Anda di halaman 1dari 15

Nama : Gabriel Butar-Butar

Nim : 19.01.1759

Tinggkat/Jurusan : I-A/Teologi

Mata Kuliah : Pengantar Teologi

Dosen Pengampu : Dr. Deddy Fajar Purba

TUGAS AKHIR UJIAN AKHIR SEMESTER

Rudolf Bultmann

I. Pendahuluan
Perbedaan pandangan dunia dalam PB dan pandangan dunia dari orang modern
bertumpu pada suatu dasar yang berbeda tidak dapat dipungkiri. Dan dalam rangka
itulah Rudolph Bultman mengusulkan demitologisasi, suatu metode untuk
mempertemukan orang modern dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Maksudnya,
metode ini berusaha agar orang modern dapat percaya dan mengerti berita Krstiani
dalam perspektif pemikiran zaman modern. Namun apakah metode yang ditawarkan
Bultmann ini dapat menjawab permasalahan orang modern berkaitan dengan masalah
tentang mite atau justru menimbulkan persoalan-persoalan lain? Apakah
demitologisasi Bultmann ini tidak berarti lari dari kenyataan dan menyuruh agar
orang modern kembali kepada alam berpikir mitologi? Selain itu, jika pengertian
demitologisasi adalah mengupas atau men-demitologi-kan mitolgi-mitologi yang
terdapat dalam PB  dan setelah melakukan hal di atas apakah ini tidak berarti
membuang mite-mite tersebut? Dan kalau pengertiannya dibuang bagaimana
dampaknya? Kalau tidak dibuang bagaimana dampaknya?  Sebab kenyataan yang ada
adalah cara berpikir PB dan orang modern bertentangan. Selain itu kita dapat
bertanya apakah benar orang-orang modern tidak dapat menerima laporan-laporan
yang bersifat mitologis.
II. Pembahasan
II.1. Sekilas Tentang Sejarah Hidup Rudolf Bultmann
Rudolf Karl Bultmann lahir di Wiefelstede, Oldenberg, Jerman, pada
tanggal 20 Agustus 1884, sebagai anak pertama dari keluarga dengan latar
belakang religius yang kuat, dari pasangan pendeta Evangelist-Lutheran. Ayahnya
bernama Arthur Bultmann dan ibunya Helena. Kota Wiefelstede merupakan
kenangan termesra dalam hidupnya, di mana ia menghabiskan masa kecilnya
yang manis di situ, sebelum kemudian melanjutkan di sekolah menengah (1892-
1895), dan Gymnasium Oldenberg (1895-1903). Di sekolah yang disebut terakhir,
yaitu Gymnasium Oldenberg itulah ia bertemu dan berteman dengan Karl
Jaspers, yang membawa perubahan kuat pada jiwanya sehingga ia terpikat pada
disiplin studi agama, bahasa dan sejarah kesusastraan Yunani. Studi Teologi dan
Filsafat dijalaninya di Universitas Tubingen, Berlin, dan di Marburg. Gelar
doktoral Bultmann diperoleh tahun 1912 saat ia berusia 28 tahun dengan disertasi
berjudul “Die Exegese des Theodor von Mopsuestia”. Karir akademisnya dimulai
tahun 1916 ketika ia diangkat menjadi guru besar luar biasa di Brelau dan di
Glessen. Bultmann menikah dan menjadi ayah dari tiga orang putri. Dia
meninggal pada 30 Juli 1976 di Marburg (sekarang bagian barat) Jerman.1
Mulai tahun 1921, ia menjadi guru besar di Marburg dengan spesialisasi
bidang Perjanjian Baru dan sejarah Kristen kuno. Sekitar tahun 1924-1925, ia
bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang sedang menulis buku
monumentalnya “Sein und Zeit”. Pertemuan dengan Tillich dan Heidegger inilah
yang kelak memberi pengaruh kuat terhadap alur pemikiran dan teologinya2
Bultmann adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam pendekatan studi ini:
"Tujuan dari kritik bentuk adalah untuk menentukan bentuk asli dari
sepotong naratif, suatu ucapan Tuhan, atau suatu perumpamaan. Dalam prosesnya
kita belajar untuk membedakan tambahan-tambahan dan bentuk-bentuk sekunder,
dan semua ini pada gilirannya membawa kita kepada bentuk-bentuk penting bagi
sejarah dari tradisinya."
Sebagian sarjana mengkritik Bultmann dan para kritik lainnya karena
skeptisisme yang berlebih-lebihan mengenai keandalan historis kisah-kisah Injil.

1
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
2
J.I. CH. Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologinya (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1989), 3.
Dampak penuh Bultmann baru dirasakan ketika bukunya Kerygma and Mythos
("Berita Injil dan Mitos") terbit dalam terjemahan bahasa Inggris pada 1948.3
Tulisan-Tulisan Bultmann
Bultmann menulis beberapa karya teologi yang terkenal, seperti
"Theology of the New Testament" (1951), yang berisi tentang pernyataan lengkap
tafsiran alkitabiah Bultmann. Di tulisan selanjutnya, Bultmann meneruskan kritik
analisanya tentang sumber-sumber Perjanjian Baru. "The History of the Synoptic
Tradition" (1968) merupakan ujian yang berpengaruh terhadap susunan Injil
Matius, Markus, dan Lukas. "The Gospel of John: A Commentary" (1971)
dianggap sebagai tafsiran baru yang penting atas kesulitan keempat Injil. Salah
satu karya terakhir Bultmann, "Jesus and The Word" (1975), adalah sebuah
penyelidikan akan pengajaran Yesus yang memberikan kepada pembaca sekilas
teori teologi tentang sejarah dan penafsiran Alkitab.
Literatur tentang karya Bultmann juga berkembang pesat sejak akhir
Perang Dunia II. Karya Charles Kegley, ed., "The Theology of Rudolf Bultmann"
(1966), berisi uraian singkat riwayat hidup yang ditulis oleh Bultmann, esai
penting tentang tafsiran, dan kritik tentang ide-ide besarnya, yang disertai dengan
jawaban Bultmann. Karya ini juga berisi bibliografi lengkap tentang karyanya
hingga tahun 1965. Karya André Malet, "The Thought of Rudolf Bultmann"
(diterjemahkan tahun 1971), sangat komprehensif dan mudah dibaca.
Selama rezim Nazi, Bultmann merupakan salah satu anggota yang vokal
dalam "Confessing Church" yang menolak untuk mengikuti kependetaan "Kristen
Jerman" dalam memberi dukungan kepada pengeluaran kebijakan non-Aryan
Hitler. Sepanjang kariernya, Bultmann terus berkhotbah dan mengajar.
II.2. Pemikiran Teologi Rudolf Bultmann
Pengaruh Pendekatan Sejarah Dan Eksistensial Dalam Demitologisasi
Bultmann Ahli-ahli sejarah modern selalu berdebat tentang pendekatan objektif
pada sejarah, maka setiap ahli teologi mau tidak mau harus juga bergumul dengan
tantangan ini. Seorang ahli sejarah kritis tak bakal menerima begitu saja uraian
sejarah yang ditulis orang, tetapi akan melakukan penyelidikan sendiri sampai

3
http://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann
dirinya menjadi bagian dari sejarah itu. Bagaimana dengan Alkitab? Alkitab tidak
bisa semata-mata diterima sebagai sejarah, karena “percaya” (keyakinan) akan
kebenaran isinya ikut bermain dalam pra-anggapan penafsir Alkitab. Sejarah itu
memang lebih dari apa yang terdapat dalam pikiran ahli sejarah. Tugas ahli
sejarah ialah menyelidiki fakta-fakta, bukan malahan menciptakannya.
Sebaliknya, tata bangun seorang teolog sangat tergantung pada anggapannya
mengenai ajaran Yesus yang tercatat dalam Alkitab. Para rasul memang bukanlah
pengamat sejarah yang objektif, tetapi mereka meyakini apa-apa yang mereka
tulis adalah fakta-fakta yang terpercaya
Pandangan khusus di atas merupakan pandangan yang cocok bagi filsafat
eksistensialis. Jika ahli sejarah modern menghadapi naskahnya dengan keyakinan
bahwa ia harus menjadi bagian dari sejarah yang ia pelajari, maka sikap demikian
itu cocok sekali dengan tuntutan eksistensialis dalam memahami Alkitab yang
sedang digelutinya. Menurut Bultmann, seorang ahli sejarah menghadapi bahan
penyelidikan dengan cara yang berbeda dengan tata cara ilmuwan
Ia berasumsi bahwa ilmuwan tidak melibatkan anggapan pribadinya,
sedangkan ahli sejarah bertindak sebaliknya. Tetapi pandangan ini tentu saja
dapat disangkal karena seorang ilmuwan tidak dapat menghadapi bahan-bahannya
tanpa pra-anggapan. Jika pra-anggapannya keliru, maka penyelidikannya tidak
berhasil dan pra-anggapannya menjadi runtuh. Tetapi yang pasti, tak seorang
ilmuwan pun yang belajar dengan akal budi yang kosong. Dalam penjelasannya
mengenai pendekatan tentang pandangan eksistensialisnya untuk menggarap
bidang sejarah, Bultmann berkata tentang berdialog dengan sejarah. Ia mau
mengatakan bahwa ketika ahli sejarah menekuni bacaan tentang Yesus, maka ia
mencapai “keberadaan” dengan menghadapi riwayat itu sampai menjadi bagian
dari dirinya sendiri. Dialog dengan sejarah hanya mungkin terjadi kalau terjadi
pemahaman penuh tentang latar belakang. Akan tetapi tak ada ahli sejarah yang
masa kini yang dapat menembus keterangan psikologis untuk memahami latar
belakang abad pertama itu. Bultmann mengatakan itu sebagai hal yang mustahil,
dan ini berarti bahwa dialog dengan sejarah berarti “subyektif”
Lagi pula apa yang dapat diketahui tentang Yesus, selain hanya warisan
dari sejarah alam pikiran Kristen mula-mula yang sampai pada manusia sekarang,
bukan sejarah tentang peristiwa yang benar-benar terjadi, dijalani dan ditempuh
Bahkan menurut Bultmann, ungkapan Yesus yang benar-benar asli dalam
Perjanjian Baru tidak lebih dari empat puluh buah. Bagaimana cara menentukan
isi yang asli dan tidak asli? Menurut Bultmann jawabannya terletak pada apa
yang disebutnya sebagai “hukum tradisi”. Pra-anggapannya adalah bahwa ada
hukum tradisi itu, artinya bahwa setiap kali unsur tardisi diturunkan, polanya
selalu sama. Bagi Bultmann, ini berarti bahwa ciri perkembangan tradisi yang
paling khas adalah unsur peminjaman. Asumsi ini yang membuat Bultmann
mengeluarkan “hukum ketidaksamaan”-nya, yang merumuskan bahwa jika
sesuatu dalam Perjanjian Baru ditemukan padanannya dengan kepustakaan
Kristen atau Yahudi pada waktu itu, maka isi Perjanjian Baru tersebut pasti
meminjam dari sumber itu.
Pemikiran Teologinya Pandangannya tentang Entmythologisierung
(Demythologizing atau Demitologisasi). Kata entmythologisierung berasal dari
bahasa Jerman, yang berarti bahwa mitologi (kumpulan mitos-mitos) perlu
dihilangkan. Mitos adalah suatu cerita kuno, yang di dalamnya pertanyaan-
pertanyaan dan jawaban-jawaban tentang hal-hal yang pokok tentang hidup dan
mati, tentang Allah dan manusia dan lain-lain dipikirkan dan diteruskan dalam
bentuk cerita. Perjanjian Baru pada pokoknya terdiri dari cerita-cerita semacam
itu. Pusat dari konsep demitologisasi adalah pendirian Bultmann yang
menemukan dua hal di dalam Perjanjian Baru, yaitu: 1) Injil Kristen, dan 2)
pandangan orang pada abad pertama yang bercirikan mitos. Hakekat Injil, oleh
Bultmann disebut dengan kerugma (Yunani = isi yang dikhotbahkan), merupakan
inti yang tidak dapat dipersempit lagi. Orang jaman modern ini harus dihadapkan
dengan inti tersebut dan harus mempercayainya. Namun orang modern tidak
dapat menerima kerangka yang bersifat mitos yang membungkus hakekat Injil.
Oleh karena itu teologia harus berusaha untuk melepaskan berita kerugma dari
kerangka yang bersifat mitos. Menurutnya kerangka yang bersifat mitos tidak
selalu berkaitan dengan Kekristenan
Bultmann adalah seorang teolog yang sangat serius memikirkan
bagaimana Injil yang dari zaman prailmiah dapat diberitakan kepada manusia
modern. Ia merasa terpanggil untuk menemukan suatu cara baru agar Injil boleh
menyapa dan membuat manusia modern mengambil keputusan pribadi terhadap
berita Injil.4
Pemikiran inovatif Bultmann ini tentu saja berkatian erat dengan Metode
Kritik Bentuk-nya terhadap Perjanjian Baru. Melalui metode itu Bultmann
mencoba menelusuri perkembangan lebih awal dari kisah-kisah Injil dalam
penurunannya dan fungsinya dalam gereja purba. Ia mau menentukan kehistorisan
kisah-kisah itu. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa kebanyakan ucapan Yesus
tidak berasal dari Yesus sendiri tetapi hasil redaksi dari jemaat purba.5
Selanjutnya, Bultmann juga tidak mengakui Alkitab sebagai firman Allah
yang telah diwahyukan. Menurutnya, meskipun Allah berbicara kepada manusia
melalui Alkitab, namun Alkitab itu merupakan hasil pengaruh sejarah dari agama
kuno dan harus diadili seperti literatur religius kuno lainnya. Prinsip Kritik
Bentuk Bultmann ialah ‘merombak’ Injil dan kemudian mencoba menemukan
bentuk asli dari Inji itu, lalu sedapat mungkin disusun kembali.6
Dari situ Bultmann mengembangkan suatu pemikiran baru dalam dunia
teologi yang dikemas dengan istilah demitologisasi. Menurutnya, demitologisasi
adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di belakang
konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Perjanjian Baru .7
Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos karena itulah
diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang
konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaian bahasa, simbol dan
gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan
perbuatan-perbuatan Allah.8
Menurut Bultmann, mitos merupakan cerita yang tidak membedakan fakta
dari yang bukan fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu jaman pra-ilmiah.
4
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 61.
5
Tony Lane, Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 237
6
Harvei M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), 42-43.
7
Yakub B. Susabda, Seri Pengantara Teologi Modern volume 1, (Jakarta: LRII, 1990), 124-125.
8
Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 1999), 70.
Tujuan mitos adalah untuk menyatakan pengertian manusia tentang dirinya
sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos
menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk
menyatakan keyakinan-keyakinan tentang pengertian manusia akan dirinya
sendiri.9 Menururt Bultmann, mitos yang ada dalam Alkitab bersumber dari pola
pikir orang Yahudi pada abad pertama yang melihat dunia ini sebagai sistem yang
terbuka terhadap Allah dan kuasa-kuasa supranatural. Alam semesta dinyatakan
dalam tingkat tiga, yakni surga, dunia dan neraka. Ini merupakan pandangan
semesta yang ada dalam Alkitab. Sifat dunia yang mitologis ini diterapkan juga
oleh jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru khususnya mengenai kisah
Yesus..10
Menurut Bultmann perubahan dunia yang bersifat mitos tersebut juga
telah digunakan untuk merubah Yesus. Pribadi Yesus yang ada di dalam sejarah
diubah menjadi suatu mitos dalam kekristenan yang mula-mula. Oleh karena itu
Bultman menyatakan bahwa pengenalan historis tentang manusia Yesus tidak
relevan lagi untuk iman Kristen. Mitos inilah yang dihadapkan pada orang Kristen
dalam gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus. Fakta-fakta sejarah tentang
Yesus telah diubah menjadi Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian
Baru (M. Darojat Ariyanto) 181 cerita mitos tentang suatu oknum ilahi yang
berpraeksistensi yang berinkarnasi dan dengan darah-Nya menebus dosa-dosa
manusia, bangkit dari kematian, naik ke surga, dan menurut kepercayaan mereka
ia akan segera kembali untuk menghakimi dunia dan memulai jaman baru.
Cerita utama ini juga telah dibumbui dengan cerita-cerita mukjizat, cerita-
cerita tentang suara dari surga, kemenangan-kemenangan atas setan dan lain-
lainnya. Menurut Bultmann semua penyajian tentang Yesus dalam Perjanjian
Baru bukanlah sejarah melainkan hanya mitos, yaitu pemikiran dari orang-orang
yang menciptakan mitos-mitos tersebut untuk mengerti diri sendiri dengan lebih
baik. Itu semua merupakan mitos-mitos yang tidak cocok lagi bagi manusia abad
ke-20, yang percaya kepada rumah sakit dan bukan mukjizat, pinisilin dan bukan
doa. Untuk mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, kita
9
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
10
Coon, ibid, 50.
harus mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba untuk menyingkap
tujuan mula-mula di balik mitos tersebut. Proses penyingkapan ini disebut
demitologisasi.
Proses ini, menurut Bultman, bukan berarti menyangkal mitologinya.
Demitologisasi ini berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian
manusia terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat
dipahami oleh orang modern sendiri. Bultman melakukan proses ini dengan
menggunakan konsep-konsep eksistensialis Jerman, Martin Heidegger.
Contohnya, yang disebut mitos mengenai kelahiran Kristus dari anak dara
dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelaskan arti Yesus bagi orang beriman.
Mereka mengatakan bahwa Kristus datang kepada manusia sebagai tindakan
Allah. Salib Kristus tidak mempunyai arti yang menunjukkan Yesus menanggung
dosa bagi orang lain. Hal itu hanya mempunyai pengertian sebagai suatu symbol
dari manusia yang mengambil suatu hidup yang baru, yaitu menyerahkan semua
rasa aman duniawi untuk mendapatkan suatu hidup baru yang bergantung pada
yang transenden.
Bultman pada dasarnya menyatakan bahwa gambaran dasar dari mitologi
Perjanjian Baru berpusat pada dua macam pengertian diri. Pertama, hidup di luar
iman, dan yang lain hidup di dalam iman. Istilah-istilah dosa, daging, ketakutan
dan kematian merupakan penjelasan-penjelasan mitologis tentang hidup di luar
man. Dalam istilah-istilah eksistensial, hal itu berarti hidup di dalam keterikatan
pada realitas yang nyata, yang nampak dan akan binasa. Sebaliknya, hidup di
dalam iman berarti meninggalkan ketergantungan pada realitas yang dapat dilihat
dan nyata. Ini berarti melepaskan diri dari masa lalu dan membuka diri pada masa
depan Allah. Menurut Bultmann, ini merupakan satu-satunya arti eskatologi yang
sebenarnya. Kehidupan eskatologis yang benar dikatakannya sebagai hidup dalam
pembaharuan yang terus menerus elalui keputusan dan ketaatan Dalam konsep
demitologisasi ini Bultmann membantu mengingatkan kaum Kristen tentang
pentingnya memahami orang modern, pendengar khotbahnya. Ia juga
mengingatkan bahwa kepentingan orang Kristen tidak hanya memberitakan Injil
tetapi juga menerapkannya dengan tepat dan teliti pada pendengar.11
Menurutnya lagi, mitos ini akan sulit diterapkan dalam dunia modern.
Setidaknya ada dua alasan yang membuat orang yang hidup di dunia modern tidak
bisa menerima mitos, yaitu pengetahuan ilmiah dan pandangan manusia modern
tentang dirinya. Mengenai dirinya, manusia modern memandang tidak lagi
sebagai pribadi yang terbuka terhadap inteversi kekuasaan supranatural. Manusia
saat ini melihat dirinya sebagai makhluk yang mampu berdiri sendiri. Dalam
kemandirannya itu manusia modern tentu akan sulit percaya mitos tentang
kekuasaan supranatural, maut, penebusan, kebangkitan dan lain sebagainya.
Semuanya itu tidak dapat dimengerti dalam konterks kemajuan pengetahuan
ilmiah modern.12
Bultmann melanjutkan; kendati Alkitab dipenuhi dengan mitos tetapi
semuanya itu tidak boleh dibuang begitu saja. Sebab jika hal itu dilakukan berarti
sama saja dengan membuang semua halaman Alkitab yang penuh mitos. 13 Untuk
menyelesaikan dilema ini maka Bultmann mengusulkan jalan keluarnya lewat
demitologisasi. Demitologisasi bertugas untuk mengupas mitos dari Perjanjian
Baru dan mencoba menyingkapkan inti berita yang disebut dengan istilah
kerygma di balik mitos tersebut sehingga Injil bisa dikomunikasikan secara efektif
kepada manusia modern.14
Untuk bisa menemukan kerygma, Bultmann menggunakan metode
penafsiran eksistensialisme atas Alkitab. Keyakinan bahwa Perjanjian Baru ditulis
berdasarkan literatur Yahudi dan mitos yang tidak relevan lagi dengan manusia
modern membuat Bultmann menafsirkan Alkitab secara eksistensial. Penafsiran
ini bergantung pada manusia dimana pengalaman pribadilah yang mengontrol dan
menentukan arah dan berita Alkitab, bukan lagi Roh Kudus. Isi Alkitab cenderung
dicocokan dengan kondisi manusia.
II.3. Kerygma Dalam Sejarah Gereja Mula-Mula

11
Harvei M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), 49-52
12
Hadiwijoyo, Ibid, 73.
13
J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologianya, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 11.
14
Coon, ibid, 51.
Kata yang paling banyak digunakan dalam PB untuk "berkhotbah" ialah
kcrussin (sekitar 60 kali), yang berarti memproklamasikan berita (sebagai seorang
pembawa kabar). Proklamasi gereja (kgrygma) adalah proklamasi publik tentang
"Kabar Baik" (yaitu Injil) kepada dunia non Kristen. Makna di balik pengertian
tersebut bisa tindakan proklamasi atau isi proklamasi tersebut.
Bultmann menyoroti tindakan proklamasi. Dalam pandangan Bultmann,
"pemikiran teologis" (theological thinking) PB atau teologi PB dimulai dengan
kerugma gereja mula-mula dan bukan sebelumnya -- pada masa Yesus hidup di
dunia. Bagi gereja mula-mula, kerugma sebagai tindakan pemberitaan berarti
kerugma itu memproklamasikan Yesus Kristus - yaitu Yesus Kristus yang tersalib
dan bangkit - sebagai tindakan penyelamatan Allah yang eskatologis. Kristus
yang seperti inilah yang pertama-tama diberitakan dalam kerugma gereja paling
dini, bukan dalam pemberitaan dari Yesus historis.
Yesus historis, sebagaimana terungkap dalam Injil Sinoptik adalah
seorang guru dan nabi yang mengabarkan "pemerintahan Allah" (the reign of
God) yang eskatologis. Yesus menyampaikan warta ini, di kemudian hari gereja
mula-mula meneruskan warta tersebut. Tetapi, Yesus lebih dari sekadar guru dan
nabi bagi gereja mula-mula: Ia juga adalah Mesias, sehingga gereja
memproklamasikan Dia. Pada masa hidup-Nya, Yesus dipandang sebagai sebagai
Pembawa Berita keselamatan; pada masa setelah "kenaikan-Nya", Ia dipandang
sebagai pokok pemberitaan. Bultmann menyatakan, "He who formerly had been
the bearer of the message, was drown into it and became its essential content. The
proclaimer became the proclaimed." Tetapi, "in what sense?" Jawaban Bultmann
jelas, sang pemberita menjadi inti berita dalam konteks pemberitaan gereja mula-
mula.
Ketika gereja memproklamasikan Kristus sebagai Mesias, hal itu terkait
erat dengan jabatan-Nya sebagai Mesias yang akan datang, yaitu sebagai Anak
Manusia. Gereja mula-mula menantikan kedatangan-Nya sebagai Mesias, bukan
kembaliNya sebagai Mesias. Kedatangan Mesias ini, menurut Bultmann,
menggenapi konsep eskatologi di atas. Maksudnya, Allah telah membangkitkan
Yesus dari Nasaret - guru dan nabi itu yang mati karena disalibkan oleh
pemerintah Romawi, dan menjadikan Dia Mesias, meninggikanNya menjadi
Anak Manusia yang membawa keselamatan sebagai tanda pemerintahan Allah.
Hal ini berarti aktifitas Kristus di dunia pada masa lampau tidak dipandang
sebagai berita mesianik.
Jadi, menurut Bultmann, kerugma dalam PB adalah tindakan proklamasi
eskatologis yang telah dimulai oleh Yesus dengan pemberitaan tentang Anak
Manusia dan diteruskan gereja mula-mula dengan memberitakan Yesus Kristus
yang dibangkitkan sebagai penggenapan pengharapan tersebut. Semasa hidup-
Nya, Yesus hanya pemberita pemerintahan Allah yang eskatologis. Tetapi bagi
gereja mula-mula, kehadiran Yesus dan kisah hidup-Nya selanjutnya (kematian
sampai kenaikan-Nya) dihayati sebagai kegenapan berita yang disampaikan
Yesus. Di dalam Kristus, Anak Manusia itu, pemerintahan Allah dinyatakan.
Konsep inilah yang sering disebut sebagai "peristiwa Kristus" (Christ event).
Pandangan Bultmann tentang teologi ini terkenal dengan teologi kerygma (teologi
Firman). Karya wahyu ilahi menjumpai kita di dalam kerygma, serta membuka
mata hati kita terhadap diri kita sehingga kita memiliki perspektif baru dalam
memandang diri sendiri.15 Inilah “eksistensialis” kongkret. Dengan demikian,
interpretasi eksistensial merupakan jalan untuk mewujudkan kebenaran isi iman
(percaya/kredo) Kristiani, yaitu dengan menunjukkan hubungan antara kebenaran
itu dengan realitas dan kegunaannya bagi eksistensi.
Menurut Bultmann, sasaran teologi adalah Tuhan Allah. Tetapi orang
tidak dapat secara langsung berbicara denganNya. Segala pembicaraan tentang
Allah harus dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu dalam ungkapan-
ungkapan yang berhubungan dengan situasi eksistensial. Maka pernyataan-
pernyataan teologis itu benar dan berlaku jika pernyatan itu bersifat eksistensial.
Manusia menjadi saluran kebenaran ilahi. Orang hanya dapat berbicara dengan
Allah jika berbicara kepada dirinay sendiri tentang eksistensinya.
Meskipun demikian, Bultmann memegang teguh pada sifat transendensi
Allah. Artinya, iman harus diarahkan ke luar iman. Iman timbul karena suatu
pertemuan dengan kejadian historis, yaitu kejadian yang terjadi pada diri Kristus

15
Brown, Colin. Philosophy and Christian Faith…, 190-19
(Christ event). Dalam iman, eksistensi orang digetarkan karena pertemuannya
dengan Allah dalam pemberitaan. Karena itulah pandangan orang menjadi
berubah. Perubahan itu setiap saat harus direalisasikan lagi dalam pertemuan
dengan Allah. Iman hanya berkaitan dengan Kerygma.16Maka iman tidak
berkaitan dengan keyakinan apakah yang historis itu dapat dipercaya atau tidak.17
II.4. Keyakinan Ortodoksi
Alkitab yang merupakan buku tertua di dunia diyakini oleh setidaknya
kaum ortodksi Kristen bukan saja sebagai literatur agma kuno tetapi lebih dari itu
Alkitab diyakini sebagai firman Allah. Alkitab yang adalah firman Allah tidak
muncul begitu saja tanpa penyebab. Keberadaan Alkitab disebakan adanya
pengilhaman Roh Allah yang menguasai dan mendorong hamba-hamba-Nya
untuk menulis Alkitab. Dan oleh karena Alkitab diilhamkan oleh Roh Allah maka
dengan sendirinya Alkitab memiliki wibawa ilahi.18
Sebagai kitab yang diilhami Roh Allah dan yang memiliki wibawa ilahi,
kaum ortodoksi meyakini pula bahwa Alkitab sempurna, tidak mengandung
kesalahan atau yang disebut dengan istilah ineransi. Yang dimaksud dengan
ineransi di sini adalah keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis
dan tanpa salah pada naskah aslinya. Hal ini berarti Alkitab harus dimengerti dari
sudut latar belakang kebudayaan dan standar komunikasi yang ada pada waktu
penulisannya. Bersama dengan itu ada juga praanggapan bahwa Allah yang benar
mampu mengkomunikasikan firman-Nya dengan benar, tanpa salah.19Alkitab
yang ineransi di sini adalah kanon Alkitab yang terdiri dari 66 kitab dan diakui
oleh konsili Kristen di kota Karthago pada tahun 397.20
Dalam proses penulisan Alkitab yang diakui ineransi ada terdapat unsur
manusiawi. Ketika menulis Alkitab, para penulis menulis dalam kesadaran penuh
sebagai manusia. Bahkan bakat, pendidikan dan budaya para penulis terlihat jelas
dalam tulisan masing-masing.21 Adanya unsur manusiawi ini tidak mengurangi

16
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris (Jakarta: BPK-GM, 1999), 71.
17
Brown, Colin, Philosophy.., 191
18
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: GM, 1995), 96-97
19
Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen volume 1, (Bandung: KH), 108.
20
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 52.
21
Ibid, 73.
keyakinan akan ineransi Alkitab karena Roh Allah yang menuntun dan
mengawasi para penulis sehingga mereka dapat menulis sesuai kehendak-Nya
tanpa penyimpangan sedikit pun.22
Diakui bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang terkesan
melemahkan akan keyakinan ineransi. Bagian-bagian tersebut adalah seperti yang
tidak sesuai dengan ilmu modern, pemaparan alam yang fenomenal dan
penggunaan gaya bahasa yang hiperbola.23 Bagian-bagian yang dilematis ini bisa
diluruskan dengan memahami bahwa ineransi Alkitab sebagi ketidakbersalahan
dalam megatakan kebenaran.24 Kebenaran tersebut adalah sesuatu yang
berkoresponden, dengan fakta yang terbuka untuk diteliti dan diverifikasi
ketepatannya.25
III. Kesimpulan
Motivasi awal Bultmann dalam demitologisasinya sangat mulia dan tidak
bermaksud menghina Alkitab. Ia mau menjadikan firman Allah yang ditulis pada
zaman prailmiah dapat dimengerti oleh manusia modern sehinggga sabda Allah dapat
didengarkan. Namun akibat dari teologi Bultmann ini ternyata justru menyerang
Alkitab itu sendiri dari sisi ineransinya – demitologissasi menganggap Alkitab penuh
dengan mitos.
Demitologisasi Bultmann membangun suatu anggapan bahwa selama kurang
lebih 2000 tahun kekristenan telah dibangun dan berkembang di atas dasar mitos-
mitos Alkitab yang tidak dapat dipercaya sehingga akan membuat siapapun menjadi
skeptis tehadap kekristenan. Demitologisasi juga menyangkali isi Alkitab yang
sifatnya supranatural dan sebagai akibatnya adalah kebangkitan Kristus (dianggap
mitos) yang merupakan dasar iman Kristen ikut disangkali. Sebagai puncaknya, yaitu
demitologisasi menyangkali inerasni Alkitab. Alkitab tidak lagi tidak mengandung
kesalahan. Alkitab penuh dengan mitos-mitos yang bukan fakta sejarah. Dan karena
Alkitab penuh dengan mitos maka tentu Alkitab bukan firman Allah melainkan hanya
literatur agama kuno belaka yang berasal dari jemaat mula-mula. Oleh karena

22
Thiessen, ibid, 100.
23
Lukitao, ibid, 109
24
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar volume 1, (Yogyakarta: Andi, 1991), 108.
25
Lukito, ibid, 109
demitologisasi tidak sejalan dengan ineransi Alkitab tetapi justru menyerangnya maka
ditinjau dari perspektif ortodoksi, teologi Bultmann ini sulit untuk diterima. Teologi
Bultmann merusak dasar iman Kristen.
Kesalahan dari demitologisasi adalah adanya praanggapan bahwa Alkitab ditulis
dalam nuansa mitologis. Praanggapan ini muncul karena dilihat bahwa isi Alkitab
berbeda (asing) sekali dengan konteks manusia modern. Perbedaan itu ada karena
Alkitab ditulis dalam konteks ‘dunia’ para penulis yang tentu saja jauh berbeda
dengan konteks dunia modern. Jadi perbedaan ini adalalah wajar muncul. Tetapi
dengan adanya perbedaan bukan berari isi Alkitab mitos. Dengan demikian
praanggapan dari demitologisasi tidak dapat diterima. Kesalahan lain demitologisasi
terletak pada metode penafsirannya. Dalam mengupas mitos Alkitab, Bultmann
menggunakan penafsiran eksistensial, yang sifatnya tidak objektif melainkan
subjektif, yang kebenarannya bergantung pada perasaan penafsir semata. Dengan
subjektifitas ini apakah demitologisasi masih bisa dijadikan sebagai pegangan dalam
menemukan pesan firman Allah? Tentu tidak!
Maksud mulia Bultmann yang mau memberitakan Injil kepada manusia modern
sehingga membuatnya menempuh jalan demitologisasi memang patut dihargai namun
Bultmann lupa bahwa hanyalah pekerjaan Roh Allah saja yang mampu menjamah
hati manusia hingga manusia itu menerima Injil, bukan demitologisasi.
IV. Daftar Pustaka
Abineno J.I. CH., Rudolf Bultmann dan Theologinya, BPK Gunung Mulia: Jakarta,
1989.
Conn, Harvei M. Teologi Kontemporer, Malang: SAAT, 2000.
Hadiwijoyo Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-GM, 1999.

Lane, Tony Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-GM, 2001.
Lukito Daniel Lucas, Pengantar Teologi Kristen volume 1, Bandung: KH.
Ryrie Charles C, Teologi Dasar volume 1, Yogyakarta: Andi, 1991.
Soedarmo R, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2002.
Susabda Yakub B., Seri Pengantara Teologi Modern volume 1, Jakarta: LRII, 1990.
Thiessen Henry C, Teologi Sistematika, Malang: GM, 1995.
Wellem F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2000.
Sumber Lain:
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html

Anda mungkin juga menyukai