Anda di halaman 1dari 7

HAKIKAT MANUSIA DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA

OLEH :

HAGIM GINTING TIGA 1301405019


LUH GEDE RATNA CITRAMANIK 1501405003
I MADE SUPARMA NETRA 1501405004
NI MADE AYU DARMAKERTI 1501405005
WAHYU PUJA IRPIAN SEPTARIO 1501405006
VIKTOR LAMROY A.N. SIBURIAN 1501405007

ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
HAKIKAT MANUSIA DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA

A. HAKIKAT MANUSIA
Dalam Mahatanhasankhaya Sutta Buddha menjelaskan tentang proses terjadinya
seorang anak manusia. Para Biku, kehamilan terjadi karena penggabungan tiga hal.
Sekalipun ada pertemuan unsur laki-laki dan perempuan, jika perempuan tidak sedang
dalam kondisi masa subur dan tidak ada gandhabba yang siap terlahir kembali, tidak
akan terjadi kehamilan dalam kandungan. Ada pertemuan unsur laki-laki dan
perempuan, perempuan dalam kondisi masa subur tetapi tidak ada gandhabba yang
siap untuk lahir kembali, juga tidak akan terjadi kehamilan. Lain halnya bila ada
pertemuan unsur laki-laki dan perempuan, perempuan dalam masa subur dan ada
gandhabba yang siap terlahir kembali, maka terjadi kehamilan karena pertemuan
ketiga faktor itu. Ibu mengnadung selama 9 atau 10 bulan dengan penuh beban
kecemasan. Selanjutnya pada akhir 9 atau 10 bulan, ibu melahirkan anaknya. Ketika
bayi telah lahir, ia memeliharanya dengan darahnyas sendiri, mengingat dalam
Winaya Arya, susu ibu disebut sebagai darah. Gandhabba sebagai komponen rohani
yang meneruskan kesadaran sebelumnya muncul dalam kehidupan baru menyatu
dengan unsur materi yang berasal dari organ seks calon orang tuanya.
Untuk setiap kehamilan secara normal harus ada pembuahan ovum oleh sperma
dan nidasi hasil konsepsi. Kondisi masa subur seorang ibu biasanya diartikan sebagai
waktu sel telur yang matang dilepas dari ovarium. Ketika kita hihadapkan pada
pengalaman memperoleh bayi tabung dan keberhasilannya memakai embrio beku
(yang disimpan bertahun-tahun), tibul pertanyaan apa gandhabba telah hadir pada saat
pembuahan. Jka kita menafsirkan kondisi masa subur seorang ibu sebagai kondisi
rahim yang tepat atau siap untuk suatu nidasi, gandhabba dapat dianggap hadir
bersamaan dengna nidasi. Setelah nidasi embrio mendapatkan makanan dari ibunya
dan mulai terjadi diferensiasi sel yang akan menjadi indra, susunan saraf pusat dan
sebagainya. Susunan saraf pusat ini jelas terkait dengan tempat kesadaran (citta atau
vinnana). Andaikata benar kehidupan ini dimulai bersamaan dengan nidasi, tanpa
gandhabba, wujud organisme yang berasal dari sperma dan ovum dipandang bersifat
vegetatif.
Jika tidak ada kesadaran (ghandabba) yang masuk ke dalam rahim seorang ibu,
maka tidak muncul makhluk baru yang terdiri dari batin dan jasmani. Jika kesadaran
itu setelah memasuki rahim ibu padam atau meninggalkannya, pribad berbatin-
jasmani ini tidak akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan jika kesadaran tidak
mendapat tempat berpijak dalam batin jasmani (yang baru), maka rangkaian
kelahiran, perjalanan usia, kematian dan sebab timbulnya suatu penderitaan tidak
muncul.
LIMA AGREGAT KEHIDUPAN
Apa yang dimaksud manusia adalah lima agregat kehidupan (panca khanda)
yang terdiri dari unsur jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna),
bentuk-bentuk pikiran (shankara) dan kesadaran (vinnana). Keempat agregat
selain jasmani merupakan unsur batin (nama). Jasmani dan batin eksis dalam
bentuk unit-unit materi dan mental yang terdiri dari banyak unsur atau elemen
yang senantiasa bergerak, interdependen dan berinteraksi satu sama lain tanpa
substansi inti pribadi yang berdiri sendiri.
Unit jasmani terdiri dari unsur fisik yang mempunyai bentuk, merupakan suatu
yang dapatberubah, bercerai, padam oleh kondisi yang berlawanan seperti panas
dan dingin. Ada 28 unsur materi yang terdiri dari 4 unsur primer (mahabhuta rupa)
dan 24 unsur sekunder yang tergantung pada unsur primer (upadaya rupa). Unsur
primer itu diantaranya :
1. Unsur padat/tanah (pathavi) yang berfungsi sebagai penyokong dan
memberi sifat keras-lunak
2. Unsur cair/air (apo) berfungsi sebagai pengikat dan memberi sifat kohesi-
arus
3. Unsur panas/api (tejo) berfungsi sebagai pematurasi dan memberi sifat
panas-dingin
4. Unsur gerak/angin (vayo) berfungsi dalam penggerak dan memberi sifat
ekspansi kontaksi
Unsur sekunder meliputi 5 unsur reseptor, 4 unsur stimulan, 2 unsur seks, 1
unsur hati sanubari (hadaya) 1 unsur vitalitas, 1 unsur nutrisi serta 1 unsur ruang,
2 unsur isyarat, 3 unsur penyesuaian dan 4 unsur fase perkembangan. Kausa
pembangkit utama yang menimbulkan eksistensi pada semua unit adalah karma
masa lalu (kamma), pikiran (citta), enersi (utu) dan nutrisi (ahara).
Ada 4 jenis makanan yang memiliki peran untuk mempertahankan atau
menunjang kelangsungan hidup dan membantu memperbaharui keberadaannya,
yaitu:
1. Makanan materi (kavalinkahara)
2. Kontak keenam indra/kesan-kesan (phassahara)
3. Kehendak pikiran (manosancetanahara)
4. Kesadaran (vinnanahara)
Unit jasmani dan unsur-unsurnya dikenal sesuai dengan struktur dan
fungsinya, dengan tugas berbeda-beda. Unsur-unsur itu mempunyai masa hidup
tertentu yang relatif singkat. Mereka semua bersyarat, sebagai akibat dari suatu
sebab dan mempunyai masa hidup tertentu atau tidak benar-benar permanen dan
kalau syarat itu padam, efeknya juga berhenti. Mereka timbul dan lenyap, atau
lahir dan mati berkesinambungan setiap saat.
Batin dibedakan atas kesadaran, dan corak batin (cetasika) yang terdiri dari
agregat perasaan, pencerapan dan bentuk pikiran. Pada unit batin berlaku 24
rangkaiansebab musabab (paccaya). Setiap bentuk batin atau pikiran lahir setelah
unit sebelumnya padam, berkaitkan dengan sejumlah komponen sebab musabab
tersebut. Dan Buddha menyatakan yam rupam nissaya-tergantung pada jasmani
bentuk batin terjalin erat dan mengambil tempat pada materi. Pikiran atau
kesadaran misalnya bertempat pada suatu organ yang mengandung hadaya.

TIMBUL LENYAPNYA PIKIRAN


Secara mikro setiap saat terjadi siklus lahir dan mati pada unit-unit atau unsur-
unsur jasmani ataupun batin. Kematian secara mikro tidak berarti kematian secara
makro, demikian pula sebaliknya. Pada unit kesadaran, tiap pikiranyang timbul
akan lenyap kembai, tetapi memberi kondisi kepada munculnya pikiran
berikutnya. Proses dalam pikiran ini ada yang sadar (vithi citta) dan ada yang
dibawah sadar/pasif (bhavanga citta). Setiap saat citta lenyap, ini adalah kematian
dari citta. Sekaligus bersamaan itu pula muncul yang baru, ini adalah kelahiran
citta. Suau kehidupan dimulai dari patisandhi citta, yang kemudian menjadi
bhavanga, faktor kehidupan atau kondisi eksistensi yang timbul
berkesinambungan tak terhitung jumlahnya sepanjang masa hidup seseorang, dan
diakhiri sebagai cuti citta pada saat kematian. Padamnya kesadaran di saat ajal ini
lansung menimbulkan kesadaran penerus yang disebut patisandhi citta dalam
siklus kehidupan yang baru. Patisandhi citta dinamakan pula ghandabba (arwah,
roh), sesuai dengan karmanya lahir dalam kehidupan baru. Ia tidak lagi
mempunyai hubungan dengan komponen materi dari jenasah yang akan hancur. Ia
sendiri berubah, berkembang dari waktu ke waktu.
Kematian terjadi bisa karena habisnya kekuatan karma (janaka kamma),
habisnya masa kehidupan, habisnya kedua hal itu bersama-sama, atau munsulnya
karma pemotong yang kuat sehingga terjadi ekamtian belum pata waktunya.
Mendekati saat kematian, momen pikiran yang disebut kesadaran impuls (javana)
melemah dan tidak dapat mencetuskan pikiran baru, namun berpotensi besar
untuk membaca salah satu dari objek pikiran yang disebut Tiga Pertanda
Kematian. Objek pikiran itu tidak dapat ditolak , bukan karena kekuatan luar,
tetapi hal ini terjadi berdasarkan karma yang bersangkutan selama hidupnya.
Ketiga pertanda kematian tersebut adalah
1. Ingatan pada masa lalu, yang hebat dan penting, baik atau buruk,
perbuatan menjelang kematian, yang sering dilakukan, apa saja yang
seketika teringat.
2. Bayangna simbol dari perbuatannya.
3. Bayangna simbol yang mengindikasi tempat kelahirannya kemudian.
Seseorang bisa mengalami suatu keadaan semacam siklus lahir dan mati lewat
timbul dan lenyapnya pikiran. Ketika pikirannya gelisah dan cermat melalui
keterlibatan dari dalam aku dan milikku, tak ada bedanya dengan terbakar
oleh api neraka. Lenyapnya pikiran itu, berarti ia meninggalkan neraka.
Selanjutnya ketika ikatan pada pada aku dan milikku membuat lapar akan
sesuatu, misalnya harta kekayaan, tak ada bedanya dengan hantu kelaparan.
Muncul dan lenyapnya pikiran ini seperti terlahir dan mati sebagai hantu. Jika
terselubung khayalan yang bodoh, tak ada bedanya dengan binatang. Jika
ketakutan tak ada bedanya dengan suara. Pikiran juga yang membawanya
kembali pada kewajaran sebagai manusia, atau pada keadaan yang lebih luhur
seperti dewa.

B. TUJUAN HIDUP MANUSIA


Buddhadasa berpendapat seseorang seharusnya memastikan dua hal, yaitu Saya
gembira saya dilahirkan dan saya dilahirkan untuk tujuan tertentu. Jika tujuan nyata
dari khidupannya adalah pembebasan dari kelahiran kembali, maka ia dilahirkan
untuk tidak mengalami kelahiran kembali.
Tidak salah jika orang menjawab bahwa mereka dilahirkan untuk beribadah,
berbakti atau mengabdi kepada Tuhan, sesuasi dengan perintah agama. Mungkin juga
ada orang yang jujurmenjawab bahwa ia tidak tahu. Kalau kita melihat dari apa yang
dilakukan seseorang dalam hidupnya, ternyta ada banyak jawaban lain. Lewat cara
hidupnya kita dapat membaca seorang anak menjawab: Agar bisa bermain. Orang
dewasa mungkin menjawab: untk menikmati kepuasan indra, untuk mencari nafkah,
mengumpulkan kekayaan, mencari nama dan ketenaran, atau melanjutkan keturunan
dan lain sebagainya. Bagaimanapun semua orang menghendaki kehidupan di dunia
yang berbahagia dan setelah mati menikmati kebahagiaan di surga.
Mengenai kebahagiaan di surga, orang hanya mendengar dan berspekulasi karena
orang yang masih hidup tidak dapat memastikan apa yang terjadi dengan nya setelah
mati. Tidak ada juga penghuni surga yang mengabarinya. Makhluk apa saja yang
tenggelam dalam pemuasan indrawi masih akan mengalami duka, seperti
kekhawatiran dan keterikatan. Kehidupan di surga pun tidak kekal.
Dari erspektif agama Buddha, Biku Buddhadasa menjelaskan bahwa manusia
melahirkan keturunan agar spesies manuia bisa lestari dan memungkinkan proses
evolusi lebih lanjut. Manusia dilahirkan kembali agar memiliki kesempatan
memperoleh kemajuan yang berkesinambungan hingga mencapai Nirwana pada
akhirnya.

NIRWANA SEBAGAI SUMMUM BONUM


Nirwana adalah tujuan akhir hidup manusia. Dilihat dari asal katanya, Nir
berarti tidak dan Vana berarti jalinan atau keinginan. Keinginan ini bertindak
sebagai suatu tali yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan yang
lain. Nirwana adalah akhir dari penderitaan. Keadaan ini bukan kebahagiaan
indrawi dan sukar diungkapkan bagi yang belummengalaminya.
Tetapi Nirwana bukan sesuatu yang spekulatif karena dapat direalisasikan
ketika orang masih hidup. Dapatkah orang yang blum mencapai Nirwana
mengetahui bahwa Nirwana benar-benar membahagiakan? Biku Nagasena
menjawab: Tentu saja. Seperti halnya orang yang belum pernah merasakan tangan
dan kakinya putus dipotong dapat mengetahui betapa sakitnya kondisi itu karena
mendengar jeritan kesakitan orang yang kehilangan anggota badannya. Demikian
pula orang yang belum pernah mencapai Nirwana mengetahui betapa
membahagiakannya kondisi itu karena mendengar kata yang penuh sukacita dari
mereka yang telah mencapainya. Buddha dan murid-murid-Nya yang arahat, laki-
laki atau perempuan mengungkapkan kemeluapan kegembiraannya setelah
pencerahan sebagaimana tercatta dalam kitab Theragatha dan Therigatha.
Buddha Gotama sendiri setelah mencapai penerangan sempurna mengucapkan
pekik kemenangan sebagi berikut: Melalui banyak kelahiran, mengembara dalam
samsara (linkaran kelahiran dan kematian), Aku terus mencari namun tidak
menemukan pembuat rumah ini. Kelahiran yang berulang-ulang adalah
penderitaan. O, Pembuat Rumah! Engkau telah terlihat. Engkau tak dapat
membuat rumah lagi. Semua atapmu telah rusak, tiang belandarmu telah patah.
Batin-Ku telah mencapai keadaan tak berkondisi, mencapai akhir nafsu keinginan.
Mencapai penerangan sempurna atau Pencerahan Agung berarti mencapai
kebebasan. Bebas dari penderitaan secara total karena telah berhasil memutuskan
mata rantai sebab musabab terjadinya kelahiran kembali. Menurut doktrin Karma
dan Kelahiran Kembali, makhluk dilahirakan ebagai akibat dari ketidaktahuan
(avijja), keinginan rendah (tanha) dan resultannya adalah kemelekatan (upadana).
Kebebasan (vimutiti) yang disebut merealisasikan Nirwana, terdiri dari
penghapusan tiga sebab ini, yaitu dengan mengembangkan pandangan terang atau
pengetahuan (vijja) serta penghapusan keinginan (tanhakkhaya) dan
ketidakmelekatan (anupadana).
Orang yang mencapai Nirwana tidak menumbuhkan (appatitthita) atau tidak
bersandar (anissita) kepada apapun di dunia ini. Untuk orang semacam ini seolah-
olah tak ada dunia fisik (rupaloka) yang mengnadung air, tanah, api, dan udara,
tidak juga dunia tak berbentuk (arupaloka) yang diwakili olej empat tinkat jhana.
Sebagai hasil penghapusan terhadap keingina rendahnya, taka da sesuatu di dunia
ini yang dapat membuatnya khawatir atau menyebabkannya menderita, tidak siang
atau malam, tidak kelahiran atau kematian.
Istilah Nirwana sendiri diartikan tidak berkeinginan. Apa yang absolut itu
diungkapkan sebagai tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak diciptakan. Karena
Nirwana digambarkan dengan istilah yang negatif, banyak orang yang salah
paham menanggap Nirwana sebagai ketiadaan atau pemusnahan diri. Nirwana
bukan penghancuran diri sebab memang tidak ada diri yang dihancurkan. Yang
harus dihancurkan adalah pandangan yang menyesatkan tentang adanya diri itu
sendiri. Nirwana tidak dikonotasikan negatif dan positif. Pemikiran negatif dan
positif adalah relatif dan menggambarkan keadaan yang dualistis. Nirwana
sebagai realitas tertinggi, yang mutlak, berada diluar hal-hal yang dualistis.

DUA ASPEK NIRWANA


Nirwana memiliki dua aspek, yaitu Nirwana yang dicapai oleh Arahat sewaktu
masih hidup dan Nirwana yang dicapai oleh Arahat setelah meninggal dunia. Yang
satu disebut Nirwana dengan sisa (saupadisesa), yang lain disebut Nirwana tanpa
sisa (anupadisesa).
Seorang Biku adalah Arahat, orang yang telah melenyapkan semua noda, yang
telah menyempurnakan kehidupan sucinya, yang telah melakukan apa yang harus
dilakukan, tidak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, menghancurkan
belenggu-belenggu penjelmaan dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan
yang sempurna. Dalam dirinya kelima indra tetap berfungsi, dan dengan indra itu,
karena belum meninggal dunia, dia masih mengalami apa yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan, merasakan kenikmatan dan penderitaan. Hilangnya
hawa nafsu, kebencian dan kegelapan batin di dalam dirinya itulh yang disebut
aspek Nirwana dengan sisa.
Seorang yogi dalam meditasinya mungkin mencapai tingkat berhentinya
pencerapan dan perasaan, menikmati pesona kedamaian dan ketenangan, karena
tidak terganggu oleh kesan-kesan yang mengalir melalui indranya. Keadaan ini
hanya bersifat sementara, ia akan kembali ke alam biasanya. Buddha dan Arahat
lain juga menikmati bentuk keheningan seperti ini. Kesadaran pada tingkat
meditasi yoga tertinggi bukanlah apa yang dimaksud Nirwana.
Seorang Buddha atau Arahat juga meninggal dunia. Mereka yang mencapai
Nirwana dengan sisa hanya tinggal melanjutkan hidup yang sedang berlangsung.
Stelah kematian, tiada lagi kelahiran berikutnya. Immortalitas atau tanpa kematian
tidak lain dari tanpa kelahiran kembali. Dengan tiadanya kelahiran kembali, tidak
akan ada kematian.
Menurut proses sebeb musabab yang saling bergantungan, perkembangan
pengertian yang benar (samaditthi) menggantikan ketidaktahuan (avijja) dan
penghapusan nafsu keinginan yang rendah (tanha) menghasilkan
ketidakmelekatan (anupadana), sehingga pencapaian keadaan ini menghentikan
proses penjelmaan.
Untuk ia yang terikat, timbul kebimbangan, untuk ia yang tidak terikat, tidak
muncul kebimbangan. Bilamana tidak ada kebimbangan, muncul ketenangan.
Bilamana ada ketenangan, tak muncul keukaan; bilamana tak ada kesukaan, tak
ada kedatangan dan kepergian; bilamana tak ada kedatangan dan kepergian, tak
ada kelenyapan dan kemunculan; bilamana tak ada kelenyapan dan kemunculan,
tak ada apa-apa disini atau disana atau diantaranya; inilah ssungguhnya akhir dari
penderitaan.Tanpa kematian merupakan akibat terakhir dari pencapaian
penerangan dan penghapuan keinginan. Tetapi hasil yang segera dari penerangan
adalah pencapaian kebahagiaan yang sempurna (parama sukkha) yang timbul dari
ketiadaan keinginan atau keterikatan.
Dalam konsep Mahayana terdapat aspek Nirwana yang lain, nerkenaan dengan
Bodhisattva yang menunda Kebebasan Akhir (Apratisthita Nirwana) atas kemauan
sendiri untuk mengabdikan dirinya demi makhluk-makhluk lain. Kalau dikatakan
Nirwana tidak berbeda dari samsara, tergantung paa cara kita memandangnya.
Samsara dan Nirwana adalah kenyataan yang eksistensinya secara objektif tidak
berubah, yang berubah adalah yang subjektif. Bukan objek di luar diri kita yang
harus dirubah, tetapi diri kita sendiri yang berubah.

Anda mungkin juga menyukai