Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Tradisi puja sudah tidak asing lagi bagi umat Buddha. Dalam pengertian umum, puja
diartikan sebagai kegiatan memberikan persembahan atau melakukan penghormatan pada objek-
objek yang di puja ( Selamat Rodjali, 2007 ), namun masih banyak di antara umat Buddha yang
kurang memahami maksud dari puja yang sesungguhnya. Kesalahpahaman ini membuat
pengertian puja bergeser arti yang sesungguhnya. Puja seringkali disalah artikan sebagai sarana
mengabulkan permintaan. Sebenarnya pengertian puja adalah pengormatan atau memberikan
persembahan. Oleh karena itu, makalah pendek ini memberikan penjelasan mengenai puja dan
panduan-panduan untuk melakukan cara-cara puja dan tempat untuk melakukan puja.

Puja adalah upacara pemujaan atau penghormatan kepada sesuatu atau benda yang
dianggap suci maupun keramat. Dalam Agama Buddha kata Puja berbeda arti, makna, cakupan,
serta penulisannya. Dalam agama Buddha ditulis Pūjā yang artinya menghormat. Kata Pūjā dapat
ditemukan dalam “Manggala Sutta”: “Pūjā ca pūjanīyānam etammanggalamuttamam” yang
artinya : menghormat kepada yang layak dihormati merupakan berkah utama. yang patut
dihormati adalah, Buddha, orang tua, guru, orang suci dan orang yang memiliki moral baik.

Puja sebagai penghormatan memungkinkan untuk dilakukan dengan berbagai cara dapat
berupa persembahan dengan materi seperti dengan persembahan makanan, buah, dupa, bunga,
dll, maupun perilaku seperti sopan santun, ramah tamah, rendah hati; secara fisik, seperti
bersikap anjali, namaskara, maupun mental seperti praktik cinta kasih, kasih sayang serta
memiliki pandangan benar. Penghormatan yang diperkenankan oleh Buddha adalah
penghormatan yang wajar serta didasari oleh pengertian yang benar, dan ditujukan kepada
“sesuatu” yang memang layak untuk dihormati.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pūja
Di dalam kamus Pāli pūja artinya menghormat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pūja adalah penghormatan yang diberikan kepada mereka yang patut dihormat (pūjiya).
Di dalam Parabhava Sutta dan Maṇgala Sutta, Sang Buddha menegaskan bahwa
hendaknya seseorang tidak bergaul dengan orang cacat moralnya karena ini adalah salah
satu penyebab keruntuhan. Tetapi bergaulah dengan orang bermoral karena ini adalah
salah satu sebab dari keberkahan.
Di dalam ajaran Sang Buddha pūja tidak sebatas untuk menghormat kepada orang
bermoral saja. Kata pūja juga digunakan sebagai praktik Dhamma yaitu amisa puja
(penghormatan menggunakan persembahan) dan patipatti pūja (penghormatan melalui
pedalaman Dhamma). Kedua pūja tersebut berfungsi sebagai jalan merealisasi Nibbāna
tetapi di dalam Sang Buddha lebih menitik beraktkan patipatti pūja kepada siswa-Nya
dikarenakan apabila hidup berpengang teguh, sesuai, dan selaras dengan Dhamma inilah
yang dikatakan sebagai penghormatan yang paling tinggi dan luhur. Tetapi jika hanya
melakukan amisa pūja adalah bentuk penghormatan yang biasa, ini bukan cara
menghormat tinggi yang Sang Buddha maksudkan.
Jadi pūja adalah penghormatan yang diberikan kepada yang patut dihormat.
Orang yang patut dihormat adalah mereka yang memiliki moralitas, berpengetahuan luas
dan bijaksana. Selain itu pūja digunakan sebagai dua jalan praktik Dhamma untuk
mencapai tujuan Nibbana yaitu amisa pūja dan patipatti pūja. Maka dari itu seseorang
hendaknya melaksanakan kedua puja tersebut telebih lagi patipatti pūja karena ini adalah
penghormatan yang tinggi dan luhur.
B. Dua bentuk Pūja
Terdapat dua bentuk pūja yaitu amisa pūja dan patipatti pūja. Dibawan ini akan
dijelaskan tentang dua bentuk puja tersebut.
1. Amisa pūja
Amisa pūja adalah penghormatan dengan menggunakan persembahan. Penghormatan
ini harus menggunakan persembahan agar bisa dikatakan sebagai amisa pūja. Pada saat
Sang Buddha masih hidup baik bhikkhu, upasaka atau upasika memberikan persembahan
amisa puja kepada Sang Buddha sebagai wujud keyakinan dan penghormatan. Amisa
puja diawali oleh Bhikkhu Ananda yang sebenarnya adalah kegiatan wajib disebut
“vattha” atau “kebiasaan” merawat Sang Buddha, mengisi air, membersihkan, menyapu,
meletakan bunga, wewangian, dan pelita di Ganda kuti (timpat tidur) Sang Buddha, yang
selanjutnya diikuti oleh bhikkhu dan umat awam hingga saat ini.
Di dalam Kaliṇga Bodhi Jataka, tercatat kebiasaan Bhante Ananda pemberian amisa
puja berupa bunga, wewangian, dan pelita di Vihara Jetavana Arama di Ganda kuti Sang
Buddha. Dikarenakan Sang Buddha pada sisa hidupnya jarang datang ke Vihara Jetavana
umat pun sulit bertemu dengan Beliau sehingga amisa puja yang dibawa tersebut
diletakan di Ganda kuti Sang Buddha sehingga mengotori Vihara. Singkatnya ditanamlah
pohon Bodhi oleh Bhante Ananda di dekat pintu gerbang Vihara dengan tujuan jika tidak
ada Sang Buddha para umat yang membawa amisa puja dapat menaruhnya di sekitar
pohon Bodhi tersebut.
a. Praktik amisa pūja dewasa ini
Pada zaman ini praktik amisa pūja sangat beragam tetapi umumnya seseorang
yang datang ke Vihara membawa persembahan seperti bunga, dupa, lilin dan sebagainya
atau setidaknya menancapkan dupa dan membaca paritta di depan altar Sang Buddha
yang telah disediakan di Vihara. Cara melakukan pun berbeda-beda, setiap daerah
memiliki cara tersendiri melakukan amisa pūja terutama dihari-hari tertentu.
Di dalam tradisi Theravāda yang dikenal sebagai aliran ortodoks (kaku), praktik
amisa puja pun diajarkan dan dianjurkan kepada umat pengikutnya. Dewasa ini praktik
amisa puja dalam tradisi Theravāda tidak kalah meriahnya dengan tradisi Mahayana
terlebih lagi jika berhubungan dengan hari-hari spesial seperti hari raya dan hari
peringatan. Bahkan beberapa pratik ritual tradisi Mahayana diadopsi oleh tradisi
Theravada khususnya di Indonesia. Contohnya pada saat hari raya Waisak ada beberapa
Vihara Theravada melakukan upacara pemandian patung Baby Siddharta (bayi
Siddharta). Tetapi Theravāda tetap menjaga sifat ortodoksnya tidak vulgar terutama
anggota bhikkhu sangha dalam melakukan suatu ritual dari pada Mahayana .
Dalama tradisi Mahayana praktik amisa puja lebih kaya dari para tradisi
Theravada. Hal ini dikarenakan Mahayana sifatnya tidak se-kaku Theravada dalam
mengimplementasikan ajaran Sang Buddha hal ini bisa dilihat dari perbedaan penampilan
antara bhikkhu Mahayana dan Theravada. Bhikkhu Mahayana bisa menggunakan arloji
sedangkaan bhikkhu Theravada tidak diperbolehkan; bhikkhu Mahayana boleh
menggunakan sepatu sedangkan bhikkhu Theravada tidak diperbolehkan kecuali sandal.
Sehubungan dengan praktik amisa puja, Tradisi Mahayana cenderung lebih
mengutamakan praktik ritual dalam mengimplementasikan ajaran Sang Buddha. adanya
doktirn Upaya Kausaliya menjadi landasan dalam Mahayana mengupayakan ajaran Sang
Buddha kedalam bentuk-bentuk simbol atau rangkaian ritual agar dapat dimengerti
dengan mudah. Efeknya adalah ritual dan upacara dalam tradisi Mahayana sangat kaya.

b. Melihat bahaya amisa pūja


Jika dilihat dengan seksama ada kecenderungan umat Buddha zaman sekarang lebih
menyukai amisa pūja daripada patipatti pūja baik umat Buddh Theravada dan Mahayana.
Lebih banyak umat Buddha datang ke Vihara pada saat hari raya, hari peringatan dan
acara-acara lainnya yang berkaitan dengan hiburan sedangkan untuk praktik mengulang
paritta, meditasi, dan uposatha sila biasanya hanya segelintir orang yang mau melakukan.
Pada saat Sang Buddha masih hidup pun mengalami demikian. Ada beberapa bhikkhu
hanya mengutamakan amisa pūja karena mengidolakan Sang Buddha. Beliau pun
menegaskan kepada contohnya Bhikkhu Tissa dan Bhikkhu Attadhattha yang lebih
mengutamakan amisa pūja, itu bukalah cara menghormati-Nya yang sebenarnya tetapi
dengan praktik patipatti puja itu cara yang sebenarnya menghormati-Nya.
Ada beberapa alasan mengapa Sang Buddha lebih memberatkan patipatti puja
yang dikatakan penghormatan yang sebenarnya, tinggi dan luhur. Pertama, amisa pūja
memberikan manfaat lebih kecil dan tidak langsung dari pada patipati pūja yang
memberikan manfaat langsung. Kedua, amisa puja cenderung akan menambah
kemelekatan terhadap sosok Sang Buddha. Ketiga, amisa pūja cenderung membuat
seseorang mudah melupakan Dhamma. Keempat, seiring dengan mudah lupa pada
Dhamma maka akan melupakan tujuan yang seharunya dicapai. Kelima, amisa pūja
seringkali membuat seseorang terjebak ke dalam kemelakatan pada ritual atau
sīlabataparamasa.
Walaupun ada resiko dalam melakukan amisa puja tetapi Sang Buddha tidak
melarang seseorang melakukannya karena itu merupakan salah satu wujud keyakinan dan
penghormatan. Amisa puja hendaknya diimbangi dengan patipatti puja supaya antara
keyakinan dan penghormatan yang timbul dari amisa puja memberikan kekuatan untuk
praktik Dhamma sehingga terjadinya kemajuan dalam merealisai nilai-nilai luhur diajaran
Sang Buddha dan sebaliknya hasil dari patipatti puja akan memberikan timbal balik
kepada keyakianan dan penghomatan itu sendiri sehingga menjadi lebih kuat dari pada
sebelumnya.
c. Empat hal yang penting dalam melakukan amisa puja
Dalam kitab Mangalattha-dipani menjelaskan ada 4 hal yang harus diperhatikan
ketika seseorang melakukan amisa puja, yaitu;
1. Sakkara (memberikan persembahan materi)
2. Garukara ( menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur)
3. Manana (memperhatikan rasa percaya/yakin)
4. Vandan ( menguncarkan dan mengungkapkan kata sanjungan)
d. Tiga hal yang harus diperhatikan dalam amisa puja
Ada tiga hal tambahan yang harus diperhatikan jika melakukan amisa puja, yaitu:
1. Vatthu sampada (kesempurnaan materi)
2. Cetana sampada (kesempurnaan kehendak)
3. Dkkhineyya sampada (kesempurnaan dalam objek pemujaan)
2. Patipatti pūja
Patipatti puja adalah penghormatan dengan cara mempraktikan. Patipatti puja disini
merupakan mempraktikan ajaran Sang Buddha yang disebut dengan Dhamma. Praktik
Dhamma berfungsi semata-mata agar seseorang terbebas dari dukkha atau penderitaan
tidak lebih dari pada itu. Bebas dari penderitaan adalah keingian semua makhluk tanpa
terkecuali. Sang Buddah sudah mampu melampaui penderitaan sehingga dengan sisa
hidup yang dimiliki-Nya, Beliau menunjukan jalan bagaimana cara mengatasi dukkha.
Ajaran beliau dapat dilihat, dipraktikan, direnungi, dan direalisasi. Maka dari itu ada tiga
cara untuk merealisai-Nya yaitu;
a. Pariati
Pariati adalah belajar Dhamma yang diajaran oleh Sang Buddha. Beliau
mengajarkan cara terbabas dari dukkha atau penderitaan. Pariati merupakan salah aspek
pertama yang sangat ditekankan oleh Sang Buddha karena melalui belajar seseorang
diharapkan mengetahui dan mengingat bagaimana cara membebaskan diri dari
penderitaan.
Sang Buddha memberikan saran menghindari bergaul dengan orang yang tidak
bijaksana atau dungu dan bodoh tetapi sebaliknya bergaul dengan orang bijaksana seperti
yang dijelaskan di dalam Balapandita Sutta dari Majjhima Nikaya. Di dalam Maṇgala
Sutta juga dikatakan demikian “asevana ca balanaṁ, pandita nan ca sevana
ettaaṁgalamuttaṁ – tidak bergaul dengan orang dungu, bergaul dengan orang bijak
itulah berkah utama”. Sang Buddha memuji mereka yang senang belajar seperti di dalam
Aṇgutta Nikaya II, “Bahussutaṁ dhammadharaṁ sappannaṁ buddhasāvakaṁ nekkhaṁ
jambonadass’eva ko taṁ ninditum arahati devāpi naṁ pasaṁsānti brahmunāpi
pasaṁsito” artinya “Terpelajar, memahami Dhamma, benar-benar bijaksana, siswa Sang
Buddha, mereka seperti emas murni dari negeri Jambu Siapakah yang dapat menemukan
cela dalam dirinya? Bahkan dewa menyanyikan pujiannya, Brahma pun menyayikan
pujiannya”.
Di dalam Theragatha 141 terdapat ungkapan pentingnya belajar seperti demikian;
“Sussusā sutavaḍḍhanī sutaṁ paññaya vaddhanaṁ paññaya atthaṁ jānāti ñāto attho
sukkhāvaho” artinya “Keinginan untuk belajar dapat meningkatkan pengetahuan;
pengetahuan meningkatkan kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, tujuan dapat
diketahui; mengetahui tujuan akan membawa kebahagiaan”. Di dalam Maṇgala Sutta,
belajar dan berdiskusi Dhamma merupakan berkah utama, syairnya seperti demikian;
“Kālena dhammassavanaṁ, Kālena dhammasākacchā etammaṇgalamuttamaṁ”,artinya
mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada waktu yang sesuai adalah berkah utama.
Maka dari itu, belajar merupakan hal yang sangat penting karena dari sanalah
pengetahuan, kebijaksanaan, dan perealisaian bermula.
b. Patipatti
Patipatti adalah Praktik atau penerapan ajaran Sang Buddha dalam laku pikiran,
ucapan dan perbuatan. Patipatti merupakan aspek kedua yang sangat penting karena
hubungannya langsung pada perealisasian Nibbana. Praktik Dhamma juga kelanjutan dari
pariati yang telah dipelajari sebelumnya. Iinilah waktunya seseorang membuktikan
sendiri kebenaran Dhamma ajaran Sang Buddha. Dalam Dhammanussati telah
diungkapkan bahwa “Dhamma ajaran Buddha telah sempurna dibabarkan, terlihat amat
jelas, tidak bersela waktu, mengudang untuk dibuktikan, patut diarahkan ke dalam batin,
dapat dihayati oleh para bijaksanawan dalam batin masing-masing”.
Sang Buddha memang memuji mereka yang terpelajar dan berpengetahuan luas
tetapi apabila tidak bermoral hal itu merupakan tercela atau disebut sebagai orang bodoh.
Dalam Aṇguttara Nikaya, Sang Buddha menyatakan bahwa “Jika seseorang yang
memiliki banyak pengetahuan, tetapi lemah dalam kebajikan moral orang lain akan
mencela tingkah lakunya walaupun pengetahuannya memadai”
Praktik ajaran Buddha adalah praktik yang bertahap maka dari itu
perealisasiannya pun bertahap. Dalam hal ini ada empat tahap upaya yang dikembangkan
disini yaitu menghindari perbuatan buruk dan meninggalkan perbuatan buruk;
menimbulkan pebuatan baik dan mengembangkan perbuatan baik tersebut. Empat daya
upaya ini terus dilakukan apa pun praktik Dhamma yang dilakukan baik dana, sīla,
samādhi dan pañña.
Praktik Dhamma adalah salah satu sumber pengetahuan yang disebut cinta
mayapañña atau pengetahuan yang timbul dari praktik. Praktik akan membuat seseorang
memahami lebih mendalam ajaran Sang Buddha. Maka dari itu Sang Buddha tanpa henti
memotivasi siapapun itu yang haus Dhamma seperti di dalam Saṇyutta Nikaya I
“Sambhādhe vāpi vandati dhammaṁ nibbānpattiyā ye satiṁ paccalatthaṁsu sammā te
susamāhitā – Meskipun bila dipenihi oleh rintangan-rintangan, jalan ke Nibbāna tetap
dapat dimenangkan oleh mereka yang membangun perhatian murni dan mimiliki
keseimbangan”.
Jadi perealisasian Nibbāna sangat dimungkinkan dicapai pada kehidupan saat ini,
karena Dhamma ajaran Sang Buddha masih lengkap dan tidak bersela waktu untuk
dipelajari, dihayati, dipraktikan dan dibuktikan. Selagi memiliki semangat untuk
melakukan patipatti Dhamma, Nibbāna pasti dapat tercapai.

c. Pativedha
Pativedha adalah hasil dari pariati dan patipati. Hasil dari praktik Dhamma
adalah kebebasan. Sang Buddha menjelaskan rasa Dhamma adalah satu yaitu kebebasan.
Di dalam kitab Paramatthajotika, dijelaskan secara ringkas tentang praktikpraktik
apa saja yang tekandung di dalam patipatti puja yang juga disebut dengan Dhamma puja.
Maksud dari pelaksanaan Dhamma disini adalah sebagai berikut:
1). Berlindung pada Tiratana atau Buddha, Dhamma, dan Saṇgha
2). Bertekad menjalankan Panca sila (5 kemoralan)
3). Bertekad melaksanakan Athaṇga sila pada hari uposatha (8 kemoralan)
4). Berusaha menjalankan Parisuddhi sila yaitu
a). Melaksanakan patimokkha saṁvara (pengendalian diri daalam tata tertib)
b). Pengendalian terhadap enam indera (indriya saṁvara)
c). Berpenghidupan secara benar (ajiva-parisuddhi)
d). Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (paccaya-sanissita)
C. Tiga cara pūja
a. Padakhina (Pradaksina)
Dengan tangan beranjali mengelilingi objek pemujaan dengan searah jarum jam
(dari kiri ke kanan) sebanyak tiga kali, dan pikiran terpusat pada TRIRATNA.
b. Namakara
Yaitu menghormati dengan cara bersujud, dengan sikap sempurna, Anjali, (tangan
di rangkapkan di depan dada, berlutut, duduk di atas tumit dan jari-jari kaki menopang
berat badan).
c. Anjali
Yaitu merangkapkan kedua tangan di depan dada, membentuk kuncup bunga
teratai, baik dalam posisi berdiri maupun duduk bersimpu atau bersila.
D. Manfaat melakukan puja
a. Saddha: Keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang.
b. Brahmavihara: Empat kediaman atau keadaan batin yang luhur akan berkembang
yaitu: Metta ( Cinta kasih yang universal), Karuna (Belas Kasihan), Mudita (Simpati
atas kebahagian orang lain), dan Upekkha (Seimbangan batin)
c. Samvara: Indera akan terkendali
d. Santutthi: Merasa puas
e. Santi: Damai
f. Sukha: Bahagia
Pertanyaan

1. Apa alasan Padakhina (Pradaksina) dilakukan dari kiri ke kanan.


2. Kenapa ketika melakukan Padakhina (Pradaksina) dilakukan selama tiga kali (ganjil)
mengapa tidak genap?
3. Pada zaman Sang Buddha apa ada yang memohon melakukan Padakhina (Pradaksina).

Jawaban
1. Secara umum, dikatakan bahwa konsep arah perputaran dalam berpradaksina ini
didasarkan pada keadaan dunia yang terus berputar mulai dari matahari yang terbit di
Timur kemudian tenggelam di Barat begitu seterusnya, hari-hari selanjutnya terus
berputar. Oleh karena itulah pradaksina dilakukan dengan berkeliling searah perputaran
jarum jam.
2. Jumlah perputaran sebanyak tiga kali, tidak disebutkan secara jelas di dalam Maha
Parinibbana Sutta, mengapa baik Brahma Sahampati mengelilingi Sang Buddha dan
Yang Arya Maha Kassapa mengelilingi jenasah Sang Buddha sebanyak tiga kali. Jadi
perilaku tersebut hanyalah didasarkan pada Brahma Sahampati, sebagai orang pertama
yang melakukannya sebanyak tiga kali, maka selanjutnya diikuti oleh yang lainnya
dengan Yang Arya Maha Kassapa sebagai panutan yang menjadi teladan dalam
melakukan pradaksina tersebut. Persepsi lain mengenai jumlah perputaran dalam
pradaksina adalah melalui interpretasi dari konsep dibangunnya Candi Borobudur yang
merupakan salah satu bangunan religius agama Buddha berupa stupa raksasa berundak.
Hal ini didasarkan pada tiga bagian Candi Borobudur, yaitu Kamadhatu, Rupadathu, dan
Arupadathu. Dari sinilah terdapat alasan, mengapa dalam beraktivitas
pradaksina dilakukan sebanyak tiga kali.
3. Pada mulanya, di masa Sang Buddha masih menyebarkan Dharma, ada seorang Brahma
yang bernama Sahampati yang berjalan mengelilingi Sang Buddha yang sedang duduk di
bawah pohon Bodhi. Beliau mengelilingi Sang Buddha sebagai wujud penghormatan
beliau terhadap Guru. Brahma Sahampati mengelilingi Sang Buddha sebanyak tiga kali
sesuai dengan arah perputaran jarum jam. Perlakuan Brahma Sahampati itu kemudian
diulang kembali dan diikuti oleh semua murid Sang Buddha dan akhirnya menjadi suatu
ritual untuk menghormati Sang Buddha ketika saat mangkat mereka melihat Yang Arya
Maha Kassapa melakukan pradaksina tersebut.
Alkisah pada waktu Sang Buddha parinibbana, sesaat setelah itu keresahan para murid
beliau mulai tampak, apalagi ketika Yang Arya Maha Kassapa, salah satu murid teladan
beliau yang sangat dikagumi kebijaksanaannya belum tiba di Kusinara, salah satu kota di
India, tempat tubuh Sang Buddha disemayamkan belum dapat dikremasi karena masih
menunggu Yang Arya Maha Kassapa tersebut. Begitu Yang Arya Maha Kassapa tiba,
beliau menghormat dengan cara membacakan paritta–paritta dan kemudian berkeliling
mengelilingi tubuh Sang Buddha sebanyak tiga kali searah jarum jam dari kiri ke kanan.
Sejak saat itulah wujud penghormatan terhadap Sang Buddha berupa puja bakti berupa
pembacaan paritta dan pradaksina lahir. Seiring perkembangan agama Buddha, ritual
pradaksina tetap dilakukan hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Riddicculus Dede. 2011. “Mendeskripsikan Sejarah dan Petunjuk tentang Puja”.


http://buddhissmansa.blogspot.com/2011/10/puja.html?m=1
Diakses 16 Maret 2019.

Sugata Ferlina. 2016. Kerterkaitan Aktivitas Pradaksina Pada Ragam Tipologi Bangunan
Stupa. Journal of Design.
http://Users/ES1132/AppData/Local/Temp/SEJARAH%20PRADAKSINA.pf
Diakses 18 Maret 2019 Pukul 17:03 WIB.

Diputhera, Oka. (1979). “Maha Parinibbana Sutta”. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Buddha.

Anda mungkin juga menyukai