Anda di halaman 1dari 14

SANGHA

7
(Perkembangan, Posisi, dan Peranan)

Buddham saranam gacchami


Dhammam saranam gacchami
Sangham saranam gacchami

Ungkapan di atas merupakan kredo atau pengakuan


bagi seseorang yang menganut dan mau menganut
Buddhisme sebagai agama atau keyakinananya. Kredo
(syahadat dalam Islam) tersebut yang kurang lebih berarti
Aku berlingung kepada Buddha, aku berlindung kepada
Dharma, aku berlindung kepada Sangha, sangat populer
dalam tradisi agama Buddha khususnya di Asia Tenggara
(Ling, 1981) yang mayoritas penduduknya menganut agama
Buddha aliran Theravada. Ungkapan tersebut dapat
dijumpai dalam Kitab Suci yang berbahasa Pali, Samyutta
Nikaya, dan di dalam Mahaparinibbana Sutta Sang Buddha
dikatakan telah bersabda bahwa barang siapa yang percaya
pada kebajikan dari ketiga ‘permata’ (ratna) tersebut berarti
telah ‘masuk arus’ (sotappana), yakni ia telah berada di atas
jalan menuju keselamatan.
Dalam kredo yang disebut Triratna (tiga permata) di
atas kita dapat dengan jelas melihat bahwa Sangha me-
rupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem keper-
cayaan agama Buddha. Hubungan antara ketiga permata

133
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 134
tersebut (Buddha, Dharma, Sangha) ibarat segitiga. Buddha
telah menemukan dan menyampaikan ajaran Kebenaran
(Dharma), dan Sangha menerima dan melestarikan ajaran
Kebenaran tersebut. Oleh karena itu, posisi Sangha tidak
bisa dinafikan begitu saja dalam sistem sosial agama
Buddha. Dalam agama Islam, posisi dan peranan Sangha ini
dapat disejajarkan dengan posisi dan peranan ulama di mana
salah satu hadis Nabi mengatakan bahwa “Ulama adalah
pewaris para nabi” (al-ulama waratsatul anbiyaa).
Meskipun kredo menempatkan Sangha pada posisi
yang penting dalam struktur sosial agama Buddha tetapi kita
tidak boleh beranggapan bahwa Sangha dalam bentuk-nya
yang ada sekarang sebagai bentuk yang utuh, lahir dan ada
apa adanya, semenjak masa Sang Buddha. Sangharak-shita
(h. 204) menyatakan bahwa Sangha, sebagaimana sesuatu
yang hidup seperti organisme, kekaisaran, atau gagasan,
dalam sejarahnya mengalami perkembangan. Ia kemudian
membagi perkembangan Sangha tersebut ke dalam tiga fase:
masa Sang Buddha, fase setelah Sang Buddha parinirvana,
dan fase setelah Konsili di Vaisali. Berdasarkan peiodisasi
dari Sangharakshita ini kita akan mencoba melihat
bagaimana perkembangan yang terjadi pada institusi
keagamaan Buddha ini.

Perkembangan Sangha

Dikatakan bahwa segera setelah memperoleh pene-


rangan atau pencerahan dalam meditasinya di bawah pohon
Bodhi, Sang Buddha mengalami keragu-raguan apakah ia
harus menyampaikan Dharma yang telah diperolehnya
dalam meditasi tersebut atau tidak. Dalam buku-buku
Sangha dalam Agama Buddha
135
biografi tentang Sang Buddha kisah keragu-raguan tersebut
dikatakan sebagai kisah perjuangan Sang Buddha melawan
Mara dan bala tentaranya yang berusaha mencegah Sang
Buddha untuk menyampaikan dan menyebarkan Dharma
tersebut. Kisah, atau mungkin lebih tepat lagi mitos, ini bu-
kanlah cerita tentang pertempuran fisik antara Sang Buddha
dengan Mara, melainkan lebih merupakan perjuangan
psikologis yang terjadi dalam diri Sang Buddha sendiri.
Namun, akhirnya Sang Buddha berhasil mengalahkan Mara
dan bala tentaranya dengan diperolehnya ketetapan hati
bahwa ia harus menyampaikan Dharma yang telah diper-
olehnya. Setelah itu ia pun berangkat ke Sarnath dan ber-
temu dengan lima orang pertapa yang dulu menemaninya
melakukan tapa brata di hutan Uruvela. Di sana, di Taman
Menjangan, Sang Buddha menyampaikan khutbahnya yang
pertama kepada lima orang pertapa tersebut, dan ternyata
kelima orang temannya itu menerima apa yang disampaikan
Sang Buddha dan mengakui Sang Buddha sebagai guru
mereka. Dengan demikian maka terbentuklah komunitas
umat Buddha untuk pertama kalinya yang terdiri dari lima
orang asketik atau pertapa.
Dalam perkembangan sejarahnya kemudian orang
yang percaya pada kebenaran Dharma dan mengakui Sang
Buddha sebagai guru itu tidak hanya terbatas kepada mereka
yang telah meninggalkan hidup berumah tangga dan hidup
mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain yang
kemudian disebut bhiksu (Sanskerta) atau bhikkhu (Pali),
tetapi juga termasuk mereka dari kalangan masya-rakat
biasa yang tetap mempertahankan hidup berkeluarga dan
tetap tinggal menetap bersama keluarganya. Dengan
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 136
demikian, komunitas umat Buddha pun semakin luas dan
bervariasi. Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha dan
mengikuti jejak hidup Sang Buddha dengan menjadi asketik
kemudian membentuk perkumpulan yang disebut Sangha,
sedangkan mereka yang mempercayai kebenaran Dharma
tetapi tidak menjadi asketik disebut Upasaka/Upasika.
Kedua lapisan sosial tersebut membentuk komunitas besar
umat Buddha dan dalam praktik kehidupan sosial sehari-
hari saling menunjang dan saling membutuhkan satu sama
lain.
Kelompok asketik yang membentuk Sangha dapat
dikatakan sebagai komunitas elit agama Buddha. Posisi
mereka sangat penting dalam masyarakat umat Buddha
karena, berbeda dengan para pengikut Sang Buddha yang
bukan asketik dan tetap tinggal bersama keluarga mereka,
setelah Sang Buddha meninggal para bhiksu menjadi pewa-
ris dan pelestari ajaran Sang Buddha, sehingga menempati
posisi sentral dalam lingkaran para pengikut Sang Buddha.
Secara ideologis merekalah yang sesungguhnya menjadi
pengikut Sang Buddha karena mereka mengikuti jejak
kehidupan Sang Buddha secara konsekwen. Akan tetapi,
seperti dikemukakan Sangharakshita di atas, Sangha dalam
agama Buddha ini laksana embriyo mengalami perkem-
bangan sampai kepada bentuknya yang sekarang.

Masa Sang Buddha

Setelah Sang Buddha menyampaikan khutbah yang


pertama kepada kelima orang asketik temannya dan mereka
menerima Dharma yang disampaikan Sang Buddha tersebut,
maka terbentuklah Sangha. Pada masa ini untuk menjadi
Sangha dalam Agama Buddha
137
anggota Sangha secara sederhana, mereka cukup menerima
dan meyakini kebenaran ajaran Sang Buddha dan menerima
Sang Buddha sebagai guru. Kebiasaan hidup mengembara
dan tanpa keluarga (Pali, paribbhajaka; Skr, parivrajaka)
seperti asketik Hindu menjadi ciri kehidupan Sangha agama
Buddha.
Hidup mengembara dan tanpa keluarga sebagai
seorang asketik adalah hal yang lazim di kalangan masya-
rakat India pada waktu itu. Begitu pula yang terjadi pada
diri Sang Buddha ketika ia merasakan bahwa kehidupan di
lingkungan istana tidak dapat memberikan kepuasan bagi-
nya dalam memahami hakikat kehidupan. Ia pun mening-
galkan anak dan istrinya untuk mencari kebenaran dan
belajar pada Alara Kalama, seorang asketik Hindu, maka
pada saat itu ia telah menjadi seorang asketik. Karena
banyak macam asketik di kalangan masyarakat India pada
waktu itu dan mereka menganut berbagai macam aliran
kepercayaan, maka keyakinan terhadap Kebenaran Dharma
yang diajarkan Sang Buddha merupakan ciri lain yang
membedakan antara asketik agama Buddha dari asketik-
asketik yang lain.
Selain itu, seperti yang disampaikan dalam khutbah
pertama Sang Buddha bahwa untuk mencapai keselamatan
atau Nirvana seseorang tidak boleh hidup mengikuti hawa
nafsu, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-
orang awam, dan tidak boleh menganiaya diri sendiri seperti
yang dilakukan oleh para asketik Jainisme, maka kehidupan
asketik yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah kehidupan
kebhiksuan yang menempuh Jalan Tengah (majjihima-
patipada). Dengan kata lain, untuk mencapai Nirvana orang
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 138
harus menjadi asketik atau menjadi bhiksu; sebaliknya,
menjadi bhiksu tidak harus dengan menganiaya diri sendiri.
Mereka juga harus makan dan minum meskipun alakadar-
nya sekedar memenuhi rasa lapar dan haus.
Kenyataan bahwa pengikut Sang Buddha tidak lagi
terbatas kepada lima orang, yaitu mereka yang menerima
dan mengakui Kebenaran yang disampaikan Sang Buddha
di Taman Menjangan, memungkinkan dibuatnya aturan-
aturan tertentu untuk mengikat mereka yang mengikuti jalan
hidup Sang Buddha. Pada masa ini salah satu aturan yang
mengikat para anggota Sangha adalah bahwa mereka harus
melakukan upacara bersama, sebagaimana anggota sekte
keagamaan lainnya, yang disebut sebagai Uposatha (Pali,
posadha) yang dilaksanakan sebulan dua kali yaitu pada
malam awal bulan dan malam bulan purnama. Pada upacara
yang dilakukan secara sederhana tersebut mereka hanya
membacakan, atau lebih tepatnya mengulang ingatan,
tentang pratimoksa (Pali, patimokkha) berupa ringkasan
beberapa ayat atau bait dari Dharma. Kemudian, bila pada
musim kemarau anggota Sangha banyak mengahabiskan
waktunya dengan mengembara dari satu tempat ke tempat
yang lain maka pada musim penghujan mereka tidak
mungkin melakukannya, sehingga mereka harus metetap
dan tinggal di satu tempat tertentu (avasa), seperti gua-gua
atau di tempat-tempat teduh lainnya. Bila pada masa
mengembara makan dan minum mereka tergantung kepada
pemberian orang yang ditemui, maka pada masa istirahat
atau menetap ini kebutuhan makan dan minum mereka
tergantung kepada pemberian orang yang datang. Pada masa
ini juga telah ditetapkan oleh sang Buddha berkaitan dengan
ajaran-ajaran moral yang harus mereka lakukan seperti tidak
Sangha dalam Agama Buddha
139
melakukan hubungan seksual, tidak mencuri, tidak
membunuh, dan tidak menyatakan bahwa mereka telah
mencapai tingkat supernormal.

Setelah Parinirvana

Apabila pada masa Sang Buddha untuk menjadi


seorang anggota Sangha itu begitu sederhana, hanya dengan
menjadi asketik dan mengakui kebenaran Dharma serta
menerima Sang Buddha sebagai guru, maka setelah wafat
Sang Guru tersebut timbullah beberapa persoalan yang
menyangkut eksistensi Sangha sebagai suatu institusi.
Ketika Sang Buddha masih hidup mereka dapat dengan
mudah menanyakan sesuatu atau mengadukan suatu
persoalan langsung kepada Sang Buddha, tetapi setelah
wafat Sang Buddha putuslah hubungan langsung tersebut.
Namun, sekalipun sumber informasi ajaran telah tiada hal
ini tidak berarti mengakibatkan terputusnya sama sekali
hubungan tersebut, karena Sang Buddha pernah menga-
takan bahwa “Barang siapa melihatku maka ia melihat
Dharma, dan barang siapa melihat Dharma maka ia meli-
hatku". Tetapi Dharma yang telah disampaikan Sang
Buddha kepada mereka adalah berita lisan yang berserakan
dalam pikiran dan ingatan mereka.
Sudah semenjak tahun pertama dari wafat Sang
Buddha terjadi suatu upaya untuk menyatukan dan meles-
tarikan pandangan-pandangan hisup Sang Buddha, baik
yang menyangkut ajaran yang bersifat teoritis maupun yang
menyangkut peraturan-peraturan berkenaan dengan kehidu-
pan monastik para anggota Sangha. Usaha tersebut
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 140
direalisasikan dalam bentuk Konsili di Rajagriha sebagai
upaya mengantisipasi adanya kecenderungan penyimpangan
di kalangan pengikut Sang Buddha terutama yang dikemu-
kakan oleh salah seorang bhikku yang bernama Subadra. 1
Dikatakan bahwa hasil yang dicapai dalam Konsili yang
pertama di Rajagriha tersebut adalah bahwa mereka telah
berhasil menghimpun ajaran-ajaran Sang Buddha dalam dua
bentuk koleksi. Himpunan tentang ajaran yang bersifat
teoritis yang kelak di kemudian hari disebut dengan istilah
Dharmapitaka atau Sutrapitaka, dan sedangkan himpunan
tentang ajaran yang bersifat praktis yang menyangkut tata-
aturan kehidupan anggota Sangha baik sebagai individu
maupun sebagai sesama anggota Sangha yang kemudian
disebut dengan istilah Vinaya-pitaka.
Dengan berhasilnya menghimpun kedua koleksi
tersebut maka ajaran Sang Buddha pun dapat diselamatkan
meskipun masih dalam bentuk tradisi oral. Justru karena
masih bersifat oral maka fungsi bhikku pun bersifat ganda.
Di satu pihak mereka berusaha untuk mencari keselamatan
diri mereka sendiri, yaitu menempuh jalan keselamatan
untuk mencapai Nirvana dan, di pihak lain, berfungsi
sebagai pelestari ajaran-ajaran Sang Buddha. Selain dengan
berhasilnya dihimpun dan diklasifikasi peraturan-peraturan
yang berkenaan dengan kehidupan seorang asketik baik
secara individual maupun secara kolektif dari ingatan
mereka, ciri yang penting yang menandai periode ini adalah
bahwa dalam upacara Uposatha pada setiap malam awal
bulan dan malam bulan purnama pembacaan pratimoksa
yang tadinya berupa pembacaan beberapa ayat atau bait

1
Lihat, Konsili Dalam Agama Buddha (Bab 5) dalam buku ini.
Sangha dalam Agama Buddha
141
Dharma mulai digantikan dengan pembacaan peraturan-
peraturan kebiaraan yang terdiri dari 150 soal. Dalam
upacara Uposatha tersebut juga dilaksanakan semacam
pengakuan atas pelanggaran yang dibuat seseorang terhadap
peraturan-pertauran tersebut. Bahkan pada acara Upasam-
pada yang asalnya merupakan acara diterimanya seorang
asketik menjadi pengikut Sang Buddha, menjadi suatu
upacara resmi yang menandai inisiasi seseorang ke dalam
Orde Sangha seperti umpamanya dengan menghadirkan
empat orang bhikku senior dan guru calon bhikku itu sendiri
serta pernyataan calon itu sendiri bahwa dirinya bebas dari
berbagai cacat yang bersifat potensial. Hal ini secara luas
menandari perbedaan yang kentara antara bhikku dan orang-
orang biasa, tidak lagi antara mereka yang telah
meninggalkan hidup berumah tangga dengan yang tetap
berkeluarga tetapi antara mereka yang telah diordinasi dan
melaksanakan aturan-aturan Sangha dengan mereka yang
tidak diordinasi dan tidak melaksanakan aturan-aturan
tersebut (Sangharakshita, 1991:208).

Setelah Konsili di Vaisali

Sebenarnya sulit untuk mengatakan secara tepat


bahwa terjadinya perubahan selanjutnya yang menandai
perkembangan Sangha itu persis terjadi setelah Konsili
kedua di Vaisali tersebut. Hal ini karena menyangkut sebuah
tradisi yang hidup di kalangan suatu masyarakat yang
sekalipun bergerak secara evolutif tetapi tidak berarti bahwa
fase-fase sebelumnya lenyap secara drastis dan radikal
digantikan oleh perkembangan berikutnya begitu saja.
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 142
Perubahan dan perkembangan suatu tradisi akan lebih baik
lagi dipahami apabila dibayangkan pelapisan budaya di
mana perubahan yang sebelumnya tetap hidup sekalipun
dengan daya yang semakin melemah. Begitu juga yang
terjadi di kalangan masyarakat Buddha, perkembangan yang
terjadi setelah Konsili di Vaisali tidak sekalipus menghapus
perkembangan fase-fase yang sebelumnya. Hanya saja pada
masa kira-kira setelah Konsili di Vaisali terjadi perubahan
yang sangat berbeda yang menandai karakteristik fase
berikutnya.
Ciri yang menonjol yang menandai perkembangan
Sangha tahap ini ialah, apabila pada masa Sang Buddha para
bhikku anggota Sangha tersebut hidup sebagai parivrajaka
atau hidup mengembara menuju ke berbagai penjuru mata
angin, begitu juga yang terjadi pada fase berikutnya, tetapi
pada tahap ketiga ini terjadi perubahan yang cukup
revolusioner yakni terdapat kebiasaan di kalangan para
bhikku untuk tinggal dan menetap di suatu tempat tertentu.
Pada masa-masa sebelumnya, di samping tinggal di gua-
gua, memang disediakan kebun-kebun atau taman kepada
Sangha, yang disebut dengan istilah avasa, sebagai tempat
tinggal sementara para anggotanya selama musim
penghujan ketika perjalanan mengembara tidak mungkin
dilaksanakan disebabkan keadaan yang tidak
memungkinkan seperti tanah becek, turun hujan, atau
bahkan banjir. Kemudian selain diberi tempat tersebut, di
berbagai avasa yang tersebar di mana-mana juga dibuat
berbagai tempat tinggal yang terbuat dari ranting kayu dan
beratap rumbia yang disebut dengan istilah vihara.
Sekalipun demikian, fungsi tempat-tempat tersebut tetap
sebagai tempat singgah dari pada sebagai tempat tinggal
Sangha dalam Agama Buddha
143
tetap. Tempat-tempat tersebut jauh dari pengertian sebagai
monasteri seperti yang dipahami masa sekarang di mana
para bhikku tinggal menetap untuk jangka waktu yang
panjang, tidak saja selama musim penghujan tetapi juga
pada musim-musim lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang
peranan ganda para bhikku anggota Sangha, di satu sisi
mereka berusaha melaksanakan ajaran Sang Buddha demi
keselamatan diri mereka, di sisi yang lain melestarikan
(menghafal?) ajaran-ajaran tersebut dan menyampaikannya
kepada orang lain terutama para pengikut Sang Buddha
yang bukan anggota Sangha. Pada gilirannya kedua fungsi
tersebut mengakibatkan terjadinya dua kecenderungan sikap
di kalangan anggota Sangha. Mereka yang cenderung
mengutamakan keselamatan diri pribadi dengan memilih
hidup di hutan-hutan sebagai pertapa baik secara menyen-
diri maupun berkelompok yang kemudian dianggap sebagai
meditator. Sebagian lagi memiliki kecenderungan untuk
tinggal menetap di tempat-tempat tertentu yang disebut
avasa tersebut, yang kelak kemudian menjadi monasteri-
monasteri sebagai guru dan bhikku-bhikku terpelajar.
Bukti yang menonjol dari adanya dua kecende-
rungan tersebut nampak dalam sejarah agama Buddha di
Srilangka pada permulaan abad Masehi dengan terjadinya
proses perdebatan mengenai manakah yang lebih penting:
belajar atau mempraktikan agama Buddha. Perdebatan
tersebut dimenangkan oleh para pengikut Dhammakathika
yang lebih cenderung mempelajari agama Buddha dari pada
menghabiskan waktu melaksanakan meditasi di hutan-hutan
sehingga akibatnya monasteri-monasteri menjadi pusat
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 144
pelajaran dan kebudayaan agama Buddha yang melahirkan
para bhikku yang ahli tidak saja dalam pengetahuan tentang
Tripitaka tetapi juga mahir dalam bahasa, tata bahasa,
sejarah, logika, pengobatan, dan lain-lain (Conze, 1988:59).
Selain itu terjadi juga perebutan pengaruh antara para
bhikku Mahavihara di satu pihak yang mewakili pandangan
konservatif bahwa tujuan utama para bhikku adalah
berjuang untuk mencapai keselamatan (Nirvana) dengan
para bhikku Abhayagiri di pihak lain yang mewakili
pandangan yang lebih liberal dengan menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap kehidupan sosial (hal. 60).
Kembali kepada perkembangan Sangha yang terjadi
setelah Konsili di Vaisali, selain terjadi perubahan dari
hidup mengembara kepada hidup menetap di suatu tempat
(monasteri) juga terjadi perubahan berkenaan dengan
Upasampada. Upasampada tidak berarti lagi sebagai
ordinasi anggota Sangha yang bersifat berkelana menempuh
empat penjuru mata angin dan berpegang kepada
pratimkosa, melainkan ordinasi kepada Sangha yang
menetap di suatu avasa tertentu dan berpegang kepada apa
yang kemudian disebut vinaya tertentu. Konsekwensinya,
Sangha sekarang lebih mudah berhubungan dengan
masyarakat awam-biasa sehingga sedekah dan sumbangan
lebih mudah didapat. Lebih jauh lagi, sekalipun sebagian
masih berpegang kepada tradisi lama, terdapat anggapan di
kalangan para bhikku bahwa hidup mengembara dan
meminta sedekah dari rumah ke rumah tidak perlu lagi.
Berkenaan dengan Uposatha, disebabkan banyak
para bhikku yang menetap atau menjadi anggota Sangha
yang menatap sehingga mudah berkumpul, kini tidak lagi
menjadi sekedar upacara di mana para bhikku yang telah
Sangha dalam Agama Buddha
145
melakukan pelanggaran mengakui kesalahannya, melainkan
menjadi upacara liturgi di mana pratimoksa dibacakan
dengan khidmat disertai perasaan solidaritas dan persatuan
di kalangan anggota Sangha tersebut. Apabila masa Sang
Buddha Uposatha merupakan instrumen bagi para bhikku
yang telah melakukan pelanggaran secara terbuka menya-
dari dan mengakuinya sehingga mereka siap menerima
hukuman tertentu sebagai akibatnya, sekalipun sebenarnya
tidak lebih dari sekedar pengakuan itu sendiri, kini menjadi
alat pernyataan akan kemurnian dan kesucian Sangha.
Karena seringkali seorang anggota Sangha yang telah
melakukan pelanggaran menyampaikan dan mengakui
kesalahannya secara pribadi kepada anggota yang lainnya
sebelum upacara itu sendiri dimulai, sehingga pada waktu-
nya pratimoksa dibacakan oleh bhikku senior sementara
yang lainnya tinggal diam. Dengan demikian kesucian dan
integritas Sangha, paling tidak secara artifisial, dijamin.
Sedangkan mengenai pratimoksa itu sendiri terjadi
perubahan di mana pratimoksa tersebut dilengkapai atau
bahkan diganti oleh skandhaka atau Bab-bab, yaitu
serangkaian aturan yang rinci berdasarkan subjek atau
masalah tertentu seperti pengobatan, pakaian, upacara
ordinasi, dan tentang skisme atau hal-hal yang dianggap
menyimpang. Dengan demikian, pada permulaan periode
ketiga bhikku atau anggota Sangha secara individual
tumbuh dipengaruhi, atau dihadapkan kepada, tiga cita-cita
kehidupan monastik yang berbeda, seklipun tidak berarti
bertentangan: mengembara tanpa dibebani aturan-aturan,
melaksanakan aturan-aturan monastik yang terdiri dari 150
poin secara terperinci, dan ikut serta dalam atau bahkan
Bunga Rampai Studi Agama Buddha 146
mengidentifikasi diri dengan kehidupan bersama yang
kompleks pada komunitas monastik yang tetap dan
permanen.

Anda mungkin juga menyukai