Anda di halaman 1dari 5

Ajaran Agama Buddha Tentang Dukkha

I. Pendahuluan
Didalam ajaran Buddha, ada ajaran yang mengajarkan tentang penderitaan. Penderitan dalam
agama Buddha ini disebut dukkha. Pada kesempatan ini, saya akan memaparkan tentang dukkha
(penderitaan) tersebut, dimana penderitaan ini terjadi di dalam kehidupan semua umat manusia yang
bukan hanya di dalam Buddha saja. Tetapi tidak dapat terelakkan untuk semua orang, karena semua
orang mengalami kesusahan dimana dalam kesusahan ini kita akan mengalami keadaan yang
menyedihkan yang harus kita tanggung. Semoga sajian ini dapat membantu kita dalam memahami
dan menambah pengetahuan kita bersama.
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Dukkha
Yang disebut dukkha ialah penderitaan. Hidup adalh menderita. Keahiran adalah menderita,
umur tua adalah penderitaan, sakit adalh penderitan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan
orang yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang diinginkan adalah
penderitaan.1 Kebenaran Mulia yang Pertama dikenal sebagai kebenaran dukkha. Secara
etimologis, arti harfiah dukkha adalah “berat untuk ditanggung”.”tidak memuaskan”,tidak masuk
hitungan”,”membuat putus asa”, dan “kosong”.2
II.2. Sumber dan Penyebab Terjadinya Dukkha
Dukkha bersumber dari “tanha” atau nafsu keinginan.3 Dukkha ini ada sebabnya yaitu
ketidaktahuan kebodohan spiritual, konsep yang salah mengenai diri, yang menyebabkan
timbulnya keinginan dan keterikatan. Penderitaan jasmani itu disebut dukkha, dan penderitaan
secara batin disebut domanasa. Setiap orang merasakan akibat dari ketika kesenangan dan
kesulitan lainnya, penderitaan batin seperti kekuatiran, depresi, kecewa dan putus asa juga
disebut dengan domanasa. Penderitaan timbul karena tidak mendapatkan apa yang di inginkan
dan juga tidak menginginkan apa yang didapat. Sebenarnya penderitaan batin lebih hebat dan
lebih keras dari pada penderitaan jasmani. Bahkan sesorang yang hidup dalam kemewahan tidak
mampu memikul penderitaan batin.4 Nafsu atau (tanha) adalah api yang berkobar dalam semua
makhluk; setiap aktivitas didorong oleh nafsu. Nafsu berkisar dari nafsu fisik sederhana dari
binatang sampai keinginan majemuk bahkan seringkali dirangsang secara buatan dari manusia
beradab. Untuk memuaskan nafsu, binatang saling memangsa; sedang manusia berkelahi,
membunuh, menipu, berbohong dan melakukan berbagai bentuk kejahatan. Nafsu (tanha) adalah
hasrat mental yang kuat dalam semua bentuk kehidupan dan merupakan penyebab penyakit
kehidupan. Nafsu ini mengaruh pada kelainan kelahiran dalam siklus kehidupan.5
II.3. Ajaran Buddha Tentang Dukkha
Buddha Dharma tidak mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah penderitaan. Apa yang
diajarkan Buddha adalah bahwa berdasarkan sifatnya hidup itu sulit, penuh cacat cela, dan tidak
sempurna. Siapa diantara kita yang memiliki hidup yang sempurna? Tentunya kita menginginkan
agar semuanya menggembirakan dan menyenangkan setiap saat. Tapi hal itu tidak terjadi. Itulah

1
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 71.
2
Lama Surya Das, Awekening The Buddha Within 8 Langkah Menuju Pencerahan, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum,
2003), 103.
3
Dharma K. Widya & Nanda Widya, Mengenal Lebih Dekat Annica-Dukkha-Anatta, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda, 2002), 11.
4
Ashin Janakabhivamsa, Abhidamma Sehari-hari, (Penerbit Karaniya, 2005), 55-57.
5
Sri Dhammanda, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur: Ehipassiko Foundation, 2012), 115-116.
sifat kehidupan, dan itulah kebenaran yang mulia pertama. Dari sudut pandang umat Buddha, ini
bukanlah penilaian terhadap suka-duka hidup; tapi ini merupakan deskripsi sederhana,yang
sangat mendasar, berlandaskan pada apa yang sederhana terjadi. Faktanya adalah bahwa kita
semua akan mengalami naik turun, tak peduli siapapun adanya kita. Itulah proses dari
mengendarai roller-coaster. Ajaran Buddhisme tidaklah pesimistik maupun optimistic, namun
realistis.
Saang Buddha membagi persoalan-persoalan kehidupan menjadi tiga kategori dukkha atau
kesulitan yang berbeda.
1. Kesulitan atau Dukkha Biasa, Sehari-hari
Kelahiran, penuaann, penyakit, kehilangan, kedukaan, dan kekecewaan terjadi pada kita
semua. Ini sama sekali tidaklah buruk. Kita dapat belajar banyak sekali dari masalah-
masalah yang kita alami, baik besar maupun kecil. Persoalan-persoalan itu akan
mengajarkan kepada kita bahwa untuk mempunyai suatu sikap yang realistis.persoalan-
persoalan itu akan mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu adalah apa sebenarnya
kehidupan itu: cacat, namun memliki potensi besar sekali atas sukacita dan kepenuhan.
2. Kesulitan atau Dukkha yang disebabkan oelh Keadaan yang Berubah
Kesulitan atau dukkha yang kita semua hadapi adlah bahwa momen-momen itu tidak
berlalu: Musik berhenti, teman anda bercerai, pekerjaan baru yang anda pikir adalah
pekerjaan yang benar-benar anda inginkan ternyata berubah menjadi penyebab stress yang
menimbulkan sakit kepala, momen-momen yang penuh cinta kasih dan kebahagiaan berlalu
dengan sangat cepat. Sehingga sering kali pada akhirnya kita berpikir tentang nostalgia,
merasa kecewa, dan kehilangan. Yang baik tidak ada yang berlangsung selamanya; bahkan
saat-saat terbaik dalam hidup diikat dengan suatu kualitas manis-pahit. Ini disebut dengan
dukkha keadaan berubah.
3. Kesulitan atau Dukkha yang Disebabkan oleh Sifat keberadaan Terkondisi yang Cacat
Apabila kita melihat ke dalam diri –ketika kita bertanya-tanya siapa dan apa kita ini serta
apa yang sedang terjadi, ketika kita bertanya siapa yang sedang mengalami pengalaman kita-
apakah yang kita dapati, jika ada? Siapakah aku? Apakah kau ini? Dimanakah yang
mengalami pengalaman itu? Dan lain sebagainya. Sang Buddha mengatakan bahwa sebagai
individu kita terbentuk dari lima skandha.
1) Bentuk
2) Perasaan atau Indra
3) Persepsi
4) Kehendak atau Keinginan
5) Kesadaran
Hubungan Skhanda dengan kebenaran mulia yang pertama adalah Buddha Dharma yang
mengarahkan perhatian kita kepada kemungkinan yang nyata dari menjalani kehidupan
sesuatu yang lebih dalam dan pada akhirnya lebih memuaskan telah menunjukkan kelima
Skhanda sebagai suatu cara untuk memperlihatkan sifat lemah dan tidak dipercayadari
realitas kondisiona yang senantiasa bergerak yang kita kenal sebagai kehidupan.6

6
Lama Surya Das, Awekening The Buddha Within 8 Langkah Menuju pencerahan, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum,
2003), 105-110.
II.4. Jenis-Jenis Dukkha
Adapun jenis-jenis dukkha menurut ajaran Buddha yaitu:
a) Dukkha-dukkha, yaitu dukkha sebagai penderitaan, seperti usia tua, kematian,
berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan orang yang dibenci, tidak
memperoleh sesuatu yang diinginkan, kesedihan, keluh-kesah dan kegagalan.
b) Viparinama-dukkha,yaitu dukkha sebgai akibat dari perubahan seperti suatu perasaan
bahagia pada waktunya akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesdihan,
penderitaan dan ketidakbahagiaan.
c) Sankhara-dukkha, yaitu dukkha sebagai akibat dari keadaan bersyarat. Untuk itu
sesorang harus memahami manusia sebagai gabungan dari lama khanda yang terdiri
atas badan jasmani, pikiran, perasaan dan kesadaran.7
d) Saamisa-dukkha, yaitu penderitaan dengan mata kail berumpan, yang berarti
penderitaan yang timbul karena hilang atau lenyapnya objek-objek kesenangan indra.
Itu mungkin dapat berupa penderitaan jasmaniah, seperti terserang penyakit, terluka,
kematian atau dapat juga penderitaan yang berupa penderitaan batiniah, seperti
kesedihan, dukacita, penyesalan sebagai hilang atau lenyapnya objek-objek
kesenangan indra tersebut.
e) Niramisa-dukkha, yaitu penderitaan tanpa mata kail berumpan, disebabkan tidak ada
ketenangan batin, yang berarti penderitaan yang timbul dari suatu usaha untuk
berbuat baik, seperti kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan, kesakitan dan
bahkan bukan budaya yang timbul dari pelaksaan kemoralan, mempraktekkan
meditasi dan sebagainya.8
II.5. Empat Hukum Kesunyataan Mulia
Ajaran Buddha didasarkan pada empat kesunyataan mulia. Menyadari dan menembus ke
dalam sifat sejati keberadaan, termasuk pengetahuan penuh akan diri sendiri. Jika kita mengenali
bahwa sebuah fenomena itu bersifat fana, tidak memuaskan, tidak mengandung realitas inti
apapun. Kita akan yakin bahwa kebahagiaan sejati dan abadi tidak dapat ditemukan dalam
kepemilikan materi dan pencapaian duniawi, bahwa kebahagiaan sejati harus dicari melalui batin
dan pengembangan kebijaksanaan. Oleh karena tidak memahami empat kesunyataan mulia,
maka umat Buddha terus menerus mengitari siklus kelahiran dan kematian.9
Empat kesunyataan mulia terdiri dari:
1. Kebenaran Mulia tentang Dukkha Sacca (Esensi Dukkha)
2. Kebenaran Mulia tentang Dukkha Samudaya (Asal Mula Dukkha)
3. Kebenaran Mulia tentang Dukkha Nirodha (Hasrat Menghentikan Dukkha)
4. Kebenaran Mulia tentang Dukkha Nirodha Gaminipatipada (Jalan Menuju Berhentinya
Dukkha)
II.5.1. Dukkha Sacca
Penderitaan yang meliputi segala lingkup kehidupan dan di dalam semua aktivitas
sehari-hari. Misalnya manusia menjadi sasaran dari penyakit, berpisah dari prang-
orang yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang di inginkan, mengalami penuaan,
dan kematian.

II.5.2. Dukkha Samudaya


7
Dharma K. Widya & Nanda Widya, Mengenal Lebih Dekat Annica-Dukkha-Anatta, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda, 2002), 11.
8
Tatang Prajna, Bulir-bulir Ratna Teja Dharma, (Jakarta: Sunyata, 1997),65-66.
9
Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma Sari, (Jakarta: Yayasan Kanthaka Kencana: 1993), 21.
Akibat berkembangnya keinginan atau “tanha”, karena semua makhluk
menginginkan sensasi yang menyenagkan dan berhasrat untuk menghindari sensasi
yang tidak menyenangkan, hal ini bisa dijelaskan melalui adanya keinginan yang
tidak habis-habisan. Adanya kelahiran yang turun-temurun dan adnya kenyataan
menghadapi kesulitan bahkan kematian.
II.5.3. Dukka Nirodha
Dukkha dapat diatasi dengan mengakhiri hasrat dan keinginan yang diakui dengan
jalan “Nibbhana” atau keadaan tenang dimana sebuah ketamakan, kebencian,
kebodohan, iri hati dapat diakhiri.
II.5.4. Dukkha Nirodha Gaminipatipada
Yang mengajarkan bahwa Dukkha dapat dilemahkan, di kendalikan dan akhirnya
dilenyapkan dengan mengikuti jalan yang diajarkan oleh Buddha.10
II.6. Hubungan Manusia dan Dukkha
Pokok ajaran Buddha ialah, bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tidak
ada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan, menjadi tua, dan mati;
tiada hidup yang tetap. Sedangkan manusia hidup, ia menderita sakit, semua itu adalah penderitaan.
Segala macam kerugian jasmani maupun rohani adlah penderitaan. Penderitaan ini menjadi
pengalaman tiap orang, juga kesenangan yang kadang-kadang dialami manusia sebenarnya adalah
sumber penderitaan. Sebab tiada kesenangan yang kekal. Orang yang senang mendapat untung,
tetapi sebentar lagi keuntungannya meninggalkan dia sehingga menderitalah ia. Bahkan kesenangan
itu sendiri adalah penderitaan, sebab kesenangan atau kegirangan bergantung pada ikatannya dengan
bersumber kesenangan itu. Padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri manusia, sumber itu
tidak mungkin dipengang oleh manusia karena tiada sesuatu yang tetap ada. Orang yang senang
takut akan kehilangan kesenangannya.11 Untuk menerangkan hal ini, diajarkan apa yang disebut
Pratitya Samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantung. Pertama, ketidaktahuan; kedua,
samsara (karma); ketiga, menjadi dasar; keempat, nama dan bentuk (maksudnya jiwa dan tubuh);
kelima, keenam indera; keenam, persentuhan antara indera-indera dan lingkungannya; ketujuh,
penginderaan; kedelapan, kehausan; kesembilan, usaha; kesepuluh, penjadian; kesebelas, kelahiran;
dan keduabelas, tua dan mati, kesusahan, penderitaan, putus asa. 12 Yang jelas dari uraian ini ialah,
bahwa kehausan dan keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan tadi, pada hakikatnya
disebabkan oleh ketidaktahuan atau Awidya. Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang
kosmos, ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini
mengenai tabiat alam semesta yang memiliki 3 ciri yang mencolok, yaitu:
1. Bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan (Dukkha)
2. Bahwa alam semesta adalah fana (Anitya atau anicca)
3. Bahwa tiada jiwa didalam dunia ini (Anatman atau annata)13
II.7. Menghindari Dukkha
Agama Buddha sering mempertimbangkan bahwa banyak orang tidak ingin menderita.
Mereka harus menghalangi kesadaran kita akan penderitaan dengan mematikan kesadaran dan
perasaan kita. Dengan demikian, mereka menjadi tidak sadar terhadap keseriusan kesadaran
dirinya sendiri sesungguhnya. Penyangkalan terhadap penderitaan dapat terjadi secara eksplesit
dalam tindakan mematikan kesadaran mereka dengan jalan menyalahgunakan alcohol dan obat-
obatan terlarang, atau dengan menolak untuk memusatkan perhatian pada bagian-bagian
10
Catatan Dosen
11
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 71-72.
12
A.G.Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 208.
13
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 72.
problematic dalam kehidupan mereka, atau hanya melalui rencana yang tenang, yang
menyebabkan mereka tidak memiliki waktu untuk merefleksikan diri sendiri. Mereka dapat
berpura-pura bahwa segala sesuatu memuaskan sekalipun kenyataaannya tidak demikian.
Langkah pertama pencerahan Buddha adalah menyadari penderitaan dengan sudut pandang
pembebasan. Hal itu berarti menyadari penderitaan dalam kehidupan mereka sendiri dan juga
membuka mata, telinga, serta hati, terhadap penderitaan mengerikan di seluruh dunia sekitar
mereka. Awal praktik meditasi Buddha membuks kesadaran mereka terhadap bentuk-bentuk
penderitaan yang tak terhitung jumlahnya, yang selama ini mereka tutup-tutupi. Duduk diam
dalam meditasi yang tenang adalah adalah cara efektif untuk membuka kesadaran seseorang
terhadap penderitaan. Ketidaknyamanan fisik seorang pemula meditasi sering dipadukan dengan
kenangan terhadap kesalahan-kesalahan sera kesadaran akan pergolakan emosi di masa lalu.
Tahap awal praktek meditasi mungkin sangat menantang baik fisik, mental maupun emosional.
Ada delapan jalan kebenaran menurut
III. Kesimpulan
IV. Refleksi Teologis
V. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai