen ini harus mampu menjadi actor yang
sama, semua harus memainkan peran utama, tidak hanya berperan juga. Pemulihan dari bencana
hanya dapat dicapai melalui partisipasi penuh dari masyarakat yang terkena dampak. Partisipasi
masyarakat merupakan faktor kunci dalam menanggapi bencana.
Kelemahan manajemen bencana di Indonesia terjadi karena beberapa faktor. Pertama,
kurangnya pemahaman dari manajemen bencana dari para pemangku kepentingan baik di tingkat
pengambil keputusan dan pelaku formal dalam manajemen bencana menjadi masalah serius.
Kedua, ditemukan bahwa kurangnya organisasi formal kapasitas BNPB dalam manajemen
bencana menjadi faktor penyebab. Badan Nasional Penanggulangan Bencana adalah organisasi
yang memiliki tugas besar, tetapi dengan kapasitas dan fleksibilitas sangat terbatas. Keterbatasan
kapasitas (manusia dan keuangan) dan fleksibilitas ini dapat terjadi karena sifat dari organisasi
birokrasi. Faktor ketiga berkaitan dengan keanggotaan organisasi. Organisasi ini terdiri dari para
pejabat dari posisi struktural pemerintah pusat sebagai kepala departemen dan kementerian dan
pejabat setempat juga menjabat sebagai kepala daerah.
Sebagai negara yang selalu terkena dampak bencana, pemerintah Indonesia
berupaya mengembangkan bencana pengelolaan. Pada awalnya, penanggulangan bencana di
Indonesia adalah berbasis pemerintah di mana pemerintah bertanggung jawab penuh atas
manajemen bencana. Mengenali masalah bencana itu tidak sedikithal yang harus dipecahkan,
dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, penanggulangan bencana adalah
bergeser ke arah pencegahan berbasis masyarakat sebanyak mungkin dengan mendorong
partisipasi komunitas, LSM dan komunitas internasional.
Bencana adalah bahwa hidup kita selalu mengintai. Memang benar ada bencana yang
bisa dihindari seperti kebakaran,konflik sosial, tetapi juga benar bahwa ada bencana tidak dapat
dihindari. Bencana akan berdampak besar kerusakan harta benda dan bahkan menyebabkan
orang mati. Mustahil menghentikan bencana. Karena itu hidup bersama paradigma bencana lebih
relevan dengan paradigma hidup tanpa bencana. Namun, kedatangan setiap bencana tidak boleh
menghadapi pengunduran diri, tetapi harus ada upaya untuk meminimalkan bencana efek.
Mengatasi bencana dengan mengandalkan kemampuan pemerintah saja sudah tidak efektif dan
lagi populer karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Karena itu, keterlibatan keseluruhan
komunitas dalam penanggulangan bencana adalah suatu keharusan. Dalam konteks
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM) sangat penting.

Anda mungkin juga menyukai