7
(Perkembangan, Posisi, dan Peranan)
133
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 134
tersebut (Buddha, Dharma, Sangha) ibarat segitiga. Buddha
telah menemukan dan menyampaikan ajaran Kebenaran
(Dharma), dan Sangha menerima dan melestarikan ajaran
Kebenaran tersebut. Oleh karena itu, posisi Sangha tidak
bisa dinafikan begitu saja dalam sistem sosial agama
Buddha. Dalam agama Islam, posisi dan peranan Sangha ini
dapat disejajarkan dengan posisi dan peranan ulama di mana
salah satu hadis Nabi mengatakan bahwa “Ulama adalah
pewaris para nabi” (al-ulama waratsatul anbiyaa).
Meskipun kredo menempatkan Sangha pada posisi
yang penting dalam struktur sosial agama Buddha tetapi kita
tidak boleh beranggapan bahwa Sangha dalam bentuk-nya
yang ada sekarang sebagai bentuk yang utuh, lahir dan ada
apa adanya, semenjak masa Sang Buddha. Sangharak-shita
(h. 204) menyatakan bahwa Sangha, sebagaimana sesuatu
yang hidup seperti organisme, kekaisaran, atau gagasan,
dalam sejarahnya mengalami perkembangan. Ia kemudian
membagi perkembangan Sangha tersebut ke dalam tiga fase:
masa Sang Buddha, fase setelah Sang Buddha parinirvana,
dan fase setelah Konsili di Vaisali. Berdasarkan peiodisasi
dari Sangharakshita ini kita akan mencoba melihat
bagaimana perkembangan yang terjadi pada institusi
keagamaan Buddha ini.
Perkembangan Sangha
Setelah Parinirvana
1
Lihat, Konsili Dalam Agama Buddha (Bab 5) dalam buku ini.
Sangha dalam Agama Buddha
141
Dharma mulai digantikan dengan pembacaan peraturan-
peraturan kebiaraan yang terdiri dari 150 soal. Dalam
upacara Uposatha tersebut juga dilaksanakan semacam
pengakuan atas pelanggaran yang dibuat seseorang terhadap
peraturan-pertauran tersebut. Bahkan pada acara Upasam-
pada yang asalnya merupakan acara diterimanya seorang
asketik menjadi pengikut Sang Buddha, menjadi suatu
upacara resmi yang menandai inisiasi seseorang ke dalam
Orde Sangha seperti umpamanya dengan menghadirkan
empat orang bhikku senior dan guru calon bhikku itu sendiri
serta pernyataan calon itu sendiri bahwa dirinya bebas dari
berbagai cacat yang bersifat potensial. Hal ini secara luas
menandari perbedaan yang kentara antara bhikku dan orang-
orang biasa, tidak lagi antara mereka yang telah
meninggalkan hidup berumah tangga dengan yang tetap
berkeluarga tetapi antara mereka yang telah diordinasi dan
melaksanakan aturan-aturan Sangha dengan mereka yang
tidak diordinasi dan tidak melaksanakan aturan-aturan
tersebut (Sangharakshita, 1991:208).