Anda di halaman 1dari 10

KONSEP KETUHANAN

Disusun oleh :
Muniaty Sulam Ng
04011281924103

Universitas Sriwijaya
Fakultas Kedokteran – Prodi Pendidikan Dokter
Pelajaran Agama Buddha

2019/2020

.
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, berkat atas anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini memuat tentang salah satu topik penting dalam agama Buddha yaitu, “Konsep Ketuhanan”.
Informasi yang tertera pada makalah merupakan hasil evaluasi dari berbagai sumber di internet dan buku.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing karena telah memberikan ajaran dan petunjuk.
Semoga makalah ini dapat dinilai. Tentunya, makalah ini masih banyak kekurangan maka itu, mohon kritik
dan sarannya. Terima kasih.

Palembang, 15 November 2019

I. PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Jika kita tanyakan apa yang pertama kali muncul dalam pikirin seseorang tetang agama Islam maka
kemungkinan yang muncul adalah “Allah “dan dalam agama Kristan muncul “Yesus kedua kata tersebut
memiliki makna “Tuhan”. Kembali pada agama Buddha, yang pertama kali muncul adalaha “Buddha”.
Seperti yang kita ketahui, Buddha bukan Tuhan melainkan penemu jalan pembesan, bisa diibaratkan ia
adalah utusan Tuhan dan hanya berperan untuk membantu. Pengertian Buddha berbeda dengan Tuhan
sehingga hal ini mengakibatkan penganggapan yang salah pada orang awam. Beberapa orang
menganggap agama Buddha tidak memiliki atau mempercayai keberadaa Tuhan. Hal tersebut adalah
anggapan yang salah. Maka dalam makalah ini akan diperdalami konsep ke - Tuhanan dalam agama
Buddha.

 Rumusan Makalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu:

1. Apa makna Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha?


2. ?

 Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mencari tau mengenai konsep ketuhanan sehingga sebagai umat
beragama Buddha, kita bisa lebih mengenali ajaran Dharmma. Selain itu, makalah ini juga dibuat untuk
memenuhi tugas pelajaran agama Buddha.
.
II. TEORI

 Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha


Empat Kesunyataan Mulia disebut juga sebagai Empat Kebenaran Mulia dan Cattari Ariya Saccani. Hukum
kesunyataan dalam agama Buddha antara lain adalah Tilakhana, Paticcasamuppada, Kammaphala dan
Punnabhana, dan Cattari Ariya Sattani yang akan dibahasa dalam makalah ini. Ajaran pertama mengenai
Empat Kebenaran Mulia adalah ceramah yang disebut Dhammacakkappavattana Sutta. “Dhamma” berarti
ajaran atau kebenaran, "cakka" berarti roda, "pavattana" berarti memutar, dan "sutta" adalah khotbah atau
ceramah. Secara harfiah, Dhammacakkappavattana Sutta berarti Kohtbah Pemutaran Roda Dhamma.

Dhammacakkappavattana Sutta, yang berisi ajaran Sang Buddha tentang empat kesunyataan mulia
memberikan penjelasan tentang penderitaan/dukkha. Penderitaan atau rasa sakit dalam arti luas, dapat
menjadi pengalaman ketidaknyamanan dan kebencian terkait dengan persepsi bahaya atau ancaman bahaya
di suatu individu. Penderitaan terjadi dalam setiap kehidupan makhluk dalam banyak cara. Penderitaan
dalam Pali, dukkha, berasal dari Du = sukar dan Kha = menanggung yang jika digabung berarti menanggung
beban yang sukar. Dukkha juga berarti ‘tidak mampu memuaskan’ atau ‘tidak mampu menahan apapun’:
selalu berubah, tidak mampu untuk benar-benar memuaskan atau membahagiakan kita. Menurut kitab suci
Sangyang Kamahayanikan Dukkha mempunyai tiga pengertian yaitu :

1. Dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau derita bathin, seperti lahir,
menjadi tua, sakit, mati, berkumpul dengan yang tidak disukai, (dukkha-dukkha).

2. Semua perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di dalamnya terkandung benih-
benih dukkha (viparinama dukkha).

3. Sifat tertekan dari semua sankhara (bentuk/keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap,
seperti pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) atau nama-rupa (Sankhara dukkha).

Sementara dukkha yang dialami pada manusia terdiri dari dua sumber yaitu dukkha yang disebabkan nafsu
indera (samisa dukkha) dan dukkha yang disebabkan karena tidak tercapainya ketengangan batin (niramisa
dukkha). Dari sumber itu dapat dibedakan timbulnya dukkha yaitu pada jasmani (Kayika dukkha) dan batin
(Cetasika dukkha).

Empat kesunyataan mulia berisi tentang : [Digha Nikaya, Sutta 16]

- Dukkha Ariyasacca /Kesunyataan mulia tentang Penderitaan/Dukkha

Apakah kesunyataan mulia tentang Penderitaan? Hidup adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan,
sakit adalah penderitaan, perpisahan dari yang dicintai ialah penderitaan, tidak mendapatkan yang
diinginkan ialah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur yang dipengaruhi kemelekatan adalah
penderitaan.

Terdapat 3 aspek kesunyataan mulia yaitu yang pertama mengetahui adanya dukkha. Adanya Dukkha bukan
berarti saya memiliki dukkha atau menderita tetapi hanya mengakui keberadaan dan fakta adanya dukkha.
Pengakuan adanya penderitaan tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang pribadi (personal). Jika kita
berpikir bahwa kita menderita dan mengartikan penderitaan sebagai milik pribadi maka akan menimbulakan
pikiran seperti “Mengapa saya menderita sekali? Mengapa saya tua? Mengapa saya jelek ? Ini tidak adil!”
dll– Semua pemikiran semacam ini timbul dari kekeliru-tahuan yang memperumit segala sesuatu dan
berakibat pada permasalahan kepribadian. Untuk lepas dari penderitaan kita harus mengakuinya dalam
kesadaran. Tetapi pengakuan dalam meditasi Buddhis tidak bertolak dari ‘Saya sedang menderita’
.
melainkan, ‘Ada kehadiran penderitaan’, karena: kita tidak mengidentiikasi diri kita dengan permasalahan
tersebut, melainkan sekedar mengenali keberadaannya.

Aspek kedua adalah ‘Penderitaan harus dimengerti’. Artinya, kita harus memahami dukkha dengan
pemahaman kita bisa benar-benar memandang penderitaan; sungguh-sungguh menerimanya, sungguh-
sungguh memegangnya serta merangkulnya. Yang kita lihat bukanlah bahwa penderitaan yang berasal dari
luar sana, melainkan penderitaan yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri. Ini merupakan keterjagaan
(awakening) dalam diri seseorang. Keterjagaan pada Kebenaran mengenai Penderitaan. Jika kita masih
memiliki pemikiran bahwa orang lain menyebabkan kita menderita maka berarti kita masih belum
memahami Kebenaran Ariya Pertama. Untuk memahami, kita perlu untuk melatih diri kita contohnya, saat
orang merendahkan atau mengejek kita maka kita tidak menganggap bahwa orang tersebut telah membuat
diri kita sengsara. Kita berlatih dengan kekecewaan kecil dalam hidup kita. Kita perhatikan bagaimana kita
dapat terluka dan tersinggung atau terganggu dan ter-iritasi oleh tetangga, orang di sekeliling kita, keadaan
disekeliling kita serta diri kita sendiri. Kita tahu bahwa penderitaan ini musti dipahami. Kita berpraktik
dengan sungguh-sungguh melihat penderitaan sebagai obyek dan memahami ‘Inilah penderitaan.’ Sehingga
kita memiliki insight mendalam mengenai penderitaan.

Kemudian setelah mengakui keberadaan dukkha, menerimanya, membiarkannya sebagaimana ia adanya —


maka timbullah aspek ketiga, ‘Penderitaan telah dipahami’, atau, ‘Dukkha telah dimengerti.’

Kita dapat pula memahaminya dengan istilah Pali, yakni: pariyatti, patipatti dan pativedha. Pariyatti adalah
teori atau pernyataan, ‘Ada penderitaan.’ Patipatti adalah praktiknya – benar- benar mempraktikkannya; dan
pativedha adalah hasil dari praktik. Inilah yang kita sebut dengan pola relektif; anda sebenarnya
mengembangkan pikiran anda secara relektif. Pikiran Buddha adalah pikiran relektif yang mengetahui
segala sesuatu sebagaimana adanya.

Dalam Tilakkhan terdapat tiga aspek yaitu :

a. Dukkha sebagai derita biasa, dalam kitab Majjhima Nikaya (Ratthapala Sutta)
1. Kehidupan dalam alam manapun tidak kekal. Contohnya tubuh manusia yang tubuh dan
kemudian mati.
2. Kehidupan di alam manapun juga memiliki tidak memiliki perlindungan Oleh karena itu di mana
ada perlindungan maka kita tidak akan menerima empat keadaan mutlak (lahir, tua, sakit, dan
mati).
3. Kehidupan di alam manapun juga tidak memiliki inti .
4. Kehidupan di alam pun juga adalah tidak lengkap, tidak memuaskan dan diperbudak oleh hawa
nafsu. Maka kepuasan yang diharapkan tak akan dapat diperoleh sepanjang masih adanya Avijja
dan Tanha.
b. Dukkha sebagai akibat perubahan (Anicca)
Segala bentuk kehidupan yang masih diliput tekanan batin (Asava) adalah tidak kekal. Cepat atau
lambat, seperti apa yang tidak kita inginkan akan berubah mengikuti proses kamma yang
berlangsung. Dari bentuk senang menjadi susah, untung menjadi rugi, hina menjadi mulia, dipuji dan
dicela (atthalokadhamma). Maka dengan sebab dari dukkha adalah Anicca Inilah yang disebut
dukkha sebagai akibat dari perubahan.
c. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantungan
Dalam tubuh manusia terdiri unsur Nama dan Rupa yang disebut sebagai pancakhandha. Dukkha
disebabkan oleh"Lima Kelompok Kehidupan" atau "Lima Kelompok Kegemaran". terdiri dari
c.I. Kelompok Rupa khandha.

.
Rupa khandha atau kelompok jusmani, terdiri dari emput unsur yaitu Unsur padat (pathavi dhatu),
yakni sesuatu bentuk padat yang ada pada tubuh jasmani kita (manusia), misalnya tulang-tulang,
gigi, kuk jantung dan lain sebagainya. Pathavi berarti tanah (bumi). Unsur cair (apo dathu), segala
sesuatu yang berbentuk cair yang terdapat pada-tubuh jasmani kitn. misalnya lendir, empedu, darah,
peluh keringat, air mata, dan sebagainya. Apo berarti air Unsur panas (tejo dhatu). segala sesuntu
yang bersifat panas yang terdapat pada tubuh kita, misalnya suhu badan, demam, energi, dan lain
sebagainya Tejo berarti api. Unsur gerak (vayo dhatu), segaln sesuatu yang bersifat gerak misalnya
natus, hawa udara dalm badan. Vayo berarti angin.
c.2. Kelompok Nama khandha Kelompok Nama khandha ini terdiri dari empat macam, yaitu
o Vedana khandha atau kelompok perasaan.
Meliputi perasaan yang bersifat menyenangkan, netral, maupun yang tidak menyenangkan,
yang ditimbulkan oleh penglihatan, penciuman, pengecapan, pendengaran, sentuhan (indera)
dan batin.
o Sanna khanda atau kelompok pencerapan.
Meliputi pencerapan yang disebabkan bentuk oleh mata, suara, rasa oleh lidah, bau – bauam,
sentuhan dan objek mental.
o Sankhara khanda atau kelompok bentuk pikiran
Meliputi pikiran yang ditujukan pada objek bentuk,suara,bau – bauan, rasa, sentuhan, objek
mental dan pikiran
o Vinana khanda atau kelompok kesadaran
Meliputi kesadaran yang terdorong oleh pintu kesadaran dari kelima indera dan batin.

- Dukkhasamudaya Ariyasacca/Kesunyataan mulia tentang Sumber Penderitaan /Dukkha

Apakah Kebenaran Ariya tentang Sumber Penderitaan? Penderitaan bersumber pada kecanduan12 yang
membentuk kembali makhluk-hidup dan disertai dengan kegemaran dan ketergila-gilaan, kegemaran pada
ini dan itu: dengan kata lain, kecanduan akan kenikmatan indria, kecanduan untuk menjadi dan kecanduan
untuk tak- menjadi. Tetapi dimanakah kecanduan ini muncul dan berkembang? Dimana saja ada yang
tampaknya menarik dan menguntungkan, di sanalah kecanduan muncul dan berkembang.

Yang menjadi sumber penderitaan adalah :

1. Avijja dan Asava

Avijja adalah kegelapan batin yang dapat timbul karena adanya arus kebodohan batin (asava) yang
disebabkan adanya nafsu indriya (Kamasava), kelahiran (Bhasava), kegelapan batin (Avijjasava) dan
pandangan sesat atau salah (Ditthasava).

2. Tanha

Sumber penderitaan adalah nafsu keinginan atau nafsu duniawi. Terdapat tiga jenis nafsu yaitu nafsu
kenikmatan indria (kama tanha), adalah keinginan untuk mendapat kenikmatan indra melalui tubuh atau
indra lainnya dan selalu mencari sesuatu buat menggairahkan atau menyenangkan indra. Contohnya saat
menikmati makanan yang lezat kita menginginkknya. Saat pergi ke restoran “all you can eat” kita
sebenarnya membiarkan diri kita mengikuti nafsu.

Selanjutnya nafsu menjadi (bhava tanha) yaitu keinginan untuk menjadi sesuatu sehingga kita
terperangkap dalam rombongan yang berusaha untuk menjadi bahagia, menjadi kaya atau kita berusaha
membuat hidup kita agar terasa penting dengan berjuang membetulkan dunia.

.
Kemudian nafsu menyingkirkan (vibhava tanha) yaitu keinginan untuk menyingkirkan sesuatu
contohnya keinginan untuk menyingkirkan penderitaan, menjauhi seseorang yang tidak disukai,
menghilangkan kesedihan dan lainnya.

3. Paticcasamuppada dan Hukum Karma

Hukum Sebab-Musabab yang saling bergantungan dan tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Maka
tindakkan yang kita lakukan dapat dan bisa saja menyebabkan dukkha. Jika kita berbuat baik maka akan
membuahkan karma baik dan sebaliknya juga jika kita berbuat buruk maka akan mendapatkan karma
buruk yang dapat membawakan dukkha.

- Dukkhanirodha Ariyasacca/Kesunyataan mulia tentang Berakhirnya Penderitaan/Dukkha

Setelah mengetahui sumber dukkha maka kita dapat menghentikan dukkha. Menghentikan dukkha dapat
dilakukan setiap makhluk karena semuanya memiliki kekuatan untuk menhentikan dukkha dan kita
tinggal mengembangkannya. Untuk menghentikan dukkha kita harus terus melatih diri untuk
memadamkan dan menghentikan beberapa hal yakni :

1. Terhentinya Tanha

Dengan dipadamkannya keinginan-keinginan duniawi maka dukkha akan berakhir. Di dalam dunia
terdapat hal-hal yang menyenangkan, disinalah tanha (dipadamkan). (Digha Nikaya 22. Maha
Satipatihana Sutta) Sang Buddha bersabda,

“Baik dijaman yang lampau, jaman sekarang ataupun jaman yang akan datang jika seorang bhikkhu
atau brahmana (pendeta), menggapai di dunia ini yang disukai dan discnangi sebagai fana (tidak kekal)
,menyakitkan (dukkha) Tanpa inti yang kekal (anatta) Sebagai penyakit yang berbahaya, ia telah
melakukan tanha", (Samyutta Nikaya)”.

2. Terhentinya rantai derita/ Paticca Samuppada

Dengan melenyapkan avijja dan tanha makn lenyaplah semua bentuk ikatan, dengan lenyapnya semua
bentuk ikatan maka berakhirlah perbuatan karma baru. Dengan terhentinya arus penjelmaan maka
terhentilah kelahiran dan kematian. Keduabelas rantai yang saling bergantungan ini akan terhenti dengan
tercapainya kebebasan mutlak tertinggi yaitu nibbana.

3. Penembusan, dimengertinya dengan sesungguhnya hukum kesunyataan.

Untuk menghilagkan dukkha dalam hidup diperlukan pengertian terhadap Hukum Kesunyataan. Dengan
mengolah batin dan pikiran melaui meditasi seperti yang dilakukan Buddha Gotama maka kita akan
mampu menembus hukum kesunyatean tersebut. Menyadari segala sesuatu dengan penyelaman, bukan
karena kebodohan. Misalnya kesediahan karena kita mendapatkan wajah yang jelek. Dukkha akan terus
berjalan karena kita kurang memandang adanya sesuatu yang benar dengan hukum anicca,dukkha, dan
anatta. Dengan lenyapnya dukkha maka tercapailah keadaan nibbana

- Dukkhanirodhagamini - patipada Ariyasacca /Kesunyataan mulia tentang Jalan Mengakhiri


Penderitaan/Dukkha.

Untuk melenyapnya dukkha, Buddha mengajarkan tentang Jalan Berunsur Delapan. Sang Buddha
membabarkan syair 273 sampai dengan 276 berikut ini :

Di antara semua jalan,


.
maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah Ikutilah jalan ini,
yang terbaik; yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).
di antara semua kebenaran,
maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini,
terbaik. engkau dapat mengakhiri penderitaan.
Di antara semua keadaan, Dan jalan ini pula
maka keadaan tanpa nafsu adalah yang yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui
terbaik; bagaimana cara mencabut duri-duri
dan di antara semua makhluk hidup, (kekotoran batin).
maka orang yang ‘melihat’ adalah yang
terbaik. Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’.
Inilah satu-satunya ‘Jalan’. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki
Tidak ada jalan lain ‘Jalan’ ini
yang dapat membawa pada kemurnian akan terbebas dari belenggu Mara.
pandangan.

Jalan ini berisi delapan unsur. Kedelapan unsur


ini harus dipraktikkan secara bersamaan tanpa
meninggalkan satu dengan yang lain. Jalan
Mulia Berunsur Delapan dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok, yaitu sila (kemoralan),
samadhi (konsentrasi), dan panna
(kebijaksanaan). Berikut adalah Jalan Mulia
Berunsur Delapan:

1. Samma-ditthi (Pandangan Benar)


Terdapat tiga macam pandangan yang benar yaitu :

a. Pandangan yang benar terhadap Karma.

Semua makhluk adalah merupakan karmanya sendiri, ahli waris dari karmanya sendiri, lahir dari
karmanya sendiri, keluarga dari karmanya sendiri, di topang oleh karmanya sendiri dan Karma
apa saja yang dibuatnya, yang baik atau buruk, terhadap itu ia akan menjadi ahli warisnya.

b. Pandangan yang benar mengenai sepuluh persoalan.

Pandangan benar mengenai sepuluh persoalan adalah:


Adanya kebajikan yang tinggi dalam berdana,pemberian yang banyak dan pemberian yang
sedikit,
Adanya akibat dari perbuatan yang buruk maupun yang baik,kebijakkan dalam perbuatan yang
dilakukan terhadap orangtua.
Adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan
Adanya dunia atau alam-alam kehidupan yang lain.
Adanya para Buddha dan Arahat yang melakukan latihan yang benar, yang memiliki pencapaian
yang benar, yang mendapatkan kesunyataan melalui usahanya sendiri, di dunia ini maupun di
alam-alam kehidupan yang lainnya, dan mengajarkan kesunyataan itu kepada makhluk-makhluk
lainnya.
.
c. Pandangan yang benar mengenai Empat Kesunyataan Suci, yaitu :

 Tentang adanya Dukkha, Asal Mulanya Dukkha, lenyapnya Dukkha dan Tentang Jalan yang
menuju lenyapnya Dukkha.

2. Samma-Sankapa (Pikiran Benar)


Pikiran yang benar adalah pikiran yang menghindari kejahatan dan pikiran yang cenderung kepada
kebajikan, yaitu :

 Pikiran yang bebas dari Akusalamula 3 (3 akar kejahatan) yaitu lobha (ketamakan), doa
(kebencian), moha (kebodohan bathin).
 Pikiran yang berisi metta (cinta kasih).
 Pikiran yang berisi karuna (belas kasihan).

3. Samma-vaca (Ucapan Benar).


Ucapan yang benar dapat diperinci sebagai berikut :

 Ucapan yang terbebas dari kebohongan (kepalsuan).


 Ucapan yang terbebas dari memfitnah (adu domba).
 Ucapan yang terbebas dari kekerasan (kekejaman).
 Ucapan yang terbebas dari kerewelan (cerewet/bawel).

4. Samma-kammanta (Perbuatan Benar).


Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang tidak merugikan makhluk lain dan hal ini dapat diperinci
sebagai berikut :

 Perbuatan yang menghindari pembunuhan atau penyiksaan makhluk lain.


 Perbuatan yang menghindari pencurian atau mengambil barang yang bukan miliknya.
 Perbuatan yang menghindari perzinaan.

5. Samma-ajiva (Pencaharian Benar)


Pencaharian yang benar adalah pencaharian yang tidak merugikan makhluk lain dan juga tidak
merugikan diri sendiri. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut :

 Pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan.


 Pencaharian yang wajar atau halal.
 Pencaharian yang tidak berdasarkan penipuan.
 Pencaharian yang tidak berdasarkan ilmu yang rendah (black-magic).

6. Samma-vayama (Usaha Benar).


Usaha yang benar adalah usaha untuk membersihkan diri dan mengembangkan kebaikan. Hal ini dapat
diperinci sebagai berikut :

 Usaha untuk menghindari kejahatan yang belum ada dalam diri.


 Usaha untuk menghilangkan kejahatan yang sudah ada dalam diri.
 Usaha untuk menumbuhkan kebaikan yang belum ada dalam diri.
 Usaha untuk mengembangkan kebaikan yang sudah ada dalam diri.

.
7. Samma-sati (Perhatian Benar).
Perhatian yang benar adalah perhatian yang ditujukan kedalam diri sendiri, untuk melihat proses
kehidupan ini, yang selalu dalam keadaan berubah, yakni :

 Perhatian terhadap jasmani (Kayanupassana).


 Perhatian terhadap perasaan (Yedananupassana).
 Perhatian terhadap pikiran (Cittanupassana).
 Perhatian terhadap bentuk-bentuk pikiran (dhammanupassana).

8. Samma-samadhi (Meditasi Benar).


Meditasi yang benar adalah meditasi untuk membersihkan bathin, guna menuju kesejahteraan hidup atau
kesucian atau kebebasan dari penderitaan. Meditasi yang benar ada 2 (dua) macam, yaitu :

1. Samatha- Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan ketenangan bathin guna mencapai
jhana-jhana dan kekuatan bathin (abhinna).
2. Vipassana-Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan pandangan terang guna mencapai
kebijaksamian dan kesucian serta terbebas dari dukkha (nibbana).

Keterangan mengenai delapan faktor ini :

1. Pandangan Benar dan Pikiran Benar adalah kelompok dalam perkembangan Panna.
2. Pembicaraan Benar, Perbuatan Benar dan Pencaharian Benar adalah kelompok dalam
perkembangan Sila.
3. Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar adalah kelompok dalam perkembangan
Samadhi

 Kapan dan Dimanakah Empat


Kesunyataan Mulia Dibabarkan untuk
Pertama Kali
Hari Asadha diambil dari nama bulan di mana
kejadian penting dalam sejarah agama Buddha
terjadi. Asadha adalah nama bulan ketujuh dalam
penanggalan Buddhis dan hari Asadha jatuh pada
saat purnama bulan Asadha. Peristiwa yang
diperingati pada hari Asadha adalah khotbah
pertama Sang Buddha kepada lima pertapa yang
kemudian menjadi lima bhikkhu siswa pertama.
Lima pertapa tersebut adalah Kondanna, Kappa,
Asajji, Bhadiva dan Mahanama. Khotbah pertama
Sang Buddha membahas tentang Jalan Tengah atau
Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Empat
Kebenaran Mulia yang menjadi inti ajaran Buddha.

Jadi, Dhamacakkapavattana Sutta pertama kali


dibabarkan pada tahun 528 Sebelum Masehi di
Taman Rusa di Sarnat, dekat Varanasi berisi tentang

.
Cattari Ariya Sattani dan Majjhima Pattida.

IV. PENUTUP

Kesimpulan

Empat kesunyataan mulia adalah ajaran pertama dan ajaran pokok dalam agama Buddha yang menjadi
fondasi untuk mendalami ajaran lain. Empat kesunyataan mulia bisa dilihat dan amati dalam kehidupan
sehari – hari kita. Tujuan utama diajarkannya empat kesunyataan mulia adalah untuk melenyapkan dukkha,
terlepas dari roda kelahiran hidup dan mencapai nibanna. Selain ini sebenarnya empat kesunyataan mulia
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Contoh sederhana adalah saat seseorang tidak lulus ujian
karena malas. Maka pertama ia harus menyadari bahwa ia malas kemudian sumber penyebab malas adalah
bermain hp dan untuk menyelesaikkan permasalahan ini ia perlu mengontrol diri dan rajin belajar agar bisa
mengerjakan ujian. Selain itu juga bisa menekan kepada seseorang bahwa “ada penderitaan” bahwa kita
mengakui adanya penderitaan dan tidak menganggap penderitaan adalah milik pribadi atau benda personal,
bukan “saya menderita” ataupun “dia membuat saya menderita” sehingga seseorang menyadari bahwa
penderitaan merupakan sesuatu yang telah ada dan saat menghadapinya ia melatih diri dan bertindak sesuai
dengan cara melenyapkan penderitaan.

Empat kesunyataan mulia diuraikan menjadi Dukkha Ariyasacca /Kesunyataan mulia tentang Penderitaan
yaitu pengakuan terhadap ‘Adanya kehadiran penderitaan’ berarti kita tidak mengidentiikasi diri kita dengan
permasalahan tersebut, melainkan sekedar mengenali keberadaannya,Dukkhasamudaya
Ariyasacca/Kesunyataan mulia tentang Sumber Penderitaan, Dukkhanirodha Ariyasacca/Kesunyataan mulia
tentang Berakhirnya Penderitaan dan Dukkhanirodhagaminipatipada Ariyasacca /Kesunyataan mulia tentang
Jalan Mengakhiri Penderitaan yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan. Untuk menjalankan Jalan Mulia
Berunsur Delapan, seseorang terlebih dahulu harus memiliki kemampuan untuk mengontrol diri dan
menguatkan keyakinan dan iman. Bagi pemula, hal tersebut dapat dilatih dengan mengembangkan metta,
mudita, upekkha dan karuna. Dengan begitu maka seseorang akan memiliki pikiran, batin dan jasmani yang
lebih sehat sehingga dapat mensyukuri, menjauhi nafsu duniawi yang menjerumuskan, menghindari
perbuatan yang buruk dan menjadi seseorang yang berguna bagi lingkungannya.

V. DAFTAR PUSTAKA

Santosa, Dhamma Ananda Arif Kurniawan Hadi. 2012. Puja. Yogyakarta: Vidyasena Production.

______. 2006. Kumpulan Naska Dharma. Palembang: Yayasan Buddhakirti

______. 2016. Empat Kesunyataan Mulia – Ajahn Sumedho. Di https://samaggi-phala.or.id/naskah-


dhamma/empat-kesunyataan-mulia-ajahn-sumedho/ (Diakses 7 September)

______. 2011. Jalan Mulia Berunsur Delapan. https://sinarnurani.wordpress.com/2011/07/25/jalan-mulia-


beruas-8/ (Diakses 7 September)

Anda mungkin juga menyukai