Anda di halaman 1dari 6

Kelompok Awam Buddha

A. Pendahuluan
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha patut menerima
pemberian

(ahu-neyyo),

tempat

berteduh

(pahuneyyo),

persembahan

(dakkhineyyo),

penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada
taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dan dharma
dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan
merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika;
yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga
Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia,
yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhlukmakhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai
buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang
sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami,
anagami dan arahat. [1]
Secara kelembagaan, umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri
dari para Bhikkhu, Bhikkhuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk
meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga.
Kelompok masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri
berlindung kepada Buddha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi
umat

awam

dan

hidup

berumah

tangga.

Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhlukmakhluk suci atau ariya- puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai
buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang
sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sotapatti, sakadagami,

anagami

dan

arahat.

Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh sang Budha beberapa minggu
setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa,
Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid sang Buddha yang pertama kali. Di antara mereka,
Kondana adalah murid pertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Namun demikian, sangha tidak
mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Buddha yang bersifat lahiriah. Hubungan yang
terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Anggota sangha adalah teladan dari cara hidup
yang suci, menyampaikan dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat
maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat Buddha sangha patut menerima
pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkineyyo), penghormatan
(anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di
dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Dharma dan
Buddha, karena ketiganya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal yang merupakan
manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan antara ketiganya sering
digambarkan sebagai berikut : Budha sang bulan purnama, dharma sebagai sinarnya yang
menyinari dunia, dan sangha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut. Dengan
kata lain, Buddha digambarkan sebagai orang yang membakar hutan,yaitu kekotoran batin, dan
sangha sebagai lapangan terbuka untuk menanam padi,atau jasa, setelah hutan habis terbakar.
Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha
untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap
pertama dimulai ketika umat Buddha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para
Bikkhu. Tahap ini dikenal dengan saat keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup
kewiharaan tanpa memiliki rumah tempat tinggal dan hidup sebagai pertapa. Sebelum secara
penuh diterima sebagai seorang bhikku, ia diharuskan untuk menjalani hidup sebagai calon
bhikkhu atau samanera dengan mengucapkan dan menepati dasa sila atau sepuluh janji, tekun
mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenunggan suci dibawah asuhan
seorang bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah ia dapat bmelakukan semua

itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacara penahbisan
(upasampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera). [2]

B. Kelompok Awam Budha


Kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup
di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat
mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah
bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.[3]
Pada umumnya yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari orang-orang yang
telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan meyakini kebenaran
ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan ajarannya. Mereka yang
mengakui keagamaan Budha ini disebut Upasaka dan Upasaki.
Pengakuan terhadap agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk
berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan Trisarana yang berbunyi:
Buddhang Saranang Gacchani, Dhammang Saranang Gacchani, Sanghang sarang
Gacchani.
Artinya :
Saya berlindung kepada Budha, saya berlindung kepada Dharma, saya berlindung
kepada Sangha.
Setelah mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara
Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam kehidupannya
sehari-hari.
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Budha dan tanggung jawab
keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awami ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2. Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas
sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.
3. Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4. Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5. Anagarika adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
mengamalkan ajaran Budha Gautama.[4]
Masyarakat awam umat Budha terdiri atas upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang
Budha sebagai pemimpin dan guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajarannya, serta berusaha

dengan sungguh-sungguh menjalankannya. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat dan tekad
untuk berlindung kepada Budha, dharma dan sangha dengan mengucapkan trisarana, yaitu:
Buddhang saranang gacchami, saya berlindung kepada Buddha. Dhamang saranang Gacchami,
saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang gacchami,saya berlindung kepada sangha.
Setelah mengucapkan Trisarana tersebut, seorangg upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah
untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam pemahaman dan pengalaman ajaran Sang Budha, masyarakat awam Budha terdiri atas
upasaka- upasaki, bala anupandita, anupandita, pandita, mahaupasaka, mahapandita dan tertinggi
adalah anagarika. Upasaka-upasaki adalah kelompok awam, sedang bala anupandita,anupandita
serta pandita adalah orang awam yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan
bergabung dalam organisasi umat Budha.setelah pandita, seseorang dapat menjadi mahaupasaka,
yaitu yang mengurus masalah-masalah administratif teknis maupun menjadi mahapandita yang
mengkhususkan diri pada masalah-masalah keagamaan. Adapun anagarika adalah orang awam
umat Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengajarkan ajaran
Budha Gautama. Dalam masyarakat umat Budha, kelompok-kelompok upasaka-upasaki berperan
secara aktif dalam pengalaman dan penyebaran agama Budha di tengah-tengah masyarakat,
karena adanya keterbatasan-keterbatasan kelompok kewiharaan (sangha) dalam usaha
penyebaran agama Buddha.[5]
Sekalipun pencapaian Nibbana tujuan terakhir, latihan kerohanian Buddhis terbuka bagi
para Bhikkhu maupun umat awam, namun kesibukan-kesibukan duniawi seorang awam
merupakan hambatan yang jauh lebih besar baginya dibandingkan dengan hambatan yang
dialami olehseorang Bhikkhu untuk mencapainya. Pangeran Jayasena minta kepada Samanera
Aggivesana untuk diajar Dhamma. Pada akhir khotbah sang pangeran mengeluh bahwa apa yang
baru dikhotbahkan itu tidak mungkin dicapai olehnya. Sang Buddha yang mendengar hal itu
bersabda: Tidak mungkin bagi Sang Pangeran yang hidup ditengah-tengah kenikmatan
indra...menikmati...dilanda...terbakar... haus akan kenikmatan indra yang lebih banyak, untuk
mencapai apa yang dapat dicapai melalui penolakan kenikmatan indra. Beliau mengambil
perumpamaan empat ekor binatang: dua diantaranya dapat dijinakkan dan yang lain tetap liar;
dan perumpamaan dua orang yang mandaki gunung: yang satu berhasil mencapai puncak dan
melihat pemandangan disekelilingnya, sedangkan yang lain tetap berada di kaki gunung
(Majjhima Nikaya, HI, hal. 128 dst.)

Dalam kehidupan sehari-hari seorang umat awam diminta untuk menyatakan berlindung
pada Buddha, Dhamma dan Sangha, serta menjalankan pancasila (Buddhis). Selanjutnya ia
dianjurkan untuk menepati sepuluh pokok tindakan baik (dasakusalakamma):
1. Menghindari pembunuhan, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama makhluk hidup;
2. Menghindari pencurian; dan bersikap jujur dan tulus serta berusaha membantu untuk
meringankan penderitaan orang lain;
3. Menghindari perbuatan asusila; dan menepati tatasusila dalam masyarakat;
4. Menghindari kebohongan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain;
5. Menghindari fitnah; yang dapat menimbulkan permusuhan; sebaliknya berusaha menjadi
penengah untuk merukunkan perselisihan;
6. Menghindari ucapan kasar; dan berbicara secara lembut dan menyenangkan;
7. Menghindari omong-kosong; dan berbicara pada waktu yang tepat tentang hal-hal yang benar,
berdasarkan fakta, berhubungan dengan Dhamma Vinaya, bermakna, disertai contoh-contoh
diperhitungkan lebih dulu dan bermanfaat;
8. Menghindari keserakaan; dan tidak merasa iri terhadap keuntungan dan kemakmuran orang lain;
9. Menghindari itikad jahat; dan tidak menyimpan pikiran buruk (terhadap orang lain);
10. Menghindari pandangan salah; dan menganut pandangan benar: percaya akan kehidupan yang
akan datang, akan ganjaran moral, akan kewajiban, dan akan guru-guru rohani yang telah
menjalani hidup suci dan mencapai pandangan terang...
Selanjutnya orang dianjurkan percaya diri, hidup saleh, bermasalah dan tidak bermalasmalas, waspada, seimbang dan memiliki pengertian... (Anggutara Nikaya, V, hal. 335 dst.)...
memupuk simpati masyarakat dengan menjalankan empat prinsip pendukung: (1) kemurahan
hati; (2) ucapan menyenangkan; (3) suka menolong; (4) tidak memihak. (Jataka, VI, hal. 286).
Di tempat lain Sang Buddha memberi teladan lebih rinci tentang kehidupan baik di tengahtengah masyarakat: berbuat baik dengan pikiran, ucapan dan tindakan; melakukan kegiatan untuk
kepentingan orang banyak; taat dan hormat kepada pemimpin atau orang yang lebih tua; ...
mmelenyapkan ketakutan dikalangan masyarakat; melindungi mereka yang perlu dilindungi,
menyediakan kebutuhan sehari-hari..., hidup sederhana dan penuh dengan welas asih..;
mempelajari ilmu pengetahuan dan kesenian... mendatangi dan belajar dari orang-orang suci ... ;
hidup tenang,tanpa amarah, dan tidak mencari-cari kesalahan orang lain ... ; merukunkan
golongan-golongan dalam masyarakat untuk hidup bersama secara serasi ..; dapat memahami,
meneliti dan memilah-milah watak orang yang berbeda..; memperhatikan kepentingan,
kesejahteraan,

keamanan

dan

kemantapan

masyarakat;

memikirkan

bagaimana

cara

meningkatkan kepercayaan, moral, pendidikan, kemurahan, kkelurusan, kecerdasan, binatang ...;

dengan batin yang tulus, terbbuka kecerdasan, binatang ...; dengan batin yang tulus, terbuka daan
luhur mmenatap orang dengan pandangan penuh kasih ... membuang kebiasaan-kebiasaan buruk
dan cara penghidupan salah ...; menolak segala macam penipuan dan perlakuan tidak adil serta
segala tindakan kekerasan. (Digha Nikaya III, hal. 145 dst.). hubungan kekeluargaan yangg
saleh sangat ditekankan dalam Agama Buddha: umat awam dianjurkan untuk menyokong orangorang suci, mohon nasihat mereka, memelihara kitab-kitab suci... menghormati orang-orang
saleh dan terpelajar ... menyokong orang tua, mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga, melaksanakan tanggungjawab terhadap istri dan anak... bawahan dan pelayan,
(Anguttara Nikaya IV, hal. 44 dst.) Selama aku hidup aku akan menyokong orang tuaku di
rumah, menghormati atasan dan yang lebih tua, mengucapkan kata-kata lembbut, tak akan
membicarakan keburukan di belakang punggung, hidup berumah tangga bebas dari hati noda
mementingkan diri sendiri, murah hati dan terbuka tangan... berkata benar, dan tak diperbudak
oleh nafsu amarah. Orang demikian dinamakan oleh Sang Buddha sebagai Orang yang baik
dan berharga (Samnyuta Nikaya I, hal. 228). [6]
Kelompok masyarakat awam meliputi semua umat Buddha yang tidak termasuk dalam
kelompok masyarakat keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga. Kelompok ini
terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita) yaitu mereka yang telah menyatakan diri untuk
berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moralitas
(sila) bagi umat awam.[7]
Pandita
*Pandita memiliki 2 pengertian:
1. Pandita dalam bahasa Pali adalah Orang Bijaksana yang biasanya disebut Pandit
2. Pandita dalam pengertian, orang yang dilantik dalam organisasi Buddhis sebagai pemimpin
agama Buddha dalam hal umat perumah tangga. Pandita dalam agama Buddha disebut Upasaka
& Upasika. Sebutan untuk Pandita laki-laki ialah Romo yang artinya Bapak. Sebutan untuk
Pandita wanita ialah Ramani yang artinya Ibu. Pandita dalam organisasi Buddhis terdiri dari 2
jenis yaitu: Pandita yang bertugas memimpin upacara dalam agama Buddha disebut Pandita
Lokapalasraya dan Pandita yang memberikan wejangan Dhamma disebut Pandita Dhammaduta.
3. Pandita dalam oraganisasi Buddhis terdiri dari 3 tingkatan yaitu:
a. Pandita Muda (PMd) yaitu Navaka Pandita
b. Pandita Menengah (PMy) yaitu Pandita Madya
c. Pandita Tinggi (Pdt) yaitu Maha Pandita)

Anda mungkin juga menyukai