Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan
seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Periodesasi
sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman
modern dan zaman kontemporer.
Filsafat barat kontemporer ini muncul pada abad XX sebagai kritik dari
filsafat modern, hal ini dapat terungkap dalam istilah dekonstruksi, yang
didekonstruksi oleh filsafat kontemporer ini adalah rasionalisme yang digunakan
untuk membangun seluruh isi kebudayaan dunia barat. Obyek besar pokok kajian
filsafat dalam abad kontemporer adalah ilmu (logosentris). Filsafat ilmu adalah salah
satu bidang kajian filsafat yang banyak diminati pada abad kontemporer hingga
sampai saat ini. Filsafat ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu
dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan.
Filsafat kontemporer termasuk membaca ulang, reinterpretasi, transformasi
dan rekreasi yang merupakan kita sebagai manusia dari zaman awal sampai sejarah
kita saat ini. Silsilah kita sekarang memungkinkan kita untuk maju, sehingga dalam
mencari tambahan dan cara berpikir yang baru. Perlu diingat Filsafat Barat
Kontemporer sangat Heterogen, karena profesionalisme yang semakin besar
akibatnya muncul banyak filsuf yang ahli dibidang Matematika, Fisika, Psikologi,
Sosiologi ataupun Ekonomi. Sehingga banyak pemikiran lama dihidupkan kembali
seperti neothomisme, neokantianisme, neopositivisme dan sebagainya.
Dunia kontemporer menunjukkan organisasi logis yang semakin kompleks untuk
memahami dan paradoks efek pada individu, seperti rasanya semakin tunduk pada
logika, tetapi juga bebas untuk menafsirkan, mengekspresikan dan membangun
individualitas mereka sendiri, daripada di masa lalu. Masalah-masalah yang dihadapi
warga baik lokal maupun global adalah formulasi teoretis dalam sejumlah inti filsafat
yang menimbulkan masalah baru yang jelas dan mendalam. Dan keterbatasan ini
bukanlah refleksi dari realitas, tetapi pada dasarnya adalah sebuah dialog antara masa
lalu dan sekarang dalam upaya untuk garis besar di masa depan.
Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat
kontemporer, serta aliran-aliran yang muncul pada abad ini yakni Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi. Dimana masing-masing aliran tersebut akan
dijelaskan bagaimana riwayat hidup filosof, lalu ajaran dan karya kefilsafatannya,
serta sumbangan aliran filsafat tersebut terhadap ilmu pengetahuan masa kini.

B.   Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah munculnya filsafat Kontemporer ?
2. Apa yang dimaksud dengan Pragmatisme, Eksistensialisme, dan Fenomenologi ?
3. Bagaimana riwayat hidup filosof dari masing-masing aliran Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi ?
4. Jelaskan seperti apa ajaran dan karya kefilsafatan dari masing-masing aliran
Pragmatisme, Eksistensialisme, dan Fenomenologi ?
5. Bagaimana sumbangan filsafat dari masing-masing aliran Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi terhadap ilmu pengetahuan masa kini ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah munculnya filsafat Kontemporer.
2. Mengetahui pengertian Pragmatisme, Eksistensialisme dan Fenomenologi.
3. Mengetahui riwayat hidup filosof dari masing-masing aliran Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi.
4. Mengetahui ajaran dan karya kefilsafatan dari masing-masing aliran
Pragmatisme, Eksistensialisme dan Fenomenologi.
5. Mengetahui sumbangan filsafat dari masing-masing aliran Pragmatisme,
Eksistensialisme dan Fenomenologi terhadap ilmu pengetahuan masa kini.
BAB II
FILSAFAT KONTEMPORER
Menurut Tafsir (2000: 9-10) secara etimologi filsafat merupakan kata serapan
dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah cinta, sedangkan ‘shopia’
berarti kebijaksanaan atau hikmah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa cinta pada
kebijaksanaan ilmu pengetahuan merupakan filsafat. Philo dalam arti luas yakni ingin
dan berusaha mencapai apa yang diinginkannya, sedangakan Sophia berarti
pengertian yang mendalam. Sehingga filsafat dapat diartikan sebagai keinginan yang
mendalam untuk mendapatkan kebijakan atau keinginan yang mendalam untuk
menjadi bijak. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau
alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sedangkan kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat
dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti.
“komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian. Semenatara
“modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang.
Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat
dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.
Filsafat kontemporer menurut Salam (2008: 202) dapat diartikan dengan cara
seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada
masa saat ini. Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh
variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa,
kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi,
heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai
filsafat tentang perempuan (Feminisme). Oleh sebab itu salah satu ciri yang terdapat
dalam filsafat ini mengagungkan nilai-nilai relatifitas dan mini narasi, dan lebih
cenderung beragam dalam pemikiran.
Ciri filsafat kontemporer adalah sebagai reaksi dari berkembangnya filsafat
modern yang semakin melenceng, pemikiran kontemporer ini berusaha mengkritik
logosentrisme filsafat modern yang berusaha menjadikan rasio sebagai instrument
utama. Oleh karenanya filsafat kontemporer merupakan ekstensifikasi dari pemikiran
manusia dari hal-hal yang umum menjadi yang sangat khusus dan terkait dengan hal
khusus lainnya.
Zaman kontemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi
canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami
kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan computer, berbagai satelit komunikasi,
internet dan sebagainya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga
terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuan kontemporer mengetahui hal
yang sedikit, dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain.
Selain itu kecenderungan yang lain adalah sintesis antara bidang ilmu yang satu
dengan yang lainnya, sehingga dihasilkannya ilmu yang baru seperti bioteknologi,
(Surajiyo, 2013:89).

A. Pragmatis
1.    Hakekat Pragmatis
Menurut Surajiyo (2012: 162) Pragmatisme berasal dari kata “pragma”
yang merupakan bahasa Yunani yang berarti tindakan atau perbuatan.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar
tahun 1900, yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu dilihat dari
apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
ialah apa yang membuktikan dirinya benar dengan berpengang pada logika
pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asalkan membawa
akibat yang praktis dan kebenaran tersebut bermanfaat, (Hadiwijono,
1990:130).
Sedangkan menurut Sumarna (2004: 85) teori pragmatisme dapat disebut
sebagai teori kebenaran yang paling baru. Teori ini merupakan sumbangan
paling nyata dari para filosof berkebangsaan Amerika terhadap komunitas
filsafat dunia. Teori ini muncul dengan background telah berkembangnya
kemajuan- kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke 19 terutama setelah teori
evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Menurut kelompok ini,
suatu pernyataan dianggap benar jika melalui pengukuran ada atau tidak
adanya kebenaran itu terhadap kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan
menjadi benar apabila mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut sehingga dapat diketahui bahwa
pragmatisme berpandangan bahwa suatu kebenaran adalah jika segala sesuatu
memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Contohnya menjadi seorang
pendidik adalah kebenaran, jika memperoleh kenikmatan intelektual,
mendapatkan gaji atau pun yang memiliki nilai kuantitatif atau kualitatif.
Sebaliknya jika memberikan kemudharatan, maka tindakan tersebut bukan
susatu kebenaran.

2.    Tokoh-Tokoh Filsafat Pragmatis


Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan pragmatisme adalah:
Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey. Pragmatisme mula-
mula dikenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Filosof Amerika
yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi
pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles,
Barkeley, dan Human.
a.    Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Peirce adalah seorang matematikus, fisikawan, filosof pendiri pragmatisme.
Dilahirkan di Cmbrigde, Massachausetts pada tahun 1839. Peirce mendalami filsafat
dan logika hingga masa kerja pada instansi survei panata dan geodesi. Sebagai filosof
yang sistematik, tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek filsafat.

b.    William James (1842-1910 M)


W James lahir di New York tahun 1842 dan wafat tahun 1910. Anak Henry
James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal, yang berkebudayaan tinggi,
pemikir yang kreatif. Henry James, Sr. merupakan kepala rumah tangga yang
memang menekankan kemajuan intelektual. Selain kaya, Keluarganya juga
menerapkan humanisme dalam mengembangkan. Ayah james mengembangkannya
dengan mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan james penuh dengan
masa belajar yang diberengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbgai masalah
yang berkenaan dengan kehidupan.
Pendidikan formalnya yang mula-mula tidak teratur. Dia mendapat tutor
berkebangsaan Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, dan Amerika. Akhirnya Dia
memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dia memperoleh Ph.D-nya pada
tahun 1869. Akan tetapi, dia kurang tertarik pada praktik pengobatan. Kemudian
Beliau mengikuti studi di akademi seni dan kemudian pindah ke Falkutas Kedokteran
di Harvard University. Usai kuliah James menjadi dosen kedokteran, psikologi dan
filsafat. Selain dosen di Amerika James juga dosen di Inggris, (Fuadihsan, 2010:
172).
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan William James (1842-1910 M)
William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang
membuat pragmatism menjadi terkenal diseluruh dunia. William James mengatakan
bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui.
Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya ia mengalami konflik
antara pandangan agam. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran tentangasal tujuan
dan hakikat bagi orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasilyang
kongkret. (Muzairi, 2009:190)
Di dalam bukunya The Meaning of Truth yang berarti arti Kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, bersifat
tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada
kebenaran mutlak yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya dalam bentuk
jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali
dapat diubah oleh poengalaman berikutnya. Nilai pengalaman dalam pragmatisme
tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari
perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau
bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan
hidup.
Gerakan pragmatism meluncur seolah-olah akan menguasi filsafat abad ke-20.
Pragmatism lebih banyak disangkutkan dengan James daripada dengan Peirce. James
memang berbeda dengan Peirce. Peirce tidak bersedia menggunakan pragmatism dan
filsafat ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah agama, moral, atau
kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah filsafat pragmatism James
memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak
atau idea yang dengannya kita siap untuk  bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu
yang berguna di dalam membuat sesuatuterjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar.
(Tafsir, 2000:194)

c.    John Dewey (1859-1952 M)


Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas
filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh
larut dalam pemikiran- pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
kritis, (Waris, 2009:57).

3.    Sumbangan Filfafat Pragmatisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini


Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam
pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala
aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang
sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey
(1859-1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles
S.Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika
epistemologi, filsafat, politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan
mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan misalnya,
menitik beratkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan
materi pelajaran. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti
religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus
mewakilki potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika. Dewey menganggap
pentingnya pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat.
Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk
peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan
merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental
dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang
timbuldalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan
pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang
dapatmenyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. (Anonim. 2012)
Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis dan sangatlah kolot
pada pelaksanaannya. Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan
adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan
pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan sebagai bagian dari diri untuk
menjadikan pribadi yang lebih baik. Sumbangan James yang paling berpengaruh
terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James
mengtakan: “Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk
membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan
dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita
harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang
memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin
banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan dengan
terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan untuk
hal yang penting lainnya.”
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik demokrasi.
Dalamkondisi ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih
solusikreatif terhadap masalah yang dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat
ilmu berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai
pemikiran baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama. (Anonim.
2010)

B. Eksistensialisme
1. Hakekat Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi, yang diturunkan
dari kata kerja sisto yang berarti berdiri atau menempatkan. Oleh karena itu eksistensi
berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar
bahwa dirinya ada, (Hadiwijono, 1990: 148).
Menurut Surajiyo (2012:161) Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang
segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Umumnya kata eksistensi berarti
keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai
arti yang khusus yakni cara manusia berada di dalam dunia.
Eksistensialisme merupakan istilah pertama yang dirumuskan oleh ahli filsafat
Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Setelah selesai Perang Dunia Kedua,
penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui
filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger
(1839) digubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpe. Tatkala seorang filosof
eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling
Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of
Existentialism, (Tafsir, 2000: 217-218).
Menurut Rapar (1996: 116) Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak
pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni.
Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia
atau disebut juga suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan
dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang
kebenaran.
Munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran
Kierkegaard dan Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia
pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab
pandangan tentang manusia,(Hadiwijono, 1990: 127).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa ketika berbicara
mengenai eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu
yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang
harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai khalifah dimuka bumi dengan kata lain
adalah manusia mempunyai potensi yang harus dikebangkannya. Manusia sebagai
makhluk social harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin kehidupan yang
harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini
menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat menghormati keinginan orang lain
yang berarti manusia harus bias menekan sifat egonya. Contoh eksistensialisme salah
satunya yakni sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan
oleh manusia.

2. Tokoh-Tokoh Filsafat Eksistensialisme


a.    Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855)
Soren Kierkegaard dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya
beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian. 
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan Soren Aabye Kierkegaard
Ajaran yang diberikan oleh Soren adalah mengenai eksistensialisme, Yang
artinya adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada
manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap
manusia menginginkan adnaya sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana yang
benar dan yang tidak benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal
tersebut, melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing. Karena
kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang mengajarkan akan
kecemasan dan keputusasaan eksistensial, (Sabda, 2012).
Kierkegaard adalah seorang yang pada zamannya melancarkan reaksi terhadap
hidup kemasyarakatan. Keadaan masyarakat pada waktu itu tidak menunjukkan
sebuah usaha untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis sehari-hari, serta
mengabaikan perkara-perkara batiniah. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang
menjadi prinsip Kierkegaard, bahwasanya persoalan-persoalan praktis sehari-hari
itulah yang justru menjadi persoalan hidup yang sebenarnya. Memang pada
kenyataannya, sejak Kant hingga Hegel orang hanya membicarakan persoalan-
persoalan besar yang bersifat umum, sedangkan untuk persoalan khusus dan praktis,
pada umumnya orang berpendapat bahwa pemecahannya dapat diturunkan dari dasar-
dasar yang umum itu. Kierkegaard kemudian menganggap Hegel mengaburkan hidup
yang kongret, nmaka tak heran jika Kierkegaard meremehkan argumentasi abstrak
mengenai metafisika yang spekulatif ala Hegel, (Hardiman, 2004:136).
Ada sebuah kalimat dari Soren Aabye Kierkegaard yang cukup
menginspirasikan :“Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius sebab
jenius sudah cukup banyak. Yang dibutuhkan adalah martir, yang rela taat hingga
mati untuk mengajarkan manusia agar taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman
ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan
saya tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda
tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah
melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya
terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya ” —Soren
Kierkegaard, Journals (20 November 1847). (Hardiman, 2004:138).
b.    Jean Paul Sartre (1905 – 1980)
Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap
mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada
dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa
saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-
komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya
landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Ia
belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. Setelah tamat dari
sekolah itu. Pada tahun 1929 ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris
maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa
peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938
terbit novelnya yang berjudul La Nausee dan Le Mur terbit pada tahun 1939. Sejak
itulah muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat, (Tafsir, 2000: 196).
Selain sebagai seorang guru besar, ia juga seorang pejuang. Dalam Perang Dunia
Kedua ia menjadi salah seorang pemimpin pertahanan. Sebagai novelis dan
dramawan namanya amat terkenal. Tahun 1964 ia menolak menerima hadiah Nobel
dalam bidang kesusastraan (Burr dan Goldinger : 520). Sekalipun pada dasarnya buah
pikirannya merupakan pengembangan pemikiran Kierkegaard, ia
mengembangkannya sampai pada tahap yang amat jauh, (Tafsir, 2000: 197).
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan Jean Paul Sartre
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal
ini berbeda dari tumbuhan, hewan dan bebatuan yang esensinya mendahului
eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme,
wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence)-nya. Jadi hakikat
manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda
dari makhluk lain, (Hanafi, 1990 : 90).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut
Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme
est condamné à être libre).
Eksistensi mendahului esensi´, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis
berkata,´dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda.
Karenanyamasalah Ada´ merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi
eksistensialisme.Bagi Sartre, manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan
(mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang
intensionalitas, yakni kesadaran manusiayang tidak pernah timbul dengan sendirinya,
namun selalu merupakan ³kesadaran akansesuatu´. Baik kita ajukan contoh: Saat ini
saya menyadari tengah duduk dalam sebuahforum diskusi, bersama dengan orang
lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari ahwa saya berbeda dengan orang
lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan  (mengobjekkan orang dan
benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre. Untuk memperjelas masalah
ini,ia menciptakan dua buah istilah;être-en-soi, danêtre-pour-soi. Dengan ini pula ia
membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda. (Hanafi,
1990 : 98).
Menurut pendapat saya jadi Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada
sebagaimana keberadaan benda- benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti.
Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya
mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara
beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-ada manusia. Sementara manusia
sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa
berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Tampaklah oleh kita bahwa
pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan
keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia
hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia.
Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia
ialah takut. Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di dunia ini.
Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu,
menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung
jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat
itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab
menyeluruh. Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas
menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian
tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya
dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga
Heidegger. manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seorang diri.
Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre adalah nasibnya diserahkan
kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun. (Hadiwijono, 1990: 160).
Karya- karya Jean Paul Sartre
Menurut Wiramihardja (2006: 116) Hasil karya filsafatnya yang
utama adalah “Being and Nothingness” (1943). Dalam diri (L’entre-en-soi) dan “ber-
ada-untuk-diri” (L’entre-pour-soi).
a)  Berada dalam diri (L’entre-en-soi) adalah semacam berada an sich, berada itu
sendiri. Filsafatnya berpangkal dari realitas yang ada, karna realitas yang ada itulah
yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti. Ada banyak yang berada, contoh:
pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya. “Berada” disini mewujudkan ciri
segala benda jasmaniah, materi.
b)  Beradauntukdiri (L’entre-pour-soi) ialah berada yang dengan sadar akan dirinya,
yaitu cara berada manusia.
Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab
atas fakta bahwa ia ada, misalnya ia bertanggungjawab atas fakta, bahwa ia seorang
pegawai, atau seorang pedagang, atau seorang pencuri dan sebagainya.Manusia
adalah “berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)”. Oleh karena itu maka manusia
terwujud karena “berada” itu meniadakan diri (seneantise). Manusia sebagai manusia,
sebagai L’entre-pour-soi terdiri dari peniadaan. Ada dua peniadaan yaitu:
a)    Peniadaan lahiriah (Negation externe)
b)   Peniadaan batiniah (Negation interne)
Bahwa meja bukanlah kursi, hal ini tidak menyipatkan meja, artinya bahwa
meja bukanlah kursi, tidak ditentukan dari dalam inilah yang disebut negation
externe. Akan tetapi bahwa aku bukan orang yang berbakat seni, atau aku bukan
seroang usahawan, dan lainnya, ini menunjukkan suatu negativitas yang menyipatkan
diriku dari dalam, dengan konsekuensi akulah yang bertangung jawab atas diriku,
(Wiramihardja, 2006: 119).
Hal yang “tidak ada” tidak mungkin berasal dari “berada-dalam-riri” (L’entre-
en-soi), sebab “berada-dalam-diri” adalah penuh, padat, tertutup. Yang “tidak ada” ini
berasal dari manusia. Manusia mengandung di dalamnya hal yang “tidak ada”. Di sini
terdapat perbedaan dengan Heidegger. Menurut Sartre “eksistensi yang murni” adalah
hal yang nyata. Eksistensi manusia adalah “ketiadaan”. Peniadaan ini terjadi terus
menerus, dan ini mengakibatkan manusia berbuat, dan tiap perbuatan adalah
perpindahan, dari semula menuju ke apa yang didepannya, ini adalah meniadakan
masa lampau dan berusaha mencapai yang ‘belum ada” atau yang pada waktu itu
“tidak ada”. Pada hakekatnya menurut Sartre: “berada- untuk-diri” sama dengan
kebebasan, (Anonim, 2015)

3.    Sumbangan Filfafat Eksistensialisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini


Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya
sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia. Konsep ini muncullah cirri lain hakikat
keberadaan manusia. Orang Eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak
keberadaan manusia ialah takut.
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,
terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh paham
materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah barang
material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah
resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya
sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu, (Wiramihardja,2006:142).
Eksistensialisme mengakui bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-
masing dan menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang asasi bagi setiap individu
dalam penentuan eksistensi diri sendiri. Karenanya eksistensialis mengajukan
terhadap: gerakan totaliser, fasis dan komunis yang cenderung mengabaikan individu
dalam kolektivisme dan massa. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme
terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan
eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap
kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya. Eksistensialisme tidak menyukai
pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan
formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam
itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu. Eksistensialisme tidak
menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis
di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai
sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang
mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok
eksistensialisme. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak
menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara
proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia. (Hardiman,
2004:150).

C. Fenomenologi
1.    Hakekat Fenomenologi
Menurut Salam (2008 : 204) fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini
timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam
fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia,
menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau
keinginan).
Sedangkan menurut Surajiyo (2012 : 162) kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani fenomenon, yaitu suatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang
didalam bahasa Indonesia disebut gejala. Sehingga fenomenologi adalah suatu aliran
yang membicarakan fenomena, atau gejala sesuatu yang menampakkan diri.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan
sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang
sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita
dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang
alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman
dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat
membuat manusia mampu berpikir secara kritis, (Khalilah, 2013).
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek
memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat,
rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan
tentang kesadaran murni yang dialami manusia, (Wattimena, 2009).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala (fenomena) apa saja yang nampak.
Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Adapun gejala-gejala yang tampak
berdasarkan kehidupan sehari-hari misalnya kejadian siang dan malam.
2.    Tokoh-Tokoh Filsafat Fenomenologi
b.    Edmund Husserl (1859-1938)
1)   Riwayat Hidup Edmund Husserl
Edmund Husserl adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari
Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir
di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi.
Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat. Mula-mula
di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari
Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di
Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di
Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode
yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya
diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya
dibawa ke Universitas Leuven di Belgia, (Abadi, 2010).
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan Edmund Husserl
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran
filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai
dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada
kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan
yang perlu dan essensial tentang apa yang ada.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu,
penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
(bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang
fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat
menampakkan dirinya sendiri. Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata
kunci yang perlu diketahui. Diantaranya: 1) Fenomena adalah realitas esensi atau
dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena),
2) Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani, 3) Kesadaran adalah sesuatu
yang intensional terbuka dan terarah pada subjek 4) Substansi adalah kongkret yang
menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu
harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik
secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa, (Aprilia,
2014).
Karya- karya Edmund Husserl antara lain.
a)    Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-
1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus
dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek
memakai diri sendiri).
b)   Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie,  1913
(Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis).
Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog
harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan
di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil
dalam kesadaran.
c)    Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini
dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting.
“Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip
dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas
pengalaman), (Abadi, 2010).

c.    Max Scheller (1874-1928)


1)   Riwayat Hidup Max Scheller
Max Scheler dilahirkan di Munich, Jerman pada tanggal 22 Agustus 1874.
Ayahnya seorang Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang
anak remaja, ia masuk Katolik, karena ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta.
Scheler belajar ilmu kedokteran di Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada
W.Dilthey dan G.Simmel pada tahun 1895. Ia memperoleh gelar doktornya
pada tahun 1897. Setelah belajar di Munchen, Berlin, Heildelberg dan Jena, ia
kemudian menjabat sebagai dosen privat di Jena dan Munchen pada tahun 1899.
Seluruh hidupnya, Scheler memiliki pemikiran yang begitu berpengaruh bagi filsafat
pragmatisme Amerika. Pada tahun 1902, ia bertemu bertemu dengan Edmund Hursell
seorang fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak pernah menjadi
murid Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan pengaruh yang besar
bagi Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang getol  menyebarluaskan
ajaran Hursell ini. Dari tahun 1907-1910 ia mengajar pada universitas di Munchen. Ia
bergabung dengan lingkungan fenomenolog Munchen diantaranya M.Beck, Th.
Conrad, J. Daubert, M.Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps, and A. Pfaender, (Jaya,
2012).
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan Max Scheller
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu
untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman
filsafat. Diantaranya:
a)    Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-
benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
b)   Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung
dan semakin abstrak.

c)    Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung.
Filsafat Max Scheler dibagi ke dalam dua periode: Periode pertama rentang
waktunya di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya O n t h e
e t e r n a l i n M a n (manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-
VII. Sedangkan pada periode kedua, masa-masa dari tahun 1920/1922 hingga 1928
yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah
penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam
tahun-tahun ini ada dua karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan
Formalisme Etics dan non- Formal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler
memusatkan perhatiannya pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Ia
memperlihatkan bahwa ego, akal budi dan kesadaran manusia mengisyarakan
lingkungan manusia dan menyangkal sebuah kemurnian ego, kemurnian akal budi,
atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya
yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant, dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler,
ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang merupakan tempat duduk dari
cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent, akal budi, kehendak atau
penginderaan. Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh
periode pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka
sendiri, yang sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler
mengikuti Blaine Pascalfilsuf dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua (1920/1922-1928). Scheler menentang ide mengenai
Tuhan sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang
“menjadi a d a ” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut.
W a k t u y a n g Absolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam
yang digunakan oleh ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu
absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu, (Jaya,
2012).

d.    Martin Heidegger (1889-1976)


1)   Riwayat Hidup Martin Heidegger
Martin Heidegger adalah seorang filusuf Jerman yang karyanya terkait dengan
Fenomenologi dan Eksistensialisme. Heidegger lahir pada tanggal 26 September
1889 di Messkirch, Jerman. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Katholik Roma
yang ketat, dimana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Katholik Santo
Martinus. Ia mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg Im Breisgau.
Pada tahun 1909 ia masuk universitas Freiburg untuk belajar di Fakultas Teologi.
Setelah mempelajari Teologi selama 4 semester, ia mengubah haluan dan
mengerahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-
kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan social. Heidegger
memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1913 dengan disertasi tentang Die Lehre
Vom Urteil Im Psychologismus (ajaran tentang putusan dalam psikologisme).
Pada tahun 1916 Heidegger mulai belajar filsafat Fenomenologi kepada Husserl,
bahkan kemudian ia menjadi asistennya. Disamping itu selama tahun 1916-1919,
Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma katholik yang rigid dan mengerakkan
dogma-dogma tersebut ke faham protestan liberal. Tahun 1923 ia diangkat menjadi
profesor filsafat di universitas Marburg, disini ia menerbitkan karyanya yang pertama
yaitu Being and Time (Sein Und Zeit) tahun 1927. Dia kembali ke Freiburg pada
tahun 1928 untuk menggantikan Edmund Husserl. Pada tahun 1933 dia memperoleh
jabatan Rektor pada unversitas Freiburg. Dia meninggal pada tanggal 26 Mei 1976,
(Ciptyasari, 2014).
2)   Ajaran dan Karya Kefilsafatan Martin Heidegger
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya
karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan
atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus
merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak
mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu
bertanggungjawab atas potensi yang  belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu
filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati
(mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia
kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya,
dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa
mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur
untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti
pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan
atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak
orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.
Karyanya yang pertama yaitu Being and Time (Sein Und Zeit) tahun 1927.
Dimana ia mencoba untuk mengakses Being (Sein) dengan melalui analisis
Fenomenologis tentang eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter
duniawi dan sejarah manusia. Dalam Being And Time Heidegger menyatakan bahwa
studi tentang diri kita atau Dasein (berada-ada) adalah perkara penting untuk
menanyakan makna keberadaan. Dia kembali ke Freiburg pada tahun 1928 untuk
menggantikan Edmund Husserl. Pada tahun 1933 dia memperoleh jabatan Rektor
pada unversitas Freiburg. Dia meninggal pada tanggal 26 Mei 1976. Disamping karya
monumentalnya Sein Un Zeit, Heidegger juga menerbitkan banyak karya lagi yang
kebanyakan menyajikan salah satu ceramah atau serangkaian ceramah yang pernah
dibawakannya seperti Kant Und Das Problem Der Metaphysic (Kant dan Problem
Metafisik, 1929), Was Ist Differanz (Identitas dan Perbedaan, 1957) dan masih
banyak karyanya yang lain, (Ciptyasari, 2014).

3.    Sumbangan Filfafat Fenomenolosi terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini


Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan
mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya,
sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi
baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan, (Achmad,
2012).
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan”
(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu
pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan
saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur –
mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi
alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah
mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan
pengalaman manusia ke formula-formula impersonal. (Anonim, 2014)
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan
jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya
kepada ilmu-ilmu sosial,  karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia
sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi
seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman
(verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan
kausalitas yang niscaya.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari
fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus
dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya
unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu
pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya, (Aprilia, 2014).
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan, sebagai berikut :
1.        Filsafat Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut
kehidupan pada masa saat ini.
2.        Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang
membuktikan dirinya benar dengan berpengang pada logika pengamatan.
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal
kepada eksistensi. Fenomenologi adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
3.        Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan pragmatisme adalah: Charles
Sanders Peirce, William James dan John Dewey. Pragmatisme mula-mula dikenalkan
oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914).
4.        Aliran pemikiran eksistensialisme ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20 dan di
pelopori oleh seorang berketurunan Yahudi, Jean-Paul Satre.
5.        Tokoh-tokoh yang berperan dalm fenomenologi yakni Edmund Husserl (1859-1938),
Max Scheller (1874-1928), Martin Heidegger (1889-1976), Maurice Merlean-ponty
(1908-1961), dan Maurice Merlean-ponty (1908-1961).
6.        Ajaran beberapa tokoh pragmatisme, Charles Sanders Pierce (1839-1914) Charles
mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis (dugaan sementara/ pegangan dasar) itu
benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita.William James
(1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatism
menjadi terkenal diseluruh dunia. William James mengatakan bahwa secara ringkas
pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Menurut John Dewey
filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau
mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan
manusiawi.
7.        Ajaran eksistensialisme menurut beberpa tokoh yakni, ajaran yang diberikan
oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme, Yang artinya adalah sebuah kebebasan
yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu. Sedangkan menurut
jean berdasarkan ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya.
Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan dan bebatuan yang esensinya mendahului
eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi.
8.        Ajaran fenomenologi menurut beberapa tokoh yakni, menurut Husserl memahami
fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno
yang murni. Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara
tertentu untuk memandang realitas. Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi
dunianya dan sesamanya. Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof
benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman.
9.        Karya-karya tokoh pragmatisme Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8vols.
Edited by Charles  Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University
Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).2), Tha Principles of Psychology
(1890), Psychology(1981).

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafat umum. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.


FuadIhsan. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Hardiman, Budi F. 2004. Filsafat Modern. Jakarta : Gramedia.
Maksum, Ali. 1996. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik hingga  Postmodernisme. Yogyakarta :
AR-RUZZ MEDIA.
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta : Teras.   
Rapar, Jan H. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Salam, Burhanuddin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara.
Sumarna, Cecep. 2004. Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani
Quraisy.
Surajiyo. 2012. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Surajiyo. 2013. Filsafat Umum dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Waris. 2009. FilsafatUmum. Ponorogo : STAIN Po Press.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung : PT Refika Aditama.
Abadi. 2010. http://ahnafiabadi.blogspot.com/2010/08/fenomenologi-edmund-husserl.html. Diakses
tanggal 21 Februari 2015.
Achmad, Fatoni. 2012. http://fatonikeren.blogspot.com/2012/07/kontribusi-fenomenologi-
terhadap-dunia.html. Diakses tanggal 20 Maret 2015.
Anonim. 2008. https://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/18/kajian-epistemologi-charles-
sanders-pierce-1839-1914/. Diakses tanggal 20 Maret 2015.
Anonim. 2010. http/www.id.wikipedia.org. Diakses tanggal 21 Februari 2015.
Anonim. 2010. http://psikologibebas.blogspot.com/2015/09/eksistensialisme.html. Diakses
tanggal 20 Februari 2015.
Anonim. 2010. http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatanpragmatisme.ht
ml# uds-search-results. Diakses tanggal 21 Februari 2015.
Anonim. 2012. http://atthamimy.blogspot.com/2012/12/aliran-filsafat-pragmatisme.html.
Diakses tanggal 20 Februari 2015.
Anonim, 2015. http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme. Diakses tanggal 20 Maret 2015.
Aprilia, Ebda. 2014. https://ebdaaprilia.wordpress.com/2014/09/22/makalah-filsafat-
fenomenologi/. Diakses tanggal 21 Februari 2015.
Ciptyasari, Devi. 2014. http://deviciptyasari.blogspot.com/2014/01/martin-heidegger-1889-
1976.html Diakses tanggal 10 maret 2015.
Jaya. 2012. http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/fenomenologi-max-scheler.html).
Diakses tanggal 21 Februari 2015.
Khalilah,Stroyatul.2013.https://khalilahroyatul.wordpress.com/author/stroyatulkhalilah/page/
3/. Diakses tanggal 10 maret 2015.
Sabda. 2012. http://sabda.org/biokristi/soren_kierkegaard.html. Diakses tanggal 20 Februari
2015.
Wattimena, Reza A.A. 2009. http://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-
husserl/. Diakses tanggal 10 maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai