Anda di halaman 1dari 2

Nama : Intan Pramesti

Anjani

Nim : 2108304037
Kelas : IAT 3 A
Resume : Hermeneutika

Memahami Sebagai Menyingkap


Rudolf Butman dan Hermeneutik Demitologisasi

Rudolf Karl Bultmann (1884-1976 Lahir di Kita Wiefelstede (Oldenburg) di Jerman Utara pada
tanggal 20 Agustus 1884 dari keluarga pendeta Luthern. Sebagai pendeta, ayahnya terbuka
terhadap perkembangan ilmu masa itu, sehingga “Iklim Liberal” sedikit banyak telah di sediakan
di dalam keluarga Bultmann. Meski banyak hal dipelajarinya dari Heidegger, kita tidak dapat
menyebut Bultmann seorang Heideggerian. Dia mengembangkan arah sendiri yang kritis
terhadap filsafat pada umumnya dan filsafat Heidegger pada khususnya, karena pada dasarnya ia
adalah seorang teolog yang tentu bertolak dari presuposisi-presuposisi iman Kristiani.

Namun tidak sedikit juga di kalangan Kristiani yang mengapresiasi Bultmann sebagai seorang
yang berhasil membuat Injil dapat dipahami oleh orang modern. 137 Untuk kita yang
mempelajari hermeneutik kontemporer, demitologisasi merupakan sebuah metode yang patut
dipelajari. Presuposisi Eksegesis dan Perjumpaan Eksistensial Alkitab, kitab suci umat Kristiani
yang terdiri - atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sudah sejak lama menjadi bahan
penelitian ilmiah yang cermat. Proses penelitian ilmiah itu dikenal dengan istilah Yunani
"exegesis" yang diterjemahkan menjadi eksegesis dalam bahasa kita.

Eksegesis dapat dijelaskan sebagai sebuah proses penelitian sistematis untuk menemukan makna
yang rasional dan koheren dari sebuah ayat Alkitab. Agar makna itu ditemukan, seorang
ekseget, yakni orang yang melakukan eksegesis, juga mempelajari bahasa asli Alkitab, yaitu
bahasa Hibrani atau Yunani. Dalam rangka mencari obyektivitas itu mereke membresihkan diri
dari presuposisi-presuposisi, seperti misalnya, minat- minat khusus yang terkait dengan konteks
zaman mereka. Menurut Bultmann presuposisi metode historis yang tidak dapat dihindari oleh
seorang ekseget adalah anggapan bahwa sejarah merupakan sebuah "kesatuan tertutup" aliran
peristiwa-peristiwa yang terangkai dalam hubungan sebab dan akibat yang berciri empiris.

Metode historis mengandaikan bahwa aliran peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta sejarah itu
merupakan sebuah "sistem tertutup" yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan-kekuatan
supranatural. Menurut Bultmann dari sudut pandang metode historis kisah-kisah mukjizat itu
seperti "bahasa asing" yang diucapkan di masa silam yang jauh sehingga tidak dimengerti oleh
pembaca dari zaman sekarang. Baginya memahami bukan sekadar seni atau metode ilmiah,
melainkan lebih spesifik lagi sebagai demitologisasi. Di dalam wawasan dunia ilmu ilmu alam
itu peristiwa-peristiwa mukjizat seperti dikisahkan di dalam kitab-kitab suci merupakan
gangguan atas proses- proses alamiah, maka ilmu ilmu alam tidak dapat menerima kebenaran
kisah kisah tersebut.

Demitologisasi ala ilmu-ilmu alam berarti menyingkirkan kisah-kisah itu sebagai mitos- mitos,
yaitu hal-hal yang tidak faktual. Wawasan dunia ilmu-ilmu alam itu juga dapat diambil oleh
ilmu sejarah, sehingga demitologisasi juga berlangsung dalam pemahaman sejarah.
Demitologisasi yang dilakukan oleh sejarawan ini juga menyingkirkan peristiwa peristiwa
supranatural dari sejarah karena "mengganggu" mekanisme kekuatan-kekuatan historis,
ekonomi, politik, kebudayaan yang imanen di dalam sejarah. Demitologisasi menurut Sains
Mengobyek tifkan dunia sebagai sistem tertutup yang terdiri atas hubungan hubungan kausal
yang faktual Mitos dianggap fiktif belaka, maka harus disingkirkan Demitologisasi menurut
Bultmann Menyatakan intensi otentik mitos untuk berbicara tentang realitas otentik manusia
Mitos memiliki dasar pada eksistensi manusia, maka harus diinter pretasi agar dapat dipahami
oleh manusia modern Bultmann mengkritik positivisme dalam ilmu sejarah itu dan mengambil
perspektif eksistensial yang dapat kita temukan juga pada Heidegger dalam Sein und Zeit.

Seperti Heidegger, Bultmann juga berpendapat bahwa manusia dapat bereksistensi secara
otentik ataupun inotentik. Namun berbeda dari Heidegger, menurut Bultmann eksistensi otentik
tidak muncul begitu saja, melainkan dimungkinkan oleh Allah. Suatu interpretasi sejarah
sebagai fakta belaka yang tidak melibatkan penafsir untuk mengambil keputusan eksistensial
merupakan sikap inotentik. Kesimpulan Bultmann disini tidak menerangkan memahami sebagai
konsep praktis seperti yang di pikirkan oleh Heidegger, meskipun dia berbicara tentang

Anda mungkin juga menyukai