Anda di halaman 1dari 8

Nama: Sylvia.

Wattimena
Tugas: Ringkasan Buku Teologia Kontemporer
Jumlah halaman: 229 halaman
Dosen pengampu: Pdt. Dr. Janni. Lewi. M,Th
Teologia kontemporer lahir pada tahun 1919 di Swiss, perintisnya adalah
seorang pendeta muda, Karl Barth. Perubahan-perubahan teologia sejak tahun 1919
dengan demikian “Revolusi Copernicus”nya Barh tidak dimulai tahun 1919,
melainkan 200 tahun sebelumnya yakni, dari zaman pencerahan yaitu imanuel Kant
(1724-1804). Kant mensistematiskan keyakinan manusia modern pada kemampuan
rasio untuk menggapai dunia materi dan ketidakmampuan rasio untuk menerangkan
segala sesuatu yang ada di luarnya. Kant menyimpulkan tuntuna-tuntutan pencerahan
baru ketika ia menjelaskan sebagai keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang ia
biarkan mengikat dirinya. Pencerahan dan otonomi menjadi identik, dan motto
manusia modern menjadi “beranilah menggunakan pengertianmu sendiri”, “bebaslah
untuk berpikir tanpa sangsi, tanpa pengarahan dari luar manusia, “bangunlah dari
ketiduran dogmatis”. Konsep mereka bukanlah konsep Teologi kontemporer ini
berbicara tentang alam bukan alkitabiah, yakni dunia ciptaan takluk kepada
penciptanya. Mereka menganggap alam sebagai suatu sub-struktur otonom yang
sebenarnya hanya seperti jubah baru yang dikenakan pada pikiran Yunani Kuno
tentang wujud dan materi. Dalam kompromi ini anugerah pun kehilangan ciri
Kristennya dan menjadi sekedar bagian pelengkap saja, dan bukan merupakan aksi
transformasi radikal yang dikerjakan Allah yang berdaulat. Sintesis Thomas Aquinas
pada abad-abad pertengahan menjadikan manusia alamiah terlepas dari anugerah yang
supra-alami. Kant dan mental pencerahan menjadikan kelepasan itu lebih dari sekedar
suatu penyesuaian diri. Anugerah menjadi lenyap di dalam alam pemikiran
keagamaan orang modern, digantikan oleh kebebasan. Efek dari semuanya itu ialah
Allah dibelenggu oleh Kant. Pengasiangan Allah ke dalam dunia fenomena itu
merupakan tema favorit dalam teologia kontemporer. Munculnya rancangan metode
yang disebut kritik-historis, pencerahan telah menegakkan otonomi terlepas dari
kepercayaan Kristen yang tradisional. Bahkan terhadap Alkitab pun otonom ini
diberlakukan. Metodologi ini mengakibatkan timbulnya pemisahan radikal antara
sejarah dan iman.
Barth menjadi pokok utama perdebatan teologis sejak tahun 1919. Pada abad
ke-20 seorang teolog Katolik Roma menamakan tafsiran surat Roma itu sebagai
revolusi Copernicus dalam teologia Protestan yang mengakhiri dominasi pikiran
liberal. Salah satu ciri mencolok dari ajaran Barth yang mula-mula adalah
pemberontakan neo-ortodoks terhadap liberalisme. Menurut teolog-teolog liberal
ternama, Harnack dan Herrmann, dan sebelum buku tafsirannya terbit Barth
mengikuti cara pemikiran mereka. Yesus yang digambarkan oleh Harnack bukanlah
Anak Allah yang unik, suprantural, melainkan hanya merupakan personifikasi kasih
dan cita-cita manusia yang ideal. Untuk ukuran kebenaran adalah pengalam perasaan.
Teologi ini adalah Idealisme, yang ditandai juga oleh garis pietisme yang dalam dan
mementingkan pengalama Kristen yang praktis. Liberalisme membangun etika di atas
dasar teologia. Barth juga berusaha untuk memisahkan anatara Firman Allah dan
Alkitab. Menurut Barth Alkitab hanyalah suatu “tanda atau simbol,”. Hubungan
antara Allah dengan Alkitab tetap nyata, tetapi tidak langsung. Tafsiran Barth itu
memperkenalkan suatu metode baru untuk menjelaskan teologia, yaitu dialektika.
Tafsiran barth juga menekankan suatu sikap baru yang tidak peduli terhadap sejarah
dalam dunia teologia. Harnack menyangkal Yesus yang ada dalam kitab injil-injil.
Menurut mereka iman adalah ruang kosong yang diisi. Menurut Barth kebangkitan
Yesus termasuk dalam lingkup Geschichte (bukan fakta), bukan Historie. Melalui
pandangan Barth yang bertentanga dengan Liberal klasik maka Van Til menamakan
pandangan Barth sebagai “modernisme baru”. Akibat akhir dari konsep dialektika
Barth itu adalah menghancurkan konsep kebenaran dan injil kekristenan.
Karl Barth telah memula suatu revolusi teologia melalui karyanya tentang
surat Roma. Suatu gerakan terbentuk, yang disebut “neo-ortodoks”, yang juga terlihat
pada tulisan tokoh-tokoh lain disamping Barth sendiri. Emil Brunner adalah anggota
kelompok baru itu yang paling luas dikenal salian Barth. Semenjak tahun-tahun
pertama karya awal Barth itu, neo-ortodoks atau Barthianisme telah melintasi setiap
perbatasan negarah. Pengaruhnya di Timur jauh, misalnya, telah begitu meluas di
Jepang kira-kira tahun 1924-1925 di Korea tahun 30-an. Tema utama neo-orthodoks
atau Barthianisme adalah konsep pernyataan. Menurut Barth, pernyataan adalah
“garis tegak lurus ke atas”. Hal itu merupakan suatu peristiwa di mana Allah yang
mengambil inisiatid. Namun dikatakan bahwa pernyataan itu tidak boleh
dipersamakan dengan Alkitab. Firman Allah bukanlah Alkitab itu sendiri, demikian
pula pernyataan Alkitab itu bukanlah pernyataan. Pernyataan dipahami sebagai suatu
peristiwa atau kejadian atau suatu dialog antara Allah bertemu dengan manusia. Pusat
pernyataan menurut Barth adalah Yesus. Di dalam Kristus yang dilukiskan Barth,
Allah menyatakan bahwa Ia tidak bersedia membiarkan manusia berada dalam dosa,
maka Barth menegaskan bahwa tidak boleh menyebut dosa lagi jika tidak langsung
melanjutkan bahwa dosa telah dikalahkan, diampuni, dan ditaklukan oleh Yesus.
Barth menolak mengakui pandangan tradisional tentang dua macam keadaan Kristus,
perendahan dan pemuliaan Kristus yang berjalan secara kronologis. Salah satu ajaran
yang paling dipermasalahkan dalam neo-ortodoks adalah penyataan yang samar-
samar tentang kemungkinan keselamatan manusia sekalian. Barth menolak konsep
predestinasi berganda yang tradisional, yakni konsep bahwa pemilihan berkenaan
dengan individu-individu. Ia mengakui bahwa semua manusia tidak hidup sebagai
orang yang terpilih dan sebagian orang hidup sebagai orang yang terpilih hanya dalam
beberapa aspek sedangkan dalam aspek yang lain tidak. Dijelaskan oleh banyak orang
bahwa ajaran neo-ortodoks menyeleweng dari kepercayaan Kristen yang historis.
Ajaran neo ortodoks berpusat pada pengalaman subyektif seseorang sebagai kriteria
kebenaran. Penolakan Alkitab dengan penyataan atau firman Allah. Penolakan Barth
untuk membicarakan perendahan Yesus sebagai manusia. Menyangkal Kredo
Chalcedon. Dengan cara inilah, neo-ortodoks menghancurkan peringatan-peringatan
alkitab mengenai kemurtadan maupun panggilan untuk bertobat dan beriman.
Pada tahun yang sama ketika Karl Barth menerbitkan tafsirannya tentang surat
Roma, terbut juga dua buku lain mengenai tema-tema dari Perjanjian Baru, yang
membawa suatu perubahan lagi dalam penyelidikan Alkiab yang bersifat mengkritik.
Praanggapan kritik bentuk ialah bahwa Alkitab tidak dapat diterima sebagai catatan
dari kehidupan dan pengajaran Kristus dan rasul-rasul-Nya yang layak dipercaya.
Bagi Bultman, Alkitab bukanlah merupakan firman Allah yang telah diwahyukan
dalam pengertian obyektif. Anggapan dasar kritik bentuk ialah bahwa kitab-kitab Injl
terutama merupakan hasil peredaksian oleh gereja mula-mula. Tujuan metode kritik
bentuk ialah untuk menganalisa sejarah tradisi lisan yang mendasari kitab-kitab injil.
Langkah dalam metode ini ialah mengakui bahwa setiap petunjuk dalam kitab-kitab
injil mengenai urutan, waktu, tempat dan lain-lain, semua tidak historis dan tidak
dapat dipercaya. Hasil dari metodologi semacam ini menimbulkan sikap yang sangat
skeptis sekali. Bagi Bultman, inti yang benar-benar bersifat sejarah kebanyakan
ditemukan dalam pengajaran-pengajaran Yesus, bukan dalam catatan tentang
perbuatan-perbuatan-Nya dan terlebih lagi dalam penggambaran mengenai pribadi-
Nya. Namun dilihat dari penjelasan diatas kritik bentuk berlaku sewenang-wenang
terhadap para penulis Injil. Para penulis Injil diremehkan bahwa sekedar sebagai
redaktur dokumen-dokumen. Kritik memisahkan kekristenan dari Kristus. Kritik
memisahkan kekristenan dari para rasul. Kritik mengabaikan pendeknya jangka waktu
yang memisahkan kejadian-kejadian historis dengan dokumen-dokumen tertulis.
Salah satu kata kunci untuk mengerti teologia abad ke-20 ialah
“dermotoogisasi”. Itilah ini dipopulerkan oleh Rudolf Bultman ketika ia
memperkenalkan idenya dalam karangannya tahun 1941. Pusat dari konsep ini ialah
pendirian Bultman yang menemukan dua hal dalam Perjanjian Baru. Yang pertama,
Injil Kristen, yang kedua, Pandangan orang pada abad pertama yang bercirikan mitos.
Bagi Bultman mitos ialah cerita yang tidak memdebadakan fakta dari yang bukan
fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu zaman prailmiah. Tujuan mitos adalah
untuk menyatakan pengertian manusia tentang dirinya sendiri, bukan untuk
menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Menurut Bultman ini juga telah
digunakan untuk mengubah Yesus. Bultman menyatakan dalam Perjanjian Baru
semua penyajian tentang Yesus adalah mitos. Demitologisasi ini berarti penafsiran
secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya
sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh orang modern sendiri.
Pada dasarnya, Bultman berkata bahwa gambaran dasar mitologi dari Perjanjian Baru
berpusat pada dua macam pengertian diri. Yang pertama ialah hidup di luar iman dan
yang kedua hidup di dalam iman.
Teologia abad kedua puluh sebagian besar berkisat sekitar “sejarah
keselamatan”. Pendirinya ialah Dr. Oscar Cullman (1902), seorang sarjana perjanjian
baru dari Swiss. Penekanan utama dari sejarah keselamatan adalah pada sejarah
wahyu Allah di dalam sejarah. Penekanan lain dalam ajarannya yang mirip denga
teologi Alkitab ialah penekanan yang kuat pada aspek Kristologi. Wahyu ilahi dan
penebusan semuanya didasarkan atas realitas-realitas sejarah. Landasan dasar itu ialah
sejarah suci. Alkitab dianggap sebagai dokumen yang berisi catatan tentang landasan
dasar itu dan bukan realitas. Tindakan sentral dalam sejarah keselamatan ini adalah
kedatangan Yesus yang pertama sebagai Juruselamat. Hal itu berarti perspektif
tentang eskatologi. Bagi Cullman eskatologi mencakup seluruh peristiwa
penyelamatan, mulai dari inkarnasi sampai dengan kedatangan yesus kedua kali.
meskipun memberi penekanan Alkitab, namun orang-orang ini masih ragu-ragu untuk
menganggap bahwa makna keselamatan sudah diberikan dan dapat diterima secara
obyektif. Mereka menyebut pengalaman agamiah atau keputusan sebagai titik temu
Wahyu. Cullman mengabaikan keilahian Kristus berarti ia menyangkal Kristus yang
disaksian di Alkitab. Cullman berpendapat bahwa kekekalan hanya merupakan waktu
yang tidak berkesudahan. Cullman mengajarkan bahwa waktu bukan sekedar konsep
yang membatasi sifat alami manusia dan ciptaan. Ia mengatakan juga bahwa Allah
sendiri tidak di luar batas waktu. Ajaran ini menghapuskan batasan antara Allah
dengan manusia.
Salah satu kecendrungan dalam pemikiran masyarakat Barat pada abad ke-20
adalah sekularisasi masyakarat. Salah satu pernyataan baru yang paling berani tentang
manusia “Sekularis yang meninggalkan Allah” muncul dalam apa yang disebut
teologia sekularisasi. Teolog-teolog sekuler menuntut agar pembedaan antara gereja
dan dunia harus dihapuskan. Gereja harus berperan serta dalam politik dan revolusi.
Karena dikatakan bahwa itu merupakan tempat di mana Allah bertindak dewasa ini.
Dan penginjilan juga diberi arti baru yang adalah aktivitas politk dan pekerjaan sosial
di kalangan orang miskin. Teologi sekuler berusaha mengurangi sebanyak mungkin
bentuk supranaturalisme. Penebusan menjadi sekedar Yesus yang menyerahkan diri
secara total dala kasih kepada orang-orang lain di mana ia menyingkapkan dan
memperlihatkan dasar keberadaan manusia yang adalah kasih. Begitu pula teolog
sekuler menentang konsep kerajaan supranatural yang akan muncul pada kedatangan
Kristus yang kedua kali. satu-satunya dunia yang dikenal adalah di sini dan sekarang.
Konsep tentang sorga disebut sebagai “pintu pelarian”. Teolog sekuler secara
konsisten menolak kesaksian Alkitab tentang Allah, dunia dan manusia. Mereka juga
menolak eskatologi Alkitabiah. Teologia sekuler berbicara tentang suatu kerajaan
yang berpusat pada karya dan masa mendatang manusia yang otonom. Teologi
sekular paling sedikit memperlihatkan hal-hal seperti yang pernah disebut sebagai
“suatu kerinduan untuk menyatakan kembali kekristenan dalam istilah-istilah yang
dapat kokoh di tengah-tengah pemikiran modern dan hanya dapat diterjemahkan ke
dalam istilah-istilah yang relevan untuk abad ke-20”. Hanya ada satu jawaban untuk
kerinduan itu yakni, suatu pernyataan kembali doktrin-doktrin anugerah Allah yang
berdaulat bagi dunia yang mengasihi dirinya sendiri.
Dalam situasi kekristenan yang merosot di dunia Barat, pandangan-pandangan
tradisional tentang etika Kristen dengan cepat telah ditinggalkan oleh banya orang.
Etika situasi ialah reaksi terhadap hukum-hukum moralitas, peraturan-peraturan, dan
prinsip moral yang lama sebagai penuntun perilaku. Moralitas baru menekankan
“situasi” atau ”reaksi eksistensial”. Suatu perbuatan dikatakan salah bukan karena
prinsip tapi situasi. Kriteria utama untuk menuntuk perilaku bukan kode etik tetapi
kasih agape. Kasih agape ini menghendaki kebaikan sesamanya, tidak perduli apakah
disukai atau tidak. Dalam etika situasi segala sesuatu bergantung pada situasi. Etika
situasi membuat progrmanya tanpa memberi perhatian pada pertobatan, penghakiman,
iman dan penebusan.
Teologia pengharapan yang diperkanalkan oleh Jurgen Moltmann melalui
bukunya “the theolgy of hope” sempat menggoncangkan dunia akademik. Dalam
teologi Moltmann kekelan lenyap ditelan oleh waktu. Menurut Moltmann, seluruh
teologia Kristen harus dicetak dan dibentuk oleh eskatologi. Konsep eskatologi
Moltmann ditafsirkan sebagai keterbukaan pada masa yang akan datang, kebebasan
pada masa yang akan datang. Tidak ada wilayah supraalami di mana Allah sudah ada
dalam kekekalan. Menurut Moltmann masa lalu tidaklah penting yang paling penting
ialah masa yang akan datang.
Pada tahun 1950 muncul teologia sejarah yang dipopulerkan oleh Wolfhart
Pannenberg. Pannenberg menekankan bahwa wahyu Allah tidak datang langsung
kepada manusia, tetapi selalu melalui sesuatu pengantara, yaitu melalui kejadian-
kejadian sejarah. Pengetahuan mengenai sejarah merupakan dasar satu-satunya untuk
iman. Maka iman adalah pengetahuan tentang sejarah. Menurut Pannenberg
kebangkitan Yesus bukanlah mitos namun dilihat dari sejarah itu adalah fakta.
Teologia evolusi dipelopori oleh Pierre Teilhard de Chardin. Dalam teori
evolusinya, Teilhard memasukan teologia dengan meramalkan masa depan evolusi.
Pusat dari proses evolusi ini, prinsip intinya adalah Kristus. Kristus bagi Teilhard
adalah pencerminan ke dalam hati dari proses titik omega yang berada pada proses
itu. Bahasa dalam teori ini dinilai terlalu berbelit-belit. Ajaran Teilhard adalah
pemisahan alam dan anugerah. Teilhard menganggap bahwa melalui proses evolusi
manusa akan mencapai martabat dan kehidupan rohani yang sejati. Teilhard dalam
teorinya mengabaikan kedatangan Yesus Kristus.
Teologia proses mengambil perkembangan-perkembangan dari Harsthorne
dan mulai menerapkan perkembangan-perkembangan tersebut lebih khusus dalam
dunia teologia. Teologia proses mengompromikan kedaulatan Allah. Pusat ajarannya
tidak ada Allah yang berdaulat, yang mengatur dan yang membentuk sejarah dan
manusia. Hal-hal supranatural dibuang, mujizat-mujizat lenyap, dan Allah Alkitab
yang hidup dipendam di balik motif-motif tentang yang ada. Menolak secara mutlak
transendensi Allah. Menumbangkan kasih Allah menjadi suatu prinsip universal yang
meluas melalui Yesus sebagai Manusia yang terpilih untuk semua manusia.
Menurut Tillich, kita harus mulai dengan mendefenisikan ulang makna agama.
Agama bukanlah sekedar kepercayaan-kepercayaan atau perbuatan-perbuatan
tertentu. Hal yang paling dasar adalah “ada” (being) itu sendiri atau yang secara
tradisi kita sebut Allah. Bagi Tillich, Allah bukanlah suatu benda dan bukan juga
suatu oknum. Allah melampaui yang ada dan semua benda. Allah adalah “ada” itu
sendiri, kuasa dari “ada” dasar dari “ada”. Sekalipun menganggap Allah sebagai
oknum yang ada, yang tertinggi, hal itu tetap akan menurunkan Dia sampai tingkat
yang tertinggi, hal itu tetap akan menurunkan Dia sampai tingkat makhluk. Begitu
Tillich, mengukuhkan adanya Allah, adalah sama atheistisnya dengan
menyangkalnya. Menurut Tillich konsep tradisional tentang dosa yang mengakibatkan
ketegangan-ketegangan dalam kehidupan masa kini melainkan pemisahan dari asas
“ada”. Tillich menolak sama sekali semua penafsiran ortodoks menganai pribadi dan
pekerjaan Kristus. Pengudusan juga didefenisikan kembali sebagai proses yang
melaluinya kuasa “ada yang baru” itu meruubah kepribadian dan komunitas baik di
dalam maupun di laur gereja.
Untuk beralih dari banyak pikiran modern ke mistikisme, misalnya dari
“teologia ada” Tillich ke slogan-slogan dari Zen Budhisme tidak memerlukan suatu
langkah jauh. Ciri intinya adalah kepercayaan pada wahyu khusus di luar Alkitab.
Orang mistik dapat menyatakan bahwa Alkitab hanyalah suatu kesaksian tentang
pewahyuan sambil menanti kehadiran Allah dalam dialog dengan orang berdosa untuk
menjadi pewahyuan khusus. Dengan hilangnya patokan obyektif, mistikisme
menekankan subyektivisme dan emosionalisme. Mistikisme biasanya kurang
menekankan gereja yang ada dan berpusat pada suatu pemimpin. Mistikisme
menekankan eskatologi dalam arti terbatas. Bagi orang-orang mistik yang
keyakinannya lebih mendekati pengakuan akan otoritas Alkitab, maka pandangan
eskatologis mereka sama sekali terbatas pada peristiwa-peristiwa kedatagan Kristus
kedua kali. Bagi orang-orang mistik yang bergerak jauh dari pembatasan-pembatasan
otoritas Alkitab, eskatologi biasanya bebas dari penunjukan-penunjukan pada
kedatangan Kristus kedua kali. mistikisme cenderung melupakan bahwa suatu
keseimbangan adalah perlu dalam penggunaan emosi. Kecendrungan mistikisme
untuk menekankan karunia-karunia Roh Kudus yang menakjubkan, sering kali
menyebabkan dilalaikannya nilai tetap dari karunia yang umum.
Pada abad ke-18, kehidupan John Wesley dibentuk dan dinyalakan kembali
melalui api pietisme. Mereka menyalakan suatu keprihatinan kepada kesalehan yang
benar, pada waktu kesalehan hampir tidak ada. Mereka memperbaiki pendidikan
penggembalaan serta memberika nafas kehidupan rohani kepada pengganti ortodoksi
yang mati. Mereka memberikan doronga untuk beberapa nyayian gereja yang terbaik
(Charles Wesley) dan berperan dalam menghasilkan sebagian musik dunia yang
teragung (Handel dan Bach). Tekanan mereka pada pengalaman, dapat dengan mudah
mengalami kemunduran menjadi obyektivisme, bahkan mistikisme. Hasilnya dilihat
pada sistem liberalisme yang dibentuk oleh Schleiermacher, yang inti pengetahuannya
adalah agama sebagai “perasaan”. Schleiermacher dididik dalam suatu keluarga pietis
dan dalam perguruan Moravian (yang jua pietis). Dalam pietisme emosi ditekankan
begitu kuatnya sehingga peranan intelek secara serius dirugikan. Pietisme tidak dapat
melihat kebutuhan penyaluran iman Kristen yang lebih luas, misalnya dalam bidang
politik, kemasyarakatan, atau perburuhan. Menurut mereka kekristenan berparitisipasi
dalam masyarakat hanya sejauh menghimbau kepada orang berdosa untuk bertobat an
beriman kepada Kristus. Pietisme kurang menekankan doktrin dan terlalu
menekankan segi praktis. Terlihat dari sejarahnya petisme juga cenderung
mengakibatkan timbulnya “gereja kecil di dalam gereja”, yang disertai bahaya yang
nyata akan terjadinya kekacauan, dan kesombongan rohani. Pietisme cenderung
mengizinkan kebiasaan ibadah seperti membaca Alkitab, berdoa, dan pergi ke gereja,
sebagai pengganti perilaku hidup kristen yang menyeluruh.
Pada akhir abad 19, fundamentalisme di Amerika sudah dipengaruhi oleh
teolog gerakan “the brethren”. Dalam persekutuan-persekutuan mereka ini mulailah
muncul cara pendekatan yang baru dalam penafsiran nubuat-nubuat alkitabiah.
Penganut-penganut dispensasionalisme (tidak seperti premilenialis historis) selalu
menafsirkan Alkitab yang “merohanikan” atau mengalegoriskan” orang-orang yang
tidak menafsir Alkitab dengan tingkat harafiah sama seperti yang mereka lakukan.
dispensasionalisme (tidak seperti premilenialiss historis) menolak adanya hubungan
anata Israel Perjanjian Lama dengan Gereja Perjanjian Baru. dispensasionalisme
(tidak seperti premilenialiss historis) mengatakan bahwa sejarah urusan Allah dengan
manusia terdiri dari tujuh kurun waktu (yang mereka sebut “dispensasi”) yang
berbeda. dispensasionalisme (tidak seperti premilenialiss historis), menekankan
bahwa oanh berdosa diselamatkan oleh anugerah setiap zaman, mengaskan bahwa
hukum (taurat) dan anugerah berbeda secara radikal. dispensasionalisme (tidak seperti
premilenialiss historis) mengatakan bahwa Kerajaan yang Yesus tawarkan kepada
orang Yahudi bukanlah kerajaan rohaniah, tetapi pemulihan duniawi dari kerajaan
Daud dalam Perjanjian Lama. dispensasionalisme (tidak seperti premilenialiss
historis) mengatakan bahwa gereja secara rahasia akan diangkat ke udaya untuk
bertemu dengan Kristus sebelum masa kesesakan yang besar pada akhir zaman.
Salah satu dari kata-kata yang paling dicemarkan dalam perbendaharaan kata
teologis pada masa kini, ialah “Fundamentalisme”. Pendukung fundamentalisme ialah
Carl McIntire. Dalam pengertian yang luas, Fundamentalisme secara sederhaa dapat
dipandang sebagai salah satu nama lagi untuk kepercayaan kristen yang historis,
pertahanan dan perambatan Injil yang supranatural. Fundamentalisme sebagai suatu
istilah, tidak cukup luas konotasinya untuk menjabarkan imannya. Oleh karena
fundamentalisme merupakan penggabungan teologis dari beberapa jenis pandangan
yang diantaranya cukup jauh berbeda, hal itu cenderung menyebabkan kurangnya
keprihatinan terhadao formulasi yang tepat dari doktrin Kristen. Gerakan
fundamentalisme cenderung mempersempit seluruh ajaran firman Allah dan tidak
mengeterapkan wahyu kristen pada kehidupan budaya dan sosial.
Sejalan dengan fundamentalisme awal, Neo-Fundamentalisme berusaha
menyebarkan dan memberla Injil. Tapi penekanan terhadao pembelaan semakin
melampaui penekanan terhadap penyebaran. Sejalan dengan Fundamentalisme, Neo-
Fundamentalisme berbicara tegas untuk kekristenan Alkitabiah, tapi Neo-
Fundamentalisme menyatakan “suatu larangan yang disengaja atas pembahasan
perbedaan doktrinal”. Penekanan Neo-Fundamentalisme semakin cenderung jatuh
pada azas-azas yang terpisah satu dari yang lain, dan enggan mempelajri formulasi-
formulasi doktrin yang tepat, yang dapat memisahkan pengikut Calvinis dari
Arminian atau pengikut Dispensasionalis dari Calvinis. Neo-Fundamentalisme
cenderung memperlihatkan suatu penekanan yang kuat atas pengalama agamawi
pribadi, sementara pada saat yang sama memperingan penekanan atas perintah
kekristenan terhadap kebudayaan masyarakat. Ketidakpercayaan Neo-
Fundamentalisme yang wajar terhadap evolusi sering kali beralih menjadi suatu
ketidalpercayaan terhadap ilmu pengetahuan juga. Neo-Fundamentalisme berusaha
menunjuk liberalisme dalam setiap denominasi yang ada dan mendesak kerjasama di
antara orang-orang konservatif. Neo-Fundamentalisme sangat menekankan doktrin
gereja Alkitabiah. Neo-Fundamentalisme menciptakan gereja yang kelihatan dan
gereja yang tidak kelihatan. Neo-Fundamentalisme menegaskan bahwa masalah-
masalah sosial dan pribadi, tidak dapat diselesaikan dengan tuntas kecuali melalui
kelahiran baru setiap individu secara supranatural oleh pekerjaan roh kudus
Tahun 1948 pada waktu kebaktian pembukaan semester baru di Fuller
Theological Seminary di California, Dr. Harold Ockenga memperkenalkan sebuah
kata baru unutk dunia teologia yaiu Neo Evangelikalisme. Neo Evangelikalisme
dimulai dari suatu protes, dalam hal ini protes yang diarahkan sama kerasnya baik
terhadap teologia injili maupun teoligia liberal. Inti debat paling kritis yang
dipermasalahlan golonngan Neo Evangelikalismeadalah tentang otoritas dan
ketidakbersalahan Alkitab. Bagi tokoh Neo Evangelikalisme, inspirasi dan
ketidabersalahan Alkitab bukanlah konsep-konsep yang sepadan. Ini tidak harus
berarti (seperti yang ditafsrikan beberapa orang)bahwa Neo Evangelikalisme
menyangkal ketidakbersalahan Alkitab.
Neo Evangelikalisme (kelihatanya merupakan satu kata yang masih sangat
baru dalam dunia kosa kata), namun kebanyakan tekanan-tekanan mereka dapat
disebut sebagai bernada Neo Evangelikalisme. Golongan Neo Evangelikalisme sering
kali dinamakan sebagai golongan yang mirip-mirip bidat yang tidak sungguh-
sungguh, dan gerakan itu dicela karena lahir dari kompromi, diasuhu dengan
kebangaan intelek, bertumbuh dengan peredaan yang jahat, dan dihukum melalui
penghakiman firman Allah. Lightner, seorang yang pakar dalam memberikan kritik
terhadap Neo Evangelikalisme, telah menulis kata-kata bijaksana berikut ini.”karena
bgitu luasnya perbedaan pendapat yang timbul dalam Neo Evangelikalisme, tidaklah
bijaksana kalau kita mencoba berbicara bagi mereka semua. Beberapa dari mereka
yang senang disebut Neo Evangelikalisme memiliki banyak kesamaan dengan Neo-
Liberalisme, Neo-Ortodoksi atau Fundamentalisme dari pada orang-orang lainnya”.
Sehubungan dengan itu luasnya perbedaan dalam tubuh Neo Evangelikalisme, maka
disimpulkan bahwa Neo Evangelikalisme bukanlah suatu geraka, suatu teologia, atau
pendirian teologia, merupakan hanya suatu semangat, suatu temperamen, suatu
kecondongan. Seruan Neo Evangelikalisme supaya Injil dirembeskan ke masyarakat,
ke pendidikan, ke kebudayaan, merupakan suatu seruan calvinisme sejak bertahun-
tahun diusahakan. Bahkan dewasa ini, orang calvinis mendapatkan bahwa ia
bersimpati secara mendalam dengan beberapa tekanan Neo Evangelikalisme.
Misalnya, seruan untuk suatu berita Kristen yang tidak mau mengatasi seluruh
masyarakat sosial hanya dengan menyatakan bahwa keselamatan sajalah jawabannya;
suatu pencarian prinsip-prinsip Kristen untuk diterapkan pada ekonomi, sosiologi,
serta ilmu-ilmu alami; suatu sikap yang lebih membangun terhadap sains dan filsafat;
dorongan supaya ada pembelaan kekristenan yang lebih akademis. Pada saat yang
bersamaa, ada masalah-masalah yang belum diatasi oleh Neo Evangelikalisme, dan
ada tanda-tanda di mana kelihatannya Neo Evangelikalisme berada dalam bahaya
mengkrompomikan agama Kristen. Neo Evangelikalisme tidak memberikan suatu
apologetik yang sungguh-sungguh sesuai dengan Kristus yang membuktikan
kebenaran dirinya.
Perjalanan dunia teologia telah membawa kita dari demitologisasi hingga Neo
Evangelikalisme. Kini kita telah sampai pada akhir perjalanan itu kepada apa yang
disebut keyakinan reform atau yang biasa disebut juga dengan Calvinisme. Asal mula
kata “Reform” itu menyatakan ciri-ciri gereja-gereja pada abad ke-16 yang bangkit
untuk memprotes kekeliruan-kekeliruan dan penyimpangan-penyimpangan yang
menguasai Gereja Roma Katolik pada abad pertengahan. Kemudian istilah itu
mempunyai makna yang lebih terbatas. Dalam bidang teologia istilah itu biasanya
diidentifikasikan dengan lima butir: kebobrokan total, pemilihan tanpa syarat,
pendamaian terbatas, anugerah yang tak dapat ditolak, ketekunana orang kudus. Butir-
butir tersebut telah dipersiapkan dalam suatu debat teologis yang mencoba
mendefenisikan inti Injil yang sesungguhnya, yakni arti anugerah atau kasih karunia.
Butir-butir tersebut dirumuskan pada sidang Dordt di Belanda yang terkenal kira-kira
350 tahun yang lalu. Belokan baru ini tidak biasanya disebut calvinisme atau
keyakinan reform. Keyakinan reform masih merupakan kata yang berarti bagi
teologia yang mencakup/melingkupi dunia. Reform membangun iman diatas landasan
firman Tuhan. Keyakinan reform berada di abad ke-16 di Eropa dan berlangsung pada
abad ke-20 ini berdasarkan apa yang disebut sebagai “tiga kenyataan Alkitab” oleh
Dr. Calvin Seerveld dari Trinity Christian College, Chicago. Gereja bukanlah
sekumpulan anggota-anggota individu, melainkan satu tubuh, tubuh Kristus, umat
Allah, persekutuan Roh. Kehidupan gereja di dalam Perjanjian Baru merupakan suatu
kehidupan yang betul-betul menyeluruh dan mencakup segala hal. Gereja di dalam
Kisah Para Rasul 2 dan 4 kelihatannya hampir menyerupai suatu komuni, dengan
persekutuan yang membagi materi secara suka rela, yang menuruti aturan anggota-
anggota yang lebih daripada 3000 orang. Kehidupan rohani jauh lebih luas dari apa
yang dilakukan di dalam sebuah gedung selama satu jam setiap hari Minggu.
Kehidupan rohani itu nyata dalam kehidupan mereka yang dikuasi Roh Kudus
sehingga mereka menjadi surat-surat Kristus yang hidup. Sesungguhnya keyakinan
reform tidak berhenti pada lima butir saja, itu hanya permulaan saja.

Anda mungkin juga menyukai