Anda di halaman 1dari 11

Hubungan antara

Jesus of History dan


Christ of Faith
(Sebuah Tinjauan terhadap
Kristologi Bultmann)

I. Pendahuluan

Dalam sejarah panjang teologi sejak masa reformasi telah terjadi perdebatan yang belum
berakhir tentang historisitas Yesus [1] dalam hubungannya dengan iman Kristen. Tokoh
reformasi seperti Martin Luther dan Calvin sama sekali tidak mempermasalahkan iman
Kristen yang bersumber pada Yesus yang sungguh-sungguh pernah hidup dan berkarya
di bumi. [2] Kemudian peradaban manusia masuk pada masa pencerahan yang ditandai
dengan pengagungan ilmu pengetahuan dan berkembangannya rasionalisme. Pada masa
ini dalam bidang teologi dimulailah suatu usaha untuk merekonstruksi historisitas Yesus
sebagai akibat berkembangnya berbagai macam kritik Alkitab terutama higher criticism.
Hermann Samuel Reimarus (1694-1768) menjadi pelopor dari usaha rekonstruksi ini.
Hasil karyanya yang dipublikasikan pada tahun 1774 oleh G. Lessing membangkitkan
suatu usaha untuk membuat a new Christology [3] yang kita kenal sekarang sebagai the
old quest. [4] Tokoh liberal abad ke-19 lainnya yang juga melakukan usaha yang sama
antara lain Strauss (1808-1874) dan Albert Schweizer (1875-1965). [5] Kita dapat
melihat bahwa ketiganya berpresuposisi bahwa ketika historitas Yesus yang sebenarnya
dapat ditemukan maka hal itu akan menjadi sangat vital bagi kepentingan iman Kristen.
Dengan cara yang berbeda, ketiganya berusaha membuktikan bahwa gambaran
tradisional tentang Yesus tidak dapat dipercaya. [6]

Pada pihak lain, seorang teolog Jerman bernama Martin Kahler (1835-1912) berjuang
untuk menentang pandangan dari teolog-teolog liberal abad ke-19 itu. Ia yang kemudian
menyiapkan langkah bagi Karl Barth dan Bultmann sebagai tokoh neo-ortodoks.
Kahlerlah yang pertama kali mempopulerkan istilah kerygma yang berarti proklamasi
Injil. [7] Dari pandangan Kahler inilah kemudian kita mengenal istilah Yesus Kerigma.
[8] Pandangan Kahler ini kemudian menjadi dasar bagi Bultmann untuk argumentasi no
quest yang berada dalam posisi skeptis yang radikal terhadap historisitas Yesus. [9]
Berbeda dengan arus old quest yang menekankan pentingnya historisitas Yesus, arus no
quest justru tidak menganggap penting usaha rekonstruksi Yesus Sejarah (the Historical
Jesus) karena yang terpenting adalah Kristus yang diimani (Christ of Faith) dari
pemberitaan tentang Kristus (Kerygmatic Christ).

Dari pemaparan sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perdebatan yang
tidak kunjung selesai mengenai keutuhan dan kesinambungan antara Christ of faith
dengan Jesus of history. Apakah kita harus menekankan pada Kristus yang diimani oleh
orang percaya secara subyektif (pemaknaan pribadi lepas dari obyektifitas data-data
historis tentang Yesus) atau sebaliknya menekankan kebenaran data-data historis tentang
Yesus? Dengan bahasa yang lebih sederhana: apakah iman tidak membutuhkan
kebenaran historis? Jika membutuhkan, sejauh mana signifikansi kebenaran historis
terhadap iman ? Apakah iman yang tidak disertai kebenaran historis tidaklah dapat
disebut sebagai iman yang dapat dipertanggungjawabkan? Kemudian dari pertanyaan-
pertanyaan filosofis inilah setiap orang Kristen diperhadapkan dengan suatu pertanyaan
yang perlu dijawab, yaitu apakah saya dapat mempercayai Yesus seperti yang
digambarkan oleh penulis Alkitab khususnya kitab-kitab Injil? Bila Yesus yang saya
percayai seperti yang digambarkan Alkitab mengenai pekerjaan dan pengajaran-Nya
tidaklah benar secara historis, apakah hal itu berdampak terhadap iman saya kepada
Kristus? Bisakah iman kepada Yesus jauh lebih berarti dibandingkan historisitas Yesus
itu sendiri? Atau sejauh mana signifikansi dari historisitas Yesus? Bisakah saya memilih
salah satunya saja: Jesus of history atau Christ of faith? Atau saya harus mempercayai
keduanya? Mengapa perlu? Bisakah saya mempercayai keduanya?

Rangkaian pertanyaan yang sangat mendasar untuk pemahaman iman Kristiani tentang
hubungan antara iman terhadap Kristus yang diberitakan dengan kebenaran historisitas
Yesus inilah yang kemudian coba kami gumuli melalui paper ini. Melalui studi
kepustakaan yang dilakukan diharapkan kami dapat menemukan jawaban yang dapat
menguatkan iman orang percaya. Untuk membatasi pokok pembicaraan maka kami
hanya akan memfokuskan diri kepada Kristologi Bultmann yang secara radikal menolak
kepentingan historisitas Yesus dalam iman Kristen. Setelah pembahasan mengenai
pandangan Bultmann mengenai hal ini, maka kami akan mencoba untuk memberikan
evaluasi terhadap pandangan Bultmann tersebut untuk kemudian dapat mengambil suatu
kesimpulan mengenai sikap kami terhadap isu ini. Untuk mencapai tujuan ini maka kami
membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
I. Pendahuluan: pemaparan sejarah, latar belakang masalah, kepentingan pembahasan,
dan sistematika pembahasan.
II. Kristologi Bultmann: presuposisi, hermeneutika dan pemikiran teologisnya.
III. Evaluasi: pemikiran Bultmann mengenai Jesus of history dan Christ of faith.
IV. Kesimpulan.

II. Kristologi Rudolf Bultmann

Untuk memahami kristologi Bultmann, secara khusus dalam skeptiskismenya yang


radikal terhadap Jesus of history, maka kita harus memahami presuposisi dan beberapa
pemikiran teologis yang membentuk pandangannya, yaitu:

1. Teks kitab Injil

Bultmann memandang bahwa kitab Injil Sinoptik merupakan produk dari gereja mula-
mula yang telah dibumbui dengan cerita-cerita mengenai kehidupan Yesus. Cerita-cerita
ini pada dasarnya adalah mitos-mitos Yahudi dan Yunani yang tercampur baur
didalamnya dan membentuk pribadi Yesus. [10] Bultmann menganggap bahwa para
penulis Injil hanyalah orang yang mengumpulkan fragmen-fragmen tulisan mengenai
Yesus dan bekerja sebagai editor dalam menulis Injil-Injil ini. [11] Implikasinya jelas.
Bagi Bultmann teks Injil harus dicari bentuk-bentuk aslinya dan kemudian dibongkar dari
'hiasan-hiasannya' (Form Criticism) agar dapat ditafsirkan dengan tepat.

2. Hermeneutika Bultmann

Berangkat dari pemahaman atas Injil sebagai tulisan yang penuh dengan mitos maka
Bultmann mengajukan metode penafsiran demitologisasi sebagai metode interpretasi
terhadap Perjanjian Baru. [12] Adalah bukan tujuan Bultmann untuk menghilangkan
pernyataan-pernyataan mitos dalam teks Perjanjian Baru tetapi justru ia berusaha untuk
menafsirkannya secara lebih tepat. Sebagai contoh: ketika kita berbicara mengenai Allah
yang dikatakan oleh Alkitab sebagai Allah yang berdomisili di sorga, maka bagi
Bultmann hal itu hanya berarti bahwa Allah adalah di atas dunia dan transenden adanya.
[13] Selanjutnya, sebagai seorang penafsir eksistensialis (dipengaruhi oleh Martin
Heidegger) Bultmann amat menekankan mengenai teologi yang dibangun di atas dasar
pengalaman eksistensial dari iman. Pertanyaan penting yang harus diajukan ketika
menafsir teks Alkitab adalah 'apakah maknanya/beritanya untuk zaman ini?'. [14]

3. Pemikiran Teologis Bultmann

Bagi Bultmann, Allah adalah "The wholly other" karena secara eksistensial ada gap
antara Allah dan manusia. [15] Pengalaman pertemuan dengan "The wholly other" inilah
yang menjadi dasar pemahaman Bultmann tentang iman. Iman Kristen sama sekali tidak
bergantung pada pernyataan mengenai Jesus of history tetapi merupakan suatu respon
pribadi pada Kristus yang diberitakan (Kristus yang kerigmatik). Hal yang utama dalam
iman bukanlah kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai Yesus secara
historis tetapi "encounter" dengan Kristus pada masa kini. [16] Iman semacam inilah
yang bagi Bultmann telah memelihara jemaat mula-mula yang berkebudayaan helenistik
untuk dapat bersaksi dan bertahan ditengah penganiayaan. [17] Selanjutnya, Bultmann
juga mengakui akan keunikan iman Kristen yang mempunyai kerigma tentang Allah
yang memilih Yesus untuk rela mati di salib sebagai jalan melaluinya umat manusia
diperdamaikan dengan Allah. [18] Kerigma inilah yang menurut Bultmann merupakan
sentral dari iman dan sekaligus fokus utama dari teks Perjanjian Baru itu sendiri. [19]

Ketiga pandangan diatas telah menjadi suatu landasan bagi Bultmann untuk membangun
pemahamannya mengenai tokoh Yesus Kristus. Dalam kaitan dengan isu Christ of faith
dan Jesus of history, dapat disimpulkan Bultmann memahaminya sebagai berikut:
Sebagai akibat dari pressuposisinya atas Alkitab (khususnya kitab Injil) sebagai
tulisan hasil redaksional yang penuh mitos, maka Bultmann memandang bahwa
Yesus yang tertulis dalam Injil merupakan suatu penafsiran atas pribadi dan
pengajaran Yesus yang dibentuk oleh gereja mula-mula dan sebagian besar
merupakan mitos. [20] Mitos- mitos ini mencakup cerita kehidupan Yesus
seperti : Yesus lahir dari anak dara, inkarnasi, penyaliban, pra eksistensi Yesus.
[21] Oleh karena semua cerita tersebut bersifat mitos maka hal ini bukanlah suatu
gambaran yang obyektif sehingga tidak boleh dipahami bahwa secara historis
sungguh-sungguh terjadi. Teks Injil Sinoptik sama sekali tidak dapat
menyediakan fakta-fakta mengenai historical Jesus atau kehidupan Yesus dari
Nazaret yang sesungguhnya dalam "palestinian origin". [22] Hal inilah yang
menyebabkan Bultmann sama sekali tidak mau mempertanyakan mengenai
historical Jesus atau berusaha membangun Jesus of history. [23]

Demitologisasi sebagai metode hermeneutika Bultmann mendorongnya untuk


menafsirkan Alkitab dengan cara melepaskannya dari mitos-mitos yang ada.
Berita Alkitab yang relevan untuk masa kini, itulah yang dikejar oleh Bultmann.
Oleh karena itu, ia menekankan pada Kristus yang diberitakan Alkitab (Kristus
yang kerigmatik) dan kemudian diimani oleh jemaat (Christ of faith) lebih
daripada pencarian mengenai fakta-fakta mengenai Yesus sejarah. Demitologisasi
membawa Bultmann pada pemikiran bahwa Jesus of history adalah berbeda
dengan Christ of faith. Kristus yang diimani berbicara mengenai makna dan arti
Kristus bagi kita, bukan fakta-fakta. [24] Makna-makna ini muncul karena Yesus
tidak hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat eskatologis, tetapi juga
berbicara mengenai hal yang relevan bagi orang modern seperti : kehendak Allah,
tuntutan Yesus atas kebenaran, kesucian, serta kesiapan untuk berkorban dan
mencintai. [25]

Pemahaman Bultmann atas iman yang subyektif, pertemuan dengan Kristus secara
eksistensial dan pengejaran atas kerigma sebagai fokus utama dari penafsiran teks
Perjanjian Baru membawanya pada pemikiran sebagai berikut :

Jesus of history tidaklah relevan dengan iman Kristen. [26] Iman Kristen
tidaklah dibangun diatas dasar rekonstruksi atas historical Jesus, tetapi
sebagaimana naturnya, iman hanya percaya saja tanpa perlu melihat fakta-
fakta obyektif dan historis.

Christ of faith saja telah terbukti dalam memelihara iman jemaat Kristen dari
bapa-bapa gereja sampai dengan masa kini. Oleh karena itu penyelidikan
teolog-teolog mengenai historical Jesus merupakan suatu usaha yang
tidak berguna. Bagi Bultmann, kekurangan data mengenai historical Jesus
bukanlah suatu ancaman bagi iman Kristen karena kerigmalah yang
menjadi sentral dari iman, bukan fakta sejarah. [27]

Jesus of history bukanlah fokus dari wahyu Allah. Yang paling penting adalah
bahwa di dalam Yesus, Allah telah menjalankan penebusan-Nya.
Berita/kerigma dari Yesus adalah sebuah presupossi dalam teologi
Perjanjian Baru lebih daripada sekedar bagian dari teologi itu sendiri. [28]
Kesimpulannya bagi Bultmann sudah jelas. Jesus of history, No Quest!
Christ of faith, this is the focus of Christianity! [29]
III. Evaluasi

Dalam evaluasi ini kami akan mencoba melihat pokok-pokok pikiran Bultmann yang
perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

1. Presuposisi bahwa kitab-kitab Injil penuh dengan mitos.


Ketika ia berpresuposisi seperti ini maka ada beberapa pertanyaan penting yang perlu
ditanyakan kepada Bultmann atau orang-orang yang mengikuti pandangannya yaitu:
kalau begitu mengapa kita harus percaya kepada berita kekristenan? Bagaimana kita
tahu bahwa yang diberitakan itu benar? Apakah ada bukti-bukti mengenai hal itu?
Howard Marshall mengatakan bahwa Bultmann akan menjawab tidak ada jalan untuk
mengetahuinya. Tidak ada bukti historis. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah
menerima berita itu atau menolaknya. [30] Hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Bila
Bultmann tidak dapat menjelaskan alasan mengapa ia percaya bahwa Yesus benar-benar
pernah hidup [31] bagaimana ia bisa begitu yakin dengan kebenaran dari apa yang
diyakininya itu? Ia tidak memiliki dasar bagi kepercayaannya kepada Yesus. Tidak ada
dasar ataupun bukti tentang keberadaan Yesus. Ketika ia menolak kitab-kitab Injil
sebagai suatu kebenaran historis dan hanya memandangnya sebagai suatu mitos, ia tidak
memberikan sumber yang dapat dipercayai secara historis untuk iman Kristen. Bila ia
tidak memandang perlu adanya sumber itu, maka kekristenan menjadi kepercayaan tanpa
dasar. Iman tanpa kebenaran (historis). Masihkah hal ini dapat disebut sebagai iman yang
bertanggung jawab? Tentu saja tidak.

2. Tidak ada data yang mencukupi untuk suatu usaha pembuktian Jesus of history.

Bultmann jelas mengabaikan banyak fakta mengenai historisitas dari banyak peristiwa
dalam kehidupan Yesus. Misalnya dalam hal kebangkitan Yesus, ia secara langsung
menolak kebenaran fakta mengenai hal ini dan secara apriori tidak mau
mempertimbangkan sama sekali bukti-bukti mengenai hal ini. [32] Bultmann terjebak
untuk berasumsi bahwa semua hal yang berkaitan dengan mujizat dalam kehidupan
Yesus adalah suatu mitos. Disini kita dapat melihat bahwa Bultmann adalah seorang
teolog yang sangat terkungkung oleh presuposisi bibliologinya sendiri dan tidak terbuka
untuk melihat bukti-bukti internal maupun eksternal Alkitab yang mendukung fakta
kebenaran mengenai historisitas Yesus, misalnya kelahiran, penyaliban, kematian dan
kebangkitan-Nya. [33]

3. Iman berbicara tentang makna dan arti Kristus bagi kita secara pribadi (Christ
of faith), sentral iman adalah kerigma, dan fakta sejarah (Jesus of history) tidak
relevan terhadap iman Kristen.

Bultmann melakukan kesalahan ketika ia memutuskan kaitan antara Jesus of history


dengan Christ of faith.

Kami menyetujui Bultmann ketika ia menolak bahwa iman harus terlebih dahulu
divalidasi dengan kebenaran historis. Tetapi Bultmann lupa bahwa iman Kristen
muncul dan berkembang di dalam kerangka sejarah, dengan banyak kejadian
historis dimana iman itu berasal mula. Iman Kristen justru berbeda dengan iman
sebagian besar agama-agama lain oleh karena dasar kebenaran historis yang
dimilikinya. Kitab-kitab Injil bukan hanya menyajikan berita (kerigma) mengenai
Kristus tetapi juga fakta sejarah mengenai Yesus. Oleh karena itu kita harus
melihat cerita Yesus dalam Injil sebagai historie (fakta sejarah) dan geschicte
(makna dibalik fakta sejarah) secara sekaligus. [34]

Bultmann mengabaikan kontinuitas antara historical Jesus dengan Christ of faith.


Adalah sangat logis apabila gereja mula-mula yang dekat dengan kehidupan
Yesus memiliki pengetahuan mengenai historical Jesus. Iman dari murid-murid
Yesus telah mewarisi peristiwa-peristiwa historis lebih banyak dari yang kita
ketahui pada zaman ini. Apabila mereka telah menghargai dan menganggap
bahwa Jesus of history dan Christ of faith sebagai satu kesatuan dan sesuatu yang
sama, bagaimana mungkin Bultmann yang hidup pada masa lebih dari seribu
tahun sesudahnya dapat meragukan kesamaan antara keduanya. [35]

4. Christ of faith saja telah terbukti cukup dalam memelihara iman mulai dari
gereja mula-mula sampai pada masa kini.

Melihat apa yang dituliskan dalam Alkitab, kami tidak sependapat dengan kesimpulan
Bultmann ini. Iman yang dimiliki dan terpelihara dengan baik oleh gereja mula-mula
disertai dengan fakta dan kebenaran historis. Argumentasi kami adalah sebagai berikut:
Orang Kristen mula-mula mengkonsentrasikan perhatian mereka kepada Christ of
faith dan kelihatannya tidak terlalu mempersoalkan historisitas Yesus. Hal ini
tidak berarti bahwa historisitas Yesus bukan sesuatu yang vital dalam kekristenan,
melainkan sebaliknya, historisitas Yesus bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan
karena hal itu dekat dengan kehidupan mereka. Gereja mula-mula tentu saja
memiliki banyak informasi historis mengenai kehidupan dan pengajaran Yesus.

Pada masa Perjanjian Baru, para pengabar Injil memberikan kepada pendengarnya
informasi historis sebagai bagian dari pengajaran mereka. Kita dapat melihatnya
pada khotbah Petrus dalam Kis 2:14-30. Dalam khotbahnya ini, Petrus secara luar
biasa membicarakan peristiwa-peristiwa historis yang terjadi tentang Yesus dari
Nasaret yang melakukan banyak mujizat dan tanda diantara orang banyak seperti
yang mereka tahu (ayat 22), Yesus yang disalibkan dan dibunuh oleh orang
Romawi (ayat 23) tetapi bangkit dari kematian (ayat 24). Yesus yang historis
dimana peristiwa-peristiwa yang dialami-Nya itu diketahui oleh para pendengar
Petrus itu adalah Yesus yang diberitakan sebagai Tuhan dan Kristus (ayat 36).
Dengan dasar itulah Petrus mengajak mereka untuk bertobat. Kita dapat melihat
bahwa iman kepada Kristus (Christ of faith) ini disertai oleh berita yang berisi
fakta historis tentang Yesus (Jesus of history). Selanjutnya, dengan tujuan ini
pulalah Injil ditulis. Dokter Lukas secara eksplisit dalam Lukas 1:1-4
menyatakan tujuan ia menyelidiki dengan seksama segala peristiwa yang terjadi
tentang Yesus dan membukukannya adalah supaya pembacanya (Teofilus) dapat
mengetahui bahwa segala sesuatu yang diajarkan itu benar. Injil yang ditulis
untuk memberitakan Yesus Kerigma selalu disertai hal-hal yang bersifat
informasi historis tentang Yesus. Paulus juga menyatakan hal yang senada. Ketika
ia mengungkapkan tentang kebangkitan Yesus, ia menyatakan bila apa yang
sebenarnya terjadi adalah Yesus tidak benar-benar bangkit maka kepercayaan
orang Kristen adalah sia-sia (1Kor 15:12-20). Secara khusus dalam ayat 20
dikatakan 'tetapi yang benar ialah bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara
orang mati'. Penulis-penulis Alkitab ini jelas berusaha membuktikan bahwa apa
yang dipercayai oleh mereka adalah sungguh-sungguh benar adanya. Antara iman
dan kebenaran historis bagi mereka tidak bisa dipisahkan. Kebenaran fakta
historis tentang Yesus sungguh-sungguh penting bagi mereka.

IV. Kesimpulan

Iman Kristen adalah kepercayaan yang memiliki dasar dan keterkaitan yang erat dengan
fakta-fakta historis kehidupan dan pengajaran Yesus Kristus. Para rasul memiliki
kerigma mengenai Yesus yang telah mereka saksikan sendiri keberadaan-Nya selama di
bumi (1Yoh 1:1-4). Gereja mula-mula melanjutkan sejarah iman kepada Kristus dengan
percaya penuh akan keabsahan historisitas Yesus yang dekat dengan kehidupan mereka.
Bagi mereka Christ of faith dan Jesus of history tidaklah berbeda. Ada suatu kontinuitas
dan keutuhan antara keduanya. Dalam proses selanjutnya, kitab-kitab Injil yang ditulis
dengan ilham Allah menjadi sumber dari keduanya baik Christ of faith dan Jesus of
history. Bultmann telah mengabaikan hal ini. Ia telah terkungkung oleh asumsinya
sendiri bahwa Alkitab penuh dengan mitos-mitos dan tidak mau mempertimbangkan
fakta-fakta sejarah yang membuktikan historisitas Yesus. Dalam skeptisismenya yang
radikal terhadap historical Jesus ia telah membuat suatu dikotomi besar antara iman dan
kebenaran historis dimana iman itu berasal mula. Baginya, iman bersifat subyektif dan
merupakan pengalaman eksistensial yang terlepas dari kebenaran historis apa pun.
Walaupun pemahaman ini memiliki kontribusi positif, namun ia telah menjadikan iman
Kristen menjadi iman yang tanpa dasar. Sebagai orang percaya kita memang tidak perlu
menunggu hasil dari pembuktian historisitas Yesus agar memiliki iman kepada-Nya (Yoh
20:29). Akan tetapi kita harus mengingat bahwa iman kita kepada Kristus memiliki akar
sejarah dalam kehidupan Yesus dari Nasaret itu. Oleh karenanya, kita tidak dapat
menolak kepentingan dari kebenaran Yesus historis dalam iman kita kepada Kristus.
Keduanya memiliki kesinambungan dan kesatuan yang jalin menjalin.

Catatan

* Kedua penulis adalah mahasiswa Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) - Malang.

Kita mengenalnya dengan istilah Yesus Historis atau Jesus of history. Istilah ini dapat
kita definisikan sebagai usaha untuk merekonstruksi ulang kebenaran historis
mengenai pribadi dan pengajaran Yesus dari Nasaret. (kembali ke isi)
Lih. Klaas Runia, The Present Day Christological Debate (Leicester: IVP, 1984) 13.
Mereka mempercayai Yesus seperti yang telah dirumuskan dalam konsili Nicea,
Constantinopel dan Chalcedon. (kembali ke isi)
Ibid 14. Klaas Runia menuliskan: a new Cristology which takes it's starting point not
in a divine Person who took manhood upon himself, but in the historical Jesus,
the man Jesus as he was here on earth among us. (kembali ke isi)
Pandangan ini didasari oleh anti dogma dan tradisi Kristen. Bagi Reimarus, Yesus
tidak pernah membuat pernyataan Mesianik apapun, tidak penah mendirikan
sakramen apapun, tidak pernah memprediksikan kematian dan kebangkitan-Nya.
Reimarus beranggapan bahwa semua penulis tentang Yesus telah berusaha
melakukan hal yang sama yaitu merekonstruksi kehidupan dan pengajaran Yesus.
Namun pada kenyataannya terdapat berbagai perbedaan informasi yang diberikan
oleh para penulis, walaupun mereka berada dalam periode yang sama. Bahkan
secara lebih tegas lagi pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa cerita-cerita
tentang Yesus yang sekarang diterima itu hanyalah merupakan penipuan yang
dilakukan dengan sengaja oleh para pengikut Yesus. Karena ketidakpercayaan
akan kebenaran dari Yesus yang digambarkan oleh para penulis Alkitab itulah,
Reimarus kemudian berusaha untuk merekonstruksi ulang kesejarahan dari Yesus
yang diimani oleh orang Kristen tersebut. Usaha penyelidikan untuk mencari
Yesus yang 'sebenarnya' ini kemudian disebut sebagai the old quest yang dimulai
dengan pertanyaan "Seperti apakah Yesus Nasaret yang sebenarnya?" (lih. ed.
Walter A. Elwell, Evangelical Dictionary of Theology [Grand Rapids: Baker,
1984] 584 ; ed. David N. Freedman, The Anchor Bible Dictionary Vol. 3 [Garden
City: Doubleday, 1992] 796 ; ed. Bruce Chilton & Evans. A. Craig, Evaluation of
the State of Current Research [New York: Leiden, 1994] 55-56). (kembali ke isi)
Freedman, The Anchor 797. Penekanan Strauss adalah diperlukannya usaha untuk
membaca kembali arti mula-mula dari kitab-kitab Injil sehingga kebenaran Yesus
dapat diselamatkan dari pemaparan yang tidak historis dari keempat Injil. Ia
berpendapat bahwa kitab-kitab Injil ini lebih bersifat mitos dibandingkan
merupakan kenyataan historis. Selanjutnya, Schweizer dalam argumentasinya
tentang kehistorisan Yesus pada akhirnya menyimpulkan bahwa 'the historical
Jesus never had any existence'. Lebih lanjut dikatakan bahwa Yesus berarti bagi
dunia kita sekarang adalah karena kuasa spiritual luar biasa yang keluar dari
dalam diri-Nya dan sekarang juga mengalir pada masa kita; bukan Yesus historis
tetapi roh yang keluar dari diri-Nya itulah yang akan menguasai dunia pada masa
akan datang. (kembali ke isi)
Freedman, The Anchor 798. (kembali ke isi)
Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini? (Bandung: Yabina, 1997) 53. (kembali
ke isi)
Yesus Kerigma dapat didefinisikan sebagai Yesus yang diberitakan oleh para
penginjil mulai dari para rasul, yang menghasilkan iman dalam diri si pendengar.
Jadi kita bisa melihat bahwa yang diutamakan bukan lagi historisitas Yesus
melainkan iman kepada Kristus yang diberitakan tersebut. (kembali ke isi)
Selanjutnya dalam perjalanan sejarah teologi kita juga mengenal arus The New Quest
yang dipelopori oleh Ernst Kasemann yang menyatakan untuk berhati-hati dalam
memisahkan iman Kristen dari dasar historitas Yesus. Tokoh lain seperti Joachim
Jeremias dengan tegas mengatakan bahwa Yesus yang digambarkan dan
diberitakan dalam keempat Injil dapat menjadi dasar dari iman gereja,
mempercayai setting historis dari karya Yesus merupakan hal yang vital bagi
teologi Kristen masa kini (lih. Freedman, The Anchor 799). Sejarah berlanjut
dengan arus The Third Quest dengan tokoh Meyer, Harvey, Sanders, dll. (kembali
ke isi)
Lih. Rudolf Bultmann, Jesus Christ and Mythology (London: SCM Press, 1960) 17.
Mengenai peristiwa kelahiran dari anak dara, inkarnasi dan penyaliban Yesus,
Bultmann berkata, "It is evident that such conceptions are mythological, for they
were transferred to the historical person of Jesus." (kembali ke isi)
Paul Enns, Moody Handbook of Teology (Chicago: Moody Press, 1989) 576. Bdk.
Harvie Conn, Teologia Kontemporer (Malang: SAAT, 1999) 42. Presuposisi
kritik bentuk adalah bahwa kitab-kitab Injil terutama merupakan hasil
peredaksian oleh gereja mula-mula. Penulis kitab Injil berusaha menyatukan
berbagai tradisi lisan yang berdiri sendiri dan saling berkontradiksi. (kembali ke
isi)
Lih. Bultmann, Jesus Christ 20. Dia berkata, "This method of interpretation of the
New Testament which tries to recover the deeper meaning behind the
mythological conception I call de-mythologizing… ." Selanjutnya ia memaparkan
tujuannya, " Its aim is not to eliminate the mythological statement but to interpret
them." (hal 18). (kembali ke isi)
Menurut Bultmann, ide bahwa Allah benar-benar berlokasi di sorga (di atas) adalah
suatu pemikiran mitos. Bdk. Yakub B. Susabda, Teologi Modern I (Jakarta: LRII,
1993) 126-127. (kembali ke isi)
Bultmann, Jesus Christ 17. Dalam hal ini jelas bahwa Bultmann mempertahankan
gap masa antara dunia Alkitab dan masa kini. Baginya, pertanyaan yang
menyatukan teks kuno dengan pembaca modern adalah keberadaan manusia.
Lihat pembahasan Stanley J. Grenz & Olson, Roger E., 20th Century Theology
(Illinois: IVP,1992) 90-91. (kembali ke isi)
Wholly other bagi Bultmann bukan dalam pengertian bahwa Allah sama sekali asing
dari manusia. Bagi Bultmann, Allah begitu dekat bagi manusia tetapi manusia
seringkali tidak menyadari/ merasakan kehadiran Allah. (kembali ke isi)
Grenz, 20th Century 88. Bdk. Gary R. Habermas, The Verdict of History (Nashville:
Thomas Nelson, 1988) 37. Habermas mengutip perkataan Bultmann yang
menyatakan bahwa kita hampir tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan dan
pribadi Yesus. Oleh karena itu iman merupakan suatu loncatan ke dalam
kegelapan (tanpa bukti faktual). (kembali ke isi)
Susabda, Teologi 126. (kembali ke isi)
Ibid 134. (kembali ke isi)
Grenz, 20th Century 88. (kembali ke isi)
Habermas, The Verdict 37. (kembali ke isi)
Lih. Bultmann, Jesus 17. (kembali ke isi)
Susabda, Teologi 116. (kembali ke isi)
Bultmann bersikap skeptis secara radikal terhadap penelitian mengenai historical
Jesus. Dia tergolong dalam arus No Quest. (kembali ke isi)
Bultmann membedakan antara historie sebagai fakta aktual dan geschicte yang
mengacu pada arti atau signifikansi di balik suatu kejadian dalam sejarah. Bdk.
Grenz, 20th Century 94. (kembali ke isi)
Bultmann, Jesus 18. (kembali ke isi)
Bdk. Grenz, 20th Century 88. Ia menyatakan bahwa bagi Bultmann historical Jesus
memiliki sedikit relevansi dengan iman Kristen. (kembali ke isi)
Ibid 88. (kembali ke isi)
Ibid 89. (kembali ke isi)
Bagi Bultmann keduanya berbeda dan bertentangan. Atas dasar skeptikismenya
terhadap historical research, Bultmann meyakini bahwa hasil dari penelitian atas
historical Jesus pasti tidak dapat valid karena tidak memiliki sumber-sumber
yang mencukupi. (kembali ke isi)
Howard Marshall, I Believe in the Historical Jesus (Grand Rapids: Eerdmans, 1979)
78. (kembali ke isi)
Habermas, The Verdict 36. Ia mengutip perkataan Bultmann yaitu by no means are
we at the mercy of those who doubt or deny that Jesus ever lived. (kembali ke isi)
Habermas, The Verdict 38. Bdk. John Macquarrie, An Existensialist Theology: A
comparison of Heidegger and Bultmann (New York: Harper, 1965) 185-186.
Macquarrie berkata, "But Bultmann does not take the trouble to examine what
evidence could be adduced to show that the ressurection was an objective -
historical event. He assumes that it is myth." (kembali ke isi)
Suatu usaha pembuktian mengenai historical Jesus yang cukup representatif telah
dibuat oleh Josh McDowell dalam bukunya, Evidence That Demands A Verdict
(San Bernado: CCFC, 1972). (kembali ke isi)
Bdk. Morris Ashcraft, Rudolf Bultmann (Massachussets: Hendrickson, 1991) 106. Ia
menyatakan bahwa contoh mengenai peristiwa keluaran bangsa Israel dari Mesir
dapat memberikan kesejajaran dalam hal ini. Iman orang Yahudi tidak dapat
membuktikan berapa banyak jumlah orang Yahudi yang secara tepat terlibat
dalam peristiwa keluaran itu. Orang Mesir juga tidak melihat tangan Tuhan atau
mendengar suara Tuhan dalam peristiwa keluaran itu. Oleh karena itu iman
orang Yahudi terhadap peristiwa tersebut adalah subyektif dan eksistensial. Akan
tetapi orang Yahudi mampu melihat peristiwa keluaran itu sebagai historie dan
geschicte sekaligus. (kembali ke isi)
Lih. Ashcraft, Rudolf 106. Bultmann memang tidak menyatakan secara tegas bahwa
ia membedakan antara keduanya, akan tetapi dalam arus pemikiran No Quest
yang dipeloporinya ia berasumsi bahwa Yesus yang digambarkan dalam Alkitab
penuh dengan mitos-mitos sehingga gereja yang mendasarkan diri pada kitab
Injil untuk melihat Yesus secara historis akan mendapatkan gambaran yang
berbeda dengan Kristus yang diberitakan. Bdk. James D.G. Dunn, Unity ini
Diversity in the New Testament (Philadelphia: Westminster Press, 1977) 209.
Dunn juga berpendapat bahwa Christ of faith tidak mungkin dilepaskan dari
historical Jesus yang dipahami oleh gereja mula-mula karena jikalau demikian
maka kekristenan adalah sesuatu yang lain daripada yang telah diklaimnya.
(kembali ke isi)
 Ashcraft, Morris. Rudolf Bultmann. Massachussets: Hendrickson, 1991.
 Bultmann, Rudolf. Jesus Christ and Mythology. London: SCM Press, 1960.
 Chilton, Bruce & Evans. A. Craig. ed. Evaluation of the State of Current
Research. New York: Leiden, 1994.
 Conn, Harvie. Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1999.
 Dunn, James D.G. Unity ini Diversity in the New Testament. Philadelphia:
Westminster Press, 1977.
 Elwell, Walter A. ed. Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker,
1984.
 Enns, Paul. Moody Handbook of Teology. Chicago: Moody Press, 1989.
 Freedman, David N.ed. The Anchor Bible Dictionary Vol. 3. Garden City:
Doubleday, 1992.
 Grenz, Stanley J. & Roger E. Olson. 20th Century Theology. Illinois: IVP,1992.
 Habermas, Gary R. The Verdict of History. Nashville: Thomas Nelson, 1988.
 Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini? Bandung: Yabina, 1997.
 Macquarrie, John. An Existensialist Theology: A comparison of Heidegger and
Bultmann. New York: Harper, 1965.
 Marshall, Howard. I Believe in the Historical Jesus. Grand Rapids: Eerdmans,
1979.
 Runia, Klaas. The Present Day Christological Debate. Leicester: IVP, 1984.
 Susabda, Yakub B. Teologi Modern I. Jakarta: LRII, 1993.

Anda mungkin juga menyukai