Anda di halaman 1dari 29

DIMENSI SOSIAL DALAM BENCANA:

KEBUTUHAN UNTUK RENCANA AKSI


AHMAD ARIF
Tokyo Jakarta

"Hujan bukanlah penghalang, "Maaf terlambat, soalnya hujan…."


untuk itu diciptakan payung."
Cara pandang masyarakat terhadap alam akan menentukan respon mereka
terhadap bencana

Alam bisa
"ditundukkan"

Kluckhohn, dalam Koentjaraningrat


(1987), mendefinisikan cara pandang
bawa payung/mantel
manusia terhadap alam dalam tiga
lihat perkiraan cuaca
orientasi nilai. Pertama, manusia
tunduk kepada alam sehingga hanya
bisa pasrah (manusia tradisional).
Kedua, manusia berusaha mencari
keselarasan dengan alam
Manusia tunduk pada alam
(transformasi). Ketiga, manusia
berhasrat menguasai alam (manusia
modern).

Jika hujan berteduh: terlambat


Jika terang
atau batal

jadi ketemu sesuatu


jadwal
• Kembali ke tapak
bencana

• Tragedi tsunami sudah


dilupakan

• Jumlah penduduk
terus bertambah

• Ekonomi tumbuh, dst


Sistem Peringatan Dini Tsunami
yang Tidak Menyelamatkan:
Pembelajaran dari Palu
Ahmad Arif
(Kompas)

Irina Rafliana
(ICIAR/Pusat Penelitian Oseanografi LIPI)

Syarifah Dalimunthe
(Pusat Penelitian Kependudukan LIPI)/Nagoya
University)

Ardito Kodijat
(IOC/UNESCO - Indian Ocean Tsunami Information
Centre - UNESCO Office Jakarta)
DIMENSI SOSIAL DAN DAMPAK BENCANA
Sekalipun gempa bumi merupakan peristiwa alam, respons menghadapinya merupakan proses
kebudayaan. Proses budaya inilah yang menyebabkan kerentanan terhadap bencana bersifat
relatif. Ancaman bencana yang sama, bisa berbeda tingkat kerentanan dan dampaknya di
komunitas yang berbeda.

M 7,8: 2 tewas di Selandia Baru M 6,5: 104 tewas di Pidie Jaya

sumber: USGS, 2016


1. Pengetahuan tentang risiko

Foto by Bedu Saini, 2004


Pelajaran dari Pulau Simeulue
Smong dari Pulau Simeulue telah menyelamatkan
penduduk pulau ini. Sekalipun ribuan rumah warga
rusak diterjang tsunami 2004, namun hanya “7” orang
yang meninggal. Warga Simeulue telah mengetahui
bahwa setela gempa, laut pun surut, maka, sebentar
lagi tsunami datang.
• Indonesia memiliki gunung api
terbanyak di dunia; 127 gunung api
• Dalam 200 tahun terakhir, jumlah
gempa lebih banyak dibanding
Jepang
• Kenapa DRR tidak menjadi
mainstream di Indonesia?
Akar masalahnya;
1. Persolan perspektif dan
pengetahuan; budaya, faktor
agama, kepercayaan, dll
2. Persoalan pengetahuan; a-

historis, minim studi sosial
kebencanaan
3. Kebijakan politik-ekonomi
belum berpihak;
2. Literasi
Tsunami dalam
istilah lokal: Tsunami adalah gelombang
laut dahsyat (gelombang
Smong, galoro, ie beuna, pasang) yg terjadi karena
hilangnya negeri elpaputih,
gempa bumi atau letusan
gergasi dari laut, air turun naik, ae
mesinuka tanalala, ratu kidul? gunung api di dasar laut
(biasanya terjadi di Jepang
dan sekitarnya)

(Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Departemen
Pendidikan Nasional Republik
Indonesia, 2008)
Literasi bencana ”... Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu
subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah
hati dengan kekurangan makanan. Jika pada
waktu duha gempa itu, alamatnya air laut keras
akan datang ke dalam negeri itu....”

Catalogue of Malay, Minangkabau and South

Sumatran Manuscript in the Netherlands, (Leiden:

Documentatiebureau Islam-Christendom, 1999), vol.

1, pp. 64- 65.


Merekonstruksi pengetahuan tentang risiko dan
mengenalkan cara memitigasinya
tantangan:
• Bangunan tahan
gempa 20-30
persen lebih
mahal.
• Gempa Pidie Jaya
terjadi di zona yg
belum dipetakan

peluang:
Nilai lebih untuk
bangunan yang
memenuhi
standar aman
bencana
Buukan gempa yang membunuh,
• Dampak gempa bisa dikurangi risikonya
• Rumah tradisional tahan gempa
tapi bangunan
• Rumah tembok bisa tahan gempa asal konstruksinya benar
PERSEPSI RISIKO
Disaster Risk (or recipe for disaster) has

been presented by Brian Ward, 1999 as follows:

Hazard x Vulnerability

Disaster Risk = -------------------------------------


Manageability/Capacity

Tujuan utama dari PRB adalah bagaimana meminimalkan korban dan


kerugian. Prinsip pertama yang sering dipakai adalah menjauhkan
masyarakat dari zona bahaya.

Tapi, apakah kita sudah mempersepsikan risiko sama dengan


masyarakat? Kita perlu bertanya ke masyarakat, bagaimana mereka
mempersipsiakan risiko bencana?
3. persepsi tentang risiko
Kasus letusan Merapi 2010

Mbah Maridjan, juru kunci


Merapi dan setidaknya 32
warga Kinahrejo, yang
menolak diungsikan
akhirnya tewas saat “Jika saya turun, banyak orang akan menertawan; arena saya
letusan Merapi pada 26 dianggap hanya mau enaknya dari Merapi, tapi
Oktober 2010. meninggalkan saat situasi memburuk. Baik atau buruk inilah
rumah saya,” kata Maridjan, dua jam sebelum letusan
LETUSAN dahsyat Gunung Agung yang berlangsung dua kali dalam satu periode
letusan itu, telah merenggut 1.148 korban jiwa dan 296 luka-luka. Bahkan, dalam
laporan yang dibuat Kepala Bagian Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi
Hadikusumo ke UNESCO, letusan itu telah menewaskan 1.549 orang.
AWAN panas sudah mendekat, tetapi warga ”Selama kami masih melakukan
Sogra dan Badeg Dukuh di lereng selatan upacara, tidak akan terjadi
Gunung Agung tak mau beranjak. Mereka bencana,” kisah Mangku Turut (63),
bertahan di pura. Dengan memanjatkan doa-doa saksi mata letusan Gunung Agung
sambil menabuh gamelan, mereka berharap 1963. Sejak kecil, Turut diajarkan
dewa-dewa gunung akan melindungi. Semakin bahwa petaka gunung api
dekat awan panas itu, semakin keras tabuhan disebabkan kurangnya doa dan
gamelan. persembahan.

Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109
warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra. Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra
dan Badeg mungkin dianggap mencari mati. Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu
itu; ”Kami menjaga pegunungan kehidupan ini, pura-pura asal-usul Bali: kami adalah
dahan tua yang mendukung ujung yang segar. Jika kami mengabaikan tugas (ritual)
kami, dunia akan berguncang dan seluruh penduduknya akan hancur lebur." Jero
Tongkong dalam Thomas A Reuter (2002)
4. BAGAIMANA RISIKO DI KOMUNIKASIKAN?
BAGAIMANA LITERASI BENCANA?
#TANTANGAN; PRAKTIK PEMBERITAAN MEDIA DI INDONESIA: MASIH FOKUS PADA KEJADIAN

GEMPA ACEH 2004 - 2016

Numbers represent search interest relative to the highest point on the chart sumber: google trends, 2016
for the given region and time. A value of 100 is the peak popularity for the
term. A value of 50 means that the term is half as popular. Likewise a score
of 0 means the term was less than 1% as popular as the peak
• Pendekatan bad news is good news masih dominan dalam pemberitaan
media di Indonesia.
• Pengurangan risiko bencana dan upaya mitigasi, masih jarang diberitakan
• Meluasnya hoax dalam setiap kejadian bencana
• Menguatnya tren click bait dan politisasi persoalan bencana, dibandingkan
menjelaskan tentang aspek sains dan mengedukasi publik.
polemik pemberitaan di media online tentang“prediksi tsunami 57
meter di Pandeglang pada 2018” dan polemik
Politisasi dan “sinetronisasi” pemberitaan banjir di Jakarta pada
awal Januari 2020.

sumber:googletrend
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu?
Apakah sebelumnya ada firasat?
Bla..bla…bla dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
membuat keluarga korban bersedih.
Catatan Penutup

• Pengetahuan risiko (aspek


historis, budaya)
• Persepsi risiko
• Politik-ekonomi dan
manajemen bencana
• Komunikasi risiko dan literasi
bencana

Anda mungkin juga menyukai