Anda di halaman 1dari 10

MORALITAS DAN ETIKA

Buddhisme seperti agama Buddha india lainnya, tidak mememisahkan pengetahuan dari
kelakuan teori dan praktik. Filsafat menjadi berarti hanya dapat member pengertian akan realitas
yang dapat di pakai untuk mengatur kehidupan seseorang. Cabang filsafat etika ini berkenaan
dengan persoalan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia, tergantung manusia itu sendiri,
bagaimana menyikapi hal tersebut apakah bersifat buruk atau bersifat baik. Pada umumnya
terdapat system moral yang dijadikan patokan manusia, yakni norma yang berdasarkan
kewajiban yang mutlak (deontologis), dan juga norma yang berdasarkan dari tujuan perbuatan
(teleologis), dan norma yang berdasarkan hubunganya dengan orang lain ( relesional). Moralitas
ini sangat erat kaitanya dengan etika. Mengapa demikian? Karena moral ini akan menyangkut
kewajiban yang ditunjukan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Sedangkan etika itu sendiri
adalah pengetahuan tentang baik buruk manusia.

Secera etimologis istilah etika berasal dari kata Yunani “ethikos” yang berarti “adat
kebiasan” ( Pritchard 2012,1). Dalam perkembanganya, etika mengacu kepada seperangkat
aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berfikir yang menuntun tindakan dari suatu kelompom
tertenu. Akan tetapi, kata etika ini spesifik mangacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang
bagaimana kita seharusnta bertindak (Borchert,2006) jadi etika dalah cabang ilmu filsafat yang
menyelidiki suatu system prinsip moral .

Sedangkan ( Pritchard 2012,1) Moralitas berasal dari kata latin “moralis” yang berarti
yang berarti “ tata cara, karakter, atau perilaku yang tepat ”. Sedangkan secara terminologis
moralitas sering kali disebut sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antar yang baik
atau yang tidak baik. Moralitas ini mengacu pada nilai baik dan buruk.

Jadi moralitas ini sangat berhubungan dengan etika karena suatu abstraksi dalam
memahami atau mendefensikan moral dengan melakukan refleksi dan etika membahas tentang
persoalan moral dan situasi tertentu dengan pendekatan tertentu pula, sedangkan moralitas
tergantung pada pilihan individu, keyakinan atau agama dalam menentukan hal baik itu bersifat
buruk ataukah bersifat baik.

(Borchert,2006) juga mendefinisikan moralitas didefenisikan melalui otoritas tertentu,


artinya bahwa moralitas ini lebih dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang
baik. Adapun moralitas menurut (K,Bertens,2002) menjelaskan moralitas ini merupakan suatu
fenomena kehidupan manusiawi yang universal, dan menjadi ciri yang membedakan manusia
dari binatang. Kita dapat melihat dari binatang, kita dapat mengetahui bahwa dari binatang tidak
ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan mana yang boleh dilarang, dan
mana yang pantas dan mana yang tidak pantas dilakukan. Adapun macam-macam etika menurut
Bertens dalam bukunya

1. Etika deskritif
Yaitu etika yang melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas. Etika deksritif ini
mempelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dan dalam periode
tertenu. Seperti etika yang melukiskan ada istiadat, enggapan-anggapan tentang baik
dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan tidak boleh diperbolehkan.
2. Etika normative
Yaitu etika yang melukiskan melakukan penilaian agar dapat mengadakan
argumentasi. Etika ini juga bersifat perskritif (mememerintahkan), tidak melukiskan
secara netral, melainkan menentukan benar tindaknya tingkah laku atau anggapan
moral. Melalui lewat argumentasi-argumentasi, berdasar alas an-alasan yang kuat,
prinsip etis dirumuskan sehingga dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional
dan dapat digunakan dalam praktik.
3. Metaetika
Meta berarti melampui atau melebehi, yang dibahas bukan moralitas langsung , tetapi
melainkan ucapan dibidang moralitas.

Manusia memiliki etika dan moralitas pada awal buddhisme awal seperti yang dijelaskan
oleh Dewey bahwa “ dunia yang berbahaya” , sedangkan dari Sang Buddha sendiri beserta kaum
upanised berada pada dunia berbahaya ketika dunia yang disiksa oleh kelahiran, kelapukan dan
kematian. Menurut dewey sendiri ada dua cara untuk mengatasi dunia yang berbahaya yang
dipakai oleh Brahmanisme dan Buddhisme yaitu

1. Dengan melepaskan praktek mengambil hati kepada kekuatan yang melingkupi


manusia, melalui berbagai bentuk pemujaan seperti pemujaan terhadap pepohonan,
korbanaan, upacara suci, dan pemujaan magik seperti yang dilakukan agama
brahmana
2. Buddhisme menitikberatkan kebutuhan akan pengembangan diri atau penegakan
moral untuk mendapatkan pembebasan dari kehidupan.

Selanjutnya sang Buddha juga meyatakan bahwa “ saya tak pernah menaruh kayu,
brahmana, untuk umpan api di altar, hanya di dalam api saya nyalakan. Dengan api yang tak
putus-putusnya membakar ini, dan dengan diri yang selalu dikendalikan, saya jalani kehidupan
mulia dan luhur” ( Samyutta Nikāya, 2.230). Dengan ini sang Buddha mmenjelaskan bahwa
kemunduran agama brahmana mengenai moralitas pada masa sang Buddha, menunjukan
perubahan yang dibawa oleh Buddhisme ke dalam kehidupan keagamaan di India. Meskipun
demikian masyarakat india sesunguhnya telah mengenal moralitas jauh sejal zaman pra-Buddha,
namun disini juga menegaskan bahwa agama brahmana mengalami kemunduran pada masa sang
Buddha pada saat itu,.

Definisi dari baik dan buruk di dalam sutta ambalathika rahulovada sutta disebut sebagai
cermin dhamma, yaitu dengan melihat kedalam dirinya sendiri dapat menentukan apakah
perbuatan tersebut bersifat baik apakah bersifat buruk.

Dalam Agama Buddha itu sendiri moral dan etika ini sangat dititikberatkan, dan
peneggakan moral merupakan perwujudan dari kebutuhan pengembangan diri dari manusia yang
terus berperoses. Ada dua aspek yang berkenaan dengan perilaku moral, yaitu aspek negatif
dengan menghindari atau jangan melakukan perbuatan kejahatan ( papasa akarana), selain
aspek negatif ada juga aspek positif dengan cara mengembangkan kebaikan ( kusala
upasampada). Seperti yang dijelaskan dalam dhammapada 183 “ jangan berbuat jahat,.
Berbuatllah kebaikan. Sucikan hati dan pikiran. Inilah ajaran para Buddha.

Kita telah mengetahui bahwa Moralitas dalam agama Buddha terbagi menjadi tiga
macam, yaitu 1) Hina sīla yaitu sila yang tergolong dalam kelompok kecil atau disebut dengan
Pancasila buddhis yang dijalankan oleh umat awam, 2) Majjhima sīla yaitu sila yang tergolong
dalam kelompok menengah atau disebut dengan Dasasīla atau Atthangasīla yang dijalankan oleh
Samanera dan attasilani, 3) Panita Sīla yaitu sila yang tergolong dalam kelompok tinggi, sila ini
dijalankan oleh para bhikkhu yang terdiri dari 227 sila/aturan. Sang Buddha bersabda dalam
Dhammapada XIV;217 “ Barang siapa yang sempurna dalam menjalankan sila dan mempunyai
pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi degala
kewajibannya, maka orang tersebut akan mencintainya”. Di dalam Sārānīyadahmma Sutta juga
menjelaskan bahwa dengan kita selalu mengembangkan perbuatan baik, maka dapat
menimbulkan rasa saling mengenang, dikenang, dihormati, menghormati, ditolong, dan
menimbulkan kecocokan dengan orang lain.

Dalam agama Buddha itu sendiri sila disebut sebagai peraturan yaitu ada silaskikkha atau
sikkhapada atau disebut juga vinaya, yang digolongkan menurut kelompok penganut. Vinaya
bagi golongan perumah tangga dinamakan Aggariya-Vinaya yang terdiri dari varitta-sila yaitu
Panca-sila. Ada juga golongan para Bhikku yang dinamakan Anagariya-Vinaya yang berupa
Patimokkha-sila, dan ada juga untuk para Atthasilani dan para Samanera.

Kebijakan moral dapat digolong-golongkan ke dalam berbagai kategori . yang paling


dasar mencangkup kelompok dari lima kebijakan ( pana sila ). Mereka adalah pengekangan diri
terhadap

1. Pencabutan kehidupan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap yang lain
2. Pengambilan sesuatu yang tidak diberikan
3. Memperturutkan kesenangan indria yang keliru
4. Mengucapkan ketidakbenaran (berbohong)
5. Kelembanan akibat pengunaan bahan yang menyebabkan ketagihan

Kemudian ada sepuluh kebijakan moral ( Dasa sila ) lima pertama telah disebut
diatas

6. Terhadap memfitnah pan yang keras dan kasar


7. Terhadap ocehan yang tak-karuan
8. Terhadap keirihatian
9. Terhadap kendekian
10. Terhadap pandangan salah

Analisis terperinci dari kebijakan moral ini dapat ditemukan dalam brahmajāla sutta
dimana mereka dikelompokan menjadi tiga kelompok

1. Bagian pendek (cūla)


2. Bagian tenghan (majjhima)
3. Dan bagian panjang (mahā)

Dalam Mahaparinibbana sutta sang Buddha mengemukan manfaat dari pelaksaan


Moralitas

1. Seseorang yang menjalankan sila akan membuat menjadi kaya


2. Seseorang yang menjalankan sila akan mendatangkan nama baik
3. Seseorang yang menjalankan sila akan menimbulkan percaya diri dalam
pergaulan dengan berbagai golongan manusia
4. Seseorang yang menjalankan sila akan di beri ketenangan di saat menjelang
kematian
5. Seseorang yang menjalankan sila setelah meninggal dunia aka terlahir
kembali di alam surge

Bagi umat Buddha, perwujudan keyakinan terhadap Tri ratna, yaitu Buddha, dhamma,
dan sangha terdapat di dalam pelaksanaan sila, seperti Pancasila buddhis. Kita ketahui bahwa sila
atau moralitas dalam agama Buddha terkandung (ariyanatthangiko maggo) jalan mulia berunsur
delapan, dalam hal ini agar dapat menghentikan yang namanya dukkha. jalan mulia berunsur
delapan ini mewakili kebajikan-kebajikan moral sekaligus bersama dengan proses konsentrasi
dan pengembangan kebijaksanaan. Kedelapan factor tersebut adalah :

- Pandangan benar ( sammā ditthi)


- Pikiran benar ( sammā Sankappa)
- Ucapan benar ( sammā Vācā)
- Perbuatan benar ( sammā kammanta)
- Mata pencaharian benar ( sammā ājiva)
- Daya upaya benar ( sammā vāyāma)
- Perthatian benar ( sammā sati)
- Konsentrasi benar ( sammā Samādhi)

Apa yang kaum Buddha ingin capai dengan mengikuti jalan kesempurnaan moral
sebenarnya ?sebenarnya yang dipandang berbahaya itu adalah kelahiran, kelapukan dan
kematian, dan ketidakpastian akan segala sesuatu yang ada di dunia. Telah kita ketahui bahwa
lingkaran tumbimbal lahir ini disebabkan oleh kengininan (tanhā) dan kemelekatan atau
keterikatan( upādāna). Walaupun keinginan dan kemelakatan merupakan sebab bagi bahaya
yang besar seperti kelahiran, kelapukan dan kematian, mereka juga membawa ke tidak bahagian
dan penderitan yang dialami manusia setelah ia dilahirkan. Jadi kenginan bukan saja
membimbing ke penderitaan waktu lampau maupun saat ini, tetapi juga penderitaan lanjutan
pada masa mendatang dalam bentuk kelahiran kembali serta akibatnya berupa kelapukan dan
kematian.

Cara yang paling efektif untuk menghapus keinginan adalah melalui pelepasan
(Nekhamma) .keidealan dari pelepasan, karena itu mendapat tekanan khusus dalam kitab suci
dalam agama Buddha. Pelepasan fisik maupun mental dapat dicapai hanya melalui proses latihan
yang bertahap. Sekarang penilaian etika menurut Buddhisme. Satu cara untuk memutuskan
apakah suatu perbiatan benar atau salah, naik atau buruk adalah dengan memeriksanya apakah ia
membawa ke pelepasan (virāga) atau ke keterikatan (rāga). Seringkali oleh sang Buddha bahwa
perbuatan yang begini dan begitu tidak sehursnya dikerajakan (akaraniyam)alasanya adalah
bahwa perbuatan itu tidak membawa ke pelepasan (virāga) dan penengan (vūasama)nafsu.
Padahal buddhisme keseangan indira akhirnya akan membawa ke penderitaan juga bukan ke
kebahagian.

Menurut buddhisme awal, kebahgaian harus dicapai melalui pengendalian semua


kerinduan akan dunia(kesenangan indria), semua kedengkian, niali-nilai yang keliri, sekaligus
bersama-sama dengan kekesalah atau kekecewaan yang muncul akibat ke tidakkekalan dan
kepuasan yang tidak dapat bertahan lama. Disebutkan bahwa “ Seorang hidup dengan
merenungkan tubuh di dalam tubuh, rajin, wasapada, penuh perhatian, mengendalikan kerinduan
dan kekecewaannya terhadap dunia. Ia dengan demikian berdiam dalam perenungan terhadap
perasaan dalam perasaan, dan terhadap kesadaraan dalam kesadraan. Dan pada akhirnya ia
berdiam dalam perenungan terhadap obyek-obyek mental dalam obyek mental, rajin, waspada,
penuh perhatian, mengendalikan kerinduan dan kececewaannya terhadap dunia.” Seperti yang
dikemukakan I.B Horner, “ Penagapusan lengkap terhadap kerinduan dicapai hanya dengan
tercapainya Nibbāna. Tetapi pengendalian ini dapat dicapai pada tingkatan yang berbeda, dan hal
ini merupakan segalanya yang diharapkan dari seseorang yang hidup di masyarakat. Mutu
kebahagian yang dicapai seseorang melaui pelepasan tentulah lebih tinggi daripada yang dicapai
melaui keterikatan atau keinginan.
Istilah yang dipakai untuk menyatakan kedua hal tersebut adalah akusala dan akusula.
Kusala membawa arti sehat atau baik dan akusala tidak sehat atau tidak baik. Jadi dapatlah
dikatakan bahwa segala sesuatu yang mendatangkan sehat fisik maupun mental, dan buruk
mendatangkan kesehatan yang buruk juga fisik ataupun mental. Seperti yang sudah dikatkan oleh
sang buddha, sekalipun kebajikan itu yang paling sederhana, seperti menghormati orang tua,
kemurahan hati maupun kebajikan yang lainya tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya unsure
pelepasan, inilah korbanan yang di tegaskan oleh sang buddha. Kita diketahui juga bahwa etika
dan moralitas ini mengakibatkan baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang, penjelasan ini
terdapat dalam Ambalatthika Rahulovada sutta Majjhima Nikaya Sang Buddha menjelaskan “
perbuatan apapaun yang dilakukan dengan badan, ucapan, atau mental yang membawa ke
penderitaan untuk diri sendiri, atau yang lain, perbuatan demikian adalah buruk, perbuatan
apapun yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, ataupun mental akan tidak membawa
pada penderitaan bagi sendiri, maupun penderitaan bagi orang lain.”

Jadi dalam menentukan suatu perbuatan baik itu buruk maupun perbuatan baik, kita
harus bisa menghidari perbuatan melalui badan jasamani, ucapan maupun perbuatan, karena
melalui ketiga perbuatan tersebut dapat menentukan apakah yang kita lakukan apakah manfaat
bagi orang lain apakah tidak. Kita tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi, tetapi kita
juga harus bisa memntingkan kepentingan orang lain. Dalam hal ini dijelaskan oleh sang Buddha
ada empat tipe orang di dunia ini :

1. Attantapa yaitu menyiksa dirinya sendiri, seseorang yang melakukan pertapaan yang
ekstrim, ia tidak peduli dengan dirinya sendiri, menyiksa dirinya sendiri dengan
kejam, ia juga senang menyiksa dan menyensarakan dirinya swndiri tanpa rasa
bersalah.
2. Parantapa yaitu orang yang menyiksa orang lain, dimana seseorang ini sering
melakukan penyiksaan, dan melakukan perbuatan yang dapat menyiksa dan mebuat
mahkluk lain menderita, karena orang tersebut dipenuhi dengan yang namanya
keserakahan dan masih memiliki kemelekatan akan kesenangan inderawi dan
mengakibatkan menyiksa mahluk lain
3. Attantapo ca padarantapo ca yaitu ia yang suka menyiksa dirinya sendiri dan
menyiksa orang lain. Seseorang tersebut karena masih memiliki keserakahan dan
kemelekatan
4. Neva attantapo na parantapo yaitu ia tidak senang menyiksa dirinya sendiri dan
menyiksa orang lain, karena seseorang dalam dirinya tidak meiliki keserakahan dan
kemelekatan maka ia tidak akan membuat dirinya menderita dan membuat orang lain
menderita, karena ia tahu bahwa menyiksa dirinya sendiri akan membawa pada
penderitaan dan begitu juga dengan menyiksa orang lain akan merugikan dirinya
sendiri maupun merugikan ornag lain.

Definisi dari baik dan buruk yang diajikan dalam Ambalatthikā-Rāhulovāda sutta secara
umum disebut juga sebagai cermin dhamma, dengan melihat kepadanya seseorang dapat
mentukan untuk dirinya apakah suatu perbuatan baik atau buruk. Bila benar dikatakan disebut
Cermin dhamma adalah yang membantu kita menemukan apa yang baik dan buruk, maka
dapatlah kita katakana kalau demikan bahwa criteria sebagai sebenrnya bagi persoalan baik dan
buruk adalah Dhamma itu sendiri.

Ludwig Wittgenstein yang gagasanya telah mempengaruhi pendektan positivistic modern


terhadap masalah berdasarkan teori gambarnya tentang bahasa, menarik kesimpulan bahwa tidak
ada dalil untuk Etika. Argumenya adalah sebagi berikut : menurut teori gambar tentang bahsa
dalil maupun penyanggalanya adalah mungkin kedua-keduanya. Manakah yang benar dari
keduanya, pernyataan yang fostifnyakah atau negatinyakah adalah kebetulan. Jika segala hal di
dunia ini kebetulan, maka tak aka ada nilai di dunia ini, karena apapun yang mempunyai nilai
tidak dapat merupakan kebetulan.

Sang Buddha sendiri menolak untuk mengakui perbedaan antara realitas dan kebenaran.
Dalam Atthaka vagga sang Buddha berpendapat bahwa pernyataan tentang baik dan buruk amat
terkenal keburukanya karena bersifat subyektif. Tetapi dengan cara yang sama sang Buddha
memandang pernyataan tentang apa yang benar (sacca) dan salah (musā) sebagai sesuatu yang
relative. Ia menjadi relative terhadap kesukaan (ruci) dan ketidakpuasaan (aruci) seseorang,
karena apa yang benar untuk seseorang menajdi salah untuk lainya (mungkin hal ini pula yang
menyebabkan Wittgenstein memandang kebenaran dan kesalahan juga merupakan hal yang
kebetulan). Jadi sang Buddha menyimpulakan bahwa nilai-nilai kebenaran adalah tida
terbedakan dari nilai-nilai normal atai nilai-nilai etika, keduanya ini adalah nilai-nilai yang
berpartsispasi dalam alam kehidupan.

Kesimpulan

Buddhisme seperti agama Buddha india lainnya, tidak mememisahkan pengetahuan dari
kelakuan teori dan praktik. Cabang filsafat etika ini berkenaan dengan persoalan baik dan buruk
yang dilakukan oleh manusia, tergantung manusia itu sendiri, bagaimana menyikapi hal tersebut
apakah bersifat buruk atau bersifat baik. Diatas sudah dijelasan Menurut dewey sendiri ada dua
cara untuk mengatasi dunia yang berbahaya yang dipakai oleh Brahmanisme dan Buddhisme.
Kita telah mengetahui bahwa Moralitas dalam agama Buddha terbagi menjadi tiga macam, yaitu
Hina sīla, Majjhima sīla, Dasasīla atau Atthangasīla. Dan diatas juga Definisikan bahwa dari
baik dan buruk yang diajikan dalam Ambalatthikā-Rāhulovāda sutta secara umum disebut juga
sebagai cermin dhamma, dengan melihat kepadanya seseorang dapat mentukan untuk dirinya
apakah suatu perbuatan baik atau buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Kalupahana J David. 1986. Filsafat Buddha Sebuah Analisis Historis. Jakarta : PT.
Erlangga.

Wijaya Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta : Perebit Yayasan Dharma
pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai