Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upacara dapat juga dikatakan sebagai suatu cetusan hati nurani manusia
terhadap suatu keadaan atau sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang
dapat dilaksanakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman yang
berdasar pada pandangan benar.
Jika dilihat di jaman Buddha, Sang Buddha tidak pernah mengajar cara
upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua
makhluk terbebas dari penderitaan. Pada jaman Buddha, upacara hanya
dilakukan untuk penahbisan bhikkhu/bhikkhuni dan samanera. Namun
upacara yang sekarang kita lihat dan dilakukan oleh umat Buddha
merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu
Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut Vattha yang artinya kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha,
membersihkan ruangan, mengisi air dan sebagainya sehingga mereka semua
bersama dengan umat lalu duduk selanjutnya mendengarkan khotbah
Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Setelah Sang Buddha wafat,
para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan
menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan
Vattha.
Upacara keagamaan atau peribadatan dalam Agama Buddha dikenal
dengan istilah “Puja” atau “Puja Bakti”. Puja berarti ritual penghormatan.
Penghormatan atau pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada objek
yang benar atau patut dan didasarkan pada pandangan benar.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa maksud dari upacara dalam agama Buddha?
1.2.2. Apa saja macam-macam upacara dan fungsi yang ada dalam
agama Buddha?
1.2.3. Apa ada perbedaam upacara dalam tiga aliran agama Buddha
dalam persiapan dan pelaksanaanya?
1.2.4. Apa yang menyebabkan munculnya upacara?

1
1.2.5. Apa ada syarat-syarat tertentu dalam mengikuti upacara?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui maksud dari upacara.
1.3.2. Mengetahui macam-macam upacara dan fungsinya dalam agama
Buddha.
1.3.3. Mengerti perbedaan-perbedaan upacara dalam setiap aliran agama
Buddha.
1.3.4. Mengetahui penyebab munculnya upacara.
1.3.5. Mengetahui syarat-syarat tertentu dalam mengikuti upacara.
1.4. Manfaat
1.4.1. Sebagai seorang umat Buddha kita menjadi umat yang lebih
beriman.
1.4.2. Sebagai seorang umat Buddha mengetahui pentingnya upacara.
1.4.3. Dapat memahami fungsi dari upacara.
1.4.4. Dapat mengikuti syarat-syarat yang diperlukan dalam upacara.
1.4.5. Dapat menambah pahala dan kebajikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Makna Upacara dalam Agama Buddha
 Pengertian Upacara
Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai
dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada
pandangan benar. Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak
mengalami perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu,
manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk
upacara & cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar
sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.
 Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha

Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya
mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu &
samanera. Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan
dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup,
yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan,
mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu
duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha. Setelah Sang Buddha
parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang
Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan
kelanjutan kebiasaan Vattha.

 Dua cara pemujaan

Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun,


pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut)
dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata,
Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:

A. Amisa Puja

3
Amisa Puja adalah pemujaan dengan persembahan. Amisa Puja ini
berawal dari Bhikkhu Ananda yang merawat Sang Buddha.
 Makna Amisa Puja
Secara hafafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab
Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan
dalam menerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
a. Sakkara: memberikan persembahan materi
b. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.

Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa
Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :

a. Vatthu sampada: kesempurnaan materi


b. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
B. Patipatti Puja
 Makna Patipatti Puja

Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga


disebut sebagai Dhammapuja. Menurut Kitab Paramatthajotika, yang
dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah :

a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha,


Dhamma, dan Ariya Sangha
b. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima
Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat
asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi
makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-
hari Uposatha.
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
– Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
– Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)

4
– Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
– Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)
 Pahala Patipatti Puja

– Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan


sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian:
“Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja
dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma
Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.

– Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih


menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa
Puja.

 Sejarah Patipatti Puja

– Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma


hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha
parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai
para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak
seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan
mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain,
sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara
yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang
melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan
telah memuja-Ku dengan cara tertinggi / terluhur”.

– Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha,


sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada
Atthakatha.

– Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas,


Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali
kepada Ananda Thera demikian:

“Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan


cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan

5
persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan
tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka,
atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai
dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka
orang seperti itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan
penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara
tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah

pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah


lakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah
engkau seharusnya melatih diri”.

– Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan


salah masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih
hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan)
belaka.

 Makna Upacara
Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung
prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana.
2) Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana).
3) Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara).
4) Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang
Buddha.
5) Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik
kita kepada makhluk lain.
 Manfaat Upacara
Manfaat upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah
sebagai berikut:
1) Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
2) Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan
berkembang

6
3) Samvara : indera akan terkendali
4) Santutthi : puas
5) Santi : damai
6) Sukha : bahagia
 Sikap dalam Upacara
Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian,
oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam
melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
1) Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
 Anjali, yaitu merangkapkan kedua belah tangan di depan dada,
membentuk kuncup bunga teratai, baik dalam posisi berdiri,
berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila. Sikap ini diambil
dari tradisi India.
 Namaskara, yaitu bersujud tiga kali dengan lima titik (lutut,
ujung jari-jari kaki, dahi, siku, telapak tangan) menyentuh
lantai, dengan disertai sikap anjali dengan mengulangi
Namakara-Gatha.
 Padakhina, yaitu dengan tangan beranjali mengelilingi objek
pemujaan dari kiri ke kanan, dilakukan 3 kali dan pikiran
tertuju kepada Triratna.
2) Sikap membaca Paritta
a. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
b. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-
tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text),
seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha
bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan
pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu,
ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan
suara yang dinyanyikan :
 Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan
dengan suaranya yang telah didengarnya.

7
 Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut
(mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada
Dhammanya).
 Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya
pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan
indera).
 Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka
konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari
apa yang sedang dibacanya).
 Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam
pandangan-pandangan yang mengandung persaingan
(dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami
melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan
timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada
umat Buddha generasi yang akan datang).
3) Sikap bersamadhi
a. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua
tangan di atas pangkuan.
b. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang
biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan,
sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang
Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
 Cara melakukan upacara yang benar
1) Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas.
2) Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang
dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak
membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-
samyojjana).
Hari Suci Buddha
o Hari Suci Magha Puja
Pada hari ini, terdapat dua kejadian penting dalam masa hidup Buddha
Gotama yang diperingati oleh umat Buddha, yaitu:

8
a. Berkumpulnya 1250 Bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian
di Vihara Veluvana. Keistimewaannya yaitu:
- 1250 Bhikkhu yang terkumpul semuanya arahat,
- 1250 Bhikkhu itu semuanya Ehi Bhikkhu,
- 1250 Bhikkhu itu semua datang tanpa persetujuan terlebih
dahulu
- Pada kesempatan itu, Buddha Gotama menerangkan prinsip-
prinsip ajaran yang disebut Ovada Prati Noksha.
b. Pada peristiwa Suci Magha Puja itu, Sang Buddha juga
memberitahukan pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat
Moggallana sebagai siswa Utama Beliau (Aggasavaka) dalam
Sangha Bhikkhu.
o Hari Suci Waisak
Pada hari ini, umat Buddha memperingati tiga peristiwa penting
dalam masa hidup Buddha Gotama, yaitu:
1) Lahirnya Buddha Gotama pada tahun 623 SM di Taman Lumbini
2) Sidharta Gotama mencapai penerangan sempurna dan menjadi
Buddha pada tahun 588 SM,
3) Buddha Gotama mencapai Parinirvana di Kusinara pada tahun
543 SM.
o Hari Suci Asadha
Pada hari ini umat Buddha memperingati tiga peristiwa penting,
yaitu:
1) Pertama kalinya Buddha Gotama khotbah
“dharmacakrapravartana” yang berisi Cattari Ariya Saccani di
Taman Rusa Isipatana,
2) Terbentuknya Sangha pertama,
3) Lengkapnya Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha).
o Hari Suci Katrina
Pada hari ini, umat Buddha memperingati kebaktian terhadap
Sangha, sebab Sangha merupakan pewaris dan pengamal Buddha
Dhamma yang patut dihormati. Di hari suci Kathina ini, umat

9
Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan memberikan Kain
Kathina yang berwarna putih sebagai bahan pembuatan jubah
Kathina.
 Tempat Pelaksanaan Puja
1. Vihara
adalah Tempat pelaksanaan Puja yang merupakan kompleks
bangunan yang mempunyai sana lengkap, yang meliputi :
- Uposathagara (Gedung Uposatha) : Uposathagara
memiliki kegunaan sebagai tempat untuk melaksanakan
upacara pentahbisan Bhikkhu/Bhikkhuni,
Samanera/Samaneri ; tempat mempersembahkan Jubah
Kathina ; tempat membacakan Patimokkha ; Tempat
membahas pelanggaran yang dilakukan
Bhikkhu/bhikkhuni.
- Dhammasala, adalah tempat untukmendengarkan dhamma
dan juga tempat untuk melaksanan puja bakti
- Kuti, adalah tempat untuk bhikkhu/bhikkhuni berdiam/
tinggal
- Perpustakaan, adalah tempat untuk menyimpan satu set
Tripitaka
2. Cetiya
adalah bangunan yang lebih kecil daripada Vihara, yang
biasanya hanya terdapat Bhaktisala, untuk melaksanakan
kebaktian. ada beberapa macam cetya.
- Dhamma Cetya, adalah cetya yang memiliki satu set
Tripitaka lengkap
- Dhatu Cetya, adalah cetya yang memiliki Relik Buddha.
- Paribhoga Cetya, adalah cetya yang memiliki barang-
barang peninggalan Buddha.
- Uddesika Cetya, adalah cetya yang hanya memiliki
gambar Buddha ataupun Rupang Buddha.
3. Altar

10
Altar merupakan tempat meletakkan simbol-simbol/lambang-
lambang kesucian agama Buddha, seperti :
a. Patung Buddha melambangkan penghormatan kepada
Sang Buddha
b. Lilin melambangkan penerangan dhamma Sang Buddha.
c. Dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang
Buddha.
d. Bunga, melambangkan anicca atau ketidakkekalan.
e. Air, yang dianggap memiliki sifat-sifat seperti : dapat
membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga
kepada makhluk-makhluk, dapat menyesuaikan diri
dengan semua keadaan, selalu mencari tempat yang
rendah (tidak sombong)
f. Buah, melambangkan buah dari kamma-kamma kita,
selain itu sebagai lambang dari rasa terima kasih.
4. Stupa
Bentuk stupa melambangkan pemikiran terpusat. Merupakan
tempat untuk menyimpan relik Buddha atau para arahat.
5. Pagoda
Memliki fungsi yang sama dengan Stupa, yaitu untuk
menyimpan relik orang suci, dan merupakan budaya dari
Cina, bangunannya selalu ganjil dan ujungnya runcing.
 Makna-Makna dibalik Upacara
Makna Material
a. Patung Buddha/Bodhisattva
Bagi umat Buddha, patung sebagai lambang penghormatan
sebagai rasa terima kasih atas jasa-jasa sang Buddha yang telah
mengajarkan Dhamma yang agung kepada kita. Dengan adanya
jasa-jasa sang Buddha ini kita berusaha hisup bebas dari
penderitaan, mengecap kebahagiaan dan akhirnya mencapai
kebebeasan. Dengan kata lain patung sang Buddha sebagai
lambang kesucian, ketenangan, kebesaran, dan keagungan sang

11
Buddha. Hnedaknya kita dapat memiliki dengan mula-mula
menunjukkan rasa bhakti kepada Sang Guru.
b. Lilin
Lilin melanbangkan sinar terang dan pengorbanan. Demikian pula
dengan sinarnya Dhamma yang Agung, kita dapat melenyapkan
kegelapan yang menyelubungi pikiran kita. Disamping itu pula
lilin mempunyai filsafat yang tinggi yaitu di dalam memberikan
sinar terang ke sekitarnya ia bersedia membantu sesamanya tanpa
disertai pamrih sedikit pun dalam melaksanakannya.
c. Dupa
Persembahan dupa wangi yang dibakar memenuhi udara di
sekelilingnya melambangkan jasa kebajikan dan efek penyucian
dari tingkah laku yang bermanfaat. Ini mendorong kita untuk
melawan semua setan (godaan) dan membangkitkan hal-hal yang
baik.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan dupa: Dupa yang
wanginya meresap di udara
Keharuman hidup yang sempurna, lebih manis daripada dupa
Menyebar ke segala penjuru di seluruh dunia.
d. Bunga
Persembahan bunga-bunga yang segar dan indah, yang segera
akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya
mengingatkan kita pada ketidakkekalan semua benda, termasuk
kehidupan kita. Ini mendorong kita untuk menghargai setiap
momen dalam hidup kita dan tidak terikat padanya.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan bunga: Bunga-
bunga yang saat ini segar dan mekar dengan indahnya,
Bunga-bunga yang esok akan memudar dan berguguran,
Demikianlah tubuh ini, seperti bunga, akan lapuk juga.
e. Air
Air melambangkan kesucian, kemurniaan, dan ketenangan. Ini
mendorong kita untuk melatih tindakan, ucapan dan pikiran kita

12
untuk mendapatkan sifat-sifat di atas. Di dalam air, yang bening
akan mudah nampak apabila terdapat kotoran di dalamnya.
Demikian juga dengan meditasi kita akan dapat melihat
kekotoran-kekotoran bhatin yang bersemayam di dalam diri kita.
Sebagai lambang kebersihan air dapat membersihkkan noda-noda.
Air juga mempunyai filsafat tinggi yaitu bahwa air selalu
mengalir pada tempat yang rendah, hal ini mengajarkan kita
supaya selalu rendah hati dan tidak sombong.
f. Buah
Buah-buahan melambangkan buah dari pencapaian spiritual yang
membawa kita menuju buah akhir, yaitu penerangan sempurna,
yang merupakan tujuan akhir semua umat Buddha. Ini mendorong
kita untuk berusaha mencapai Penerangan Sempurna bagi
kebahagiaan semua makhluk. Buah juga melambangkan suatu
hasil dari apa yang telah kita tanam/ perbuat, yaitu menanam
kejahatan akan tumbuh dan berbuah kejahatan pula, bila kita
menanam kebajikan akan tumbuh atau berbuah kebajikan pula.
Dan masih banyak lagi lambang – lambang yang lainnya seperti
swastika, bunga teratai, daun Bodhi, stupa, panji-panji Buddhis,
dll.

 Macam-Macam Upacara dalam Agama Buddha


 Hari Waisak
Waisak adalah peristiwa tahunan yang terpenting bagi umat
Buddha. Pada saat itu diperingati Kelahiran, Pencapaian Penerangan
Sempurna dan Parinirvana dari Buddha. Ketiga peristiwa ini jatuh
pada bulan purnama, bulan kelima penanggalan bulan. Peristiwa ini
dihormati oleh jutaan umat Buddha di seluruh dunia. Ini merupakan
perayaan untuk kegembiraan dan kebaikan bagi semua. Ini juga
merupakan kesempatan untuk melihat kembali perkembangan
spiritual kita.

13
Bagi beberapa umat Buddha, ibadah Waisak dimulai pagi-pagi
benar ketika mereka berkumpul di vihara untuk melaksanakan
delapan sila. Yang lain mungkin bergabung dengan ibadah umum
untuk mengikuti upacara dengan mengambil tiga perlindungan,
menjalankan lima sila, membuat persembahan di altar dan
memanjatkan pujian. Mereka juga mengikuti prosesi dan pradaksina,
serta mendengarkan khotbah Dharma.
Di beberapa vihara, umat Buddha mengambil bagian dalam
upacara pemandian patung bayi Pangeran Siddharta (Buddha saat
Beliau masih seorang pangeran) yang diletakkan di kolam bertaburan
bunga. Air yang wangi di gayung dengan sendok besar dan
dituangkan ke patung itu. Ini melambangkan penyucian perbuatan-
perbuatan jahat seseorang dengan perbuatan baik.
Beberapa umat Buddha juga melaksanakan vegetarian di hari ini
dengan mengingat ajaran Cinta Kasih universal. Pada hari ini vihara-
vihara dihias indah dengan bendera Buddhis dan lampu-lampu, dan
altar dipenuhi bunga-bunga, buah-buahan dan persembahan lainnya.

 Hari Upavasatha
Saat Upavasatha (Uposatha) atau bulan baru dan bulan purnama
(tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan), banyak umat Buddha
berkumpul di vihara untuk bermeditasi, membuat persembahan,
mengulang khotbah Dharma, dan melakukan penghormatan pada
Tiga Permata. Beberapa umat Buddha juga melaksanakan vegetarian
pada hari-hari tersebut, sebagaimana mereka menjalankan delapan
sila.

 Hari Ullambana
Ullambana adalah perwujudan rasa hormat umat Buddha kepada
leluhur mereka dan cinta kasih mereka kepada semua makhluk yang
menderita di alam sengsara. Peringatan Ullambana pada tanggal 15
bulan 7 penanggalan bulan, didasarkan pada kejadiaan saat

14
Maudgalyayana (Mogallana), seorang pengikut Buddha, melalui
kekuatan meditasinya menemukan bahwa ibunya dilahirkan kembali
di alam sengsara. Karena sedih, ia meminta bantuan Buddha yang
kemudian menasehatinya untuk membuat persembahan kepada
Sangha, kaerna jasa kebajikan dair perbuatan itu dapat membebaskan
penderitaan ibunya dan juga makhluk lain di alam sengsara.
Membuat persembahan untuk membebaskan penderitaan orang yang
telah meninggal dan makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan
umum yang populer.
Ullambana diperingati dengan mempersembahkan kebutuhan-
kebutuhan Sangha, mengulang khotbah Dharma, dan melakukan
perbuatan-perbuatan amal. Jasa kebajikan dari perbuatan-perbuatan
ini akan dilimpahkan kepada semua makhluk.

 Upacara Perpindahan Cahaya


Dalam upacara ini, umat memegang sebatang liling yang menyala
sambil berjalan berkeliling batas tepi vihara, objek suci, atau
bangungan bersejarah dengan meditasi berjalan. Mereka
memanjatkan mantara atau nama Buddha sebagai pujian kepada-Nya.
Upacara ini melambangkan cahaya Kebijaksanaan (menyebarkan
Kebenaran) ke segala penjuru dunia untuk menghalau sisi gelap
ketidaktahuan. Secara pribadi ini memiliki makna menyalakan lampu
Kebijaksanaan dalam diri seseorang.
Nyala api yang dapat dipindahkan ke lilin lain yang tak terhitung
banyaknya tanpa memadamkan nyalanya sendiri, melukiskan bahwa
Kebijaksanaan dapat dibagikan tanpa mengurangi bagian orang yang
membagikan. Terbakarnya sumbu disertai lelehnya lilin
mengingatkan kita pada ketidakkekalan dan perubahan-perubahan
semua benda yang terkondisi, termasuk hidup kita sendiri.
Merenngkan hal ini dapat membantu kita menghargai setiap momen
dalam hidup tanpa menjadi melehat padanya. Perhatian dapat dilatih
dengan menjaga agar nyala lilin tidak padam. Ini menggambarkan

15
penjagaan pikiran dari faktor-faktor negatif yangmerusak kehidupan
spiritual. Dalam upacara ini, semangat dapat ditumbuhkan dengan
melihat secercah api kecil yang menerangi lautan kegelapan, sampai
lautan cahaya yang saling membagi penerangan bagi semua.

 Upacara Tiga Langkah Satu Sujud


Dalam upacara ini, para pengikut biasanya berbaris sebelum
terbitnya matahari untuk pengitari batas tepi vihara, membungkukkan
badang sekali setiap tiga langkah, sambil memanjatkan mantra-
mantra atau nama Buddha sebagai penghormatan bagi-Nya. Pada
setiap sujud, Buddha dapat divisualisasikan sedang berdiri di atas
telapak tangan kita yang terbuka dan kita sambut dengan hormat.
Telapak tangan yang terbuka melambangkan bunga teratai, lambang
merekahnya kesucian (walaupun akar-akar bunga teratai beradai di
lumpur kejahatan, bunganya mekar dengan kesucian dan bersih dari
lumpur). Setiap sujud merupakan penyampaian rasa hormat kepada
Buddha (atau pada seluruh Buddha dan Bodhisattva yang tidak
terhitung jumlahnya). Latihan ini membantu pemurniaan pikiran,
menekan ego, dan mengurangi rintangan-rintangan sepanjang jalan
spiritual sambil seseorang menyesali tindakan-tindakan buruk yang
lalu dan mengingnkan perkembangan spiritual. Dengan perhatian
penuh para perbuatan, ucapan dan pikiran selama latihan, konsentrasi
dan ketenangan dapat dicapai.
Upacara yang panjang ini mengingatkan seseorang kepada
perjalanan menuju Penerangan Sempurna yang panjang dan sukar.
Tetapi ini juga mengingatkan kita bahwa sejauh kita telah bertekad,
seluruh rintangan akan dapat ditanggulangi. Keteguhan dalam
melengkapi latihan ini walaupun ada rintangan juga dapat membantu
memperkuat keyakinan kepada Buddha dan ajaran-ajaranNya yang
menuntun kita menuju Penerangan Sempurna.

16
Merekahnya fajar pada akhir upacara melambangkan cahaya
Kebijaksanaan menghalau kegelapan kebodohan karena seseorang
telah maju selangkah dalam perjalanan menuju Penerangan
Sempurna.

2.2. Pengalaman yang didapat mengenai kotbah puja bakti


Kotbah pada hari minggu lalu bercerita tentang upacara ulambana yang
akan segera dilaksakan pada hari minggu tanggal 17 September 2017.
Menurut tanggalan Imlek upacara ulambana dilaksanakan pada bulan 7.
Bulan ini merupakan bulan yang sangat baik, maka dari itu uparaca
ulambana ini dilaksankan pada bulan 7. Berbeda dengan tradisi yang kita
ketahui, menurut tradisi, bulan 7 pada tanggalan Imlek menrupakan bulan
dan hari yang tidak baik dalam melaksanakan acara-acara penting. Sangat
jarang atau mungkin tidak ada orang yang mengadakan acara pada bulan ini.
Menurut agama Buddha, bulan ini merupakan bulan yang penuh berkah,
bulan yang sangat baik, maka disarankan kepada semua umat Buddha untuk
banyak melakukan kebajikan, menolong sesama, menyumbang memberi
dana, dan juga ikut berpartisipasi dalam upacara ulambana ini atau juga biasa
disebut dengan upacara pelimpahan jasa bagi saudara dan juga keluarga kita
yang telah tiada.
Sedikit mengenai asal-usul adanya upacara ulambana, Upacara Ritual
Penyelamatan Arwah/Ulambana dimulai dari saat Yang Arya Maha
Mogalana. Waktu itu siswa Sang Buddha Yang Arya Maha Mogalana,
sedang melakukan hidup suci bersama Sang Buddha Sakyamuni dan telah
memperoleh kesaktian Mata Dewata dan Kaki Dewata. Dengan mata dewata
nya beliau melihat ibunya terjerumus dalam alam Pretta (setan kelaparan) di
Neraka, badannya kurus tapi perutnya buncit, sangatlah menderita. Maka
dengan kaki dewata nya beliau mengantarkan makanan kepada ibunya, tapi
begitu makanan sampai di mulut ibunya segera berubah menjadi bara yang
merah berkobar. Yang Arya Maha Mogalana telah habis segala upayanya,
maka beliau mohon kepada Sang Buddha agar arwah ibunya dapat
diselamatkan. Sang Buddha bersabda kepada Yang Arya Maha Mogalana,

17
bahwa ibunya semasa hidupnya telah berbuat karma buruk yang sangat
berat, tak mungkin dapat diselamatkan oleh kekuatan seorang diri saja, harus
mengundang para Bhikkhu dari sepuluh penjuru memanjatkan doa Sutra-
Sutra Suci, membantunya dengan Siddhi Kekuatan Ilmu secara bersama-
sama, dengan cara demikian barulah ibunya dapat diselamatkan. Di samping
itu pun Sang Buddha mengajarkan kepada Yang Arya Maha Mogalana,
bahwa pada setiap tahun kalender candrasangkala tanggal 15 atau memilih
suatu hari di bulan 7 (Imlek Chit Gwe), mengisi penuh tempayan dengan
berbagai macam makanan pilihan untuk dipersembahkan kepada Sang
Buddha, juga kepada para Bhikkhu yang memanjatkan Sutra suci, maka
selain dapat menghapus karma buruk serta memperpanjang usia sang ayah
bunda yang masih hidup, bahkan bisa mengangkat arwah sang ayah bunda
yang pada masa kehidupan lampau, agar mereka dapat bebas dari tiga alam
Samsara rendah yang menderita, terlahir di alam dewa atau pun alam
surgaloka barat Sukhavati.
Keberhasilan dari Upacara Ritual Penyelamatan Arwah sangat
tergantung kepada Kekuatan Ilmu (Siddhi) yang dimiliki oleh Pemimpin
Upacara dan apakah terjalin kerja sama yang baik dengan arwah yang
diupacarai. Di antaranya tak sedikit arwah-arwah yang hanya bersikap
memandang di sudut jauh, tidak bersiap untuk menerima upacara tersebut.
Sama halnya seperti manusia di dunia ini, tidak mudah juga agar umat
manusia dapat meyakini Buddha Dharma, karena Buddha Dharma adalah
kesunyataan, tidak mudah difahami. Apalagi dalam menjalankan hidup suci
memang terdapat banyak liku-likunya. Maka apa yang disebut bahwa
Buddha Dharma sulit untuk didengarkannya, ialah demikian maksudnya.
Maka dari itu, tidaklah cukup hanya mengikutsertakan dalam Upacara
Ritual Penyelamatan Arwah dengan satu kali belaka. Janganlah lewatkan
setiap kesempatan untuk lebih sering kali mendaftarkan nama-nama sang
almarhum dalam Upacara Ritual Penyelamatan Arwah.
Selain kita memohon agar saudara, sanak-famili kita ikut dalam upacara
ulambana, hendaknya kita sebagi pemohon harus datang ke upacara tersebut,
mengikuti prosesnya dari awal sampai akhir. Tentunya kita sebagai pemohon

18
pasti mendapat pahala, bukan saja bermanfaat bagi para arwah juga
mendapatkan kebaikan bagi pemohon, pahala dalam Upacara Ritual
Penyelamatan Arwah, bila dibagi menjadi 7 bagian, bagi almarhum
mendapatkan 1 bagian dan pahala sisanya semua dimiliki oleh sang
pemohon. Apalagi jika kita juga ikut datang ke vihara untuk mengikuti
prosesnya, kita akan mendapat pahala yang sangat besar dan lebih besar
daripada kita hanya memohon dan tidak datang secra langsung. Maka
dianjurkan pemohon agar hadir dalam upacara ritual penyelamatan arwah
tersebut, karena baginya pasti akan memperoleh berkah rahmat yang tiada
tara, selain menghimpun jasa pahala, juga menunjukkan hati tulus yang
sujud dan penuh khusyuk dari diri anda, yang hadir diri untuk bersama-sama
memanjatkan Mantra dan Sutra, akan memperoleh penghimpunan jasa,
melenyapkan karma buruk, dianugerahi sumber kebahagiaan yang tak putus-
putusnya adalah pahala yang tak terhingga. Ketika kita datang, kita juga
harus dengan hati yang iklas, damai, dan juga tenang, karena kita di sini akan
memanjatkan Mantra dan Sutra yang suci. Jikalau kita sudah datang , tetapi
dengan hati yang tidak iklas dan kesal dan juga mungkin ngomel-ngomel
dalam hati,dengan hati dan pikiran kita yang sudah tidak berniat dari awal,
atau karena dengan perasaan terpaksa karena diajak, pahala yang kita dapat
tidak akan berlimpah, tetapi itu lebih baik daripada tidak datang sama sekali.

19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa
upacara memang tidak di ajarkan oleh Buddha, kecuali untuk upacara
penahbisan bhikkhu dan samanera. Seiring dengan berjalannya waktu
kebiasaa-kebiasaan yang dilakukan, muncullah upacra yang dilakukan
untuk menghormati Buddha.  
Kalau kita memiliki keseriusan dan keyakinan yang mendalam, di
dalam pelaksanaan kebhaktian maka secara tidak langsung kita telah:
1. Mengikis ke AKUan melalui pelaksanaan NAMASKARA.
2. Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA/MANTRAM
suci.
3. Keterangan pikiran melalui MEDITASI (Pengkonsentrasan
/Pengontrolan Pikiran).
4. Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA
(mendengarkan khotbah Dharma)
5. Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.
Dengan memohon upacara ulambana untuk leluhur, sanak-saudara,
dan fimili kita , kita telah menolong mereka dari kesengsaraan dan bisa
menolong mereka untuk mengangkat arwah mereka ke alam yang bahagia.
Bukan hanya orang yang kita daftarkan yang mendapat berkah, kita
sebagai pemohon juga mendapat berkah yang lebih, apalagi jika kita ikut
menghadiri upacara ulambana tersebut. Dengan membaca Mantra dan
Sutra suci, enunjukkan hati tulus yang sujud dan penuh khusyuk dari diri
kita, kita akan memperoleh berkah dan penghimpunan jasa yang tiada tara.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku fotokopi yayasan Buddhakirti.2006.Kumpulan Naskah Dharma.


Palembang:fotokopi.
2. http://belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/upacara-dalam-agama-
buddha.html. (Diakses tanggal 22 September 2017).
3. https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/upacara-dalam-agama-buddha/.
(Diakses tanggal 22 September 2017).
4. http://farizaanis.blogspot.co.id/2012/05/makna-puja-doa-dan-hari-besar-
buddha.html. (Diakses tanggal 22 September 2017).
5. http://buddhissmansa.blogspot.co.id/2011/10/puja.html. (Diakses tanggal 22
September 2017).
6. https://artikelbuddhis.blogspot.co.id/2012/10/upacara-dan-perayaan-dalam-
agama-buddha.html. (Diakses tanggal 22 September 2017).
7. http://artikelbuddhist.com/2011/09/kebaktian-dan-manfaatnya.html. (Diakses
tanggal 22 September 2017).

21

Anda mungkin juga menyukai