Anda di halaman 1dari 13

KAMMA DAN TUMIMBAL AHIR

PENDAHULUAN
Kehidupan sekarang ini bukanlah kehidupan untuk yang pertama kalinya.
Telah banyak sekali kehidupan yang sudah dijalani dan dilewati. Seseorang terus-
menerus lahir, meninggal dan lahir lagi, demikian seterusnya. Selama seseorang
belum bisa menghancurkan kilesa maka akan terus berputar dalam lingkaran
kelahiran. Tidak semata-mata terlahir, tetapi perbuatan seseorang akan
memperpanjang kehidupan, menambah jumlah kelahiran dan kematian.
Eksistensi seseorang pada masa ini sesungguhnya berasal dari kamma saat
ini dan buah dari kamma masa lampau. Persepsi adalah hasil kamma masa lampau
walaupun demikian seseorang bukan manusia masa lampau tetapi juga bukan
manusia masa kini. Seseorang adalah gabungan dari keduanya, yakni buah dari
kamma masa lampau dan kamma baru yang tercipta di saat ini. Untuk mengetahui
lebih jauh bagaimana kelahiran kembali dan kamma apa yang diperbuat seseorang
bisa terlahir seperti saat sekarang ini. Maka hal itu akan dijelaskan dalam
penjelasan berikut:
1. Tumimbal lahir
Punabbhava berasal dari bahasa Pāḷi yang terbentuk dari dua kata yaitu
kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” berarti lagi atau kembali, sedangkan
”bhava” berarti proses menjadi ada/eksis atau kelahiran. Jadi, secara harafiah,
punabbhava Punabbhava atau kelahiran kembali merupakan suatu proses menjadi
ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia
meninggal/mati) sehingga lahir (jati), dimana proses ini merupakan akibat atau
hasil dari kamma (perbuatan) nya pada kehidupan lampau.
Punabhava adalah istilah yang dikenal dalam agama Buddha sehubungan
dengan kelahiran kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan yang sama
atau berbeda serta tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam
sebelumnya. Kelahiran kembali dikenal juga sebagai penerusan dari nama
(patisandhi vinnana). Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran ajal
(cuti citta) didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian kesadaran ajal

1
padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan (patisandhi vinnana)
untuk timbul pada salah satu dari tiga alam kehidupan sesuai dengan kammanya.
Keinginan tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab
tumimbal lahir. Dengan memadamkan nafsu keinginan maka kita dapat
menghentikan tumimbal lahir. Nafsu keinginan ini merupakan salah satu sebab
yang menimbulkan karma dan menimbulkan proses kelahiran kembali.
Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi
untuk mendukung citta/kesadaran. Citta/kesadarannya pun akan mengalami
pemadaman/kematian dan secara otomatis ia meneruskan kesan apapun yang
tertanam padanya kepada Citta/kesadaran penerusnya yang tidak lain merupakan
Citta/kesadaran pada kehidupan yang baru. Penerusan Kesadaran (Patisandhi
Vinnana) ini terjadi dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.

Ketika jasmani mengalami kematian, dalam pikiran orang yang sekarat


muncul kesadaran yang bernama Kesadaran Ajal (Cuti Citta). Ketika Kesadaran
Ajal mengalami pemadaman juga, maka orang tersebut dikatakan sudah
meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan pula (tanpa selang/jeda waktu)
Citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah
dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan dengan jasmani yang baru
berupa janin. Keseluruhan proses ini terjadi dalam waktu yang singkat.

Proses kematian dan kelahiran kembali dikarenakan potensi kamma yang


melampaui satu kehidupan dan kemudian menyeberang ke kehidupan berikutnya.
Kematian bisa datang melalui salah satu dari empat sebab, yakni: a) Habisnya
rentang usia (āyukkhaya), b) Habisnya kekuatan kamma produktif
(kammakkhaya), c) Keduanya habis bersamaan (ubhayakkhaya), d) Intervensi
kamma destruktif.

Proses kematian ini dapat diibaratkan dengan perumpamaan lampu


minyak. Ketika lampu minyak menyala maka api akan tetap menyala kecuali
mengalami empat hal, yakni: a) Sumbunya habis, b) Minyaknya habis, c)
Keduanya habis dalam waktu bersamaan, d) Ada angin kencang yang mematikan
nyala api tersebut atau ada usaha dari manusia yang mematikannya. Demikianlah

2
proses kemunculan kematian. Proses munculnya kematian yang pertama disebut
sebagai kematian yang terjadi pada waktunya (kālamarana). Sedangkan 3 yang
terakhir disebut kematian yang terjadi sebelum waktunya (akālaramana). Setelah
lenyapnya kesadaran kematian, maka kesadaran penyambung untuk kelahiran
kembali akan muncul. Seperti memotong air dengan pisau, air yang terbelah akan
tersambung kembali. Seperti halnya hari selasa dan rabu yang tersambung tanpa
jarak yakni pukul 23.59 adalah hari selasa dan satu detik kemudian hari rabu.
Itulah mengapa, kematian dan kelahiran kembali adalah dua kehidupan yang
terjadi tanpa jarak atau tanpa jeda.

Dalam Mahanhāsaṅkhaya Sutta (MN 38) Sang Buddha menjelaskan


terjadinya kelahiran :

"Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan


tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada
makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan
dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa
subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam
hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah
dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir
(kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.”
Jadi ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sehingga terjadi suatu kelahiran,
khususnya pada kelahiran manusia, yaitu: adanya sepasang (calon) orang tua yang
subur, adanya hubungan seksual dari sepasang (calon) orang tua, dan adanya
makhluk yang siap untuk terlahir (gandhabba). Istilah `gandhabba` berarti `datang
dari tempat lain`, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari
kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri
karakteristik yang diteruskan dari jasmani yang telah mati.

Secara umum ada empat cara tumimbal lahirnya mahluk-mahluk, yaitu


Jalabuja-yoni (lahir melalui kandungan seperti manusia, sapi, dan kerbau),
andaja-yoni (lahir melalui telur seperti ayam, bebek, dan burung), saṁsedaja-yoni
(lahir melalui kelembaban seperti nyamuk dan ikan), dan opapatika-yoni (lahir
secara spontan seperti mahluk-mahluk alam dewa dan peta).

3
Terdapat dua pendapat tentang tumimbal lahir, yang pertama menurut
Abhidhamma bahwa tumimbal lahir terjadi segera setelah kematian suatu mahluk
tanpa keadaan antara apapun. Sedangkan yang kedua ada yang berpendapat bahwa
suatu mahluk setelah mati maka kesadaran atau energi mental mahluk tersebut
tetap ada dalam suatu tempat, didukung oleh energi mental akan nafsu dan
kemelekatannya sendiri, menunggu hingga cepat atau lambat tumimbal lahir
terjadi. Seorang Buddha atau arahat tidak akan terlahir kembali karena telah
menghentikan kamma. Dalam Dhammacakkapavatana sutta sang Buddha
mengatakan bahwa “inilah kelahiran-ku yang terakhir, tiada lagi tumimbal lahir
bagi-ku”. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang Buddha tidak akan terlahir
kembali.
Dengan adanya proses menjadi maka terjadilah kelahiran, dengan adanya
kelahiran maka terjadilah kelapukan dan kematian. Kelapukan dan kematian
menyebabkan kelahiran. Itu adalah mata rantai yang tidak dapat terputus,
kelahiran terjadi setelah ada kematian dan kematian terjadi karena ada kelahiran.
Makhluk hidup setelah mati akan langsung terlahir kembali (patisandhi) tanpa
menunggu jeda. Setiap makhluk yang dilahirkan kembali akan terlahir di salah
satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan kammanya. Mereka yang cenderung
banyak melakukan kamma buruk pada umumnya akan terlahir di alam-alam
rendah atau alam penderitaan. Sedangkan mereka yang cenderung banyak
melakukan kamma baik pada umumnya akan terlahir di alam-alam tinggi atau
alam bahagia. Secara garis besar 31 alam kehidupan dibagi menjadi lima bagian
yaitu: terdapat empat alam kemerosotan (apayabhumi), satu alam manusia
(manussabhumi), enam alam dewa (devabhumi), enam belas alam brahma
berbentuk (rupabhumi), dan empat alam brahma tanpa bentuk (arupabhumi).

Menghentikan Kelahiran Kembali


Setelah mencapai Pencerahan Agung, Guru Buddha memekikkan pekik
kemenangan,
”Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara
(siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah

4
ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.” ”O
pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun
rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah.
Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana).
Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.”(Dhammapada
153-154).
kelahiran kembali merupakan suatu proses yang melelahkan dan menyakitkan
seperti yang diucapkan oleh Guru Buddha dalam pekik kemenangan tersebut.
Oleh karena itu, bagi mereka yang telah sadar, mereka akan berusaha melepaskan
diri dari proses kelahiran kembali. Dan bagi mereka yang telah mencapai
Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana), tidak akan
lagi mengalami kelahiran kembali.
Sesuai dengan rumusan Paticcasamuppada, telah dinyatakan bahwa:
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu, dengan tidak adanya ini, maka tidak
adalah itu (”Imasmiṁ Sati Idaṁ Hoti, Imasmiṁ Asati Idaṁ Na Hoti”), maka
untuk menghentikan proses kelahiran kembali perlu meniadakan atau
melenyapkan penyebab dari proses menjadi tersebut yakni Tanha
(Keinginan/Kehausan) dan Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) yang ada pada diri
seseorang.
Jalan atau cara melenyapkan Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja
(ketidaktahuan/kebodohan) adalah dengan melaksanakan sila (kemoralan),
samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan) yang terdapat dalam Jalan
Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Dengan menjalankan Jalan
ini seseorang bukan hanya terbebas dari kelahiran kembali, tetapi juga dapat
merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana).
2. Kamma (Perbuatan)
a. Kemunculan Teori Kamma
Pada zaman dahulu pada tahun 1750-500 SM di India berkembang satu
ajaran spiritual baru yang disebut sebagai kamma. Ajaran tentang kamma
kemudian menjadi ciri dari agama-agama yang lahir di India bukan yang di
luar India. Hanya saja istilah kamma pada masa itu berbeda dengan yang
diajarkan Sang Buddha.

5
Teori tentang kamma muncul karena banyak petapa di India pada
waktu itu mulai bisa merealisasi bahwa kehidupan ini telah terjadi berkali-kali.
Namun mereka hanya mampu melihat bahwa di dalam banyak kehidupan
kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah efek dari suatu sebab. Berbeda
dengan Sang Buddha, karena kebijaksanaannya beliau mampu melihat
fenomena sesuai realitas. Oleh karena itulah Sang Buddha mengatakan bahwa
siapa saja yang mempraktikkan ajaran akan mendapatkan suatu jaminan yang
pasti, yakni: hancurnya lobha, dosa, dan moha.
Terdapat beberapa teori kamma sebelum munculnya Sang Budha,
yakni sebagai berikut:
a. Teori kamma atau tanggungjawab moral Upanishad
Aliran ini berpendapat bahwa diri (atman) merupakan pelaku (kartr) dan
sekaligus ‘pengenyam’ (bhokrt) dari semua akibat kamma. Karena itu
menjadi suatu kegiatan dan pengalaman diri yang abadi. Hasilnya adalah
menitikberatkan sebab akibat untuk penderitaan dan kebahagiaan.
b. Teori kamma menurut kaum materialis.
Teori ini menolak ‘diri’ abadi dan sebagai akibat kemanjuran kamma.
Mereka menolak segala bentuk tanggung jawab moral dan menyokong
pandangan bahwa penderitaan dan kebahagiaan yang dialami seseorang
seluruhnya disebabkan oleh hokum alam yang mereka sebut sebagai sifat
bawaan (Svabhāva) dari fenomena fisik. Jadi, segala bentuk seseuatu
ditentukan oleh sebab-sebab selain dari diri.
Adapun kamum yang masuk dalam aliran materialis pada masa Buddha
telah dijelaskan dalam Sāmaññaphala-sutta (DN) yakni, enam guru yang
disebutkan adalah Pūraṇ Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambli,
Pakudha Kaccāyana, Nigaṇṭha Nātaputta, dan Sañjaya Bellaṭṭhiputta. Di
antara mereka, Kassapa, Gosāla, Kesakambali dan Kaccāyana adalah para
materialis murni, semuanya menolak hukum karma, kemungkinan adanya
kelahiran kembali dan kehidupan bermoral. Satu-satunya pengecualian
adalah Kesakambli, yang menerima kelahiran kembali sebagai suatu

6
proses alami tanpa dipengaruhi oleh karma seseorang. (Dhammasiri,
hal.22)
c. Teori kamma dari kaum Jaina
Kamma merupakan suatu hokum yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Menurut kaum Jaina kamma adalah tanggung jawab seseorang yang mana
tidak dapat diubah manusia.
Kamma adalah kata berasal dari bahasa pali dan Karma adalah kata berasal
dari bahasa Sansekerta menurut huruf berarti: "Perbuatan" atau "Action", yang
dalam arti umum meliputi semua kehendak (cettana) dan maksud perbuatan, yang
baik (kusala) maupun yang buruk (akusala), lahir atau batin, dengan
pikiran (mano kamma), kata-kata/ucapan (vaci kamma), dan badan jasmani (kaya
kamma). Setiap perbuatan yang disertai dengan kehendak disebut sebagai kamma.
Namun hal ini hanya berlaku untuk kehendak yang muncul dikesadaran yang baik
(kusala) dan dikesadaran yang tidak baik (akusala).
Sang Buddha menjelaskan dalam Nibbedhika Sutta (AN 6.63) yakni
‘Cetanāhaṁ, bhikkhave, kammaṁ vadāmi. Cetayitva kammaṁ karoti-kāyena
vācāya manasā’ yang artinya ‘Para bhikkhu, saya katakan bahwa kamma adalah
kehendak. Setelah berkehendak kamma diperbuat-melalui tubuh ucapan dan
pikiran’. Ini berarti semua jenis perbuatan yang baik maupun yang buruk/jahat
yang dilakukan oleh pikiran (mano), perkataan (vaci), maupun jasmani (kaya),
yang dilakukan setelah didahului dengan adanya kehendak, maka disebut dengan
kamma.
Kualitas kamma ditentukan oleh akar-akar yang menyertainya. Apabila
kamma tercipta dari akar yang baik, adosa, alobha, dan amoha, maka dapat
disebut kamma baik. Sedangkan, Apabila kamma tercipta dari akar yang tidak
baik, dosa, lobha, dan moha, maka dapat disebut kamma buruk.
Kamma yang dilakukan oleh seseorang akan menghasilkan dampak atau
buah kamma yang diterima oleh dirinya sendiri, bukan oleh pihak lain. Dalam
Cūlakammavibhañga Sutta (MN.135) Buddha mengatakan bahwa “Para makhluk
pemilik kammanya, pewaris kammanya, terlahir dari kammanya, berhubungan

7
dengan kammanya, terlindungi oleh kammanya sendiri. Kammalah yang
membedakan para makhluk sebagai hina dan mulia.“
Baik atau buruknya hasil kamma yang diterima seseorang sesuai dengan
kualitas baik atau buruknya kamma yang telah dilakukan. Seseorang yang
dikuasai oleh kemarahan, secara psikologis sedang menikmati kehidupan di alam
neraka. Kemarahan itulah benih kamma yang mempunyai potensi untuk terlahir di
alam neraka.
Masing-masing hasil kamma yang diterima sesuai dengan besar atau
kecilnya kualitas kamma yang telah dilakukan. Hal ini seperti perumpamaan air di
gelas yang diberi segenggam garam akan terasa asin dibandingkan air di sungai
yang tidak akan terasa asin ketika diberi segenggam garam. Namun meskipun
hanya melakukan kamma yang berkualitas kecil, namun hasil kamma akan tetap
muncul meskipun kecil dan tidak terasa.
Hasil kamma yang akan diperoleh dari perbuatan yang telah dilakukan
tidak dapat dihilangkan atau dihentikan oleh hasil kamma lain dari perbuatan yang
lain. Masing-masing hasil kamma dari masing-masing perbuatan akan berbuah
dan tidak akan saling tumpang tindih atau saling meniadakan, meskipun dilakukan
secara hampir bersamaan. Hasil kamma yang berkekuatan lebih besar akan
membawa pengaruh lebih besar dan dapat lebih dirasakan sehingga hasil kamma
lain yang berkekuatan lebih kecil tidak membawa pengaruh dan tidak terasa.
Hasil kamma (baik atau buruk) yang akan diperoleh dari perbuatan yang
telah dilakukan tidak dapat dihilangkan dan akan tetap muncul selama terdapat
kondisi-kondisi pendukung yang membuatnya muncul. Ketika tidak ada kondisi-
kondisi pendukung yang membuatnya muncul, maka hasil kamma akan menunggu
hingga kondisi-kondisi tersebut ada. Seseorang harus mengalami hasil kamma
tersebut tanpa ada yang bisa meringankan dampaknya, baik atau buruk.
Walaupun prinsip Hukum Kamma dapat dirangkum secara sederhana,
yaitu perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan, perbuatan buruk akan
menghasilkan keburukan, tetapi cara bekerja Hukum Kamma sangat kompleks
dan hasil kamma (kamma vipaka) secara mendetail tidak dapat dipikirkan oleh
manusia biasa.

8
Meskipun hasil kamma dari perbuatan masa lampau dapat membentuk
kondisi-kondisi di dalam kehidupan seseorang pada masa sekarang, namun bukan
penentu segalanya dari apa yang terjadi dalam kehidupan sekarang.
b. Empat Jenis Kamma Berdasarkan Waktu Munculnya Akibat (vipaka)
yang Dihasilkan
1. Ditthadhamma Vedaniya Kamma, yaitu kamma atau perbuatan yang
menimbulkan hasil (vipaka) dengan segera mungkin pada waktu
kehidupan sekarang. Kamma ini terbagi 2 macam, yaitu: Kamma yang
memberikan hasil dalam kehidupan sekarang ini, Kamma yang
memberikan hasil setelah lewat tujuh hari atau disebut dengan Aparipakka
Dittha Dhammavedaniya.
2. Upajja Vedaniya Kamma yaitu kamma atau perbuatan yang
menimbulkan hasil (vipaka) pada kehidupan berikutnya yaitu satu
kehidupan setelah kehidupan sekarang.
3. Aparapariya Vedaniya Kamma, yaitu kamma atau perbuatan yang
menimbulkan hasil (vipaka) pada kehidupan berikutnya secara berturut-
turut.
4. Ahosi Kamma yaitu kamma atau perbuatan yang menimbulkan hasil yang
tidak efektif atau tidak berdampak.
c. Empat Jenis Kamma Berdasarkan Fungsinya
1. Janaka Kamma yaitu Kamma (perbuatan/kehendak) yang berfungsi
menyebabkan timbulnya syarat untuk terlahirnya kembali suatu makhluk.
Kamma ini menimbulkan batin (Nama) dan jasmani (Rupa). Kamma ini
muncul pada pikiran terakhir menjelang kematian. Sifat dari kamma ini
bisa baik atau pun buruk.
2. Upatthambhaka Kamma yaitu Kamma yang berfungsi mendukung
terpeliharanya satu hasil kamma yang telah timbul.
3. Upapilaka Kamma yaitu Kamma yang berfungsi menekan, mengolah,
menyelaraskan satu hasil kamma yang telah timbul.
4. Upaghātaka Kamma yaitu Kamma yang berfungsi merusak, menyakiti
satu hasil kamma yang telah timbul.

9
d. Empat Jenis Kamma Berdasarkan Prioritas dari Akibat yang
Dihasilkannya
1. Garuka Kamma atau Kamma Berat, yaitu perbuatan yang memiliki
kualitas kekuatan yang besar yang mampu menimbulkan hasil dalam
kehidupan kedua, dan kekuatan kamma lain tidak mampu mencegahnya.
Garuka Kamma terdiri dari 2 jenis yaitu: Akusala Garuka
Kamma (Perbuatan Buruk/Jahat yang berat), dan Kusala Garuka
Kamma (Perbuatan Baik yang berat).  
2. Asaññā Kamma atau Kamma jelang ajal, yaitu berupa perbuatan baik
atau pun buruk/jahat yang dilakukan seseorang menjelang ajalnya, yang
dapat dilakukan dengan jasmani dan batin. lagi yang menentukan.
3. Āciṇṇaka (Bahula) Kamma atau Kamma Kebiasaan, yaitu perbuatan
baik atau pun buruk/jahat yang merupakan kebiasaan dari seseorang
karena sering dilakukan semasa hidupnya.
4. Kattatā Kamma atau Kamma yang pernah dilakukan, yaitu perbuatan
baik atau pun buruk/jahat yang tidak terlalu berat yang pernah dilakukan
dalam kehidupan lampau dan kehidupan sekarang ini.
e. Pandangan-Pandangan Keliru Mengenai Kamma
1. Kamma hanya dianggap sebagai hal yang buruk saja
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma sebagai sesuatu yang buruk
yang menimpa seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk. Pandangan
keliru (miccha ditthi) ini terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai arti
dari kamma sebagai perbuatan dan kamma vipaka sebagai hasil perbuatan.
2. Kamma vipaka (hasil kamma) dianggap sebagai nasib atau takdir
yang tidak bisa diubah
Pandangan ini dikatakan keliru karena jika hal itu terjadi maka
seseorang tidak akan dapat bebas dari penderitaannya. Padahal seseorang
dapat mengubah apa yang sedang ia alami.
3. Prinsip kerja hukum kamma adalah mata dibayar mata, nyawa
dibayar nyawa.

10
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma akan selalu dan pasti
menghasilkan bentuk yang sama dengan hasil perbuatan (kamma vipaka),
seperti membunuh maka akan dibunuh, mencuri maka akan dicuri, menipu
maka akan ditipu, dan sebagainya.
4. Kamma orang tua diwarisi oleh anaknya
Pandangan ini beranggapan bahwa orang tua yang melakukan kamma
buruk maka hasilnya (vipaka) akan di terima oleh anaknya atau keluarga
lainnya. Pandangan ini keliru karena prinsip kerja kamma adalah siapa yang
melakukan perbuatan maka ia akan yang menerima hasilnya.
5. Kamma kehidupan lampau penentu segalanya yang terjadi di masa
sekarang
Pandangan determinisme ini beranggapan bahwa semua yang dialami
seseorang pada masa sekarang, baik kondisi yang baik maupun buruk tidak
lain merupakan hasil (vipaka) dari kamma kehidupan lampau saja. Pandangan
ini keliru karena jika hal itu terjadi demikian maka seseorang hanya akan
menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan
akan manjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian
diri.
6. Kamma maupun vipaka (hasil kamma) ditentukan oleh tuhan
Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami
seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain
merupakan kehendak tuhan. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi
maka semua perbuatan dan semua yang dialami seseorang tidak lain hanya
merupakan kehendak tuhan, sehingga seseorang tidak memiliki kehendak
bebas, hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari
penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan
dan pengendalian diri.
7. Kamma lampau dapat dihilangkan/dihapuskan
Pandangan ini beranggapan bahwa hasil kamma (perbuatan) buruk yang
telah dilakukan seseorang, dapat dihilangkan/dihapuskan. Pandangan ini
keliru karena hasil kamma (perbuatan) lampau tersebut telah dilakukan dan

11
telah terjadi sehingga tidak dapat dihapuskan. Kamma masa lampau tetap
akan menimbulkan hasilnya. seperti yang telah dijelaskan Sri Buddha
dalam Loṇakapalla Sutta dengan menggunakan perumpamaan “Garam yang
sama banyaknya, yang satu dimasukkan ke dalam semangkuk kecil air dan
dan yang lain ke dalam Sungai Ganga. Garam diibaratkan sebagai kamma
buruk dan air adalah kamma baik. Ketika garam dimasukan ke dalam
semangkuk kecil air maka rasa garam tersebut akan terasa. Sedangkan garam
yang jumlahnya sama dimasukan ke dalam sungai, maka air sungai tersebut
tidak akan terasa asin.” Jadi, kamma buruk kehidupan lampau akan
memberikan hasil/dampak tetapi dengan adanya kamma baik yang banyak
yang dilakukan pada masa sekarang maka dampak dari kamma buruk tersebut
menjadi berkurang bahkan tidak terasa.

KESIMPULAN
Hukum Kamma menempati posisi yang sangat penting di dalam ajaran
Buddha karena kamma itulah yang menggerakkan seseorang berada di alam
saṁsara. Kamma juga membuat seseorang menderita. Selama seseorang masih
berada di dalam lingkaran tumimbal lahir, di alam mana pun, akan selalu ada
penderitaan. Mereka yang memiliki aspirasi untuk dilahirkan di alam surge karena
ingin bahagia selama-lamanya belum memahami ciri kehidupan ini dengan baik
dan benar. Ciri dari saṁsara adalah penderitaan dan apabila seseorang memiliki
aspirasi untuk bisa mencapai kebahagiaan yang abadi maka seseorang harus
keluar dari saṁsara.
Kelahiran kembali terbentuk oleh suatu kebajikan dan kejahatan yang
diperbuat dalam kehidupan saat ini dan sebelumnya karena proses kelahiran
kembali dan kematian penuh dengan penderitaan, pembebasan dari lingkaran
kelahiran dan kematian. Kelahiran kembali akan selalu terjadi selama nafsu akan
keberadaan dan kesenangan melekat di dalam pikiran. Dalam mencapai suatu
kelahiran kembali harus selalu berharap, berdoa dan melakukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk menghilangkan nafsu yang melekat dalam pikiran
manusia.

12
Referensi:
https://bhagavant.com/kamma-karma-perbuatan Diakses pada tanggal 21 Oktober
2018
Khemindha. 2018. Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta:
Dhammavihārī Buddhist Studies.
Panjika, Kamus Umum Buddha Dharma, Tri Sattva Buddhist Centre, Jakarta,
1994.
Dhammasiri. 2015. Karma dan Kelahiran Kembali: Landasan Filsafat Moral
Agama Buddha. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit.

13

Anda mungkin juga menyukai