Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Dalam setiap agama ada ritual keagamaan yang dilakukan dengan berbagai
tujuan. Ritual atau upacara dalam buddhis adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh umat Buddha untuk meningkatkan keyakinan dan menunjukan rasa baktinya
kepada tiratana. Ritual ini ada sejak zaman sang Buddha dan berkembang hingga saat
ini. Pelaksanaan ritual akan bersifat positif jika dilaksanakan sesuai dengan dhamma.
Dalam Kalama Sutta dijelaskan tentang adanya berbagai macam kepercayaan yang
hendaknya seseorang tidak begitu saja percaya karena itu terdapat dalam kitab suci,
merupakan suatu kebiasaan atau tradisi, desas-desus dan kabar angin. Hendaknya kita
tidak mudah percaya danitu harus dibuktikan kebenarannya.
Ritual atau upacara merupakan suatu cetusan hati nurani manusia terhadap
suatu keadaan sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang dapat diselenggarakan
sesuai dengan tradisi dan perkembangan zaman asalkan selalu didasarakan pada
pandangan benar. Buddha dharma sebagai ajaran universal, tidak mengalami
perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu manisfestasi pada
Tiratana dijelmakan dalam bentuk upacara dan cara kebaktian hendaknya tetap
didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha dhamma
itu sendiri.

[1]
SEJARAH RITUAL AGAMA BUDDHA
A. Ritual di Zaman Sang Buddha

Di dalam agama Buddha juga mengenal adanya ritual-ritual bahkan dewasa


ini ritual yang dilakukan umat Buddha sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan
penyebaran agama Buddha menggunakan sistem alkulturasi dan singkritisme
yang mana suatu kebudayaan, tradisi atau upacara setempat di maknai dengan
ajaran Buddha tanpa menghilangkan keasliannya. Ritual dalam agama Buddha
dilaksanakan semata-mata untuk meningkatkan keyakinan dan memudahkan
memahami Dhamma ajaran Sang Buddha. Beberapa ritual yang dilakukan umat
Buddha diantaranya adalah puja bakti, pemberkahan, pattidana, hari raya, dan
praktik uposatha.
Dalam melakukan ritual keagamaan Buddha, terdapat sarana-saran atau media
sebagai simbol dari ajaran-ajaran Sang Buddha contohnya adalah “bunga”
mewakili simbol anicca (berubah-ubah) dan “rupang Buddha” mewakili Sang
Buddha sebagai simbol tertinggi yang dipuja. Agama Buddha juga melakukan
ritual kepada dewa-dewa hal ini karena dalam ajaran Buddha juga mengenalkan
pengetahuan tentang alam Surgawi. Bahkan kepada makhluk-makhluk menderita
pun ada ritual puja. Maka dari itu selain melakukan ritual kepada Buddha,
Dhamma dan Sangha (Tiratana), agama Buddha juga melakukan ritual untuk
mahkluk surgawi dan menderita.
Walaupun agama Buddha melakukan praktik ritual seperti di atas namun ada
batasan yang harus dipatuhi dan hal ini adalah yang paling penting dalam ritual.
Batasan tersebut adalah silabataparamasa atau kemelekatan pada ritual.
Silabataparamasa yang harus dihindari ketika umat Buddha melakukan ritual hal
ini berhubungan dengan dasa samyojana atau 10 pengotor batin. Apabila umat
Buddha merasa risau, khawatir dan was-was jika tidak melakukan ritual tertentu
atau beranggapan bahwa ritual ini akan memberikan keberkahan atau dengan
melakukan ritual ini saya menjadi orang suci, tetapi pada kenyataannya tidak
mencapai kesucian maka orang tersebut terjerat ke dalam silabataparamasa. Maka
dari itu silabataparamasa adalah batasan, aturan dan tolak ukur dalam melakukan
ritual dalam agama Buddha.

[2]
B. Cikal-bakal Ritual Buddhis

Ritual agama Buddha di mulai sejak Sang Buddha masih hidup. Melihat dari
definisi ritual adalah “tata cara dalam upacara keagamaan” berarti setiap
kegiataan yang memiliki aturan, cara, atau syarat tertentu dalam melaksankannya
adalah ritual maka di dalam Tipitaka ditemukan ada beberapa kegiatan yang
dilakukan Sang Buddha dan siswa-Nya diantaranya yang sesuai dengan definisi
ritual yaitu;
1. Ritual Uposathasila
Pada hari bulan purnama pada tanggal 15, pengikut Sang Buddha
berkumpul di suatu Vihara untuk mempraktikan Dhamma, ritual tersebut
adalah Uposatha Sila (melaksankan sīla pada hari uposatha). Uposatha sīla
adalah praktik melatih diri dengan melaksanakan kemoralan yang lebih tinggi
tepat saat bulan bercahaya penuh (bulan purnama). Maksud dari pelaksanaan
moral yang lebih tinggi adalah jumlah sila yang dipraktikan, pada hari biasa
umat awam Buddhis melaksanakan 5 aturan kemoralan (pancasila) sedangkan
pada saat hari uposatha ditingkatkan menjadi 8 aturan kemoralan (atthasīla)
atau 10 aturan kemoralan dasasila. Selain dari jumlah sīla yang dipraktikan
lebih banyak, membaca paritta, meditasi pun lebih intens dari pada hari biasa.
Maka dari itu Uposatha sila salah satu ritual dalam agama Buddha.
2. Ritual pengulangan Patimokkha
Khusus untuk Sang Buddha dan para Bhikkhu mengulang Patimokkha
(peraturan 227 sila kebhikkhuan). Pengulangan patimokkha masih ada sampai
saat ini walaupun Sang Buddha telah parinibbana. Pengulangan patimokkha
harus memenuh beberapa syarat yaitu pubbakicaṁ (9 syarat yang harus
dipenuhi sebelum melakukan pengulangan patimokkha), minimal 4 bhikkhu
yang hadir, kemurnian praktik patimokkha, jarak duduk antara para bhikkhu
tidak lebih dari 1 hasta (1,5 meter), petugas mengulang patimokkha duduk
lebih tinggi dari yang lainnya dan diulang pada hari uposatha bulan terang.
3. Upasampada Bhikkhu dan Bhikkhuni
Selain ritual uposatha sila dan pengulangan patimokkha terdapat
upacara penahbisan bhikkhu yang disebut upasampada bhikkhu. Pada awalnya
upasamapada bhikkhu hanya dilakukan oleh Sang Buddha untuk mentabiskan
seseorang yang telah memperolah dhammacakkhu atau mata dhamma
(mencapai kesucian) yang disebut “Ehi bhikkhu upasampada”. Seiring dengan
bertambahnya pengikut Sang Buddha yang ingin menjadi seorang bhikkhu

[3]
akhirnya Beliau memberikan izin kepada bhikkhu yang ditunjuk untuk
melakukan upasampada yang disebut Tisaranagamana upasampada. Tetapi
metode kedua ini pun tidak menjadi efisien karena penyebaran agama Buddha
tidak hanya di India tetapi di luar India maka dari itu untuk menjangkau hal
ini maka dibuatlah metode ketiga yaitu Natticatthukamma upasampada.
Demikian pula dengan upsampada Bhikkhuni atau penhabisan untuk
kaum wanita. Sang Buddha sendiri yang mengawali dengan memberikan izin
kepada Mahapajapati Gotami (Ibu tirinya) berikut dengan 500 pendamping
masuk ke dalam persamuhan Sangha yang di sebut Sangha Bhikkhuni. Tetapi
seorang wanita yang ingin menjadi bhikkhuni harus menaati peraturan
tambahan semata-mata untuk menjaga eksistensi Dhamma dan Vinaya hal ini
dikarenakan ada pandangan bahwa jika perempuan masuk kedalam sangha
maka Dhamma ajaran Sang Buddha telah memasuki fase kemunduran.
Delapan aturan keras ini disebut disebut (attha garudhamma) Selanjutnya,
upsampada bhikkhuni diserahkan kepada para bhikkhu yang pantas untuk
melakukan penahbisan.
4. Ritual Pabbajja samanera
Selain penahbisan Bhikkhu, ada penahbisan samanera yang disebut
dengan Pabbajja Samanera. Penahbisan ini ditujukan untuk mereka yang
berusia minimal 7 tahun sebagai seorang Samanera. Samanera artinya anak
samana atau murid samana, melaksankan 10 peraturan disebut dasasila.
Pabbajja samanera memiliki syarat dan tata cara tersendiri dalam
melaksanakannya.
5. Tiga tempat puja
Selain ritual uposatha sila, pengulangan patimokkha, upsamapada
bhikkhu, pabbajja samanera dan penahbisan Atthasilani terdapat rekam jejak
ritual di dalam Kalinga Bodhi Jataka. Di dalam Kāliga Bodhi Jātaka (Kisah
pemujaan pohon Bodhi yang dilakukan Bhante Ananda) Terdapat tiga tempat
puja yaitu sārīrika cetiya, pāribhogika cetiya, dan uddesika cetiya. Sārīrika
cetiya adalah tempat puja untuk relik jasmani Sang Buddha. Pāribhogika
cetiya adalah tempat puja untuk barang bekas pakai dan Uddesika cetiya
adalah tempat puja relik gambar Sang Buddha. Dalam Jataka tersebut
dijelaskan bahwa Sārīrika cetiya bisa digunakan sebagai tempat puja apabila
Sang Buddha telah mencapai mangkat (parinibbana). Sedangkan uddesika
tidaklah cocok karena hanya tergantung kepada imaginasi pikiran. Tetapi
pohon Bodhi yang agung yang pernah digunakan oleh para Buddha adalah

[4]
benda yang cocok digunakan sebagai cetiya baik pohon tersebut masih hidup
atau telah mati.
Penulis meyakini ritual yang dilakukan pada saat zaman Sang Buddha
tidak terbatas pada ritual diatas terlebih lagi masyarakat India telah memiliki
dasar kebudayaan, tradisi dan ritual yang kuat sebelum Sang Buddha muncul.
Kemunculan Sang Buddha dan ajaran Beliau pada saat itu dapat disebut
sebagai rekontruksi tradisi dan ritual di India tetapi sebenarnya lebih kepada
revolusi mental spiritual masyarakat india pada saat itu. Hal ini terlihat dari
cara Beliau memberikan padangannya (ajara-Nya) yang tidak memaksa tetapi
mendorong lawan bicaranya untuk berpikir secara logika, kritis dan analitis
(lihat Kalama Sutta dan Canki sutta). Sang Buddha pun tidak membatasi
seseorang dalam melakukan ritual, yang walaupun dalam beberapa kejadian
Beliau mengkritik keras beberapa ritual karena ritual tersebut berkaitan
dengan pandangan salah, tidak berguna dan merugikan. Sehingga banyak
diantara mereka melihat kebijaksanaan dari pandangan Beliau dan akhirnya
menjadi pengikut Buddha.
C. Dua Cara Pemujaan

Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang ‘Pemujaan’. Namun,


pemujaan dalam agama Buddha ditunjukan pada obyek yang benar (patut) dan
didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah pali- Dukanipata, Anguttara
Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan yaitu:
a. Amisa Puja
1). Makna Amisa Puja
Secara harafiah bearti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-
dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
amisa puja ini, yaitu:
a. Sakkara : Memberikan persembahan materi
b. Garukara : Menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana : Memperlihatkan rasa percaya atau yakin
d. Vandana : Menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan
Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja
dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu:
a. Vatthu Sampada : Kesempurnaan materi
b. Cetana Sampada : Kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyya Sampada : Kesempurnaan dalam obyek pemujaan

2). Sejarah amisa puja

[5]
Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yang selalu merawat Sang
Buddha.
b. Patipatti Puja
1). Makna patipatti puja
Secara harafiah bearti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut
sebagai Dhammapuja. Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud
“pelaksanaan” dalam hal ini adalah:
a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma,
Sangha.
b. Bertekad untuk melaksanakan pancasila Buddhis (Lima Kemoralan)yakni
pantang untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berbohong dan
minum minuman yang melemahkan kesadaran.
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari
Uposatha
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian), yaitu;
- Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha samvara)
- Pengendalian enam indera (indrya-samvara)
- Mencari nafkah hidup secara benar (Avija-Parisuddhi)
- Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (paccaya-sanissita)

2). Pahala patipatti puja


Dalam sutta pitakan bagian anggutara nikaya, dukanipata, dengan
sangat jelas sang buddha gotama menandaskan demikian: “Duhai para
bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja.
Dianatara dua cara pemujaan ini, Dhamma puja (Patipatti Puja) adalah
yang paling unggul”.
Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan
pada pelaksanaan Pattipatti puja alih-alih Amisa Puja.

ASPEK-ASPEK RITUAL BUDDHIS

[6]
a. Sasana

Ritual Buddhis dilakukan berdasarkan ajaran Sang Buddha dalam


Tipitaka. Ritual Buddhis apa pun harus mengacu pada ajaran Sang Buddha
tanpa kecuali. Ajaran Buddha atau Buddha sanana atau bisa juga disebut
Buddha vacana (kata-kata Sang Buddha) merupakan sebuah limu untuk
pembebasan dari pandangan salah. Dalam Lohicca Sutta, Sang Buddha
menjelaskan bahayanya pandangan salah akan mengarahkan seseorang
menuju dua alam yaitu neraka dan alam binatang. Dalam Anguttara Nikaya
5.88, walaupun seorang bhikkhu telah lama meninggalkan keduniawian,
banyak belajar, memiliki pengikut tetapi berpandangan salah maka
tindakannya akan membahayakan, menghancurkan, merugikan banyak orang.
Dan dalam Brahmajala Sutta dari Digha Nikaya menjelaskan 62 Pandangan
salah bagaikan jaring dunia yang menjerat dunia ini sehingga makhluk terus
mengarungi samsara. Maka dari itu, untuk menghindari pandangan salah,
kekeliruan dan ketersesatan serta kemelekatan para ritual seyogyanya
seseorang harus mempelajari, meneliti, dan mengobsevasi berdasarkan
Tipitaka atau Buddha vacana sehingga ritual yang dipraktikan dapat
mengarahkan seseorang pada kualitas-kualitas luhur yang diajarkan Sang
Buddha. Sehingga ritual tersebut membawa manfaat besar kebahagian,
kesejahteraan dan pembebasan bagi yang mempraktikan.
b. Saddha

Salah satu tujuan ritual adalah meningkatkan keyakinan maka dari itu
ritual yang dilakukan harus dapat meningkatkan keyakinan seseorang.
Keyakinan menempati urutan yang fundamental baik dalam belajar dan
praktik. Tanpa adanya keyakinan seseorang tidak akan tertarik pada ajaran
dan terlebih lagi mempraktikannya. Dalam Canki Sutta dari Majjhima Nikaya,
Sang Buddha menjelaskan kepada Brahaman Canki bahwa seseorang
membaca puji-pujian, tradisi dan puja berdasarkan keyakinan. Hal ini senada
dalam Kalama Sutta bahwa seseorang orang seharusnya tidak langsung
percaya begitu saja kepada tradisi lisan dan turun-temurun, apa yang dikatan
banyak orang, kitab suci, bahkan gurumu sendiri, Sang Buddha, tetapi setelah
direnungkan masakmasak, diteliti, dan pada bijak tidak mencela maka
ambillah ajaran tersebut. Dari dua sutta tersebut dapat disimpulkan bahwa
kayakinan merupakan hal yang penting untuk mendorong seseorang belajar
dan mempraktiakan ajaran.
c. Sīla

[7]
Sila artinya praktik moral, karakter baik, etika Buddhis, aturan
moralitas. Di dalam Patisambhidhāmagga, i, 44, di jelaskan “Kiṁ sīlanti
cetanā, cetasika sīlaṁ. Saṁvaro sīlaṁ, avītikkamo sīlanti. – apakah yang
dimaksud sīla (moralitas? Kehendak (cetanā) adalah sīla, factorfaktor batin
(cetasika) adalah sīla, pengedalian diri adalah sīla dan ketidak pelanggaran
adalah sīla. Jadi Sila adalah praktik kemoralan yang dapat membentuk krakter
baik, terkendali dan tanpa pelanggaran dengan aturan moralitas di dalam etika
Buddhis.
Sīla sangat bertalian dengan ritual Buddhis hal ini karena ritual dan
sila memiliki rasa yang sama yaitu ketenangan. Fungsi dari sīla adalah tanpa
penyesalan dan tenang sedangkan ritual juga berfungsi untuk ketenangan.
namun demikian beberapa ritual terkadang absurb, ekstrim dan amoral
contohnya ritual kurban, ritual pemuja pohon, pemuja gunung, dan
mengabdikan dirinya kepada ritual. selain itu, seseorang yang sudah melekat
pada ritual maka setiap fenomena akan dianggap sebagai prilaku sosok mistis
yang menyebabkannya. Ritual yang seharunya memberikan ketenangan,
kedamaian dan kesejahteraan menjadi boomerang meyakiti dirinya sendiri.
Maka dari itu penting kiranya seseorang mengetahui hukum kamma
bahwa setiap orang dapat menjadi bahagia jika bermoral dan dapat menjadi
menderita jika amoral. Pada saat seseorang mengetahui hukum kamma
tersebut diharapkan muncul hiri dan ottapa pada setiap ritual yang berpotensi
melanggar aturan moralitas. Sehingga seseorang tidak terjeremus kedalam
ritual yang absurb, melukai dan membunuh makhluk lain, peminta spiritual,
dan berkah .
Jika kita meniliki dalam kutipan patisambidhamagga diatas maka sīla
tidak terbatas pada sīla-sīla baik itu pancasila, atthasila, patimokkha sila tetapi
lebih luas lagi seperti di dalam Maṇgala Sutta terdapat 38 praktik sila
contohnya, “tidak bergaul dengan orang dungu, bergaul dengan para bijak,
menghormat yang patut dihormat, membantu ayah dan ibu menunjang anak
dan istri dan berkerja dengan sungguh-sunggu…” diakhir syair Sang Buddha
memberikan kesimpulan apa bila seseorang bisa menjalankannya maka tidak
akan terkalahkan dan mencapai kebahagiaan dimana pun berada. Maka dari
itu ritual yang bermanfaat harus diimbangi dengan pengetahuan dan praktik
sīla maka kemajuan akan didapatkan baik kemajuan, kemakmuran, dan
spiritual.
d. Ahimsa

[8]
Ahimsa artinya tanpa kekejaman; kemanusiaan; kebaikan hati. Ahimsa
adalah tindakan tanpa kekejaman dengan berlandaskan rasa kemanusiaan dan
kebaikan hati. Ahimsa merupakan syarat penting yang harus dipatuhi apabila
seseorang ingin melaksanakan ritual dalam agama Buddha. Setiap ritual
dalam agama Buddha baik ritual umum atau pun khusus yang pada prosesinya
atau pun di luarnya tidak diperkenankan mengorbankan makhluk hidup
sebagai sesajian atau persembahannya.
Sang Buddha telah menjelaskan di dalam Kutadanta Sutta dari Digha
Nikaya bahwa pengobanan makhluk hidup tidak diperkenankan hanya karena
seseorang atau suatu negeri mengharap berkah atau sedang mengalami masa
krisis. Di dalam cerita Jataka tentang seorang Brahmana yang akan melakukan
ritual pengorbanan hewan, digagalkan oleh Bodhisatta dengan kisah masa
lampau dari seekor kambing yang menangis lalu tertawa. kambing Itu dahulu
seorang Brahmana yang juga sering melakukan ritual pengorbanan, setelah
kematian Brahmana tersebut terlahir sebagai kambing hingga 500 kali selama
itulah Ia terus menjadi kambing yang yang kerapkali dipotong. Kambing
tersebut menangis karena menyesal telah melakukan ritual pengorbanan dan
kambing tersebut tertawa karena inilah terakhir kalinnya dilahirkan menjadi
seekor kambing.
Di dalam Jivaka Sutta dari Majjhima Nikaya, Sang Buddha
menjelaskan bahwa sekalipun seseorang berbuat baik dengan dengan makhluk
hidup lain yang menjadi korbannya atau terjadinya pembunuhan maka
kebajikan yang didapatkan hanya sedikit tetapi banyak melakukan kamma
buruk dalam lima hal yaitu; pertama, disaat berkata “pergi dan ambillah
makhluk itu”, kedua, disaat makhluk hidup mengalami kesedihan dan rasa
saki ketiga diseret dengan pengikat leher; ketiga, ketika berkata “pergi dan
sembelih makhluk itu”; keempat, ketika mengalami kesakitan karena
disembelih; dank kelima, memberikan makanan yang tidak diizinkan kepada
Tathagata dan siswa-Nya. Maka dari itu, Sang Buddha menyarankan misalnya
berdana agar menghindari pembunuhan makhluk hidup (daging) untuk
dipersembahnya kepada kepada Bhikkhu Sangha dan komunitas lainnya.
Selain itu melarang secara vokal, Sang Buddha juga memberikan lima
peraturan latihan (pancasila Buddhis) salah satunya adalah “menghindari
pembunuhan makhluk hidup” sebagai pedoman hidup sebagai bentuk
penghindaran dan menyayangi dan melindungi makhluk hidup lainnya
sebagai bentuk aktifnya. Maka dari itu Melarang menyakiti atau membunuh
makhluk hidup bukannya sekedar vokal tetapi menjadikannya suatu praktik

[9]
dalam kehidupan sehari-hari hal ini juga berhubungan dengan pencapaian
pencerahan atau perealisasian Nibbana, karena tanpa pelaksanaan moralitas
yang mendukung maka pencapaian Nibbana akan banyak pengalangnya.
Maka dari itu ahimsa adalah syarat penting pelaksanaan ritual dalam agama
Buddha.
e. Metta

Metta aritnya “cinta kasih”. Cinta kasih merupakan sikap lemah


lembut, bersahabat, ramah dan penuh energi kebaikan. Ritual tanpa diimbangi
dengan metta maka tidak akan membawa pada manfaat yang besar tetapi
apabila ritual diimbangi dengan Metta akan membuat manfaat besar bagi
seseorang. Ritual membutuhkan kerelaan, ketulusan hati, dan kebajikan untuk
mengeluarkan kekuatannya.
Sebagian besar ritual masih mengorbankan makhluk hidup sebagai
sesajiannya dengan alasan untuk manfaat dan kepentingan kehidupan
manusia. Sang Buddha telah melihat keburukan dari memanfaatkan makhluk
hidup lainnya untuk upacara ritual apa pun itu, yaitu menuju pada kondisi
(alam) menderita bagi pelaku. Metta berfungsi untuk mencegah seseorang
mengorbankan kehidupan makhluk lain untuk mencapai berkah dan
kepentingan lainnya melalui ritual. Metta dalam ritual seharunya dilakukan
untuk kesejahteran diri sendiri, dan makhluk disekitarnya. Pattidana
merupakan salah satu ritual Buddhis yang upacaranya khusus melimpahkan
jasa kebajikan kepada sanak saudara yang telah meninggal, para leluhur dan
makhluk peta. Metta adalah teman seimbang ritual.
Seseorang yang melakukan ritual dengan landasan metta akan dapat
mengeluarkan keindahan dari dalam hati atau inner-beauty. Dalam Anguttara
Nikaya XI Sang Buddha memberikan manfaat-manfaat pengembangan metta
diantaranya tidur dengan tenang; tidak bermimpi buruk; dicintai banyak
orang; dicintai makhluk halus; dilindungi para dewa; api, racun tidak bisa
melukai; pikiran mudah terkonsentrasi; kulit wajahnya cerah; meninggal
dengan tidak bingung; dan jika menembus yang lebih tinggi akan terlahir di
alam Brahma.

f. Manfaat

[10]
Ada pun manfaat seseorang melakukan ritual Buddhis diantaranya;
1. meningkatkan keyakinan, semangat dan konsentrasi;
2. Menambah kebajikan; panjang usia, rupawan, pupolaritas, kekuatan dan
kelahiran alam surgawi
3. Sumber pengetahuan;
4. Sebagai salah satu jalan pencerahan
5. Mempersatukan dan solidaritas umat Buddha
6. Brahmavihara; Empat kediaman atau keadaan batin yang luhur akan
berkembang
7. Saṁvara; indra akan terkendali
8. Sukha; bahagia

Kesimpulan

[11]
Sejarah ritual di dalam agama Buddha sudah dipraktikan sejak sang Buddha
masih hidup. Ritual tersebut diantaranya uposatha sila, upasampada bhikkhu,
pengulangan patimokkha, pabbajja samanera, dan puja di Ceitya-cetiya. Ritual dalam
agama Buddha semakin berkembang dan bervariasi setalah ke-mangkatan Sang
Buddha dan menyebarnya ajaran Buddha keseluruh penjuru dunia terutama Asia.
Alkulturasi dan singkritisme membuat ajaran Buddha berhasil memasuki relung
kehidupan masyarakat setempat baik dalam ritual tradisi bahkan kebudayaan. Hingga
saat ini beberapa Negara, atau pun suku daerah masih menggunakan prinsip-prinsip
Buddhisme dalam menjalankan pemerintahan atau pun menetapkan sebuah peraturan.
Ritual dalam agama Buddha bukan hanya berkembang, bervariasi, atau menjadi
pedoman hidup tetapi ritual telah memberikan corak dalam agama Buddha itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

[12]
https://samaggi-phala.or.id>Upacara agama Buddha
https://forum.dhammacitta.org
Raysid,Teja SM.1994.Kitab Suci Vinaya Pitaka 1. Kota terbit tidak diketahui:
Universitas Terbuka.
Santosa, Dhamma Ananda Arif Kurniawan Hadi. 2012. Puja. Yogyakarta:
Vidyasena.

Pertanyaan Dari Kelompok

[13]
Kelompok 2
1. Apakah ahimsa patut dilakukan dalam suatu ritual?
Ahimsa patut dilakukan karena didalam melakukan ritual atau upacara
keagamaan tidak diperkenankan mengorbankan makhluk hidup sebagai
sesajian atau persembahan. Sang Buddha juga memberikan lima peraturan
latihan (pancasila Buddhis) adalah “Menghindari pembunuhan makhluk
hidup” sebagai pedoman hidup sebagai bentuk penghindaran dan menyayangi,
melindungi, makhluk hidup lainnya sebagai bentuk aktifnya maka dari itu
melarang menyakiti atau membunuh makhluk hidup bukannya sekedar vokal
tetapi menjadikannya suatu praktik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
berhubungan dengan pencapaian pencerahan atau perealisasian Nibbana,
karena tanpa pelaksanaan moralitas yang mendukung maka pencapaian
Nibbana akan banyak penghalangnya maka dari itu ahimsa adalah syarat
penting dalam pelaksanaan ritual dalam agama Buddha.

Kelompok 3
2. Apakah pengertian Vatthu Sampadā dan Dakkhineyya Sampadā ?
a. Vatthu Sampadā
Kesempurnaan dalam materi, dalam artian materi yang
dipersembahkan untuk memuja harus dipersembahkan untuk memuja
harus diperoleh dengan cara tidak menyimpang dari tatanan yang dibentuk
oleh masyarakat, pemerintah dan agama; serta layak, pantas dan tepat
untuk dipersembahkan.
b. Dakkhineyyā Sampada
Kesempurnaan dalam objek pemujaan, dalam artian objek yang dipuja
harius merupakan objek yang memang patut dipuja. Contohnya sang
Buddha Gotama karena beliau yang mengajarkan dhamma kepada
manusia dan para dewa untuk membebaskan makhluk dari penderitaan.

Kelompok 4
3. Apakah arti cikal bakal ritual tersebut?
Cikal bakal itu adalah seseorang atau sesepuh yang menjadi pendiri
ritual tersebut sehingga sampai sekarang dilakukan. Contohnya Raja
Bimbisara yang melakukan ritual pattidana pada zaman sang Buddha yang
kini ritual pattidana tersebut masih dilakukan.

Kelompok 5

[14]
4. Bagaimanakah solusinya jika didalam suatu tradisi melakukan pembunuhan
makhluk hidup atau bertentangan dengan ritual didalam agama Buddha?
Memang tidak mudah merubah suatu tradisi yang sudah ada puluhan
tahun apalagi tradisi itu sudah dilakukan sebelum masuknya agama Buddha
ditempat tersebut. Hal yang perlu dilakukan adalah menjalin hubunguan baik
atau pendekatan kepada masyarakat tersebut dan memberikan pemahaman-
pemahaman bahwa didalam melakukan ritual tidak diperkenankan membunuh
atau mengorbankan makhluk hidup karena melanggar sila pertama didalam
pancasila Buddhis. Kita sebagai generasi penerus yang sudah paham tentang
Dhamma tentu

Kelompok 6
5. Apakah melakukan ritual yang tidak ada menfaatnya apakah bisa disebut
sebagai ritual, bagaimana?
Tetap dikatakan itu adalah sebuah ritual. Melakukan sebuah ritual
yang tidak ada manfaatnya hanya mengabiskan waktu untuk hal yang tidak
berguna. Hal ini senada dalam Kalama Sutta seseorang seharusnya tidak
langsung percaya kepada tradisi lisan yang turun temurun, apa yang dikatakan
banyak orang, kitab suci, bahkan gurumu sendiri, sang Buddha. Tetapi setelah
direnungkan masak-masak, dieliti pada bijak tidak mencela maka ambilah
ajaran tersebut. Sebaiknya didalam melakukan sebuah ritual kita harus
mengetahui terlebih dahulu apa makna atau arti dari melakukan ritual tersebut.
Objek yang dijadikan ritual pun harus dikatahui nilai-nilai luhurnya.

Kelompok 7
6. Manfaat saddha?
Tanpa adanya keyakinan seseorang tidak akan tertarik pada ajaran dan
terlebih lagi memprakitkannya. Keyakinan adalah hal yang mendasar didalam
melakukan sebuah ritual. Seseorang yang melakukan tradisi membaca puji-
pujian berdasarkan keyakinan.

[15]

Anda mungkin juga menyukai