PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan
seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Periodesasi
sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman
modern dan zaman kontemporer.
Filsafat barat kontemporer ini muncul pada abad XX sebagai kritik dari
filsafat modern, hal ini dapat terungkap dalam istilah dekonstruksi, yang
didekonstruksi oleh filsafat kontemporer ini adalah rasionalisme yang digunakan
untuk membangun seluruh isi kebudayaan dunia barat. Obyek besar pokok kajian
filsafat dalam abad kontemporer adalah ilmu (logosentris). Filsafat ilmu adalah salah
satu bidang kajian filsafat yang banyak diminati pada abad kontemporer hingga
sampai saat ini. Filsafat ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu
dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan.
Filsafat kontemporer termasuk membaca ulang, reinterpretasi, transformasi
dan rekreasi yang merupakan kita sebagai manusia dari zaman awal sampai sejarah
kita saat ini. Silsilah kita sekarang memungkinkan kita untuk maju, sehingga dalam
mencari tambahan dan cara berpikir yang baru. Perlu diingat Filsafat Barat
Kontemporer sangat Heterogen, karena profesionalisme yang semakin besar
akibatnya muncul banyak filsuf yang ahli dibidang Matematika, Fisika, Psikologi,
Sosiologi ataupun Ekonomi. Sehingga banyak pemikiran lama dihidupkan kembali
seperti neothomisme, neokantianisme, neopositivisme dan sebagainya.
Dunia kontemporer menunjukkan organisasi logis yang semakin kompleks untuk
memahami dan paradoks efek pada individu, seperti rasanya semakin tunduk pada
logika, tetapi juga bebas untuk menafsirkan, mengekspresikan dan membangun
individualitas mereka sendiri, daripada di masa lalu. Masalah-masalah yang dihadapi
warga baik lokal maupun global adalah formulasi teoretis dalam sejumlah inti filsafat
yang menimbulkan masalah baru yang jelas dan mendalam. Dan keterbatasan ini
bukanlah refleksi dari realitas, tetapi pada dasarnya adalah sebuah dialog antara masa
lalu dan sekarang dalam upaya untuk garis besar di masa depan.
Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat
kontemporer, serta aliran-aliran yang muncul pada abad ini yakni Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi. Dimana masing-masing aliran tersebut akan
dijelaskan bagaimana riwayat hidup filosof, lalu ajaran dan karya kefilsafatannya,
serta sumbangan aliran filsafat tersebut terhadap ilmu pengetahuan masa kini.
A. Pragmatis
1. Hakekat Pragmatis
Menurut Surajiyo (2012: 162) Pragmatisme berasal dari kata “pragma”
yang merupakan bahasa Yunani yang berarti tindakan atau perbuatan.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar
tahun 1900, yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu dilihat dari
apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
ialah apa yang membuktikan dirinya benar dengan berpengang pada logika
pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asalkan membawa
akibat yang praktis dan kebenaran tersebut bermanfaat, (Hadiwijono,
1990:130).
Sedangkan menurut Sumarna (2004: 85) teori pragmatisme dapat disebut
sebagai teori kebenaran yang paling baru. Teori ini merupakan sumbangan
paling nyata dari para filosof berkebangsaan Amerika terhadap komunitas
filsafat dunia. Teori ini muncul dengan background telah berkembangnya
kemajuan- kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke 19 terutama setelah teori
evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Menurut kelompok ini,
suatu pernyataan dianggap benar jika melalui pengukuran ada atau tidak
adanya kebenaran itu terhadap kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan
menjadi benar apabila mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut sehingga dapat diketahui bahwa
pragmatisme berpandangan bahwa suatu kebenaran adalah jika segala sesuatu
memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Contohnya menjadi seorang
pendidik adalah kebenaran, jika memperoleh kenikmatan intelektual,
mendapatkan gaji atau pun yang memiliki nilai kuantitatif atau kualitatif.
Sebaliknya jika memberikan kemudharatan, maka tindakan tersebut bukan
susatu kebenaran.
B. Eksistensialisme
1. Hakekat Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi, yang diturunkan
dari kata kerja sisto yang berarti berdiri atau menempatkan. Oleh karena itu eksistensi
berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar
bahwa dirinya ada, (Hadiwijono, 1990: 148).
Menurut Surajiyo (2012:161) Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang
segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Umumnya kata eksistensi berarti
keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai
arti yang khusus yakni cara manusia berada di dalam dunia.
Eksistensialisme merupakan istilah pertama yang dirumuskan oleh ahli filsafat
Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Setelah selesai Perang Dunia Kedua,
penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui
filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger
(1839) digubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpe. Tatkala seorang filosof
eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling
Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of
Existentialism, (Tafsir, 2000: 217-218).
Menurut Rapar (1996: 116) Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak
pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni.
Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia
atau disebut juga suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan
dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang
kebenaran.
Munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran
Kierkegaard dan Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia
pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab
pandangan tentang manusia,(Hadiwijono, 1990: 127).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa ketika berbicara
mengenai eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu
yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang
harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai khalifah dimuka bumi dengan kata lain
adalah manusia mempunyai potensi yang harus dikebangkannya. Manusia sebagai
makhluk social harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin kehidupan yang
harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini
menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat menghormati keinginan orang lain
yang berarti manusia harus bias menekan sifat egonya. Contoh eksistensialisme salah
satunya yakni sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan
oleh manusia.
C. Fenomenologi
1. Hakekat Fenomenologi
Menurut Salam (2008 : 204) fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini
timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam
fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia,
menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau
keinginan).
Sedangkan menurut Surajiyo (2012 : 162) kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani fenomenon, yaitu suatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang
didalam bahasa Indonesia disebut gejala. Sehingga fenomenologi adalah suatu aliran
yang membicarakan fenomena, atau gejala sesuatu yang menampakkan diri.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan
sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang
sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita
dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang
alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman
dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat
membuat manusia mampu berpikir secara kritis, (Khalilah, 2013).
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek
memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat,
rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan
tentang kesadaran murni yang dialami manusia, (Wattimena, 2009).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala (fenomena) apa saja yang nampak.
Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Adapun gejala-gejala yang tampak
berdasarkan kehidupan sehari-hari misalnya kejadian siang dan malam.
2. Tokoh-Tokoh Filsafat Fenomenologi
b. Edmund Husserl (1859-1938)
1) Riwayat Hidup Edmund Husserl
Edmund Husserl adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari
Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir
di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi.
Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat. Mula-mula
di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari
Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di
Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di
Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode
yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya
diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya
dibawa ke Universitas Leuven di Belgia, (Abadi, 2010).
2) Ajaran dan Karya Kefilsafatan Edmund Husserl
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran
filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai
dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada
kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan
yang perlu dan essensial tentang apa yang ada.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu,
penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
(bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang
fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat
menampakkan dirinya sendiri. Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata
kunci yang perlu diketahui. Diantaranya: 1) Fenomena adalah realitas esensi atau
dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena),
2) Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani, 3) Kesadaran adalah sesuatu
yang intensional terbuka dan terarah pada subjek 4) Substansi adalah kongkret yang
menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu
harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik
secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa, (Aprilia,
2014).
Karya- karya Edmund Husserl antara lain.
a) Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-
1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus
dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek
memakai diri sendiri).
b) Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913
(Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis).
Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog
harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan
di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil
dalam kesadaran.
c) Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini
dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting.
“Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip
dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas
pengalaman), (Abadi, 2010).
c) Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung.
Filsafat Max Scheler dibagi ke dalam dua periode: Periode pertama rentang
waktunya di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya O n t h e
e t e r n a l i n M a n (manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-
VII. Sedangkan pada periode kedua, masa-masa dari tahun 1920/1922 hingga 1928
yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah
penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam
tahun-tahun ini ada dua karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan
Formalisme Etics dan non- Formal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler
memusatkan perhatiannya pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Ia
memperlihatkan bahwa ego, akal budi dan kesadaran manusia mengisyarakan
lingkungan manusia dan menyangkal sebuah kemurnian ego, kemurnian akal budi,
atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya
yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant, dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler,
ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang merupakan tempat duduk dari
cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent, akal budi, kehendak atau
penginderaan. Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh
periode pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka
sendiri, yang sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler
mengikuti Blaine Pascalfilsuf dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua (1920/1922-1928). Scheler menentang ide mengenai
Tuhan sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang
“menjadi a d a ” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut.
W a k t u y a n g Absolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam
yang digunakan oleh ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu
absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu, (Jaya,
2012).
DAFTAR PUSTAKA