Anda di halaman 1dari 14

P-ISSN: 0853-8603, E-ISSN: 2685-0087; 32-49

https://journal.ptiq.ac.id/index.php/alburhan

POSITIVISME SEBAGAI ERA BARU FILSAFAT (Sejarah Kelahiran dan


Perkembangan Positivisme)

POSITIVISM AS A NEW ERA OF PHILOSOPHY (History of the Birth and


Development of Positivism)

)‫الوضعية كعصر جديد من الفلسفة (تاريخ والدة الوضعية وتطورها‬

1Nurhasana

nurhasana@mhs.ptiq.ac.id

Abstrak
Positivisme adalah filsafat awal dan dasar munculnya ilmu pengetahuan serta hadir
sebagai kritik atas pemahaman yang menjamur pada abad pertengahan yaitu metafisik.
Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran menurut metodologi ilmiah yang dapat dan
diukur selanjutnya menjadi hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari
kebenaran yang dirangkum menjadi hukum alam. Berbeda dengan metafisik yang tidak dapat
diamati dan diukur karena pencarian kebenaran berdasarkan akal budi manusia. Perbedaaan
pengalaman manusia akan menjadi perbedaan dalam menentukan kebenaran, sehingga pada
metafisik kebenaran bersifat abstrak. Aliran positivisme merupakan salah satu aliran dalam
filsafat modern. Perkembangan filsafat pada zaman modern secara umum dapat dinyatakan
sebagai masa “modern”, dapat dilihat dari berbagai sisi adanya perubahan mental yang
menunjukkan perbedaan bila dibanding dengan masa-masa terdahulu atau masa pertengahan.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya. Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia. Sebagai aliran
filsafat, positivisme mendasarkan diri pada pengetahuan empiris.
Kata Kunci: Filsafat Positivisme

Abstract
Positivism is the initial philosophy and basis for the emergence of science and exists as a
criticism of the understanding that mushroomed in the Middle Ages, namely metaphysics.
Positivism is based on proving truth according to scientific methodology which can be measured
and then become laws which become the main reference in searching for truth which is
summarized as natural law. This is different from metaphysics which cannot be observed and
measured because the search for truth is based on human reason. Differences in human experience
will be differences in determining truth, so that in metaphysics truth is abstract. Positivism is one
of the schools in modern philosophy. The development of philosophy in the modern era can
generally be described as the "modern" period, it can be seen from various aspects of mental
changes that show differences when compared with previous or medieval times. Positivism
attempts to explain scientific knowledge in terms of three components, namely theoretical
language, observational language and the rules of correspondence that link the two. Positivism is
considered a milestone in scientific progress in the world. As a philosophical school, positivism is
based on empirical knowledge.
Keywords: Positivism Philosophy

32
‫‪Nurhasana‬‬

‫امللخص‬
‫الوضعية يه الفلسفة ا ألولية وا ألساس لظهور العمل‪ ،‬ويه موجودة كنقد للفهم اذلي انترش يف العصور الوسطى‪ ،‬أأي امليتافزييقا‪ .‬تقوم‬
‫الوضعية عىل اثبات احلقيقة وفق مهنجية علمية ميكن قياسها ومن مث تصبح قوانني تصبح املرجع ا ألسايس يف البحث عن احلقيقة اليت‬
‫تتلخص يف القانون الطبيعي‪ .‬وهذا خيتلف عن امليتافزييقا اليت ال ميكن مالحظهتا وقياسها‪ ،‬ألن البحث عن احلقيقة يعمتد عىل العقل‬
‫البرشي‪ .‬ان الاختالفات يف التجربة االنسانية س تكون اختالفات يف حتديد احلقيقة‪ ،‬حبيث تكون احلقيقة جمردة يف امليتافزييقا‪ .‬الوضعية‬
‫يه احدى مدارس الفلسفة احلديثة‪ .‬ميكن وصف تطور الفلسفة يف العرص احلديث معو ًما ابلفرتة "احلديثة"‪ ،‬وميكن رؤيهتا من خالل‬
‫جوانب خمتلفة من التغريات العقلية اليت تظهر اختالفات عند مقارنهتا ابلعصور السابقة أأو العصور الوسطى‪ .‬حتاول الوضعية تفسري املعرفة‬
‫العلمية من خالل ثالثة مكوانت‪ ،‬ويه اللغة النظرية‪ ،‬ولغة املالحظة‪ ،‬وقواعد املراسالت اليت تربط االثنني‪ .‬تعترب الوضعية عالمة فارقة‬
‫يف التقدم العلمي يف العامل‪ .‬ابعتبارها مدرسة فلسفية‪ ،‬تعمتد الوضعية عىل املعرفة التجريبية ‪.‬‬
‫اللكامت املفتاحية‪ :‬الفلسفة الوضعية‬

‫‪33| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.‬‬
Nurhasana

Pendahuluan
Sejarah dan perkembangan filsafat ilmu sangat erat kaitannya dengan bidang
seni budaya, keagamaan, peradaban manusia hingga pada birokrasi
kenegaraan/kerajaan, yang berlangsung sangat sulit, tersendat-sendat dan mengalami
pasang surut karena dianggap menjadi ilmu yang sesat, melawan ajaran agama dan
banyak menentang kebijakan negara/pemimpin. Kondisi ini justru tidak membuat para
pemikir/tokoh filsafat berhenti berfikir. Para tokoh pemikir filsafat ilmu justru malah
semakin bermunculan, dengan berbagai macam aliran dan kekhasan keilmuwan yang
semakin kekinian.
Peradaban dan perkembangan kebutuhan akan gaya atau pola berfikir pada
manusia, membuat kajian filsafat ilmu justru semakin berkembang babak demi babak,
mulai dari filsafat klasik, filsafat abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat
kontemporer. Filsafat klasik di dominasi oleh aliran: aliran miletos, filsafat alam, aliran
Pythagoras, aliran elea, aliran pluralis, aliran atomis, aliran sofis. Pada filsafat abad
pertengahan didominasi dengan doktrin-doktrin keagamaan aliran gereja (Kristen) dan
doktrin peminpin kerajaan. Selanjutnya pada filsafat modern didominasi oleh aliran
pragmatisme, fenomenologi, animisme, naturalisme, idealisme, eksistensialisme,
rasionalisme, empirisme dan positivisme sedangkan filsafat kontemporer didominasi
oleh kritik terhadap filsafat modern.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial,
konseptual maupun historical karena munculnya ilmu tidak bisa lepas dari peranan
perkembangan filsafat dan sebaliknya perkembangan ilmu juga akan memperkuat
keberadaban kajian filsafat. Ilmu pengetahuan pun juga tidak bisa dilepaskan dari
filsafat, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sangat menarik sekali untuk dikaji,
hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta yang salah satunya berisi hukum-hukum
alam yang diperoleh dari sains juga tidak bisa dianggap memiliki kebenaran yang kekal.
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstential yang artinya sangat
erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Bahkan dapat dikatakan
filsafat lah yang menjadi penggerak kehidupan manusia sehari-hari sebagai manusia
pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam bentuk kelompok masyarakat atau
suatu bangsa.
Zaman ini ditandai dengan suatu peranan pikiran-pikiran ilmiah atau yang
sering kita sebut sebagai ilmu pengetahuan modern. Tokohnya adalah Aguste Comte,
Latar belakang lahirnya pemikiran Comte yang didasari dengan pemikiran positif
ternyata muncul sebagai reaksi yang ditimbulkan karena trauma yang mendalam yang
dialami masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Ia menganggap bahwa
keterbelakangan manusia disebabkan karena adanya belenggu dan ikut campur sebuah
agama. Agama dituduh sebagai ‘biang kerok’dari kehidupan yang terbelakang. Itulah
mengapa tahap ‘teologis’ dalam Hukum Tiga Tahap ditempatkan pada tingkatan paling
awal. Bahkan aliran ini disebut dengan aliran “anti teologi”.1
Ilmu harus berkembang tidak boleh stagnan ketika hanya di situ saja dan tidak
ada perkembangan maka akan mati. Seperti yang dicanangkan oleh Descartes cogito
ergo sum (Tom Sorel 1994) ketika kamu tidak berpikir maka kamu tidak akan
menemukan teori baru di zaman baru, dan ketika kamu tidak menemukan teori baru,
kamu tidak akan berguna dan akan di makan oleh zaman. itulah yang dilakukan oleh

1
Comte, Auguste. The Positive Philosophy of Auguste Comte. New York: Calvin Blanchard, 1858.

34| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

Comte dalam perkembangan bentuk keilmuan. Artinya Comte memikirkan bagaimana


pola pikir masyarakat dengan munculnya zaman baru harus ditandai juga dengan pola
pemikiran yang baru tidak hanya stagnan dalam dunia-dunia hayalan yang bersifat
metafisis, maka solusi yang ditawarkan oleh Comte adalah positivisme.
Cita-cita Comte untuk menjauhkan belenggu agama dari masyarakat dan beralih
kepada pemikiran yang serba positif ternyata tidak sepenuhnya terkabul. Pada
kenyataannya agama masih menjadi aspek substansial dalam kehidupan manusia.
Namun di sisi lain juga tidak dapat dipungkiri bahwa peran serta pemikiran positivisme
ini ternyata membawa perubahan dalam ranah akademis (agama).2
Aliran positivisme memandang ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik, tidak
mengenal spekulasi/ramalan, semua didasarkan pada data yang bersifat empiris.
Pemikiran positif merupakan pengetahuan yang faktual dengan gejala yang tampak
seperti apa adanya hingga menjadi sebuah batas pengalaman. Ketika filsafat ilmu sudah
tidak bisa berkembang, pemikiran manusia sudah mencapai titik klimaks maka
disitulah peradaban manusia berhenti.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian
yang menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan
hasil penelitian terdahulu. Dengan metode ini, penulis akan lebih mudah mengkaji dan
menyelesaikan permasalahan dari berbagai sumber yang diakui kebenarannya, baik dari
artikel-artikel jurnal yang bereputasi dan sudah dipublikasikan dan juga dari buku-buku
yang sudah diterbitkan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Pada pembahasan di atas telah disebutkan bahwa ada hubungan yang tidak
dapat terpisah antara filsafat dan ilmu. Dari rasa keingintahuan seseorang saat
berfilsafat, maka akan memunculkan teori ilmiah yang nantinya akan berkembang
menjadi sebuah ilmu pengetahuan.3 Ketika aliran sebuah aliran filsafat sangat
menekankan pada aspek empiris, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh pun
cenderung menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat empiris pula. Ilmu yang ia lahirkan
dapat dibuktikan secara ilmiah.4
Filsafat adalah cinta kebenaran dan cinta kebijaksanaan, filsafat dipandang
sebagai usaha mencari fakta dan nilai dengan tanpa kekeliruan. Filsafat merupakan
salah satu sumber kebenaran yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berfikir,
bersikap dan bertindak, baik untuk menjalankan rutinitas kegiatan seharian maupun
untuk memecahkan suatu permasalah. Menurut Plato (427-347 SM), filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang hakekat. Bagi Aristoteles (384-322 SM), filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika dan
pengetahuan praktis. Sementara itu, Immanuel Kant (1724-1804) merumuskan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dan puncak segala pengetahuan

2
Lalu M. Syamsul Arifin, “Filsafat Positivisme Aguste Comte Dan Relevansinya Dengan Ilmu-Ilmu
Keislaman,” Jurnal Imu-Ilmu Sosial 12, no. 2 (2020): 69.
3
Pinangkaan, Allesandro. “Realita Hubungan Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan
Filosofis,” 2014.
4
Biyanto. Filsafat Ilmu Dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

35| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

yang empat persoalan yaitu: 1) Apa yang dapat kita ketahui (Metafisika), 2) Apa yang
seharusnya dilakukan (Etika), 3) Sampai dimanakah harapan kita (Agama) dan 4) Apa
hakikat manusia (Antropologi).
Filsafat adalah upaya manusia untuk mendapatkan hakikat segala sesuatu.
Apakah setiap upaya manusia menjawab persoalan hidup dapat dikatakan berfilsafat?
Tentu tidak. Ada tiga ciri utama hingga dapat dikatakan berfilsafat, yaitu (a) Universal
(menyeluruh) yaitu pemikiran yang luas dan tidak pada aspek tertentu saja, (b) Radikal
(mendasar), yaitu pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental dan
essensial, (c) Sistematis, yaitu mengikuti pola dan metode berpikir yang runtut dan logis
meskipun spekulatif.
Beberapa penulis menambahkan ciri-ciri lain, yaitu: (a) Deskriptif, yaitu suatu
uraian yang terperinci tentang sesuatu, menjelaskan mengapa sesuatu berbuat begitu,
(b) Kritis, yaitu mempertanyakan segala sesuatu (termasuk hasil filsafat), dan tidak
menerima begitu saja apa yang terlihat sepintas, yang dikatakan dan yang dilakukan
masyarakat, (c) Analisis, yaitu mengulas dan mengkaji secara rinci dan menyeluruh
sesuatu, termasuk konsep-konsep dasar yang dengannya kita memikirkan dunia dan
kehidupan manusia, (d) Evaluatif, yaitu dikatakan juga normatif, maksudnya upaya
sungguhsungguh untuk menilai dan menyikapi segala persoalan yang dihadapi
manusia. Penilaian itu bisa bersifat pemastian kebenaran, kelayakan dan kebaikan, (e)
Spekulatif, yaitu upaya akal budi manusia yang bersifat perekaan, penjelajahan dan
pengandaian dan tidak membatasi hanya pada rekaman indera dan pengamatan
lahiriah.

Perjalanan Intelektual Aguste Comte


Aguste Comte yang lahir pada 19 Januari di Montpellier Prancis bagian selatan
tahun 1798 dan meninggal dunia di kota Paris pada 5 September 1857. Ayah Comte
seorang beragama Katolik yang saleh dan termaksud kaum “royalis” yang menentang
revolusi. Pada usia 14 tahun Comte menytakan diri bahwa secara alamiah ia berhenti
percaya pada Tuhan dan ia menjadi diri seorang “republikan”. Comte menggeluti bidang
Politeknik sejak tahun 1814-1816 di kota Paris dan menjadi sekretaris Saint-Simon pada
tahun 1817.
Tujuan politeknik tempat Comte belajar adalah untuk mendidik calon insinyur
militer, akan tetapi lantas politeknik itu beralih fungsi menjadi sekolah biasa.
Pembelajarannya di politeknik sevagai modal awal bagi Comte untuk menciptakan
suatu masyarakat modern yang dipimpin oleh kelompok kaum elit baru. Sewaktu
politeknik itu dikuasai oleh kaum royalis, Comte diusir dari sekolah itu, motifnya jelas
karena antara Comte dan kaum royalis memiliki ideologi dan keyakinan yang berbeda.
Sehingga membuat Comte diusir dari politeknik itu, justru karena pengusirannya
Comte tidak patah semangat untuk memodernkan masyarakat yang masih bersifat
tradisionalis.
Modal utama Comte dalam berfilsafat menuju kepositivistik tidak bisa
ditinggalkan dari pembelajarnnya terhadap para filosof-filosof terdahulu. Filosof itu

36| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

antara lain Adam Smith5, David Hume6, dan Condorcet7, yang dianggapnya sebagai
karya pendahulunya yang penting dalam berfilsafat. Comte selama beberapa tahun
menjadi sekretaris Sain Simon (tokoh sosilais utopis) dan selama bebrapa tahun ia juga
berteman dengan J. S Mill8, seorang tokoh liberalis Inggris terkemuka di era
pencerahan. Selama berteman dengan Simon, Comte sempat menerbitkan buku Plan of
The Scientififc Work Necessary for the Reorganization of Socity yang memuat ide-ide
dasar filsafat positivismenya.
Comte kendati bukan sebagai seorang dosen tetapi ia mengajar pada kelompok-
kelompok pendengar yang isinya merupakan perluasan dari filsafat positivismenya.
Kuliah-kuliah dilakukan oleh Comte untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari.
Semasa hidupnya Comte menyelesaikan beberapa karya yang telah disusun selama 12
tahun (dari tahun 1830-1842). Karyanya itu terdapat enam jilid dan diberi judul Course
de Philosophie Positive. Buku ini pertama kali terbit 1830 dan jilid berikutnya terbit
sejalan dengan upaya Descartes9 dalam “Discourse de la Methode” atau I Espirit Human
dari Montesqui. Buku ini adalah karya intelektual yang sangat luas dan ambisius. Buku
itu hendak menjawab pertanyaan besar dalam filsafat. Seperti; Bagaimana kita dapat
mengetahui dunia? Apa itu manusia? Apa itu masyarakat? Bagaimana hidup bersama
bisa dilakukan?
Karyanya yang lain berjudul “Systeme de politique Positive” sangat jauh berbeda
dengan karyanya yang pertama. Buku ini mengemukakan gagasan tentang “Agama
Humanistik”. Agama humanistik adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan.
Gagasan Agama Humanistik ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bersama istrinya
Clotilde de Vaux. Pertemuan dengan istrinya yang tidak lain sebagai bekas
mahasiswinya sendiri yang telah berpisah dari suaminya yang sakit dan tanpa harapan

5
Adam Smith nama lengkapnya John Adam Smith yang lahir pada 5 Juni 1732 dan meninggal pada
17 Juli 1790. Ia sebagai seoarng filosof berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi
modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations ini sebagai buku yang pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan
perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Ia juga
menjadi salah satu pelopor sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi mulai terkenal di Eropa pada abad
18 dan mulai merebah di sana pada abad 19 melalui kepiwaian Adam Smith.
6
David Hume yang lahir pada 26 April 1711 dan meninggal pada 25 Agustus 1776 adalah seoarang
filosof, ekonom, dan sejarawan asal Skotlandia. Ia dimasukan sebagai salah satu figur penting dalam
filsosof Barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebnayakan ketertarikan karya Hume berpusat pada
tulisan filosofi, justru sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya yang
berjudul History of England merupakan karya dasar dari sejarah Inggris untuk 60 sampai 70 tahun sampai
karya Macauliy muncul.
7
Condorcet atau namanya Marie Jean Antonie Nicolas Caritat lebih dikenal dengan Marquis de
Condorcet seoarang filosof yang membawa pencerahan di Prancis (French Enlightment). Terkait untuk
pencerahan ia menyusun sebuah ensiklopedia unutuk segala pengetahuan. Sebagai seroang wartawan
dan pendukung tahap awal Revolusi Prancis, ia menjadi anggota DPR selama fase radikal di pemerintahan
Prancis. Dalam keanggotannya, Condorcet memiliki pandangan tersendiri mengenai konstitusional dan
memiliki sikap anti terhadap kekerasan yang dilakukan pemerintahan radikal.
8
John Stuart Mill yang lahir di London pada 20 Mei 1806 dan meninggal di Prancis pada 8 Mei 1873
adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial.
Ayahnya, James Mill adalah seoarng sejarawan dan akdemisi. Mill mempelajari psikologi yang dijadikan
pusat filsafatnya. Sejak kecil ia sudah belajar bahasa Yunani dan latin dan pada usia 20 tahun ia belajar
kimia dan matematika.
9
Rene Descartes juga dikenal sebagai Renatus Cartesius yang lahir pada 31 Maret 1506 dan
meninggal pada 11 Februari 1650 di Swedia. Ia seorang filosof dan matematikawan Prancis. Ia dinobatkan
sebagai bapak filosof modern Barat, karya terpentingnya adalah Discours de la method.

37| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

untuk sembuh. Pada thaun 1845 ia menikah dengan istrinya ironisnya satu tahun
kemudian istirnya meninggal dunia itu yang membuat ia menulis buku perihal agama
humanistik.
Bila dalam karya yang pertama Comte menolak akan adanya Tuhan, berbeda
terbalik dengan karyanya yang ini. Comte sangat mempercayai dengan kehadiran
agama (Tuhan) setelah istrinya meninggal. Kesedihan yang mendalam inilah yang
memunculkan gagasan Comte tentang agama humanitas comte yaitu isi ajarannya
berdasarkan positivisme dan nilai-nilai kemanusiaan. Comte menyakini bahwa sebelum
tahun 1860, agamanya akan diyakini oleh masyarakat dan dikhotbahkan dalam gereja
Notre Dame sebagai satu-satunya agama yang benar.
Meskipun agama humanitas Comte tidak sesuai apa yang dicita-citakan Comte,
tapi nilai-nilainya humanisme telah menggantikan agama Kristen dalam masyarakat
Eropa. Adapun gagasan Comte (positivisme) banyak berperan dalam membentuk dunia
ilmiah. Comte yang terpengaruhi oleh pandangan empirisme, lalu menolak unsur-
unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah pengetahuan (Akhyar Yusuf Lubis
2016). Comte (positivisme) mencoba untuk membebaskan klaim-klaim metafisik dari
ilmu pengetahuan. Comte melihat fakta berbeda dengan nilai, fakta dapat dipisahkan
dari nilai-nilai positivisme, ia hanya menerima pengetahuan factual, fakta positif, yaitu
fakta yang terlepas dari kesadaran individu.

Positivisme sebagai Era Baru Filsafat


Positivisme berasal dari bahasa Inggris, yakni positivism atau positivus yang
berarti meletakkan. Positivis merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang
menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme
merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari suatu
filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang
berpendirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada
peristiwa-peristiwa positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia.”10
Oleh karena itu, pulalah positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan
“hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta- fakta. Tugas khusus
filsafat ialah mengordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan, yang beraneka ragam coraknya.
Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh
empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan
empirisme yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber
pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-
fakta belaka.11
Sejarah menjelaskan pada abad ke 19 muncullah aliran filsafat positivisme yang
diprakarsai oleh August Comte (1798-1857) yang mana merupakan kelanjutan dari aliran
empirisme tapi dalam bentuk yang lain yang lebih objektif. Auguste Comte merupakan
tokoh aliran positivisme yang lahir di Montpellier, Perancis dari sebuah keluarga yang
beragama Katolik dan merupakan tokoh yang paling terkenal.12 Pemikiran Comte
kemudian disebut dengan aliran filsafat postivisme yang mana aliran ini disebut sebagai

10
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm.99
11
uhaya S. Praja, Aliran- Aliran Filsafat dan Etika Prenada, Media Jakarta 2003, hlm.133
12
Ibid

38| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

aliran yang menekankan aspek faktual pengetahuan. Aliran positivisme yang


berkembang pada abad 19 ini juga diartikan dengan aliran filsafat yang meyakini bahwa
ilmu-ilmu alam adalah satu-satnya sumber pengetahuan yang benar, sehingga studi
filosofis atau metafisik akan ditolak dalam aliran ini.13
August Comte yang dikutip oleh Karmillah mendefiniskan terminologi positive
kepada lima hal, yaitu:14
a. Lawan dari suatu yang bersifat khayal. Sehingga positif diartikan sebagai sesuatu
yang nyata. Objek yang menjadi sasaran haruslah didasarkan pada kemampuan
akal.
b. Sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
c. Sebagai lawan dari sesuatu yang meragukan. Sebab, positivisme merupakan
pengidentifikasian dari sesuatu yang bersifat pasti.
d. Sebagai lawan dari sesuatu yang bersifat kabur. Pemikiran positivisme sangat
menekankan kepada hal yang jelas dan tepat.
e. Sebagai lawan dari sesuatu yang bersifat negatif. Karena pemikiran positivisme
merupakan pemikiran yang dibuat dalam rangka penertiban cara berpikir ke
arah yang lebih baik.
Aliran positivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat modern.
Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti,
faktual, nyata, dan berdasarkan data empiris yang berarti aliran filsafat ini beranggapan
bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
Pada dasarnya, positivisme adalah sebuah filsafat yang menempatkan pengetahuan
yang benar jika didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aliran positivisme adalah suatu
aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik.
Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi dan ilmu gaib. Positivisme dianggap bisa
memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan dikatakan sebagai satu-
satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan akurasinya
dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Positivisme adalah aliran nyata, bukan khayalan yang artinya menolak metafisika
(pengetahuan non fisik/tidak kelihatan) dan teologik (pengetahuan agama dan kitab
suci). Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata
(real), berguna (useful), tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah-kaidah alam tidak
pernah disederhanakan menjadi satu kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari
perbedaan-perbedaan. Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena
ilmu yang menurutnya serapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai akal
dalam pembandingannya dan etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu.
Kehadiran aliran filsafat positivisme merupakan respon dari ketidakmampuan
filsafat spekulatif, seperti ajaran idealisme. Aliran filsafat ini sangat mendewakan ilmu
dan metode ilmiah. Bahkan metode ilmiah telah dikembangkan oleh pemikiran
positivisme sehingga wajah kebaruan dalam filsafat semakin terlihat. Menurut Comte,

13
Biyanto, Filsafat Ilmu Dan Ilmu Keislaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
14
Karmillah, Imroati. “Filsafat Positivisme Dan Pendidikan Islam Di Indonesia.” Murabby: Jurnal
Pendidikan Islam 10, no. 1 (2020): 181–82.

39| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

ada tiga tahap perkembangan manusia, puncak tertingginya ialah tahap positif.
Tahapan tersebut berupa tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positivistic.15
Fase teologis (tahapan agama/religi dan ketuhanan) menjelaskan bahwa
manusia mengarahkan pandangan kepada hakikat batiniah (sebab pertama) semua
fenomena yang terjadi kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak dan merupakan
kehendak Tuhan. Tahap ini adalah tahap yang paling mendasar bagi perkembangan
manusia. Dalam tahap inilah manusia selalu mencari sebab yang utama dan tujuan yang
akhir segala sesuatu yang ada. Manusia selalu mengarhakan rohnya kepada hakikat
batiniah segala seusatu “sebab Pertama” dan “tujuan akhir” sebagai sesuatu.16 Mereka
selalu menggapkan segala kehidupan di dunia ini akan kembali kepada yang satu itu,
karena yang satu itu sebagai pusat dari keterkembalian manusia. Gejala yang selalu
menarik perhatian manusia selalu disangkut pautkan dengan sesuatu yang mutlak.
Karena itu dalam tahap ini mansuia selalu mempertanyakan hal-hal yang sukar sejalan
dengan tingkah laku dan perbuatannya.
Fase ini dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Animisme, Tahap animisme ini merupakan tahapan yang paling primitif, karena
benda- benda sendiri dianggap mempunyai jiwa.
b. Politeisme. Tahap Politeisme ini merupakan perkembangan dari tahap pertama,
dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing- masing
menguasai suatu lapang tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan
sebagainya.
c. Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya karena
pada tahap ini manusia hanya memandang satu Tuhan. 17
Baik fetisyisme maupun politeisme akan berkembang dalam masyarakat yang
masih terkungkung dan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang
menguasai kehiduaon manusia. Dengan kata lain fetiyisme dan politeisme akan
berkembang dalam masyarakat yang kehidupan dan pola pikirnya masih primitif.
Dalam bentuk monoteisme kepercayaan mereka berubah menjadi bentuk dogma-
dogma agama, dan bersamaan dengan itu masyarakat berkembang menuju bentuk
kehidupan yang diperintah oelh raja yang menyatakan diri sebagai wakil Tuhan di
samping lahirnya para rohaniawan yang bertugas untuk menjadi penterjemah dan
perantara dengan Tuhan, sebagaimana ditentukan oleh agama.
Fase metafisis (tahapan filsafat) menjelaskan bahwa fenomena-fenomena atau
sifat yang khas manusia adalah kekuatan yang tadinya bersifat adikodrati diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan
dengan alam yang terjadi dengan pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi
dan aksiden, esensi dan eksistensi.
Dengan berakhrinya tahap monoteisme berakhir pula tahap teologis. Ini
disebabkan manusia mulai merubah cara-cara berpikirnya dalam usahanya untuk
menemukan dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
gejala-gejala alam. Dogma-dogama agama ditinggalkan, kemampuan akal budi

15
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte (New York: Calvin Blanchard, 1858).
16
Udi Mufradi Mawardi Maulana. 2009. “Auguste Comte dan Ide Positivismenya.” Jurnal Al-Fath 1:
32–39.
17
Koento Wibisono Siwomiharjo. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivism Aguste Comte.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1996.

40| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

dikembangkan. Tahap metafisik menurut Comte adalah tahap peralihan sebagaimana


dialami oleh setiap orang yang selalu bertumbuh kembang.
Walaupun dalam tahap metafisik ini manusia masih menunjukan hal-hal yang
tidak berbeda pada masa teologis, namun di sini mansuia sudah mampu melepaskan
diri dari kekuatan yang dikodrati dan beralih pada kekuatan abstraknya.18 Dalam tahap
ini ditandai dengan adanya satu kepercayaan ini manusia akan hukum-hukum alam
secara abstrak yang diilustrasikan dengan bentuk pemikiran yang bersifat filosofis,
abstrak dan universal.19
Pada saat inilah istilah ontolgi mulai digunakan. Karena itulah jiwa mansuia pada
tahap ini sering mengalami konflik, karena suasana diri manusia yang kadang masih
terpengaruh dengan suasana teologik masih dirasakan. Sedangkan pada sisi yang lain
kemampuan abstraksi sudah mulai dirasakan untuk membebaskan kekuatan yang
datang dari luar. Dengan adanya pertentangan ini akhirnya akal budi yang menjadi
penolong dalam menyelesaikan semua problematika yang ada pada jiwa manusia.
Sehingga berkat kemampuan berabstraksi tadi, manusia mampu pula menerangkan
hakikat atau substansi dari segala yang ada.
Sedangkan fase ilmiah/positif menjelaskan tentang manusia yang telah mulai
mengatahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafis tidak ada gunanya.
Manusia dapat membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar
fakta tersebut atas dasar observasi dan akal pikiran.20
Tahap positif merupakan puncak dari pengetahuan manusia. Jika diibaratkan
perkembangan mansuia pada tahap ini sudah mencapi masa dewasa. Pada tahap ini
manusia tidak mencari sebab-sebab peristiwa diluar yang diamati. Tidak lagi mencari
ide-ide absolut, asli, penentu takdir alam semesta, dan penyebab fenomena. Tetapi,
menelusuuri hukum-hukum alam yang menentukan fenomena dengan cara
menemukan rangkian hubungan dari alam itu sendiri (Ichwansyah Tamubolon 2016).
Semaunya mengacu pada fakta-fakta, dari sini ilmu pengetahuan berkembang pesat dan
mencapi perkembannya. Lebih jauh, dalam hal ini ilmu berguna bagi kehidupan
manusia. 21
Dengan kata lain, Comte melihat tahap positif sebagai tahap perkembangan
masyarakat pada saat industrialisasi sudah dapat dikembangkan, disertai peran kaum
cendekiawan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakt secara ilmiah.
Dalam tahap teologi kesatuan keluarga menjadi peran yang sangat sentral, sedangkan
dalam tahap metafisik negara yang merupakan dasar, maka dala positif semua manusia
yang menjadi dasar. Pada tahap ini, Comte membedakan enam macam ilmu, mulai dari
yang paling abstrak; matematika. Ilmu falak, fisika, kimia, ilmu hayat, dan fisika sosial.
Matematika dipandang sebagai ilmu deduktif, sedangkan ilmu lainya ingin mendekati
ciri dedkutif matemtaika itu tanpa pernah berhasil. Yang paling mendekat adalah ilmu

18
Koento Wibisono Siwomiharjo. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivism Aguste Comte.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1996.
19
Chabibi, Muhammad. “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya Terhadap Kajian
Sosiologi Dakwah.” NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam 3 (1): 14–26.
https://doi.org/10.23971/njppi.v3i1.1191. 2019.
20
FX. Adji Samekto, “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal,”
Jurnal Dinamika Hukum 12, no. 1 (2012): 79.
21
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap
Sains,” Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 172.

41| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

falak dan yang paling jauh adalah ilmu fisika sosial. Dengan begitu Comte berusaha
mengadakan kesatuan antara ilmu pasti dan ilmu empiris (Haryono Imam 1995).
Sekarang ini manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-
fakta pengamatan dengan memakai akal sehat. Tahap-tahap tersebut berlaku pada
setiap individu (dalam perkembangan rohani) dan juga di bidang ilmu pengetahuan.
Pada akhir hidupnya, A. Comte berupaya membangun paham baru tanpa teologi atas
dasar filsafat positifnya. Paham baru tanpa teologi ini menggunakan akal dan
mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai
basis, kemajauan sebagai tujuan”. Auguste Comte berkayakinan bahwa pengetahuan
manusia melewati tiga tahapan sejarah, yaitu tahapan Agama dan Ketuhanan, tahapan
filsafat dan tahapan positivisme. Tahapan Agama dan Ketuhanan yaitu tahapan ini
untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada
kehendak Tuhan. Tahapan filsafat, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiolen, esensi
dan akstensi. Sedangkan tahapan positivisme, yaitu menolak bentuk tafsir agama dan
tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam mengupas
fenomena-fenomena.

Perkembangan Positivisme
Perkembangan aliran positivisme melalui tiga tahapan. Tempat utama dalam
positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan
pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh A. Comte dan tentang Logika yang
dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill
dan H. Spencer. Munculnya tahap kedua dalam positivisme–empirio-positivisme
berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang
merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan
ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan
subyektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O. Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain serta
kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah
masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga
komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah
korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual,
sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual
sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional
dengan kaidah-kaidah korespondensi.
A. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya “The Course of
Positivie Philosoph”, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari
semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
terwujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis
antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan
gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat Sejarah Condorcet). Bagi A. Comte untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak

42| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

dapat diganggu gugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu: 1) Metode ini
diarahkan pada fakta-fakta, 2) Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari
syarat-syarat hidup, 3) Metode ini berusaha ke arah kepastian dan 4) Metode ini
berusaha ke arah kecermatan.
A. Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan
penampakan-penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu
semua. A. Comte membagi-bagikan segala gejala ilmu pengetahuan dalam dua hal
gejala yang bersifat organis dan anorganis. Gejala bersifat organis yaitu segala hal yang
bersifat makhluk hidup. Ajaran organis dibagi menjadi dua bagian yaitu: proses-proses
yang berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam
jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah ilmu biologi, yang
menyelidiki proses dalam individu. Kemudian muncul sosiologi yang menyelidiki
gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatannya dan ilmu social baru harus dibentuk atas
dasar pengamatan dan pengalaman (pengetahuan positif).
Gejala yang bersifat anorganis yaitu yang tidak bersifat hidup. Ajaran tentang
segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal yaitu tentang astronomi, yang
mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat raya dan tentang fisika serta kimia
yang mempelajari segala gejala umum yang terjadi dibumi. Menurutnya, pengetahuan
tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding
dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.
Menurutnya dalam mempelajari yang organis harus terlebih dahulu mempelajari
hal-hal yang bersifat anorganis, karena dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang
kimiawi dan mekanis dari alam yang anorganis, contoh: manusia yang makan, yang
mana didalamnya terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu makanan.
Berdasarkan pembagian tersebut, A. Comte menyebutkan enam ilmu-ilmu yang bersifat
fundamental artinya dari ilmu-ilmu tersebut diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat
terapan, diantaranya; 1) matematika, 2) fisika dan astronomi, 3) kimia, 4) fisiologi, 5)
biologi dan 6) ilmu sosial (sosiologi).
Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia. Sebagai aliran
filsafat, positivisme mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahuan yang
diangkat dari pengalaman nyata dan dapat diuji kebenarannya). Ilmu pengetahuan
kemudian diarahkan untuk membangun peradaban manusia dengan cara penguasaan
terhadap alam semesta. Teknologi-teknologi canggih diciptakan, penelitian-penelitian
besar dilakukan dan omong kosong yang tidak berguna akan dijauhi.

Kesimpulan
Aliran positivisme adalah aliran nyata, bukan khayalan yang artinya menolak
aliran metafisika dan teologik. Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai
pengetahuan yang nyata (real), berguna (useful), tertentu (certain) dan pasti (extact).
Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena ilmu yang menurutnya
terapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai akal dalam pembandingannya
dan etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu. Aliran positivisme merupakan aliran
filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik (tidak
bisa dilihat dan dinalar/non fisik). Aliran filsafat positivisme merupakan aliran yang
digagas oleh August Comte. Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan adalah alam yang realistis. Sehingga aliran ini sangat mengutamakan

43| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

metode ilmiah dan aspek faktual pengetahuan. Tahapan positif dianggap sebagai tahap
tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Pemikiran Comte yang menganggap
bahwa hal-hal empiris merupakan sumber ilmu pengetahuan menjadikan aliran ini
sebagai aliran yang memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di zaman modern.

44| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Nurhasana

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Lalu M. Syamsul. “Filsafat Positivisme Aguste Comte Dan Relevansinya Dengan
Ilmu-Ilmu Keislaman.” Jurnal Imu-Ilmu Sosial 12, no. 2 (2020): 69.
Biyanto. Filsafat Ilmu Dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Chalik, Abdul. Filsafat Ilmu: Pendekatan Kajian Keislaman. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran, 2015.
Comte, August. The Catechism of Positive Religion. London: John Chapman, 1858.
Comte, Auguste. The Positive Philosophy of Auguste Comte. New York: Calvin
Blanchard, 1858.
Endang, Saifudin Anshari. Ilmu filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya, 1987.
Fillafer, Franz L., Johannes Feichtinger, and Jan Surman. “Introduction: Particularizing
Positivism.” In The Worlds of Positivism: A Global Intellectual History, 1770-1930,
6. Switzerland: Springer International Publishing, 2018.
K. Bartens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius Yogyakarta, 1983.
Karmillah, Imroati. “Filsafat Positivisme dan Pendidikan Islam Di Indonesia.” Murabby:
Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1 (2020): 181–82.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2004.
Nugraha, Rizky. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017.
Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains.” Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 172.
Samekto, FX. Adji. “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal.” Jurnal Dinamika Hukum 12, no. 1 (2012): 79.
Tita, Meirina Djuwita. Pemahaman Terhadap Paradigma Positivisme. Makalah
Universitas Pendidikan Indonesia, 2003.
Wahid, Abd. “Korelasi Agama, Filsafat dan Ilmu.” Jurnal Substantia 14, no. 2 (2012): 229.

45| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.

Anda mungkin juga menyukai